BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. masyarakat. Bayi baru lahir dan anak-anak merupakan kelompok yang rentan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. diprioritaskan dalam perencanaan dan pembangunan bangsa (Hidayat, 2008).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. atau diobati dengan akses yang mudah dan intervensi yang terjangkau. Kasus utama

Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS)

BAB I PENDAHULUAN. 6,9 juta jiwa, tercatat kematian balita dalam sehari, 800 kematian balita

BAB 1 PENDAHULUAN. saat ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat dan beban global. terutama di negara berkembang seperti Indonesia adalah diare.

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit diare merupakan salah satu penyebab morbiditas dan. Secara nasional, target Sustainable Development Goals (SDGs) untuk

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Gizi merupakan faktor penting untuk mewujudkan manusia Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan anak merupakan suatu hal yang penting karena. mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak.

BAB I PENDAHULUAN. lima tahun pada setiap tahunnya, sebanyak dua per tiga kematian tersebut

UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Di Indonesia diare merupakan penyebab kematian utama pada bayi dan anak.

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Anak balita merupakan kelompok usia yang rawan masalah gizi dan penyakit.

BAB I PENDAHULUAN. Pneumonia sering ditemukan pada anak balita,tetapi juga pada orang dewasa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Angka Kematian Bayi (AKB) di dunia masih tergolong tinggi.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Permasalahan gizi masih menjadi masalah yang serius. Kekurangan gizi

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia terdapat 7,7 juta balita yang terhambat pertumbuhannya. Dalam

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Dalam mencapai tujuan Nasional Bangsa Indonesia sesuai Pembukaan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pneumonia merupakan salah satu masalah kesehatan dan penyebab terbesar kematian anak di seluruh dunia.

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit diare adalah salah satu penyebab utama kesakitan dan kematian pada

BAB 1 PENDAHULUAN. World Health Organization (WHO) tahun 2013 diare. merupakan penyebab mortalitas kedua pada anak usia

BAB 1 : PENDAHULUAN. sedini mungkin, bahkan sejak masih dalam kandungan. Usaha untuk mencapai

BAB I PENDAHULUAN. tidak dapat terpenuhi. Namun masalah gizi bukan hanya berdampak pada

BAB I PENDAHULUAN. penyakit sehingga berkontribusi besar pada mortalitas Balita (WHO, 2013).

BAB 1 PENDAHULUAN. Salah satu riset menunjukkan setidaknya 3,5 juta anak meninggal tiap tahun karena

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. 10 juta kematian terjadi setiap tahunnya pada anak-anak yang berumur di bawah lima

BAB I PENDAHULUAN. sampai dengan lima tahun. Pada usia ini otak mengalami pertumbuhan yang

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. masa bayi, lalu berkembang menjadi mandiri di akhir masa kanak-kanak, remaja,

BAB I PENDAHULUAN. gizi pada ibu hamil dapat menyebabkan Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) dan

BAB I PENDAHULUAN. Masalah gizi khususnya balita stunting dapat menghambat proses

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. balita di dunia sebanyak 43 kematian per 1000 kelahiran hidup (WHO, 2016d). Di

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia sebagai salah satu negara yang menandatangani Millenium

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 : PENDAHULUAN. yang kekurangan gizi dengan indeks BB/U kecil dari -2 SD dan kelebihan gizi yang

BAB I PENDAHULUAN. berkualitas dan sukses di masa depan, demikian juga setiap bangsa menginginkan

BAB 1 PENDAHULUAN. Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas, sehat, cerdas dan produktif. Untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sehari-hari. Makanan atau zat gizi merupakan salah satu penentu kualitas kinerja

BAB I PENDAHULUAN. Masalah ini banyak terjadi pada balita terutama di negara-negara. makanan yang tidak cukup (Nelson, 1996). Rata-rata berat badannya

BAB I PENDAHULUAN. keemasan, yang memiliki masa tumbuh kembangnya berbagai organ tubuh. Bila

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Stunting atau pendek merupakan salah satu indikator gizi klinis yang dapat memberikan gambaran gangguan keadaan

BAB 1 PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan kesehatan di Indonesia saat ini diarahkan untuk

BAB I PENDAHULUAN. Masa balita merupakan kelompok umur yang rawan gizi dan rawan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 28 PENINGKATAN AKSES MASYARAKAT TERHADAP KESEHATAN

BAB I PENDAHULUAN. disebut infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). ISPA merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. menyerang anak-anak adalah diare, pneumonia, dan

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Upaya meningkatkan derajat kesehatan ibu dan balita sangatlah penting,

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan karena konsumsi makanan yang tidak seimbang, mengkonsumsi

BAB I PENDAHULUAN. MDGs lainnya, seperti angka kematian anak dan akses terhadap pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. target Millenium Depelopment Goals (MDGs) Dimana angka kematian bayi

BAB I PENDAHULUAN. yaitu program pemberantasan penyakit menular, salah satunya adalah program

BAB I. A. Latar Belakang. Dalam Al-Qur an terkandung segala bentuk tata kehidupan, mulai dari. Qur an surat Al- Baqarah dan surat Yunus yang artinya :

BAB I PENDAHULUAN. Bayi adalah anak usia 0-2 bulan (Nursalam, 2013). Masa bayi ditandai dengan

BAB I PENDAHULUAN. selama ini masih banyak permasalahan kesehatan, salah satunya seperti kematian

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Derajat kesehatan masyarakat yang optimal adalah tingkat kondisi

MANAJEMEN TERPADU BALITA SAKIT MODUL - 1

BAB I PENDAHULUAN. sekitar 2 juta disebabkan oleh penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi.

BAB I PENDAHULUAN. di paru-paru yang sering terjadi pada masa bayi dan anak-anak (Bindler dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Masa balita merupakan periode penting dalam proses. tumbuh kembang manusia. Pertumbuhan dan perkembangan

PENGARUH KOMPETENSI BIDAN DI DESA DALAM MANAJEMEN KASUS GIZI BURUK ANAK BALITA TERHADAP PEMULIHAN KASUS DI KABUPATEN PEKALONGAN TAHUN 2008 ARTIKEL

BAB I PENDAHULUAN. http ://digilip.unimus.ac.id

BAB I PENDAHULUAN atau 45% dari total jumlah kematian balita (WHO, 2013). UNICEF

BAB 1 : PENDAHULUAN. Millenuim Development Goals (MDGs) adalah status gizi (SDKI, 2012). Status

BAB I PENDAHULUAN atau Indonesia Sehat 2025 disebutkan bahwa perilaku

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan anak di periode selanjutnya. Masa tumbuh kembang di usia ini

Bab I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Diare merupakan salah satu penyebab kematian utama pada anak balita

Dr.dr. Bondan Agus Suryanto, SE, MA, AAK

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. ini manifestasi dari infeksi system gastrointestinal yang dapat disebabkan berbagai

BAB 1 PENDAHULUAN. dan kesejahteraan manusia. Gizi seseorang dikatakan baik apabila terdapat

UPTD PUSKESMAS KAMPAR KIRI

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam hal perkembangan otak dan pertumbuhan fisik yang baik. Untuk memperoleh

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN IBU TENTANG ASI EKSKLUSIF DENGAN PERILAKU PEMBERIAN ASI DI PUSKESMAS NGUTER

BAB I PENDAHULUAN. Balita. Pneumonia menyebabkan empat juta kematian pada anak balita di dunia,

BAB I PENDAHULUAN. yang harus ditangani dengan serius. Ditinjau dari masalah kesehatan dan gizi, terhadap kekurangan gizi (Hanum, 2014).

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah Makanan memiliki peranan penting dalam tumbuh kembang

BAB I PENDAHULUAN. penting terjadinya kesakitan dan kematian pada ibu hamil dan balita

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Nutrisi yang cukup sangat penting pada usia dini untuk memastikan

BAB I PENDAHULUAN. tersebut. (Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W, 2000)

BAB I PENDAHULUAN. tingginya angka kematian dan kesakitan karena ISPA. Penyakit infeksi saluran

BAB I PENDAHULUAN. terjadi sangat pesat. Pada masa ini balita membutuhkan asupan zat gizi yang cukup

BAB I PENDAHULUAN. balita yang cerdas. Anak balita salah satu golongan umur yang rawan. masa yang kritis, karena pada saat itu merupakan masa emas

BAB I PENDAHULUAN. beban permasalahan kesehatan masyarakat. Hingga saat ini polemik penanganan

BAB 1 PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan nasional bidang kesehatan yang tercantum dalam

BAB I PENDAHULUAN. harapan hidup yang merupakan salah satu unsur utama dalam penentuan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Makanan pertama dan utama bagi bayi adalah air susu ibu (ASI). Air susu ibu sangat cocok untuk memenuhi kebutuhan

BAB 1 PENDAHULUAN. Tantangan utama dalam pembangunan suatu bangsa adalah membangun

BAB I PENDAHULUAN. ini terjadi terutama di negara berkembang. Diantara kematian pada anak-anak

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) merupakan masalah kesehatan

BAB 1 PENDAHULUAN. yang apabila tidak diatasi secara dini dapat berlanjut hingga dewasa. Untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sebesar 14% (WHO, 2013). Pada tahun 2011, dilaporkan 1,3 juta anak meninggal

BAB I PENDAHULUAN. bahwa terdapat perbedaan yang mencolok Angka Kematian Balita (AKB)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia.United Nations International Children s Emergency Fund (UNICEF)

BAB I PENDAHULUAN. menurunkan prevalensi balita gizi pendek menjadi 32% (Kemenkes RI, 2010).

BAB I PENDAHULUAN. SDM yang berkualitas dicirikan dengan fisik yang tangguh, kesehatan yang

BAB I PENDAHULUAN UKDW. Diare merupakan penyakit dengan tanda - tanda perubahan frekuensi buang air

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Gizi merupakan salah satu unsur penting sebagai penentu dalam peningkatan kualitas

BAB I PENDAHULUAN. pneumonia masih merupakan penyakit utama penyebab kesakitan dan

BAB I PENDAHULUAN. anemia masih tinggi, dibuktikan dengan data World Health Organization

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak merupakan generasi penerus bangsa. Perhatian terhadap pertumbuhan dan perkembangan kesehatan anak harus menjadi perhatian utama seluruh masyarakat. Bayi baru lahir dan anak-anak merupakan kelompok yang rentan terhadap kekurangan gizi dan penyakit menular, dimana banyak dari kondisi tersebut dapat dicegah dan diobati secara efektif (WHO, 2013). Angka kematian balita di dunia masih cukup tinggi. Pada tahun 2011, sebanyak 6,9 juta anak berusia dibawah lima tahun meninggal dunia. Hampir 75% penyebab kematian anak disebabkan oleh enam kondisi yaitu : penyebab kematian neonates, pneumonia, diare, malaria campak dan HIV/AIDS (WHO,2013). Angka kematian anak di Indonesia juga masih tinggi. Data Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012 menunjukkan bahwa angka kematian anak di Indonesia tidak banyak mengalami penurunan dibanding hasil SDKI 2007. Angka Kematian Balita hanya turun dari 44 per 1000 kelahiran hidup menjadi 40 per 1000 kelahiran hidup. Hal ini masih jauh dari tujuan MDGs ke 4 yang menyebutkan bahwa target angka kematian balita diharapkan turun mencapai 23/1000 kelahiran hidup pada tahun 2015. Jumlah kematian anak di Provinsi DIY mengalami fluktuasi sepanjang tahun 2010-2012. Peningkatan terjadi terutama pada angka kematian bayi. Hasil Survai 13

14 Demografi dan Kesehatan (SDKI) tahun 2012 menunjukan bahwa Angka Kematian Bayi di DIY mempunyai angka yang relatif tinggi yaitu sebesar 25 per 1000 kelahiran hidup (target MDGs sebesar 23 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2015). Apabila melihat hasil SDKI 2012 tersebut maka masalah kematian bayi merupakan hal serius yang harus diupayakan penurunanya agar target MDGs dapat dicapai. Sedangkan untuk angka kematian Balita di DIY tahun 2012 sebanyak 450 balita, sehingga angka kematian balita dilaporkan sebanyak 9,8 per 1000 kelahiran hidup (Profil Kesehatan DIY, 2012). Angka kematian Bayi di Bantul pada tahun 2011 sebanyak 8,5/1000 kelahiran hidup. Kecamatan Banguntapan merupakan daerah dengan angka kematian bayi tertinggi di kabupaten Bantul. Pada tahun 2011 angka kematian balita di Bantul mencapai 136 kasus dengan kematian terbesar di wilayah Banguntapan. Kasus kejadian penyakit pada balita seperti diare, pneumonia dan gizi buruk terbanyak berada di wilayah Banguntapan (Profil Kesehatan Bantul, 2012). Salah satu strategi untuk menurunkan angka kematian balita adalah dengan penerapan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) atau Integrated Management of Childhood Iliness (WHO, 2013). MTBS merupakan pendekatan terpadu untuk penanganan balita sakit yang didasarkan pada penyebab utama kematian balita (Depkes, 2008). MTBS merupakan strategi menyeluruh dengan tujuan untuk mengurangi kematian dan kesakitan anak di negara berkembang (UNICEF, 1999). MTBS dikembangkan oleh badan kesehatan dunia WHO dan UNICEF pada tahun 1992. Indonesia telah mengadopsi pendekatan MTBS sejak tahun 1996 dan

15 implementasinya dimulai tahun 1997. MTBS diterapkan oleh Depkes setelah melalui proses adaptasi bersama UKK IDAI (Depkes,, 2008). Strategi MTBS mencakup tiga komponen yaitu; 1) peningkatan keterampilan penatalaksanaan kasus dari petugas kesehatan melalui penyediaan pedoman klinis manajemen terpadu balita sakit, disesuaikan dengan konteks lokal, dan pelatihan untuk mempromosikan penggunaannya; 2) peningkatan sistem kesehatan; dan 3) peningkatan praktik kesehatan di tingkat keluarga dan masyarakat melalui pendidikan Ibu, ayah, pengasuh anak yang lain dan anggota masyarakat, dengan satu fokus pada perilaku sehat, kepatuhan, perawatan di rumah dan promosi kesehatan secara menyeluruh (Depkes, 2008). Setelah pengembangan komponen pertama dan kedua dilakukan di berbagai negara di seluruh dunia termasuk Indonesia, para peneliti sekarang berfokus pada pengembangan komponen ketiga yaitu peningkatan praktek kesehatan di tingkat keluarga dan masyarakat (Aga et al, 2007). Keberhasilan dalam mengurangi kematian balita tidak hanya membutuhkan ketersediaan fasilitas kesehatan dengan tenaga kesehatan yang terlatih dengan baik. Keberhasilan pengobatan anak sakit juga bergantung pada tindak lanjut pengobatan di rumah. Keluarga mempunyai tanggung jawab utama dalam merawat anak. Keberhasilan pengobatan di rumah bergantung pada kemampuan komunikasi petugas dengan ibu penderita. Ibu perlu mengetahui cara memberi obat dan mengerti tentang pentingnya pengobatan bagi anak (Depkes, 2008). Dalam tatanan rumah tangga, MTBS mempromosikan perilaku mencari pelayanan yang tepat, perbaikan gizi dan pelayanan pencegahan, serta penerapan

16 yang benar dari anjuran perawatan (Depkes, 2008). Ibu balita sebagai pemberi asuhan utama pada balita mempuntai peran penting dalam tatalaksana manajemen terpadu balita sakit di rumah. Tujuan utama MTBS dalam tatanan rumah tangga adalah untuk memberdayakan keluarga dalam meningkatkan faktor yang berkaitan dengan perkembangan, nutrisi, dan kesehatan anak. Kondisi tersebut tidak akan tercapai apabila kita tidak mengetahui pengetahuan, sikap dan perilaku ibu terkait kesehtaan anak (Agha et al., 2007). Meskipun rumah tangga dan masyarakat memiliki tanggung jawab utama dalam menyediakan perawatan terhadap anak, dalam beberapa kasus mereka tidak dilibatkan secara aktiv atau dikonsultasikan dalam pengembangan dan penerapan program terkait isu kesehatan, nutrisi, serta pertumbuhan dan perkembangan anak. Keberhasilan dalam mengurangi morbiditas dan mortalitas anak membutuhkan partisipasi aktif dan kerjasama yang baik antara tenaga kesehatan dan keluarga dengan dukungan dari masyarakat setempat. Keluarga dan masyarakat perlu dibekali dengan pengetahuan dan ketrampilan terkait pertumbuhan dna perkembangan kesehatan anak (UNICEF, 1999). Keluarga menjadi fokus perhatian untuk memaksimalkan potensi anak. Pengetahuan dan kesadaran dari keluarga dan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan esensial anak, yaitu kebutuhan gizi, pelayanan kesehatan, kasih sayang, stimulasi perkembangan, pendidikan dan perlindungan anak memegang peranan yang sangat penting (Depkes RI, 2011). Ibu merupakan bagian terdekat dari kehidupan anak. Partisipasi Ibu dan keluarga sangat penting dalam penatalaksanaan balita sakit

17 (Setyani, 2011). Ibu akan mencari pelayanan kesehatan jika ibu merasa penyakit anaknya serius (Goldman, 2000). Keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat. Secara resmi keluarga sebagai lembaga sosial yang berkembang di semua masyarakat. Disamping itu, keluarga sebagai unsur dalam struktur sosial merupakan dasar pembentuk struktur sosial yang lebih luas. Peran dan tingkah laku yang dipelajari dalam keluarga merupakan contoh peran tingkah laku yang diperlukan dalam segi-segi lainya di masyarakat (Goodge, 1995). Oleh karena itu keluarga mempunyai posisi yang sangat strategis dalam pencegahan dan penanganan masalah gizi pada balia sesuai dengan tatalaksana MTBS. Masalah gizi adalah hal yang sangat penting dan mendasar bagi kehidupan manusia. Kekurangan gizi selain dapat menimbulkan masalah kesehatan (morbiditas, mortalitas dan disabilitas), juga menurunkan kualitas sumber daya manusia (SDM) suatu bangsa. Dalam skala yang lebih luas, kekurangan gizi dapat menjadi ancaman bagi ketahanan dan kelangsungan hidup suatu bangsa (Depkes, 2013). Anak usia balita merupakan golongan yang rentan terhadap masalah kesehatan gizi, sehingga masa balita merupakan masa kehidupan yang sangat penting dan perlu perhatian yang serius (Anggraeni dan Indrarti, 2010). Periode pertumbuhan dan perkembangan anak mulai di dalam kandungan ibu sampai umur 2 tahun disebut masa kritis tumbuh-kembang. Bila anak gagal melalui periode kritis ini maka anak tersebut sudah terjebak dalam kondisi point of no return, artinya walaupun anak

18 dapat dipertahankan hidup tetapi kapasitas tumbuh-kembangnya tidak bisa dikembalikan ke kondisi potensialnya (Depkes, 2010). Status gizi anak balita merupakan indikator pencapaian pembangunan kesehatan karena kekurangan gizi pada anak balita berkaitan dengan akses yang rendah terhadap pelayanan kesehatan. Selain itu, kurang gizi pada anak meningkatkan resiko kematian, menghambat perkembangan kognitif, dan mempengaruhi status kesehatan pada usia remaja dan dewasa. Status gizi balita merupakan indikator kesehatan dan ststus gizi penduduk (Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2010). Masalah gizi di Indonesia yang belum selesai tertangani adalah masalah gizi kurang dan pendek (stunting) (Depkes, 2013). Prevalensi gizi kurang pada balita di Indonesia sebesar 17,9 persen dan stunting 35,6 % (Riskesdas, 2010). Hasil pemantauan status gizi balita di Kabupaten Bantul pada tahun 2011 dilaporkan balita gizi kurang sebesar 10,79 % (10,67 % laki-laki dan 10,91 % perempuan) dan status gizi buruk sebesar 0,52% ( 0,48 % laki-laki dan 0,57% perempuan) dengan prevalensi tertinggi di Kecamatan Banguntapan (Profil Kesehatan Bantul, 2013). Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul bulan Februari (2012), jumlah balita yang mengalami gizi kurang dan gizi buruk di Puskesmas Banguntapan 1 sebanyak 149 (7,83 %). Sejak Indonesia mengalami krisis multidinesi pertengahan tahun 1997 dan merebaknya isu gizi buruk atau busung lapar terjadilah pergeseran pusat perhatian pada anak gizi buruk. Kejadian gizi buruk menjadi isu politik yang sangat kuat. Sehingga upaya perbaikan gizi pada balita terfokus pada penanganan anak yang

19 ditemukan gizi buruk yang bersifat kuratif. Pemerintah lebih memfokuskan pada upaya kuratif, sedangkan upaya preventifnya tidak digalakkan. Padahal dalam upaya penanggulangan masalah gizi buruk seperti yang termuat dalam pedoman yang dikeluarkan oleh Direktorat Bina Gizi Masyarakat Departemen Kesehatan, mengisyaratkan pentingnya upaya preventif-promotif disamping yang bersifat kuratif. Selama ini intervensi terhadap balita yang kekurangan gizi lebih banyak tercurah pada pemberian makanan tambahan atau makanan pendamping ASI (MP-ASI) dan perencanaannya didasarkan pada indikator berat badan menurut umur (BB/U). Ini yang harus direformasi pada upaya perbaikan gizi (Depkes, 2010). Penelitian tentang MTBS pada rumah tangga sebelumnya telah dilakukan oleh Wansi et al., (2000) di Malawi. Dari penelitian tersebut menunjukan bahwa ada beberapa poin positif yang perlu didorong dan banyak daerah yang masih membutuhkan intervensi secara aktif. Sebagai contoh, sebagian besar anak diberi ASI hingga usia 2 tahun, tetapi memperoleh makanan tambahan lebih awal. Kebanyakan masyarakat mengerti tentang kelambu, tetapi jarang yang menggunakanya. Hasil dari penelitian ini memberikan gambaran tentang pelaksanaan MTBS di rumah tangga, dan menjadi dasar bagi pemerintah Malawi dalam menyusun kebijakan tentang kesehatan balita dan rumah tangga terutama dalam menurunkan morbiditas dan mortalitas di Malawi. Penelitian sebelumnya juga dilakukan oleh Agha et al., (2007) tentang pelaksanaan MTBS rumah tangga di Pakistan. Hasil dari penelitian ini menunjukan pentingnya pendidikan dan penyebarluasan key family practices kepada masyarakat

20 pedesaan terutama perempuan. Dari beberapa penelitian tersebut, peneliti lebih memfokuskan pada pelaksanaan MTBS di rumah tangga pada balita secara umum dan belum ada penelitian yang mengarah ke spesifik balita gizi kurang dan gizi buruk. Selain itu, di negara tersebut juga sudah dilaksanakan program MTBS rumah tangga maupun komunitas. Sementara di Indonesia sendiri, khususnya di Bantul, MTBS di rumah tangga belum banyak di kenal dan belum ada penerapan program tersebut. Oleh karena itu penelitian mengenai pelaksanaan MTBS di rumah tangga yang memiliki balita dengan ststus gizi kurang dan gizi buruk diperlukan untuk mengetahui sejauh mana MTBS diterapkan oleh rumah tangga yang memliki balita denngan status gizi kurang dan gizi buruk sehingga nantinya dapat dilakukan tindak lanjut yang dapat membantu dalam penanganan balita dengan gizi kurang dan gizi buruk. Salah satu fasilitas pelayanan kesehatan yang ada di wilayah Banguntapan adalah Puskesmas Banguntapan 1. Puskesmas ini merupakan Puskesmas dengan cakupan pelaksanaan MTBS tertinggi di kabupaten Bantul. Hasil studi pendahuluan didapatkan bahwa lebih dari 90% balita yang berkunjung ke Puskesmas ditatalaksana dengan MTBS. B. Rumusan Masalah Keberhasilan dalam mengurangi kematian balita tidak hanya membutuhkan ketersediaan fasilitas kesehatan dengan tenaga kesehatan yang terlatih dengan baik, tetapi juga membutuhkan partisipasi aktif masyarakat dan keluarga. Masalah

21 kesehatan pada balita terutama berkaitan dengan status gizi dapat dicegah dan ditangani mulai dari level paling bawah yaitu keluarga melalui perilaku keluarga dalam pelaksanaan MTBS pada tatanan rumah tangga. Oleh karena itu, diperlukan penelitian untuk mengetahui bagaimana gambaran pelaksanaan MTBS dalam tatanan rumah tangga pada balita dengan status gizi kurang dan status gizi buruk di wilayah Puskesmas Banguntapan 1 Bantul Yogyakarta. C. Tujuan Penelitian a. Tujuan Umum Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran pelaksanaan MTBS pada rumah tangga yang memiliki balita dengan status gizi kurang dan gizi buruk di wilayah Puskesmas Banguntapan 1 Bantul Yogyakarta. b. Tujuan Khusus Tujuan khusus dari penelitian ini adalah; 1. Memperoleh gambaran pelaksanaan pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan pada balita dengan status gizi kurang dan gizi buruk. 2. Memperoleh gambaran perlaksanaan pemberikan makanan pendamping ASI setelah anak berusia 6 bulan, dan melanjutkan pemberian ASI sampai anak berusia 2 tahun pada balita dengan status gizi kurang dan gizi buruk. 3. Memperoleh gambaran pelaksanaan pemberikan gizi mikro pada anak dengan jumlah yang cukup (vitamin A dan zat besi), baik dalam diet mereka atau melalui suplementasi pada balita dengan status gizi kurang dan gizi buruk.

22 4. Memperoleh gambaran pelaksanaan imunisasi penuh pada anak sesuai jadwal yang telah ada (BCG, DPT, OPV, dan campak) sebelum anak berusia satu tahun pada keluarga dengan status gizi kurang dan gizi buruk. 5. Memperoleh gambaran pelaksanaan keluarga dalam membuang feses (termasuk feses anak-anak) dengan aman, dan mencuci tangan dengan sabun setelah buang air besar, sebelum menyiapkan makanan dan sebelum memberikan makan pada anak pada balita dengan status gizi kurang dan gizi buruk. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan, kajian pustaka dan bahan bacaan bagi peneliti lain dalam perkembangan ilmu pengetahuan terutama dalam bidang program MTBS di Puskesmas dan MTBS pada tatanan rumah tangga. 2. Manfaat praktis Hasil penelitian dapat digunakan sebagai bahan masukan kepada Puskesmas, Dinas Kesehatan dan lintas sector terkait dalam memperoleh gambaran perilaku penerapan MTBS pada tatanan rumah tangga pada balita dengan status gizi kurang dan gizi buruk di wilayah Puskesmas Banguntapan 1 bantul Yogyakrta. Selian itu juga dapat memberikan masukan untuk perencanaan dan pengembangan kebijakan kesehtaan rumah tangga melalui pelayanan MTBS pada tatanan rumah tangga pada balita dengan status gizi kurang dan gizi buruk. 3. Bagi Peneliti

23 Meningkatkan keilmuan penulis dalam penelitian selanjutnya, terutama terkait MTBS pada tatanan rumah tangga pada balita dengan status gizi kurang dan gizi buruk. E. Keaslian Penelitian Penelitian mengenai penerapan MTBS pada tatanan rumah tangga pada balita dengan ststus gizi kurang dan gizi buruk belum pernah dilakukan sebelumya, penelitian terkait MTBS yang pernah dilakukan sebelumnya ialah; 1. Galenso ( 2008) tentang pengetahuan ibu anak balita terhadap tata laksana Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) di Puskesmas Toili III Kabupaten Banggai Propinsi Sulawesi Tengah. Penelitian ini merupakan penelitian observasional kuantitatif dengan rancangan cross sectional, menggunakan metode wawancara terstruktur (kuisioner). Subyek penelitian adalah ibu dari anak balita yang anaknya sakit dan berobat di puskesmas (poli MTBS), variabel yang dilihat adalah pendidikan formal ibu anak balita, konseling petugas MTBS serta pengetahuan ibu anak balita mengenai tatalaksana MTBS. Persamaan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah sama-sama menggunakan rancangan penelitian kuantitatif. Perbedaanya adalah pada variabel penelitian,dimana pada penelitian yang akan dilakukan variabelnya adalah pelaksanaan MTBS dalam tatanan rumah tangga. 2. Penelitian Agha et al. (2007) tentang Eight Key Household Practices of Integrated Management of Childhood Ilnesses (IMCI) Among Mothers of Children Aged 6 to 59 month in Gambat, Sindh, Pakistan. Penelitian ini merupakan penelitian

24 deskriptif. Variabel dalam penelitian ini adalah 5 komponen praktek MTBS dalam seting rumah tangga dan hubunganya dengan malnutrisi sebagai hasil yang diharapkan. Perbedaanya dengan penelitian yang akan dilakukan adalah variabel penelitain dimana penelitian yang akan dilakukan menggunakan 11 komponen MTBS dalam tatanan rumah tangga dan tempat yang akan dilakukan adalah di Puskesmas Banguntapan 1 Bantul Yogyakarta. 3. Penelitian Ebuehi dan Adebajo (2010) tentang Improving Caregiver s Home Management of Common Childhood Illness Trought Community Level Intervention. Penelitian ini merupakan penelitian cross sectional yang membandingkan antara wilayah dengan MTBS pada tatanan rumah tangga/ komunitas dengan wilayah non MTBS tatanan rumah tangga/ komunitas. Penelitian ini dilakukan di Osasun State, Nigeria. Perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah pada variabel penelitian dimana pada penelitian yang akan dilakukan menggunakan satu variabel yaitu pelaksanaan MTBS rumah tangga yang meliputi 5 komponen MTBS komunitas. Tempat penelitian yang akan dilakukan juga berbeda, yaitu di Puskesmas Banguntapan 1 Bantul Yogyakarta dimana di puskesmas tersebut belum menerapkan MTBS komunitas karena di Indonesia memang belum ada yang menggunakan MTBS komunitas.