TINJAUAN PUSTAKA. obat tradisional, yaitu spesies tumbuhan yang diketahui atau dipercayai

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. terhadap pelayanan kesehatan yang bermutu adil dan merata baik di pusat daerah,

TINJAUAN PUSTAKA. rendah, hutan gambut pada ketinggian mdpl, hutan batu kapur, hutan

A. Guntur H. Subbagian Alergi-Imunologi Tropik Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fak. Kedokteran UNS Solo

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. baik dan lancar. Oleh karena itu semua orang setuju untuk menjaga tubuhnya

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. dari pemanfaatan yang tidak banyak mempengaruhi kondisi ekosistem hutan sampai kepada

TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Lokasi

Biodiversitas adalah berbagai variasi yang ada di antara makhluk hidup dan lingkungannya Sekitar 59% daratan Indonesia merupakan hutan hujan tropis

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan paling tinggi di dunia. Keanekaragaman tumbuhan merupakan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TANAMAN BERKHASIAT OBAT. By : Fitri Rahma Yenti, S.Farm, Apt

Obat tradisional 11/1/2011

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN... TENTANG PENGELOMPOKAN OBAT BAHAN ALAM

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Hutan adalah suatu asosiasi kehidupan, baik tumbuh-tumbuhan (flora)

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. apoteker Indonesia, masih belum dapat menerima jamu dan obat herbal terstandar

PENDAHULUAN. Masyarakat kita sudah sejak lama mengenal tanaman obat. Saat ini

I. PENDAHULUAN. sepenuhnya digali, dimanfaatkan, atau bahkan dikembangkan. Tumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia mempunyai banyak potensi alam yang dapat dikembangkan untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. kepentingan masyarakat. Baru sekitar 1200 species tumbuhan obat yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. fungsi pokok sebagai hutan konservasi yaitu kawasan pelestarian alam untuk

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

PERATURAN OBAT ASLI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KONSUMSI TUMBUHAN OBAT DARI HUTAN KONSERVASI DI KABUPATEN KARO, SUMATERA UTARA

PENYULUHAN CPOTB DAN PERSIAPAN PENDIRIAN IKOT DI KABUPATEN GARUT

Resep Alam, Warisan Nenek Moyang. (Jamu untuk Remaja, Dewasa, dan Anak-anak)

pengolahan, kecuali pengeringan. Standarisasi simplisia dibutuhkan karena kandungan kimia tanaman obat sangat bervariasi tergantung banyak faktor

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM MENDUKUNG PENGEMBANGAN PRODUK HERBAL BERBASIS RISET

I. PENDAHULUAN. Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan

julukan live laboratory. Sekitar jenis tanaman obat dimiliki Indonesia. Dengan kekayaan flora tersebut, tentu Indonesia memiliki potensi untuk

BAB I PENDAHULUAN. antara lain jamu, obat herbal terstandar dan fitofarmaka. Jamu sebagai obat bahan alam,

BAB I PENDAHULUAN. hayati sebagai sumber bahan pangan dan obat-obatan (Kinho et al., 2011, h. 1).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan merupakan modal awal manusia untuk dapat melakukan

II. TINJAUAN PUSTAKA. pada tumbuhan lain yang lebih besar dan tinggi untuk mendapatkan cahaya

I. PENDAHULUAN. Meksiko, merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati terkaya

1. Pengantar A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. alam yang sangat melimpah, meliputi flora dan fauna beserta sumber daya

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2015 TENTANG

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

TINJAUAN PUSTAKA. Hubungan Masyarakat Lokal dengan Kearifan Lokal. Kearifan lokal dapat dipahami sebagai usaha manusia dengan

ANALISIS STRATEGI PEMASARAN OBAT HERBAL BIOMUNOS PADA PT. BIOFARMAKA INDONESIA, BOGOR

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Dalam pandangan al-qur an, mempelajari dan mengamati fenomena

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan pasal 1 ayat (6) menyatakan bahwa buah lokal adalah semua jenis buahbuahan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. menyerang masyarakat disebabkan oleh berbagai miroba (Sintia, 2013).

I. PENDAHULUAN. tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan, dan dapat

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

Deskripsi KHDTK Aek Nauli Sumatera Utara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Mengenal Perbedaan Logo Jamu, Obat Herbal Terstandar dan Fitofarmaka Serta Obat Untuk Diabetes

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Dr. Ir. H. NAHARDI, MM. Kepala Dinas Kehutanan Daerah Provinsi Sulawesi Tengah

Studi Etnobotani Dan Etnofarmakologi Umbi Binahong (Anredera cordifolia (Ten) Steenis)

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

PEMASYARAKATAN TANAMAN OBAT KELUARGA TOGA UNTUK MENDUKUNG PENGGUNAAN SENDIRI SELF MEDICATION. Drs. WAKIDI,Msi, Apt.

KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN DAN KEHUTANAN NOMOR: 453/Kpts/TN.260/9/2000 TENTANG OBAT ALAMI UNTUK HEWAN MENTERI PERTANIAN DAN KEHUTANAN,

KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

Lampiran 3. Interpretasi dari Korelasi Peraturan Perundangan dengan Nilai Konservasi Tinggi

BAB I PENDAHULUAN. Sejak zaman nenek moyang sampai sekarang, masyarakat banyak

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan dalam kehidupan sehari-hari. Studi etnobotani tidak hanya pada

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, NOMOR KEP.65/MEN/2009 TENTANG

I. PENDAHULUAN. Primata merupakan salah satu satwa yang memiliki peranan penting di alam

PENDAHULUAN Latar Belakang

A. LATAR BELAKANG MASALAH

PENUNTUN SKILLS LAB BLOK 4.3 ELEKTIF Topik 3A. OBAT TRADISIONAL. (Seri: Ketrampilan Komunikasi)

KEPUTUSAN BUPATI BULELENG NOMOR : 523/ 630/ HK / 2011

BAB I PENDAHULUAN. hasil hutan yang diselenggarakan secara terpadu. Hutan adalah suatu kesatuan

Ekologi Hidupan Liar HUTAN. Mengapa Mempelajari Hidupan Liar? PENGERTIAN 3/25/2014. Hidupan liar?

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. penunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman Nasional Kerinci Seblat

BAB I PENDAHULUAN. hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan

PENDAHULUAN. termasuk ekosistem terkaya di dunia sehubungan dengan keanekaan hidupan

BAB I PENDAHULUAN. asli (alami) maupun perpaduan hasil buatan manusia yang dimanfaatkan untuk

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

upaya penyediaan bahan baku untuk industri obat tradisional sebagian besar berasal dari tumbuhtumbuhan yang tumbuh di alam liar atau dibudidayakan

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

Soal Kearifan Budaya Lokal

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

BAB I PENDAHULUAN. dijumpai disetiap tempat dan mempunyai posisi penting sebagai salah satu

Transkripsi:

11 TINJAUAN PUSTAKA Tumbuhan Obat Tumbuhan obat adalah seluruh spesies tumbuhan obat yang diketahui atau dipercaya mempunyai khasiat obat, yang dikelompokan menjadi: (1) tumbuhan obat tradisional, yaitu spesies tumbuhan yang diketahui atau dipercayai masyarakat mempunyai khasiat obat dan telah digunakan sebagai bahan baku obat tradisional, (2) tumbuhan obat modern, yaitu spesies tumbuhan yang secara ilmiah telah dibuktikan mengandung senyawa atau bahan bioaktif yang berkhasiat obat dan pengunaannya dapat dipertanggungjawabkan secara medis dan, (3) tumbuhan obat potensial, yaitu spesies tumbuhan yang diduga mengandung senyawa atau bahan bioaktif yang berkhasiat obat, tetapi belum dibuktikan secara ilmiah atau penggunaannya sebagai bahan obat tradisional sulit ditelusuri (Zuhud et al, 1994). Menurut UU No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan, obat tradisional adalah bahan atau ramuan berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman. Obat tradisional yang digunakan masyarakat yang saat ini disebut Herbal Medicine atau Fitofarmaka yang perlu diteliti dan dikembangkan. Menurut Keputusan Menkes RI No. 761 tahun 1992, Fitofarmaka adalah sediaan obat yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya, bahan baku terdiri dari simplisia atau sediaan galenik yang memenuhi persyaratan yang berlaku. Pemilihan ini berdasarkan atas, bahan bakunya relatif mudah diperoleh, didasarkan pada pola penyakit di Indonesia, perkiraan manfaatnya terhadap penyakit tertentu cukup besar, memiliki rasio resiko dan kegunaan yang

12 menguntungkan penderita, dan merupakan satu-satunya alternatif pengobatan (Zein, 2005). Menurut Mursito (2003), ramuan obat yang berasal dari alam, terutama yang berasal dari alam dikelompokkan menjadi tiga kategori berdasarkan besar kecilnya dukungan ilmiah serta teknologi proses pembuatan ramuan, yaitu: 1. Jamu Jamu merupakan ramuan obat yang berasal dari tanaman yang diproses secara sederhana. Khasiat jamu masih berdasarkan pengalaman dari nenenk moyang dan belum di dukung oleh data ilmiah. 2. Obat ekstrak alam Obat ekstrak alam merupakan ramuan obat yang berasal dari tanaman yang disajikan setelah melalui berbagai proses ekstraksi. Pengujiannya dilakukan melalui binatang percobaan. 3. Obat fitofarmaka Obat fitofarmaka merupakan ramuan obat dari tanaman yang disajikan setelah melalui berbagai proses. Khasiat obat tersebut telah dibuktikan melalui proses percobaan pada penderita penyakit mengikuti kaidah percobaan klinis. Pemanfaatan Tumbuhan Obat Pengetahuan penggunaan tumbuhan sebagai obat telah diketahui sejak lama di Indonesia, bukti adanya penggunaan bahan alam terutama tumbuhan sebagai obat pada masa lalu dapat ditemukan dalam naskah lama pada daun lontar Husodo (Jawa), Usada (Bali), Lontarak pabbura (Sulawesi Selatan), dan dokumen lain seperti Serat Primbon Jambi, Serat racikan Boreh Wulang Dalem,

13 dan juga pada dinding Candi Borobudur dengan adanya relief tumbuhan yang menggambarkan orang sedang meracik obat (jamu) dengan tumbuhan sebagai bahan bakunya (Zuraida et al. 2009). Potensi tanaman obat yang ada di hutan dan kebun/pekarangan sangatlah besar, baik industri obat tradisional meupun fitofarmaka memanfaatkannya sebagai penyedia bahan baku obat. Menurut Zuhud (2008), dilihat dari segi habitusnya, spesies-spesies tumbuhan obat yang terdapat di berbagai formasi hutan Indonesia dapat dikelompokkan kedalam 7 (tujuh) macam yaitu : habitat bambu, herba, liana, pemanjat, perdu, pohon dan semak. Dari ke tujuh habitat ini, spesies tumbuhan obat yang termasuk kedalam habitat pohon mempunyai jumlah spesies dan persentase yang lebih tinggi dibandingkan habitat lainnya, yaitu sebanyak 717 spesies (40,58%). Menurut Mursito (2003), pemanfaatan tanaman obat dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya adalah sebagai beikut: 1. Bahan baku pengobatan sendiri (self medication) Pengobatan ini dapat dilakukan di setiap rumah tangga. Tanaman yang digunakan biasanya dimanfaatkan dalam bentuk segar. Dalam upaya untuk meningkatkan dan memasyarakatkan dilakukan cara penanaman tanaman obat keluarga (toga). 2. Bahan baku obat tradisional Obat-obatan yang berbahan baku tanaman maupun mineral secara turuntemurun digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman. Tanaman obat ini biasa dimanfaatkan dalam keadaan sudah dikeringkan atau dikenal dengan istilah simplisia.

14 3. Bahan baku fitofarmaka Obat-obatan yang menggunakan tanaman obat yang tela memenuhi persyaratan yang berlaku di Indonesia. Tanaman obat yang sering digunakan dalam keadaan yang sudah dikeringkan. Persyaratan tanaman obat yang boleh digunakan sebagai bahan baku fitofarmaka antara lain sudah mempunyai data uji praklinis maupun klinis. Kondisi Umum Cagar Alam Dolok Saut Berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1990, cagar alam adalah kawasan suaka alam yang keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlansung secara alami. Mengenai pemanfaatan cagar alam diatur juga dalam Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, yaitu cagar alam dapat dimanfaatkan untuk kegiatan : a. penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan; b. pendidikan dan peningkatan kesadartahuan konservasi alam; c. penyerapan dan/atau penyimpanan karbon; dan d. pemanfaatan sumber plasma nutfah untuk penunjang budidaya. Cagar Alam Dolok Saut ditetapkan menjadi cagar alam berdasarkan GB. Nomor 36 Tanggal 4 Februari 1922 seluas 39 Ha dan direncanakan sebagai hutan tutupan (lindung) berdasarkan Surat Nomor 637/70 tanggal 28 Juli 1922. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Daerah Sumatera Utara tahun 2003, kawasan hutan Dolok Saut tetap dipertahankan sebagai kawasan suaka alam. Dan berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan nomor 44 tahun 2005 tentang

15 Penunjukan Luas Kawasan Hutan Propinsi Sumatera Utara, CA Dolok Saut juga tetap dipertahankan sebagai kawasan suaka alam. Kawasan CA. Dolok Saut berbatasan langsung dengan kawasan hutan lindung Dolok Saut register 17. Pada bagian barat batas cagar alam dengan hutan lindung Aek Raut. Letak geografis CA. Dolok saut berada di koordinat 99 o 11 10 Bujur Timur dan 01 o 54 45 Lintang Utara dan pada ketinggian 1.280 s/d 1.360 mdpl. Secara administrasi pemerintah CA. Dolok Saut terletak di Desa Pansur Natolu, Kecamatan Pangaribuan, Kabupaten Tapanuli Utara, Propinsi Sumatera Utara. Penataan batas Cagar Alam Dolok Saut berdasarkan hasil pengukuran langsung di lapangan adalah sepanjang 1,4 km. Berdasarkan informasi dari Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah I Medan dan dari dokumen yang ada di kawasan ini belum dilakukan penataan batas. Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kehutanan Tapanuli Utara bahwa proses verbal tentang pengumuman batas-batas hutan yang telah dibuat diatur berdasarkan kebulatan mufakat pada tangal 25 oktober 1935 dengan catatan bahwa terdapat 5 buah pal yaitu NM. 5, namun dokumen tersebut saat ini belum ditemukan.