Faktor Risiko Barotrauma Telinga pada Nelayan Penyelam di Dusun Watu Ulo Desa Sumberejo Kecamatan Ambulu Kabupaten Jember

dokumen-dokumen yang mirip
FAKTOR RISIKO BAROTRAUMA TELINGA PADA NELAYAN PENYELAM DI DUSUN WATU ULO DESA SUMBEREJO KECAMATAN AMBULU KABUPATEN JEMBER

ANALISIS GANGGUAN PENDENGARAN PADA PENYELAM DI DANAU TONDANO DESA WATUMEA KECAMATAN ERIS KABUPATEN MINAHASA PROVINSI SULAWESI UTARA 2014

154 AL-SIHAH VOLUM E VII, NO. 2, JULI DESEMBER 2015

BAB I PENDAHULUAN. makin banyak lokasi, semakin banyak bahan dan alat yang digunakan dan

GLOBAL HEALTH SCIENCE, Volume 2 Issue 3, September 2017 ISSN

GLOBAL HEALTH SCIENCE ISSN

ABSTRAK. Simpulan : Ada hubungan pengetahuan APD masker dengan kedisiplinan penggunaannya. Kata Kunci : Pengetahuan APD, Kedisiplinan

Keywords: Alamat korespondensi PENDAHULUAN

Kecelakaan dan Gangguan Kesehatan Penyelam Tradisional dan Faktor-faktor yang mempengaruhi di Kabupaten Seram, Maluku ABSTRACT

*Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Sam Ratulangi Manado

HUBUNGAN PENGGUNAAN EARPHONE DENGAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA SISWA SMA NEGERI 9 MANADO.

Sri Marisya Setiarni, Adi Heru Sutomo, Widodo Hariyono Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta

Ika Setyaningrum *), Suharyo**), Kriswiharsi Kun Saptorini**) **) Staf Pengajar Fakultas Kesehatan Universitas Dian Nuswantoro

Kesehatan telinga siswa Sekolah Dasar Inpres 1073 Pandu

UNIVERSITAS UDAYANA FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN EFEK SAMPING PENGGUNAAN KONTRASEPSI IUD DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS MENGWI II

ANALISIS FAKTOR PERILAKU YANG MEMPENGARUHI TERJADINYA KEPUTIHAN PADA SISWI SMK NEGERI 8 MEDAN. Oleh : RONAULI AGNES MARPAUNG

*Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sam Ratulangi Manado. Kata Kunci: Intensitas Kebisingan, Kelelahan Kerja, Tenaga Kerja Ground Handling

Moch. Fatkhun Nizar Hartati Tuna Ningsih Dewi Sumaningrum Institut Ilmu Kesehatan Bhakti Wiyata Kediri

HUBUNGAN ANEMIA DAN KEK PADA IBU HAMIL AKHIR TRIMESTER III DENGAN BERAT BADAN LAHIR BAYI (Studi di Wilayah Kerja Puskesmas Kalisat Kabupaten Jember)

SURVEI KESEHATAN TELINGA PADA ANAK PASAR BERSEHATI KOMUNITAS DINDING MANADO

HUBUNGAN JARAK KELAHIRAN DAN RIWAYAT RUPTUR PERINEUM DENGAN KEJADIAN RUPTUR PERINEUM PADA IBU BERSALIN DI BPM SY

HUBUNGAN PAPARAN ASAP ROKOK DENGAN KEJADIAN OTITIS MEDIA AKUT PADA ANAK SKRIPSI. Untuk Memenuhi Persyaratan. Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

PERBEDAAN GANGGUAN FUNGSI PARU PADA PEKERJA YANG TERPAPAR PARTIKULAT PM10 DIBAWAH DAN DIATAS NILAI AMBANG BATAS DI PT WIJAYA KARYA BETON BOYOLALI

PENGARUH KEDALAMAN MENYELAM, LAMA MENYELAM, ANEMIA TERHADAP KEJADIAN PENYAKIT DEKOMPRESI PADA PENYELAM TRADISIONAL

HUBUNGAN DUKUNGAN SUAMI DENGAN KEPATUHAN KONSUMSI TABLET FE PADA IBU HAMIL TRIMESTER III DI PUSKESMAS WIROBRAJAN KOTA YOGYAKARTA

HUBUNGAN PERAN BIDAN DAN DUKUNGAN SUAMI DENGAN PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS COLOMADU 1

HUBUNGAN KADAR TIMBAL DALAM DARAH DENGAN KELELAHAN KERJA PADA PEDAGANG BUKU DI PASAR BUSRI SRURAKARTA

HUBUNGAN INTENSITAS KEBISINGAN DENGAN GANGGUAN PENDENGARAN PETUGAS GROUND HANDLING PT. GAPURA ANGKASA BANDARA ADI SOEMARMO BOYOLALI SKRIPSI

HUBUNGAN ANTARA KECEMASAN DENGAN SINDROM PREMENSTRUASI PADA MAHASISWI PROGRAM STUDI KEDOKTERAN ANGKATAN 2014 FAKULTAS KEDOKTERAN UNS SKRIPSI

HUBUNGAN KADAR PLUMBUM (Pb) DALAM DARAH DENGAN JUMLAH ERITROSIT PADA PEDAGANG PASAR BUKU BELAKANG SRIWEDARI SURAKARTA

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN PEKERJA TENTANG APD TERHADAP PENGGUNAANNYA DI CV. UNGGUL FARM NGUTER

PENGARUH KETINGGIAN TERHADAP KONDISI TELINGA TENGAH PADA PERJALANAN WISATA DENPASAR-KINTAMANI

HUBUNGAN TEKANAN PANAS DAN BEBAN KERJA DENGAN KELELAHAN KERJA PADA TENAGA KERJA WEAVING PT. ISKANDAR INDAH PRINTING TEXTILE

Prosiding Pendidikan Dokter ISSN: X

PENGARUH PAPARAN GAS NOx TERHADAP KAPASITAS VITAL PARU PADA PEDAGANG KULINER DI DEPAN PUSAT GROSIR SOLO DAN PASAR BUKU SRIWEDARI SURAKARTA

Efek Asap Bakaran Sate terhadap Kesehatan Pernapasan Penjual Sate yang Diukur dengan Peak Flow Meter di Kota Medan tahun 2012

HUBUNGAN LAMA PAPARAN MONITOR KOMPUTER DENGAN KELUHAN COMPUTER VISION SYNDROME DI BPJS, SURAKARTA

FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHI RENDAHNYA PENGGUNAAN ALAT KONTRASEPSI DALAM RAHIM (AKDR) DI PUSKESMAS PEKAUMAN BANJARMASIN

Surahma Asti Mulasari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta

FAKTOR RISIKO GANGGUAN AKIBAT PENYELAMAN PADA PENYELAM TRADISIONAL DI KARIMUNJAWA JEPARA

*Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sam Ratulangi

HUBUNGAN TEKANAN PANAS DAN BEBAN KERJA FISIK DENGAN KELELAHAN KERJA PADA TENAGA KERJA WANITA BAGIAN SEWING DI CV.

HUBUNGAN DUKUNGAN SUAMI DENGAN FREKUENSI KUNJUNGAN ULANG NIFAS DI WILAYAH PUSKESMAS PURWOYOSO KOTA SEMARANG

ABSTRAK PENGARUH KURANG TIDUR TERHADAP PENINGKATAN RISIKO OBESITAS

HUBUNGAN GERAKAN FLEKSI PADA PERGELANGAN TANGAN DENGAN KELUHAN CARPAL TUNNEL SYNDROME PADA PEKERJA PENGEPAKAN PT. LOGAN FOOD KARANGANYAR

HUBUNGAN RIWAYAT ATOPIK ORANG TUA DAN KEJADIAN ASMA PADA ANAK USIA TAHUN DI SEMARANG LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH

HUBUNGAN ANTARA LAMA PAPARAN ASAP ROKOK DENGAN FREKUENSI KEJADIAN ISPA PADA BALITA DI PUSKESMAS GAMBIRSARI SURAKARTA KARYA TULIS ILMIAH

PENGARUH ANDROPAUSE TERHADAP KEJADIAN DEPRESI PADA PRIA DI KECAMATAN JEBRES, SURAKARTA SKRIPSI. Untuk Memenuhi Persyaratan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pesawat pada awal abad ke-20. Pada pertengahan abad ke-20, tepat pada awal tahun

HUBUNGAN INTENSITAS PENCAHAYAAN DAN LAMA PAPARAN LAYAR MONITOR KOMPUTER DENGAN KELELAHAN MATA PADA KARYAWAN BAA BAU DAN IT UMS

HUBUNGAN KEBISINGAN DAN TEKANAN PANAS DENGAN TEKANAN DARAH PEKERJA WEAVING PT. ISKANDAR INDAH PRINTING SURAKARTA SKRIPSI

PENGARUH PAPARAN GAS NOx TERHADAP KAPASITAS VITAL PARU PADA PEDAGANG KULINER DI DEPAN PUSAT GROSIR SOLO DAN PASAR BUKU SRIWEDARI SURAKARTA

HUBUNGAN FAKTOR PENENTU PERILAKU KESELAMATAN KERJA DENGAN TERJADINYA KECELAKAAN KERJA TERTUSUK JARUM SUNTIK PADA PERAWAT DI RSD dr.

Oleh : Yophi Nugraha, Inmy Rodiyatam ABSTRAK

HUBUNGAN PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF DAN KEJADIAN INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA BAYI DAN ANAK USIA 7 BULAN 5 TAHUN

Hubungan Pendidikan di Playgroup dengan Perkembangan Emosional Anak di TK Hidayah Desa Kembangbilo Tuban

PHBS yang Buruk Meningkatkan Kejadian Diare. Bad Hygienic and Healthy Behavior Increasing Occurrence of Diarrhea

PENGARUH INTENSITAS KEBISINGAN TERHADAP PENURUNAN DAYA DENGAR PADA PEKERJA PENGGILINGAN PADI DI DESA BANGUN ASRI KARANG MALANG SRAGEN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENGARUH KEBISINGAN TERHADAP STRES KERJA PADA PEKERJA BAGIAN WEAVING DI PT ISKANDAR INDAH PRINTING TEXTILE SURAKARTA

SURVEI KESEHATAN TELINGA MASYARAKAT PESISIR PANTAI BAHU

HUBUNGAN PENGETAHUAN JAJANAN SEHAT DENGAN STATUS GIZI ANAK DI SD N 80 NGORESAN SURAKARTA KARYA TULIS ILMIAH

*Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sam Ratulangi

HUBUNGAN ANTARA SARAPAN PAGI DENGAN SINDROM DISPEPSIA PADA REMAJA DI SMP N 16 SURAKARTA KARYA TULIS ILMIAH

Relation between Indoor Air Pollution with Acute Respiratory Infections in Children Aged Under 5 in Puskesmas Wirobrajan

HUBUNGAN PELAYANAN POSYANDU X DENGAN TINGKAT KEPUASAN LANSIA

HUBUNGAN ANTARA ANEMIA PADA IBU BERSALIN DAN LAMA PERSALINAN KALA I DI RSUD KARANGANYAR KARYA TULIS ILMIAH

HUBUNGAN ANTARA LAMA PAPARAN DEBU KAYU DENGAN KAPASITAS VITAL PARU PADA PEKERJA KAYU DI KECAMATAN KELAPA LIMA TAHUN 2015

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PENDIDIKAN ORANGTUA DENGAN PENGETAHUAN TENTANG PELECEHAN SEKSUAL PADA ANAK REMAJA DI SURAKARTA SKRIPSI

PERBEDAAN TINGKAT KECEMASAN DAN DEPRESI PADA MAHASISWA SISTEM PERKULIAHAN TRADISIONAL DENGAN SISTEM PERKULIAHAN TERINTEGRASI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

HUBUNGAN ANTARA PENERAPAN 5 INDIKATOR KADARZI DAN STATUS GIZI BALITA UMUR 6-59 BULAN DI DESA TANJUNG KECAMATAN KLEGO KABUPATEN BOYOLALI

HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN TERMINOLOGI MEDIS PETUGAS REKAM MEDIS DENGAN KETEPATAN KODE DIAGNOSIS DI RS PKU MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

PENGARUH KURANG TIDUR TERHADAP PENINGKATAN RISIKO OBESITAS

HUBUNGAN KOMPENSASI DAN DISIPLIN KERJA DENGAN PRODUKTIVITAS KERJA TENAGA KEPERAWATAN DI RSJ. PROF. DR. V. L. RATUMBUYSANG MANADO

ABSTRAK FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI GANGGUAN MENSTRUASI PADA SISWI KELAS 2 SMA X KOTA BANDUNG TAHUN 2015

Prosiding Pendidikan Dokter ISSN: X

BAB I PENDAHULUAN. dengan jumlah pulau sebanyak buah yang dikelilingi oleh garis pantai

*Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sam Ratulangi Manado

HUBUNGAN PENGETAHUAN, SIKAP, KETERSEDIAAN APD DENGAN KEPATUHAN PEMAKAIAN APD PEKERJA BAGIAN WEAVING PT ISKANDARTEX INDAH PRINTING TEXTILE SKRIPSI

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PENGETAHUAN IBU DENGAN PENGELOLAAN AWAL INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT PADA ANAK

HUBUNGAN ANTARA KADAR HBA1C DENGAN KADAR TRIGLISERIDA PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 LAPORAN AKHIR HASIL PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH

HUBUNGAN PENGETAHUAN DENGAN SIKAP REMAJA PUTRI TENTANG DISMENORE DI AKADEMI KEBIDANAN SARI MULIA BANJARMASIN ABSTRAK

ANALISIS DEMAND MASYARAKAT TERHADAP PELAYANAN RAWAT INAP DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS MEDAN DELI, PUSKESMAS BROMO DAN PUSKESMAS KEDAI DURIAN TAHUN 2013

SKRIPSI HUBUNGAN USIA DAN JENIS KELAMIN DENGAN TEKANAN DARAH TINGGI DI POSYANDU LANSIA DESA TRIYAGAN MOJOLABAN SUKOHARJO

HUBUNGAN BEBAN KERJA FISIK DENGAN KELUHAN MUSKULOSKELETAL PADA TENAGA KERJA ANGKAT-ANGKUT PT. BAHAMA LASAKKA CEPER KLATEN

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI KUALITAS ASUHAN IBU NIFAS DAN KEPUASAN PASIEN DI RSUD SURAKARTA

*Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sam Ratulangi Manado. Kata kunci: Status Tempat Tinggal, Tempat Perindukkan Nyamuk, DBD

HUBUNGAN PENGGUNAAN LAPTOP DAN FUNGSI PENGLIHATAN MAHASISWA ANGKATAN 2011 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SAM RATULANGI MANADO

HUBUNGAN PERAN ORANG TUA DALAM PENCEGAHAN PNEUMONIA DENGAN KEKAMBUHAN PNEUMONIA PADA BALITA DI PUSKESMAS SEI JINGAH BANJARMASIN

ABSTRACT ABSTRAK RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA DENGAN KEJADIAN DIABETES MELLITUS

HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN PERAWAT TENTANG REKAM MEDIS DENGAN KELENGKAPAN PENGISIAN CATATAN KEPERAWATAN JURNAL PENELITIAN MEDIA MEDIKA MUDA

*Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sam Ratulangi **Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi

HUBUNGAN AKTIVITAS PENYELAM DENGAN KAPASITAS VITAL PARU PADA PEKERJA NELATAN DI DESA TOROBULU KECAMATAN LAEYA KABUPATEN KONAWE SELATAN TAHUN 2016

PENGARUH INTENSITAS KEBISINGAN DAN STATUS GIZI TERHADAP KELELAHAN KERJA PADA TENAGA KERJA DI PT. PUTRA NUGRAHA TRYAGAN

HUBUNGAN PERILAKU PENCARIAN LAYANAN KESEHATAN DENGAN KETERLAMBATAN PASIEN DALAM DIAGNOSIS TB PARU DI BBKPM SURAKARTA SKRIPSI

ABSTRAK. Utin Dewi Sri Aryani; 2016 Pembimbing I : Lisawati Sadeli, dr., M.Kes Pembimbing II : Sri Utami Sugeng, Dra., M.Kes.

PENGARUH MEDIA SOSIAL (YOUTUBE) TERHADAP PERILAKU SEKS BEBAS REMAJA DI YAYASAN PENDIDIKAN X

HUBUNGAN ANTARA KEBISINGAN DENGAN FUNGSI PENDENGARAN PADA PEKERJA PENGGILINGAN PADI DI COLOMADU KARANGANYAR

Transkripsi:

Faktor Risiko Barotrauma Telinga pada Nelayan Penyelam di Dusun Watu Ulo Desa Sumberejo Kecamatan Ambulu Kabupaten Jember Risk Factors of Ear Barotrauma among Fisherman Divers in Watu Ulo Hamlet Sumberejo Villages Ambulu Subdistrict Jember Regency Siti Fatimatun Navisah 1, Isa Ma'rufi 2, Anita Dewi Prahastuti Sujoso 3 1 2 3Kesehatan Lingkungan dan Kesehatan Keselamatan Kerja Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Jember e-mail: fatimahalnav@gmail.com Abstract Background: Ear barotrauma is a form of tissue damage in the ear tympanic membrane rupture due to the failure of Eustachian tube to equalize the pressure between the middle ear and the environment when there is extreme pressure changes. Traditional fisherman divers used a limited equipment, lack of attention to aspects of the occupational health and safety, and most of them had ear barotrauma. Objective: This study aimed to identify risk factors associated with ear barotrauma in fisherman divers. Method: This type of research was an analytic observational with cross sectional design. Data analysis used Cramer coëficient C test. Result: The results showed that as many as 20 people (58.7%) of 34 fisherman that were examined had the ear barotrauma. Cramer coëficient C test results showed that the some factors associated with ear barotrauma were diving depth (Cramers'V value = 0.006, the Approx. value Sig <0.05) and the long duration of dives (Cramers'V value = 0.008, the Approx. value Sig <0.05). The conclusion of the study: the risk factors associated with ear barotrauma in fisherman divers at Watu Ulo were the depth and duration of dives. Keywords: Ear barotrauma, Perforation, Tympanic membrane, Fisherman divers. Abstrak Pendahuluan: Barotrauma telinga adalah kerusakan jaringan pada telinga berupa rupturnya membran timpani akibat kegagalan tuba eustachius untuk menyamakan tekanan antara telinga tengah dengan lingkungan saat terjadi perubahan tekanan yang ekstrim. Nelayan penyelam tradisional menggunakan peralatan yang terbatas, kurang memperhatikan aspek K3, dan sebagian besar pernah mengalami keluhan barotrauma telinga. Tujuan Penelitian: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor risiko yang berhubungan dengan barotrauma telinga pada nelayan penyelam. Metode Penelitian: Jenis penelitian ini adalah analitik observasional dengan desain cross sectional. Analisis data menggunakan uji Cramer Coeficient C. Hasil Penelitian: Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 20 orang (58,7%) dari 34 orang nelayan penyelam yang diperiksa mengalami barotrauma telinga. Hasil uji Cramer Coeficient C menunjukkan bahwa faktor yang berhubungan dengan barotrauma telinga adalah kedalaman menyelam (nilai Cramers V = 0,006, nilai Approx. Sig< 0,05) dan lama menyelam (nilai Cramers V = 0,008, nilai Approx. Sig< 0,05). Kesimpulan penelitian: faktor risiko yang berhubungan dengan barotrauma telinga pada nelayan penyelam Watu Ulo adalah kedalaman dan lama menyelam. Kata kunci: Barotrauma telinga, Perforasi, Membran timpani, Nelayan penyelam. 1. Siti Fatimatun Navisah Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Jember, 2. Isa Ma'rufi Staf Pengajar Bagian Kesehatan Lingkungan dan Kesehatan Keselamatan Kerja Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Jember, 3. Anita Dewi Prahastuti Sujoso Staf Pengajar Bagian Kesehatan Lingkungan dan Kesehatan Keselamatan Kerja Fakultas Kesehatan MasyarakatUniversitas Jember 98

99 Jurnal IKESMA Volume 12 Nomor 1 Maret 2016 Pendahuluan Barotauma adalah kerusakan jaringan yang dihasilkan dari efek langsung tekanan. Ketidakseimbangan tekanan terjadi apabila seseorang tidak mampu menyamakan tekanan udara di dalam ruang telinga tengah pada waktu tekanan air bertambah ataupun berkurang. Perubahan yang ekstrim atau ketidakseimbangan antara tekanan lingkungan dan tekanan dalam yang berhubungan dengan rongga tubuh dapat menyebabkan kerusakan fisik lapisan jaringan pada rongga. Rongga tubuh yang paling berisiko mengalami barotrauma adalah telinga tengah, sinus paranasal, dan paru-paru [1]. Penelitian Kartono pada tahun 2007 menemukan bahwa sebanyak 53,4% dari 148 nelayan penyelam di pulau Karimunjawa mengalami barotrauma yang berdampak pada gangguan pendengaran, gangguan saluran hidung, dan gangguan paru. Penelitian tersebut juga menyebutkan bahwa dibandingkan dengan gangguan organ lain, barotrauma lebih banyak menimbulkan gangguan pendengaran [2]. Berdasarkan penelitian Mawle & Jackson yang dilakukan pada penyelam di London diketahui bahwa 64% dari 142 penyelam melaporkan gejala barotrauma telinga, dengan gejala berupa nyeri (47.9%), tuli sementara dengan tinnitus (27,5%), dan vertigo (9,9%) [3]. Barotrauma terhadap telinga merupakan cedera yang paling sering mengenai penyelam. Barotrauma pada telinga tengah terjadi akibat kegagalan tuba Eustachius untuk menyamakan tekanan antara telinga tengah dan lingkungan saat terjadi perubahan tekanan. Barotrauma akan mudah terjadi apabila perubahan tekanan semakin cepat dan perbedaan tekanan semakin besar [4]. Gejala yang sering timbul pada barotrauma telinga meliputi telinga terasa penuh, sakit, berdengung, pusing, dan penurunan pendengaran [5]. Faktor yang mempengaruhi barotrauma terdiri dari faktor individu, lingkungan, dan karakteristik pekerjaan. Berdasarkan penelitian Kartono pada penyelam di Kabupaten Jepara, menunjukkan bahwa faktor risiko yang paling dominan untuk kejadian barotrauma adalah faktor kedalaman penyelaman (OR=0.55) [2]. Penelitian Ekawati tahun 2005, menunjukkan bahwa frekuensi menyelam perhari > 14 kali perhari lebih berisiko 57,79 kali dibandingkan frekuensi < 14 kali [6]. Selain itu, faktor alat selam yang digunakan, masa kerja, lama penyelaman, kedalaman penyelaman dan frekuensi menyelam ada kecenderungan mempengaruhi

Siti Fatimatun Navisah: Faktor Risiko... 100 barotrauma pada nelayan tradisional [7]. Pekerjaan yang berisiko barotrauma adalah penyelam, pemelihara atau pengambil mutiara, pemelihara kapal laut, tim penyelamat, dan pekerja konstruksi bawah laut [8]. Nelayan penyelam tradisional yang sering disebut dengan nelayan kompresor yaitu penyelam yang menggunakan peralatan sangat terbatas. Potensi bahaya dapat dilihat juga dari perilaku nelayan yang bekerja tanpa memperhatikan aspek keselamatan (safety diving), antara lain: motivasi yang kurang, sikap kerja dengan tidak melakukan teknik ekualisasi, dan pengetahuan individu nelayan yang terbatas karena tidak mendapatkan pelatihan [9]. Nelayan di Kabupaten Jember terletak di 5 kecamatan, yaitu: Puger, Ambulu, Kencong, Gumukmas, dan Tempurejo. Menurut Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Jember 80% nelayan penyelam terdapat di Kecamatan Ambulu, tepatnya di wilayah Dusun Watu Ulo. Watu Ulo merupakan sebuah dusun yang terletak di pantai selatan Kabupaten Jember Jawa Timur. Produksi ikan laut di Dusun Watu Ulo merupakan salah satu produksi ikan terbesar di Kabupaten Jember yang terkenal dengan hasil tangkapannya yaitu ikan kerapu dan udang lobster, dimana hal ini sangat berisiko karena untuk mendapatkannya nelayan harus melakukan penyelaman [10]. Berdasarkan studi pendahuluan diketahui bahwa nelayan penyelam di Watu Ulo memiliki risiko kesehatan barotrauma telinga. Hasil studi pendahuluan yang dilakukan di Dusun Watu Ulo dengan wawancara pada 86 nelayan penyelam menunjukkan bahwa sebagian besar nelayan penyelam pernah mengalami keluhan barotrauma telinga, berupa pusing, telinga berdengung, telinga terasa penuh, telinga terasa nyeri, hingga penurunan pendengaran. Selain itu, berdasarkan hasil penelitian Abshor tahun 2008 pada nelayan penyelam di Kecamatan Puger Kabupaten Jember diketahui bahwa sebanyak 11 penyelam (68,9%) mengalami barotrauma telinga [11]. Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik melakukan penelitian mengenai faktor risiko barotrauma telinga pada nelayan penyelam di Dusun Watu Ulo, Desa Sumberejo, Kecamatan Ambulu, Kabupaten Jember. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor risiko yang berhubungan dengan barotrauma telinga pada nelayan penyelam. Metode Penelitian Jenis penelitian ini adalah analitik observasional dengan desain cross

101 Jurnal IKESMA Volume 12 Nomor 1 Maret 2016 sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah nelayan penyelam tradisional (kompresor) di Dusun Watu Ulo yang berjumlah 93 orang. Jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebanyak 34 orang, dengan teknik pengambilan sampel yaitu simple random sampling. Teknik pengumpulan data pada penelitian ini dengan cara: pemeriksaan otoskopi untuk mengetahui kejadian barotrauma telinga; wawancara menggunakan kuesioner untuk mengetahui variabel keluhan, umur, masa kerja, lama menyelam, frekuensi menyelam, dan waktu istirahat; pengukuran menggunakan meteran kedalaman untuk mengetahui variabel kedalaman menyelam. Selanjutnya data disajikan dengan cara tabulasi silang dan dianalisis menggunakan uji Cramer Coeficient C untuk mengetahui ada atau tidak kemaknaan hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat. Hasil Penelitian A. Kejadian Barotrauma Telinga Barotrauma telinga adalah kerusakan jaringan pada telinga berupa rupturnya membran timpani akibat perubahan tekanan yang ekstrim. Pada pemeriksaan otoskopi, telinga yang normal akan memperlihatkan gendang telinga yang intak atau utuh, namun telinga yang mengalami barotrauma akan memperlihatkan adanya perforasi (lubang pada gendang telinga). Kejadian barotrauma telinga pada nelayan penyelam di Watu Ulo Desa Sumberejo Kecamatan Ambulu Kabupaten Jember dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 1.1 Distribusi Kejadian Barotrauma Telinga Kejadian Barotrauma N % Intak (utuh) Perforasi Total 14 20 34 41,3 58,7 100 Berdasarkan hasil pemeriksaan otoskopi yang dilakukan terhadap 34 orang nelayan penyelam didapatkan hasil bahwa sebanyak 20 orang (58,7%) mengalami barotrauma telinga, berupa perforasi pada gendang telinga atau membrane timpani.

Siti Fatimatun Navisah: Faktor Risiko... 102 Tabel 1.2 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Keluhan Barotrauma Telinga Kejadian Barotrauma Keluhan Intak Perforasi Total n % n % Pusing 6 23,1 20 76,9 26 Telinga Berdengung 12 40 18 60 30 Telinga Terasa Penuh 7 41,2 10 58,8 17 Telinga Terasa Sakit/Nyeri 10 45,5 12 54,5 22 Pendarahan pada Telinga 2 40 3 60 5 Pendarahan pada Hidung 4 36,4 7 63,6 11 Tabel 1.2 menunjukkan bahwa keluhan yang paling banyak dirasakan oleh responden yang mengalami barotrauma telinga adalah keluhan berupa pusing sebanyak 20 orang, telinga berdengung yakni sebanyak 18 orang, dan telinga terasa nyeri sebanyak 12 orang. B. Faktor Individu Tabel 1.3 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Umur dan Masa Kerja Responden Kejadian Barotrauma Faktor Intak Perforasi Total Individu n % n % Umur < 35 th 6 46,15 7 53,85 13 35 th 8 38,10 13 61,9 21 Total 14 41,3 20 58,7 34 Masa Kerja 0-10 th 5 27,8 13 72,2 18 11-20 th 6 60 4 40 10 21-30 th 3 50 3 50 6 Total 14 41,3 20 58,7 34 Tabel 1.3 tersebut dapat menjelaskan bahwa barotrauma atau perforasi membran timpani banyak terjadi pada kelompok umur 35 tahun yaitu sebanyak 61,9%. Sedangkan berdasarkan masa kerja barotrauma

103 Jurnal IKESMA Volume 12 Nomor 1 Maret 2016 banyak terdapat pada kelompok masa kerja 0-10 tahun yaitu sebanyak 72,2%. C. Faktor Lingkungan Tabel 1.4 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Kedalaman Menyelam Responden Kejadian Barotrauma Kedalaman Intak Perforasi Total Menyelam n % n % 10 m 8 72,73 3 27,27 11 11-20 m 6 40 9 60 15 21-30 m 0 0 8 100 8 Total 14 41,3 20 58,7 34 Berdasarkan tabel 1.4 dapat diketahui bahwa barotrauma atau perforasi membran timpani banyak terjadi pada responden dengan kedalaman menyelam 21-30 meter yaitu sebanyak 100%. D. Faktor Pekerjaan Tabel 1.5 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Karakteristik Pekerjaan Responden Kejadian Barotrauma Faktor Pekerjaan Intak Perforasi Total n % n % Lama Menyelam 0-2 jam 7 41,18 10 58,82 17 >2-4 jam 1 10 9 90 10 >4-6 jam 6 85,71 1 14,29 7 Total 14 41,3 20 58,7 34 Frekuensi Menyelam 5 kali/hari 9 45 11 55 20 6-10 kali/hari 3 30 7 70 10 11-15 kali/hari 1 50 1 50 2 16-20 kali/hari 1 50 1 50 2 Total 14 41,3 20 58,7 34 Waktu Istirahat

Siti Fatimatun Navisah: Faktor Risiko... 104 <10 menit 6 33,3 12 66,7 18 10 menit 8 50 8 50 16 Total 14 41,3 20 58,7 34 Berdasarkan tabel 1.5 dapat diketahui bahwa barotrauma telinga atau perforasi membran timpani lebih banyak terjadi pada nelayan penyelam dengan lama menyelam >2-4 jam yaitu sebanyak 90%, frekuensi menyelam 6-10 kali/hari yaitu sebanyak 70%, dan waktu istirahat < 10 menit yaitu sebanyak 66,7%. E. Hubungan Faktor Individu, Lingkungan, dan Pekerjaan terhadap Barotrauma Telinga Tabel 1.6 Hasil Uji Statistik Cramer Coeficient C Faktor-faktor Cramers V Kesimpulan Umur Masa Kerja Kedalaman Menyelam Lama Menyelam Frekuensi Menyelam Waktu Istirahat 0,643 0,224 0,006 0,008 0,858 0,324 Tidak ada hubungan Tidak ada hubungan Ada hubungan Ada hubungan Tidak ada hubungan Tidak ada hubungan Berdasarkan hasil analisis data dapat disimpulkan bahwa dari 6 variabel memiliki hubungan signifikan dengan kejadian barotrauma telinga, diantaranya kedalaman dan lama menyelam. Pembahasan A. Kejadian Barotrauma Telinga Berdasarkan hasil pemeriksaan otoskopi yang dilakukan terhadap 34 orang nelayan penyelam didapatkan hasil bahwa sebanyak 20 orang (58,7%) mengalami barotrauma telinga, sedangkan sebanyak 14 orang tidak mengalami barotrauma telinga dengan yang dianalisis dengan uji Cramer Coefficient C terdapat 2 variabel yang kedua membran timpani intak atau utuh. Kejadian barotrauma telinga pada penelitian ini dapat dikatakan tinggi dengan persentase perforasi membran timpani sebanyak 58,7%. Menurut Jansen et al., prevalensi barotrauma telinga tengah dikatakan tinggi karena berdasarkan pemeriksaan otoskopi ditemukan perforasi membran timpani pada penyelam di Laut Merah sebesar 36,5% [12]. Penelitian Kartono juga menemukan bahwa terdapat prevalensi

105 Jurnal IKESMA Volume 12 Nomor 1 Maret 2016 barotrauma yang tinggi pada nelayan penyelam di Kecamatan Karimunjawa Kabupaten Jepara yaitu sebesar 53,4% [2]. Barotrauma yang terjadi pada nelayan penyelam di Watu Ulo bersifat akut karena terjadi secara mendadak, dalam waktu singkat, dan menunjukkan gangguan atau kelainan. Mekanisme terjadinya barotrauma telinga bermula dari tekanan air di sekitar penyelam yang meningkat saat turun ke kedalaman. Tekanan ini ditransmisikan ke cairan tubuh dan jaringan sekitar ruang telinga tengah yang menyebabkan kompresi ruang gas di telinga tengah. Bila gas terdapat dalam struktur yang lunak (membran timpani), maka struktur tersebut dapat rusak karena ekspansi atau kompresi. Penyelam menyadari adanya penurunan volume gas telinga tengah dan melakukan ekualisasi. Jika penyelam gagal untuk melakukan ekualisasi, tekanan air akan memaksa gendang telinga ke dalam, timbul peregangan, dan meningkatnya sensasi tekanan menjadi salah satu rasa sakit pada telinga [4]. Keluhan yang paling banyak dirasakan oleh responden yang mengalami barotrauma telinga adalah keluhan berupa pusing sebanyak 20 orang, telinga berdengung yakni sebanyak 18 orang, dan telinga terasa nyeri sebanyak 12 orang. Barotrauma telinga memiliki gejala seperti nyeri, telinga terasa penuh, berkurangnya pendengaran, vertigo, telinga berdengung, pendarahan pada hidung dan telinga, dan membran timpani akan mengalami perforasi [1]. Penelitian Koriwchak & Werkhaven menyebutkan bahwa keluhan telinga yang paling banyak dialami oleh penyelam dengan barotrauma adalah rasa penekanan dan buntu di telinga sebanyak 62,8% [13]. B. Faktor Individu 1. Umur Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa barotrauma telinga lebih banyak terjadi pada responden dengan umur lebih 35 tahun. Pada dasarnya tidak ada batasan umur yang tegas dalam kesehatan penyelaman asalkan memenuhi persyaratan kesehatan fisik dan kemampuan penyelaman. Umur ideal untuk pekerja dengan kegiatan penyelaman yang dilakukan secara rutin dan terus menerus setidaknya harus berusia 35 tahun serta memiliki kesehatan fisik dan mental yang prima [6]. Namun menurut Avongsa, usia lebih dari 35 tahun mulai menurun fungsi organ-organ tubuh yang vital sehingga kemampuan seseorang untuk dapat melakukan teknik penyelaman dan teknik ekualisasi mulai berkurang [14]. Hasil analisis bivariat memperlihatkan bahwa faktor risiko

Siti Fatimatun Navisah: Faktor Risiko... 106 umur tidak ada hubungan yang signifikan dengan kejadian barotrauma telinga pada nelayan penyelam. Uji statistik dengan α = 0,05 diperoleh nilai Cramer s V = 0,643 (nilai Approx. Sig > 0,05). Penelitian Prasetyo et al. juga menunjukkan bahwa kejadian barotrauma telinga banyak terjadi pada kelompok umur penyelam 31-40 tahun sebesar 15 orang (62,5%) [15]. Hasil penelitian Ruslam et al. juga memperlihatkan bahwa faktor risiko umur tidak ada hubungan yang bermakna terhadap gangguan pendengaran pada nelayan penyelam, p value = 0,157 (p > 0,05) [18]. Beberapa penelitian tersebut menunjukkan bahwa umur tidak memiliki hubungan yang signifikan terhadap kejadian barotrauma. 2. Masa Kerja Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa barotrauma telinga banyak terjadi pada responden dengan masa kerja 0-10 tahun yaitu sebanyak 72,2 % dari 18 nelayan penyelam. Masa kerja dapat mempengaruhi kinerja baik positif maupun negatif. Pengaruh positif akan dirasakan oleh seseorang apabila dengan semakin lamanya masa kerja maka semakin bertambah pengalaman seseorang dalam melaksanakan pekerjaannya. Sebaliknya, masa kerja akan memberikan pengaruh negatif apabila dengan semakin lamanya masa kerja maka akan timbul kebiasaan buruk pada tenaga kerja [16]. Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa faktor risiko masa kerja tidak ada hubungan yang signifikan dengan kejadian barotrauma telinga pada nelayan penyelam. Uji statistik dengan α = 0,05 diperoleh nilai Cramer s V = 0,224 (nilai Approx. Sig > 0,05). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Ekawati yang memperlihatkan bahwa tidak ada hubungan masa kerja dengan barotrauma telinga pada nelayan penyelam tradisional, nilai p = 1,00 (p value > 0,05) [6]. Beberapa penelitian belum ada yang dapat membuktikan adanya hubungan antara masa kerja dengan kejadian barotrauma telinga. C. Faktor Lingkungan Kedalaman Menyelam Pada penelitian ini didapatkan hasil bahwa barotrauma telinga banyak terjadi pada nelayan penyelam dengan kedalaman 21-30 meter yaitu sebanyak 100% dari 8 orang nelayan penyelam. Penelitian Prasetyo et al. tahun 2012 memperlihatkan bahwa kedalaman penyelaman terbanyak pada kedalaman >10 30 meter sejumlah 19 orang (79,2%) [15]. Ekawati juga menemukan bahwa 90% barotrauma telinga terjadi pada nelayan penyelam dengan kedalaman menyelam >10 meter [6]. Menurut USN Navy Diving, kedalaman menyelam maksimum yang

107 Jurnal IKESMA Volume 12 Nomor 1 Maret 2016 diperbolehkan untuk jenis penyelaman SCUBA adalah 47 meter dengan waktu menyelam tidak lebih dari 10 menit. Peselam pemula dibatasi untuk tidak melebihi kedalaman 18 meter / 60 feet. Kedalaman menyelam berbeda tergantung dengan tujuan penyelaman [17]. Pada penelitian ini, nelayan penyelam dengan kedalaman 21-30 meter lebih banyak mengalami barotrauma telinga atau perforasi membran timpani dibandingkan dengan nelayan penyelam dengan kedalaman < 10 meter. Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa faktor risiko kedalaman menyelam memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian barotrauma telinga pada nelayan penyelam. Uji statistik dengan α = 0,05 diperoleh nilai Cramer s V = 0,006 (nilai Approx. Sig < 0,05). Hasil penelitian ini diperkuat oleh penelitian Kartono tahun 2007 pada penyelam di Kabupaten Jepara yang menunjukkan bahwa faktor risiko yang paling dominan untuk kejadian gangguan pendengaran adalah faktor kedalaman penyelaman yaitu dengan OR = 0,55. Setiap penurunan kedalaman penyelaman 10 meter, risiko penyelam mengalami gangguan pendengaran sebesar 0,55 kali [2]. Semakin bertambah kedalaman menyelam maka tekanan udara yang diterima semakin besar. Peningkatan tekanan lingkungan menyebabkan rongga udara dalam telinga tengah dan dalam tuba eustachius menjadi tertekan. Hal ini cenderung menyebabkan penciutan tuba eustachius sehingga gagal untuk membuka. Jika tuba eustachius tersumbat, maka tekanan udara di dalam telinga tengah berbeda dengan tekanan udara di luar gendang telinga, hal ini menyebabkan barotrauma [1]. D. Faktor Pekerjaan 1. Lama Menyelam Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa barotrauma telinga banyak terjadi pada nelayan penyelam dengan lama menyelam >2-4 jam yaitu sebanyak 90% dari 10 orang nelayan penyelam. Prasetyo et al. menemukan bahwa barotrauma telinga banyak terjadi pada lama menyelam >2 4 jam yaitu sejumlah 16 orang (66,7%) [16]. Semakin lama berada di bawah permukaan air maka semakin lama terpapar tekanan yang berulang. Kemampuan untuk teknik ekualisasi sangat dibutuhkan dalam hal ini. Apabila telinga gagal melakukan ekualisasi terdap tekanan tersebut maka akan berisiko mengalami barotrauma [18]. Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa faktor lama menyelam memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian barotrauma telinga pada nelayan penyelam. Uji statistik dengan α = 0,05 diperoleh nilai

Siti Fatimatun Navisah: Faktor Risiko... 108 Cramer s V = 0,008 (nilai Approx. Sig < 0,05). Penelitian ini dapat membuktikan bahwa lama menyelam memiliki hubungan yang signifikan terhadap kejadian barotrauma telinga. Lama menyelam setiap individu berbeda bergantung pada kemampuan penyelamannya di dalam air. Semakin lama seseorang menyelam artinya semakin sering untuk menyamakan tekanan, maka semakin besar pula kemungkinan gagal dalam menyamakan tekanan tersebut. Sehingga setiap kegiatan penyelaman harus terdapat rencana penyelaman terutama terkait dengan durasi atau lama penyelaman [17]. Semakin lama seseorang menyelam di bawah permukaan air, maka semakin besar risiko mengalami gangguan pendengaran. Apabila seseorang berada di daratan dalam kondisi normal, maka tekanan udara telinga bagian dalam akan sama dengan tekanan udara di luar telinga. Namun pada saat menyelam seseorang akan mengalami perubahan tekanan pada telinga tengah. Sehingga perlu dilakukan ekualisasi atau penyamaan tekanan, hal ini dibantu oleh keberadaan saluran yang menghubungkan telinga bagian tengah dengan bagian belakang hidung, di atas tenggorokan yang disebut tuba eustachius. Kegagalan ekualiasi menyebabkan tuba eustachius gagal untuk membuka. Sehingga menyebabkan terjadinya barotrauma pada telinga [18]. 2. Frekuensi Menyelam Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa barotrauma telinga banyak terjadi pada nelayan penyelam dengan frekuensi menyelam 6-10 kali/hari yaitu sebanyak 70% dari 10 orang nelayan penyelam. Penelitian Ekawati menemukan bahwa frekuensi menyelam >14 kali/hari berpeluang terhadap kejadian barotrauma membran timpani 1,879 kali lebih besar dibandingkan dengan frekuensi menyelam 14 kali. Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Ekawati dikarenakan pada penelitian tersebut lebih banyak nelayan penyelam dengan jenis penyelaman tahan napas dibandingkan nelayan penyelam kompresor. Sedangkan pada penelitian ini keseluruhan nelayan penyelam menggunakan kompresor. Frekuensi menyelam pada penyelam tahan napas tentu akan lebih banyak karena penyelam tersebut tidak mampu bertahan lama di kedalaman, sehingga harus naik turun ke permukaan untuk mendapatkan suplai udara dan kemudian kembali menyelam ke kedalaman [6]. Hasil uji statistik dengan α = 0,05 diperoleh nilai Cramer s V = 0,858 (nilai Approx. Sig > 0,05), maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan

109 Jurnal IKESMA Volume 12 Nomor 1 Maret 2016 yang signifikan antara frekuensi menyelam dengan kejadian barotrauma telinga pada nelayan penyelam. Hasil penelitian ini sejalan atau sesuai dengan penelitian Ruslam et al. juga memperlihatkan bahwa faktor risiko frekuensi menyelam tidak ada hubungan yang bermakna terhadap gangguan pendengaran pada nelayan penyelam, nilai p = 0,577 (p value > 0,05) [19]. Semakin sering frekuensi penyelam yang dilakukan akan semakin berbahaya bagi kesehatan para penyelam. Semakin sering menerima tekanan maka semakin banyak usaha yang diperlukan untuk menyamakan tekanan (ekualisasi) dalam rongga telinga dengan tekanan air di sekitarnya. Namun frekuensi menyelam yang lebih banyak apabila diiringi dengan teknik ekualisasi yang benar, maka akan lebih kecil kemungkinan terjadi trauma tekanan yang berulang pada membran timpani. Semua orang dapat belajar melakukan teknik ekualisasi dengan benar. Keberhasilan dalam melakukan ekualisasi dapat mencegah terjadinya barotrauma telinga [20]. 3. Waktu Istirahat Hasil penelitian menunjukkan bahwa barotrauma telinga atau perforasi membran timpani banyak terjadi pada nelayan penyelam dengan waktu istirahat di permukaan < 10 menit yaitu sebanyak 66,7% dari 18 orang nelayan penyelam. Penelitian Ekawati menunjukkan bahwa barotrauma telinga atau perforasi membran timpani banyak terjadi pada nelayan penyelam dengan waktu istirahat > 6 menit yaitu sebanyak 23 (51,1%) dari 45 orang. Data dari penelitian tersebut diperoleh hasil bahwa rata-rata waktu istirahat di permukaan yang dilakukan oleh nelayan penyelam tradisional adalah 6 menit dengan lama waktu istirahat terpanjang 9 menit [6]. Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa faktor risiko waktu istirahat tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian barotrauma telinga pada nelayan penyelam. Uji statistik dengan α = 0,05 diperoleh nilai Cramer s V = 0,324 yang artinya nilai Approx. Sig > 0,05. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara waktu istirahat dengan kejadian barotrauma telinga. Hasil penelitian ini sejalan atau sesuai dengan penelitian Ekawati yang menjelaskan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara waktu istirahat dengan kejadian barotrauma membran timpani, p value = 0,646 (p>0,05) [6]. Istirahat di permukaan perlu dilakukan agar udara tidak terjebak dalam jangka waktu yang lama dan membran timpani tidak mengalami kompresi secara terus-menerus. Menurut PADI, seharusnya pada

Siti Fatimatun Navisah: Faktor Risiko... 110 penyelaman yang dilakukan berulangulang, seperti nelayan tradisional di Watu Ulo, waktu istirahat di permukaan setidaknya selama 10 menit. Istirahat beberapa waktu di antara penyelaman juga bermanfaat agar nitrogen yang terserap bisa keluar dari tubuh, tidak heran apabila banyak penyelam tradisional yang akhirnya lumpuh karena efek tersebut [21]. pemeriksaan rutin dan pelatihan penyelaman guna meningkatkan pengetahuan dan keterampilan nelayan penyelam di Dusun Watu Ulo. Nelayan penyelam juga diharapkan dapat meningkatkan kemampuan dan keterampilan mengenai teknik penyelaman dan ekualisasi, menyusun rencana peyelaman, serta melakukan pemeriksaan kesehatan secara rutin. Simpulan dan Saran Kejadian barotrauma pada nelayan penyelam di Dusun Watu Ulo Desa Sumberejo Kecamatan Ambulu Kabupaten Jember adalah sebesar 20 orang (58,7%). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kedalaman dan lama menyelam dengan kejadian barotrauma telinga. Sedangkan faktor umur, masa kerja, frekuensi menyelam, dan waktu istirahat tidak menunjukkan adanya hubungan yang signifikan dengan kejadian barotrauma telinga. Saran yang diberikan adalah Puskesmas Sabrang melalui Pos Usaha Kesehatan Kerja Nelayan dapat mengadakan Survei Mawas Diri (SMD) khususnya kepada kelompok nelayan penyelam untuk mengetahui permasalahan kesehatan kaitannya dengan kejadian barotrauma telinga yang dialami nelayan penyelam. Selain itu, Puskesmas dapat menyelenggarakan kegiatan Daftar Rujukan [1] Domino, Baldor, Grimes, Golding. The 5 minute clinical consult 2015 [Internet]. United Kingdom: Medical E-book; 2015 [cited 2016 Januari 10]. Available from: http://www.lww.co.uk/the-5- minute-clinical-consult-standard- 2015. [2] Kartono SA. Prevalensi dan faktor risiko kejadian penyakit dekompresi dan barotrauma pada nelayan penyelam di KecamatanKarimun Jawa Jepara [Internet]. 2007 [cited 2016 Februari 1]. Available from:http://etd.repository.ugm.ac.id [3] Mawle SE, Jackson CA. An investigation of ear trauma in divers including ear barotrauma and ear infection. Journal of Underwater and Hyperbaric Medicine. 2002; ISSN: 1605-9204: 3(2). [4] Edmonds C, Thomas R, McKenzie B, Pennefather J. Diving medicine for

111 SCUBA divers 6 th edition [Internet]. Jurnal IKESMA Volume 12 Nomor 1 Maret 2016 Australia: National Library of Australia; 2015 [cited 2016 Februari 1]. Available from: http://www.divingmedicine.info. [5] Giriwijoyo S, Sidik DZ. Ilmu kesehatan olahraga. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya; 2013. [6] Ekawati T. Analisis faktor risiko barotrauma membrana timpani pada nelayan penyelam tradisional di Kecamatan Semarang Utara Kota Semarang [Internet]. Semarang: Tesis Universitas Diponegoro; 2005 [cited 2016 Februari 1]. Available from: eprints.undip.ac.id/14995/1/2005e4b003038.pd f. [7] Paskarini I, Tualeka AR, Ardianto DY, Dwiyanti E. Kecelakaan dan gangguan kesehatan penyelam tradisional dan faktor-faktor yang mempengaruhi di Kabupaten Seram Maluku. 2010 [cited 2016 Februari 1].Available from: http://portalgaruda.org/article.178 35&1095.Pdf. [8] Meily L, Kurniawidjaja. Teori dan aplikasi kesehatan kerja. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia; 2010. [9] Dharmawirawan DA, Modjo R. Identifikasi bahaya dan keselamatan kerja pada penangkapan ikan nelayan Muroami. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. 2012: 6 (4): 186. [10] Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil. Jumlah rumah tangga nelayan di Kabupaten Jember. Jember; 2014. [11] Abshor U. Barotrauma auris terhadap gangguan pendengaran pada nelayan penyelam di Kecamatan Puger Kabupaten Jember. Jember: Skripsi Universitas Jember. Universitas Jember: Tidak dipublikasikan. [12] Jansen S, Meyer MF, Grosheva M. Prevalence of barotrauma in recreational SCUBA divers after repetitive saltwater dives [Internet]. Amerika: PubMed; 2016 [cited 2016 Oktober 8]. Avilable from: www.ncbi.nlm.nih.gov [13] Koriwchak MJ, Werkhaven JA. Middle ear barotrauma in SCUBA divers. Journal Wilderness Medical. 1994; 5: 98. [14] Avongsa M. Hal hal yang harus diketahui sebelum menyelam [Internet]. Jakarta; 2012 [cited 2016 November 7]. Available from: http://www.beritasatu.com/ [15] Prasetyo AT, Soemantri JB, Lukmantya. Pengaruh kedalaman dan lama menyelam terhadap ambang dengar penyelam tradisional dengan barotruma telinga. Jurnal Kedokteran. 2012; 42 (2): 2-6.

[16] Tulus A. Manajemen sumber daya manusia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama; 1992. [17] United State Navy Diving. U.S.Navy Diving manual revision 6 [Internet]. Amerika; 2005 [cited 2016 Oktober 8]. Available from: www.usu.edu/scuba /navymanual6.pdf. [18] Harrill WC. 2006. Barotrauma of the middle and inner ear [Internet]. London; 2006 [cited 2016 November 27]. Available from: http://www.bcm.edu/oto/grand/32 395.html. [19] Ruslam RD, Rumampuk JF, Danes VR. Analisis gangguan pendengaran pada penyelam di Danau Tondano Desa Watumea Kecamatan Eris Kabupaten Minahasa Provinsi Sulawesi Utara. Jurnal e-biomedik. 2015; 3 (1): 373. [20] Bentz, B. G. & Hughes, A. Barotrauma - American hearing research foundation [Internet]. 2008 [cited 2016 November 27]. Available from: http:// www.americanhearing.org/disease/ barotrauma.html [21] Professional Association of Diving Instructors (PADI). The encyclopedia of recreational diving [Internet]. 1994 [cited 2016 Oktober 8]. Available from: https://www2.padi.com/scuba/buc eo/noticias-yeventos/encyclopediaspanish/default.aspx