II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1. Deskripsi Puyuh Puyuh pertama kali di domestikasi di Amerika Serikat dan terus berkembang hingga ke penjuru dunia, dikenal dengan nama Bob White Quail dan Colinus virgianus (Tetty, 2002). Pada tahun 1870, puyuh jepang yang disebut japanese quail (Coturnix coturnix japonica) mulai dikenal dan diternakkan secara meluas di Indonesia (Listyowati dan Roospitasari, 2001). Puyuh kemudian menjadi beragam seperti common quail, stubble quail, pharoah s quail, eastern quail, asiatic quail, japanese, red throad quail, japanese migratory quail, king quail, dan japanese king quail. Cortunix menunjukan subspesies japonica, sementara puyuh bob white (Collinus virgianus) dan california quail (Lophortryx california) berasal dari Amerika utara dan tidak termasuk dalam genus coturnix. Jenis puyuh yang biasa diternakan adalah puyuh jepang (Coturnix coturnix japonica) (Listiyowati dan Roospitasari, 2009). Ciri-ciri dari puyuh (Coturnix coturnix japonica) antara lain mempunyai bentuk badan bulat, panjang badan 19 cm, ekor pendek, kaki berwarna kekuning-kuningan dengan jari 4 buah. Pada puyuh jantan dewasa, kepala dan di atas mata bagian alis berwarna putih berbentuk garis melengkung tebal, bulu punggung berwarna campuran cokelat gelap, abuabu dengan garis putih. Bulu daerah kerongkongan bervariasi cokelat muda sampai cokelat muda kehitam-hitaman. Pada bulu puyuh betina dewasa, warna bulu sama dengan bulu jantan, kecuali bulu badan berwarna merah sawo dengan garis atau belang kehitaman (lurik). Bobot tubuh betina yaitu 125 gram, sedangkan jantan 110 gram (Listyowati dan Roospitasari, 2009).
8 2.1.1 Klasifikasi Puyuh Menurut Nugroho dan Manyun (1981), Klasifikasi puyuh Jepang (Coturnix coturnix japonica) adalah sebagai berikut: Kelas Ordo Subordo Famili Subfamili Genus Spesies : Aves (bangsa burung) : Galiformes : Phasionoidae : Phasianidae : Perdicinae : Coturnix : Coturnix coturnix japonica 2.1.2. Produksi Jenis Puyuh Petelur Berdasarkan Warna Di indonesia dikenal ada tiga macam warna puyuh petelur yang dipelihara oleh para peternak yaitu puyuh petelur berwana bulu coklat, hitam, dan putih. Peternak puyuh di indonesia lebih cenderung memelihara puyuh bulu coklat di bandingkan dengan bulu hitam dan putih, karena populasinya lebih banyak coklat dibandingkan kedua warna lainnya. Berdasarkan jurnal hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Sujana (2012) menunjukan bahwa rataan produksi telur dari ketiga puyuh yang diteliti yaitu puyuh coklat, hitam dan putih didapatkan hasil bahwa rataan produksi telur paling tinggi dimiliki oleh puyuh petelur berwana bulu hitam (76,16% ± 12,82), selanjutnya berturut-turut diikuti oleh puyuh warna bulu coklat (63,41 ± 10,14), dan puyuh warna bulu putih (61,23% ± 12,76). Sujana (2012) juga menunjukkan bahwa rataan bobot telur terbesar dimiliki oleh puyuh petelur dengan warna bulu putih (11,35 g ± 1,13), kemudian puyuh petelur warna bulu hitam (10,99 g ±
9 0,85), dan puyuh petelur warna bulu coklat (10,69 g ± 0,68). Dengan demikian puyuh dengan warna bulu hitamlah yang memiliki produktivitas telur yang paling baik kemudian disusul oleh puyuh bulu coklat lalu puyuh bulu putih yang memiliki produktivitas telur paling rendah, sedangkan untuk bobot telur rataan tertinggi dimiliki puyuh warna bulu putih, kemudian disusul hitam, dan coklat. 2.2. Definisi Persilangan Persilangan atau Pemuliaan ternak adalah usaha jangka panjang dengan suatu tantangan utama yaitu memperkirakan ternak macam apa yang menjadi permintaan di masa mendatang serta merencanakan untuk menghasilkan ternakternak yang diharapkan tersebut. Peran pemuliaan dalam kegiatan produksi ternak sangat penting diantaranya untuk menghasilkan ternak-ternak yang efisien dan adaptif terhadap lingkungan. Produksi ternak yang efisien bergantung pada keberhasilan memadu sistem managemen, makanan, kontrol penyakit dan perbaikan genetik (Bandiati, 2007). Noor (1996) juga mengatakan bahwa komponen yang harus diperhatikan dalam program pemuliaan untuk negara berkembang antara lain adalah peran ternak, tujuan pemuliaan, recording serta membangun infrastruktur. Pola pengembangbiakan ternak atau pola breeding sangat berpengaruh terhadap produktivitas yang dihasilkan suatu komoditas ternak. Pola pengembangbiakan ternak (pola breeding) adalah pola pemeliharaan ternak jantan maupun betina dalam rangka melakukan program seleksi, dengan mengatur lama pemeliharaan atau penggunaan ternak baik jantan maupun betina sedemikian rupa sehingga diperoleh manfaat dari seleksi setinggi mungkin.
10 Tujuan utama persilangan adalah menggabungkan dua sifat atau lebih yang berbeda yang semua terdapat dalam dua bangsa ternak kedalam satu bangsa persilangan. Ternak hasil persilangan kemudian dapat dikembangkan untuk menjadi bangsa ternak yang baru (Hardjosubroto, 1994) Penelitian yang telah dilakukan adalah menyilangkan puyuh petelur jantan warna bulu coklat dengan puyuh petelur betina warna bulu coklat. Persilangan ini diharapkan akan menghasilkan generasi yang baik dari tetuanya dilihat dari jurnal hasil penelitian Sujana (2012) bahwa puyuh petelur warna bulu coklat dan warna bulu hitam memiliki produktivitas yang tinggi di bandingkan dengan puyuh petelur warna bulu putih. 2.2.1. Inbreeding (perkawinan sedarah) Warwick (1984) mengemukakan Inbreeding adalah perkawinan individu yang lebih berhubungan erat dibanding para anggota rerata suatu keturunan atau populasi. Perkawinan tertutup meningkatkan homozygositas dan konsekuensi genetik dari perkawinan tertutup yang muncul secara langsung dari homozygositas yang ditingkatkan. Hal tersebut menegaskan bahwa Inbreeding (perkawinan tertutup) adalah perkawinan antara saudara satu keturunan yang secara langsung meningkatkan Homozigositas. Perkawinan ternak yang jumlah populasinya relatif kecil maka sering terjadi perkawinan antar bapak dengan anak, anak dengan anak, kakek dengan cucu dan sebagainya. Nampaknya keadaan ini tak bisa dihindari sehingga dengan meningkatnya intensitas kawin antar keluarga atau inbreeding, akan diikuti pula oleh peningkatan koefisien inbreeding. Inbreeding yang terjadi agak memacu munculnya sifat sifat resesif yang di khawatirkan akan menurunkan kualitas ternak karena peningkatan koefisien
11 inbreeding akan di ikuti oleh penurunan kualitas produksi atau bobot badan. Makin besar koefisien inbreedingnya maka makin besar pula penurunan bobot badan, dan sifat sifat lainnya (Syamsuddin, 1985). 2.2.2. Outbreeding (perkawinan tidak sedarah) Outbreeding adalah sistem yang paling banyak digunakan dalam kelompok ternak bibit dari ternak besar di banyak negara di dunia, hampir digunakan pada semua kelompok ternak niaga bila telah diputuskan untuk menggunakan satu bangsa tunggal dari pada suatu program perkawinan silang (Warwick, 1990). Outbreeding yang dikombinasikan dengan pemilihan adalah suatu teknik sangat bermanfaat dalam perbaikan keturunan yang mencakup kepada ciri-ciri yang turun temurun yang sangat bermanfaat (Warwick, 1990). Outbreeding merupakan perkawinan ternak-ternak yang tidak memiliki kekerabatan, dan dikawinkan untuk meendapatkan generasi yang lebih baik dari tetuanya (Mukherjee, 1980). Pane (1980) mengatakan bahwa Istilah Outbreeding sebenarnya kebalikan dari Inbreeding. Outbreeding adalah perkawinan ternak yang hubungan keluarganya kurang dari hubungan kekeluargaan rata-rata ternak dari mana mereka berasal, atau untuk mudahnya dari ternak yang tidak mempunyai leluhur bersama. 2.3. Pembentukan Telur Pembentukan telur dimulai setelah ovulasi ovum kemudian masuk ke dalam infundibulum, dibagian ini terjadi pertemuan dengan sel jantan, setelah itu
12 diteruskan ke magnum (Rasyaf, 1992). Lebih lanjut Nalbandov, (1990) menuliskan bahwa disini telur menerima lapisan albumen. Sekresi albumen pada magnum yang dikontrol oleh dua hormon. Hormon estrogen yang fungsi utamanya menyebabkan perkembangan anatomi dan perkembangan kelenjar seluruh oviduk, tetapi estrogen saja tidak dapat menyebabkan pembentukan calon albumen dalam kelenjar, atau sekresi albumen sendiri ke dalam lumen magnum. Hormon yang kedua dibutuhkan untuk kepentingan kedua-duanya, baik pembentukan atau sekresi albumen. Androgen dan progesteron yang kedua-duanya beraksi terhadap magnum yang berkembang karena estrogen, dapat menyebabkan pertumbuhan granula albumen dan pelepasan granula ini ke dalam lumen. Pertumbuhan magnum yang di prakarsai oleh estrogen dan pembentukan granula albumen yang disebabkan baik androgen ataupun progesteron, satu peristiwa lagi masih tertinggal yaitu sekresi albumen kedalam lumen. Hal ini biasanya terpicu oleh adanya benda asing di magnum, apakah itu ovum ataukah benda asing yang berada dalam magnum. Setelah mendapat albumen dalam perjalanan di magnum, telur bergerak ke isthmus, disini disekersikan kerabang lunak. Bagian oviduk ini secara histologis berbeda dengan magnum tetapi dikontrol oleh hormon yang sama, yang berfungsi dengan cara yang sama dan dalam rangkaian tahap yang sama, seperti yang terjadi pada magnum. James Blakely dan David (1985), mengemukakan di daerah isthmus mendapat pelapisan membran yaitu membran luar dan membran dalam, dalam keadaan normal masing-masing membran menempel, kecuali pada suatu tempat dimana membran tersebut berpisah yaitu pada ujung tumpul telur. Perpisahan kedua membran tersebut membentuk suatu rongga udara. Telur tinggal di isthmus
13 dan setelah menerima kerabang lunak dan air, dibagian ini ditambahkan pula Natrium, Kalsium dan garam. Telur tersebut bergerak ke kelenjar kerabang atau yang dinamakan pula uterus, dan kerabang kapur disekresikan menyelubungi (Nalbandov, 1990). Dalam kondisi normal telur dibentuk bagian tumpul terlebih dahulu. Jika induk tidak terganggu pada saat bertelur, sebagian besar telur akan dikeluarkan dengan ujung tumpul lebih dulu. Hal ini tidak diketahui secara pasti sebabnya, tetapi diketahui bahwa sesaat sebelum dikeluarkan, telur diputar secara horisontal (tidak ujung ke ujung), 180 derajat sesaat sebelum telur itu dikeluarkan (James Blakely dan David, 1985). 2.4. Karakteristik Telur Puyuh Pada dasarnya telur adalah bakal calon individu baru yang dihasilkan dari individu betina. Bila terjadi pembuahan maka telur akan berkembang menjadi embrio dan selanjutnya terbentuk individu baru setelah lahir atau menetas. Istilah telur merujuk pada sel telur yang berkembang pada saluran reproduksi unggas betina. Telur memiliki nutrisi yang komplit sehingga selanjutnya telur diproduksi untuk konsumsi manusia. Pada masa sekarang ini, kebanyakan telur yang dikonsumsi oleh masyarakat berasal dari unggas yang diternakkan. Bahkan telah lama berkembang teknologi peternakan yang menghasilkan ayam yang hanya bertelur dan selanjutnya menjadi industri telur. Telur yang biasa dikonsumsi saat ini berasal dari ayam-ayam khusus yang selalu bertelur, yang disebut dengan ayam ras petelur. Selain telur ayam ras, masyarakat Indonesia juga telah mengkonsumsi telur puyuh yang berukuran lebih kecil dari telur ayam namun memiliki protein yang cukup tinggi. Industri telur konsumsi di Indonesia
14 berkembang cukup bagus karena banyaknya olahan olahan telur puyuh yang dijual di berbagai macam tempat makan. Telur unggas lainnya juga bisa menghasilkan telur baik yang dibuahi maupun yang tidak dan dijadikan bahan makanan bagi manusia dengan tingkat kualitas yang relatif sama (Listyowati dkk, 1997). 2.5. Kuatilas Telur Penentuan dan pengukuran kualitas telur mencakup dua hal yakni kualitas eksterior dan interior. Kualitas Eksterior meliputi bobot telur, bentuk serta ukuran telur (shape index) tebal kerabang atau keretakan, warna kerabang, kebersihan yang termasuk ke dalam penilaian hatching egg, sedangkan kualitas interior meliputi nilai haugh unit (HU), indeks putih telur, indeks kuning telur dan warna kuning telur (Stadelman and Cotterill, 1995). Kualitas telur ditentukan oleh kondisi telurnya yang terdiri dari keutuhan telur, bentuk telur, kebersihan telur, dan kekuatan kerabang. Kualitas kerabang menjadi penentu utama dalam menjaga kualitas telur agar tidak retak (Yuwanta, 2010) 2.5.1. Bobot Telur Tetas Butcher, dkk. (2004), menyatakan bahwa selain mempengaruhi daya tetas, bobot telur juga mempengaruhi bobot tetas, dimana bobot telur tetas tinggi akan menghasilkan bobot tetas yang tinggi dan sebaliknya. Gillespie (1998), menyatakan bahwa ukuran besar telur berpengaruh pada ukuran besar anak yang baru menetas, dan pengaruhnya tidak terlihat pada anak yang berumur 35 hari.
15 Berat telur puyuh bervariasi yakni antara 10-15 gram. Berat telur puyuh yang terberat adalah 10,8 gram pada periode pertelur 28 minggu (Nugroho, 1990). Telur yang dihasilkan oleh induk yang masih muda biasanya lebih ringan dan ukurannya lebih kecil, dan memerlukan waktu relatif lebih lama untuk mencapai standar berat normal dari pada induk yang lebih tua (Sudaryani, 1996). Bobot telur ternyata dapat digunakan sebagai indikator bobot tetas, dimana telur yang lebih berat akan menghasilkan DOQ (Day One Quail) yang lebih berat. Telur yang mempunyai berat lebih besar akan menghasilkan bobot tetas yang lebih besar dibandingkan dengan telur yang kecil, tetapi telur telur yang besar akan menetas lebih lambat. Bobot telur dengan bobot tetas mempunyai hubungan korelasi yang positif (Nugroho, 1990). Menurut North (1984) bobot telur berangsur-angsur meningkat sejalan dengan periode bertelur. Sarwono (1994) menegaskan bahwa meningkat sampai umur induk mencapai dua bulan, lalu konstan dan akhirnya turun kembali. Unggas yang mengalami dewasa kelamin lebih cepat akan menghasilkan bobot telur yang lebih kecil. Nesheim dkk., (1979) menyatakan bahwa unggas yang masih kecil dan cepat dewasa menghasilkan telur dengan bobot kecil. 2.5.2. Bentuk Telur Tetas (Shape Index) Shape index atau bentuk telur merupakan perbandingan antara lebar dan panjang dalam bentuk persen (Sharma dan Vohra, 1980). Menurut Jull (1977) shape index merupakan sifat yang diwariskan sehingga bentuk telur setiap unggas memiliki bentuk khas sesuai dengan bentuk dan besar alat reproduksinya. Faktor-faktor yang berperan dalam membentuk telur antara lain jumlah albumen yang disekresikan dalam oviduk, ukuran lumen dari isthmus, aktivitas
16 serta kekuatan otot dinding isthmus dan bagian bagian lain yang dilaluinya serta kemungkinan terjadinya beberapa perubahan di dalam uterus (Jull, 1977). Ensminger (1992) menegaskan bahwa index telur dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain tekanan otot saluran oviduk, volume albumen, ukuran isthmus, jenis, keturunan, periode awal bertelur, dan fase produksi telur. Dikenal ada 3 bentuk telur unggas yaitu bulat, lonjong dan oval atau normal. Bentuk telur yang dihasilkan oleh setiap induk akan mempunyai bentuk yang khas, hal ini disebabkan bentuk telur merupakan salah satu faktor yang diturunkan dari induk kepada anaknya. Bentuk telur ditentukan dengan indeks bentuk telur yaitu dengan cara membagi lebar telur dengan panjang telur dikali 100 (Suharno, 1994). Bentuk telur puyuh lebih bulat dari pada telur ayam ras. Indeks bentuk telur puyuh adalah 79,2 sedangkan indeks bentuk telur ayam ras sebesar 73,6 (Syamsir,1993). Indeks bentuk telur yaitu perbandingan antara diameter panjang telur dibagi dengan diameter lebar telur dan dapat dilihat hasilnya bahwa bentuk telur tersebut normal lonjong atau oval (Yuwanta, 2004). 2.5.3. Hatching Egg Puyuh Hatching egg merupakan persentase telur yang layak atau memenuhi syarat untuk ditetaskan. Telur yang memenuhi syarat untuk ditetaskan antara lain memiliki bobot berkisar 10 13 gram, memiliki warna terang atau tidak gelap, telur tidak retak dan tidak kotor (Listiyowati dan Roospitasari, 1992). Hatching egg dalam proses breeding sangatlah penting, karena dengan dilakukannya hatching egg maka daya tetas pun diperkirakan meningkat karena telur-telur yang ditetaskan sudah layak untuk ditetaskan.
17 2.5.4. Fertilitas Puyuh Fertilitas merupakan persentase telur yang fertil dari seluruh telur yang ditetaskan. Hasil penelitian yang melaporkan bahwa fertilitas puyuh persilangan(86,33%) lebih baik dari puyuh asli yang tidak disilangkan dengan rataan fertilitas (79,87%) (Kaharuddin dan Kususiyah, 2006). Sex rasio berpengaruh juga terhadap fertilitas karena semakin sempit imbangan jantan dan betina berarti kesempatan terjadi perkawinan semakin besar, sehingga angka fertilitas semakin tinggi dan sebaliknya. Nilai fertilitas tertinggi sebesar 88,67 % pada imbangan 1 : 2 kemudian menurun secara berurutan pada imbangan 1 : 3, 1 : 4, dan 1 : 5 dengan nilai fertilitas terendah 72 %. Penurunan nilai fertilitas yang signifikan diduga disebabkan turunnya frekuensi perkawinan akibat semakin banyak jumlah betina. Puyuh jantan tidak mampu mengawini seluruh puyuh betina, sehingga perkawinan kurang efektif. Listyowati dan Roospitasari (2009) menyatakan bila betina terlalu banyak maka dikhawatirkan banyak telur yang kosong (infertil), karena induk jantan tidak dapat mengawini seluruh induk betina. Selain itu, populasi yang terlalu banyak, tingkat stress dan daya kompetisi semakin tinggi. Hasil penelitian Woodard (1973) juga menunjukkan bahwa pada imbangan 1 : 5 mencapai fertilitas 64,95 % dan 1 : 6 mencapai fertilitas 47,1 %. Fertilitas dipengaruhi banyak faktor, imbangan jantan-betina adalah faktor yang sangatpenting karena berhubungan langsung dengan proses perkawinan. Listyowati dan Roospitasari (2009) mengemukakan bahwa dalam pembibitan puyuh sebaiknya menggunakan perbandingan satu jantan dan 2-4 ekor betina. Perbandingan tersebut, fertilitas telur yang dihasilkan sekitar 85 %. Kaharuddin dan Kususiyah (2006) menambahkan bahwa fertilitas burung puyuh di Jawa mencapai 68-78% dengan
18 imbangan jantan-betina 1 : 4. Imbangan jantan-betina yang masih dapat dikategorikan baik adalah hingga imbangan 1 : 4, karena pada imbangan 1 : 5 mengalami penurunan yang signifikan dibandingkan imbangan 1 : 2. Banyak faktor yang mempengaruhi fertilitas, selain sex rasio, lama penggabungan antara puyuh jantan dan betina juga berpengaruh terhadap fertilitas telur yang ditetaskan. Perhitungan Fertilitas dapat dilakukan dengan cara menghitung persentase telur fertil dari sejumlah telur yang digunakan dalam suatu periode penetasan (Suprijatna, dkk., 2005).