FORMULASI SABUN PADAT BENTONIT DENGAN VARIASI KONSENTRASI ASAM STEARAT DAN NATRIUM LAURIL SULFAT

dokumen-dokumen yang mirip
REAKSI SAPONIFIKASI PADA LEMAK

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA FORMULASI SABUN PADAT KAOLIN PENYUCI NAJIS MUGHALLADZAH DENGAN VARIASI KONSENTRASI MINYAK KELAPA DAN ASAM STEARAT

SABUN MANDI. Disusun Oleh : Nosafarma Muda (M )

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sabun adalah senyawa garam dari asam-asam lemak tinggi, seperti

C3H5 (COOR)3 + 3 NaOH C3H5(OH)3 + 3 RCOONa

HASIL DAN PEMBAHASAN

Lemak dan minyak adalah trigliserida atau triasil gliserol, dengan rumus umum : O R' O C

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 SABUN TRANSPARAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Memiliki bau amis (fish flavor) akibat terbentuknya trimetil amin dari lesitin.

TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Sabun Transparan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

PERCOBAAN II PENGARUH SURFAKTAN TERHADAP KELARUTAN A. Tujuan 1. Mengetahui dan memahami pengaruh penambahan surfaktan terhadap kelarutan suatu zat 2.

A. Sifat Fisik Kimia Produk

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian Tahap Satu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Penggolongan minyak. Minyak mineral Minyak yang bisa dimakan Minyak atsiri

SKRIPSI KIKI ANDRIANI

Perbandingan aktivitas katalis Ni dan katalis Cu pada reaksi hidrogenasi metil ester untuk pembuatan surfaktan

LAPORAN TUGAS AKHIR PEMBUATAN SABUN TRANSPARAN BEBAS ALKOHOL (ETANOL)

BAB I PENDAHULUAN I- 1. Bab I Pendahuluan

FORMULASI SEDIAAN SABUN MANDI CAIR MINYAK ATSIRI JERUK PURUT (Citrus hystrix DC.) DENGAN KOKAMIDOPROPIL BETAIN SEBAGAI SURFAKTAN SKRIPSI

PEMANFAATAN KULIT KAPUK SEBAGAI SUMBER BASA DALAM PEMBUATAN SABUN LUNAK TRANSPARAN

BAB V PEMBUATAN SABUN TRANSPARAN

TINJAUAN PUSTAKA. Karakteristik Madu

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. sehingga mengakibatkan konsumsi minyak goreng meningkat. Selain itu konsumen

BAB II: METODOLOGI PENELITIAN...25 A. Bahan...25 B. Alat...25 C. Jalannya Penelitian Formula Sabun Cair Bentonit Formulasi Sabun Cair

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PRESENTASI TUGAS AKHIR FINAL PROJECT TK Dosen Pembimbing : Ir. Sri Murwanti, M.T. NIP

OPTIMASI KONSENTRASI KITOSAN MOLEKUL TINGGI DALAM SABUN TRANSPARAN ANTIBAKTERI SKRIPSI NURUL IMAYUNI

Kode Bahan Nama Bahan Kegunaan Per wadah Per bets

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I- 1. Bab I Pendahuluan

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN BAHASAN

B. Struktur Umum dan Tatanama Lemak

HASIL DAN PEMBAHASAN A. ANALISIS GLISEROL HASIL SAMPING BIODIESEL JARAK PAGAR

PENGGUNAAN METODE PERMAINAN TRIOMINO PADA PEMBELAJARAN OPERASI BILANGAN PECAHAN DI KELAS IV SDN KEBUN BUNGA 5 BANJARMASIN TAHUN PELAJARAN 2015/2016

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. RUMUS STRUKTUR DAN NAMA LEMAK B. SIFAT-SIFAT LEMAK DAN MINYAK C. FUNGSI DAN PERAN LEMAK DAN MINYAK

ZAKAT SEBAGAI PENGURANG PAJAK PENGHASILAN MENURUT PENGUSAHA KABUPATEN TANAH LAUT SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Masalah. salah satu syarat sahnya ibadah (Mughniyah, 2002). Selain menggunakan air

TUGAS FISIKA FARMASI TEGANGAN PERMUKAAN

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

PROSES PEMBUATAN SABUN CAIR DARI CAMPURAN MINYAK GORENG BEKAS DAN MINYAK KELAPA

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 11 TINJAUAN PUSTAKA. yang jika disentuh dengan ujung-ujung jari akan terasa berlemak. Ciri khusus dari

PENUNTUN PRAKTIKUM KIMIA DASAR II KI1201

I. PENDAHULUAN. Pasta merupakan produk emulsi minyak dalam air yang tergolong kedalam low fat

I PENDAHULUAN. Bab ini menjelaskan mengenai: (1) Latar Belakang Masalah, (2) Identifikasi

PEMANFAATAN LIMBAH KULIT PISANG SEBAGAI SABUN HERBAL

PEMBAHASAN. I. Definisi

APLIKASI DIETANOLAMIDA DARI ASAM LAURAT MINYAK INTI SAWIT PADA PEMBUATAN SABUN TRANSPARAN ABSTRACT

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Dalam bidang farmasetika, kata larutan sering mengacu pada suatu larutan dengan pembawa air.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

FORMULASI SABUN MANDI CAIR DENGAN LENDIR DAUN LIDAH BUAYA (Aloe vera Linn.)

KELOMPOK 4 : SEDIAAN GEL

Prarancangan Pabrik Asam Stearat dari Minyak Kelapa Sawit Kapasitas Ton/Tahun BAB I PENDAHULUAN

I PENDAHULUAN. mempunyai nilai ekonomi tinggi sehingga pohon ini sering disebut pohon

LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM FARMASI FISIKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA. diesterifikasi dengan gliserol. Masing masing lemak mengandung sejumlah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Kesehatan gigi dan mulut merupakan suatu kondisi yang turut

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

MODEL KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DALAM MENINGKATKAN PELAYANAN IBADAH UMRAH PADA PT AN-NAMIRA ALMA MULIA KOTA SEMARANG

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara. 1.Permono. Ajar Membuat detergen bubuk, Penebar swadaya. Jakarta.

3 METODOLOGI PENELITIAN

FORMULASI SEDIAAN SABUN WAJAH MINYAK ATSIRI KEMANGI

Oleh : Ahmad Abdillah NPM:

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kelapa sawit (Elaeis Guineesis Jacq) merupakan salah satu tanaman perkebunan

Bab IV Hasil dan Pembahasan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Minyak jelantah merupakan minyak goreng yang telah digunakan beberapa kali.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

KIMIA. Sesi HIDROKARBON (BAGIAN II) A. ALKANON (KETON) a. Tata Nama Alkanon

HASIL DAN PEMBAHASAN. dicatat volume pemakaian larutan baku feroamonium sulfat. Pembuatan reagen dan perhitungan dapat dilihat pada lampiran 17.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA FORMULASI SABUN CUCI PIRING DENGAN VARIASI KONSENTRASI KAOLIN-BENTONIT SEBAGAI PENYUCI NAJIS MUGHALLADZAH

KATA PENGANTAR. kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan karunia-nya penulis dapat

PENETAPAN KADAR ALKALI BEBAS PADA SABUN MANDI SEDIAAN PADAT SECARA TITRIMETRI TUGAS AKHIR OLEH: NADYA DWI RIZKY NIM

4 Pembahasan Degumming

HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan (Pembuatan Biodiesel)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorium dengan A. PENENTUAN FORMULA LIPSTIK

FORMULASI DAN EVALUASI SEDIAAN SHAMPOO MAKALAH

EVALUASI MUTU SABUN PADAT TRANSPARAN DARI MINYAK GORENG BEKAS DENGAN PENAMBAHAN SLS (Sodium Lauryl Sulfate) DAN SUKROSA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENGARUH LAMA PENYIMPANAN MARGARIN TERHADAP KADAR ASAM LEMAK BEBAS

PEMBUATAN SABUN PADAT DAN SABUN CAIR DARI MINYAK JARAK

II. TINJAUAN PUSTAKA. sawit kasar (CPO), sedangkan minyak yang diperoleh dari biji buah disebut

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

PELAKSANAAN PENDEKATAN SALINGTEMAS PADA PEMBELAJARAN PENDIDIKAN LINGKUNGAN HIDUP DI SDN KEBUN BUNGA 5 KOTA BANJARMASIN OLEH SALMAN FAUZI

Transkripsi:

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA FORMULASI SABUN PADAT BENTONIT DENGAN VARIASI KONSENTRASI ASAM STEARAT DAN NATRIUM LAURIL SULFAT SKRIPSI MAULIANA 1112102000091 FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI FARMASI JAKARTA JUNI 2016

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA FORMULASI SABUN PADAT BENTONIT DENGAN VARIASI KONSENTRASI ASAM STEARAT DAN NATRIUM LAURIL SULFAT (NLS) SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi MAULIANA 1112102000091 FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI FARMASI JAKARTA JUNI 2016 ii

ABSTRAK Nama : Mauliana Program Studi : Farmasi Judul Skripsi : Formulasi Sabun Padat Bentonit dengan Variasi Konsentrasi Asam Stearat dan Natrium Lauril Sulfat Sabun tanah merupakan alternatif bersuci dari najis mughalladzah yang bersumber dari babi dan air liur anjing. Dalam penelitian ini dilakukan formulasi sabun tanah menggunakan bentonit yang bertujuan untuk mendapatkan formula sabun padat bentonit sebagai penyuci najis mughalladzah. Penelitian ini terdiri dari dua tahap. Tahap pertama dibuat empat formula dengan memvariasikan konsentrasi asam stearat sebagai berikut: yaitu FI (6%); FII (7%); FIII (8%); dan FIV (9%) untuk mendapatkan konsentrasi asam stearat yang menghasilkan kekerasan paling tinggi pada sabun padat bentonit. Tahap kedua dibuat tiga formula dengan memvariasikan konsentrasi NLS sebagai berikut: FA (3%); FB (4%); dan FC (5%). Sabun yang diperoleh dilakukan evaluasi meliputi organoleptik, ph, tinggi dan stabilitas busa, kekerasan serta pengujian syarat mutu sabun mandi menurut SNI meliputi kadar air, jumlah asam lemak, asam lemak bebas/alkali bebas dan minyak mineral untuk formula terpilih. Berdasarkan hasil penelitian, diketahui semakin meningkat konsentrasi asam stearat, maka kekerasan sabun padat bentonit juga meningkat sehingga konsentrasi asam stearat 9% dipilih sebagai konsentrasi asam stearat yang memberikan kekerasan paling tinggi pada sabun padat bentonit. Berdasarkan hasil uji statistik menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi NLS berpengaruh signifikan terhadap sifat fisika kimia sabun, tetapi karakteristik sifat fisika kimia antara formula B dan formula C memiliki kemiripan sehingga formula B dipilih sebagai formula terbaik dengan pertimbangan lebih memudahkan dalam proses pembuatan, lebih aman terhadap kulit dan efisiensi biaya produksi. Hasil uji mutu sabun menurut SNI menunjukkan kadar air dan jumlah asam lemak dari formula B belum memenuhi persyaratan mutu sabun mandi menurut SNI. Kata Kunci: Najis mughalladzah, sabun padat, bentonit, natrium lauril sulfat (NLS), asam stearat vi

ABSTRACT Name : Mauliana Study Program : Pharmacy Title :Formulation of Bentonite Solid Soap by Varying Stearic Acid and Sodium Lauryl Sulfate Concentration Bentonite soap is an alternative Islamic cleansing method of najis almughallazah called samak. The present study is conducted to formulate bentonite soap. The aim of this study is to get a formula bentonite solid soap as Islamic cleansing method of najis al-mughallazah. The study was divided into two steps. The first step, soap were made four formula by varying the concentration of stearic acid as follows: FI (6%); FII (7%); FIII (8%); and FIV (9%) to obtain a concentration of stearic acid that produces the highest hardness in bentonite solid soap. The second step, soap were made three formulas by varying the concentration of NLS as follows: FA (3%); FB (4%); and FC (5%). The soap evaluation including organoleptic test, ph, height and stability of foam, hardness and evaluation of SNI standard including water content, total fatty acids, free fatty acid/free alkali and mineral oil for the selected formula. The results showed that increases of stearic acid concentrations causing the soap harder. The hardest soap was obtained with 9% of stearic acid concentration. The results of statistical analysis showed that increases of NLS concentration have significant effect on soap physicochemical properties, but the characteristic physicochemical of formula B and formula C are similar, so that formula B is selected as the best formula with consideration in the process of making it easier, safe to use on skin and production cost efficiency. The water content and total fatty acids of formula B not qualified the SNI standard. Keywords: Najis al-mughallazah, solid soap, bentonite, sodium lauryl sulfate, stearic acid vii

KATA PENGANTAR بسم هللا الرحمن الرحيم Alhamdulillahirabbil alamin, puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-nya kepada umat manusia, hingga sebahagian kecil dari sebuah perjalanan hidup yang diarungi oleh seorang hamba- Nya tak pernah luput dari pantauan dan perhatian-nya. Penulis persembahkan syukur yang tak terbilang kepada Allah SWT atas kesehatan fisik dan mental yang telah diberikan-nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga tercurah selalu kepada Nabi akhir zaman dan kekasih Allah Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat dan para pengikutnya hingga akhir zaman. Skripsi dengan judul Formulasi Sabun Padat Bentonit dengan Variasi Konsentrasi Asam Stearat dan Natrium Lauril Sulfat ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu syarat menempuh ujian akhir guna mendapatkan gelar Sarjana Farmasi pada Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Selama proses penulisan skripsi ini tidak sedikit kesulitan maupun hambatan yang di hadapi dan dialami penulis, baik yang menyangkut pengaturan waktu, pengerjaan penelitian, maupun pembiayaan dan lain sebagainya. Namun berkat kesungguhan hati dan doa serta kerja keras, dorongan dan bantuan dari berbagai pihak, maka segala kesulitan dan hambatan itu dapat diatasi dengan sebaik-baiknya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Penulis menyadari bahwa tanpa dukungan, bantuan, bimbingan, dan motivasi dari semua pihak, penulisan skripsi ini tidak akan berjalan dengan baik. Maka sudah sepatutnya penulis mengucapkan banyak terimakasih yang sebesarbesarnya dan rasa hormat yang mendalam di tujukan kepada: 1. Ibu Yuni Anggraeni, M. Farm., Apt dan Bapak Dr. M. Yanis Musdja, M. Sc., Apt selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, waktu, tenaga, saran dan dukungan dalam penelitian ini. viii

2. Bapak Dr. H. Arif Sumantri, SKM., M. Kes. selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Ibu Nurmeilis, M.Farm, Apt. selaku ketua Progam Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 4. Bapak dan Ibu dosen Progam Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah banyak memberikan ilmu dan pengetahuannya kepada penulis. 5. Ibu Dr. Azrifitria, M.Si, Apt. selaku dosen penasehat akademik yang telah meluangkan waktunya dan membimbing saya selama menjalankan studi di Progam Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 6. Kedua orang tua tercinta yakni Ayahanda H. Amirudin, SE. dan Ibunda Hj. Januati, S.Pd. yang selalu mendoakan dan memberikan dukungan berupa materi, motivasi, petuah, serta kasih sayang yang tiada hentinya bagi penulis. Munajat doanya disetiap waktu telah memberikan kekuatan lahir dan bathin dalam menjalani proses pendidikan ini. Semoga Allah SWT selalu mengasihi Ayahanda dan Ibunda, semoga saya bisa membahagiakan kalian berdua sampai tua kelak. Dan untuk adik-adik ku Haizir Rizki, Muhammad Sultan dan Radja Anugerah semoga kalian semua bisa dibanggakan dan turut berbakti kepada kedua orang tua kita dan semoga kalian juga dikaruniai kehidupan penuh kasih sayang dan pendidikan yang baik. Dan terimakasih juga kepada bunda Cahi dan adik-adik sepupuku Tining, Indah dan Amoy yang selalu mendoakan penulis agar cepat lulus dan sukses dalam pendidikan. 7. Uyuy, Pepew, Oli, Bella dan Pipit sebagai teman sekaligus sahabat yang selalu memberi semangat, dukungan, masukan dan saran, menguatkan dan kebersamaan kepada penulis selama penelitian hingga skripsi ini terselesaikan. ix

8. Seorang abang yang begitu baik hatinya, yaitu Dwi Abdullah, yang telah banyak membantu penulis selama penelitian berlangsung hingga skripsi ini selesai. Terimakasih atas segala perhatian, dukungan, semangat, waktu, kasih sayang dan nasehat yang diberikan, semoga segala cita-cita kita tercapai dan semoga Allah SWT memudahkan segala urusan kita. 9. Dhana, Aan dan Lena sebagai sahabat karib nan jauh di ujung Pulau Sumatera yang selalu memberi semangat dan dukungan kepada penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini. 10. Sahabat saya tercinta sekaligus my roommate, Nurmala Saidah dan Rizki Amelia, yang telah memberi semangat dan dukungan serta kebersamaan kepada penulis sampai penyusunan skripsi ini selesai. 11. Teman-teman farmasi BD 2012, yang selalu menemani keseharian penulis di bangku perkuliahan dan menyisakan banyak kenangan indah dan suka-duka selama menempuh studi farmasi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Semoga segala cita-cita kita dapat tercapai. Amin. 12. Sahabat seperjuangan dan seperantauan, Amel, Khaira dan Amel yang menjadi teman pertama kali menginjakkan kaki di kota metropolitan ini. Terimakasih atas kebersamaan, pertemanan, suka duka selama di Jakarta hingga saat ini. Semangat buat kita untuk terus menempuh studi walau ke negeri China sekalipun. 13. Teman-teman IMAPA Jakarta yaitu kak Inas, kak Mawaddah, Mulia Sari, kak Ema, dan lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu. 14. Seluruh teman-teman seperjuangan farmasi angkatan 2012, yang telah bersama-sama menjalani keluh kesah,suka duka selama menempuh pendidikan farmasi di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Terimakasih atas kebersamaan dan ilmu yang kalian berikan selama ini dan semoga kita dapat sukses dalam pendidikan kita masing-masing. x

Akhirnya hanya kepada Allah SWT penulis memohon, semoga Allah SWT memberikan balasan yang berlipat ganda kepada semua pihak atas bantuan dan dukungannya kepada penulis. Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat untuk menambah khazanah keilmuan khususnya di bidang farmasi dan menjadi pembelajaran pada generasi berikutnya. Jakarta, 23 Juni 2016 Penulis xi

DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL... ii HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS... iii HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING... iv HALAMAN PENGESAHAN... v ABSTRAK... vi ABSTRACT... vii KATA PENGANTAR... viii HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI... xii DAFTAR ISI... xiii DAFTAR TABEL... xvi DAFTAR GAMBAR... xvii DAFTAR LAMPIRAN... xviii BAB 1 PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang... 1 1.2 Rumusan Masalah... 4 1.3 Tujuan Penelitian... 5 1.4 Manfaat Penelitian... 5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA... 7 2.1 Najis dan Cara Menghilangkannya (Thaharah)... 7 2.2 Standar Thaharah... 10 2.3 Surfaktan... 10 2.3.1 Pengertian Surfaktan... 10 2.3.2 Klasifikasi Surfaktan... 11 2.4 Sabun... 13 2.4.1 Pengertian Sabun... 13 2.4.2 Metode Pembuatan Sabun... 14 2.4.3 Mekanisme Kerja Sabun... 15 2.4.4 Komponen Pembentuk Sabun... 16 2.4.5 Syarat Mutu Sabun Mandi Menurut SNI... 21 2.5 Natrium Lauril Sulfat... 22 xiii

2.6 Bentonit... 21 2.6 Sifat Fisika Kimia Sabun... 23 BAB 3 METODE PENELITIAN... 26 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian... 26 3.2 Alat dan Bahan... 26 3.2.1 Alat... 26 3.2.2 Bahan... 26 3.3 Prosedur Kerja... 27 3.3.1 Formulasi Sabun Padat Bentonit... 27 3.3.2 Evaluasi Sifat Fisika Kimia Sabun... 29 3.3.3 Evaluasi Sabun Menurut SNI... 30 3.3.4 Teknik Analisa Data... 30 BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN... 31 4.1 Formulasi Sabun Padat Bentonit... 31 4.2 Evaluasi Formula Sabun Padat Bentonit Variasi Konsentrasi Asam Stearat... 34 4.2.1 Pengamatan Organoleptik... 34 4.2.2 Pengujian ph... 35 4.2.3 Pengujian Kekerasan Sabun Padat Bentonit... 36 4.3 Evaluasi Formula Sabun Padat Bentonit Variasi Konsentrasi NLS... 37 4.3.1 Pengamatan Organoleptik... 38 4.3.2 Pengujian ph... 38 4.3.3 Pengujian Kekerasan... 39 4.3.4 Pengujian Tinggi dan Stabilitas Busa... 39 4.4 Evaluasi Mutu Sabun Mandi Menurut SNI... 42 4.4.1 Kadar Air... 42 4.4.2 Jumlah Asam Lemak... 43 4.4.3 Alkali Bebas... 44 4.4.4 Minyak Mineral... 44 BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN... 45 5.1 Kesimpulan... 45 5.2 Saran... 45 DAFTAR PUSTAKA... 46 LAMPIRAN... 54 xiv

DAFTAR TABEL Halaman Tabel 2.1 Sifat Fisikokimia Minyak Kelapa... 17 Tabel 2.2 Komposisi Asam Lemak Minyak Kelapa dan Sifat Yang Ditimbulkan Pada Sabun... 18 Tabel 2.3 Syarat Mutu Sabun Mandi... 21 Tabel 4.1 Hasil Evaluasi Sabun Padat Bentonit Variasi Konsentrasi Asam Stearat... 34 Tabel 4.2 Hasil Evaluasi Sabun Padat Bentonit Variasi Konsentrasi NLS... 37 Tabel 4.3 Hasil Evaluasi Organoleptik Sabun Padat Bentonit Variasi Konsentrasi NLS... 38 Tabel 4.4 Hasil Pengujian Mutu Sabun Mandi Menurut SNI... 42 Tabel 5.1 Hasil Evaluasi ph Sabun Padat Bentonit... 78 Tabel 5.2 Hasil Evaluasi Kekerasan Sabun Padat Bentonit... 78 Tabel 5.3 Hasil Evaluasi Tinggi Busa Sabun Padat Bentonit... 78 Tabel 5.4 Hasil Evaluasi Stabilitas Busa Sabun Padat Bentonit... 79 xv

DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 2.1 Struktur surfaktan secara sederhana... 11 Gambar 2.2 Kelompok gugus hidrofil dari surfaktan... 13 Gambar 2.3 Pembentukan lapisan tipis diatas permukaan air... 14 Gambar 2.4 Reaksi saponifikasi trigliserida... 15 Gambar 2.5 Reaksi Netralisasi Asam Lemak... 15 Gambar 5.1 Sabun FI (Asam Stearat 6%)... 83 Gambar 5.2 Sabun FII (Asam Stearat 7%)... 83 Gambar 5.3 Sabun FIII (Asam Stearat 8%)... 84 Gambar 5.4 Sabun FIV (Asam Stearat 9%)... 84 Gambar 5.5 Sabun FA (NLS 3%)... 84 Gambar 5.6 Sabun FB (NLS 4%)... 85 Gambar 5.7 Sabun FC (NLS 5%)... 85 Gambar 5.8 Penetrometer... 86 Gambar 5.9 Vortex... 87 Gambar 5.10 Timbangan Analitik... 87 Gambar 5.11 ph Meter... 87 Gambar 5.12 Cetakan Sabun... 88 xvi

DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Certificate of Analyze Minyak Kelapa... 54 Lampiran 2. Certificate of Analyze Natrium Hidroksida... 55 Lampiran 3. Certificate of Analyze Asam Stearat... 56 Lampiran 4. Certificate of Analyze Cocamidopropyl Betaine... 57 Lampiran 5. Certificate of Analyze Gliserin... 58 Lampiran 6. Certificate of Analyze Sodium Lauryl Sulfate... 59 Lampiran 7. Certificate of Analyze Bentonit... 60 Lampiran 8. Certificate of Analyze Triklosan... 61 Lampiran 9. Hasil Uji Statistik ph Sabun Padat Bentonit (Variasi Konsentrasi Asam Stearat)... 63 Lampiran 10. Hasil Uji Statistik Kekerasan Sabun Padat Bentonit (Variasi Konsentrasi Asam Stearat)... 64 Lampiran 11. Hasil Uji Statistik ph Sabun Padat Bentonit (Variasi Konsentrasi NLS)... 67 Lampiran 12. Hasil Uji Statistik Kekerasan Sabun Padat Bentonit (Variasi Konsentrasi NLS)... 70 Lampiran 13. Hasil Uji Statistik Tinggi Busa Sabun Padat Bentonit... 73 Lampiran 14. Hasil Uji Statistik Stabilitas Busa Sabun Padat Bentonit... 76 Lampiran 15. Hasil Evaluasi... 78 Lampiran 16. Perhitungan Stabilitas Busa Sabun Padat Bentonit... 79 Lampiran 17. Hasil Pengujian Mutu Sabun Mandi Menurut SNI... 81 Lampiran 18. Gambar Sabun... 83 Lampiran 19. Alat-alat... 86 xvii

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Suci dan bersih merupakan fitrah manusia, dan Islam adalah agama fitrah sebab antara manusia dan Islam dibuat oleh Zat yang sama yakni Allah SWT (Al-Faridy, 2009). Secara syar i, menghilangkan hal-hal yang dapat menghalangi kotoran berupa hadas atau najis dengan menggunakan air atau selainnya atau mengangkat hukum najis tersebut dengan tanah dinamakan thaharah atau bersuci (Sumaji, 2008). Bersuci terbagi menjadi dua bagian, yaitu bersuci dari hadas dan bersuci dari najis. Bersuci dari hadas adalah membersihkan bagian tertentu dari badan dengan cara berwudhu, tayamum dan mandi; sedangkan bersuci dari najis adalah membersihkan najis pada badan, pakaian dan tempat (Zurinal dan Aminuddin, 2008). Dewasa ini, teknologi industri pangan dan obat-obatan sangat berkembang pesat. Segala produk olahan makanan dan obat diproduksi dari berbagai bahan dasar. Seiring berkembangnya produk makanan dan obatobatan, tuntutan label halal pada setiap produk yang beredar juga semakin meningkat. Hal ini mengarahkan para peneliti bidang halal untuk meneliti adanya komponen non-halal terutama yang berasal dari babi dan turunannya sehingga mengharuskan peneliti bidang halal untuk bersentuhan langsung dengan berbagai derivat babi (daging, lemak ataupun gelatin babi). Menurut hukum Islam, najis yang ditimbulkan dari derivat babi tersebut adalah najis mughalladzah yakni najis berat berupa jilatan anjing dan semua dari babi, yang mana untuk menyucikannya terlebih dahulu dihilangkan wujud benda najis tersebut menggunakan air sebanyak tujuh kali, yang salah satunya harus menggunakan tanah (Sumaji, 2008). Menurut Fatwa MUI Nomor 4 Tahun 2003 tentang Standarisasi Fatwa Halal, menyatakan bahwa mencuci bekas babi atau anjing dilakukan dengan cara di-sertu (dicuci dengan air sebanyak tujuh kali yang salah satunya dengan tanah/debu atau penggantinya yang memiliki daya pembersih yang sama). Selain peneliti bidang halal, yang kerap 1

2 bersentuhan dengan najis mughalladzah adalah farmasis, bidang kedokteran hewan, pemelihara anjing, dan lain sebagainya. Sabun telah banyak digunakan oleh masyarakat sebagai produk pembersih yang praktis dan menyenangkan. Namun sediaan sabun yang banyak beredar tersebut belum dapat membersihkan najis mughalladzah secara hukum Islam. Oleh karena itu, untuk memudahkan masyarakat Islam dalam bersuci dari najis berat (mughalladzah) di era modern tanpa harus mencari tanah, maka muncullah inovasi untuk memformulasikan tanah dalam bentuk sediaan sabun yang lebih praktis dalam penggunaannya untuk bersuci. Sebagai perbandingan, produk sabun yang mengandung tanah (diperuntukkan untuk menghilangkan najis mughalladzah) telah banyak dipasarkan secara luas di Thailand dan Malaysia dengan nilai penjualan 6-7 kali lipat dibandingkan dengan sabun biasa yang tidak mengandung tanah. Di Thailand, konsentrasi tanah (clay) yang digunakan dalam sabun berada pada rentang konsentrasi 0,05-95% dan telah mendapat persetujuan (Fatwa) dari Komite Islam Bangkok untuk digunakan sebagai penyuci najis sesuai dengan peraturan Islam (Dahlan, 2010). Hal ini tentunya menarik pihak lain untuk berinvestasi memproduksi formula sabun tanah yang optimal untuk pengembangan produksi secara skala industri (Anggraeni, 2014). Dengan demikian, diharapkan industri Indonesia juga dapat memproduksi sendiri sabun tanah sebagai penyuci najis mughalladzah tersebut tanpa harus mengimpor produk sabun thaharah dari negara lain. Di Indonesia, sabun tanah sebagai alternatif untuk menyucikan diri dari najis mughalladzah sudah pernah diformulasikan oleh beberapa peneliti dalam bentuk sabun padat dan sabun cair, diantaranya sabun padat An-Mugh oleh mahasiswa kedokteran hewan IPB yang telah beredar di pasaran dan sabun padat serta sabun cair bentonit oleh mahasiswa UGM. Sabun An-Mugh yang telah beredar di pasaran memiliki kandungan tanah yang masih rendah. Penelitian terkait lainnya oleh Anggraeni (2014) yang melakukan optimasi formula sabun bentonit dengan kombinasi minyak kelapa (Coconut oil) dan minyak kelapa sawit (Palm oil) menggunakan Simplex Lattice Design menunjukkan hasil bahwa kombinasi minyak kelapa dan minyak kelapa sawit

3 menurunkan respon daya busa, stabilitas busa, kekerasan, kadar air, jumlah asam lemak, asam lemak bebas dan alkali bebas pada sabun bentonit. Dengan demikian, diketahui bahwa kombinasi minyak kelapa dan minyak kelapa sawit memberikan respon yang kurang baik terhadap sifat fisika kimia sabun bentonit. Secara umum, sabun dibuat dalam dua jenis yaitu sabun batang dan sabun cair (Wati, 2015). Sabun batang sering mengandung asam lemak bebas untuk memperbaiki kekerasan sabun dan meningkatkan penampilan fisik produk. Pemilihan lemak dan minyak serta rasio yang digunakan dalam pembuatan sabun ditentukan dengan keseimbangan kinerja produk, biaya, dan manufakturabilitas (Barel et al., 2009). Sebagai contoh dari segi kinerja produk, minyak kelapa memiliki keuntungan dapat memberikan sabun padat dengan warna yang terang dan busa berlimpah (Parasuram, 1995) serta kelarutan yang baik dan karakteristik busa dengan gelembung besar (Barel et al., 2009). Sabun batang yang diproduksi dengan surfaktan sintetik memiliki pembusaan yang lebih baik dan daya bersih terutama di dalam air sadah (Barel et al., 2009). Dibandingkan sabun cair, sabun batang memiliki keuntungan dalam kestabilan fisik sabun. Sabun cair yang mengandung tanah rentan mengalami pengendapan selama penyimpanan dikarenakan bentonit memiliki kemampuan untuk mengembang dan membentuk koloid jika dimasukkan ke dalam air (Wati, 2015) sehingga pemilihan sabun padat yang mengandung tanah lebih menguntungkan secara fisik. Dalam penelitian ini dilakukan modifikasi formula dari penelitian Anggraeni (2014), menggunakan minyak kelapa tunggal dengan variasi konsentrasi asam stearat dan natrium lauril sulfat serta meningkatkan kadar bentonit berdasarkan saran penelitian sebelumnya dalam upaya mendapatkan daya pembersih yang sama dengan tanah atau debu sebagai syarat sertu atau samak najis mughalladzah. Tanah yang digunakan untuk pembuatan produk farmasi seperti sabun sebaiknya memenuhi spesifikasi pharmaceutical grade untuk mendapatkan formula sabun yang optimal (Anggraeni, 2014). Dalam penelitian ini, digunakan bentonit sebagai tanah untuk bersuci. Bentonit merupakan sejenis tanah lempung yang biasanya dijadikan sebagai adsorben

4 (Susilawati, 2014). Bentonit memiliki sifat dapat menyerap air yang menyebabkan tekstur sabun menjadi lunak (Ibrahim dkk, 2005). Oleh karena itu, diperlukan penentuan konsentrasi dari asam stearat sebagai bahan pengeras yang dapat memberikan kekerasan yang tinggi pada sabun padat bentonit. Selain itu, salah satu parameter penting yang perlu diperhatikan dalam penentuan mutu sabun adalah banyaknya busa yang dihasilkan (Rozi, 2013). Surfaktan diperlukan untuk meningkatkan kualitas busa pada sabun (Wijana et al., 2005). Natrium lauril sulfat (NLS) merupakan surfaktan anionik dan memiliki sifat sebagai pembentuk busa yang baik. NLS biasa dikombinasi dengan surfaktan lain supaya lebih kompatibel dengan kulit dan busanya lebih stabil (Barel et al., 2009). Berdasarkan uraian tersebut, peneliti melakukan formulasi sabun padat bentonit dengan variasi konsentrasi asam stearat dan natrium lauril sulfat. 1.2 Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah dari penelitian ini sebagai berikut: 1. Bagaimana pengaruh peningkatan konsentrasi asam stearat terhadap kekerasan sabun padat bentonit? 2. Pada konsentrasi berapakah asam stearat memberikan kekerasan paling tinggi pada sabun padat bentonit? 3. Bagaimana pengaruh peningkatan konsentrasi natrium lauril sulfat terhadap sifat fisika kimia berupa ph, tinggi dan stabilitas busa serta kekerasan pada sabun padat bentonit? 4. Pada konsentrasi berapakah natrium lauril sulfat dapat memberikan sifat fisika kimia terbaik berupa ph, tinggi dan stabilitas busa serta kekerasan pada sabun padat bentonit? 5. Apakah formula sabun padat bentonit yang dipilih memenuhi syarat mutu sabun menurut SNI?

5 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Penelitian ini bertujuan untuk memformulasikan sabun padat bentonit sebagai penyuci najis mughalladzah. 1.3.2 Tujuan Khusus 1. Mengetahui pengaruh peningkatan konsentrasi asam stearat terhadap kekerasan sabun padat bentonit. 2. Mengetahui konsentrasi asam stearat yang memberikan kekerasan paling tinggi pada sabun padat bentonit. 3. Mengetahui pengaruh peningkatan konsentrasi natrium lauril sulfat terhadap sifat fisika kimia sabun padat bentonit berupa ph, tinggi dan stabilitas busa serta kekerasan sabun. 4. Mengetahui konsentrasi terbaik natrium lauril sulfat terhadap sifat fisika kimia sabun padat bentonit berupa ph, tinggi dan stabilitas busa serta kekerasan sabun. 5. Mengetahui apakah formula sabun padat bentonit yang dipilih memenuhi syarat mutu sabun menurut SNI. 1.4 Manfaat penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini adalah : 1. Dengan penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai pengaruh peningkatan konsentrasi asam stearat terhadap kekerasan sabun padat bentonit dan mendapatkan konsentrasi asam stearat yang memberikan kekerasan paling tinggi pada sabun padat bentonit. 2. Memberikan informasi mengenai pengaruh peningkatan konsentrasi natrium lauril sulfat terhadap sifat fisika kimia sabun padat bentonit. 3. Memberikan informasi mengenai konsentrasi terbaik dari natrium lauril sulfat dalam formula sabun padat bentonit dan diharapkan dapat memenuhi persyaratan mutu sabun menurut SNI.

6 4. Memberikan solusi mudah bersuci dari najis mughalladzah kepada masyarakat Islam secara praktis dan aman. 5. Memberikan peluang kepada produsen produk halal untuk menciptakan produk sabun penyuci najis mughalladzah.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Najis dan Cara Menghilangkannya (Thaharah) Najis menurut bahasa bermakna sesuatu yang kotor. Sedangkan menurut hukum syariah, najis berarti kotoran yang bagi setiap muslim wajib menyucikan diri darinya dan menyucikan dari apa yang dikenainya (Al-faridy, 2009). Najis berdasarkan macam cara menghilangkannya dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu: a. Najis Mukhaffafah ialah najis ringan seperti air kencing bayi laki-laki yang belum berumur 2 tahun dan belum pernah makan sesuatu kecuali air susu ibunya. Cara menghilangkannya cukup dengan memerciki air pada tempat yang terkena najis tersebut (Rifa i, 2006). b. Najis Mughallazhah ialah najis berat seperti najis anjing atau babi dan turunannya. Cara menyucikannya yaitu wajib dibasuh 7 kali dan salah satu diantaranya dengan air yang bercampur tanah (Rifa i, 2006). Hal ini berdasarkan sabda Nabi Muhammad SAW: ع ن أ ب ه ر ي ر ة ق ال ق ا ل ر س ول اهلل ص ل ى اهلل ع ل يه و س ل م ط ه و ر ا ن اء أ ح د ك م ا ذ ا و ل غ ف يه ال ك ل ب أ ن ي غ س ل ه س ب ع م ر ا ت أ وال ه ن ب الت ر اب Dari Abu Hurairah r.a berkata : Bersabda Rasulullah s.a.w: "Suci bejana salah seorang diantara kamu bila dijilat anjing, hendaklah mencucinya tujuh kali, permulaannya hendaklah dicampur dengan tanah/debu. (H.R Muslim). 7

8 Kenajisan anjing dikategorikan oleh fuqaha sebagai mughalladzah (najis berat) karena cara penyuciannya yang memerlukan proses samak atau sertu. Walaupun nas hadist diatas menyebut tentang cara penyucian bekas jilatan anjing saja, namun sebagian fuqaha menggunakan kaidah qiyas untuk menyamakan hukum dan cara basuhan tersebut untuk seluruh tubuh anjing. Perintah Rasulullah SAW untuk menyucikan bekas yang diminum oleh anjing adalah dalil utama yang menunjukkan najisnya lidah, air liur dan mulut anjing. Jika lidah dan mulut dikategorikan sebagai najis, maka sudah tentu anggota tubuh lainnya, yakni seluruh badannya adalah najis juga (Fatwa Malaysia, 2013). Adapun babi, kenajisannya termaktub dalam firman Allah SWT, yang artinya: Aku tidak dapati dalam apa yang telah diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya melainkan jika benda itu bangkai, atau darah yang mengalir, atau daging babi, karena sesungguhnya ia adalah najis (QS. al-an am: 145). Jika daging babi adalah najis, maka keseluruhan badan dan anggota tubuh babi adalah najis juga. Hal ini dikarenakan daging merupakan bagian utama bagi seekor hewan, sehingga jika ia najis, sudah tentu selainnya adalah najis. Kaidah penyucian diri atau perkara yang terkena najis babi, sebagian ulama berpandangan adalah sama seperti penyucian najis anjing yaitu dengan menyamaknya dengan tujuh basuhan air dengan salah satu basuhannya hendaklah disertai dengan tanah, hal ini dikarenakan babi diqiyaskan kepada anjing, maka cara penyuciannya juga mengikuti cara penyucian jilatan anjing (Fatwa Malaysia, 2013 dan Kadir, 2009). Menurut mazhab Imam Syafi i, Hambali dan Hanafi menyebutkan bahwa anjing adalah najis, namun dari ketiga mazhab tersebut memiliki perbedaan dalam cara mensucikan najis. Adapun Imam Syafi i dan Imam Hambali menyebutkan bahwa bejana yang dijilat anjing harus dibasuh tujuh kali, satu kali diantaranya dengan tanah (Mughniyah, 2015), sedangkan Imam Hanafi menyebutkan bahwa bekas jilatan anjing dapat disucikan sebagaimana mencuci najis lainnya yaitu cukup dibasuh satu kali hingga diyakini najisnya sudah hilang. Namun, jika diduga bahwa najisnya belum hilang, maka bekas

9 jilatan tersebut harus dibasuh lagi hingga diyakini telah bersih, walaupun harus dibasuh dua puluh kali (Ad-Dimasyqi, 2001). Imam Maliki berpendapat lain bahwa anjing adalah suci (Ad-Dimasyqi, 2001), namun bejana bekas jilatan anjing dibasuh sebanyak tujuh kali bukanlah karena najis melainkan karena ta abbud (beribadah) (Mughniyah, 2015). Menurut empat mazhab (Syafi i, Hambali, Hanafi, dan Maliki) dalam buku Fiqh Lima Mazhab (2015), disebutkan bahwa babi hukumnya sama seperti anjing yaitu najis dan cara menyucikannya dengan dibasuh sebanyak tujuh kali, satu diantaranya dengan tanah (Mughniyah, 2015). c. Najis Mutawassithah ialah najis sedang berupa najis yang selain dari dua najis tersebut di atas, seperti segala sesuatu yang keluar dari kubul dan dubur manusia dan binatang seperti kotoran manusia, darah, bangkai (selain bangkai manusia, ikan dan belalang), nanah kecuali air mani, barang cair yang memabukkan dan susu hewan yang tidak halal dimakan (Rifa i, 2006). Adapun najis mutawassithah ini dibagi menjadi dua: 1. Najis ainiyah yaitu najis yang dapat diketahui rasa, warna, atau baunya seperti darah, nanah, air kencing dan sebagainya. Cara menyucikan benda najis atau benda yang terkena najis ini dilakukan dengan cara membersihkannya dengan air secara merata sampai hilang rasa, warna atau bau benda najis itu atau benda yang terkena najis, kecuali bau atau warna yang sangat sukar dihilangkan, maka dapat dimaafkan (Zurinal dan Aminuddin, 2008). 2. Najis hukmiyah yaitu najis yang diyakini ada tetapi tidak dapat lagi diketahui rasa, warna atau baunya. Contohnya kencing yang sudah kering sehingga sifat-sifatnya sudah hilang. Cara menyucikan benda yang sudah terkena najis hukmiyah ini ialah cukup dengan menyiramkan air pada tempat yang terkena najis itu dan tidak dituntut untuk dicuci seperti mencuci benda yang terkena najis ainiyah (Zurinal dan Aminuddin, 2008).

10 Menyucikan diri dari najis atau hadas dalam hukum syara disebut thaharah atau bersuci (Rifa i, 2006). Dalam ajaran Islam, bersuci memiliki peran penting dalam hal ibadah. Bersuci sangat mempengaruhi keshahihan ibadah seseorang. Dengan begitu, tujuan dari ibadah terpenuhi dengan sempurna (Hasanah, 2011). Berdasarkan dalil qath i yang telah disepakati bahwa thaharah itu wajib menurut hukum syara. Adapun sarana atau alat untuk thaharah terdiri dari air dan tanah (Khoirunnisa, 2010). 2.2 Standar Thaharah Dalam kamus ilmiah, kata standar berarti alat penopang atau yang dipakai untuk menjadi patokan (Maulana, 2004). Adapun yang disebut standar thaharah yaitu patokan atau ukuran sesuatu dikatakan suci atau bersih. Dalam hal ini, kajian-kajian fiqh khususnya dalam bab thaharah tidak menjelaskan secara konkrit apa yang disebut dengan standar thaharah. Adapun disebut standar thaharah atau yang menjadi tolak ukur sesuatu dikatakan suci atau bersih harus terhindar dari tiga sifat, yaitu: a. Warna. Apabila wujud najis itu sudah tidak terlihat lagi oleh pancaindra. b. Bau. Apabila aroma bau yang terdapat dalam najis sudah tidak tercium. c. Bentuk atau wujudnya. Maka dari itu, tiga sifat tersebut harus terpenuhi jika seseorang akan menghilangkan najis yang merupakan tolak ukur dalam bersuci (Khoirunnisa, 2010). 2.3 Surfaktan 2.3.1 Pengertian Surfaktan Surfaktan (surface active agent) merupakan suatu senyawa yang pada konsentrasi rendah memiliki sifat untuk teradsorpsi pada permukaan (surface) ataupun antarmuka (interface) dari suatu sistem dan mampu menurunkan energi bebas permukaan ataupun energi bebas antarmuka (Rosen, 1978). Surfaktan untuk penggunaan kosmetik dapat dikelompokkan ke dalam enam kategori yaitu agen pembersih, agen pengemulsi, agen pembusa, hidrotropic, agen solubilisasi dan agen pensuspensi (Paye et al., 2006).

11 Surfaktan merupakan molekul yang terdiri dari gugus liofilik (solventloving) dan gugus liofob (solvent-fearing). Jika pelarut dimana surfaktan tersebut akan digunakan adalah air atau aqueous solution, maka masing-masing istilah 'hidrofilik' dan 'hidrofobik' digunakan. Dalam istilah sederhana, surfaktan mengandung setidaknya satu kelompok non-polar dan satu kelompok polar (atau ion), seperti ditunjukkan pada Gambar 2.1 (Farn, 2006). Gambar 2.1 Struktur surfaktan secara sederhana (Farn, 2006) 2.3.2 Klasifikasi Surfaktan Berdasarkan gugus hidrofilik, surfaktan dibagi menjadi empat macam: 1. Surfaktan anionik, yaitu bagian aktif permukaan dari molekul bermuatan negatif, seperti R-COONa + (sabun), RC 6 H 4 SO - 3 Na + (alkilbenzena sulfonat) (Rosen, 1978). Dalam larutan air, surfaktan anionik membentuk ion bermuatan negatif pada ph netral sampai basa. Gugus terionisasi dapat menjadi karboksilat, sulfat, sulfonat, atau fosfat. Di antara surfaktan yang paling sering digunakan dalam produk perawatan kulit, yaitu alkyl sulfates and alkyl ethoxylated sulfates dengan daya busa yang tinggi. Surfaktan anionik umumnya digunakan kombinasi dengan surfaktan lain (nonionik atau amphoterics) sehingga dapat memperbaiki dalam toleransi kulit, dalam kualitas busa atau dalam viskositas produk (Paye et al.,2006). 2. Surfaktan kationik, yaitu bagian aktif permukaan dari molekul bermuatan positif, seperti RNH + 3 Cl - (garam dari amin rantai panjang), RN(CH 3 ) + 3 Cl - (ammmonium klorida kuartener) (Rosen, 1978). Surfaktan kationik juga terdapat pada produk perawatan diri sebagai pengemulsi dalam beberapa kosmetik dan sebagai agen bakterisida (Paye et al., 2006). Surfaktan kationik kompatibel dengan surfaktan nonionik dan zwiterionik. Bagian aktif permukaan memiliki muatan positif, sehingga adsorbsi sangat kuat ke permukaan paling solid sekalipun (yang biasanya

12 bermuatan negatif), dan dapat memberi karakteristik khusus untuk substrat. Namun, kebanyakan jenis surfaktan ini tidak kompatibel dengan surfaktan anionik (kecuali amina oksida). Umumnya lebih mahal daripada surfaktan anionik atau nonionik dan menunjukkan daya detergensi yang rendah serta daya suspensi yang rendah untuk karbon (Rosen, 2012). 3. Surfaktan amfoterik (Zwiterrion), yaitu bagian aktif permukaan dari molekul bermuatan positif dan negatif, seperti RN + H 2 CH 2 COO - (asam amino rantai panjang), RN + - (CH 3 ) 2 CH 2 CH 2 SO 3 (sulfobetain) (Rosen, 1978). Penggunaan surfaktan amfoter secara terminologi masih lebih mengikat, dimana muatan molekul harus berubah dengan ph, menunjukkan bentuk zwitterionic pada ph menengah (yaitu, sekitar titik isoelektrik). Dengan demikian, sifat surfaktan ini dipengaruhi oleh ph, yaitu sekitar titik isoelektrik menunjukkan bentuk zwiterionik, menunjukkan kelarutan terendah; pada kondisi basa bentuk anionik lebih dominan, memberikan busa dan detergensi; sedangkan dalam kondisi asam, bentuk kationik lebih dominan, memberikan substantivitas surfaktan. Surfaktan amfoterik umumnya digunakan sebagai tensioactives sekunder untuk efek stabilisasi busa, kapasitas penebalan dan mengurangi iritasi kulit pada alkil sulfat dan sulfat alkil etoksi (Paye et al., 2006). Surfaktan amfoterik kompatibel dengan semua jenis surfaktan lain, kurang mengiritasi kulit dan mata dibandingkan jenis lainnya dan dapat teradsorbsi ke permukaan negatif atau positif tanpa membentuk film yang hidrofobik. Surfaktan amfoterik sering tidak larut dalam sebagian besar pelarut organik, termasuk etanol (Rosen, 2012). 4. Surfaktan nonionik, yaitu bagian aktif permukaan tidak bermuatan ion, seperti RCOOCH 2 CHOHCH 2 OH (monogliserida dari asam lemak rantai panjang), RC 6 H 4 (OC 2 H 4 ) x OH (polioksietilen alkilfenol) (Rosen, 1978). Surfaktan nonionik tidak terdisosiasi menjadi ion dalam media berair. Umumnya memberikan daya busa yang rendah hingga sedang. Surfaktan nonionik memiliki kompatibilitas yang baik terhadap kulit dan mata serta potensi anti-iritasi ketika dikombinasikan dengan surfaktan anionik dalam

13 rasio konsentrasi yang tepat. Oleh karena itu banyak produk untuk kulit sensitif, bayi, atau wajah menggunakan surfaktan nonionik sebagai surfaktan utama (Paye et al., 2006). Surfaktan nonionik kompatibel dengan semua jenis surfaktan lain. Umumnya tersedia sebagai 100% bahan aktif bebas dari elektrolit. Dapat dibuat tahan untuk air keras, kation logam polivalen, elektrolit pada konsentrasi tinggi; larut dalam air dan pelarut organik, termasuk hidrokarbon. POE nonionik umumnya zat pendispersi yang baik untuk karbon (Rosen, 2012). Gambar 2.2 Kelompok gugus hidrofil dari surfaktan (Farn, 2006) 2.4 Sabun 2.4.1 Pengertian Sabun Sabun adalah garam dari logam alkali, biasanya natrium atau kalium dari asam lemak rantai panjang. Ketika asam lemak disaponifikasi oleh logam natrium atau logam kalium maka akan terbentuk garam yang disebut sabun dengan gliserol sebagai produk sampingan (Barel et al., 2009). Sabun merupakan tipe surfaktan yang dapat mengurangi tegangan permukaan dan tegangan antarmuka serta memiliki sifat penyabunan, dispersibilitas,

14 emulsifikasi dan pembersih (Mitsui, 1997). Menurut Standar Nasional Indonesia (1994), sabun mandi adalah senyawa natrium dengan asam lemak yang digunakan sebagai bahan pembersih tubuh, berbentuk padat, berbusa dengan atau penambahan zat lain serta tidak menyebabkan iritasi pada kulit. Menurut Cavith (2001), molekul sabun terdiri dari rantai karbon, hidrogen dan oksigen yang disusun dalam bagian kepala dan ekor. Bagian kepala merupakan gugus hidrofilik (rantai karboksil) yang berfungsi untuk mengikat air, sedangkan bagian ekor merupakan gugus hidrofobik (rantai hidrokarbon) yang berfungsi untuk mengikat kotoran dan minyak (Purnamawati, 2006). Gambar 2.3 Pembentukan lapisan tipis diatas permukaan air (Purnamawati, 2006) Komposisi asam lemak yang sesuai dalam pembuatan sabun dibatasi panjang rantai dan tingkat kejenuhan. Pada umumnya, panjang rantai yang kurang dari 12 atom karbon dihindari penggunaannya karena dapat membuat iritasi pada kulit, sebaliknya panjang rantai yang lebih dari 18 atom karbon membentuk sabun yang sukar larut dan sulit menimbulkan busa. Terlalu besar bagian asam lemak tak jenuh akan menghasilkan sabun yang mudah teroksidasi bila terkena udara (Maripa dkk, 2015). 2.4.2 Metode Pembuatan Sabun Secara umum, metode pembuatan sabun terbagi menjadi dua, yaitu: a. Reaksi penyabunan (saponifikasi), yaitu reaksi antara minyak atau lemak dengan alkali menghasilkan gliserol dan asam lemak (sabun) (Parasuram, 1995).

15 Reaksi kimia pada proses saponifikasi trigliserida dapat dilihat pada Gambar 2.2 Minyak atau lemak Alkali Sabun Gliserol Gambar 2.4 Reaksi saponifikasi trigliserida (Mitsui, 1997) Minyak ataupun lemak yang digunakan sama saja, perbedaannya hanya saja minyak secara umum berbentuk cairan sedangkan lemak berbentuk padat pada suhu kamar (Parasuram, 1995). Alkali yang biasa digunakan dalam pembuatan sabun padat adalah natrium hidroksida, sedangkan kalium hidroksida digunakan dalam pembuatan sabun cair atau shampo (Mitsui, 1997). b. Reaksi netralisasi, yaitu minyak dan lemak masing-masing diubah menjadi asam lemak melalui proses splitting/hydrolysis dan menghasilkan asam lemak yang dapat bereaksi dengan soda kaustik (NaOH)/alkali menghasilkan sabun dan air (Parasuram, 1995). Reaksi kimia pada proses netralisasi asam lemak dapat dilihat pada Gambar 2.5 Asam lemak Alkali Sabun Air X = Na, K Gambar 2.5 Reaksi netralisasi asam lemak (Mitsui, 1997) Pada reaksi netralisasi, sabun dihasilkan dari reaksi asam lemak langsung dengan alkali (Mitsui, 1997). 2.4.3 Mekanisme Kerja Sabun Menurut Rosen, MJ (1978), tiga elemen penting dalam mekanisme kerja sabun adalah tempat substratnya berasal (kulit manusia, pakaian, alat gelas dan perkakas lainnya), jenis kotoran yang dibersihkan (padat atau minyak, kepolaran, sifat elektrolit dan lain sebagainya) serta kemampuan membersihkan dari sabun itu sendiri (Handayani, 2009).

16 Mekanisme pembersihan sabun dapat dijelaskan sebagai berikut: Saat kontak dengan air, sabun berpenetrasi ke dalam antarmuka kulit dan kotoran untuk melemahkan gaya adhesi dan membuat kotoran mudah untuk dihilangkan. Kotoran tersebut kemudian dihilangkan secara fisik dan kemudian terdispersi dalam larutan sabun sebagai akibat dari emulsifikasi oleh molekul sabun. Beberapa jenis kotoran dapat dihilangkan dengan cara tersolubilisasi dalam misel yang terbentuk dari sabun (Mitsui, 1997). Menurut Wasiaatmadja, S,M (1997) dan Brady, JE (1999), untuk membersihkan kotoran yang berupa minyak, pembilasan dengan air saja tidak cukup. Dibutuhkan zat lain untuk menurunkan tegangan antar muka antara minyak dengan air. Dengan adanya sifat surfaktan pada sabun, terjadi proses emulsifikasi sehingga bagian yang polar (hidrofilik) berikatan dengan air dan bagian non polar (lipofilik) berikatan dengan minyak. Bagian non polar dari sabun memecah ikatan antar molekul minyak sehingga dapat menurunkan tegangan permukaan. Akibatnya air dapat menyebar membasahi seluruh permukaan dan mengangkat kotoran (Handayani, 2009). 2.4.4 Komponen Pembentuk Sabun Pada umumnya, sabun dibuat dari lemak dan minyak alami dengan garam alkali (Anggraeni, 2014). Disamping itu juga digunakan bahan tambahan lain seperti surfaktan, humektan, antioksidan, agen antimikroba, pewarna, parfum, skin conditioners, dan bahan tambahan khusus (seperti processing aids, binders (gum and resin), fillers, exfoliants, antiacne, dan anti-irritants) (Barel et al., 2009). Bahan aditif atau bahan tambahan berguna untuk meningkatkan minat konsumen terhadap produk sabun (Setyoningrum, 2010). Banyak perbedaan minyak dan lemak yang digunakan sebagai bahan baku untuk sabun, dan penggunaannya dalam formula diputuskan dengan pertimbangan karakteristik dan tujuan sabun yang akan dibuat (Mitsui, 1997). Penggunaan bahan yang berbeda akan menghasilkan sabun yang berbeda, baik secara fisik maupun kimia (Anggraeni, 2014). Menurut Fessenden (1997), lemak dan sabun dari asam lemak jenuh dan rantai jenuh panjang (C16-C18) menghasilkan sabun keras dan minyak dari asam lemak tak jenuh

17 dengan rantai pendek (C12-C14) menghasilkan sabun yang lebih lunak dan lebih mudah larut (Sari dkk, 2010). Menurut Hambali et al (2005), ada 2 jenis sabun yang dikenal, yaitu sabun padat (batangan) dan sabun cair. Sabun padat dibedakan atas 3 jenis, yaitu sabun opaque, translucent, dan transparan (Hernani dkk, 2010). Berikut merupakan uraian bahan-bahan dasar sabun bentonit: a. Minyak Kelapa Minyak kelapa merupakan salah satu minyak nabati yang paling penting yang digunakan dalam pembuatan sabun. (Barel et al., 2009). Minyak kelapa adalah minyak lemak yang diperoleh dengan pemerasan endosperm kering Cocos nucifera L (Departemen Kesehatan RI, 1979). Keuntungan dari minyak kelapa adalah memberikan sabun padat dengan warna yang terang dan busa berlimpah. Tingkat penggunaan tergantung pada kelas sabun mandi dan bervariasi dalam kisaran 6-20% (Parasuram, 1995). Sifat fisikokimia minyak kelapa dijelasan pada Tabel 2.1. Tabel 2.1 Sifat Fisikokimia Minyak Kelapa (Departemen Kesehatan RI, 1979) Karakteristik Nilai Indeks Bias (pada 40 0 C) 1,448-1,450 Bilangan Asam (penetapan dilakukan menggunakan 20 g) Tidak lebih dari 0,2 Bilangan Iodium 7-11 Bilangan Penyabunan 250-264 Zat Tak Tersabunkan Tidak lebih dari 0,8% Berdasarkan kandungan asam lemaknya, minyak kelapa digolongkan ke dalam minyak asam laurat (Thomssen & McCutheon, 1949), karena kandungan asam laurat di dalamnya paling besar jika dibandingkan asam lemak lain. Menurut Lakey (1941), asam laurat mampu memberikan sifat pembusaan yang sangat baik, oleh karenanya asam laurat sangat diperlukan dalam pembuatan produk sabun. Busa yang dihasilkan banyak dan sangat lembut namun stabilitasnya relatif rendah (busa cepat hilang atau tidak tahan

18 lama). Sabun yang dihasilkan dari asam laurat memiliki ketahanan yang tidak terlalu besar, artinya sabun batang yang dihasilkan tidak cukup keras (Anggraeni, 2014). Berikut komposisi jenis asam lemak dari minyak kelapa dan sifat sabun yang dihasilkan dari masing-masing jenis asam lemak: Tabel 2.2 Komposisi Asam Lemak Minyak Kelapa dan Sifat Yang Ditimbulkan Pada Sabun (Miller, 2003) Asam Lemak Rumus Kimia Konsentrasi Sifat yang ditimbulkan Asam Laurat Asam Miristat Asam Palmitat Asam Oleat Asam Stearat Asam Linoleat b. NaOH pada sabun CH 3 (CH 2 ) 10 COOH 39-54% Mengeraskan, membersihkan, menghasilkan busa lembut CH 3 (CH 2 ) 12 COOH 15-23% Mengeraskan, membersihkan, menghasilkan busa lembut CH 3 (CH 2 ) 14 COOH 6-11% Mengeraskan, menstabilkan busa CH3(CH 2 ) 7 CH=CH (CH 2 ) 7 COOH 4-11% Melembabkan CH 3 (CH 2 ) 16 COOH 1-4% Mengeraskan, menstabilkan busa CH3(CH 2 ) 4 (CH=C HCH 2 ) 2 (CH 2 ) 6 COO H 1-2% Melembabkan Menurut Mitsui (1997), sabun yang dibuat dari natrium hidroksida dikenal dengan sebutan sabun keras (hard soap), sedangkan sabun yang dibuat dari KOH dikenal dengan sebutan sabun lunak (soft soap). Karena pada penelitian ini akan dibuat sabun padat, maka alkali yang digunakan adalah NaOH. Natrium hidroksida memiliki berat molekul 40 serta merupakan basa kuat yang larut dalam air dan etanol (Departemen Kesehatan RI, 1979). c. Asam Stearat Asam stearat adalah campuran asam organik padat yang diperoleh dari lemak, sebagian besar terdiri dari asam oktadekanoat (C 18 H 36 O 2 ) dan

19 heksadekanoat (C 16 H 32 O 2 ). Berupa zat padat keras mengkilat menunjukkan susunan hablur, putih atau kuning pucat, mirip lemak lilin; larut dalam 20 bagian etanol (95%) P, dalam 2 bagian kloroform P dan dalam 3 bagian eter P (Departemen Kesehatan RI, 1979). Asam stearat berperan dalam memberikan konsistensi dan kekerasan pada sabun (Mitsui, 1997). d. Gliserin Gliserin merupakan cairan jernih seperti sirop, tidak berwarna, tidak berbau, manis diikuti rasa hangat dan higroskopis. Dapat bercampur dengan air dan dengan etanol 95% P, praktis tidak larut dalam kloroform P, dalam eter P dan dalam minyak lemak (Departemen Kesehatan RI, 1979). Gliserin digunakan sebagai humektan dengan konsentrasi <30%. Gliserin dapat berubah warna menjadi hitam dihadapan cahaya atau kontak dengan zink oksida atau bismuth nitrat dasar (Rowe et al., 2006). Menurut Mitsui (1997), gliserin telah lama digunakan sebagai humektan, yaitu skin conditioning agent yang dapat meningkatkan kelembaban kulit. Adanya humektan dapat mengubah ketidakstabilan sabun batang, sehingga memodifikasi persepsi konsumen dari produk sebagai produk pembilas yang bersih (Barel et al., 2009). e. Butylated hydroxytoluene (BHT) Berupa serbuk hablur padat, putih, bau khas dan lemah. BHT praktis tidak larut dalam air, gliserin, propilen glikol, larutan hidroksida alkali dan dilute aqueous asam mineral; sangat larut dalam aseton, benzena, etanol 95%, eter, metanol, toluen, fixed oils dan minyak mineral. Digunakan sebagai antioksidan untuk minyak dan lemak dengan konsentrasi 0,02% (Rowe et al., 2006). Basis sabun dengan proporsi asam lemak tak jenuh yang tinggi (misalnya oleat, linoleat, dan linolenat) dan adanya aditif sabun tertentu, seperti pengaroma, cenderung menjadi rentan terhadap perubahan oksidatif atmosfer yang tidak diinginkan. Oleh karena itu, preservative (agen chelating dan antioksidan) diperlukan untuk mencegah dari terjadinya oksidasi. Antioksidan yang paling umum digunakan dalam hubungannya dengan chelating agent pada sabun batangan adalah butylated hydroxytoluene (BHT) (Barel et al., 2009).

20 f. Triklosan Triklosan berupa serbuk putih kristal halus, memiliki titik leleh pada suhu 57 0 C dan terlindung dari cahaya. Triklosan praktis tidak larut dalam air; larut dalam alkohol, dalam aseton, dan metil alkohol; sedikit larut dalam minyak. Triklosan adalah antiseptik bisfenol klorinasi, efektif terhadap bakteri gram positif dan gram negatif tetapi memiliki aktivitas rendah terhadap Pseudomonas spp serta aktif juga terhadap jamur. Triklosan biasa digunakan sebagai antimikroba atau pengawet dalam produk sabun, krim dan larutan dalam konsentrasi sampai 2% (Sweetman, 2009). Menurut Badan Pengawas Obat dan Makanan (2008), triklosan digunakan sebagai pengawet dalam kosmetik dengan konsentrasi maksimal 0,3%. Sabun batang sangat efektif dalam menghilangkan microbial flora yang diketahui menyebabkan infeksi kulit, jerawat, dan bau tak sedap selama proses mencuci atau mandi. Penambahan antimikroba pada sabun batang memberi manfaat untuk penggunaan jangka panjang, terutama antara mencuci dan mandi. Karena masalah keamanan dari berbagai antimikroba yang digunakan dalam sabun batangan, jumlah agen antimikroba yang digunakan mengalami penurunan sejak tahun 1970an. Trichlorocarbanilide (TCC), trikloro difenil hidroksietil (triclosan), dan para-chloro m-xylenol (PCMX) yang umum digunakan dalam sabun batangan saat ini. TCC sebagian besar efektif terhadap bakteri gram positif sedangkan triclosan dan PCMX telah terbukti efektif terhadap kedua bakteri gram positif dan gram negatif (Barel et al., 2009). g. Kokamidopropil betain Alkil betain adalah turunan N-trialkil asam amino ([R 1 R 2 R 3 ]N + CH 2 COOH), yang diklasifikasikan sebagai kationik karena menunjukkan muatan positif permanen. Karena betain juga memiliki kelompok fungsional bermuatan negatif dalam kondisi ph netral dan basa, maka disebut sebagai surfaktan amfoterik. Muatan positif dari betain berasal dari nitrogen kuartener sedangkan situs anioniknya berasal dari karboksilat (betaine), sulfat (sulfobetaine atau sultaine), atau fosfat (phospho betaine atau phostaine) (Paye et al., 2006).

21 Betain adalah surfaktan dengan sifat pembusa, pembasah dan pengemulsi yang baik, khususnya dengan keberadaan surfaktan anionik. Betain memiliki efek iritasi yang rendah pada mata dan kulit, bahkan dengan adanya betain dapat menurunkan efek iritasi surfaktan anionik. Hal ini terbukti dari penelitian Teglia dan Secchi (1994), cocamidopropril betaine dapat menurunkan iritasi dengan efek yang mirip dengan wheat protein ketika ditambahkan ke dalam larutan sodium lauryl sulfate. Baik wheat protein maupun cocamidopropyl betaine dapat melindungi kulit dari iritasi (Barel et al., 2009). h. Parfum (fragrance) Fragrance merupakan bahan aditif yang penting pada produk cleansing yang dapat memengaruhi penerimaan konsumen. Penggunaan fragrance umumnya untuk menutupi karakteristik bau dari asam lemak atau fase minyak. Fragrance yang digunakan tidak boleh menyebabkan perubahan stabilitas atau perubahan produk akhir. Jumlah fragrance yang digunakan pada sabun batangan biasanya berkisar dari 0,3% (kulit sensitif) sampai 1,7% (untuk sabun deodorant) (Barel et al., 2009). 2.4.5 Syarat Mutu Sabun Mandi Menurut SNI Spesifikasi persyaratan mutu yang harus dipenuhi pada produk sabun mandi menurut SNI 06-3532-1994 disajikan pada Tabel 2.3. Tabel 2.3 Syarat Mutu Sabun Mandi (Standar Nasional Indonesia, 1994) No. Uraian Satuan Tipe 1 Tipe 2 Superfat 1. Kadar Air % Maks. 15 Maks. 15 Maks. 15 2. Jumlah Asam % >10 64-70 >70 Lemak 3. Alkali bebas % Maks. 0,1 Maks. 0,1 Maks. 0,1 (dihitung sebagai NaOH) 4. Asam lemak % < 2,5 < 2,5 2,5 7,5 bebas dan atau lemak netral 5. Minyak Mineral - Negatif Negatif Negatif

22 2.5 Natrium Lauril Sulfat Natrium lauril sulfat (NLS) adalah campuran dari natrium alkil sulfat, natrium dodesil sulfat, C 12 H 25 SO - 4 Na +, sangat larut dalam air pada suhu kamar dan digunakan dalam farmasi sebagai pembersih kulit sebelum operasi, yang memiliki sifat bakteriostatik terhadap bakteri Gram-positif bakteri dan juga dugunakan pada shampoo. NLS juga merupakan komponen dari emulsifying wax (Attwood et al., 2012). Natrium Lauril Sulfat termasuk kedalam golongan surfaktan anionik. Natrium Lauril Sulfat (NLS) memiliki panjang rantai karbon 12 dan merupakan salah satu surfaktan yang paling umum. Surfaktan ini kurang ditoleransi oleh kulit. Ketika panjang rantai meningkat, yakni di kisaran C14- C18, penetrasi surfaktan melalui stratum korneum menurun seiring dengan potensi iritasi dan kapasitas busa yang menurun. Rantai dengan jumlah karbon yang lebih rendah dari 12 ditoleransi lebih baik oleh kulit daripada SLS tetapi menunjukkan bau yang lebih menonjol. Kombinasi dengan surfaktan lain dapat meningkatkan kompatibilitas NLS terhadap kulit sekaligus menghasilkan busa yang lebih baik. Lauril sulfat tersedia dalam bentuk berbagai garam: SLS, amonium lauril sulfat (ALS), magnesium lauril sulfat [Mg (LS) 2], dan trietanolamin lauril sulfat (teals). Toleransi lauril sulfat terhadap kulit berturut-turut sebagai berikut: Mg (LS) 2> teals> NLS> ALS (Paye et al., 2006). 2.6 Bentonit Tanah yang digunakan dalam formulasi sabun untuk menyucikan najis mughalladzah pada penelitian ini adalah bentonit. Menurut Husnain (2010), tanah didefinisikan sebagai material yang terdiri dari agregat (butiran) mineral-mineral padat dan dari bahan-bahan organik yang melapuk (Anggraeni, 2014). Berdasarkan zahir hadis, hukum menyamak dengan tanah pada tempat yang terkena najis mughalladzah, Nabi Muhammad SAW tidak memperincikan bentuk dan keadaan tanah yang boleh digunakan untuk menyucikan najis mughalladzah. Ini seolah-olah menunjukkan semua jenis tanah yang ada di atas muka bumi ini boleh digunakan untuk

23 menyamak. Imam Al-Sharbini menyebutkan semua jenis tanah sekalipun debu pasir (Mughni al-muhtaj, Juzu 1, Hlm 137). Tanah yang dicampur dengan benda asing tidaklah menjadi halangan selama ia tidak mengubah keaslian tanah dan suci. Sedangkan dari aspek tanah yang digunakan, Rasulullah SAW tidak pernah menyatakan lapisan tanah yang ke berapa perlu digunakan, karena pada asasnya tanah atau pasir adalah suci (Fatwa Malaysia, 2006). Bentonit adalah koloid aluminium silikat terhidrasi terutama terdiri dari montmorilonite (Al 2 O 3.4SiO 2.H 2 O), mungkin juga mengandung kalsium, magnesium dan besi. Bentonit berupa kristal, mineral seperti clay, tidak berbau, kuning pucat hingga krem keabu-abuan, berbentuk bubuk halus yang bebas dari gift. Terdiri dari partikel sekitar 1-2 mm. Dalam bidang farmasi, bentonit biasanya digunakan untuk memformulasi suspensi, gel dan sol. Selain itu juga digunakan untuk mensuspensikan serbuk dalam sediaan cair dan mempersiapkan basis krim yang mengandung agen pengemusi minyak dalam air (Rowe et al., 2009). Bentonit merupakan jenis tanah liat dengan proporsi mineral montmorillonit mineral tanah liat yang tinggi, yang dihasilkan dari dekomposisi abu vulkanik. Dengan plastisitas tinggi, bentonit sangat menyerap air dan memiliki susut tinggi dan swelling charateristics (Asad et al., 2013). 2.7 Sifat Fisika Kimia Sabun Secara umum, sifat fisik dalam sabun terdiri dari kekerasan, stabilitas busa, bilangan titer, mudah dibilas (Girgis, 1998), tegangan permukaan, tegangan antar muka dan stabilitas emulsi (Bird, 1998). Sedangkan sifat kimia pada sabun umumnya berupa ph, kadar air, jumlah asam lemak total, alkali bebas, asam lemak bebas dan minyak mineral (Girgis, 1998 dalam Anggraeni, 2014). a. Kekerasan Kekerasan menggambarkan ketahanan terhadap kerusakan mekanis. Bila sabun terlalu lunak, maka akan sukar untuk ditekan pada proses

24 finishing (Barel et al., 2009). Kekerasan sabun dipengaruhi oleh asam lemak jenuh yang digunakan pada pembuatan sabun. Asam lemak jenuh merupakan asam lemak yang tidak memiliki ikatan rangkap, tetapi memiliki titik cair yang lebih tinggi dibandingkan dengan asam lemak yang memiliki ikatan rangkap. Asam lemak jenuh biasanya berbentuk padat pada suhu ruang, sehingga akan menghasilkan sabun yang lebih keras (Gusviputri et al., 2013). b. ph Sabun pada umumnya mempunyai ph sekitar 10 (Mitsui, 1997). Sabun yang baik memiliki ph yang tidak jauh dari ph normal kulit yaitu (5,5-6,5) sampai ph netral (7). Wasitaatmadja (1997) menjelaskan bahwa ph merupakan parameter yang sangat penting dalam suatu produk kosmetik karena ph dari kosmetik yang dipakai mempengaruhi daya absorbsi kulit. Kosmetik dengan ph yang sangat tinggi atau sangat rendah dapat meningkatkan daya absorbsi kulit sehingga kulit menjadi teriritasi (Ayu et al., 2010). c. Busa Busa adalah suatu dispersi koloid dimana gas terdispersi dalam fase kontinyu yang berupa cairan (Schramn, 2005). Busa merupakan salah satu parameter penting dalam penentuan mutu sabun mandi. Pada penggunaannya, busa berperan dalam proses pembersihan dan melimpahkan wangi sabun pada kulit. Adanya senyawa tidak jenuh (asam lemak tidak jenuh) dalam campuran minyak, tidak akan menstabilkan busa (Gromophone, 1983 dalam Hernani et al., 2010). d. Kadar Air Menurut Spitz (1996), banyaknya air yang ditambahkan pada sabun akan berpengaruh terhadap kelarutan sabun. Semakin banyak air yang terkandung dalam sabun maka sabun akan semakin mudah menyusut pada saat digunakan (Hernani et al., 2010). Prinsip dari pengujian kadar air dalam sabun adalah pengukuran kekurangan berat setelah pengeringan pada suhu 105 0 C (SNI, 1994).

25 e. Jumlah Asam Lemak Jumlah asam lemak adalah keseluruhan asam lemak baik asam lemak yang terikat dengan natrium maupun asam lemak bebas ditambah lemak netral (trigliserida netral/ lemak yang tidak tersabunkan). Untuk sabun yang mengandung banyak zat organik seperti silikat dan titandioksida dipergunakan cara ekstraksi dengan dietil eter atau petroleum eter (SNI, 1994). f. Asam Lemak Bebas atau Alkali Bebas Asam lemak bebas adalah asam lemak yang berada dalam contoh sabun, tetapi yang tidak terikat sebagai senyawa natrium maupun senyawa trigliserida (lemak netral). Adanya asam lemak bebas dapat diperiksa apabila pada pengujian alkali bebas ternyata tidak terjadi warna merah dari indikator phenolphtalein setelah pendidihan dalam alkohol netral. Asam lemak bebas yang melarut dalam alkohol netral selanjutnya dititrasi dengan KOH alkoholis (SNI, 1994). g. Minyak Mineral Minyak mineral tidak mungkin dapat disabunkan seperti halnya asam lemak bebas dan lemak netral, sehingga meskipun sudah disabunkan dengan KOH berlebihan akan tetap sebagai minyak dan pada penambahan air akan terjadi emulsi antara air dan minyak yang ditandai adanya kekeruhan (SNI, 1994).

BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Penelitian II Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Laboratorium Formulasi Sediaan Semi Solid dan Liquid Fakultas Farmasi Universitas Pancasila dan Laboratorium Non Pangan, Balai Pengujian Mutu Barang, Ciracas Jakarta Timur. Penelitian berlangsung selama 4 bulan, dari bulan Maret hingga bulan Mei 2016. 3.2 Alat dan Bahan 3.2.1 Alat Timbangan analitik, termometer, penetrometer, vortex, penjepit kayu, magnetic stirrer, hot plate, batang pengaduk, pipet tetes, kaca arloji, spatula, pot, cetakan sabun, oven, ph meter dan alat-alat gelas kimia lainnya. 3.2.2 Bahan Bentonit (Shadong Bio-technology), gliserin (Shadong Biotechnology), Natrium hidroksida (Shadong Bio-technology), asam stearat (Shadong Bio-technology), natrium lauril sulfat (Shadong Bio-technology), kokamidopropil betain (Go-Native New Zealand), butylated hidroxytoluene, minyak kelapa (24 Chatham Place), triklosan (DevImpex), etanol 96%, parfum (tea tree oil), aquadest, aluminium foil. 26

27 3.3 Prosedur kerja 3.3.1 Formulasi Sabun Padat Bentonit a. Formula Sabun Padat Bentonit (Variasi konsentrasi asam stearat) (Anggraeni, 2014 dengan modifikasi) FORMULA BAHAN I II III IV Minyak kelapa 17% 17% 17% 17% NaOH 30% 15% 15% 15% 15% Asam Stearat 6% 7% 8% 9% Kokamidopropil betain 3% 3% 3% 3% NLS 4% 4% 4% 4% Bentonit 20% 20% 20% 20% Gliserin 17% 17% 17% 17% BHT 0,02% 0,02% 0,02% 0,02% Triklosan 0,1% 0,1% 0,1% 0,1% Etanol 96% 1% 1% 1% 1% Parfum qs qs qs qs Aquadest Add 100% Add 100% Add 100% Add 100%

28 b. Formula Sabun Padat Bentonit (Variasi Konsentrasi NLS) FORMULA BAHAN A B C Minyak kelapa 17% 17% 17% NaOH 30% 15% 15% 15% Asam Stearat 9% 9% 9% Kokamidopropil betain 3% 3% 3% NLS 4% 5% 6% Bentonit 20% 20% 20% Gliserin 17% 17% 17% BHT 0,02% 0,02% 0,02% Triklosan 0,1% 0,1% 0,1% Etanol 96% 1% 1% 1% Parfum qs qs qs Aquadest Add 100% Add 100% Ad 100% c. Pembuatan Sabun Bentonit (Setyoningrum, 2010 dengan modifikasi) Ditimbang masing-masing komponen formula sesuai kebutuhan. Asam stearat, minyak kelapa, dan BHT dilebur hingga suhu 70 0 C di dalam cawan penguap di atas penangas air. Lalu ditambahkan larutan NaOH 30% pada suhu 70 0 C, diaduk sampai terbentuk massa yang homogen. Ditambahkan secara berturut-turut gliserin, natrium lauril sulfat (yang telah dilarutkan dalam air), kokamidopropil betain, triklosan (yang telah dilarutkan dalam etanol 96%), bentonit, dan sisa air sedikit demi sedikit pada suhu yang sama, diaduk hingga homogen. Kemudian dilakukan pendinginan hingga suhu 50 0 C-40 0 C, setelah itu ditambahkan parfum secukupnya. Diaduk sampai terbentuk massa sabun padat. Campuran

29 dituangkan kedalam cetakan yang sebelumnya telah diolesi gliserin, didiamkan sampai mengeras pada lemari pendingin. Kemudian sabun dikeluarkan dari cetakan dan dilakukan evaluasi. 3.3.2 Evaluasi Sifat Fisika dan Kimia Sabun 1. Pengamatan Organoleptik Pengamatan organoleptik dilakukan secara visual dengan mengamati bentuk, warna dan bau dari sabun padat yang dihasilkan (Tjitraresmi dkk, 2010). 2. Tinggi Busa dan Stabilitas Busa Sebanyak 1 gram sabun dimasukkan ke tabung reaksi yang berisi 10 ml aquades, kemudian dikocok dengan vortex selama 1 menit. Busa yang terbentuk diukur tingginya menggunakan penggaris (tinggi busa awal). Tinggi busa diukur kembali setelah 1 jam (tinggi busa akhir), kemudian stabilitas busa dihitung dengan rumus (Piyali et al, 1999 dalam Jannah, 2009): Stabilitas Busa (1 jam) = 100% - %Busa yang hilang %Busa yang hilang = x 100% 3. ph Sabun Sampel dihaluskan kemudian ditimbang sebanyak satu gram dimasukkan ke dalam gelas kimia. Akuades yang memiliki ph 7 ditambahkan sebanyak 10 ml dan diaduk sampai larut kemudian dilakukan pengukuran ph dengan cara memasukkan ph meter yang telah dikalibrasi dengan ph 4, 7, dan 9. Selanjutnya ph meter didiamkan beberapa saat hingga didapatkan ph yang tetap (Laeha, 2015). 4. Kekerasan sabun Pengukuran kekerasan sabun dilakukan dengan menggunakan penetrometer. Jarum pada penetrometer ditusukkan ke dalam sampel dan dibiarkan untuk menembus bahan selama 5 detik pada temperatur konstan (27 C). Kedalaman penetrasi jarum ke dalam bahan dinyatakan dalam

30 1/10 mm dari angka yang ditunjukkan pada skala penetrometer (Jannah, 2009). 3.3.3 Evaluasi Sabun Menurut SNI Pengujian mutu sabun menurut SNI meliputi kadar air, jumlah asam lemak, asam lemak bebas/alkali bebas dan minyak mineral dilakukan di Laboratorium Non Pangan, Balai Pengujian Mutu Barang, Direktorat Pengembangan Mutu Barang, Ciracas, Jakarta Timur. 3.3.4 Teknik Analisa Data Data dari beberapa formula hasil evaluasi berupa ph, tinggi busa, stabilitas busa dan kekerasan sabun, diuji secara statistik dengan analisis varian satu arah (one way ANOVA) kemudian dilanjutkan dengan uji Tukey HSD dengan taraf kepercayaan 95% (α = 0,05) untuk mengetahui perbedaan yang bermakna antara formula hasil pengujian. Data yang tidak terdistribusi normal dan tidak homogen, dilanjutkan dengan analisis statistik non parametrik yaitu uji Kruskal Wallis.

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Formulasi Sabun Padat Bentonit Pembuatan sabun padat bentonit dalam penelitian ini menggunakan variasi konsentrasi asam stearat dan natrium lauril sulfat. Penggunaan variasi konsentrasi asam stearat bertujuan untuk mendapatkan konsentrasi asam stearat yang dapat memberikan kekerasan paling tinggi pada sabun padat bentonit. Hal ini dikarenakan bentonit memiliki sifat dapat menyerap air yang menyebabkan tekstur sabun menjadi lunak (Ibrahim dkk, 2005). Formula sabun padat bentonit dalam penelitian ini merupakan modifikasi formula dari penelitian Anggraeni (2014) dengan hanya menggunakan minyak kelapa tunggal dan menambahkan natrium lauril sulfat sebagai surfaktan pembentuk busa dalam sabun padat bentonit dengan berbagai variasi konsentrasi. Berdasarkan zahir hadis, hukum menyamak dengan tanah pada tempat yang terkena najis mughalladzah, Nabi Muhammad SAW tidak memperincikan bentuk dan keadaan tanah yang boleh digunakan untuk menyucikan najis mughalladzah sehingga menunjukkan semua jenis tanah yang ada di atas muka bumi ini boleh digunakan untuk menyamak, sedangkan dari aspek tanah yang digunakan, Rasulullah SAW tidak pernah menyatakan lapisan tanah yang ke berapa perlu digunakan, karena pada asasnya tanah atau pasir adalah suci (Fatwa Malaysia, 2006). Selain itu, tidak dijelaskan secara rinci dalam ajaran Islam berapa kadar debu atau tanah yang harus digunakan dalam bersuci (Anggraeni, 2014). Berdasarkan Fatwa MUI Nomor 4 Tahun 2003 tentang Standarisasi Fatwa Halal, menyatakan bahwa mencuci bekas babi atau anjing dengan cara di-sertu (dicuci dengan air sebanyak tujuh kali yang salah satunya dengan tanah/debu atau penggantinya yang memiliki daya pembersih yang sama). Oleh karena itu, untuk mendapatkan daya pembersih yang sama dengan tanah atau debu sebagai syarat sertu atau samak najis mughalladzah diupayakan dengan menambah tanah (bentonit) di dalam sabun dengan konsentrasi 20% (konsentrasi bahan paling tinggi dalam formula). 31

32 Natrium lauril sulfat (NLS) merupakan tipe surfaktan anionik (Paye et al., 2006), memiliki sifat sebagai pembentuk busa yang baik (Barel et al., 2009) dan termasuk surfaktan yang larut dalam air, berkinerja baik dan kuat membersihkan kotoran dan minyak, menghasilkan sediaan dengan warna yang baik tetapi memiliki kekurangan jika digunakan dalam konsentrasi tinggi dapat menyebabkan iritasi kulit (Hunting, 1983). Dalam penelitian ini, natrium lauril sulfat dikombinasikan dengan kokamidopropil betain yang merupakan tipe surfaktan amfoterik. Kombinasi NLS dengan kokamidoropil betain bertujuan untuk meningkatkan kompatibilitas NLS terhadap kulit sekaligus menghasilkan busa yang lebih baik. Selain itu, surfaktan amfoterik umumnya juga digunakan sebagai tensioactives sekunder untuk efek stabilisasi busa (Paye et al., 2006). Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan sabun padat bentonit meliputi minyak kelapa, natrium hidroksida, asam stearat, kokamidopropil betain, NLS, bentonit, gliserin, BHT, triklosan, etanol 96%, parfum dan akuades. Pada proses pembuatan sabun, terlebih dahulu asam stearat, BHT dan minyak kelapa dilebur di atas penangas air hingga suhu 70 0 C sampai melebur sempurna. Asam stearat berperan dalam memberikan konsistensi dan kekerasan pada sabun (Mitsui, 1997). Asam stearat merupakan kristal putih yang meleleh pada suhu 69-70 0 C (Rowe et al., 2009) sehingga perlu dilelehkan terlebih dahulu pada suhu 70 0 C. Penggunaan antioksidan pada sabun karena sabun tersusun dari asam lemak yang sebagian mengandung ikatan tak jenuh yang mudah teroksidasi sehingga menimbulkan ketengikan (Setyoningrum, 2010) dan adanya aditif sabun tertentu, seperti pengaroma, cenderung menjadi rentan terhadap perubahan oksidatif atmosfer yang tidak diinginkan. Oleh karena itu, penambahan BHT diperlukan untuk mencegah dari terjadinya oksidasi (Barel et al., 2009). Minyak kelapa merupakan fase minyak yang digunakan dalam sabun padat bentonit. Minyak kelapa memiliki kandungan terbesar asam laurat sebesar 48,9%, dimana fase minyak ini dapat tersaponifikasi dengan adanya natrium hidroksida. Jenis alkali yang digunakan dalam penelitian ini adalah natrium hidroksida yang cocok untuk pembuatan sabun padat (Mitsui, 1997). Setelah fase minyak melebur sempurna pada suhu 70 0 C, ditambahkan larutan NaOH 30% pada suhu yang sama yaitu 70 0 C ke dalam fase minyak tersebut sehingga terjadi reaksi saponifikasi. Stok

33 sabun harus merupakan reaksi yang sempurna antara asam lemak dengan alkali, untuk menghindari adanya sisa asam lemak atau alkali bebas yang tertinggal dalam sabun (Karo, 2011). Setelah terbentuk stok sabun, selanjutnya ditambahkan gliserin. Gliserin digunakan sebagai humektan, yaitu skin conditioning agent yang dapat meningkatkan kelembaban kulit (Mitsui, 1997). Secara berturut-turut selanjutnya ditambahkan NLS (yang telah dilarutkan dalam akuades) dan betain ke dalam stok sabun. Dilakukan kombinasi penggunaan surfaktan, yaitu kombinasi NLS dan betain untuk meningkatkan kompatibilitas NLS terhadap kulit sekaligus menghasilkan busa yang lebih baik serta pembusaan yang stabil (Paye et al., 2006). Selanjutnya ditambahkan triklosan (yang telah dilarutkan dalam etanol 96%) ke dalam massa sabun, yang berfungsi sebagai pengawet (antimikroba). Penambahan antimikroba pada sabun batang memberi manfaat untuk penggunaan jangka panjang, terutama pada saat pencucian (Barel et al., 2009). Etanol 96% digunakan sebagai pelarut terhadap triklosan, dikarenakan triklosan praktis tidak larut dalam air, namun larut dalam alkohol, dalam aseton, dan metil alkohol (Sweetman, 2009). Selanjutnya ditambahkan secara berturut-turut bentonit dan sisa air sedikit demi sedikit ke dalam campuran massa sabun. Bentonit merupakan golongan tanah liat (clay) yang digunakan sebagai agen penyuci dari najis mughalladzah dalam sabun dan memiliki konsentrasi paling tinggi di dalam formula. Bahan terakhir yang ditambahkan adalah minyak pohon teh yang merupakan pewangi untuk memberikan efek wangi pada produk sabun yang dihasilkan. Setelah itu, massa sabun dimasukkan ke dalam cetakan sabun, dan dibiarkan mengeras selama + 24 jam di dalam lemari pendingin untuk membantu mempercepat proses pemadatan sabun. Sabun yang telah mengeras, kemudian dikeluarkan dari cetakan dan dibiarkan selama + 24 jam pada suhu ruang. Setelah itu, dilakukan evaluasi sifat fisika kimia sabun. Terdapat empat formula dengan komposisi asam stearat yang berbeda sebagai berikut: formula I dengan konsentrasi asam stearat 6%; formula II dengan konsentrasi asam stearat 7%; formula III dengan konsentrasi asam stearat 8%; dan formula IV dengan konsentrasi asam stearat 9%. Dari keempat formula tersebut, dilakukan evaluasi organoleptik, ph dan kekerasan sabun untuk mendapatkan

34 konsentrasi asam stearat yang dapat memberikan kekerasan paling tinggi pada sabun padat bentonit dan memenuhi rentang ph sabun. Selanjutnya, terdapat tiga formula dengan komposisi NLS yang berbeda sebagai berikut: formula A dengan konsentrasi NLS 3%; formula B dengan konsentrasi NLS 4%; dan formula C dengan konsentrasi NLS 5%. Dari ketiga formula tersebut, dilakukan evaluasi sifat fisika kimia sabun berupa ph, tinggi busa, stabilitas busa dan kekerasan pada sabun padat bentonit. Dari hasil evaluasi sifat fisika kimia sabun, dipilih konsentrasi NLS terbaik dalam memberikan sifat fisika kimia sabun padat bentonit. Setelah diketahui konsentrasi asam stearat dan NLS terbaik dalam formula sabun padat bentonit, selanjutnya dilakukan evaluasi mutu sabun mandi menurut SNI untuk formula terpilih meliputi kadar air, jumlah asam lemak, asam lemak bebas/alkali bebas dan minyak mineral. 4.2 Evaluasi Formula Sabun Padat Bentonit Variasi Konsentrasi Asam Stearat Tabel 4.1 Hasil Evaluasi Sabun Padat Bentonit Variasi Konsentrasi Asam Stearat Formula Organoleptik Bentuk Warna Bau Nilai ph Kedalaman Penetrasi (10-1 mm) I Padat Coklat Aroma teh 10,201 ± 0,0332 52 ± 1,3229 II Padat Coklat Aroma teh 10,110 ± 0,0089 42,08 ± 0,6292 III Padat Coklat Aroma teh 10,105 ± 0,0141 40,08 ± 0,8780 IV Padat Coklat Aroma teh 10,102 ± 0,0125 32,83 ± 1,0104 Sabun Komersil Padat Putih Aroma Sabun Keterangan: Data merupakan nilai rata-rata ± SD 10,530 ± 0,0404 10,03 ± 0,0577 4.2.1 Pengamatan Organoleptik Hasil pemeriksaan organoleptis sabun padat bentonit setelah 2x24 jam diperoleh hasil yang baik. Dari pengamatan organoleptik, tidak terdapat perbedaan dari setiap formula sabun padat bentonit yang dihasilkan. Secara fisik dengan penambahan konsentrasi asam stearat yang bervariasi tidak mempengaruhi bentuk, warna dan bau sabun padat bentonit yang dihasilkan. Warna coklat pada sabun diakibatkan oleh adanya bentonit sebagai agen penyuci najis mughalladzah.

35 4.2.2 Pengujian ph Derajat keasaman atau ph merupakan parameter kimiawi untuk mengetahui sabun yang dihasilkan bersifat asam atau basa. Jumlah alkali dalam sabun mempengaruhi besarnya nilai ph (Widiyanti, 2009). Nilai ph merupakan karakteristik yang sangat penting dalam menentukan mutu sabun (Hardian dkk, 2014). Umumnya ph sabun memiliki nilai sekitar 10 (Mitsui, 1997), sedangkan menurut Jellinek (1970), ph sabun umumnya berkisar antara 9,5-10,8 (Hambali et al., 2004). Berdasarkan hasil evaluasi ph sabun padat bentonit variasi konsentrasi asam stearat menunjukkan masih berada dalam rentang ph sabun umumnya dan menunjukkan nilai ph yang relatif basa. ph sabun yang relatif basa tersebut dapat membantu kulit untuk membuka pori-porinya kemudian busa dari sabun mengikat sebum dan kotoran lain yang menempel di kulit (Setyoningrum, 2010). Namun ph yang terlalu tinggi atau rendah dapat meningkatkan daya absorbsi kulit sehingga kulit dapat mengalami iritasi (Wasitaatmadja, 1997). Hasil pengujian ph sabun padat bentonit variasi konsentrasi asam stearat memiliki nilai rata-rata ph antara 10,102-10,201. Nilai ph sabun komersil sebagai pembanding memiliki nilai sebesar 10,530. Semakin meningkat konsentrasi asam stearat, maka nilai ph sabun akan semakin menurun disebabkan karena banyaknya gugus asam yang terkandung pada asam stearat (Fitriana, 2015). Namun penurunan ph yang terjadi tidak berbeda signifikan antarformula. Hasil analisis statistik terhadap formula sabun padat bentonit variasi konsentrasi asam stearat menunjukkan data tidak terdistribusi normal sehingga dilanjutkan dengan uji Kruskal Wallis yang menunjukkan nilai sig > 0,05 yang berarti bahwa perbedaan konsentrasi asam stearat tidak berpengaruh nyata terhadap ph sabun padat bentonit. Berdasarkan hasil uji statistik Kruskal Wallis terhadap ph formula sabun padat bentonit variasi konsentrasi asam stearat dengan sabun komersil menunjukkan nilai sig < 0,05 yang berarti bahwa ada perbedaan ph yang bermakna antara sabun padat bentonit variasi konsentrasi asam stearat dengan sabun komersil.

36 4.2.3 Pengujian Kekerasan Sabun Padat Bentonit Kekerasan menggambarkan ketahanan terhadap kerusakan mekanis (Barel et al., 2009). Pengukuran tingkat kekerasan sabun dilakukan dengan menggunakan alat penetrometer. Sabun yang lebih lunak memiliki nilai penetrasi yang lebih besar. Sabun yang memiliki tingkat kekerasan tertinggi adalah sabun dengan nilai penetrasi yang paling rendah (Anggraeni, 2014). Kekerasan sabun memiliki peran untuk meningkatkan efisiensi sabun ketika digunakan. Sabun yang lebih keras dan padat memiliki umur simpan yang lebih lama daripada sabun yang lunak (Hardian dkk, 2014). Kekerasan sabun dipengaruhi oleh adanya asam lemak jenuh yang terdapat dalam sabun. Asam lemak jenuh merupakan asam lemak yang tidak mengandung ikatan rangkap yang biasanya terbentuk padat dalam ruangan sehingga dapat membentuk kekerasan sabun. Semakin banyak jumlah asam lemak jenuh maka sabun yang dihasilkan juga semakin keras (Gusviputri et al., 2013). Selain itu, tingkat kekerasan juga dipengaruhi oleh kadar air sabun. Semakin tinggi kadar air maka sabun akan semakin lunak (Suryani, 2007). Dari hasil evaluasi kekerasan sabun padat bentonit variasi konsentrasi asam stearat diperoleh nilai penetrasi sabun berkisar 52 10-1 mm sampai 32,83 10-1 mm. Hasil pengujian kekerasan menunjukkan bahwa semakin meningkat konsentrasi asam stearat, maka kekerasan sabun padat bentonit semakin meningkat. Hal ini disebabkan karena asam stearat termasuk golongan asam lemak jenuh yang tidak memiliki ikatan rangkap diantara atom karbonnya (Widiyanti, 2009) sehingga semakin banyak jumlah asam lemak jenuh maka sabun yang dihasilkan juga semakin keras. Selain itu, asam stearat berperan dalam memberikan konsistensi dan kekerasan pada sabun (Mitsui, 1997) yang menyebabkan kekerasan sabun dapat meningkat. Pada konsentrasi asam stearat yang lebih tinggi (lebih dari 9%), saat proses pembuatan sabun sukar terbentuk sehingga batas maksimal konsentrasi yang digunakan adalah 9%. Dari nilai kedalaman penetrasi yang diperoleh, maka sabun yang memiliki kekerasan paling tinggi adalah formula IV dengan konsentrasi asam stearat 9% walaupun hasil nilai penetrasi yang dihasilkan masih jauh jika dibandingkan dengan nilai penetrasi sabun komersil. Hal ini disebabkan karena bentonit dalam

37 bentuk partikel yang berukuran sangat kecil berada dalam sabun dan memiliki sifat dapat menyerap air sehingga tekstur sabun menjadi kurang keras. Oleh karena itu, konsentrasi asam stearat 9% dipilih sebagai konsentrasi asam stearat pada formulasi sabun padat bentonit dengan variasi konsentrasi NLS. Hasil uji statistik dengan metode One way ANOVA terhadap formula sabun padat bentonit variasi konsentrasi asam stearat menunjukkan kekerasan sabun padat bentonit terdistribusi secara normal dan memiliki nilai Sig. 0,000 (Sig. <0,05) yang berarti bahwa peningkatan konsentrasi asam stearat berpengaruh nyata terhadap kekerasan sabun padat bentonit. Kekerasan sabun mandi belum memiliki standar persyaratan yang harus dipenuhi, sehingga dilakukan pengujian terhadap sabun komersial Lifebouy sebagai pembanding. Hasil pengujian menunjukkan nilai penetrasi sabun komersil sebesar 10,03 10-1 mm. Berdasarkan hasil uji statistik terhadap formula sabun padat bentonit variasi konsentrasi asam stearat dengan ph sabun komersil menunjukkan data tidak terdistribusi normal sehingga dilanjutkan dengan uji Kruskal Wallis yang menunjukkan nilai sig < 0,05 yang berarti bahwa ada perbedaan ph yang bermakna antara sabun padat bentonit variasi konsentrasi asam stearat dengan sabun komersil. 4.3 Evaluasi Formula Sabun Padat Bentonit Variasi Konsentrasi NLS Tabel 4.2 Hasil Evaluasi Sabun Padat Bentonit Variasi Konsentrasi NLS Formula Nilai ph Kedalaman Penetrasi (10-1 mm) Tinggi Busa (cm) Stabilitas Busa (%) A 10,199 ± 0,0295 35,25 ± 0,25 1,37 ± 0,0577 92,68 ± 0,3175 B 10,102 ± 0,0125 32,83 ± 1,0104 1,63 ± 0,1155 93,87 ± 0,4561 C 10,323 ± 0,0361 32,50 ± 1,3229 1,67 ± 0,1155 93,98 ± 0,3984 Sabun Komersil 10,530 ± 0,0404 10,03 ± 0,0577 1,43 ± 0,0577 79,05 ± 0,8256 Keterangan: Data merupakan nilai rata-rata ± SD

38 4.3.1 Pengamatan Organoleptik Tabel 4.3 Hasil Evaluasi Organoleptik Sabun Padat Bentonit Variasi Konsentrasi NLS Formula Bentuk Warna Bau A Padat Coklat Aroma teh B Padat Coklat Aroma teh C Padat Coklat Aroma teh Hasil pemeriksaan organoleptis sabun padat bentonit setelah 2x24 jam diperoleh hasil yang baik. Dari pengamatan organoleptik, formula sabun padat bentonit variasi konsentrasi NLS menunjukkan hasil yang sama dengan formula sabun padat bentonit variasi konsentrasi asam stearat. Secara fisik dengan penambahan konsentrasi NLS yang bervariasi tidak mempengaruhi bentuk, warna dan bau sabun padat bentonit yang dihasilkan. 4.3.2 Pengujian ph Hasil pengujian ph sabun padat bentonit variasi konsentrasi natrium lauril sulfat menunjukkan nilai rata-rata ph antara 10,102-10,323. Nilai ph sabun komersil sebagai pembanding memiliki nilai sebesar 10,530. Dari hasil pengujian ph sabun padat bentonit variasi konsentrasi NLS menunjukkan nilai ph yang fluktuatif. Kenaikan ph pada formula C dapat disebabkan oleh pengaruh peningkatan konsentrasi surfaktan NLS yang memiliki ph yang relatif basa yaitu 7-9,5 (Rowe et al., 2006) sehingga dapat meningkatkan sifat basa dari sabun padat bentonit, sedangkan penyebab terjadinya penurunan ph pada konsentrasi NLS 4% belum dapat diketahui secara pasti. Namun walaupun menunjukkan nilai ph yang fluktuatif, nilai ph yang dihasilkan masih berada dalam rentang ph sabun umumnya dan menunjukkan nilai ph yang relatif basa. Hasil uji statistik One way ANOVA terhadap formula sabun padat bentonit variasi konsentrasi NLS menunjukkan data terdistribusi normal dan memiliki nilai sig < 0,05 yang berarti bahwa peningkatan konsentrasi NLS berpengaruh nyata terhadap ph sabun padat bentonit. Berdasarkan hasil uji statistik One way ANOVA terhadap ph formula sabun padat bentonit variasi konsentrasi NLS dengan sabun komersil menunjukkan nilai sig < 0,05 yang berarti bahwa ada

39 perbedaan yang bermakna antara sabun padat bentonit variasi konsentrasi NLS dengan sabun komersil. 4.3.3 Pengujian Kekerasan Dari hasil evaluasi kekerasan sabun padat bentonit variasi konsentrasi NLS diperoleh nilai penetrasi sabun berkisar 35,25 10-1 mm sampai 32,50 10-1 mm. Hasil pengujian kekerasan menunjukkan bahwa semakin meningkat konsentrasi NLS maka kekerasan sabun padat bentonit juga meningkat. Hal ini dapat disebabkan oleh perubahan jumlah air yang ditambahkan ke dalam massa sabun. Dengan meningkatnya konsentrasi NLS yang ditambahkan, maka jumlah air yang ditambahkan akan semakin berkurang sehingga kadar airnya akan semakin rendah (Langingi et al., 2014). Kadar air yang rendah dapat menyebabkan sabun semakin keras. Hasil uji statistik One way ANOVA terhadap formula sabun padat bentonit variasi konsentrasi NLS menunjukkan kekerasan sabun padat bentonit terdistribusi secara normal dan menunjukkan hasil nilai Sig <0,05 yang berarti bahwa peningkatan konsentrasi NLS berpengaruh nyata terhadap kekerasan sabun padat bentonit. Kemudian uji lanjut Tukey HSD antara formula A dengan formula B dan antara formula B dengan formula C memiliki nilai sig > 0,05 yang berarti tidak ada perbedaan kekerasan yang bermakna antara formula A dengan formula B dan antara formula B dengan formula C. Berdasarkan hasil uji statistik terhadap ph formula sabun padat bentonit variasi konsentrasi NLS dengan sabun komersil menunjukkan data tidak terdistribusi normal dan tidak homogen sehingga dilanjutkan dengan uji Kruskal Wallis yang menunjukkan nilai sig < 0,05 yang berarti bahwa ada perbedaan ph yang bermakna antara sabun padat bentonit variasi konsentrasi NLS dengan sabun komersil. 4.3.4 Pengujian Tinggi dan Stabilitas Busa Sabun Padat Bentonit Busa adalah dispersi gas dalam cairan yang distabilkan oleh suatu zat pembusa, merupakan struktur yang relatif stabil dan terdiri atas kantong-kantong udara yang terbungkus oleh lapisan tipis (Ayu, et al., 2010). Zat pembusa bekerja untuk menjaga agar busa tetap terbungkus dalam lapisan-lapisan tipis, dimana

40 molekul gas terdispersi dalam cairan. Larutan-larutan yang mengandung bahan aktif permukaan akan menghasilkan busa yang stabil bila dicampur dengan air (Purnamawati, 2006). Pemeriksaan tinggi busa merupakan salah satu cara untuk mengontrol suatu produk deterjen atau surfaktan agar menghasilkan sediaan yang memiliki kemampuan dalam menghasilkan busa (Saputri dkk, 2014). Tidak ada syarat tinggi busa minimum atau maksimum untuk sediaan sabun. Hal ini lebih dikaitkan pada nilai estetika yang disukai oleh konsumen, yaitu umumnya konsumen beranggapan bahwa sabun yang baik adalah sabun yang menghasilkan banyak busa, padahal banyaknya busa tidak selalu sebanding dengan kemampuan daya bersih sabun (Purnamawati, 2006). Pembusaan sabun dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu adanya bahan aktif sabun atau surfaktan (natrium lauril sulfat), penstabil busa (seperti betain) serta bahan penyusun sabun yang lain seperti jenis minyak yang digunakan (Suryani dkk, 2007). Hasil evaluasi tinggi busa sabun padat bentonit diperoleh tinggi busa berkisar 1,37-1,67 cm. Dari hasil pengujian tinggi busa sabun padat bentonit diketahui bahwa tinggi busa sabun semakin meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi NLS. Hal ini disebabkan karena NLS bertindak sebagai surfaktan pembentuk busa pada sabun padat bentonit, sehingga dengan meningkatnya konsentrasi NLS maka tinggi busa yang dihasilkan juga meningkat. Jika dibandingkan dengan tinggi busa sabun komersil yaitu 1,43 cm, tinggi busa formula B dan formula C masih menunjukkan hasil yang lebih baik. Hasil evaluasi stabilitas busa sabun padat bentonit selama 1 jam diperoleh persentase stabilitas busa berkisar antara 92,68%-93,98%. Stabilitas busa yang dihasilkan meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi NLS sebagai surfaktan pembentuk busa. Stabilitas busa yang dihasilkan juga dapat disebabkan oleh adanya surfaktan sekunder yaitu betain yang dapat berfungsi sebagai penstabil busa (Paye et al., 2006). Menurut Deragon et al. (1968) kriteria stabilitas busa yang baik yaitu, apabila dalam waktu 5 menit diperoleh kisaran stabilitas busa antara 60-70% (Rozi, 2013). Hal ini menunjukkan bahwa masing-masing formula sudah memiliki stabilitas busa yang cukup baik. Jika dibandingkan dengan stabilitas busa sabun komersial Lifebouy dengan presentase 79,05%,

41 rata-rata presentase stabilitas busa sabun padat bentonit masih menunjukkan hasil yang lebih baik. Hasil uji statistik One way ANOVA terhadap formula sabun padat bentonit variasi konsentrasi NLS menunjukkan tinggi busa sabun padat bentonit terdistribusi secara normal dan memiliki nilai Sig <0,05 yang berarti bahwa peningkatan konsentrasi NLS berpengaruh nyata terhadap tinggi busa sabun padat bentonit yang dihasilkan. Kemudian uji lanjut Tukey HSD formula B dengan formula C memiliki nilai sig > 0,05 yang berarti tidak ada perbedaan tinggi busa yang bermakna antara formula B dengan formula C. Berdasarkan hasil uji statistik terhadap formula sabun padat bentonit variasi konsentrasi NLS dengan sabun komersil menunjukkan nilai sig < 0,05 yang berarti bahwa ada perbedaan tinggi busa yang bermakna antara sabun padat bentonit dengan sabun komersil. Kemudian uji lanjut Tukey HSD formula A dengan sabun komersil memiliki nilai sig > 0,05 yang berarti tidak ada perbedaan tinggi busa yang bermakna antara formula A dengan sabun komersil. Selanjutnya hasil uji statistik One way ANOVA terhadap formula sabun padat bentonit variasi konsentrasi NLS menunjukkan stabilitas busa sabun padat bentonit terdistribusi secara normal dan memiliki nilai Sig < 0,05 yang berarti bahwa peningkatan konsentrasi natrium lauril sulfat berpengaruh nyata terhadap stabilitas busa sabun padat bentonit yang dihasilkan. Kemudian uji lanjut Tukey HSD antara formula B dengan formula C memiliki nilai sig > 0,05 yang berarti tidak ada perbedaan stabilitas busa yang bermakna antara formula B dengan formula C. Berdasarkan hasil uji statistik terhadap stabilitas busa formula sabun padat bentonit dengan sabun komersil menunjukkan data tidak terdistribusi normal sehingga dilanjutkan dengan uji Kruskal Wallis yang menunjukkan nilai sig < 0,05 yang berarti bahwa ada perbedaan stabilitas busa yang bermakna antara sabun padat bentonit variasi konsentrasi NLS dengan sabun komersil. Berdasarkan hasil analisis statistik ANOVA terhadap tinggi dan stabilitas busa, konsentrasi NLS 4% dan NLS 5% menunjukkan nilai yang tidak berbeda signifikan. Oleh karena itu, dengan pertimbangan bahwa dengan konsentrasi NLS yang lebih rendah lebih memudahkan dalam proses pembuatan sabun terutama dalam proses melarutkan NLS dan penuangan ke dalam cetakan dan memiliki

42 kecenderungan lebih aman terhadap efek iritasi kulit, dimana bila surfaktan yang digunakan pada konsentrasi lebih dari 4% dapat menimbulkan iritasi pada kulit (Williams dan Schmitt, 2002 dalam Hardian, 2014) serta dari segi ekonomis dapat mengurangi biaya produksi, maka NLS 4% dipilih sebagai konsentrasi terbaik dalam memberikan tinggi dan stabilitas busa sabun padat bentonit. 4.4 Evaluasi Mutu Sabun Mandi Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) Tabel 4.4 Hasil Pengujian Mutu Sabun Mandi Menurut SNI No Karakteristik Satuan Hasil Persyaratan Pengujian 1 Kadar Air % 24,82 Maks. 15 2 Jumlah Asam % 0,23 >70 Lemak 3 Alkali Bebas % 0,00 Maks 0,1 (dihitung sebagai NaOH) 4 Minyak Mineral - Negatif Negatif 4.4.1 Kadar Air Kadar air merupakan banyaknya air yang terdapat di dalam bahan yang dinyatakan dalam persen. Pengukuran kadar air perlu untuk dilakukan karena akan berpengaruh terhadap kualitas sabun (Hambali dkk, 2004). Menurut Spitz (1996), banyaknya air yang ditambahkan pada sabun akan berpengaruh terhadap kelarutan sabun. Semakin banyak air yang terkandung dalam sabun maka sabun akan semakin mudah menyusut pada saat digunakan (Hernani et al., 2010). Kadar air juga dapat mempengaruhi tingkat kekerasan dari sabun padat. Semakin tinggi kadar air sabun maka tingkat kekerasan sabun akan semakin lunak, sebaliknya semakin rendah kadar air sabun maka tingkat kekerasan sabun akan semakin keras (Hardian dkk, 2014). Berdasarkan pengujian yang dilakukan diketahui bahwa kadar air sabun padat bentonit yang diperoleh sebesar 24,82%. Kadar air sabun yang dihasilkan tersebut melebihi persyaratan kadar air sabun mandi menurut SNI yaitu maksimal 15%. Hal ini dapat disebabkan oleh banyaknya air yang ditambahkan saat proses pembuatan sabun dan hasil samping proses penyabunan (Karo, 2011). Villela dan

43 Suranyi (1996) menyatakan bahwa asam lemak (RCOOH) yang bereaksi dengan NaOH akan membentuk sabun (RCOONa) dan air (H 2 O) (Widiyanti, 2009). 4.4.2 Jumlah Asam Lemak Asam lemak merupakan komponen utama penyusun minyak atau lemak. Pengukuran jumlah asam lemak dilakukan untuk mengetahui jumlah asam lemak yang terdapat dalam sabun dengan cara memutus ikatan antara asam lemak dengan natrium pada sabun menggunakan asam kuat (Widiyanti, 2009). Jenis asam lemak yang digunakan menentukan karakteristik sabun yang dihasilkan. Jumlah asam lemak pada sabun menunjukkan total jumlah asam lemak yang tersabunkan dan asam lemak bebas yang terkandung pada sabun. Asam lemak yang terkandung dalam sabun dapat berasal dari asam stearat dan minyak nabati yang digunakan sebagai bahan baku. Menurut SNI 1994, jumlah asam lemak yang baik dalam sabun mandi adalah minimal 70%. Artinya bahan-bahan yang ditambahkan sebagai bahan pengisi dalam sabun sebaiknya kurang dari 30%. Hal ini dimaksudkan untuk mengefisienkan proses pembersihan kotoran berupa minyak atau lemak pada saat sabun digunakan (Karo, 2011). Menurut William dan Schmitt (2002), dalam suatu formulasi, asam lemak berperan sebagai pengatur konsistensi. Asam lemak diperoleh secara alami melalui saponifikasi trigliserida. Ditambahkan pula oleh Spitz (1996), bahwa asam lemak memiliki kemampuan terbatas untuk larut dalam air. Hal ini akan membuat sabun menjadi lebih tahan lama pada kondisi setelah digunakan (Hambali dkk, 2004), sehingga jika jumlah asam lemak sabun rendah maka sabun akan cepat habis ketika digunakan (Karo, 2011). Berdasarkan pengujian yang dilakukan diketahui jumlah asam lemak sabun padat bentonit diperoleh sebesar 0,23%. Jumlah asam lemak yang dihasilkan tersebut sangat rendah sehingga tidak memenuhi persyaratan menurut SNI yaitu minimal 70%. Hal ini dapat disebabkan karena dalam formulasi sabun padat bentonit ditambahkan beberapa bahan tambahan seperti bentonit, gliserin, NLS, betain dan bahan lainnya dengan jumlah yang tinggi sehingga sabun padat bentonit memiliki lebih sedikit stok sabun dibandingkan dengan sabun mandi

44 biasa. Stok sabun yang dihasilkan merupakan hasil reaksi saponifikasi dari asam lemak. 4.4.3 Alkali Bebas Alkali bebas merupakan alkali yang tidak terikat sebagai senyawa pada saat pembuatan sabun karena adanya penambahan alkali yang berlebihan pada proses penyabunan (Karo, 2011). Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui jumlah alkali bebas yang terdapat dalam sabun. Kelebihan alkali dapat disebabkan karena penambahan alkali yang berlebih pada proses pembuatan sabun. Alkali bebas yang melebihi standar akan menyebabkan iritasi pada kulit (Hambali dkk, 2004). Bila kadar alkali bebas terlalu tinggi, akan menyebabkan kulit menjadi kering (Hernani et al., 2010). Alkali bebas yang ada dalam sabun yang dihasilkan dalam penelitian ini adalah natrium, karena alkali yang digunakan dalam pembuatan sabun adalah natrium hidroksida. Berdasarkan pengujian yang dilakukan diketahui kadar alkali bebas dalam sabun padat bentonit diperoleh sebesar 0,00%. Kadar alkali yang dihasilkan tersebut memenuhi persyaratan mutu sabun mandi menurut SNI 1994 yaitu maksimal 0,1%. Hal ini berarti bahwa sabun padat bentonit yang dihasilkan memiliki kadar alkali bebas yang sangat rendah sehingga aman digunakan karena memiliki kecenderungan tidak mengiritasi kulit. 4.4.4 Minyak Mineral Minyak mineral adalah minyak yang berasal dari penguraian bahan organik oleh jasad renik seperti minyak bumi dan turunannya (Hambali dkk, 2004). Keberadaan minyak mineral dalam sabun sangat tidak diharapkan karena akan mempengaruhi proses emulsi sabun dengan air. Apabila terdapat minyak mineral pada sabun, maka akan menyebabkan daya emulsi pada sabun menurun (Qisti, 2009). Berdasarkan pengujian yang dilakukan diketahui kandungan minyak mineral pada sabun padat bentonit adalah negatif. Hasil pengujian ini telah memenuhi persyaratan mutu sabun menurut SNI bahwa kandungan minyak mineral pada sabun mandi adalah negatif.

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan 1. Peningkatan konsentrasi asam stearat dapat mempengaruhi kekerasan sabun padat bentonit. Semakin tinggi konsentrasi asam stearat dalam formula sabun, maka semakin tinggi pula kekerasan sabun padat bentonit yang dihasilkan. 2. Konsentrasi asam stearat 9% merupakan konsentrasi asam stearat yang memberikan kekerasan paling tinggi pada sabun padat bentonit. 3. Peningkatan konsentrasi NLS dapat mempengaruhi ph, tinggi busa, stabilitas busa dan kekerasan sabun padat bentonit. 4. Konsentrasi NLS 4% dan 5% merupakan konsentrasi NLS terbaik dalam memberikan sifat fisika kimia sabun berupa ph, tinggi busa dan stabilitas busa serta kekerasan pada sabun padat bentonit. 5. Berdasarkan hasil uji syarat mutu sabun mandi menurut SNI menunjukkan kadar air dan jumlah asam lemak formula B belum memenuhi syarat mutu sabun mandi menurut SNI. 5.2 Saran 1. Perlu dilakukan optimasi formula untuk mengurangi kadar air dalam sabun padat bentonit. 2. Perlu dilakukan uji daya antimikroba sabun padat bentonit terhadap air liur anjing. 3. Dilakukan uji efektivitas pengawet dalam sabun padat bentonit untuk mencegah pertumbuhan mikroba setelah jangka waktu pemakaian. 45

46 DAFTAR PUSTAKA Ad-imasyqi, Syaikh al- Allamah Muhammad bin Abdurrahman. 2001. Fiqh Empat Mazhab. Bandung: Hasyimi Press. Al-Faridy, Hasan Rifa i dan Iqbal Setyarso. 2009. 100 ++ Tanya Jawab Seputar Bersuci. Jakarta Selatan: Qultum Media. Anggraeni, Ika Nustiana. 2014. Optimasi Formula Sabun Bentonit Penyuci Najis Mughalladzah dengan Kombinasi Minyak Kelapa (Coconut Oil) dan Minyak Kelapa Sawit (Palm oil) Menggunakan Simplex lattice Design. Skripsi. Yogyakarta: Fakultas Farmasi Universitas Gajah Mada. Asad, Md. Abdullah., Shantanu Kar., Mohammad Ahmeduzzaman dan Md. Raquibul Hassan. 2013. Suitability of Bentonite Clay: an analytical approach, International Journal of Earth Science 2013; 2(3): 88-95. Blangladesh: Science Publishing Gruop. Association of Official Analytical Chemists. 1995. Official Methods of Analisys Chemist, Vol. 1A. Washington: AOAC Incorporation. Attwood, David dan Florence, Alexander T. 2012. FASTtrack: Physical Pharmacy, 2nd edition. Pharmaceutical Press: London, UK. Ayu, Dewi Fortuna., Akhyar Ali., dan Rudianda Sulaiman. 2010. Evaluasi Mutu Sabun Padat Dari Minyak Goreng Bekas Makanan Jajanan Di Kecamatan Tampan Kota Pekanbaru dengan Penambahan Natrium Hidroksida dan Lama Waktu Penyabunan, Prosiding SEMNAS 2010. Riau: Fakultas Pertanian Universitas Riau. http://repository.unri.ac.id/xmlui/bitstream/handle/123456789/523/proid ING%20SEMNAS%20LINGKUNGAN%20HIDUP%202010.pdf?sequen ce=3, diakses pada 26 Januari 2016 pukul 11:47. Barel, A.O., Paye, M., dan Maibach, H.I. 2009. Handbook of Cosmetic Science and Technology, 3rd Edition. New York: Informa Healthcare USA, Inc.

47 Dahlan, Winai. 2010. Najis Cleansing Clay Liquid Soap. Bangkok: Patent Cooperation Treaty (PTC). http://www.freepatentsonline.com/wo2010101534.html, diakses pada 20 Juni 2016 pukul 08:00 WIB. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1995. Farmakope Indonesia, Edisi IV. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengawas Obat dan Makanan. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1979. Farmakope Indonesia, Edisi III. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengawas Obat dan Makanan. Fatwa Malaysia. 2013. Kedudukan Anjing Dalam Islam Serta Hukum Berkaitannya. http://www.efatwa.gov.my/sites/default/files/kedudukan_anjing_dan_huku m_berkaitannya.pdf, diakses pada 23 Januari 2016 pukul 09:30 WIB. Fatwa Malaysia. 2006. Hukum Melakukan Samak Najis Mughallazah Menggunakan Sabun Tanah Liat. http://www.e-fatwa.gov.my/fatwakebangsaan/hukum-melakukan-samak-najis-mughallazah-menggunakansabun-tanah-liat, diakses pada 23 Januari 2016 pukul 09:30 WIB. Farn, Richard J. 2006. Chemistry and Technology of Surfactants. New Delhi: Blackwall Publishing. Fitriana, Rizka Astikah. 2015. Optimasi Formula Krim Antibakteri Ekstrak Kulit Buah Manggis (Garcinia mangostana Linn) Menggunakan Asam Stearat Sebagai Emulgator dan Trietanolamin Sebagai Alkalizing Agent dengan Metode Desain Faktorial, Naskah Publikasi. Surakarta: Fakultas farmasi Universitas Muhammadiyah Surakarta. Gusviputri, Arwinda., Njoo Meliana P., Aylianawati, dan Nani Indraswati. 2013. Pembuatan Sabun dengan Lidah Buaya (Aloe Vera) sebagai Antiseptik Alami, Widya Teknik Widya Teknik Vol. 12, No. 1, 2013 (11-21).

48 https://www.academia.edu/3431586/pembuatan_sabun_dengan LIDAH_BUAYA_ALOE_VERA_SEBAGAI_ANTISEPTIK_ALAMI, diakses pada 25 Januari 2016 pukul 22:09 WIB. Hambali, Erliza., Ani Suryani., dan Evimia Indriani Umiarti. 2004. Kajian Pengaruh Penambahan Lidah Buaya (Aloe vera) Terhadap Mutu Sabun Transparan, Jurnal Teknologi Industri Pertanian Vol. 14(2). Bogor: Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Hardian, Khairil., Akhyar Ali., dan Yusmarini. 2014. Evaluasi Mutu Sabun Padat Transparan Dari Minyak Goreng Bekas dengan Penambahan (Sodium Lauryl Sulfate) dan Sukrosa, Jom Faperta Vol. 1 No. 2 Oktober 2014. Riau: Fakultas Pertanian Universitas Riau. Hasanah, Uswatun. 2011. Perilaku Bersuci Masyarakat Islam: Etika Membersihkan Najis (Studi di Masyarakat Pulo Gerbang Jakarta Timur). Skripsi. Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Handayani A.P, Hika Citra. Pengaruh Peningkatan Konsentrasi Ekstrak Etanol 96% Biji Alpukat (Perseae americana Mill) Terhadap Formulasi Sabun Padat Transparan. Skripsi. Jakarta: Fakultas Farmasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Hernani., Tatit K. Bunasor., dan Fitriati. 2010. Formula Sabun Transparan Antijamur dengan Bahan Aktif Ekstrak Lengkuas (Alpinia galanga L.Swartz.), Bul. Littro. Vol. 21 No. 2, 2010, 192 205. Bogor: Balitro Litbang Pertanian. http://balittro.litbang.pertanian.go.id/ind/images/publikasi/bul.vol.21.no.2s abun%20ekstrak%20lengkuas.pdf, diakses pada 24 Januari 2016 pukul 13:38 WIB. Hunting, L.L, Anthony. 1983. Encyclopedia of Shampoo Ingridients. Cranford, New Jersey and London: Micelle Press.

49 Ibrahim, Bustami., Pipih Suptijah., dan Slamet Hermanto. 2005. Penggunaan Bentonit dalam Pembuatan Sabun dari Limbah Netralisasi Minyak Ikan Lemuru (Sardinella sp),vol VIII Nomor 2 Tahun. Bogor: Buletin Teknologi Hasil Perikanan. http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/9925/bustamiibrah im_penggunaanbentonitdalampembuatan.pdf;jsessionid=1ac384dca62 ACCB726FB4A2B0AE019ED?sequence=1, diakses pada 29 Februari 2016 pukul 12:30 WIB. Jannah, Barlianty. 2009. Sifat Fisik Sabun Transparan dengan Penambahan Madu pada Konsentrasi yang Berbeda. Skripsi. Bogor: Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. http://dokumen.tips/documents/uraian-madu.html, diakses pada 25 Januari 2016 pukul 20:59. Kadir, Mohd Nidzam Abdul. 2009. Ikhtilaf (Perbezaan Pendapat) Ulama Dalam Masalah Babi, Seminar Fenomena Najis Mughalladzah dalam Dunia Kontemporari. Malaysia: Persatuan Ulama Malaysia. http://www.najahudin.com/muat%20turun/halal%20food%20%26%20ba bi/ikhtilaf%20(perbezaan%20pendapat)%20ulama%20dalam%20masala h%20babi%20hikmah%20dan%20aplikasinya.pdf, diakses pada 23 Januari 2016 pukul 09:30 WIB. Karo, Armi Yuspita. 2011. Pengaruh Penggunaan Kombinasi Jenis Minyak Terhadap Mutu Sabun Transparan. Skripsi. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Khoirunnisa. 2010. Perilaku Thaharah (Bersuci) Masyrakat Bukit Kemuning Lampung Utara Tinjauan Sosiologi Hukum. Skripsi. Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum.

50 Langingi, Raymon., Lidya I. Momuata., & Maureen G. Kumaunanga. 2014. Pembuatan Sabun Mandi Padat dari VCO yang Mengandung Karotenoid Wortel, Jurnal MIPA UNSRAT Online 1 (1) 20-23. Manado: FMIPA UNSRAT. Majelis Ulama Indonesia (MUI). 2003. Fatwa Mejelis Ulama Indonesia Nomor 4 Tahun 2003 Tentang Standardisasi Fatwa Halal. Jakarta: Majelis Ulama Indonesia Komisi Fatwa. Maulana, Achmad. 2004. Kamus Ilmiah Populer Lengkap. Yogyakarta: Absolut. Maripa, Baiq Risni., Yeti Kurniasih, dan Ahmadi. 2015. Pengaruh Konsentrasi NaOH Terhadap Kualitas Sabun Padat Dari Minyak Kelapa (Cocos nucifera) yang Ditambahkan Sari Bunga Mawar (Rosa L.). Mataram: Pendidikan Kimia FPMIPA IKI Mataram. http://lppm.ikipmataram.ac.id/wp-content/uploads/2015/04/baiq- RisniMaripaPengaruh-Konsentrasi-NaOH-terhadap-Kualitas-Sabun-Padatdari-Minyak-Kelapa-Pend-Kimia.pdf, diakses pada 19 Januari 2016 pukul 14:44 WIB. Miller, Kathy. 2003. Miller's Homemade Soap Pages: Choosing Your Oils, Oil Properties of Fatty Acid, http://www.millersoap.com/soapdesign.html, diakses pada 24 Januari 2016 pukul 14:38 WIB. Mitsui, T. 1997. New Cosmetic Science. Amsterdam-Netherlands: Elsevier Science B.V. Mughniyah, Muhammad Jawad. 2015. Fiqh Lima Mazhab. Jakarta: Lentera. Parasuram, K S. 1995. Soaps and Detergents. New Delhi: Tata McGraw Hill Publishing Company Limited. Paye, Marc, Andre O. Barel dan H.I. Maibach. 2006. Handbook of Cosmetic Science and Technology, 2nd Edition. New York: CRC Press.

51 Purnamawati, Debbi. 2006. Kajian Pengaruh Konsentrasi Sukrosa dan Asam Sitrat Terhadap Mutu Sabun Transparan. Skripsi. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Rosen, Milton J. 1978. Surfactants and Interfacial Phenomena. USA: John Wiley & Sons. Rosen, Milton J dan Joy T. Kunjappu. 2012. Surfactant and Interfacial Phenomena, Fourth Edition. USA: John Wiley & Sons. Rifa i, Mohammad. 2006. Risalah Tuntunan Shalat Lengkap. Semarang: PT. Karya Toha Putra. Rowe, Raymond C., Paul J Sheskey dan Sian C Owen. 2006. Handbook of Pharmaceutical Excipients, Fifth Edition. London: Pharmaceutical Press. Rozi, Muhammad. 2013. Formulasi Sediaan Sabun Mandi Transparan Minyak Atsiri Jeruk Nipis (Citrus aurantifolia) dengan Cocamid DEA Sebagai Surfaktan. Naskah Publikasi. Surakarta: Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah Surakarta. Sari, Putri Septika. 2008. Pengaruh Konsentrasi Etanol 70% Pada Formulasi Sabun Padat Transparan Minyak Zaitun (Olive oil). Skripsi. Jakarta: Fakultas Farmasi. Sameng, MR. Wanhusen. 2013. Formulasi Sediaan Sabun Padat Sari Beras (Oryza sativa) Sebagai Antibakteri Terhadap Staphylococcus epidermidis. Naskah Publikasi. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Jakarta. http://eprints.ums.ac.id/27308/12/naskah_publikasi.pdf, diakses pada 19 Januari 2016 pukul 15:21 WIB. Saputri, Wiradika., Naniek Setiadi Radjab., dan Kori Yati. 2014. Perbandingan OptimasiNatrium Lauril Sulfat dengan Optimasi Natrium Lauril Eter Sulfat Sebagai Surfaktan terhadap Sifat Fisik Sabun Mandi Cair Ekstrak Air Kelopak Bunga Rosela (Hibiscus sabdariffa L.). Jakarta: Fakultas Farmasi dan Sains Universitas Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA.

52 Sari, Tuti Indah., Julianti Perdana Kasih., dan Tri Jayanti Nanda Sari. 2010. Pembuatan Sabun Padat dan Sabun Cair Dari Minyak Jarak, Jurnal Teknik Kimia, No. 1, Vol. 17, Januari 2010. Palembang: Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya. http://jtk.unsri.ac.id/index.php/jtk/article/view/99/98, diakses pada 24 Januari 2016 pukul 12:11 WIB. Setyoningrum, Elisabeth Nita Maharani. 2010. Optimasi Formula Sabun Transparan dengan Fase Minyak Virgin Coconut Oil dan Surfaktan Cocoamidopropil Betaine : Aplikasi Desain Faktorial. Skripsi. Yogyakarta: Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma. Sumaji, Muhammad Anis. 2008. 125 Masalah Thaharah. Solo : Tiga Serangkai. Suryani, A., S. Windarwati dan E. Hambali. 2007. Pemanfaatan Gliserin Hasil Samping Produksi Biodiesel dari Berbagai Bahan Baku (sawit, jarak, kelapa) Untuk Sabun Transparan. Bogor: Pusat Penelitian Surfaktan Dan Bioenergi Jakarta LPPM IPB. Susilawati & Nurul Alam Naqiatuddin. 2014. Chemical Activation of Bentonite Clay and Its Adsorption Properties of Methylene Blue, Jurnal Natural Vol. 14, No.2, 7-12, September 2014 ISSN 1141-8513. Banda Aceh: Fakultas MIPA Universitas Syiah Kuala. Schramm, Laurier L. 2005. Emulsion, Foams, and Suspensions. Germany: Wiley VCH Verlag GmbH&Co.KGaA, Weinheim. Standarisasi Nasional Indonesia. 1994. Standar Mutu Sabun Mandi, SNI 06-3532 1994. Jakarta : Badan Standarisasi Nasional. Tjitraresmi, Ami., Sri Agung Fitri Kusuma dan Dewi Rusmiati. 2010. Formulasi Dan Evaluasi Sabun Cair Antikeputihan Dengan Ekstrak Etanol Kubis Sebagai Zat Aktif. Bandung: Fakultas Farmasi Universitas Padjajaran Bandung.

53 http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2011/09/pustaka_unpad_for mulasi_dan-evaluasi_sabun_cair.pdf, diakses pada tanggal 28 Mei 2016 pukul 20:30 WIB. Wasitaatmadja, S., M. 1997. Penuntun Ilmu Kosmetik Medik: Jakarta: UI Press. Wati, Desi Susilo. 2015. Optimasi Formula Sabun Cair Bentonit Sebagai Penyuci Najis Mughalladzah Menggunakan Kombinasi Minyak Kelapa Dan Minyak Kelapa Sawit Dengan Simplex Lattice Design. Skripsi. Yogyakarta: Fakultas Farmasi Universitas Gajah Mada. http://etd.repository.ugm.ac.id/index.php?mod=penelitian_detail&sub=pen elitiandetail&act=view&typ=html&buku_id=82249&obyek_id=4, diakses pada tanggal 28 Mei 2016 pukul 20:30 WIB. Widiyanti, Yunita. 2009. Kajian Pengaruh Jenis Minyak Terhadap Mutu Sabun Transparan. Skripsi. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Wijana, S., Mustaniroh, S.A., dan Wahyuningrum, I., 2005. Pemanfaatan Minyak Goreng Bekas untuk Pembuatan Sabun: Kajian Lama Penyabunan dan Konsentrasi Dekstrin, Jurnal Teknologi Pertanian Vol.6 (3). Malang: FTP Universitas Brawijaya. Zurinal dan Aminuddin. 2008. Fiqh Ibadah. Jakarta: Lembaga Penelitian Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

LAMPIRAN

54 Lampiran 1. Certificate of Analyze Minyak Kelapa

55 Lampiran 2. Certificate of Analyze Natrium Hidroksida

56 Lampiran 3. Certificate of Analyze Asam Stearat

57 Lampiran 4. Certificate of Analyze Cocamidopropyl Betaine

58 Lampiran 5. Certificate of Analyze Gliserin

59 Lampiran 6. Certificate of Analyze Sodium Lauryl Sulfate

60 Lampiran 7. Certificate of Analyze Bentonit

61 Lampiran 8. Certificate of Analyze Triklosan

62

63 Lampiran 9. Hasil Uji Statistik ph Sabun Padat Bentonit (Variasi Konsentrasi Asam Stearat) Uji Normalitas Formula Sabun Padat Bentonit (Variasi Konsentrasi Asam Stearat) Tests of Normality Kolmogorov-Smirnov a Shapiro-Wilk Statistic df Sig. Statistic df Sig. ph.331 12.001.777 12.005 a. Lilliefors Significance Correction Uji Kruskal Wallis Formula Sabun Padat Bentonit (Variasi Konsentrasi Asam Stearat) Test Statistics a,b ph Chi-Square 6.543 df 3 Asymp. Sig..088 a. Kruskal Wallis Test b. Grouping Variable: Perlakuan Uji Kruskal Wallis Formula Sabun Padat Bentonit dengan Sabun Komersil Test Statistics a,b ph Chi-Square 11.017 df 4 Asymp. Sig..026 a. Kruskal Wallis Test b. Grouping Variable: Perlakuan Keterangan: Asymp.Sig <0,05, ph berbeda secara signifikan

64 Lampiran 10. Hasil Uji Statistik Kekerasan Sabun Padat Bentonit (Variasi Asam Stearat) Uji Normalitas Kekerasan Sabun Padat Bentonit (Variasi Asam Stearat) Tests of Normality Kolmogorov-Smirnov a Shapiro-Wilk Statistic df Sig. Statistic df Sig. kekerasanvariasiasamstearat.195 12.200 *.917 12.258 a. Lilliefors Significance Correction *. This is a lower bound of the true significance. Uji Normalitas Kekerasan Sabun Padat Bentonit (Variasi Asam Stearat) dengan Sabun Komersil Tests of Normality Kolmogorov-Smirnov a Shapiro-Wilk Statistic df Sig. Statistic df Sig. kekerasavariasiasamstearat.204 15.094.849 15.017 a. Lilliefors Significance Correction Uji Homogenitas Kekerasan Sabun Padat Bentonit (Variasi Asam Stearat) Test of Homogeneity of Variances kekerasanvariasiasamstearat Levene Statistic df1 df2 Sig..819 3 8.519 Uji Homogenitas Kekerasan Sabun Padat Bentonit (Variasi Asam Stearat) dengan Sabun Komersil Test of Homogeneity of Variances kekerasavariasiasamstearat Levene Statistic df1 df2 Sig. 2.511 4 10.108

65 Lampiran 10. (Lanjutan) Uji ANOVA Kekerasan Sabun Padat Bentonit (Variasi Asam Stearat) ANOVA kekerasanvariasiasamstearat Sum of Squares df Mean Square F Sig. Between Groups 562.375 3 187.458 190.434.000 Within Groups 7.875 8.984 Total 570.250 11 Uji Kruskal Wallis Kekerasan Sabun Padat Bentonit (Variasi Asam Stearat) dengan Sabun Komersil Test Statistics a,b kekerasavariasia samstearat Chi-Square 13.524 df 4 Asymp. Sig..009 a. Kruskal Wallis Test b. Grouping Variable: perlakuan

66 Lampiran 10. (Lanjutan) Uji Lanjut Tukey HSD Kekerasan Sabun Padat Bentonit (Variasi Asam Stearat) Multiple Comparisons kekerasavariasiasamstearat Tukey HSD Mean 95% Confidence Interval (I) perlakuan (J) perlakuan Difference (I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound asam stearat 6% asam stearat 7% 9.91667 *.81009.000 7.3225 12.5109 asam stearat8% 11.91667 *.81009.000 9.3225 14.5109 asam stearat 9% 19.16667 *.81009.000 16.5725 21.7609 asam stearat 7% asam stearat 6% -9.91667 *.81009.000-12.5109-7.3225 asam stearat8% 2.00000.81009.140 -.5942 4.5942 asam stearat 9% 9.25000 *.81009.000 6.6558 11.8442 asam stearat8% asam stearat 6% -11.91667 *.81009.000-14.5109-9.3225 asam stearat 7% -2.00000.81009.140-4.5942.5942 asam stearat 9% 7.25000 *.81009.000 4.6558 9.8442 asam stearat 9% asam stearat 6% -19.16667 *.81009.000-21.7609-16.5725 asam stearat 7% -9.25000 *.81009.000-11.8442-6.6558 asam stearat8% -7.25000 *.81009.000-9.8442-4.6558 *. The mean difference is significant at the 0.05 level. Keterangan: Signifikansi <0,05, kekerasan berbeda secara signifikan

67 Lampiran 11. Hasil Uji Statistik ph Sabun Padat Bentonit (Variasi NLS) Uji Normalitas ph Sabun Padat Bentonit (Variasi NLS) Tests of Normality Kolmogorov-Smirnov a Shapiro-Wilk Statistic df Sig. Statistic df Sig. ph.171 9.200 *.924 9.426 a. Lilliefors Significance Correction *. This is a lower bound of the true significance. Uji Normalitas ph Sabun Padat Bentonit (Variasi NLS) dengan Sabun Komersil Tests of Normality Kolmogorov-Smirnov a Shapiro-Wilk Statistic df Sig. Statistic df Sig. ph.144 12.200 *.915 12.250 a. Lilliefors Significance Correction *. This is a lower bound of the true significance. Uji Homogenitas ph Sabun Padat Bentonit (Variasi NLS) Test of Homogeneity of Variances ph Levene Statistic df1 df2 Sig. 1.575 2 6.282 Uji Homogenitas ph Sabun Padat Bentonit (Variasi NLS) dengan Sabun Komersil Test of Homogeneity of Variances ph Levene Statistic df1 df2 Sig. 1.521 3 8.282

68 Lampiran 11. (Lanjutan) Uji ANOVA ph Sabun Padat Bentonit (Variasi NLS) ANOVA ph Sum of Squares df Mean Square F Sig. Between Groups.073 2.037 47.378.000 Within Groups.005 6.001 Total.078 8 Uji ANOVA ph Sabun Padat Bentonit (Variasi NLS) dengan Sabun Komersil ANOVA ph Sum of Squares df Mean Square F Sig. Between Groups.307 3.102 103.204.000 Within Groups.008 8.001 Total.314 11 Uji Lanjut Tukey HSD ph Sabun Padat Bentonit (Variasi NLS) Multiple Comparisons ph Tukey HSD (I) (J) Mean Difference 95% Confidence Interval Perlakuan Perlakuan (I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound NLS 3% NLS 4%.096667 *.022727.013.02693.16640 NLS 5% -.124000 *.022727.004 -.19373 -.05427 NLS 4% NLS 3% -.096667 *.022727.013 -.16640 -.02693 NLS 5% -.220667 *.022727.000 -.29040 -.15093 NLS 5% NLS 3%.124000 *.022727.004.05427.19373 NLS 4%.220667 *.022727.000.15093.29040 *. The mean difference is significant at the 0.05 level.

69 Lampiran 11. (Lanjutan) Uji Lanjut Tukey HSD ph Sabun Padat Bentonit (Variasi NLS) dengan Sabun Komersil ph Tukey HSD Multiple Comparisons Mean 95% Confidence Interval Difference (I- (I) Perlakuan (J) Perlakuan J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound NLS 3% NLS 4%.096667 *.025692.023.01439.17894 NLS 5% -.124000 *.025692.006 -.20627 -.04173 sabun komersil -.331000 *.025692.000 -.41327 -.24873 NLS 4% NLS 3% -.096667 *.025692.023 -.17894 -.01439 NLS 5% -.220667 *.025692.000 -.30294 -.13839 sabun komersil -.427667 *.025692.000 -.50994 -.34539 NLS 5% NLS 3%.124000 *.025692.006.04173.20627 NLS 4%.220667 *.025692.000.13839.30294 sabun komersil -.207000 *.025692.000 -.28927 -.12473 sabun komersil NLS 3%.331000 *.025692.000.24873.41327 NLS 4%.427667 *.025692.000.34539.50994 NLS 5%.207000 *.025692.000.12473.28927 *. The mean difference is significant at the 0.05 level. Keterangan: Signifikansi <0,05, ph berbeda secara signifikan

70 Lampiran 12. Hasil Uji Statistik Kekerasan Sabun Padat Bentonit (Variasi Konsentrasi NLS) Uji Normalitas Kekerasan Sabun Padat Bentonit (Variasi Konsentrasi NLS) Tests of Normality Kolmogorov-Smirnov a Shapiro-Wilk Statistic df Sig. Statistic df Sig. kekerasan.162 9.200 *.942 9.608 a. Lilliefors Significance Correction *. This is a lower bound of the true significance. Uji Normalitas Kekerasan Sabun Padat Bentonit (Variasi Konsentrasi NLS) dengan Sabun Komersil Tests of Normality Kolmogorov-Smirnov a Shapiro-Wilk Statistic df Sig. Statistic df Sig. kekerasanvariasinls.373 12.000.657 12.000 a. Lilliefors Significance Correction Uji Homogenitas Kekerasan Sabun Padat Bentonit (Variasi Konsentrasi NLS) kekerasan Test of Homogeneity of Variances Levene Statistic df1 df2 Sig. 3.182 2 6.114 Uji Homogenitas Kekerasan Sabun Padat Bentonit (Variasi Konsentrasi NLS) dengan Sabun Komersil Test of Homogeneity of Variances kekerasanvariasinls Levene Statistic df1 df2 Sig. 5.065 3 8.030

71 Lampiran 12. (Lanjutan) Uji ANOVA Kekerasan Sabun Padat Bentonit (Variasi Konsentrasi NLS) ANOVA kekerasan Sum of Squares df Mean Square F Sig. Between Groups 12162.500 2 6081.250 7.154.026 Within Groups 5100.000 6 850.000 Total 17262.500 8 Uji Kruskal Wallis Kekerasan Sabun Padat Bentonit (Variasi Konsentrasi NLS) dengan Sabun Komersil Test Statistics a,b kekerasanvariasi nls Chi-Square 9.464 df 3 Asymp. Sig..024 a. Kruskal Wallis Test b. Grouping Variable: perrlakuan

72 Lampiran 12. (Lanjutan) Uji Lanjut Tukey HSD Kekerasan Sabun Padat Bentonit (Variasi Konsentrasi NLS) kekerasanvariasinls Tukey HSD Multiple Comparisons (I) (J) 95% Confidence Interval perrlakua perrlakua Mean Difference n n (I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound nls 3% nls 4% 2.41667.79349.051 -.0180 4.8513 nls 5% 2.75000 *.79349.031.3153 5.1847 nls 4% nls 3% -2.41667.79349.051-4.8513.0180 nls 5%.33333.79349.909-2.1013 2.7680 nls 5% nls 3% -2.75000 *.79349.031-5.1847 -.3153 nls 4% -.33333.79349.909-2.7680 2.1013 *. The mean difference is significant at the 0.05 level. Keterangan: Signifikansi <0,05, kekerasan berbeda secara signifikan

73 Lampiran 13. Hasil Uji Statistik Tinggi Busa Sabun Padat Bentonit Uji Normalitas Tinggi Busa Sabun Padat Bentonit Tests of Normality Kolmogorov-Smirnov a Shapiro-Wilk Statistic df Sig. Statistic df Sig. tinggibusa.161 9.200 *.955 9.740 a. Lilliefors Significance Correction *. This is a lower bound of the true significance. Uji Normalitas Tinggi Busa Sabun Padat Bentonit dengan Sabun Komersil Tests of Normality Kolmogorov-Smirnov a Shapiro-Wilk Statistic df Sig. Statistic df Sig. tinggibusa.241 12.053.910 12.213 a. Lilliefors Significance Correction Uji Homogenitas Tinggi Busa Sabun Padat Bentonit Test of Homogeneity of Variances tinggibusa Levene Statistic df1 df2 Sig. 1.778 2 6.248 Uji Homogenitas Tinggi Busa Sabun Padat Bentonit dengan Sabun Komersil Test of Homogeneity of Variances tinggibusa Levene Statistic df1 df2 Sig. 2.133 3 8.174 Uji ANOVA Tinggi Busa Sabun Padat Bentonit ANOVA tinggibusa Sum of Squares df Mean Square F Sig. Between Groups.162 2.081 8.111.020 Within Groups.060 6.010 Total.222 8

74 Lampiran 13. (Lanjutan) Uji ANOVA Tinggi Busa Sabun Padat Bentonit dengan Sabun Komersil ANOVA tinggibusa Sum of Squares df Mean Square F Sig. Between Groups.243 3.081 9.700.005 Within Groups.067 8.008 Total.309 11 Uji Lanjut Tukey HSD Tinggi Busa Sabun Padat Bentonit Multiple Comparisons tinggibusa Tukey HSD (I) (J) perlakuan perlakuan Mean Difference (I-J) Std. Error Sig. 95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound sls 3% sls 4% -.2667 *.0816.039 -.517 -.016 sls 5% -.3000 *.0816.024 -.551 -.049 sls 4% sls 3%.2667 *.0816.039.016.517 sls 5% -.0333.0816.914 -.284.217 sls 5% sls 3%.3000 *.0816.024.049.551 sls 4%.0333.0816.914 -.217.284 *. The mean difference is significant at the 0.05 level.

75 Lampiran 13. (Lanjutan) Uji Lanjut Tukey HSD Tinggi Busa Sabun Padat Bentonit dengan Sabun Komersil tinggibusa Tukey HSD Multiple Comparisons Mean 95% Confidence Interval Difference (I- (I) perlakuan (J) perlakuan J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound sls 3% sls 4% -.2667 *.0745.030 -.505 -.028 sls 5% -.3000 *.0745.016 -.539 -.061 sabun komersil.0000.0745 1.000 -.239.239 sls 4% sls 3%.2667 *.0745.030.028.505 sls 5% -.0333.0745.968 -.272.205 sabun komersil.2667 *.0745.030.028.505 sls 5% sls 3%.3000 *.0745.016.061.539 sls 4%.0333.0745.968 -.205.272 sabun komersil.3000 *.0745.016.061.539 sabun komersil sls 3%.0000.0745 1.000 -.239.239 sls 4% -.2667 *.0745.030 -.505 -.028 sls 5% -.3000 *.0745.016 -.539 -.061 *. The mean difference is significant at the 0.05 level. Keterangan: Signifikansi <0,05, tinggi busa berbeda secara signifikan

76 Lampiran 14. Hasil Uji Statistik Stabilitas Busa Sabun Padat Bentonit Uji Normalitas Stabilitas Busa Sabun Padat Bentonit Tests of Normality Kolmogorov-Smirnov a Shapiro-Wilk Statistic df Sig. Statistic df Sig. stabilitasbusa.191 9.200 *.943 9.613 a. Lilliefors Significance Correction *. This is a lower bound of the true significance. Uji Normalitas Stabilitas Busa Sabun Padat Bentonit dengan Sabun Komersil Tests of Normality Kolmogorov-Smirnov a Shapiro-Wilk Statistic df Sig. Statistic df Sig. stabilitasbusa.394 12.000.644 12.000 a. Lilliefors Significance Correction Uji Homogenitas Stabilitas Busa Sabun Padat Bentonit Test of Homogeneity of Variances stabilitasbusa Levene Statistic df1 df2 Sig..497 2 6.631 Uji Homogenitas Stabilitas Busa Sabun Padat Bentonit dengan Sabun Komersil Test of Homogeneity of Variances stabilitasbusa Levene Statistic df1 df2 Sig. 2.814 3 8.108

77 Lampiran 14. (Lanjutan) Uji ANOVA Stabilitas Busa Sabun Padat Bentonit ANOVA stabilitasbusa Sum of Squares df Mean Square F Sig. Between Groups 3.106 2 1.553 9.965.012 Within Groups.935 6.156 Total 4.041 8 Uji Kruskal Wallis Stabilitas Busa Sabun Padat Bentonit dengan Sabun Komersil Test Statistics a,b stabilitasbusa Chi-Square 9.492 df 3 Asymp. Sig..023 a. Kruskal Wallis Test b. Grouping Variable: perlakuan Uji Lanjut Tukey HSD Stabilitas Busa Sabun Padat Bentonit Multiple Comparisons stabilitasbusa Tukey HSD (I) (J) perlakuan perlakuan Mean Difference (I-J) Std. Error Sig. 95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound sls 3% sls 4% -1.18000 *.32234.025-2.1690 -.1910 sls 5% -1.30333 *.32234.016-2.2924 -.3143 sls 4% sls 3% 1.18000 *.32234.025.1910 2.1690 sls 5% -.12333.32234.923-1.1124.8657 sls 5% sls 3% 1.30333 *.32234.016.3143 2.2924 sls 4%.12333.32234.923 -.8657 1.1124 *. The mean difference is significant at the 0.05 level. Keterangan: Signifikansi <0,05, stabilitas busa berbeda secara signifikan

78 Lampiran 15. Hasil Evaluasi Percoba an Tabel 5.1 Hasil Evaluasi ph Sabun Padat Bentonit Formula I II III IV A B C Lifebouy 1 10,239 10,107 10,092 10,088 10,231 10,088 10,353 10,576 2 10,183 10,120 10,120 10,111 10,193 10,111 10,283 10,500 3 10,180 10,103 10,103 10,108 10,173 10,108 10,333 10,514 Ratarata 10,201 10,110 10,105 10,102 10,199 10,102 10,323 10,530 Percobaan (satuan: 10 1 mm) Tabel 5.2 Hasil Evaluasi Kekerasan Sabun Padat Bentonit Formula I II III IV A B C Lifebouy 1 51,50 41,50 41 33 35,50 33 33 10 2 51 42,75 39,25 33,75 35 33,75 31 10 3 53,50 42 40 31,75 35,25 31,75 33,50 10,10 Rata-rata 52 42,08 40,08 32,83 35,25 32,83 32,50 10,03 Percobaan (Satuan :cm) Tabel 5.3 Hasil Evaluasi Tinggi Busa Sabun Padat Bentonit Formula A B C Lifebouy 0 1 jam 0 1 jam 0 menit 1 jam 0 menit 1 jam menit menit 1 1,3 1,2 1,5 1,4 1,8 1,7 1,4 1,1 2 1,4 1,3 1,7 1,6 1,6 1,5 1,4 1,1 3 1,4 1,3 1,7 1,6 1,6 1,5 1,5 1,2 Rata-rata 1,37 1,27 1,63 1,53 1,67 1,57 1,43 1,13

79 Lampiran 15. (Lanjutan) Tabel 5.4 Hasil Evaluasi Stabilitas Busa Sabun Padat Bentonit Formula Percobaan (Satuan : %) A B C Lifebouy 1 92,31 93,33 94,44 78,57 2 92,86 94,12 93,75 78,57 3 92,86 94,12 93,75 80 Rata-rata 92,86 93,87 93,98 79,05 Lampiran 16. Perhitungan Stabilitas Busa Sabun Padat Bentonit Stabilitas busa = 100% - % Busa yang hilang % Busa yang hilang = x 100% Formula A %Busa yang hilang = x 100% = 7,69% Stabilitas busa = 100%-7,69% = 92,31% %Busa yang hilang = x 100% = 7,14% 92,68% Stabilitas busa = 100%-7,14% = 92,86% %Busa yang hilang = x 100% = 7,14% Stabilitas busa = 100%-7,14% = 92,86% Formula B %Busa yang hilang = x 100% = 6,67% Stabilitas busa = 100%-6,67% = 93,33% %Busa yang hilang = x 100% = 5,88% 93,87% Stabilitas busa = 100%-5,88% = 94,12% %Busa yang hilang = x 100% = 5,88% Stabilitas busa = 100%-5,88% = 94,12%

80 Lampiran 16. (Lanjutan) Formula C %Busa yang hilang = x 100% = 5,56% Stabilitas busa = 100%-5,56% = 94,44% %Busa yang hilang = x 100% = 6,25% 93,98% Stabilitas busa = 100%-6,25% = 93,75% %Busa yang hilang = x 100% = 6,25% Stabilitas busa = 100%-6,25% = 93,75%

81 Lampiran 17. Hasil Pengujian Mutu Sabun Mandi Menurut SNI

82 Lampiran 17. (Lanjutan)

83 Lampiran 18. Gambar Sabun Gambar 5.1 Sabun FI (Asam Stearat 6%) Gambar 5.2 Sabun FII (Asam Stearat 7%)

84 Lampiran 18. (Lanjutan) Gambar 5.3 Sabun FIII (Asam Stearat 8%) Gambar 5.4 Sabun FIV (Asam Stearat 9%) Gambar 5.5 Sabun FA (NLS 3%)

85 Lampiran 18. (Lanjutan) Gambar 5.6 Sabun FB (NLS 4%) Gambar 5.7 Sabun FC (NLS 5%)

86 Lampiran 19. Alat-alat Gambar 5.8 Penetrometer

87 Lampiran 19. (Lanjutan) Gambar 5.9 Vortex Gambar 5.10 Timbangan Analitik Gambar 5.11 ph Meter

88 Lampiran 19. (Lanjutan) Gambar 5.12 Cetakan Sabun