Michael A.P. Pangaribuan 1, Thorkis Pane 2. Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, Indonesia

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum.

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

BAB I PENDAHULUAN. berlakunya Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. tepatnya pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KAJIAN TERHADAP PENYITAAN SEBAGAI PEMAKSAAN YANG DIHALALKAN OLEH HUKUM

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

BAB V ANALISIS. A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam

AKIBAT HUKUM PERALIHAN TANGGUNG JAWAB PENYIDIK ATAS BENDA SITAAN 1 Oleh : Noldi Panauhe 2

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di

HAK TERSANGKA UNTUK MENDAPATKAN BANTUAN HUKUM DALAM PROSES PENYIDIKAN

BAB I PENDAHULUAN. pengadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. pemeriksaan di sidang pengadilan ada pada hakim. Kewenangan-kewenangan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PEMBATALAN STATUS TERSANGKA DALAM PUTUSAN PRAPERADILAN

JAMINAN PERLINDUNGAN HAK TERSANGKA DAN TERDAKWA DALAM KUHAP DAN RUU KUHAP. Oleh : LBH Jakarta

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu

I. PENDAHULUAN. Ditinjau dari hal-hal yang baru dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara

PRAPERADILAN SEBAGAI UPAYA KONTROL BAGI PENYIDIK DALAM PERKARA PIDANA

JURNAL TUNTUTAN GANTI KERUGIAN AKIBAT TIDAK SAHNYA PENANGKAPAN DAN PENAHANAN MELALUI PROSES PRAPERADILAN

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

BAB I PENDAHULUAN. melindungi individu terhadap pemerintah yang sewenang-wenang dan

PRAPERADILAN SEBAGAI KEWENANGAN TAMBAHAN PENGADILAN NEGERI PRETRIAL COURT AS ADDITIONAL POWERS

EKSISTENSI SAKSI MAHKOTA KAITANNYA DENGAN SPLITSING DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. negara hukum. Negara hukum merupakan dasar Negara dan pandangan. semua tertib hukum yang berlaku di Negara Indonesia.

TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D Pembimbing:

GANTI RUGI ATAS KESALAHAN PENANGKAPAN, PENAHANAN PASCA PUTUSAN PENGADILAN 1 Oleh: David Simbawa 2

V. PENUTUP. 1. Alasan yang menjadi dasar adanya kebijakan formulasi Hakim Komisaris. dalam RUU KUHAP Tahun 2009 atau hal utama digantinya lembaga pra

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam

BAB III PENUTUP. serta pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa peranan hakim adalah

Bagian Kedua Penyidikan

Lex et Societatis, Vol. V/No. 6/Ags/2017

Lex Crimen Vol. IV/No. 5/Juli/2015. INDEPENDENSI HAKIM DALAM MEMUTUS PERKARA PRAPERADILAN MENURUT KUHAP 1 Oleh: Alviano Maarial 2

JURIDICAL ANALYSIS PREPROSECUTION MATTER ABOUT DEMAND FOR REHABILITATION TO ILLEGAL ARREST AND RESTRAINT (Verdict Number : 01/Pid.PRA/2002/PN.

BAB I PENDAHULUAN. yang tertuang pada Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, yang menyebutkan bahwa Negara

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG LARANGAN PENINJAUAN KEMBALI PUTUSAN PRAPERADILAN

BAB I PENDAHULUAN. Pertama, hal Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

II. TINJAUAN PUSTAKA. penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur menurut Undang-Undang ini.

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. hukum, tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. 1

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik pelaksanaan hukum

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

Lex Privatum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016. PENYITAAN SEBAGAI OBJEK PRAPERADILAN 1 Oleh: Arif Salasa 2

KEABSAHAN PENETAPAN STATUS TERSANGKA DALAM PROSES PENYELIDIKAN (STUDI KASUS PENISTAAN AGAMA Ir. BASUKI TJAHAJA PURNAMA)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana

I. PENDAHULUAN. disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk menentukan

BAB I PENDAHULUAN. dalam tahap pemeriksaan penyidikan dan atau penuntutan. 1

TINJAUAN PUSTAKA. tersebut, khususnya mengenai kepentingan anak tentunya hal ini perlu diatur oleh

BAB I PENDAHULUAN. terdapat dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang. menegaskan tentang adanya persamaan hak di muka hukum dan

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN kemudian Presiden mensahkan menjadi undang-undang pada tanggal. 31 Desember 1981 dengan nama Kitab Undang-undang Hukum Acara

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.

BAB I LATAR BELAKANG PEMILIHAN KASUS. Undang Dasar Republik Indonesia 1945 Pasal 1 Ayat 3. Sebagai Negara hukum

BAB I PENDAHULUAN. Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang undang atau yang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1989), hal.1. Presindo, 1986), hal.1. Universitas Indonesia. Lembaga hakim..., Ervan Saropie, FHUI, 2009

BAB I PENDAHULUAN. melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai

BAB I PENDAHULUAN. Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat

BAB I PENDAHULUAN. merupakan produk dari sebuah kebudayaan yang didasarkan pada pikiran, akal

Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang : Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 42/PUU-XV/2017 Tafsir Frasa Tidak dapat Dimintakan Banding atas Putusan Praperadilan

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Pidana merupakan salah satu dari keseluruhan hukum yang berlaku

Fungsi Pra Penuntutan Terhadap Keberhasilan Pelaksanaan Penuntutan Perkara Pidana Oleh Penuntut Umum. Cakra Nur Budi Hartanto *

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA

BAB I PENDAHULUAN. Acara Pidana (KUHAP) menjunjung tinggi harkat martabat manusia, dimana

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik, maka berdasarkan

RINGKASAN SKRIPSI/ NASKAH PUBLIKASI TANGGUNG JAWAB KEJAKSAAN DALAM PRA PENUNTUTAN UNTUK MENYEMPURNAKAN BERKAS PERKARA PENYIDIKAN

DASAR HUKUM KEWENANGAN PRAPERADILAN DALAM MEMUTUS PENETAPAN TERSANGKA

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 2/Feb/2016/Edisi Khusus

Lex Crimen Vol. VI/No. 8/Okt/2017

BAB I PENDAHULUAN. untuk selanjutnya dalam penulisan ini disebut Undang-Undang Jabatan

BAB I PENDAHULUAN. sendiri dan salah satunya lembaga tersebut adalah Pengadilan Negeri. Saat

TUGAS II PENGANTAR ILMU HUKUM PENGARUH PUTUSAN PENGADILAN DALAM HUKUM

1. Pendahuluan. Serat Acitya Jurnal Ilmiah UNTAG Semarang ISSN : , Vol. 4 No. 3, 2015

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal: 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA)

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XV/2017

FUNGSI LEMBAGA PRAPERADILAN MENCEGAH PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA 1 Oleh : Rifkha A. Sondakh 2

PERLINDUNGAN HUKUM ATAS HAK TERHADAP TERSANGKA DI TINGKAT PENYIDIKAN OLEH KEPOLISIAN

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara

SEPUTAR HUKUM PRAPERADILAN. Oleh : Massadi, S.Ag.,M.H. (Hakim PA Bungku)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN. mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

KEKUATAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM MENGUNGKAP TERJADINYA TINDAK PIDANA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pendahuluan sebelum pemeriksaan sidang di pengadilan. 1 Istilah praperadilan

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1

BAB II PRAPERADILAN DITINJAU MENURUT KUHAP JO PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR: 21/PUU-XII/2014

BAB I PENDAHULUAN. perundang-undangan yang berlaku. Salah satu upaya untuk menjamin. dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP ).

Transkripsi:

Permohonan Pemeriksaan Sah atau Tidaknya Penyitaan Sebagai Obyek Praperadilan : Tinjauan Yuridis Putusan Pengadilan Negeri Bengkayang Nomor 01 / PID.PRA / 2011 / PN.BKY Michael A.P. Pangaribuan 1, Thorkis Pane 2 Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, Indonesia Email : michaelapangaribuan@yahoo.com Abstrak Skripsi ini membahas beberapa hal. Pertama, pembahasan mengenai pengaturan tindakan upaya paksa penyitaan di dalam KUHAP. Kedua, pembahasan mengenai tindakan upaya paksa penyitaan yang dilakukan oleh penyidik dalam kasus nomor perkara nomor 01 / PID.PRA / 2011 / PN.BKY. Ketiga, pembahasan mengenai apakah pemeriksaan sah atau tidaknya penyitaan dapat diajukan ke lembaga Praperadilan. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dimana data penelitian ini sebagian besar diperoleh dari studi kepustakaan. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa tindakan upaya paksa penyitaan yang dilakukan oleh penyidik dalam kasus nomor perkara nomor 01 / PID.PRA / 2011 / PN.BKY memang tidak sesuai dengan prosedur dan ketentuan yang diatur dalam KUHAP. Permohonan pemeriksaan sah atau tidaknya penyitaan dapat diajukan ke forum Praperadilan karena pasal 77 KUHAP tidak bersifat limitatif melainkan dapat diperluas karena penyitaan sendiri termasuk ke dalam tindakan upaya paksa yang melanggar hak asasi manusia. Dalam pertimbangan Hakim dalam kasus yang digunakan, Hakim menggunakan dasar hukum pasal 82 KUHAP dan mengabulkan permohonan pemeriksaan sah atau tidaknya penyitaan yang diajukan Pemohon. Examination of the Validity of Seizure as an Object of Pretrial : Judicial Review of Case Number 01 / PID.PRA / 2011 / PN.BKY Abstract This thesis is mainly focusing on three problems. First, the discussion concerning the regulation of seizure in Indonesia s Criminal Procedure Law. Second, the discussion concerning the seizure done by the investigator in case number 01 / PID.PRA / 2011 / PN.BKY. Third, the discussion as to wether the examination of the validity of seizure may be filed to Pretrial institution. This thesis is using normative juridical method which some of the sources are based on the related literatures. The conclusion of this thesis states that the seizure process done by the investigator in case number 01 / PID.PRA / 2011 / PN.BKY is not according to the procedure regulated in Indonesia s Criminal Procedure Law. Examination of the validity of seizure may be filed to the Pretrial institution because Article 77 of Indonesia s Criminal Procedure Law is not limitative but may be extended by reason of seizure is a part of forceable act that violates human rights. The Judge of the case used Article 82 of Indonesia s Criminal Procedure Law and accepted the appeal of examination of seizure. Key Words : Forceable Act, Seizure, Pretrial 1 Mahasiswa, Program Studi Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 2 Pembimbing, Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Pendahuluan Hukum acara pidana Indonesia diatur dalam Undang Undang No.8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau lebih dikenal dengan sebutan Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP ). Dengan berlakunya KUHAP, maka Het Herziene Indlandsch Reglement atau yang lebih dikenal dengan nama HIR ( Staatsblad tahun 1941 Nomor 44) dan Undang Undang No.1 Darurat Tahun 1951 ( Lembaran Negara Tahun 1951 No.9, Tambahan Lembaran Negara No.81 ) serta semua peraturan pelaksanaan dan ketentuan yang diatur dalam perundang undangan lainnya tidak berlaku sepanjang mengenai hukum acara pidana. Semangat yang terkandung dalam KUHAP bertujuan untuk menegakkan kebenaran dan hak asasi manusia. Hal ini tercermin dalam asas asas yang terkandung dalam Penjelasan Umum KUHAP yaitu: a. Perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak mengadakan pembedaan perlakuan. b. Penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan hanya dilakukan berdasarkan perintah tertulis oleh pejabat yang diberi wewenang oleh undang undang dan hanya dalam hal dan cara yang diatur dengan undang undang. c. Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahan dan memperoleh kekuatan hukum tetap. d. Kepada seorang yang ditangkap, ditahan, dituntut, ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang undang dan atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan wajib diberi ganti kerugian dan rehabilitasi sejak tingkat penyidikan dan para pejabat penegak hukum yang dengan sengaja atau karena kelalaiannya menyebabkan asas hukum tersebut dilanggar, dituntut, dipidana dan atau dikenakan hukuman administrasi. e. Peradilan yang harus dilakukan dengan cepat, sederhana, dan dengan biaya ringan serta bebas, jujur, dan tidak memihak harus diterapkan secara konsekuen dalam seluruh tingkat peradilan. f. Setiap orang yang tersangkut perkara wajib diberikan kesempatan memperoleh bantuan hukum yang semata mata diberikan untuk melaksanakan kepentingan pembelaan atas dirinya. g. Kepada seorang tersangka, sejak dilakukan penangkapan dan atau penahanan selain wajib diberitahu dakwaan dan dasar hukum apa yang didakwakan kepadanya, juga wajib diberitahu haknya itu termasuk hak untuk menghubungi dan minta bantuan penasehat hukum. h. Pengadilan memeriksa perkara pidana dengan hadirnya terdakwa. i. Sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum kecuali dalam hal yang diatur dalam undang undang.

j. Pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara pidana dilakukan oleh ketua pengadilan negeri yang bersangkutan. 3 Berdasarkan point b Penjelasan Umum KUHAP yang telah diuraikan di atas maka penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan harus dilakukan berdasarkan perintah tertulis dari pejabat yang diberi wewenang oleh undang undang dan hanya dalam hal dan cara yang diatur oleh undang undang. Hal ini dalam rangka menegakkan perlindungan hak asasi manusia sesuai dengan asas asas dalam KUHAP. Namun pada kenyataanya, tidak jarang terjadi penangkapan, penahanan, penggeledahan, atau penyitaan oleh para penegak hukum tanpa memperhatikan ketentuan ketentuan dalam KUHAP. Setiap upaya paksa yang dilakukan pejabat penyidik atau penuntut umum terhadap tersangka, pada hakikatnya merupakan perlakuan yang bersifat: - Tindakan paksa yang dibenarkan undang undang demi kepentingan pemeriksaan tindak pidana yang disangkakan kepada tersangka, - Sebagai tindakan paksa yang dibenarkan hukum dan undang undang, setiap tindakan paksa dengan sendirinya merupakan perampasan kemerdekaan dan kebebasan serta pembatasan terhadap hak asasi tersangka. 4 Karena tindakan upaya paksa yang dikenakan instansi penegak hukum merupakan pengurangan dan pembatasan kemerdekaan dan hak asasi tersangka, tindakan itu harus dilakukan secara bertanggung jawab menurut ketentuan hukum dan undang undang yang berlaku ( due process of law ). 5 Tindakan upaya paksa yang dilakukan secara bertentangan dengan undang undang merupakan perkosaan terhadap hak asasi seseorang. Untuk itu perlu diadakan suatu lembaga yang diberi wewenang untuk mengawasi dan menilai tindakan upaya paksa yang kemudian dikenal dengan istilah Praperadilan. Jadi pada prinsipnya tujuan utama pelembagaan Praperadilan dalam KUHAP adalah untuk melakukan pengawasan horizontal atas tindakan upaya paksa yang dikenakan terhadap tersangka selama ia berada dalam pemeriksaan penyidikan atau penuntutan, agar benar benar tindakan itu tidak bertentangan dengan ketentuan hukum dan undang undang. 6 3 Indonesia (a), Undang Undang tentang Hukum Acara Pidana, UU No. 8 Tahun 1981, LN No. 76 Tahun 1981, TLN No.3209, Penjelasan Umum angka 3. 4 M.Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP ( Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali ), ( Jakarta : Sinar Grafika, 2002 ), Hlm. 3. 5 Ibid. 6 Ibid.

Menurut Pasal 1 angka 10 KUHAP Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang undang ini ( KUHAP ), tentang: a. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka; b. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan; c. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan. 7 Kemudian Pasal 77 KUHAP memperjelas apa saja kewenangan lembaga praperadilan, yaitu : Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang undang ini tentang : a. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan; b. Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan. 8 Apabila diperhatikan bunyi Pasal serta pendapat dari Loebby Loqman S.H., M.H. diatas, maka dapat disimpulkan bahwa lembaga praperadilan hanya memiliki wewenang untuk memeriksa dan memutus terkait sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan, sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, dan permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi. Tidak ada kewenangan hakim praperadilan untuk menilai sah atau tidaknya suatu penggeledahan dan penyitaan yang dilakukan oleh jaksa dan penyidik. 9 berarti praperadilan tidak memiliki wewenang untuk memeriksa sah atau tidaknya penyitaan dan penggeledahan. Padahal kedua hal itu sangat penting dan merupakan salah satu asas dasar hak asasi manusia. Hal ini terkesan tidak sejalan dengan asas- asas KUHAP yang bertujuan untuk menegakkan hak asasi manusia karena penyitaan dan penggeledahan juga merupakan salah satu bentuk tindakan yang melanggar hak asasi manusia. 7 Indonesia (a), Op.Cit., Pasal 1 angka 10. 8 Ibid., Pasal 77. 185. 9 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Cet.5, ( Jakarta : Sinar Grafika Offset, 2006), Hlm.

Namun tidak demikian halnya dengan pendapat dari M.Yahya Harahap, S.H. Beliau berpendapat bahwa salah satu wewenang yang diberikan undang undang kepada praperadilan adalah memeriksa dan menutus sah atau tidaknya upaya paksa. Inilah wewenang pertama yang diberikan undang undang kepada praperadilan yakni memeriksa dan memutus sah atau tidaknya : penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan yang dikenakan terhadap tersangka. Berarti seorang tersangka yang dikenakan tindakan penangkapan, penahanan, penggeladahan atau penyitaan, dapat meminta kepada praperadilan untuk memeriksa sah atau tidaknya tindakan yang dilakukan penyidik kepadanya. 10 Disini terlihat ada dualisme terkait apakah penyitaan termasuk ke dalam obyek praperadilan atau tidak. Pada prakteknya, banyak pihak yang dikenakan tindakan penyitaan mengajukan permohonan praperadilan terlepas adanya teori yang menyatakan penyitaan bukan obyek praperadilan. Penulis menemukan kasus praperadilan yang diperiksa di Pengadilan Negeri Padang dengan nomor perkara 04/Pid.Pra/2001/PN.PDG. Para pihak dalam kasus adalah Lauwwira sebagai pemohon, melawan Polda Sumatera Barat sebagai termohon. Dalam kasus tersebut, termohon melakukan penyitaan terhadap sebuah kapal motor milik pemohon. Kapal motor tersebut diduga merupakan barang hasil curian sehingga termohon menyita kapal. Permasalahan yang timbul adalah sebagai berikut : 1. Termohon mengabaikan bukti bukti kepemilikan yang dimiliki oleh pemohon. 2. Terdapat cacat pada berkas izin penyitaan yang dibawa termohon. Penyitaan baru dilakukan 7 bulan setelah tanggal izin penyitaan yang ditetapkan oleh Pengadilan Negeri Padang. Setelah melalui pemeriksaan, Pengadilan Negeri Padang kemudian mengabulkan permohonan praperadilan pemohon dan menyatakan izin penyitaan termohon adalah benar cacat hukum sehingga penyitaan yang dilakukan termohon terhadap kapal motor tersebut adalah tidak sah. Kemudian, termohon mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Putusan Mahkamah Agung membatalkan putusan tingkat sebelumnya dengan pertimbangan bahwa hakim Pengadilan Negeri Padang telah salah menerapkan hukum karena berdasarkan Pasal 77 KUHAP penyitaan bukanlah obyek praperadilan. Selain kasus diatas, penulis menemukan kejadian yang serupa terjadi pada perkara dengan nomor register 10 M.Yahya Harahap (a), Op.Cit., Hlm.5.

08/PID.PRA/2011/PN.MKS. Dalam kasus tersebut, Hakim dalam pertimbangannya juga menyatakan bahwa berdasarkan Pasal 77 KUHAP, penyitaan bukanlah obyek praperadilan. Selain adanya putusan yang tidak menerima penyitaan sebagai obyek Praperadilan, ada putusan yang menerima penyitaan sebagai obyek Praperadilan. Penulis menemukan putusan Mahkamah Agung dengan nomor 88 / PK / Pid / 2011 yang menolak permohonan peninjauan kembali terhadap putusan Pengadilan Negeri Bengkayang nomor 01 / PID.PRA / 2011 / PN.BKY. Para pihak dalam perkara tersebut adalah Kurnadi sebagai pemohon, dan Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Balai Konservasi Sumber Daya Alam Kalimantan Barat sebagai termohon. Dalam kasus tersebut, termohon melakukan penyitaan terhadap 1 ( satu ) unit alat berat berupa Excavator milik pemohon. Putusan pengadilan negeri tersebut mengabulkan permohonan praperadilan dan menyatakan penyitaan oleh penyidik dinyatakan tidak sah dan barang sitaan dikembalikan. Pertimbangan hakim adalah karena termohon tidak dapat membuktikan Excavator tersebut memiliki hubungan dengan tindak pidana yang diduga. Dalam pertimbangannya, hakim menggunakan Pasal 82 ayat (1) huruf b KUHAP yang berbunyi demikian : Dalam memeriksa dan memutus tentang sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan, sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan, permintaan ganti kerugian dan atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan, akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan dan ada benda yang disita yang tidak termasuk alat pembuktian, hakim mendengar keterangan baik dari tersangka atau pemohon maupun dari pejabat yang berwenang. KUHAP telah mengatur tentang apa saja yang menjadi obyek praperadilan. Namun, baik menurut pendapat ahli maupun yurisprudensi ada perbedaan pendapat apakah penyitaan masuk sebagai obyek praperadilan atau tidak. Oleh karena itu, penulis akan memfokuskan skripsi ini ke dalam beberapa pokok permasalahan, yaitu: 1. Bagaimana prosedur tindakan penyitaan yang dapat dilakukan oleh penyidik menurut hukum? 2. Bagaimana prosedur tindakan penyitaan yang dilakukan oleh penyidik Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Balai Konservasi Sumber Daya Alam Kalimantan Barat dalam kasus penyitaan Excavator? 3. Apa yang menjadi pertimbangan hukum dalam putusan Pengadilan Negeri Bengkayang Nomor 01 / PID.PRA / 2011 / PN.BKY yang menerima penyitaan sebagai dasar permohonan praperadilan?

Berdasarkan latar belakang serta pokok permasalahan di atas, maka tujuan dari pembahasan dalam peneltian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui bagaimana prosedur tindakan penyitaan yang dapat dilakukan oleh penyidik menurut hukum. 2. Untuk mengetahui bagaimana prosedur tindakan penyitaan yang dilakukan oleh penyidik Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Balai Konservasi Sumber Daya Alam Kalimantan Barat dalam kasus penyitaan Excavator. 3. Untuk mengetahui apa yang menjadi pertimbangan hukum dalam putusan Pengadilan Negeri Bengkayang Nomor 01 / PID.PRA / 2011 / PN.BKY yang menerima penyitaan sebagai dasar permohonan praperadilan. Tinjauan Teoritis Upaya paksa dapat diartikan sebagai upaya yang dilakukan aparat penegak hukum berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, dan pemeriksaan dalam rangka melaksanakan proses peradilan. 11 Berdasarkan pengertian tersebut, maka tindakan tindakan yang dapat dikategorikan sebagai tindakan upaya paksa di dalam KUHAP adalah penangkapan, penahanan, penyitaan, penggeledahan, dan pemeriksaan surat. Setiap tindakan upaya paksa yang dilakukan pejabat penyidik atau penuntut umum terhadap tersangka, pada hakikatnya merupakan perlakuan yang bersifat: - Tindakan paksa yang dibenarkan undang undang demi kepentingan pemeriksaan tindak pidana yang disangkakan kepada tersangka, - Sebagai tindakan paksa yang dibenarkan hukum dan undang undang, setiap tindakan paksa dengan sendirinya merupakan perampasan kemerdekaan dan kebebasan serta pembatasan terhadap hak asasi tersangka. 12 Jadi, tindakan upaya paksa pada dasarnya merupakan tindakan paksa yang dilakukan penyidik yang merupakan perampasan kemerdekaan dan kebebasan serta pembatasan terhadap hak asasi tersangka. Namun, tindakan paksa tersebut dibenarkan oleh undang undang demi kepentingan pemeriksaan tindak pidana yang disangkakan kepada tersangka. KUHAP memberikan pembatasan terkait siapa yang berwenang melakukan upaya paksa. Berdasarkan KUHAP dan pengertian upaya paksa yang telah disebutkan sebelumnya, 323. 11 Marbun, Rocky, dkk., Kamus Hukum Lengkap,, cet. 1, ( Jakarta : Visimedia, 2012 ), Hlm. 322 12 M.Yahya Harahap (a), Op.Cit., Hlm. 3.

yang berwenang untuk melakukan upaya paksa adalah penyidik. 13 Penyitaan adalah suatu tindakan paksa yang merupakan perampasan kemerdekaan dan kebebasan serta pembatasan terhadap hak asasi tersangka. Hak asasi tersangka yang dilanggar dalam hal dilakukannya penyitaan adalah hak seseorang atas kebebasan untuk menguasai dan menggunakan barang miliknya. Tujuan penyitaan ialah untuk kepentingan pembuktian, terutama ditujukan untuk mendapatkan barang bukti yang akan dihadirkan di muka sidang peradilan. Mengenai benda benda yang dapat disita diatur dalam Pasal 39 ayat (1) KUHAP yaitu : a) Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana; b) Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya; c) Benda yang dipergunakan untuk menghalang halangi penyidikan tindak pidana; d) Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana; e) Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan. 14 Tata cara dilakukannya penyitaan biasa diatur dalam Pasal 128 130 KUHAP yang berbunyi demikian : a. Pasal 128 KUHAP : Dalam hal penyidik melakukan penyitaan, terlebih dahulu ia menunjukkan tanda pengenalnya kepada orang dari mana benda itu disita. 15 b. Pasal 129 KUHAP: (1) Penyidik memperlihatkan benda yang akan disita kepada orang darimana benda itu akan disita atau kepada keluarganya dan dapat diminta keterangan tentang benda yang akan disita itu dengan disaksikan oleh kepala desa atau ketua lingkungan dengan dua orang saksi. (2) Penyidik membuat berita acara penyitaan yang dibacakan terlebih dahulu kepada orang darimana benda itu disita atau keluarganya dengan diberi tanggal dan ditandatangani oleh penyidik maupun orang atau keluarganya dan atau kepala desa atau ketua lingkungan dengan dua orang saksi. (3) Dalam hal orang darimana benda itu disita atau keluarganya tidak mau membubuhkan tandatangan hal itu dicatat dalam berita acara dengan menyebutkan alasannya. (4) Turunan dari berita acara itu disampaikan oleh penyidik kepada atasannya, orang darimana benda itu disita atau keluarganya dan kepala desa. 16 13 Indonesia (a), Op.Cit., Pasal 6. 14 Ibid., Pasal 39 ayat (1). 15 Ibid., Pasal 128.

c. Pasal 130 KUHAP : (1) Benda sitaan sebelum dibungkus, dicatatat berat dan atau jumlah menurut jenis masing masing, ciri maupun sifat khas, tempat, hari, dan tanggal penyitaan, identitas orang dari mana benda itu disita dan lain lainnya yang kemudian diberi lak dan cap jabatan dan ditandatangani oleh penyidik. (2) Dalam hal benda sitaan tidak mungkin dibungkus, penyidik memberi catatat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), yang ditulis di atas label ditempelkan dan atau dikaitkan pada benda tersebut. 17 Kemudian berdasarkan Pasal 42 ayat (1) KUHAP penyitaan harus dilakukan dari orang yang menguasai benda yang dapat disita dan kemudian kepada orang tersebut diberikan surat tanda penerimaan. Disadari bahwa diperlukan tindakan tindakan tertentu seperti penyitaan yang merupakan suatu tindakan akan melanggar hak asasi seseorang, yakni tindakan upaya paksa yang diperlukan bagi suatu penyidikan sehingga dapat menghadapkan seseorang ke depan pengadilan karena didakwa telah melakukan tindak pidana, akan tetapi bagaimanapun juga upaya paksa yang dilaksanakan tersebut akan menuruti aturan yang telah ditentukan dalam undang undang sehingga bagi seorang yang disangka atau didakwa telah melakukan suatu tindak pidana, mengetahui dengan jelas hak hak mereka dan sejauh mana wewenang dari para petugas penegak hukum yang akan melaksanakan upaya paksa tersebut, dimana tindakan tersebut akan mengurangi hak asasinya. 18 Dalam menjalankan kewajibannya sebagai penegak hukum tidak terlepas dari kemungkinan untuk berbuat tidak sesuai dengan ketentuan undang undang yang berlaku, sehingga perbuatan yang dilakukan dengan tujuan kepentingan pemeriksaan demi terciptanya keadilan dan ketertiban masyarakat justru mengakibatkan kerugian bagi tersangka, keluarga tersangka, atau pihak ketiga yang berkepentingan. Oleh karena itu, untuk menjamin perlindungan terhadap hak asasi manusia dan agar aparatur negara menjalankan tugasnya sesuai dengan peratuan perundang undangan maka KUHAP mengatur suatu lembaga yang dinamakan Praperadilan. Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang undang ini tentang: a. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan/atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka; 16 Indonesia (a),op.cit., Pasal 129. 17 Indonesia (a), Op.Cit., Pasal 130. 18 M.Yahya Harahap (a), Op.Cit.,Hlm. 82

b. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan tersangka/ penyidik / penuntut umum demi tegaknya hukum dan keadilan; c. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya, yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan. 19 Lembaga praperadilan mengambil beberapa prinsip yang juga dapat ditemukan dalam habeas corpus. Hal ini dikemukakan oleh O.C. Kaligis yang menyatakan bahwa lembaga praperadilan ini lahir dari inspirasi yang bersumber dari adanya habeas corpus dalam sistem peradilan Anglo-Saxon, yang memberikan jaminan fundamental terhadap HAM khususnya hak kemerdekaan. Habeas Corpus Act memberikan hak kepada seseorang untuk melalui surat perintah pengadilan menuntut ( menenentang ) pejabat yang melakukan penahanan atas dirinya. Hal itu untuk menjamin bahwa perampasan atau pembatasan kemerdekaan terhadap seorang tersangka atau terdakwa itu telah memenuhi ketentuan ketentuan hukum yang berlaku maupun jaminan Hak Asasi Manusia. 20 Perbedaan sistem pelaksanaan upaya paksa tersebut, telah menimbulkan permasalahan hukum dan perbedaan pendapat dalam penerapan : i. ada yang berpendirian, tindakan upaya paksa yang masuk yurisdiksi Praperadilan untuk menguji keabsahannya, hanya terbatas pada tindakan penangkapan dan penahanan atas alasan undue process atau orang yang ditahan atau ditangkap tidak tepat (error in person); ii. sedangkan tindakan upaya paksa penggeledahan atau penyitaan dianggap berada di luar yurisdiksi Praperadilan atas alasan dalam penggeledahan atau penyitaan terkandung intervensi pengadilan berupa : - dalam proses biasa, harus lebih dahulu mendapat surat izin dari KPN ( Pasal 32 ayat (1) dan Pasal 38 ayat (1) KUHAP, dan - dalam keadaan mendesak, boleh lebih dahulu bertindak, tetapi harus meminta persetujuan KPN ( Pasal 34 ayat (1) dan Pasal 38 ayat (2) KUHAP ). 21 19 Indonesia (a), Op.Cit., Pasal 1 angka 10. 20 O.C. Kaligis, Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa dan Terpidana, ( Bandung : Alumni, 2006 ), Hlm. 366. 21 M.Yahya Harahap (a),op.cit.,hlm. 3.

Metode Penelitian Penelitian akan disusun dengan cara normatif, 22 yaitu dengan mengkaji dan membandingkan data sekunder yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini, yaitu dengan menggunakan berbagai buku, peraturan perundang-undangan, dan berbagai literatur lain. Penelitian ini menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan empiris, dan pendekatan undang undang. Pendekatan kasus adalah pendekatan yang dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus kasus yang berkaitan dengan isi yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan. 23 Pendekatan undang undang adalah pendekatan yang dilakukan dengan cara menelaah semua undang undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani. 24 Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat eksplanatoris evaluatif, yang menggambarkan atau menjelaskan lebih dalam suatu gejala kemudian memberikan penilaian terhadap gejala tersebut. 25 Berdasarkan cara diperolehnya jenis data dibagi menjadi dua, yaitu data primer dan data sekunder. 26 Bahan hukum yang digunakan mencakup bahan hukum primer yaitu peraturan perundang undangan. Untuk menjelaskan bahan hukum primer tersebut digunakan bahan hukum sekunder berupa buku buku, skripsi, tesis, dan artikel artikel dari surat kabar dan internet. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Bahan hukum yang digunakan mencakup bahan hukum primer yaitu peraturan perundang undangan. Untuk menjelaskan bahan hukum primer tersebut digunakan bahan hukum sekunder. Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui bahan bahan kepustakaan dan dokumentasi. 27 Penelitian ini menggunakan metode analisis kualitatif. Analisis kualitatif adalah pendekatan yang menghasilkan data deskriptif 28, berupa penjabaran secara mendetail dari gejala gejala yang terjadi dalam masyarakat berdasarkan hasil pengamatan dan juga analisis. 22 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 2010). hlm.94 23 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2006 ), 24 Ibid., hlm. 93 25 Sri Mamudji,dkk. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, Ed.1, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005). Hlm.4 26 Ibid., hlm. 28 27 Ibid., hlm. 31 28 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet.3, ( Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia, 1986 ), hlm.32

Hasil Penelitian Walaupun pasal 77 KUHAP tidak menyebutkan penyitaan sebagai yurisdiksi Praperadilan, namun pemeriksaan terhadap sah atau tidaknya penyitaan tetap dapat diajukan karena penyitaan termasuk ke dalam kategori upaya paksa bersama dengan penahanan dan penangkapan yang semuanya merupakan tindakan yang melanggar hak asasi manusia namun diperbolehkan selama dilakukan oleh pejabat berwenang dan mengikuti ketentuan yang diatur undang undang. Oleh karena itu dibutuhkan lembaga pengawasan yaitu Praperadilan yang terinspirasi dari habeas corpus yang keduanya bertujuan untuk melakukan pengawasan horizontal atas tindakan upaya paksa yang dikenakan terhadap tersangka selama ia berada dalam pemeriksaan penyidikan atau penuntutan, agar benar benar tindakan itu tidak bertentangan dengan ketentuan hukum dan undang undang. Sejalan dengan tujuan lembaga Praperadilan itu sendiri, maka penyitaan dapat diajukan ke lembaga Praperadilan. Pembahasan Walaupun ada yang berpendapat bahwa penyitaan berada diluar yurisdiksi Praperadilan karena mengganggap Pasal 77 KUHAP bersifat limitatif, akan tetapi argumentasi tersebut tidak seluruhnya mencakup penyelesaian permasalahan yang mungkin timbul dalam penggeledahan atau penyitaan. Sebagai contoh dalam kasus Nomor 01 / PID.PRA / 2011 / PN.BKY, penyidik melakukan penyitaan sebuah alat berat berupa Excavator yang telah mendapat izin dari Ketua Pengadilan Negeri, ternyata dalam pelaksanaan, menyimpang di luar batas izin yang diberikan karena penyitaan tidak dilakukan sesuai dengan prosedur. Penyidik dalam kasus tidak memberikan turunan berita acara kepada pemilik Excavator. Selain itu penyitaan juga tidak dilakukan dari pemiliknya melainkan dari penyidik lain yang mengamankan alat berat tersebut sebagaiman ditentukan dalam Pasal 42 KUHAP. Setelah membaca kasus tersebut muncul pertanyaan apakah pemeriksaan terhadap sah atau tidaknya penyitaan yang dilakukan oleh penyidik tersebut dapat diajukan ke Praperadilan walaupun pasal 77 KUHAP tidak menyebutkan penyitaan sebagai bagian dari kewenangannya? Berdasarkan hasil penelitian, penggeledahan dan penyitaan merupakan bagian dari upaya paksa yang dapat diajukan kepada Praperadilan. 29 Selain daripada itu, kalau memperhatikan bunyi Pasal 82 ayat (3) huruf d KUHAP, dengan jelas tersurat bahwa permasalahan penyitaan termasuk yurisdiksi Praperadilan, seperti yang dikemukakan di bawah ini : Dalam hal putusan ( Praperadilan ) menetapkan bahwa benda yang disita ada yang tidak termasuk alat pembuktian maka dalam putusan dicantumkan bahwa benda 29 Ibid. Hlm.8

tersebut harus segera dikembalikan kepada tersangka atau dari siapa benda itu disita. Jadi berdasarkan uraian diatas, meskipun Pasal 77 ayat (1) huruf a KUHAP tidak menyebutkan secara tegas tentang penyitaan dan penggeledahan, tetapi hanya menyebut penangkapan, penahanan, dan penghentian penyidikan atau penuntutan, rincian ini tidak bersifat limitatif. 30 Ternyata Pasal 82 ayat (3) huruf d KUHAP memasukkan upaya paksa penyitaan ke dalam yurisdiksi substantif Praperadilan. Sunggul Simanjuntak S.H.,C.N., M.Hum yang berpendapat demikian: Upaya paksa itu suatu bentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Karena itu ada lembaga praperadilan yang dibuat untuk mengontrol tindakan penyidik supaya tidak sembarangan. Jadi kalau dilihat dari fungsi praperadilan sebagai alat kontrol terhadap tindakan upaya paksa dari penyidik, seharusnya Pasal 77 itu dapat diperluas walaupun memang di KUHAP tidak diatur secara tegas dan jelas. Padahal penyitaan itu bagian dari upaya paksa juga tapi penyitaan tidak ikut diatur dalam KUHAP seperti penahanan, penangkapan, dan penggeledahan. Memang ada perbedaan kalau penangkapan dan penahanan itu pelanggaran terhadap hak atas kebebasan, penyitaan itu pelanggaran terhadap hak kepemilikkan dan kebebasan mempergunakan hak miliknya. Tapi pada dasarnya kan semua upaya paksa itu tindakan penyidik yang mengakibatkan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Berdasarkan hal hal diatas menurut saya sangat beralasan penyitaan untuk dipraperadilkan. Saya sangat sependapat dengan Yahya Harahap yang berpendapat bahwa penyitaan juga merupakan kewenangan praperadilan. 31 Kemudian berkaitan dengan Pasal 77 KUHAP, Daniel P. Simanjuntak S.H., M.C.L., berpendapat bahwa : Meskipun pada Pasal 77 KUHAP secara tegas tidak disebutkan bahwa penyitaan tidak termasuk dalam objek dari Praperadilan, tetapi berdasarkan Pasal 82 ayat 1 huruf b dan ayat 3 huruf d KUHAP disebutkan bahwa seorang Hakim berwenang untuk memutus sah tidaknya suatu penyitaan. sebagaimana telah saya jelaskan diatas bahwa objek dari praperadilan bukanlah semata mata apa yang hanya diatur didalam Pasal 77 KUHAP, melainkan seluruh proses hukum yang dilakukan oleh penyelidik, penyidik dan penuntut umum yang tercantum didalam Pasal 77 sampai dengan 83 KUHAP. Jadi walaupun dalam Pasal 77 KUHAP tidak disebutkan penyitaan sebagai kewenangan praperadilan tetapi pada prakteknya pemeriksaan sah atau tidaknya penyitaan tetap dapat ditolak atau dikabulkan Hakim. Pengambilan keputusan seorang Hakim tidak hanya sebatas undang-undang yang tercantum tetapi 30 Ibid. 31 Wawancara dengan Sunggul Simanjuntak, S.H., C.N., M.Hum, Ketua Pengadilan Negeri Tais, wawancara dilaksanakan tanggal 3 Januari 2015, pukul 14.12 WIB.

juga berdasarkan rasa kepatutan dan keadilan dalam masyarakat, dan hati nurani Hakim tersebut. 32 Jadi menurut pendapat pendapat yang telah dikutip diatas, sebenarnya penyitaan dapat diajukan pemeriksaannya ke lembaga Praperadilan. Walaupun Pasal 77 KUHAP tidak menyebutkan penyitaan sebagai bagian dari kewenangan Praperadilan, namun ketentuan tersebut tidak bersifat limitatif dan dapat diperluas. Kesimpulan Walaupun pasal 77 KUHAP dipandang bersifat limitatif karena tidak menyebutkan penyitaan sebagai bagian dari kewenangannya, sebenarnya penyitaan dapat dimasukkan ke dalam kewenangan Praperadilan. Praperadilan terinspirasi dari lembaga habeas corpus yang memiliki fungsi sebagai suatu upaya hukum yang cepat dan tepat dalam hal hilangnya kemerdekaan seseorang dengan dasar yang tidak dapat diterima oleh standar standar masyarakat, sehingga kalaupun ada seseorang yang merasa kehilangan kemerdekaannya, dan tidak ditunjukkan dasar penahanannya dengan syarat syarat yang telah ditentukan oleh hukum, maka orang tersebut harus segera dilepaskan. Jadi, baik Praperadilan maupun habeas corpus bertujuan untuk melakukan pengawasan horizontal atas tindakan upaya paksa yang dikenakan terhadap tersangka selama ia berada dalam pemeriksaan penyidikan atau penuntutan, agar benar benar tindakan itu tidak bertentangan dengan ketentuan hukum dan undang undang. Tindakan penyitaan sendiri termasuk ke dalam tindakan upaya paksa bersama dengan penahanan, penangkapan, dan penggeledahan. Semua tindakan tersebut merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia maka pelaksanaanya harus dilaksanakan sesuai dengan prosedur yang diatur di dalam KUHAP. Penyitaan diatur dalam KUHAP dan harus diikuti prosedur penyitaan yang ditentukan agar tindakan penyitaan tersebut berjalan sesuai dengan undang undang. Kemudan, objek dari Praperadilan bukanlah semata mata apa yang hanya diatur didalam Pasal 77 KUHAP, melainkan seluruh proses hukum yang dilakukan oleh penyelidik, penyidik dan penuntut umum yang tercantum didalam Pasal 77 sampai dengan 83 KUHAP. Dalam kasus yang dianalisa, penyitaan yang dilakukan oleh penyidik tidak sesuai dengan prosedur penyitaan yang diatur dalam KUHAP. Pertama, penyidik tidak melakukan penyitaan dari penguasa alat berat. Kedua, penyidik tidak dapat 32 Wawancara dengan Daniel P Simanjuntak S.H., M.C.L., seorang advokat dengan pengalaman di dalam bidang litigasi selama 25 Tahun. Wawancara dilaksanakan pada tanggal 27 Desember 2014.

membuktikan adanya keterkaitan alat berat Excavator yang disita dengan perkara yang sedang diselidiki. Jadi penyitaan yang dilakukan oleh penyidik dalam kasus yang dianalisa tidak sah karena tidak dilaksanakan sesuai dengan prosedur yang ditentukan dalam KUHAP. Oleh karena itu berdasarkan hal hal yang telah dikemukakan diatas, maka pemeriksaan terhadap penyitaan yang demikian merupakan yurisdiksi Praperadilan. Saran Sebaiknya pengaturan mengenai penyitaan dipertegas agar tidak menimbulkan kesimpang siuran apakah penyitaan dapat diajukan ke forum Praperadilan atau tidak. Penegasan yang paling konkrit menurut penulis adalah dengan cara menambahkan frasa penyitaan dalam ketentuan tentang kewenangan Praperadilan dalam Pasal 77 KUHAP. Sementara belum dilakukan perubahan, dapat digunakan yurisprudensi yurisprudensi yang menerima penyitaan sebagai obyek Praperadilan karena pada dasarnya penyitaan tergolong ke dalam upaya paksa bersama dengan penahanan, penangkapan, dan penggeledahan yang semuanya melanggar hak asasi manusia. Daftar Referensi Buku Harahap, M. Yahya. (2002). Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali ), Jakarta : Sinar Grafika. Hamzah, Andi. (2006). Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Revisi (Cet. 5), Jakarta : Sinar Grafika. 2006. Kaligis, O.C. (2006). Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa dan Terpidana, Bandung : Alumni. Mamudji, Sri. Et.al. (2005). Metode Penelitian dan Penulisan Hukum (Ed.1). Jakarta : Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Marbun, Rocky, dkk. (2012). Kamus Hukum Lengkap (Cet.1). Jakarta : Visimedia. Marzuki, Peter Mahmud. (2006). Penelitian Hukum. Jakarta : Kencana Prenada Media Group.

Soekanto, Soerjono.(1986). Pengantar Penelitian Hukum (Cet.3). Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia. Undang - Undang Indonesia, Undang Undang tentang Hukum Acara Pidana, UU No. 8 Tahun 1981, LN No. 76 Tahun 1981, TLN No.3209. Hasil Wawancara Wawancara dengan Sunggul Simanjuntak, S.H., C.N., M.Hum, Ketua Pengadilan Negeri Tais, Bemgkulu. Wawancara dilaksanakan tanggal 3 Januari 2015, pukul 14.12 WIB. Wawancara dengan Daniel P Simanjuntak S.H., M.C.L., seorang advokat dengan pengalaman di dalam bidang litigasi selama 25 Tahun. Wawancara dilaksanakan pada tanggal 27 Desember 2014.