SEPUTAR HUKUM PRAPERADILAN. Oleh : Massadi, S.Ag.,M.H. (Hakim PA Bungku)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "SEPUTAR HUKUM PRAPERADILAN. Oleh : Massadi, S.Ag.,M.H. (Hakim PA Bungku)"

Transkripsi

1 SEPUTAR HUKUM PRAPERADILAN Oleh : Massadi, S.Ag.,M.H. (Hakim PA Bungku) Praperadilan merupakan hal baru dalam dunia peradilan Indonesia. Praperadilan merupakan salah satu lembaga baru yang diperkenalkan oleh KUHAP di tengah-tengah kehidupan penegakan hukum. Praperadilan dalam KUHAP ditempatkan dalam Bab X, bagian kesatu, sebagai salah satu bagian ruang lingkup wewenang mengadili bagi Pengadilan Negeri. Setiap orang harus dianggap tidak bersalah atau praduga tak bersalah (presumption of innocent) sebagai hak asasi yang melekat pada setiap orang yang menjadi tersangka atau terdakwa, sampai kesalahannya dibuktikan dalam sidang pengadilan yang bebas dan jujur (fair trial) dan tidak memihak (impartiality) di depan umum. Melakukan penangkapan dan penahanan harus di dasarkan pada bukti permulaan yang cukup dan dilakukan dengan kehati-hatian. Selanjutnya terhadap penghentian penyidikan atau penuntutan dan yang berkenaan dengan hal tersebut bila ada ditemukan dalam pelaksanaannya melanggar hukum dan undang-undang maka disitulah berawal munculnya Praperadilan. Sekilas cerita bahwa diawal tahun 2015, Presiden Republik Indonesia Joko Widodo mengajukan dan mengirimkan calon Kapolri tunggal ke Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk dilakukan fit and proper test. Namun sebelum Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia melakukan uji kelayakan dan kepatutan terhadap calon Kapolri Budi Gunawan yang diajukan presiden, Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan calon Kapolri tersebut sebagai tersangka. Status tersangka yang disandang oleh calon Kapolri tidak membuat DPR-RI menghentikan untuk melakukan uji kelayakan dan kepatutan. Dari hasil uji kepatutan dan kelayakan yang dilakukan oleh DPR RI terhadap calon kapolri telah disampaikan ke presiden. DPR RI menyetujui calon kapolri yang di

2 ajukan oleh presiden Komjen Budi Gunawan untuk dilantik menjadi kapolri menggantikan Komjen Sutarman yang telah memasuki masa purna bhakti. Dari sinilah awal konfliknya KPKvs Polri, yang mengakibatkan sampai saat ini presiden Joko Widodo belum mengambil sikap untuk melantik atau tidak calon kapolri tersebut. Public harus bisa memandang pelemik antara KPK vs Polri secara seimbang, sejumlah oknum didua lembaga tersebut sama-sama membuat kesalahan dalam proses hukum. Oleh karenanya seharusnya tidak saling menyalahkan. Satunya melakukan politisasi dan sebaliknya satunya melakukan susuatu tidak transparan dalam bertindak. Lembaga yang melakukan politisasi adalah KPK, pasalnya KPK menetapkan Komjen Budi Gunawan sebagai tersangka kasus gratifikasi sehari sebelum mengikuti fit and proper test di DPR RI. KPK lakukan politisasi bukan kriminalisasi karena mengedepankan kepentingan politik namun membingkai kepentingan politik itu melalui proses hukum. Sementara itu, polri juga salah dalam menangani kasus wakil ketua KPK Bambang Wijayanto, pasalnya polri tidak transparan, tiba-tiba melakukan penangkapan terhadap wakil ketua KPK tersebut tanpa diberitahu sebelumya soal penetapannya sebagai tersangka. Dalam hal ini mungkinakan menjadi sorotan karena terjadi diluar kebiasaan. Hal ini menjadi catatan polri untuk melakukan perbaikan kedepan. Dari rentetan itu, gambaran peristiwa calon Kapolri Budi Gunawan melakukan upaya hukum Praperadilan kepada pengadilan negeri mengenai statusnya yang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Presiden pun menyatakan keputusannya tentang melantik atau mengganti calon kapolri akan menunggu hasil Praperadilan. Ditinjau dari segi struktur dan susunan peradilan, Praperadilan bukan lembaga pengadilan yang berdiri sendiri. Bukan pula sebagai instansi tingkat peradilan yang mempunyai wewenang memberikan putusan akhir atas suatu kasus peristiwa pidana. Praperadilan melekat dan berada kesatuan pada Pengadilan Negeri, dan sebagai

3 lembaga Peradilan hanya dapat dijumpai pada tingkat Penagdilan Negeri sebagai satuan tugas yang tidak terpisahkan dari Pengadilan Negeri. Praperadilan bukan berada diluar,disamping maupun sejajar dengan peradilan Negeri tetapi hanya merupakan divisi dari pengadialn negeri. Administrasi yustisial, personil, peralatan dan finansial bersatu dengan pengadilan Negeri dan berada dibawah pimpinan serta pengawasan dan pembinaan ketua pengadilan negeri. Tatalaksana fungsi yustisialnya merupakan bagian dari fungsi yustisial Pengadilan Negeri itu sendiri. Selama ini wewenang dan fungsi pengadilan negeri mengadili dan memutus perkara pidana dan perdata sebagai tugas pokok, maka terhadap tugas pokok tadi diberi tugas tambahan untuk menilai sah tidaknya penahanan, penyitaan,penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan yang dilakukan penyidik atau penuntut umum yang wewenang pemeriksaannya diberikan kepada praperadilan seperti yang dirumuskan dalam KUHAP pasal 1 butir 10. Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang: a.sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka; b.sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan; c.permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan. A. Tujuan Praperadilan Praperadilan yang merupakan barang baru dalam kehidupan penegakan hukum di Indonesia dan setiap yang baru mempunyai misi dan motivasi tertentu. Pasti aka nada yang akan dituju dan yang hendak dicapai. Tidak ada sesuatu yang diciptakan tanpa didorong oleh maksud dan tujuan. Demikian pula halnya dengan pelembagaan praperadilan ada maksud dan tujuan yang hendak ditegakkan dan dilindungi, yakni tegaknya hukum dan perlindungan hak asasi tersangkadalam tingkat pemeriksaan penyidikan dan penuntutan.

4 Demi untuk terlaksananya kepentingan pemeriksaan tindak pidana, undangundang meberikan wewenang kepada penyidik dan penuntut umum untuk melakukan tindakan upaya paksa berupa penangkapan, penahanan,penyitaan dan sebagainya. Setiap upaya paksa yang dilakukan pejabat penyidik dan penuntut umum terhadap tersangka pada hakekatnya merupakan perlakukan bersifat: Tindakan paksa yang dibenarkan undang-undang demi kepentingan pemeriksaan tindak pidana yang disangkakan kepada tersangka. Sebagai tindakan paksa yang dibenarkan hukum dan undang-undang, setiap tindakan paksa dengan sendirinya merupakan perampasan kemerdekaan dan kebebasan serta pembatasan terhadap hak asasi tersangka. Karena tindakan upaya paksa yang dikenakan instansi penegak hukum merupakan pengurangan dan pembatasan kemerdekaan dan hak asasi tersangka, tindakan itu harus dialkukan secara bertanggungjawab menurut ketentuan hukum dan undang-undang yang berlaku (due process of law). Tindakan upaya paksa yang dilakukan bertentangan dengan hukum dan undang-undang merupakan perkosaan terhadap hak asasi tersangka. Setiap tindakan perkosaan yang ditimpakan kepada tersangka adalah tindakan yang tidak sah, karena bertentangan dengan hukum dan undang-undang (ilegal). Akan tetapi bagaimana mengawasi dan menguji tindakan paksa yang dianggap bertentangan dengan hukum?. Untuk itu perlu diadakan suatu lembaga yang diberi wewenang untuk menguji dan menentukan sah tidaknya tindakan paksa yang dikenakan kepada tersangka. Menguji dan menilai sah tidaknya tindakan paksa yang dilakukan penyidik dan penuntut umum yang dilimpahkan kewenangannya kepada Praperadilan. Memang sangat beralasan untuk mengawasi tindakan upaya paksa yang dilakukan penyidik atau penuntut umum terhadap tersangka, supaya tindakan itu benar-benar proposional dengan ketentuan hukum serta tidak merupakan tindakan yang bertentangan dengan hukum. Pengawasan dan penilaian upaya paksa inilah yang tidak dijumpai dalam tindakan penegakan hukum di masa HIR. Bagaimanapun perlakuan dan cara pelaksanaan tindakan upaya paksa yang dilakukan penyidik pada

5 waktu itu, semuanya lenyap ditelan kewenangan yang tidak terawasi dan tidak terkendali oleh koreksi lembaga mana pun. HIR tidak memberi hak dan upaya untuk memintakan perlindungan dan koreksi. Berpijak dari pengalaman suram dimasa HIR, pembuat undang-undang menanggapi betapa pentingnya menciptakan suatu lembaga yang diberi wewenang melakukan koreksi,penilaian,pengawasan terhadap setiap tindakan upaya paksa yang dikenakan oleh pejabat penyidik atau penuntut umum kepada tersangka, selama pemeriksaan berlangsung dalam tahap tingkat proses penyidikan dan penuntutan. Pelembagaan yang memberi wewenang pengawasan terhadap tindakan upaya paksa yang dilakukan pejabat dalam taraf proses pemeriksaan penyidikan atau penuntut umum inilah yang dilimpahkan KUHAP kepada Praperadilan. Pada prinsipnya tujuan utama pelembagaan Praperadilan dalam KUHAP, untuk melakukan pengawasan horizontal atas tindakan upaya paksa yang dikenakan terhadap tersangka selama ia berada dalam pemeriksaan penyidikan atau penuntutan, agar benar-benar tindakan itu tidak bertentangan dengan ketentuan hukum dan undang-undang. B. Wewenang Praperadilan Sejauh manakah wewenang yang diberikan undang-undang kepada Praperadilan. Kasus apa sajakah yang dapat diperiksa dan diputus oleh Praperadilan sehubungan tindakan upaya paksa yang dilakukan pejabat penyidik atau penuntut umum terhadap tersangka. Tentang hal ini, sepintas lalu sudah dikemukan bahwa dalam KUHAP, ketentuan dalam; Pasal 1 butir 10. Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang: a. sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka; b. sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;

6 c. permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan. Pasal 77. Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang: a. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan; b. ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan. Pasal Tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan. 2. Tuntutan ganti kerugian oleh tersangka atau ahli warisnya atas penangkapan atau penahanan serta tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan undangundang atau karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana dimaksud dalarn ayat (1) yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri, diputus di sidang praperadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal Tuntutan ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan oleh tersangka, terdakwa, terpidana atau ahli warisnya kapada pengadilan yang berwenang mengadili perkara yang bersangkutan. 4. Untuk memeriksa dan memutus perkara tuntutan ganti kerugian tersebut pada ayat (1) ketua pengadilan sejauh mungkin menunjuk hakim yang sama yang telah mengadili perkara pidana yang bersangkutan. 5. Pemeriksaan terhadap ganti kerugian sebagaimana tersebut pada ayat (4) mengikuti acara praperadilan. Pasal Seorang berhak memperoleh rehabilitasi apabila oleh pengadilan diputus bebas atau diputus lepas dari segala tuntutan hukum yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap. 2. Rehabilitasi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). 3. Permintaan rehabilitasi oleh tersangka atas penangkapan atau penahanan tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1) yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri diputus oleh hakim praperadilan yang dimaksud dalam Pasal 77. Boleh dikatakan, bersumber dari pasal-pasal dimaksudlah kekewenangan Praperadilan. Untuk lebih jelasnya akan dirinci wewenang yang diberikan undang-undang kepada Praperadilan.

7 1. Memeriksa dan Memutus Sah atau Tidaknya Upaya Paksa. Inilah wewenang pertama yang diberikan undang-undang kepada Praperadilan, memeriksa dan memutus sah atau tidaknya; Penangkapan, Penahanan. Berarti, seorang tersangka yang dikenakan tindakan penagkapan, penahanan, penggeledahan atau penyitaan, dapat meminta kepada Praperadilan untuk memeriksa sah tidaknya tindakan yang dilakukan penyidik kepadanya. Tersangka dapat mengajukanpemeriksaan kepada Praperadilan, bahwa tindakan penahanan yang dikenakan pejabat penyidik bertentangan dengan ketentuan Pasal 21 KUHAP atau penahanan yang dikenakan sudah melampaui batas waktu yang ditentukan Pasal 24 KUHAP. Pasal Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana. 2. Penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum terhadap tersangka atau terdakwa dengan memberikan surat perintah penahanan atau penetapan hakim yang mencantumkan identitas tersangka atau terdakwa dan menyebutkan alasan penahanan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan atau didakwakan serta tempat ia ditahan. 3. Tembusan surat perintah penahanan atau penahanan lanjutan atau penetapan hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus diberikan kepada keluarganya. 4. Penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pembenian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal: a. tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih; b. tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 ayat (3), Pasal 296, Pasal 335 ayat (1), Pasal 351 ayat (1), Pasal 353 ayat (1), Pasal 372, Pasal 378, Pasal 379 a, Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal 459, Pasal 480 dan Pasal 506 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Pasal 25 dan Pasal 26 Rechtenordonnantie (pelanggaran terhadap ordonansi Bea dan Cukai, terakhir diubah dengan Staatsblad Tahun 1931 Nomor 471), Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 4 Undang-undang Tindak Pidana Imigrasi (Undang-undang Nomor 8 Drt. Tahun 1955, Lembaran Negara Tahun 1955 Nomor 8), Pasal 36 ayat (7), Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 47,

8 dan Pasal 48 Undangundang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 37, Tambähan Lembaran Negara Nomor 3086). 2. Memeriksa Sah atau Tidaknya Penghentian Penyidikan atau Penghentian Penuntutan. Kasus lain yang termasuk ke dalam ruang lingkup kewenangan Praperadilan ialah memeriksa dan memutus sah atau tidaknya penghentian penyidikan yang dilakukan oleh pejabat penyidik maupun tentang sah atau tidaknya penghentian penuntutan yang dilakukan penuntut umum. Hasil pemeriksaan penyidikan atau penuntutan tidak cukup bukti atau apa yang disangkakan kepada tersangka bukan merupakan kejahatan atau pelanggaran tindak pidana. Sebab itu tidak mungkin meneruskan perkaranya kesidang pengadilan. Mungkin juga penghentian penyidikan atau penuntutan dilakukan penyidik atau penuntut umum atas alasan nebis in idem atau terdapat unsur kedaluwarsa untuk menuntut. Pasal 140 ayat (2). a. Dalam hal penuntut umum memutuskan untuk menghentikan penuntutan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau perkara ditutup demi hukum, penuntut umum menuangkan hal tersebut dalam surat ketetapan. b. Isi surat ketetapan tersebut diberitahukan kepada tersangka dan bila ia ditahan, wajib segera dibebaskan. c. Turunan surat ketetapan itu wajib disampaikan kepada tersangka atau keluarga atau penasihat hukum, pejabat rumah tahanan negara, penyidik dan hakim. d. Apabila kemudian ternyata ada alasan baru, penuntut umum dapat melakukan penuntutan terhadap tersangka Hal ini dalam arti, hasil pemeriksaan penyidik tindak pidana yang disampaikan penyidik, tidak dilimpahkan penuntut umum ke sidang pengadilan. Akan tetapi hal ini bukan dimaksudkan menyampingkan atau mendeponir perkara tersebut. Oleh karena itu harus dibedakan antara tindakan hukum penghentian penuntut umum dengan penyampingan (diponering) perkara yang dimaksud pasal 8 Undang-undang Nomor 15/1961 (sekarang Pasal 32 huruf e

9 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1991 dan penjelasan Pasal 77 KUHAP. Yang dimaksud dengan penghentian penuntutan tidak termasuk penyampingan perkara untuk kepentingan umum yang menjadi wewenang Jaksa Agung. Namun, apakah selamanya alasan penghentian penyidikan atau penuntutan sudah tepat dan benar menurut ketentuan undang-undang. Mungkin saja penghentian tafsir secara tidak tepat atau juga penghentiansama sekali tidak beralasan atau penghentian itu dilakukan untuk kepentingsn pribadi pejabat yang bersangkutan. Oleh karenanya,bagaimanapun mesti ada lembaga yang berwenang memeriksa dan menilai sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan, agar tindakan tindakan tersebut tidak bertentangan dengan hukum dan kepentingan umum maupun untuk mengawasi tindakan penyalahgunaan wewenang (abuse of authority). Untuk itu terhadap penghentian penyidikan, undang-undang memberi hak kepada penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan untuk mengajukan pemeriksaan kepada Praperadilan tentang sah atau tidaknya penghentian penyidikan tersebut. Demikian juga sebaliknya, penyidik dan pihak ketiga yan berkepetingan dapat mengajukan pemeriksaan sah tidaknya penghentian penuntutan kepada Praperadilan. 3. Berwenang Memeriksa Tuntutan Ganti Rugi Pada pasal 95 KUHAP, mengatur tentang tuntutan ganti kerugian yang diajukan tersangka, keluarganya atau penasehat hukumnya kepada Praperadilan. Tuntutan ganti kerugian diajukan berdasarkan; Penangkapan atau penahanan yang tidak sah, Penggeledahan atau penyitaan yang bertentangan dengan ketentuan hukum dan undang-undang, Kekeliruan mengenai orang yang sebenarnya mesti ditangkap, ditahan atau diperiksa. Sekedar contoh, misalnya pelaku tindak pidana yang sebenarnya adalah A. tetapi yang ditangkap, ditahan, dan diperiksa B. atas kekeliruan mengenai

10 orang yang ditahan, ditangkap, atau diperiksa memberi hak kepada yang bersangkutan untuk menuntut ganti kerugian kepada Praperadilan. 4. Memeriksa Permintaan Rehabilitasi Praperadilan berwenang memeriksa dan memutus permintaan rehabilitasi yang diajukan oleh tersangka, keluarganya atau penasehat hukumnya atas penagkapan atau penahanan tanpa dasar hukum yang ditentukan undang-undang. Bisa juga permintaan rehabilitasi atas kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan, yang diperkaranya tidak diajukan ke sidang pengadilan. 5. Tindakan Penyitaan Dalam tinjauan standar universal maupun dalam KUHAP, tindakan upaya paksa merupakan perampasan HAM atau hak privasi perseorangan (personel privacy right) yang dilakukan penguasa (aparat penegak hukum) dalam melaksankan fungsi feradilan dalam system peradilan pidana (criminal justice system) yang dapat dikalsifikasi meliputi: Penangkapan (arrest) Penahanan (detention) Penggeledahan (searching), dan Penyitaan, perampasan, pembeslahan (seizure). Perbedaan system pelaksanaan upaya paksa telah menimbulkan permasalahan hukum dan perbedaan pendapat dalam penerapan; a. Ada yang berpendirian, tindakan upaya paksa yang masuk yurisdiksi Praperadilan untuk menguji keabsahannya, hanya terbatas pada tindakan penangkapan dan penahanan atas alasan undue process atau orang yang ditahan atau ditangkap tidak tepat (eror in person). b. Sedang tidakan upaya paksa penggeledahan atau penyitaan dianggap berada di luar yurisdiksi Praperadilan atas alasan, dalam penggeledahan atau penyitaan terkandung intervensi pengadilan berupa:

11 Dalam proses biasa, harus lebih dahulu medapat surat izin dari Ketua Pengadilan Negeri seperti disebutkan dalam KUHAP. Pasal 33 ayat (1). Dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat penyidik dalam melakukan penyidikan dapat mengadakan penggeledahan rumah yang diperlukan. Pasal 38 ayat (1). Penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat. Dalam keadan mendesak, boleh lebih dahulu bertindak, tetapi harus meminta persetujuan KPN. Pasal 34 ayat (1). Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 33 ayat (5) penyidik dapat melakukan penggeledahan: a. pada halaman rumah tersangka bertempat tinggal, berdiam atau ada dari yang ada di atasnya; b. pada setiap tempat lain tersangka bertempat tinggal, berdiam atau ada; c. di tempat tindak pidana dilakukan atau terdapat bekasnya; di tempat penginapan dan tempat umum lainnya. Pasal 38 ayat (2) Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, tanpa mengurangi ketentuan ayat (1) penyidik dapat melakukan penyitaan hanya atas benda bergerak dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada ketua pengadilan negeri setempat guna memperoleh persetujuannya. Bertitik tolak dari asumsi kemungkinan terjadinya penyimpangan di luar batas surat izin yang diberikan KPN, terhadap penggeledahan dan penyitaan pun dapat diajukan ke Praperadilan. Baik yang berkenaan dengan tuntutan ganti kerugian maupun yang berkenaan dengan sah atau tidaknya penyitaan dengan acuan penerapan:

12 a. Dalam hal penggeledahan atau penyitaan tanpa izin atau persetujuan KPN, mutlak menjadi yurisdiksi Praperadilan untuk memeriksa keabsahannya. b. Dalam hal penggeledahan atau penyitaan telah mendapat izin atau surat persetujuan dari KPN, tetap dapat diajukan ke Praperadilan, dengan lingkup kewenangan yang lebih sempit yakni; Praperadilan tidak dibenarkan menilai surat izin atau surat persetujuan yang dikeluarkan KPN tentang hal itu. Yang dapat dinilai oleh Praperadilan, terbatas pada masalah pelaksanaannya surat izin atau surat persetujuan tersebut, dalam arti apakah pelaksanaannya sesuai atau melampaui surat izin atau tidak. Sehubungan dengan itu, meskipun pasal 77 ayat (1) huruf a KUHAP tidak meyebutkan secara tegas tentang penyitaan dan penggeledahan, tetapi hanya menyebut penangkapan, penahanan, dan penghentian penyidikan atau penuntutan, rincian ini tidak bersifat limitatif. Ternyata pasal 82 ayat (3) huruf d KUHAP memasukkan upaya penyitaan ke dalam yurisdiksi substantif Praperadilan. Pasal 82 ayat (3) 3. Isi putusan selain memuat ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) juga memuat hal sebagai berikut a. dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penangkapan atau penahanan tidak sah; maka penyidik atau jaksa penuntut umum pada tingkat pemeriksaan masing-masing harus segera membebaskan tersangka; b. dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penghentian penyidikan atau penuntutan tidak sah, penyidikan atau penuntutan terhadap tersangka wajib dilanjutkan; c. dalam hal putusan menetapkan bahwa suatu penangkapan atau penahanan tidak sah, maka dalam putusan dicantumkan jumlah besarnya ganti kerugian dan rehabilitasi yang diberikan, sedangkan dalam hal suatu penghentian penyidikan atau penuntutan adalah sah dan tersangkanya tidak ditahan, maka dalam putusan dicantumkan rehabilitasinya; d. dalam hal putusan menetapkan bahwa benda yang disita ada yang tidak termasuk alat pembuktian, maka dalam putusan dicantumkan bahwa

13 benda tersebut harus segera dikembalikan kepada tersangka atau dan siapa benda itu disita. Alasan lain yang mendukung tindakan penyitaan termasukyurisdiksi Praperadilan berkenaan dengan penyitaan yang dilakukan terhadap orang pihak ketiga dan barang itu tidak termasuk sebagai alat atau barang bukti. Dalam kasus seperti ini pemilik barang harus diberi hak untuk mengajukan ketidakabsahan penyitaan kepada Praperadilan. Menutup atau meniadakan hak orang yang dirugikan dalam penyitaan dimaksud, berarti membiarkan dan membenarkan perkosaan oleh aparat penegak hukum (penyidik) terhadap hak miliki orang yang tidak berdosa. C. Proses Pemeriksaan Praperadilan 1. Yang Berhak Mengajukan Permohonan a. Tersangka, Keluarganya, atau Kuasanya Tersangka, Keluarganya atau Kuasanya berhak mengajukan permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya: Pasal 79. Penaangkapan Penahanan Penyitaan Penggeledahan Permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan diajukan oleh tersangka, keluarga atau kuasanya kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya. b. Penuntut Umum dan Pihak Ketiga yang Berkepentingan Penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan dapat mengajukan permintaan pemeriksaan tentang sah tidaknya penghentian penyidikan. Apabila penyidik menghentikan pemeriksaan penyidikan maka kepada penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan mengajukan pemeriksaan kepada

14 Praperadilan mengenai hal sah atau tidaknya penghentian penyidikan. Pasal 80 Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya. Yang dimaksud pihak ketiga yang berkepentingan dalam pemeriksaan perkara pidana ialah saksi yang langsung menjadi korban yang paling berkepentingan dalam peristiwa pidana yang bersangkutan. Sehingga ia berhak mengajukan permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya penghentian penyidikan kepada Praperadilan. Pemberian hak yang sedemikian kepada saksi dapat dianggap memenuhi tuntutan kesadaran masyarakat. c. Penyidik atau Pihak Ketiga Yang Berkepentingan. Kalau dalam penghentian penyidikan penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan yang tampil mengajukan permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya penghentian penyidikan, dalam penghentian penuntutan penyidik atau pihak ketiga yang berkentingan yang diberi hak untuk mengajukannya. Disini terjadi timbal balik, dengan demikian sekiranya penyidik tidak menanggapi penghentian penuntutan atau penyidik dapat menyetujuinya, saksi dapat berperan melakukan pengawasan dengan jalan mengajukan permintaan pemeriksaan kepada Praperadilan tentang sah atau tidaknya penghentian penuntutan yang dilakukan penuntut umum. d. Tersangka, Ahli Warisnya, atau Kuasanya. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam KUHAP, menurut ketentuan tersebut dijelaskan bahwa tersangka, ahli warisnya, atau

15 penasehat hukumnya dapat mengajukan tuntutan ganti kerugian kepada Praperadilan atas alasan Penangkapan atau penahanan yang tidak sah. Penggeledahan atau penyitaan tanpa alasan yang sah, atau Karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan, yang perkaranya tidak diajukan ke sidang pengadilan. Pasal 95 ayat (2) Tuntutan ganti kerugian oleh tersangka atau ahli warisnya atas penangkapan atau penahanan serta tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana dimaksud dalarn ayat (1) yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri, diputus di sidang praperadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77. e. Tersangka atau Pihak Ketiga yang Berkepentingan menuntut Ganti Rugi. Tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan dapat mengajukan tuntutan ganti kerugian kepada Praperadilan atas alasan sahnya penghentian penyidikan atau sahnya penghentian penyidikan penuntutan. Kalau Praperadilan memutuskan penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan sah, putusan yang mengesahkan penghentian itu memberi alasan kepada tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan untuk mengajukan permintaan ganti kerugian kepada Praperadilan. Sebaliknya, kalau Praperadilan meyatakan penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan tidak sah, sehingga penyidikan atau penuntutan dilanjutkan, dengan sendirinya menutup pintu bagi tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan menuntut ganti kerugian.

16 Pasal 81. Permintaan ganti kerugian dan atau rehabiitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan atau akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan diajukan oleh tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebut alasannya. 2. Pengajuan dan Tata Cara Pemeriksaan Praperadilan. a. Permohonan Ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri. Semua permohonan yang hendak diajukan untuk diperiksa oleh Praperadilan ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negerim meliputi daerah hukum tempat di mana penangkapan, penahanan, penggeledahan, atau penyitaan itu dilakukan. Atau diajukan kepada ketua Pengadilan Negeri tempat di mana penyidik atau penuntut umum yang menghentikan penyidikan atau penuntutan berkedudukan. b. Permohonan Diregister dalam Perkara Praperadilan Setelah panitera menerima permohonan, deregister dalam perkara Praperadilan. Segala permohonan yang ditujukan ke Praperadilan, dipisahkan rigisternya dari perkara pidana biasa. Adminitarsi yustisial Praperadilan dibuat tersendiri terpisah dari administrasi perkara biasa. c. Ketua Pengadilan Negeri Segera Menunjuk Hakim dan Panitera. Penunjukan segera mungkin hakim dan panitera yang akan memeriksa permohonan. Bahwa dalam waktu 3 (tiga) hari setelah diterima permintaan, hakim yang ditunjuk menetapkan hari sidang. Agar yang dituntut dalam pasal tersebut dapat dilaksanakan secara tepat setelah pencatatan dalam register, panitera memintakan kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk segera menunjuk dan menetapkan hakim dan panitera yang akan bertindak memeriksa permohonan. Atau kalau Ketua Pengadilan Negeri telah menetapkan satuan tugas yang khusus secara permanen, segera melimpahkan permintaan itu kepada pejabat satuan tugas tersebut.

17 Pasal 82 ayat (1) huruf a. (1) Acara pemeriksaan praperadilan untuk hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, Pasal 80 dan Pasal 81 ditentukan sebagai berikut: a. dalam waktu tiga hari setelah diterimanya permintaan, hakim yang ditunjuk menetapkan hari sidang; d. Pemeriksaan Dilakukan dengan Hakim Tunggal Hakim yang duduk dalam pemeriksaan sidang Praperadilan adalah hakim tunggal. Semua permohonan yang diajukan kepada Praperadilan, diperiksa dan diputus oleh hakim tunggal dan dibantu oleh seorang panitera. Pasal 78 ayat (2) Praperadilan dipimpin oleh hakim tunggal yang ditunjuk oleh ketua pengadilan negeri dan dibantu oleh seorang panitera. e. Tata Cara Pemeriksaan Praperadilan. 1. Penetapan hari sidang 3 (tiga) hari sesudah register. Demikian ini yang telah disebutkan dalam pasal 82 ayat (1) huruf a, yakni 3 (tiga) hari sesudah permohonan. Hakim yang ditunjuk menetapkan hari sidang. Penghitungan penetapan hari sidang, bukan dari tanggal penunjukan hakim oleh Ketua Pengadilan Negeri, namun dihitung 3 (tiga) hari dari tanggal penerimaan atau 3 (tiga) hari dari tanggal register di kepaniteraan. 2. Pada hari penerimaan sidang sekaligus hakim menyampaikan panggilan. Tata cara inilah yang sebaiknya ditempuh, agar dapat terpenuhi proses pemeriksaan yang cepat. Pasal 82 ayat (1) huruf c. (1) Acara pemeriksaan praperadilan untuk hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, Pasal 80 dan Pasal 81 ditentukan sebagai berikut: c. permeriksaan tersebut dilakukan cara cepat dan selambatlambatnya tujuh hari hakim harus sudah menjatuhkan putusannya; Yang dipanggil dan diperiksa dalam sidang Praperadilan, bukan hanya Pemohon namun juga pejabat yang menimbulkan terjadinya alasan permintaan pengajuan pemeriksaan Praperadilan.

18 Kedudukan dan kehadiran pejabat yang bersangkutan dalam pemeriksaan sidang Praperadilan, bukan sebagai pihak dalam arti pemeriksaan perkara perdata yakni sebagai Termohon/Tergugat. Secara formal kedudukan dan kehadiran pejabat, hanya untuk memberi keterangan. Keterangan pejabat didengar hakim dalam sidang sebagai bahan pertimbangan dalam menjatuhkan putusan. D. Bentuk Putusan Praperadilan Bertitik tolak dari prinsip acara pemeriksaan cepat, bentuk putusan Paraperadilan pun sudah selayaknya menyesuaikan diri dengan sifat proses tersebut tanpa mengurangi isi pertimbangan yang jelas berdasar hukum dan undang-undang. Ada beberapa hal yang berkenaan dengan masalah putusan Praperadilan: 1. Putusan disatukan dengan berita acara Bentuk putusan Praperadilan tidak diatur secara tegas dalam undangundang. Bahwa pembuatan putusan Praperadilan dirangkaikan menjadi satu dengan berita acara pemeriksaan sidang menarik kesimpulan dari 2 (dua) sumber: a. Pasal 82 ayat (1) huruf c. (1) Acara pemeriksaan praperadilan untuk hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, Pasal 80 dan Pasal 81 ditentukan sebagai berikut: c. permeriksaan tersebut dilakukan cara cepat dan selambat-lambatnya tujuh hari hakim harus sudah menjatuhkan putusannya; b. Pasal 96 ayat (1) (1) Putusan pemberian ganti kerugian berbentuk penetapan. 2. Isi Putusan Praperadilan. Isi putusan Praperadilan pada garis besarnya diatur sebagaimana berikut: Pasal 82 ayat (2) (2) Putusan hakim dalam acara pemeriksaan praperadilan mengenai hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, Pasal 80 dan Pasal 81, harus memuat dengan jelas dasar dan alasannya. Pasal 82 ayat (3) (3) Isi putusan selain memuat ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) juga memuat hal sebagai berikut:

19 a. dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penangkapan atau penahanan tidak sah; maka penyidik atau jaksa penuntut umum pada tingkat pemeriksaan masing-masing harus segera membebaskan tersangka; b. dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penghentian penyidikan atau penuntutan tidak sah, penyidikan atau penuntutan terhadap tersangka wajib dilanjutkan; c. dalam hal putusan menetapkan bahwa suatu penangkapan atau penahanan tidak sah, maka dalam putusan dicantumkan jumlah besarnya ganti kerugian dan rehabilitasi yang diberikan, sedangkan dalam hal suatu penghentian penyidikan atau penuntutan adalah sah dan tersangkanya tidak ditahan, maka dalam putusan dicantumkan rehabilitasinya; d. dalam hal putusan menetapkan bahwa benda yang disita ada yang tidak termasuk alat pembuktian, maka dalam putusan dicantumkan bahwa benda tersebut harus segera dikembalikan kepada tersangka atau dan siapa benda itu disita. Selain memuat putusan penetapan Praperadilan yang memuat alasan dasar pertimbangan hukum, juga membuat amar penetapan Praperadilan bisa berupa: 1. Sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan. 2. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan. 3. Diterima atau ditolak permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi. 4. Perintah pembebasan dari tahanan. 5. Perintah melanjutkan penyidikan atau penuntutan. 6. Besarnya ganti kerugian. 7. Berisi pernyataan segera mengembalikan sitaan. E. Gugur Pemeriksaan Praperadilan Pemeriksaan Praperadilan bisa gugur, artinya pemeriksaan Praperadilan dihentikan sebelum putusan dijatuhkan atau pemeriksaan dihentikan tanpa putusan. Pasal 82 ayat (1) huruf d. (d) dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada praperadilan belum selesai, maka permintaan tersebut gugur; Memperhatikan ketentuan tersebut maka gugurnya pemeriksaan Praperadilan terjadi: Apabila perkaranya telah diperiksa oleh Pengadilan Negeri. Pada saat perkaranya diperiksa Pengadilan Negeri, pemeriksaan Praperadilan belum selesai.

20 F. Upaya Hukum Putusan Praperadilan 1. Putusan Praperadilan yang tidak dapat banding. Tidak semua putusan Praperadilan dapat dimintakan upaya banding. Dalam hal ini sebagaimana yang telah ditetapkan sebagaimana berikut di dalam KUHAP: a. Penetapan sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan b. Putusan ganti kerugian dan rehabilitasi. pasal 83 ayat (1) (1)Terhadap putusan praperadilan dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, Pasal 80, dan Pasal 81 tidal dapat dimintakan banding. 2. Putusan Praperadilan yang dapat dibanding. Mengenai putusan Praperadilan yang dapat diminta banding ke Pengadilan Tinggi sebagai mana disebutkan sebagai berikut: a. Putusan yang menetapkan sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan tidak dapat diajukan permintaan banding. b. Putusan yang menetapkan tentang tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan, dapat diajukan permintaan banding. c. Pengadilan Tinggi yang memeriksa dan memutus permintaan banding tentang tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan, bertindak sebagai pengadilan yang memeriksa dan memutus :dalam tingkat akhir. Pasal 83 ayat (2). (2) Dikecualikan dan ketentuan ayat (1) adalah putusan praperadilan yang menetapkan tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan yang untuk itu dapat dimintakan putusan akhir ke pengadilan tinggi dalam daerah hukum yang bersangkutan. 3. Kasasi terhadap Putusan Praperadilan. Telah disinggung bahwa putusan Praperadilan yang dapat diminta banding, dimana Pengadilan tinggi bertindak sebagai pengadilan yang memutus dalam tingkat akhir. Bagaimana dengan permintaan upaya kasasi terhadap putusan Praperadilan. Dalam hal ini masih terjadi perbedaan pendapat. Ada yang berpendirian bahwa atas putusan Praperadilan tidak dapat dimintakan upaya kasasi da ada yang berpendapat untuk memperkenankan permintaan kasasi atas putusan Praperadilan. Barang kali perselisihan pendapat ini bertitik tolak dari tentang materi yang diperiksa dan diputus lembaga Praperadilan. Ada yang berpendirian, apa yang diperiksa dan diputus Praperadilan, bukan materi perkara pidana, akan tetapi hanya

21 tentang sah atau tidaknya tindakan pejabat yang terlibat dalam pemeriksaan penyidikan atau penuntutan. Bagaimana sikap Mahkamah Agung mengenai masalah tersebut?. Sampai sekarang pengadilan tertinggi tersebut cendrung pada pendirian tidak memperkenankan permintaan kasasi atas putusan Praperadilan. Jalan pikiran Mahkamah Agung tersebut dapat dilihat dari pertimbangan putusan tanggal 29 Maret 1983.No.22K/KR/1982, sebagai berikut; Mahkamah Agung berpendapat, terhadap putusan-putusan Praperadilan tidak dapat dimungkinkan permintaan kasasi, karena keharusan cepat perkara Praperadilan tidak akan terpenuhi kalau masih dimungkinkan pemeriksaan kasasi. Wewenang Pengadilan Negeri yang dilakukan oleh Praperadilan, dimaksudkan haya sebagai wewenang pengawasan secara horizontal terhadap tindakan pejabat penegak hukum lainnya. Juga pasal 244 KUHAP, tidak membuka kemungkinan melakukan pemeriksaan kasasi terhadap putusan Praperadilan, karena pemeriksaan kasasi yang diatur pasal 244 hanya mengenai putusan perkara pidana yang benar-benar diperiksa dan diputus Pengadilan Negeri atau pengadilan selain Mahkamah Agung. Selain dari pada itu, menurut hukum acara pidana, baik pihak-pihak maupun pemeriksaannya berbeda sifat dan kedudukannnya jika dibandingkan dalam pemeriksaan Praperadilan. Itulah saduran pertimbangan Mahkamah Agung dalam putusan tersebut. Pendirian yang seperti ini dapat juga dilihat dalam putusan Mahkamah Agung tanggal 10 Mei 1984, Reg. No. 680 K/Pid?1983. salah satu bunyi pertimbangannya bahwa menurut yurisprudensi tetap terhadap putusan-putusan Praperadilan tidak dapat dimintakan kasasi, sehingga permohonan kasasi dari pemohon kasasi harus dinyatakan tidak dapat diterima. Dari pendirian dan putusan yang telah menjadi yurisprudensi Mahkamah Agung, sehingga praktek peradilan harus menyesuaikan diri dengan pendirian tersebut. G. Kesimpulan 1. Praperadilan bukan merupakan lembaga peradilan tersendiri namun merupakan kesatuan yang melekat pada Pengadilan Negeri yang administrasi yustisialnya berada dibawah pengawasan dan pembinaan Ketua Pengadilan Negeri.

22 2. Praperadilan mempunyai kewenangan memeriksa dan memutus sah atau tidaknya yang dimintakan permohonan Praperadilan terhadap perkara upaya paksa, penghentian penyidikan dan atau penuntutan, ganti kerugian, rehabilitasi, dan tindakan penyitaan. 3. Pihak-pihak yang berhak memintakan untuk sidang Praperadilan adalah tersangka, keluarganya, atau kuasanya, penyidik, penuntut umum dan pihak ketiga yang berkepentingan. 4. Pemeriksaan perkara yang dimintakan untuk diperiksa pada sidang Praperadilan menggunakan prinsip beracara cepat dan biaya ringan. 5. Pemeriksaan persidangan Praperadilan menjadi gugur bila perkaranya telah diperiksa oleh Pengadilan Negeri dan pada saat perkaranya diperiksa Pengadilan Negeri, pemeriksaan Praperadilan belum selesai. 6. Upaya hukum terhadap putusan Praperadilan adalah yang tidak dapat dimintakan banding adalah tentang sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan dan ganti kerugian serta rehabilitasi. Namun terhadap putusan tentang tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan dapat dimintakan upaya hukum banding. 7. Atas putusan Praperadilan tidak bisa dimintakan untuk melakukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung.

23 BAHAN BACAAN Achmad Ali, Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial Prudence), Kharisma Putra Utama, Kencana Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, Moelyatno, Asas- Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, Pranoto Iskandar dan Yudi Junaidi, Memahami Hukum Di Indonesia, IMR Press, Cianjur, Radar Sulteng, terbit 3 Pebruari Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta, , Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali. Sinar Grafika, Jakarta, 2009.

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUUXIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan I. PEMOHON Muhamad Zainal Arifin Kuasa Hukum Heru Setiawan, Novi Kristianingsih, dan Rosantika Permatasari

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUUXIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan I. PEMOHON Muhamad Zainal Arifin Kuasa Hukum Heru Setiawan, Novi Kristianingsih, dan Rosantika Permatasari

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur menurut Undang-Undang ini.

II. TINJAUAN PUSTAKA. penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur menurut Undang-Undang ini. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penahanan Tersangka Penahanan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 21 KUHAP adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik Indonesia adalah negara

Lebih terperinci

Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang : Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana

Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang : Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang : Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal : 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA) Sumber : LN 1981/76;

Lebih terperinci

JURNAL TUNTUTAN GANTI KERUGIAN AKIBAT TIDAK SAHNYA PENANGKAPAN DAN PENAHANAN MELALUI PROSES PRAPERADILAN

JURNAL TUNTUTAN GANTI KERUGIAN AKIBAT TIDAK SAHNYA PENANGKAPAN DAN PENAHANAN MELALUI PROSES PRAPERADILAN JURNAL TUNTUTAN GANTI KERUGIAN AKIBAT TIDAK SAHNYA PENANGKAPAN DAN PENAHANAN MELALUI PROSES PRAPERADILAN Diajukan Oleh: HENDRA WAGE SIANIPAR NPM : 100510247 Program Studi Program Kekhususan : Ilmu Hukum

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum.

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum. BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Dalam Negara Hukum, negara mengakui dan melindungi hak asasi manusia setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum. Persamaan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal: 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA)

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal: 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA) Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal: 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA) Sumber: LN 1981/76; TLN NO. 3209 Tentang: HUKUM ACARA PIDANA Indeks: KEHAKIMAN.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik Indonesia adalah negara

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik Indonesia adalah negara

Lebih terperinci

KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP) NOMOR 8 TAHUN 1981

KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP) NOMOR 8 TAHUN 1981 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP) NOMOR 8 TAHUN 1981 Bab I Ketentuan Umum Bab II Ruang Lingkup Berlakunya Undang-undang Bab III Dasar Peradilan Bab IV Penyidik dan Penuntut Umum Bagian Kesatu:

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana 1. Hakim dan Kewajibannya Hakim dapat diartikan sebagai orang yang mengadili perkara dalam pengadilan atau mahkamah.

Lebih terperinci

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013 LAMPIRAN PASAL-PASAL RUU KUHAP PELUMPUH KPK Pasal 3 Pasal 44 Bagian Kedua Penahanan Pasal 58 (1) Ruang lingkup berlakunya Undang-Undang ini adalah untuk melaksanakan tata cara peradilan dalam lingkungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam tahap pemeriksaan penyidikan dan atau penuntutan. 1

BAB I PENDAHULUAN. dalam tahap pemeriksaan penyidikan dan atau penuntutan. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Untuk menjamin perlindungan hak azasi manusia dan agar para aparat penegak hukum menjalankan tugasnya secara konsekuen, maka KUHAP membentuk suatu lembaga baru yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai

BAB I PENDAHULUAN. melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu unsur penegak hukum yang diberi tugas dan wewenang melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai Pasal 30 ayat 1(d)

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS. A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam

BAB V ANALISIS. A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam BAB V ANALISIS A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam Perkara No. 97/PID.PRAP/PN.JKT.SEL Setelah keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014, maka penetapan

Lebih terperinci

HUKUM ACARA PIDANA Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tanggal 31 Desember 1981 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

HUKUM ACARA PIDANA Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tanggal 31 Desember 1981 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : HUKUM ACARA PIDANA Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tanggal 31 Desember 1981 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum

Lebih terperinci

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal: 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA)

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal: 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA) Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal: 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA) Sumber: LN 1981/76; TLN NO. 3209 Tentang: HUKUM ACARA PIDANA Indeks: KEHAKIMAN.

Lebih terperinci

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu ABSTRAK Penahanan sementara merupakan suatu hal yang dipandang

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. serta pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa peranan hakim adalah

BAB III PENUTUP. serta pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa peranan hakim adalah BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan identifikasi masalah, tujuan penelitian dan hasil penelitian serta pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa peranan hakim adalah memeriksa dan memutus permohonan

Lebih terperinci

FUNGSI LEMBAGA PRAPERADILAN MENCEGAH PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA 1 Oleh : Rifkha A. Sondakh 2

FUNGSI LEMBAGA PRAPERADILAN MENCEGAH PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA 1 Oleh : Rifkha A. Sondakh 2 FUNGSI LEMBAGA PRAPERADILAN MENCEGAH PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA 1 Oleh : Rifkha A. Sondakh 2 ABSTRAK Lembaga Praperadilan merupakan wewenang dari Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus tentang

Lebih terperinci

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D 101 10 523 Abstrak Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechstaat), tidak berdasarkan

Lebih terperinci

1. Pendahuluan. Serat Acitya Jurnal Ilmiah UNTAG Semarang ISSN : , Vol. 4 No. 3, 2015

1. Pendahuluan. Serat Acitya Jurnal Ilmiah UNTAG Semarang ISSN : , Vol. 4 No. 3, 2015 KAJIAN TENTANG PRAPERADILAN DALAM HUKUM PIDANA S. Wulandari, SH.MHum.MKn sriwulan_@yahoo.co.id Program Studi Ilmu Hukum Universitas 17 Agustus 1945 (UNTAG) Semarang Abstrak Eksistensi dan kehadiran praperadilan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pasal 1 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum. 1 Hal ini berarti bahwa Republik

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara I. PEMOHON Bachtiar Abdul Fatah. KUASA HUKUM Dr. Maqdir Ismail, S.H., LL.M., dkk berdasarkan surat

Lebih terperinci

V. PENUTUP. 1. Alasan yang menjadi dasar adanya kebijakan formulasi Hakim Komisaris. dalam RUU KUHAP Tahun 2009 atau hal utama digantinya lembaga pra

V. PENUTUP. 1. Alasan yang menjadi dasar adanya kebijakan formulasi Hakim Komisaris. dalam RUU KUHAP Tahun 2009 atau hal utama digantinya lembaga pra 90 V. PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan maka dapat dibuat kesimpulan sebagai berikut : 1. Alasan yang menjadi dasar adanya kebijakan formulasi Hakim

Lebih terperinci

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA Hukum formal atau hukum acara adalah peraturan hukum yang mengatur tentang cara bagaimana

Lebih terperinci

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Analisis Yuridis Putusan Hakim Praperadilan Mengenai Penetapan Status Tersangka Menurut Pasal 77 Kuhap Jo Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-VIII/2014 tentang Perluasan

Lebih terperinci

PRAPERADILAN SEBAGAI KEWENANGAN TAMBAHAN PENGADILAN NEGERI PRETRIAL COURT AS ADDITIONAL POWERS

PRAPERADILAN SEBAGAI KEWENANGAN TAMBAHAN PENGADILAN NEGERI PRETRIAL COURT AS ADDITIONAL POWERS PRAPERADILAN SEBAGAI KEWENANGAN TAMBAHAN PENGADILAN NEGERI PRETRIAL COURT AS ADDITIONAL POWERS Tri Wahyu Widiastuti Endang Yuliana S Fakultas Hukum UNISRI Surakarta ABSTRAK Wewenang Pengadilan Negeri dalam

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sistem dan mekanisme

Lebih terperinci

jahat tersebut tentunya berusaha untuk menghindar dari hukuman pidana, yaitu dengan cara

jahat tersebut tentunya berusaha untuk menghindar dari hukuman pidana, yaitu dengan cara A. Pengertian Penahanan Seorang terdakwa akan berusaha untuk menyulitkan pemeriksaan perkara dengan meniadakan kemungkinan akan dilanggar, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain. Terdakwa yang

Lebih terperinci

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan 1 Ahmad Bustomi, 2

Lebih terperinci

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi Tidak pidana korupsi di Indonesia saat ini menjadi kejahatan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. tersebut, khususnya mengenai kepentingan anak tentunya hal ini perlu diatur oleh

TINJAUAN PUSTAKA. tersebut, khususnya mengenai kepentingan anak tentunya hal ini perlu diatur oleh 16 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hukum Perlindungan Anak Sebuah Masyarakat yang di dalamnya memiliki individu yang mempunyai kepentingan yang tidak hanya sama tetapi dapat bertentangan, untuk itu diperlukan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 21 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Urgensi Praperadilan Praperadilan yang dimaksudkan di sini dalam pengertian teknis hukum berbeda dengan pemahaman umum yang seakan-akan itu berarti belum peradilan (pra:

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 of 24 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA 1. Wewenang Jaksa menurut KUHAP Terlepas dari apakah kedudukan dan fungsi Kejaksaan Republik Indonesia diatur secara eksplisit atau implisit

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. V/No. 4/Apr-Jun/2016

Lex Crimen Vol. V/No. 4/Apr-Jun/2016 PENANGKAPAN DAN PENAHANAN SEBAGAI UPAYA PAKSA DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA 1 Oleh : Hartati S. Nusi 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana alasan penangkapan

Lebih terperinci

TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D Pembimbing:

TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D Pembimbing: TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D 101 10 308 Pembimbing: 1. Dr. Abdul Wahid, SH., MH 2. Kamal., SH.,MH ABSTRAK Karya ilmiah ini

Lebih terperinci

JAMINAN PERLINDUNGAN HAK TERSANGKA DAN TERDAKWA DALAM KUHAP DAN RUU KUHAP. Oleh : LBH Jakarta

JAMINAN PERLINDUNGAN HAK TERSANGKA DAN TERDAKWA DALAM KUHAP DAN RUU KUHAP. Oleh : LBH Jakarta JAMINAN PERLINDUNGAN HAK TERSANGKA DAN TERDAKWA DALAM KUHAP DAN RUU KUHAP Oleh : LBH Jakarta 1. PENGANTAR Selama lebih dari tigapuluh tahun, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau KUHAP diundangkan

Lebih terperinci

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sesuai dengan apa yang tertuang dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana bahwa wewenang penghentian penuntutan ditujukan kepada

Lebih terperinci

BAB II PRAPERADILAN DITINJAU MENURUT KUHAP JO PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR: 21/PUU-XII/2014

BAB II PRAPERADILAN DITINJAU MENURUT KUHAP JO PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR: 21/PUU-XII/2014 BAB II PRAPERADILAN DITINJAU MENURUT KUHAP JO PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR: 21/PUU-XII/2014 A. Praperadilan Ditinjau Dari KUHAP Kebebasan dan kemerdekaan adalah suatu hak istimewa dan harus dipertahankan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I Pasal 1 Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. V/No. 5/Jul/2016

Lex Crimen Vol. V/No. 5/Jul/2016 PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN SALAH TANGKAP DARI SUDUT PANDANG KUHAP 1 Oleh : Hatlyinsyanna Seroy 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana Pengaturan Kitab Undang-Undang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi diartikan sebagai penyelenggaraan atau penyalahgunaan uang negara untuk kepentingan pribadi atau orang lain atau suatu korporasi.

Lebih terperinci

Bagian Kedua Penyidikan

Bagian Kedua Penyidikan Bagian Kedua Penyidikan Pasal 106 Penyidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.98, 2003 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1 NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1 Abstrak: Nilai yang diperjuangkan oleh hukum, tidaklah semata-mata nilai kepastian hukum dan nilai kemanfaatan bagi masyarakat, tetapi juga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sendiri dan salah satunya lembaga tersebut adalah Pengadilan Negeri. Saat

BAB I PENDAHULUAN. sendiri dan salah satunya lembaga tersebut adalah Pengadilan Negeri. Saat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Fakta hukum dalam suatu perkara tindak pidana adalah bagian proses penegakan hukum pidana yang tidak dapat diketegorikan mudah dan sederhana. Para penegak hukum

Lebih terperinci

GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN

GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN NOMOR 21 TAHUN 2010 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENYIDIKAN BAGI PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH PROVINSI BANTEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANTEN,

Lebih terperinci

LEMBAGA PRAPERADILAN DALAM PERSPEKTIF KINI DAN MASA MENDATANG DALAM HUBUNGANNYA DENGAN HAK ASASI MANUSIA I GEDE YULIARTHA, SH.

LEMBAGA PRAPERADILAN DALAM PERSPEKTIF KINI DAN MASA MENDATANG DALAM HUBUNGANNYA DENGAN HAK ASASI MANUSIA I GEDE YULIARTHA, SH. LEMBAGA PRAPERADILAN DALAM PERSPEKTIF KINI DAN MASA MENDATANG DALAM HUBUNGANNYA DENGAN HAK ASASI MANUSIA I GEDE YULIARTHA, SH. ABSTRAK Upaya paksa yang dilakukan dalam Penyidikan maupun Penuntutan oleh

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 44/PUU-XIII/2015 Objek Praperadilan

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 44/PUU-XIII/2015 Objek Praperadilan RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 44/PUU-XIII/2015 Objek Praperadilan I. PEMOHON 1. Damian Agatha Yuvens 2. Rangga Sujud Widigda 3. Anbar Jayadi 4. Luthfi Sahputra 5. Ryand, selanjutnya disebut Para Pemohon.

Lebih terperinci

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA OLEH KORPORASI

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA OLEH KORPORASI KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA OLEH KORPORASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 018/PUU-IV/2006 Perbaikan Permohonan Secara on the Spot Tanggal 09 Oktober 2006

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 018/PUU-IV/2006 Perbaikan Permohonan Secara on the Spot Tanggal 09 Oktober 2006 RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 018/PUU-IV/2006 Perbaikan Permohonan Secara on the Spot Tanggal 09 Oktober 2006 I. PEMOHON : MAYOR JENDERAL (PURN) H. SUWARNA ABDUL FATAH bertindak selaku perorangan atas

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang undang atau yang

BAB I PENDAHULUAN. Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang undang atau yang BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang undang atau yang bersifat tidak tertulis, merupakan pedoman bagi setiap individu tentang bagaimana selayaknya berbuat

Lebih terperinci

BAB 4 PENGAWASAN TERHADAP PELAKSANAAN UPAYA PAKSA MENURUT KONSEP PRAPERADILAN DI DALAM KUHAP DAN KONSEP HAKIM KOMISARIS MENURUT RUU KUHAP

BAB 4 PENGAWASAN TERHADAP PELAKSANAAN UPAYA PAKSA MENURUT KONSEP PRAPERADILAN DI DALAM KUHAP DAN KONSEP HAKIM KOMISARIS MENURUT RUU KUHAP BAB 4 PENGAWASAN TERHADAP PELAKSANAAN UPAYA PAKSA MENURUT KONSEP PRAPERADILAN DI DALAM KUHAP DAN KONSEP HAKIM KOMISARIS MENURUT RUU KUHAP 1. Pengawasan Terhadap Upaya Paksa Melalui Konsep Praperadilan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM DALAM PENANGKAPAN TERDUGA TERORIS ( STUDI KASUS SIYONO )

PERLINDUNGAN HUKUM DALAM PENANGKAPAN TERDUGA TERORIS ( STUDI KASUS SIYONO ) PERLINDUNGAN HUKUM DALAM PENANGKAPAN TERDUGA TERORIS ( STUDI KASUS SIYONO ) JURNAL SKRIPSI Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Dalam Memperoleh Gelar Sarjana Dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas

Lebih terperinci

BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR. penyelidikan yang merupakan tahapan permulaan mencari ada atau tidaknya

BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR. penyelidikan yang merupakan tahapan permulaan mencari ada atau tidaknya BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR 2.1. Penyidikan berdasarkan KUHAP Penyidikan merupakan tahapan penyelesaian perkara pidana setelah penyelidikan yang merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kebebasan, baik yang bersifat fisik maupun pikiran. Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar

I. PENDAHULUAN. kebebasan, baik yang bersifat fisik maupun pikiran. Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu hak asasi manusia (selanjutnya disingkat HAM) yang utama adalah hak atas kebebasan, baik yang bersifat fisik maupun pikiran. Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. penegakan hukum berdasarkan ketentuan hukum, maka hilanglah sifat melanggar

II. TINJAUAN PUSTAKA. penegakan hukum berdasarkan ketentuan hukum, maka hilanglah sifat melanggar 15 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban Polri Melaksanakan tugas penegak hukum dapat terjadi Polisi melaksanakan pelanggaran HAM yang sebenarnya harus ditegakkan. Selama pelaksanaan tugas penegakan

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. IV/No. 5/Juli/2015. INDEPENDENSI HAKIM DALAM MEMUTUS PERKARA PRAPERADILAN MENURUT KUHAP 1 Oleh: Alviano Maarial 2

Lex Crimen Vol. IV/No. 5/Juli/2015. INDEPENDENSI HAKIM DALAM MEMUTUS PERKARA PRAPERADILAN MENURUT KUHAP 1 Oleh: Alviano Maarial 2 INDEPENDENSI HAKIM DALAM MEMUTUS PERKARA PRAPERADILAN MENURUT KUHAP 1 Oleh: Alviano Maarial 2 ABSTRAK Bersumber pada asas praduga tak bersalah, maka jelas dan wajar bila tersangka/terdakwa dalam proses

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kekuasaan manapun (Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002). Sebagai lembaga

I. PENDAHULUAN. kekuasaan manapun (Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002). Sebagai lembaga I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan suatu lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun

Lebih terperinci

BERITA NEGARA. No.711, 2013 MAHKAMAH AGUNG. Penyelesaian. Harta. Kekayaan. Tindak Pidana. Pencucian Uang. Lainnya PERATURAN MAHKAMAH AGUNG

BERITA NEGARA. No.711, 2013 MAHKAMAH AGUNG. Penyelesaian. Harta. Kekayaan. Tindak Pidana. Pencucian Uang. Lainnya PERATURAN MAHKAMAH AGUNG BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.711, 2013 MAHKAMAH AGUNG. Penyelesaian. Harta. Kekayaan. Tindak Pidana. Pencucian Uang. Lainnya PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 01 TAHUN 2013 TENTANG

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 73, 1985 (ADMINISTRASI. KEHAKIMAN. LEMBAGA NEGARA. Mahkamah Agung. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3316) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

STANDAR PELAYANAN KEPANITERAAN PIDANA

STANDAR PELAYANAN KEPANITERAAN PIDANA STANDAR PELAYANAN KEPANITERAAN PIDANA 1. PELAYANAN PERSIDANGAN NO. JENIS PELAYANAN DASAR HUKUM 1. Penerimaan Pelimpahan Berkas. Pasal 137 KUHAP PERSYARATAN - Yang melimpahkan harus Jaksa Penuntut Umum

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materil. Kebenaran materil merupakan kebenaran

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

LATAR BELAKANG MASALAH

LATAR BELAKANG MASALAH LATAR BELAKANG MASALAH Tindak pidana korupsi di Indonesia saat ini tidak semakin berkurang, walaupun usaha untuk mengurangi sudah dilakukan dengan usaha-usaha pemerintah untuk menekan tindak pidana korupsi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

AKIBAT HUKUM PERALIHAN TANGGUNG JAWAB PENYIDIK ATAS BENDA SITAAN 1 Oleh : Noldi Panauhe 2

AKIBAT HUKUM PERALIHAN TANGGUNG JAWAB PENYIDIK ATAS BENDA SITAAN 1 Oleh : Noldi Panauhe 2 AKIBAT HUKUM PERALIHAN TANGGUNG JAWAB PENYIDIK ATAS BENDA SITAAN 1 Oleh : Noldi Panauhe 2 ABSTRAK Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode yuridis normatif, di mana penelitian yang dilakukan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa hak asasi manusia merupakan

Lebih terperinci

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG LARANGAN PENINJAUAN KEMBALI PUTUSAN PRAPERADILAN

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG LARANGAN PENINJAUAN KEMBALI PUTUSAN PRAPERADILAN PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG LARANGAN PENINJAUAN KEMBALI PUTUSAN PRAPERADILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

BAB II PROSES PENYIDIKAN BNN DAN POLRI TERHADAP TERSANGKA NARKOTIKA MENGACU PADA UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA

BAB II PROSES PENYIDIKAN BNN DAN POLRI TERHADAP TERSANGKA NARKOTIKA MENGACU PADA UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA BAB II PROSES PENYIDIKAN BNN DAN POLRI TERHADAP TERSANGKA MENGACU PADA UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG 2.1 Bentuk Kejahatan Narkotika Kejahatan adalah rechtdelicten, yaitu perbuatan-perbuatan

Lebih terperinci

Presiden, DPR, dan BPK.

Presiden, DPR, dan BPK. BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG KPK adalah lembaga negara yang dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. KPK bersifat independen

Lebih terperinci

Lex Privatum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016. PENYITAAN SEBAGAI OBJEK PRAPERADILAN 1 Oleh: Arif Salasa 2

Lex Privatum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016. PENYITAAN SEBAGAI OBJEK PRAPERADILAN 1 Oleh: Arif Salasa 2 PENYITAAN SEBAGAI OBJEK PRAPERADILAN 1 Oleh: Arif Salasa 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana pengaturan tentang praperadilan menurut hukum acara pidana dan bagaimana

Lebih terperinci

Modul E-Learning 3 PENEGAKAN HUKUM

Modul E-Learning 3 PENEGAKAN HUKUM Modul E-Learning 3 PENEGAKAN HUKUM Bagian Kedua, Penyidikan Oleh Kepolisian RI 3.2 Penyidikan Oleh Kepolisian RI 3.2.1 Penyelidikan Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sistem dan mekanisme yang ada mengenai perampasan aset hasil tindak

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Intelijen dalam bahasa Indonesia merupakan terjemahan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Intelijen dalam bahasa Indonesia merupakan terjemahan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi Intelijen Intelijen dalam bahasa Indonesia merupakan terjemahan langsung dari Intelligence dalam bahasa Inggris yang berarti kemampuan berpikir/analisa manusia. Mudahnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik pelaksanaan hukum

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik pelaksanaan hukum 1 A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Agar hukum dapat berjalan dengan baik pelaksanaan hukum diserahkan kepada aparat penegak hukum yang meliputi: kepolisian, kejaksaan, pengadilan, lembaga pemasyarakatan

Lebih terperinci

Hukum Acara Pidana. Pertemuan XXVIII & XXIX Malahayati, S.H., LL.M. (c) 2014 Malahayati 1

Hukum Acara Pidana. Pertemuan XXVIII & XXIX Malahayati, S.H., LL.M. (c) 2014 Malahayati 1 Hukum Acara Pidana Pertemuan XXVIII & XXIX Malahayati, S.H., LL.M. (c) 2014 Malahayati 1 Topik Landasan Hukum Asas Hukum Acara Peradilan Pidana Kewenangan Pengadilan Pemeriksaan Pembuktian Putusan Pengadilan

Lebih terperinci

KAJIAN TERHADAP PENYITAAN SEBAGAI PEMAKSAAN YANG DIHALALKAN OLEH HUKUM

KAJIAN TERHADAP PENYITAAN SEBAGAI PEMAKSAAN YANG DIHALALKAN OLEH HUKUM KAJIAN TERHADAP PENYITAAN SEBAGAI PEMAKSAAN YANG DIHALALKAN OLEH HUKUM Oleh : Sumaidi ABSTRAK Penyitaan merupakan tindakan paksa yang dilegitimasi (dibenarkan) oleh undang-undang atau dihalalkan oleh hukum,

Lebih terperinci

ALUR PERADILAN PIDANA

ALUR PERADILAN PIDANA ALUR PERADILAN PIDANA Rangkaian penyelesaian peradilan pidana terdiri atas beberapa tahapan. Suatu proses penyelesaian peradilan dimulai dari adanya suatu peristiwa hukum, misalnya seorang wanita yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, : a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. II/No. 3/Juli/2013

Lex Crimen Vol. II/No. 3/Juli/2013 HAK TERDAKWA MELAKUKAN UPAYA HUKUM DALAM PROSES PERADILAN PIDANA 1 Oleh : Bilryan Lumempouw 2 Upaya hukum merupakan hak yang penting bagi terdakwa dalam pembuktian bahwa dirinya tidak bersalah, sekaligus

Lebih terperinci

BAB III PENGATURAN TERHADAP HAK-HAK TERSANGKA YANG TIDAK MAMPU DALAM HUKUM POSITIF INDONESIA

BAB III PENGATURAN TERHADAP HAK-HAK TERSANGKA YANG TIDAK MAMPU DALAM HUKUM POSITIF INDONESIA BAB III PENGATURAN TERHADAP HAK-HAK TERSANGKA YANG TIDAK MAMPU DALAM HUKUM POSITIF INDONESIA 3.1 Hak-Hak Tersangka Tidak Mampu Dalam Perundang-Undangan Indonesia Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah

Lebih terperinci

PEREKAMAN PROSES PERSIDANGAN PADA PENGADILAN NEGERI DITINJAU DARI ASPEK HUKUM ACARA PIDANA. Oleh: Hafrida 1. Abstrak

PEREKAMAN PROSES PERSIDANGAN PADA PENGADILAN NEGERI DITINJAU DARI ASPEK HUKUM ACARA PIDANA. Oleh: Hafrida 1. Abstrak PEREKAMAN PROSES PERSIDANGAN PADA PENGADILAN NEGERI DITINJAU DARI ASPEK HUKUM ACARA PIDANA Oleh: Hafrida 1 Abstrak Perekaman persidangan sebagai suatu upaya dalam rangka mewujudkan proses peradilan yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dirasakan tidak enak oleh yang dikenai oleh karena itu orang tidak henti hentinya

I. PENDAHULUAN. dirasakan tidak enak oleh yang dikenai oleh karena itu orang tidak henti hentinya I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum Pidana merupakan bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara yang dibuat oleh penguasa untuk mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara yang membedakan

Lebih terperinci

MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN

MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN POLTABES LOCUSNYA KOTA BESAR KEJAKSAAN NEGERI KOTA PENGADILAN NEGERI PERISTIWA HUKUM PENGADUAN LAPORAN TERTANGKAP TANGAN PENYELIDIKAN, PEYIDIKAN BAP Berdasarkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci