KONSTRUKSI KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK TAHUN 2006

dokumen-dokumen yang mirip
EVALUASI PELAKSANAAN KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK TAHUN 2004 DAN PROSPEK TAHUN 2005

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2006 ANALISIS BESARAN SUBSIDI PUPUK DAN POLA DISTRIBUSINYA

Kebijakan PSO/Subsidi Pupuk dan Sistem Distribusi. I. Pendahuluan

KEMBALIKAN SUBSIDI PUPUK KEPADA PETANI

ANALISIS KELAYAKAN PENGALIHAN SUBSIDI PUPUK MENJADI PENJAMINAN HARGA GABAH : Subsidi Input vs Output *

Efektifitas Subsidi Pupuk: Implikasinya pada Kebijakan Harga Pupuk dan Gabah

VIII. ANALISIS KEBIJAKAN ATAS PERUBAHAN HARGA OUTPUT/ INPUT, PENGELUARAN RISET JAGUNG DAN INFRASTRUKTUR JALAN

PANDANGAN PUSAT ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN TERHADAP KINERJA KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK SELAMA INI DAN PERBAIKANNYA KE DEPAN

Pupuk dan Subsidi : Kebijakan yang Tidak Tepat Sasaran

KAJIAN KEBIJAKAN HPP GABAH DAN HET PUPUK MENDUKUNG PENINGKATAN KETAHANAN PANGAN DAN PENDAPATAN PETANI

JUSTIFIKASI DAN RESIKO PENINGKATAN HARGA DASAR GABAH PEMBELIAN PEMERINTAH

Policy Brief KAJIAN PENYESUAIAN HET PUPUK BERSUBSIDI PADA USAHATANI PADI DAN DAMPAKNYA BAGI PENDAPATAN PETANI 1

LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN KAJIAN PENYESUAIAN HET PUPUK BERSUBSIDI PADA USAHATANI PADI DAN DAMPAKNYA BAGI PENDAPATAN PETANI

KEBIJAKAN HARGA INPUT-OUTPUT DAN PENGARUHNYA TERHADAP KENAIKAN PRODUKSI DAN PENDAPATAN PETANI PADI

USULAN TINGKAT SUBSIDI DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) YANG RELEVAN SERTA PERBAIKAN POLA PENDISTRIBUSIAN PUPUK DI INDONESIA

KAJIAN KEBIJAKAN HPP GABAH

I. PENDAHULUAN A. Latar belakang

GAMBARAN UMUM DISTRIBUSI PUPUK DAN PENGADAAN BERAS

PENDAHULUAN. salah satu negara berkembang yang mayoritas. penduduknya memiliki sumber mata pencaharian dari sektor pertanian.

KAJIAN KEMUNGKINAN KEMBALI KE KEBIJAKAN HARGA DASAR GABAH, KENAIKAN HARGA GABAH DAN TARIF TAHUN 2007

PERHITUNGAN SUBSIDI PUPUK 2004 BERDASARKAN ALTERNATIF PERHITUNGAN SUBSIDI ATAS BIAYA DISTRIBUSI

BAB I PENDAHULUAN. Produktivitas (Qu/Ha)

Ketersediaan Pupuk dan Subsidi Pupuk

Kaji Ulang Kebijakan Subsidi dan Distribusi Pupuk

BIRO ANALISA ANGGARAN DAN PELAKSANAAN APBN SETJEN DPR RI

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 505/Kpts/SR.130/12/2005 TENTANG

Analisis Penawaran dan Permintaan Pupuk di Indonesia

Analisis Kebijakan Pertanian Volume 1 No. 1, Mei 2003 : 90-95

Ringkasan Eksekutif Analisis Efektivitas Kebijakan Subsidi Pupuk dan Benih: Studi Kasus Tanaman Padi dan Jagung 1

Analisis Penyebab Kenaikan Harga Beras

KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN KUDUS TAHUN ANGGARAN 2014 BUPATI KUDUS,

RANCANGAN KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK LANGSUNG KEPADA PETANI

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2012 KAJIAN ALTERNATIF MODEL BANTUAN BENIH DAN PUPUK UNTUK PENINGKATAN PRODUKSI PANGAN

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

EVALUASI KEBIJAKAN SISTEM DISTRIBUSI DAN HARGA PUPUK DI TINGKAT PETANI

V. PERKEMBANGAN PRODUKSI, USAHATANI DAN INFRASTRUKTUR PENDUKUNG PENGEMBANGAN JAGUNG

II. TINJAUAN PUSTAKA

WALIKOTA BUKITTINGGI PROVINSI SUMATERA BARAT

WALIKOTA SOLOK PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN WALIKOTA SOLOK NOMOR 2 TAHUN 2016

CUPLIKAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 66/Permentan/OT.140/12/2006 TENTANG

PROVINSI RIAU PERATURAN BUPATI SIAK NOM OR 7 TAHUN

BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI CIAMIS NOMOR 57 TAHUN 2015 TENTANG

WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR

BUPATI MALANG BUPATI MALANG,

BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 25 TAHUN 2011 TENTANG

BERITA DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 6 TAHUN 2015 SERI E.4 PERATURAN BUPATI CIREBON NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG

BUPATI KAPUAS PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI KAPUAS NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 17/M-DAG/PER/6/2011 TENTANG PENGADAAN DAN PENYALURAN PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN

WALIKOTA BLITAR PROVINSI JAWA TIMUR

EVALUASI KEBIJAKAN HARGA GABAH TAHUN 2004

BERITA DAERAH KOTA BOGOR

BUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURANBUPATI TANAH BUMBU NOMOR 4 TAHUN 2016

CUPLIKAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 06/Permentan/SR.130/2/2011 TENTANG

SUBSIDI PUPUK DALAM RAPBN-P 2014

WALIKOTA PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN WALIKOTA PASURUAN NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Jakarta, Januari 2010 Direktur Jenderal Tanaman Pangan IR. SUTARTO ALIMOESO, MM NIP

KUISIONER RESPONDEN. 1. Pendidikan Terakhir (Berikan tanda ( ) pada jawaban) Berapa lama pengalaman yang Bapak/Ibu miliki dalam budidaya padi?

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian selalu dikaitkan dengan kondisi kehidupan

PERGERAKAN HARGA CPO DAN MINYAK GORENG

WALIKOTA PROBOLINGGO

EVALUASI KEBIJAKAN HARGA GABAH TAHUN 2004

BUPATI TANAH DATAR PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN BUPATI TANAH DATAR NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG

OPERASIONALISASI KEBIJAKAN HARGA DASAR GABAH DAN HARGA ATAP BERAS

PETUNJUK PELAKSANAAN PENYUSUNAN RENCANA DEFINITIF KEBUTUHAN KELOMPOK TANI (RDKK) PUPUK BERSUBSIDI

WALIKOTA PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN

ANALISIS FINANSIAL USAHA PUPUK ORGANIK KELOMPOK TANI DI KABUPATEN BANTUL I. PENDAHULUAN

ANALISIS ATAS HASIL AUDIT BPK SUBSIDI PUPUK DAN BENIH : BUKAN SEKADAR MASALAH ADMINISTRASI TAPI KELEMAHAN DALAM KEBIJAKAN

PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 115 TAHUN 2009 TENTANG PENYALURAN PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DAN PERIKANAN GUBERNUR JAWA BARAT;

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 93 TAHUN 2008 TENTANG

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 17/M-DAG/PER/6/2011 TENTANG PENGADAAN DAN PENYALURAN PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN

PERATURAN BUPATI SRAGEN NOMOR : 8 TAHUN 2012 T E N T A N G

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI PROVINSI BALI

BUPATI KAYONG UTARA PERATURAN BUPATI KAYONG UTARA NOMOR 26 TAHUN 2012 TENTANG

BERITA DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2006 NOMOR 10 SERI E

BUPATI SEMARANG PROPINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI SEMARANG NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURANBUPATI TANAH BUMBU NOMOR 10 TAHUN 2015 TENTANG

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONES!A. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 505/Kpts/SR.130/12/2005 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BENGKULU,

BERITA DAERAH KOTA BOGOR TAHUN 2010 NOMOR 3 SERI E PERATURAN WALIKOTA BOGOR NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG

WALIKOTA PROBOLINGGO

I. PENDAHULUAN. manusia, sehingga kecukupan pangan bagi tiap orang setiap keputusan tentang

BUPATI PENAJAM PASER UTARA

DAMPAK KENAIKAN HARGA BBM TERHADAP KINERJA PERTANIAN DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PENYESUAIAN HPP GABAH

PERATURAN BUPATI SUMEDANG NOMOR 114 TAHUN 2009 TENTANG

PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 072 TAHUN 2013 TENTANG

6. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 84, Tambahan

BUPATI SUKAMARA PERATURAN BUPATI SUKAMARA NOMOR 12 TAHUN 2012 T E N T A N G KEBUTUHAN PUPUK BERSUBSIDI DI KABUPATEN SUKAMARA BUPATI SUKAMARA,

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 14 TAHUN 2011

BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG ALOKASI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN KUDUS TAHUN ANGGARAN 2010

BUPATI TAPIN PERATURAN BUPATI TAPIN NOMOR 03 TAHUN 2012 TENTANG

EVALUASI KEBIJAKAN SISTEM DISTRIBUSI PUPUK UREA DI INDONESIA : Kasus Provinsi Jawa Barat

BUPATI KAYONG UTARA PERATURAN BUPATI KAYONG UTARA NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG

MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 21/M-DAG/PER/6/2008 T E N T A N G

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Indonesia merupakan negara agraris dimana pertanian memegang peranan

WALIKOTA BANJARMASIN

SALINAN NOMOR 5/E, 2010

BUPATI KARANGANYAR PERATURAN BUPATI KARANGANYAR NOMOR 13 TAHUN 2012

BERITA DAERAH KOTA SUKABUMI

Transkripsi:

KONSTRUKSI KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK TAHUN 2006 Ringkasan Eksekutif 1. Konstruksi dasar kebijakan subsidi pupuk tahun 2006 adalah sebagai berikut: a. Subsidi pupuk disalurkan sebagai subsidi gas untuk produksi pupuk Urea dan subsidi harga untuk pupuk non Urea (SP-36, ZA, dan NPK). b. Harga eceran tertinggi (HET) tidak mengalami perubahan yaitu sebagai berikut, (a) Urea : Rp 1.050 per kg; (b) SP-36 Rp 1.400 per kg; (c) ZA : Rp. 950 per kg dan (d) NPK : Rp.1.600 per kg. c. Untuk meningkatkan insentif berproduksi bagi petani, maka disarankan agar pemerintah menaikkan harga pembelian gabah sebesar 10 persen dari Rp 1330 menjadi Rp 1473 GKP. d. Peningkatan harga gabah 10 persen diperkirakan akan mendorong peningkatan permintaan pupuk sebesar 3 persen, sehingga perkiraan volume pupuk bersubsidi tahun 2006 adalah untuk urea = 4.148.237 ton; SP-36 = 772.500 ton; ZA = 618.000 ton dan NPK = 236.900 ton. Dengan asumsi modus pemberian subsidi melalui harga, maka diperkirakan total biaya subsidi sebesar Rp 3,453 trilyun atau meningkat 36 persen dibanding tahun 2005 (besaran subsidi tahun 2005 apabila melalui modus harga diperkirakan Rp 2.547 trilyun). e. Dengan elastisitas produksi terhadap kenaikan harga gabah 0.225, maka peningkatan harga gabah sebesar 10 persen akan meningkatkan produktivitas 2,25 persen. 2. Sistem distribusi pupuk dibagi dua segment yaitu: (1) segment pertama, distribusi pupuk sampai lini III ditangani oleh produsen; (2) segment kedua, distribusi pupuk dari line III ke lini IV ditangani oleh KUD dan selanjutnya diserahkan kepada pengecer swasta maupun KUD yang bertindak sebagai pengecer. 3. Untuk menjamin bahwa pupuk bersubsidi benar-benar dinikmati dan digunakan oleh petani, maka sistem pembelian pupuk bersubsidi oleh petani IV-301

dilakukan melalui sistem pipa tertutup didukung oleh sistem kredit dengan bunga murah atau sistem syariah. Petani melalui kelompok tani membuat RDKPK (Rencana Definitif Kebutuhan Pupuk Kelompok) lalu diajukan kepada KUD dan KUD menyalurkannya. Bagi kelompok yang tidak mampu dapat mengajukan kredit, sedangkan bagi yang mampu dapat membayar tunai. Sistem kupon subsidi sebagai alternatif dipandang tidak akan menjamin mampu mengatasi permasalahan dualisme harga pupuk di pasar domestik karena masih terbuka kemungkinan memperdagangkan kupon sehingga pupuk bersubsidi juga tidak tepat sasaran. Supaya kebijakan subsidi pupuk tersebut tepat sasaran, maka perlu didukung oleh sistem perkreditan pupuk untuk petani. EVALUASI KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK TAHUN 2005 DAN PROSPEK TAHUN 2006 A. Masih Perlukah Subsidi Pupuk Tahun 2006 1. Ketahanan pangan merupakan salah satu program utama Departemen Pertanian periode 2005-2006. Salah satu pilar ketahanan pangan nasional adalah penyediaan pangan yang berasal dari produksi dalam negeri. Sampai saat ini tingkat produksi beberapa pangan utama masih dibawah tingkat konsumsinya. Oleh karena itu, maka peningkatan kapsitas produksi pangan nasional merupakan salah satu upaya memperkuat pilar ketahanan pangan nasional. 2. Salah satu faktor produksi penting dalam peningkatan kapasitas produksi pangan utama seperti padi adalah pupuk. Penggunaan pupuk yang sesuai dengan kebutuhan tanaman akan mampu meningkatkan kapasitas produksi pangan nasional. Ada dua aspek untuk melihat pentingnya subsidi pupuk bagi petani yaitu : (1) kecenderungan peningkatan harga pupuk dunia dan (2) kecenderungan penurunan laba usahatani. 3. Sejak tahun 2003 harga pupuk dunia cenderung meningkat dan diperkirakan terus mengalami peningkatan sampai dengan tahun 2006 (Gambar 1). Rata-rata harga urea tahun 2005 US$ 187 per mt atau Rp 1.865 per kg dan diperkirakan meningkat menjadi US$ 192 per mt atau Rp 1.909 per kg. IV-302

Harga TSP tahun 2006 diperkirakan sama dengan tahun 2005 yaitu sekitar US$ 202 atau Rp 1.863 per kg. Pada kondisi harga pupuk dunia yang amat tinggi dan cenderung meningkat, maka pencabutan subsidi pupuk akan menyebabkan harga pupuk domestik melonjak tajam jauh di atas HET untuk urea 82 persen dan TSP 33 persen, yang tentu dapat berdampak negatif terhadap pendapatan usahatani dan kapsitas produksi pertanian. 4. Sejak tahun 1981 profitabilitas usahatani padi cenderung menurun rata-rata 0.07 persen (Simatupang, 2000). Hasil simulasi dengan menggunakan data PATANAS (2004) dan data Rice survey (2001) dengan asumsi petani tidak akan mengurangi penggunaan pupuk akibat kenaikan harga, menunjukkan bahwa apabila subsidi pada tahun 2006 dicabut, maka keuntungan bersih usahatani padi menurun 12 persen. Dengan demikian pencabutan subsidi pupuk semakin menurunkan profitabilitas usahatani, sehingga akan mengurangi kemampuan petani untuk membiayai usahatani musim berikutnya yang akhirnya berdampak pada penurunan kemampuan negara dalam menyediakan pangan beras. 5. Kondisi demikian diperkirakan akan menimbulkan efek politis yang buruk bagi pemerintah, lebih-lebih kondisi harga-harga tahun 2006 akan mengalami mengalami peningkatan sebagai dampak spiral dari pengurangan subsidi BBM tahun 2005. Oleh karena itu, maka disarankan agar subsidi pupuk tahun 2006 ditingkatkan dalam rangka mempertahankan kapasitas produksi pangan nasional. B. Evaluasi Kebijakan Subsidi Pupuk 2005: B.1. Konstruksi Kebijakan Subsidi Pupuk 2005 5. Konstruksi dasar kebijakan subsidi pupuk tahun 2005 yang sama dengan tahun 2003 adalah sebagai berikut : a. Subsidi pupuk disalurkan sebagai subsidi gas untuk produksi pupuk Urea dan subsidi harga untuk pupuk non Urea (SP-36, ZA, dan NPK). b. Harga eceran tertinggi (HET) ditetapkan berdasarkan harga pokok produksi pupuk dan telah memperhitungkan laba normal (10%) bagi pabrik pupuk. Dengan demikian pabrik pupuk dijamin tidak rugi dalam menjual pupuk sesuai dengan HET. IV-303

c. Pabrik pupuk diwajibkan untuk menyediakan pupuk dalam jumlah cukup dan tepat waktu dengan harga eceran tertinggi yang ditetapkan pemerintah sebagai berikut, (a) Urea: Rp. 1.050 per kg; (b) SP-36 Rp. 1.400 per kg; (c) ZA : Rp 950 per kg dan (d) NPK: Rp. 1.600 per kg 7. Setiap pabrik pupuk penerima subsidi bertanggung jawab untuk menjamin distribusi pupuk pada wilayah tertentu, baik sendirian maupun kerja sama dengan pabrik lain melalui kerja sama operasional (KSO). 8. Volume pupuk bersubsidi tahun 2005 ditetapkan berdasarkan keputusan Menteri Pertanian No 64/Kpts/SR.130/3/2005 tanggal 3 Maret 2005 dengan total volume untuk urea 4.027.415 ton; SP-36 750.000 ton; ZA 600.000 ton dan NPK 230.000 ton dengan total biaya subsidi sebesar Rp 1,834 trilyun dan pupuk bersubsidi hanya dijual kepada usahatani rakyat, tidak untuk perusahaan pertanian skala besar B.2. Kekuatan Kebijakan 9. Dengan surplus produksi yang amat besar melebihi kebutuhan dalam negeri dan pengaturan sistem distribusi sampai lini IV (tingkat pengecer) yang juga dilakukan oleh produsen, apabila produsen pupuk berpegang teguh pada komitmen, maka penyaluran pupuk kepada petani dapat dijamin tepat waktu, tempat, dosis, harga dan kualitas. Fenomena langka pasok pupuk di pasaran domestik tidak mungkin terjadi distributor dan pengecer sepenuhnya dibawah kendali pabrikan pupuk. 10. Jadwal tanam yang selalu diumumkan oleh pemerintah, mestinya dapat dijadikan sebagai salah satu patokan bagi pabrik pupuk untuk menyediakan stok pupuk di sentra-sentra produksi tanaman pangan yang menjadi kewenangannya. Dengan demikian, langka pasok pupuk yang sering terjadi pada puncak masa tanam padi mestinya tidak perlu terjadi. B.3. Kelemahan Kebijakan 11. Konstruksi kebijakan tersebut mengandung beberapa titik lemah yang dapat membuat kebijakan tidak efektif menjamin HET dan rentan terhadap tindakan menyimpang sebagai berikut : IV-304

a. Dualisme pasar pupuk domestik. Pupuk bersubsidi yang hanya diperuntukkan bagi usahatani rakyat menciptakan dua pasar, yaitu pasar pupuk bersubsidi dengan HET dan pasar pupuk non subsidi dengan harga pasar (lebih tinggi dari HET). Disparitas harga pupuk subsidi dan non subsidi yang cukup besar, akan mendorong tindakan menyimpang (moral hazard), yaitu pupuk bersubsidi dijual kepada perusahaan skala besar (perkebunan), sehingga pupuk bersubsidi yang dialokasikan untuk usahatani rakyat menjadi tidak mencukupi. b. Disparitas harga domestik dan harga internasional. Harga pupuk bersubsidi yang rendah dan tetap sesuai keputusan pemerintah, sementara harga dunia cenderung meningkat tajam, telah menimbulkan disparitas harga yang cukup besar untuk mendorong tindakan menyimpang. Pupuk bersubsidi diekspor secara ilegal, sehingga pasokan pupuk domestik menjadi langka dan harganya meningkat. c. Perhitungan kebutuhan pupuk bersubsidi kurang akurat. Perkiraan kebutuhan pupuk selama ini lebih didasarkan kepada perkiraan luas tanam dengan rekomendasi pemupukan secara umum. Namun kenyataan di lapangan, petani dengan luas lahan garapan yang sempit, umumnya menggunakan pupuk secara berlebihan. Kondisi ini merupakan salah satu penyebab pasokan pupuk di suatu daerah sering mengalami kekurangan. d. Volume penyaluran pupuk bersubsidi tidak dapat dipastikan. Volume pupuk bersubsidi didasarkan pada perkiraan kebutuhan, bukan penyaluran aktual, sehingga rentan terhadap manipulasi dalam menghitung nilai subsidi yang sesungguhnya. e. Wilayah tanggung jawab distribusi tidak dapat dipisah dengan tegas. Wilayah tanggung jawab pabrikan pupuk didasarkan pada wilayah propinsi yang tidak mungkin diisolir. Pupuk dapat merembes antar wilayah sehingga memungkinkan terjadinya persaingan tidak sehat antar pabrikan pupuk. Pabrikan pupuk saling melepas atau melempar tanggung jawab dalam menjamin pasokan pupuk. Pola KSO pun rentan terhadap persaingan tidak sehat yang pada akhirnya menimbulkan kelangkaan pupuk dan lonjak harga pupuk. IV-305

f. Pada akhirnya kebijakan tersebut belum menjamin bahwa pupuk bersubsidi itu benar-benar dapat dimanfaatkan oleh petani untuk meningkatkan produktivitas tanamannya. B.4. Kebijakan Subsidi Pupuk Tidak Efektif 12. Oleh karena skema kebijakan subsidi pupuk tahun 2005 sama dengan tahun 2004, maka kemungkinan kebijakan subsidi pupuk tahun 2005 tidak efektif sangat besar. Pengalaman tahun 2004 kemungkinan akan terulang lagi. Fakta lapangan menunjukkan bahwa kebijakan subsidi pupuk tahun 2004 tidak efektif untuk membantu petani. Hal ini dibuktikan oleh beberapa fakta sebagai berikut : a. Harga pupuk di tingkat petani jauh di atas HET. Di Jawa Tengah pada bulan Oktober 2004, harga Urea mencapai Rp. 1.250 per kg, yang berarti Rp. 150 per kg di atas HET yang ditetapkan sebesar Rp. 1.050 per kg; harga ZA mencapai Rp. 1.200 per kg yang berarti Rp. 250 per kg di atas HET Rp. 950 per kg; harga SP-36 Rp. 1.550 per kg yang berarti Rp. 150 per kg di atas HET Rp. 1.400 per kg; dan harga NPK Rp. 1.983 per kg yang berarti Rp. 383 per kg di atas HET Rp. 1.600 per kg. b. Pasokan pupuk di tingkat petani kerap kali langka. 13. Berdasarkan penelitian maupun monitoring pengelola, pasok langka pupuk terjadi karena tindakan ilegal sebagai berikut : (a) Penjualan pupuk bersubsidi kepada perusahaan besar (perkebunan); (b) Ekspor pupuk; dan (c) Ketidakpatuhan pabrikan pupuk dalam menjamin pasokan pupuk yang cukup sesuai HET pada wilayah di wilayah distribusi tanggung jawabnya. 14. Tidak efektifnya kebijakan subsidi pupuk pertama-tama adalah akibat dari rancangan kebijakan yang rentan terhadap tindakan menyimpang seperti yang telah diuraikan sebelumnya. Penyebab kedua, yang dapat disebut sebagai faktor pemicu, adalah melonjaknya harga pupuk di pasar internasional akibat melonjaknya harga minyak bumi. 15. Melonjaknya harga pupuk dunia juga diperburuk oleh depresiasi rupiah sehingga harga pupuk di pasar bebas amat tinggi. Jika disandingkan dengan konstruksi kebijakan subsidi pupuk, harga pupuk (utamanya Urea dan Fosfat) yang melonjak demikian tinggi, akan menimbulkan dua konsekuensi. IV-306

Pertama, terjadi disparitas harga yang amat besar antara harga pupuk bersubsidi dan harga pupuk non subsidi, sehingga mendorong merembesnya pupuk bersubsidi ke pasar pupuk non subsidi domestik. Kedua, terjadi disparitas harga yang amat besar antara di pasar pupuk domestik dan di pasar internasional, sehingga mendorong eksportasi ilegal. Boleh jadi sebagian pupuk bersubsidi malah diekspor ke negara lain. Penjualan ilegal pupuk bersubsidi ke pasar pupuk non subsidi domestik dan eksportasi ilegal selanjutnya berdampak pada kelangkaan dan lonjak harga pupuk di pasar domestik. 16. Secara umum dapat disimpulkan bahwa tidak efektifnya kebijakan subsidi pupuk merupakan komplikasi dari faktor penyebab berikut: (a) Rancangan kebijakan yang kurang baik; (b) Perilaku pabrikan pupuk yang tidak bertanggung jawab; (c) Melonjakya harga pupuk dunia. Ketiga faktor tersebutlah yang harus menjadi fokus penanganan dalam upaya memperbaiki kebijakan subsidi pupuk tahun 2006. C. Konstruksi Kebijakan Subsidi Pupuk Tahun 2006 17. Konstruksi kebijakan subsidi pupuk tahun 2006 menggunakan pendekatan evolutif, menganalisis kekuatan dan kelemahan kebijakan subsidi pupuk tahun-tahun sebelunnya. Konstruksi kebijakan subsidi pupuk tahun 2006 merupakan penyempurnaan dari kebijakan subsidi pupuk tahun 2005. C.1. Besaran Subsidi Pupuk Tahun 2006 18. Penentuan besaran subsidi pupuk menggunakan harga paritasnya dengan beberapa skenario sebagai berikut: (1) skenario I: Proyeksi harga dunia 2006 dengan HET tahun 2006 sama dengan tahun 2005, harga gabah naik 10%; (2) skenario II: Proyeksi harga dunia 2006 dengan HET tahun 2006 meningkat 10 persen dibanding tahun 2005, harga gabah naik 10%; (3) skenario III: Proyeksi harga dunia turun 10 persen dengan HET tahun 2006 sama dengan tahun 2005, harga gabah naik 10%; (2) skenario II : Proyeksi harga dunia turun 10 persen dengan HET tahun 2006 meningkat 10 persen dibanding tahun 2005, harga gabah naik 10%. IV-307

19. Hasil simulasi penentuan besaran subsidi pupuk disajaikan dalam Tabel 2. Besaran subssidi berdasarkan menggunakan asumsi modus pemberian subsidi melalui harga. Apabila harga dunia tahun 2006 sesuai dengan proyeksinya dan HET tahun 2006 sama dengan tahun 2005 (Urea = Rp 1.050; SP-36 = Rp 1.400; ZA = Rp 950 dan NPK = Rp 1.600), maka subsidi pupuk yang dibutuhkan pada tahun 2006 sebesar Rp 3,454 trilyun, sedangkan apabila HET dinaikkan 10 persen (Urea = Rp 1.155; SP-36 = Rp 1.540; ZA = Rp 1.045 dan NPK = Rp 1.760), maka subsidi pupuk yang dibutuhkan pada tahun 2006 sebesar Rp 2,813 trilyun. Apabila harga dunia tahun 2006 turun 10 persen dari yang diproyeksikan dan HET HET tahun 2006 sama dengan tahun 2005, maka subsidi pupuk yang dibutuhkan pada tahun 2006 sebesar Rp 2,468 trilyun, sedangkan sedangkan apabila HET dinaikkan 10 persen, maka subsidi pupuk yang dibutuhkan pada tahun 2006 sebesar Rp 1,828 trilyun. Besaran subsidi tersebut makin rendah apabila modus pemberiannya melalui gas untuk urea. 20. Walaupun harga dunia tahun 2006 mengalami kenaikan dibanding tahun 2005, namun memperhatikan efek psikologis dari kenaikan harga BBM tahun 2005 dan kecenderungan penurunan laba usahatani serta untuk meningkatkan kredibilitas pemerintah dan meningkatkan kapasitas produksi pangan, maka disarankan agar pemerintah tidak menaikkan HET (Urea = Rp 1.050; SP-36 = Rp 1.400; ZA = Rp 950 dan NPK = Rp 1.600) dengan besaran subsidi Rp 3,453 trilyun atau mengalami peningkatan 36 persen dibanding tahun 2005 (besaran subsidi tahun 2005 apabila melalui modus harga diperkirakan Rp 2.547 trilyun). 21. Untuk memberikan insentif berproduksi bagi petani, maka disarankan pemerintah menaikkan harga pembelian gabah oleh pemerintah pada tahun 2006 sebesar 10 persen dari Rp 1.330 menjadi Rp 1473 GKP. C.2. Dampak Subsidi Pupuk Tahun 2006 22. Apabila pemerintah memilih kebijakan tidak menaikkan HET tetapi menaikkan harga pembelian gabah 10 persen, maka kebutuhan pupuk diperkirakan meningkat sebesar 3 persen yaitu : untuk urea = 4.148.237 ton; SP-36 = 772.500 ton; ZA = 618.000 ton dan NPK = 236.900 ton. Walaupun IV-308

kebutuhan subsidi pupuk tahun 2006 mengalami peningkatan, namun karena HET tetap, maka dampak subsidi pupuk terhadap produksi tidak akan mengalami perubahan dibanding tahun 2005. 23. Dengan elastisitas produksi terhadap kenaikan harga gabah 0.225, maka peningkatan harga gabah sebesar 10 persen akan meningkatkan produktivitas 2,25 persen. C.3. Modus Subsidi dan Sistem Distribusi Pupuk Tahun 2006 24. Ada dua modus subsidi pupuk yang diberikan kepada petani yaitu : Pertama, subsidi tidak langsung dengan modus pemberian subsidi gas kepada produsen; Kedua, subsidi langsung dengan modus subsidi harga yang dibeli petani lebih rendah dari harga pasar. Dengan penjaminan keuntungan untuk pabrikan sebesar 10 persen dari biaya produksi, maka secara ekonomi modus subsidi melalui gas untuk urea lebih menguntungkan dibanding modus melalui harga. Dengan modus tersebut, pemerintah dapat menghemat biaya subsidi sebesar Rp 815 milyar (Tabel 3). Oleh karena itu, untuk tahun 2006 disarankan modus subsidi pupuk untuk urea melalui gas dan untuk non urea (ZA, SP-36 dan NPK) melalui harga. Dengan kata lain modus subsidi tahun 2006 tetap seperti tahun 2005. 25. Sistem distribusi pupuk yang berlaku saat ini ternyata tidak mampu: (a) menjamin penyimpangan manipulasi perhitungan besaran subsidi di tingkat pengecer /kios walaupun ada aparat pengawasan; (b) menanggulangi masalah dualisme harga pupuk di pasar domestik (pertanian rakyat vs perkebunan besar maupun industri); (c) menjamin bahwa pupuk subsidi benar-benar telah mampu dibeli petani karena sistem sekarang bersifat pasif tidak aktif sementara kemapuan petani terbatas; (d) menjamin bahwa pupuk bersubsidi tersebut dibeli dan digunakan untuk usahatani mereka karena sistem sekarang tidak ada monitoring sampai penggunaan di tingkat petani. 26. Untuk mengatasi kelemahan (a), maka disarankan sistem distribusi pupuk dibagi dua segment yaitu: (1) segment pertama, distribusi pupuk sampai lini III ditangani oleh produsen; (2) segment kedua, distribusi pupuk dari line III ke lini IV ditangani oleh KUD dan selanjutnya diserahkan kepada pengecer swasta maupun KUD yang bertindak sebagai pengecer. IV-309

27. Untuk mengatasi kelemahan (b), (c) dan (d), maka disarankan sistem pembelian pupuk bersubsidi oleh petani dilakukan melalui sistem pipa tertutup didukung oleh sistem kredit. Petani melalui kelompok tani membuat RDKPK (Rencana Definitif Kebutuhan Pupuk Kelompok) lalu diajukan kepada KUD dan KUD menyalurkannya. Bagi kelompok yang tidak mampu dapat mengajukan kredit, sedangkan bagi yang mampu dapat membayar tunai. Sistem kupon subsidi sebagai alternatif dipandang tidak akan menjamin mampu mengatasi permasalahan tersebut karena masih terbuka kemungkinan memperdagangkan kupon sehingga pupuk bersubsidi juga tidak tepat sasaran. Tabel 1. Perbandingan Profitabilitas Usahatani Padi Dengan dan Tanpa Subsidi Pupuk Tahun 2006 Produksi Uraian Dengan Subsidi Pupuk Tanpa Subsidi Pupuk Nilai (Rp) Share (%) Nilai (Rp) Share (%) Jumlah GKP (Kw) 51 51 Nilai (Rp) 5,503,890 5,503,890 Harga (Rp/kg) 1,075 1,075 Biaya Benih 112,462 3.1 112,462 2.9 Pupuk 627,315 17.4 846,907 22.1 Urea 310,769 8.6 459,468 12.0 SP-36 134,258 3.7 167,610 4.4 KCL 15,711 0.4 22,705 0.6 ZA 166,576 4.6 197,125 5.1 Pestisida 100,070 2.8 100,070 2.6 Tenaga Kerja 1,229,531 34.0 1,229,531 32.1 Pra Panen 824,027 22.8 824,027 21.5 Panen 405,504 11.2 405,504 10.6 Sewa Lahan 1,545,568 42.8 1,545,568 40.3 Total 3,614,947 100.0 3,834,539 100.0 Keuntungan (Rp) 1,888,943 1,669,350 Keuntungan per kg (Rp/kg) 369 326 Persentase Penurunan Keuntungan (%) 12 IV-310

Tabel 2. Besaran Subsidi Pupuk Tahun 2006 dikaitkan dengan Harga Dunia Jenis Pupuk Harga Dunia Kurs Harga Domestik HET Kebutuhan Per kg Subsidi Total Skenario 1 : Harga Proyeksi Pupuk Internasional Tahun 2006, HET Tetap, Harga Gabah Naik 10% Urea 192 9,000 1728 1,050 4,148,237 678 2,812,504,991 SP -36 201 9,000 1809 1,400 772,500 409 315,952,500 ZA 142 9,000 1278 950 618,000 328 202,704,000 NPK 235 9,000 2115 1,600 236,900 515 122,003,500 Total Subsidi 3,453,164,991 Skenario 2 : Harga Proyeksi Pupuk Internasional Tahun 2006, HET Naik 10%, Harga Gabah Naik 10%. Urea 192 9,000 1728 1,155 4,148,237 573 2,376,940,059 SP -36 201 9,000 1809 1,540 772,500 269 207,802,500 ZA 142 9,000 1278 1,045 618,000 233 143,994,000 NPK 235 9,000 2115 1,760 236,900 355 84,099,500 Total Subsidi 2,812,836,059 Skenario 3 : Harga Proyeksi Pupuk Internasional Tahun 2006 Turun 10%, HET Tetap, Harga Gabah Naik 10% Urea 173 9,000 1555 1,050 4,148,237 505 2,095,689,560 SP -36 181 9,000 1628 1,400 772,500 228 176,207,250 ZA 128 9,000 1150 950 618,000 200 123,723,600 NPK 212 9,000 1904 1,600 236,900 304 71,899,150 Total Subsidi 2,467,519,560 Skenario 4 : Harga Proyeksi Pupuk Internasional Tahun 2006 Turun 10%, HET Naik 10%, Harga Gabah Naik 10% Urea 173 9,000 1555 1,155 4,148,237 400 1,660,124,627 SP -36 181 9,000 1628 1,540 772,500 88 68,057,260 ZA 128 9,000 1150 1,045 618,000 105 65,013,600 NPK 212 9,000 1904 1,760 236,900 144 33,995,150 Total Subsidi 1,827,190,627 IV-311

Tabel 3. Analisis Ekonomi Pemberian Subsidi Urea melalui Modus Gas Vs Harga Modus Harga Lini IV + 10 % HET subsidi di Lini IV Subsidi Kebutuhan Total Subsidi (Rp/kg) (Rp/Kg) (Rp/Kg) (Kg) (Rp) 1. Gas - 1,050-4,027,415 1,158,162,338 2. Harga 1,540 1,050 490 4,027,415 1,973,433,350 Selisih 815,271,012 2500 2300 2100 1900 Rp / kg 1700 1500 1300 1100 900 January 2003 March May July September November January 2004 March May July September November January 2005 Bulan Harga Urea Harga SP-36 HET Urea HET SP-36 Ganbar 1. Perkembangan Harga Paritas Impor Pupuk Urea dan SP-36, Tahun 2003-2005 IV-312

GUDANG PENYANGGA LINI III GUDAN G LINI II KUD PENGECER GUDANG DISTRIBUTOR LINI III KUD Lini IV KELOMPOK TANI (RDKPK) P E T A N I SWASTA PENGECER Gambar 2. Usulan Pola Distribusi Pupuk Bersubsidi D:\data\data\Anjak-2005Konstruksi Kebijakan Subsidi Pupuk IV-313