HASIL DAN PEMBAHASAN Bentuklahan ( Landform ) DAS Ciambulawung

dokumen-dokumen yang mirip
METODE PENELITIAN Lokasi dan waktu Bahan dan Alat

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Luas DAS Cileungsi

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Letak Geografis. Daerah penelitian terletak pada BT dan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Neraca Kebutuhan dan Ketersediaan Air. dilakukan dengan pendekatan supply-demand, dimana supply merupakan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II FAKTOR PENENTU KEPEKAAN TANAH TERHADAP LONGSOR DAN EROSI

BAB III METODE PENELITIAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. EVALUASI KEMAMPUAN LAHAN UNTUK PERTANIAN DI HULU DAS JENEBERANG

BAB I PENDAHULUAN. utama dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia dan lempeng. Indonesia juga merupakan negara yang kaya akan hasil alam.

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan

PENGEMBANGAN KONSERVASI LAHAN TERHADAP EROSI PARIT/JURANG (GULLY EROSION) PADA SUB DAS LESTI DI KABUPATEN MALANG

BAB III METODE PENELITIAN. adanya dan mengungkapkan fakta-fakta yang ada, walaupun kadang-kadang

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil analisis mengenai dampak perubahan penggunaan lahan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan,

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan hubungan dengan kelingkungan (Versatappen, 1983 dalam Suwarno 2009).

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

TUGAS TEKNOLOGI KONSERVASI SUMBER DAYA LAHAN

Gambar 9. Peta Batas Administrasi

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan sumber daya yang sangat penting untuk kehidupan

PETA SUNGAI PADA DAS BEKASI HULU

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN

TINJAUAN PUSTAKA Infiltrasi

PENERAPAN IPTEKS ANALISIS DAYA DUKUNG LINGKUNGAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DELI. Nurmala Berutu W.Lumbantoruan Anik Juli Dwi Astuti Rohani

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDUGAAN PARAMETER UPTAKE ROOT MENGGUNAKAN MODEL TANGKI. Oleh : FIRDAUS NURHAYATI F

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Propinsi Sulawesi Tenggara

PETA SATUAN MEDAN. TUJUAN 1. Membuat peta satuan medan

BAB I PENDAHULUAN. dalam Siswanto (2006) mendefinisikan sumberdaya lahan (land resource) sebagai

BAB I PENDAHULUAN. Menurut FAO (dalam Arsyad 1989:206) mengenai pengertian lahan, Adapun pengertian dari FAO (1976) yang dikutip oleh Sitorus (1998)

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

Gambar 1. Lahan pertanian intensif

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENDAHULUAN. tempat air hujan menjadi aliran permukaan dan menjadi aliran sungai yang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam siklus hidrologi, jatuhnya air hujan ke permukaan bumi merupakan

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan kebutuhan manusia akibat dari pertambahan jumlah penduduk maka

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Lahan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dibutuhkan umat

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. tersebut relatif tinggi dibandingkan daerah hilir dari DAS Ciliwung.

BAB IV ANALISIS HASIL PENGOLAHAN DATA INFILTRASI

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II KERANGKA PENDEKATAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 39/Menhut-II/2009,

IV. GAMBARAN UMUM. Kabupaten Lampung Tengah adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Lampung.

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

Pemetaan Potensi Rawan Banjir Berdasarkan Kondisi Fisik Lahan Secara Umum Pulau Jawa

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Gabungan antara karakteristik hujan dan karakteristik daerah aliran sungai

KAJIAN KAWASAN RAWAN BANJIR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DI DAS TAMALATE

DAERAH ALIRAN SUNGAI

commit to user BAB I PENDAHULUAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN. Berdasarkan data Bappenas 2007, kota Jakarta dilanda banjir sejak tahun

PETA SATUAN LAHAN. Tabel 1. Besarnya Indeks LS menurut sudut lereng Klas lereng Indeks LS 0-8% 0,4 8-15% 1, % 3, % 6,8 >40% 9,5

θ t = θ t-1 + P t - (ETa t + Ro t ) (6) sehingga diperoleh (persamaan 7). ETa t + Ro t = θ t-1 - θ t + P t. (7)

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

METODE. Waktu dan Tempat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

Gambar 2 Peta administrasi DAS Cisadane segmen hulu.

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi

SKRIPSI PEMODELAN SPASIAL UNTUK IDENTIFIKASI BANJIR GENANGAN DI WILAYAH KOTA SURAKARTA DENGAN PENDEKATAN METODE RASIONAL (RATIONAL RUNOFF METHOD)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. hidrologi di suatu Daerah Aliran sungai. Menurut peraturan pemerintah No. 37

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Penelitian

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 1. Letak, Batas, dan Luas Daerah Penelitian. Sungai Oyo. Dalam satuan koordinat Universal Transverse Mercator

AGRIBISNIS TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA

Gambar 2. Peta Batas DAS Cimadur

LOGO Potens i Guna Lahan

BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Alat dan Bahan

KONSEP EVALUASI LAHAN

Evaluasi Lahan. proses perencanaan penggunaan lahan (land use planning). Evaluasi lahan

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian

Jumlah desa, dusun dan luas Kabupaten Bantul per kecamatan dapat

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Hujan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang

sumber daya lahan dengan usaha konservasi tanah dan air. Namun, masih perlu ditingkatkan intensitasnya, terutama pada daerah aliran sungai hulu

BAB II TINJAUAN UMUM

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Interpretasi Citra Landsat Tahun 1990, 2001 dan 2010 Interpretasi citra landsat dilakukan dengan melihat karakteristik

BKM IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Parameter dan Kurva Infiltrasi

PEMBAHASAN 5.1 Data dan Analisis Penghitungan Komponen Penduduk

Transkripsi:

30 HASIL DAN PEMBAHASAN Ekologi bentanglahan di DAS Ciambulawung menggambarkan interaksi antara manusia dan berbagai komponen sumberdaya alam yang menghasilkan suatu kondisi kehidupan serta semberdaya wilayah, seperti tipe penggunaan lahan, aliran air permukaan, air tanah, dan sebagainya. Air merupakan sumberdaya alam penting yang dibutuhkan oleh manusia dan makhluk hidup lainnya. Air hujan yang jatuh di dalam DAS mengalami berbagai proses sebelum dialirkan ke suatu outlet, dimana proses tersebut banyak dipengaruhi oleh kondisi bentanglahan yang dicerminkan dari bentuklahan-bentuklahan (landforms) yang menyusunnya beserta semua obyek alami dan buatan serta berbagai kegiatan manusia di atasnya. Dengan demikian besarnya jumlah air yang mengalir di sungai sebenarnya merupakan cerminan dari hasil interaksi berbagai komponen, seperti curah hujan, bentuklahan beserta aspek-aspeknya (lereng, tanah), dan penutupan atau penggunaan lahan di atasnya. Bentuklahan (Landform) DAS Ciambulawung Klasifikasi bentuklahan daerah penelitian dilakukan melalui citra SRTM yang dibantu dengan informasi geologis dan topografis. Interpretasi bentuklahan dilakukan secara visual di atas citra dimana digitasi dilakukan secara on screen. Seperti telah diuraikan pada Bab Kondisi Umum bahwa kondisi geomorfologi daerah penelitian lebih didominasi oleh morfologi pegunungan dan perbukitan yang tersusun oleh formasi geologi berumur Tersier (Miosen-Oligosen) sehingga telah mengalami proses denudasi lanjut. Dari hasil interpretasi citra dan cek lapangan, didapatkan bahwa bentuklahan di daerah penelitian dapat dikelaskan menjadi 7 macam, yaitu Pegunungan Denudasional Vulkanik (DV1), Lereng Atas Pegunungan Denudasional Vulkanik (DV2), Perbukitan Denudasional Vulkanik (DV3), Punggung/Igir Perbukitan Denudasional Vulkanik (DV4), Lereng Kaki Perbukitan Denudasional Vulkanik (DV5), Lembah Sungai dan Teras Alluvial (F1), serta Dataran antar Bukit Berbatuan Sedimen (S1). Persebaran spasial dari masingmasing bentuklahan tersebut dapat dilihat pada Gambar 8 sedangkan untuk luasan masing-masing disajikan dalam Tabel 4.

31 Tabel 4. Bentuklahan DAS Ciambulawung dan Luasannya. Simbol Bentuklahan Luas Area Ha % DV1 Punggung/Igir Pegunungan Denudasional Vulkanik 124,16 22,38 DV 2 Lereng Atas Pegunungan Denudasional Vulkanik 139,68 25,18 DV 4 Punggung/Igir Perbukitan Denudasional Vulkanik 24,12 4,35 F1 Lembah Sungai & Teras Aluvial 2,27 0,41 DV 3 Perbukitan Denudasional Vulkanik 225,97 40,74 S1 Dataran antar Bukit Berbatuan Sedimen 1,95 0,35 DV 5 Lereng kaki perbukitan Denudasional Vulkanik 36,57 6,59 Luas Area Total 554,72 100 Dari Tabel 4 terlihat bahwa secara dominan bentuklahan di wilayah penelitian terbentuk oleh proses vulkanik dan berdasarkan geologinya tersusun dari batuan vulkanik tua. Hanya sebagian kecil bentuklahan yang dibentuk oleh proses deposisi, yakni berada di sekitar aliran sungai berupa lembah dan teras aluvial. Batuan sedimen Tersier (Formasi Anggota Napal) yang tersingkap di kampung Lebak Picung merupakan batuan yang paling tua di DAS Ciambulawung dan tampak sebagai batuan dasar (basement rock) dari formasi batuan vulkanik di atasnya pada saat aktivitas vulkanik masih berlangsung di wilayah ini. Bentuklahan perbukitan dan pegunungan seperti DV3, DV2, dan DV1 berturut-turut merupakan bentuklahan yang paling dominan di daerah penelitian. Hal ini mencerminkan bahwa pergerakan aliran air di daerah penelitian yang berbukit dan bergunung tergolong dinamis, yaitu didorong oleh kondisi kemiringan lereng yang besar dan gravitasi. Bentuklahan dengan karakteristik lereng curam hingga sangat terjal seperti DV3, DV2, dan DV1 ini berpotensi menghasilkan kecepatan aliran yang tinggi dan juga kecepatan akumulasi sejumlah air hujan yang tertampung pada DAS dalam waktu yang singkat, terutama pada bentuklahan F1. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa masalah neraca air sesungguhnya merupakan hal penting untuk diperhatikan dalam pengelolaan DAS Ciambulawung dan terutama keterkaitan antara bentuklahan dengan penutupan/penggunaan lahannya.

32 BENTUKLAHAN Gambar 8. Peta Bentuklahan DAS Ciambulawung

33 Penutupan/Penggunaan Lahan (Land Cover//Land Use) DAS Ciambulawung Seperti telah diuraikan sebelumnya bahwa penutupan lahan hutan mendominasi penggunaan lahan di daerah penelitian. Dari hasil pengamatan lapangan keberadaan hutan di wilayah ini masih terjaga dengan baik. Boleh jadi peraturan yang ada terkait dengan Taman Nasional membuat masyarakat Lebak Picung ikut menjaga wilayah TNGHS dan mempunyai kesadaran yang tinggi untuk tidak mengolah atau memanfaatkan lahan TNGHS tanpa ijin. Masyarakat lokal, khususnya warga Kampung Lebak Picung hanya memanfaatkan lahan yang telah ditetapkan sebagai hutan rakyat dan lahan-lahan yang telah digunakan oleh para leluhurnya. Akan tetapi ada yang melakukan penebangan hutan tanpa ijin dan membuka lahan hutan pada spot-spot tertentu untuk kepentingan tertentu. Namun demikian mereka yang melakukan tersebut bukanlah warga dari Lebak Picung, namun warga dari luar Desa. Gambar 9 berikut menggambarkan beberapa contoh dari kegiatan-kegiatan dimaksud di atas yang diperoleh saat survei di lapang. (a) (b) Gambar 9. (a) Penebangan Liar (X=650947:Y=9250920); (b) Pembukaan Hutan (X=650950:Y=9250510). Peta penutupan/penggunaan lahan DAS Ciambulawung untuk penelitian ini dibuat melalui interpretasi citra secara visual dan dilakukan digitasi on screen pada citra GoogleEarth tahun 2010. Dari hasil digitasi, kemudian dilakukan validasi dengan kenyataan lapang. Hasil pemetaan yang dilakukan menghasilkan 6 jenis penutupan/penggunaan lahan, yaitu hutan, sawah, kebun campuran, tanah terbuka, semak-belukar, dan permukiman seperti yang terlihat pada Gambar 10 dan Tabel 5 untuk luasannya.

Gambar 10. Peta Penggunaan Lahan DAS Ciambulawung. 34

35 Tabel 5. Penggunaan Lahan DAS Ciambulawung dan Luasannya Tahun 2010. Simbol Penggunaan Lahan Luas Ha % H Hutan 338,55 61,03 S Sawah 23,69 4,27 Kc Kebun Campuran 157,11 28,32 Tb Tanah Terbuka 2,20 0,40 Sb Semak Belukar 32,09 5,78 P Lahan Terbangun(Permukiman) 1,08 0,19 Luas Total 554,72 100 Berdasarkan Tabel 5 dapat diketahui bahwa hutan merupakan penutupan/penggunaan lahan terluas, yaitu meliput 338,55 Ha atau 61.03% dari total luas DAS Ciambulawung. Penutupan/penggunaan lahan terluas kedua adalah kebun campuran, seluas 157,11 Ha (28.32%), sedangkan penutupan/penggunaan lahan yang lainnya relatif kecil, seperti lahan sawah yang hanya mencapai 23,69 Ha (4.27%) atau permukiman dengan luas total hanya 1,08 Ha (0.19%). Permukiman di sini adalah kampung Lebak Picung itu sendiri yang di dalamnya terdiri dari rumah-rumah penduduk termasuk fasilitas sosial seperti Sekolah Dasar, Masjid, MCK dan lumbung-lumbung padi. Penutupan/penggunaan lahan dalam kaitannya dengan proses hidrologi di dalam DAS mempunyai peranan sangat penting, khususnya hutan, yaitu dapat berfungsi sebagai pelindung tanah terhadap percikan curah hujan secara langsung hingga berfungsi menggemburkan tanah dan kemudian meresapkan air ke dalamnya. Dalam hidrologi perbedaan tipe penutupan/penggunaan lahan diketahui banyak berpengaruh terhadap besarnya nilai debit dan volume puncak aliran sungai. Pengaruh ini disebut sebagai koefisien runoff yang akan dijelaskan secara rinci pada Sub bab selanjutnya. Selain peta penutupan/penggunaan lahan yang diperoleh dari hasil pada penelitian ini, dikenal pula ada Peta Tata Guna Hutan Konservasi (TGHK) untuk daerah penelitian. Berdasarkan Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan Nomor 282/Kpts-II/1992 tentang Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH) telah dihasilkan peta batas TNGH seluas 113.357 Ha, namun pada 10 Juni 2003 SK tersebut telah diperbarui melalui SK Menteri Kehutanan dengan Nomor 175/Kpts- II/2003 tentang perubahan status TNGH menjadi Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS). Berdasarkan keputusan ini, wilayah TNGHS menjadi

36 jauh lebih luas dan belum ditetapkan luas totalnya. Konsekuensi dari SK yang baru ini adalah bahwa kampung Lebak Picung yang semula berada di luar kawasan Taman Nasional, kini menjadi bagian (berada di dalam) dari Taman Nasional (Gambar 11 dan Gambar Lampiran 1). Meskipun demikian, dimungkinkan di waktu yang akan datang akan ada kebijakan dari pemerintah yang dapat memperjelas status kampung ini. Tabel 6 berikut memperlihatkan bahwa luasan kawasan hutan yang berada di dalam DAS Ciambulawung mencapai hampir 97 % dari luas total DAS, dan selebihnya sekitar 3 % berupa Alokasi Penggunaan Lain (APL) atau lahan budidaya. Dalam hal ini APL terdiri dari kebun campuran (1,71 %) dan semak belukar (0,73%) namun tidak tergambar di dalam peta (Gambar 11) karena luasannya relatif kecil dan tersebar. Tabel 6. Luas Kawasan Hutan dan Alokasi Penggunaan Lain (APL) di DAS Ciambulawung sesuai dengan ketetapan baru batas Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) Tahun 2003. Luas TGHK Penggunaan Lahan Ha % Kawasan TNGHS Hutan 538,07 96,99 Alokasi Penggunaan Lain Sawah 2,64 0,55 Kebun Campuran 9,51 1,71 Tanah Terbuka 0 0 Semak Belukar 4,07 0,73 LahanTerbangun (Permukiman) 0 0 Luas Total 554,742 100 Berdasarkan luasan hutan yang baru tersebut, kiranya diperlukan kehatihatian dalam mengambil kesimpulan, karena jika dibandingkan dengan luas hutan aktual dari hasil pemetaan, maka terdapat selisih luas yang cukup besar. Hal ini tentu tidak dapat dikatakan bahwa telah terjadi penyempitan luas hutan, karena peta batas TNGHS adalah peta yang direncanakan (terutama hutan) jadi tidak mencerminkan luas hutan yang sesungguhnya. Hal ini sesuai dengan hasil pengamatan lapangan dan wawancara dengan penduduk, dimana didapatkan informasi bahwa penyempitan hutan tidak pernah terjadi di dalam DAS Ciambulawung karena memang tidak ada kegiatan konversi hutan oleh masyarakat maupun dari pihak TNGHS. Jadi luasan hutan yang tergambar di dalam peta tidak mencerminkan luas hutan yang sesungguhnya.

37 Permukiman Gambar 11. Peta Tata Guna Hutan Konservari TNGHS di DAS Ciambulawung Tahun 2003

38 Kemiringan Lereng (Slope steepness) DAS Ciambulawung Kemiringan lereng dalam suatu wilayah merupakan faktor penting dalam kajian hidrologi. Hal ini menyangkut kondisi bidang luncur yang mempengaruhi kecepatan pergerakan air (hujan), baik di permukaan maupun di dalam tanah, dimana semakin curam suatu lereng akan menghasilkan potensi kecepatan pergerakan air di permukaan yang tinggi dan kurang memungkinkan air untuk meresap ke dalam tanah. Peta Kemiringan Lereng yang dihasilkan dalam penelitian ini bersumber dari citra SRTM yang diolah menjadi Peta Kontur dengan software Global Mapper v.12. Dari peta kontur tersebut kemudian diklasifikasikan menjadi 6 kelas yang mengacu pada sistem klasifikasi lereng USDA, seperti yang digunakan oleh Van Zuidam (1985) untuk analisis terrain. Hasil klasifikasi dan pemetaan yang dilakukan dalam penelitian ini disajikan pada Gambar 12 dan luasan dari masingmasing kelas lereng disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Kelas Kemiringan Lereng DAS Ciambulawung dan Luasannya. Simbol Kemiringan Lereng (%) Luas Ha % Gs Datar sampai Landai (0-8) 25,38 4,58 Sl Agak Miring(8-15) 43,59 7,86 Mst Miring sampai Agak Curam (15-30) 174,73 31,50 St Curam (30-45) 207,69 37,44 Vst Sangat Curam (45-60) 77,13 13,90 Est Terjal (60-100) 26,20 4,72 Luas Total 554,72 100,00 Lereng pada kelas curam (30-45%) merupakan lereng yang paling dominan di DAS Ciambulawung, yakni meliput luasan sebesar 207,69 Ha atau 37,44% dari total luas wilayah penelitian. Kemudian lereng miring sampai agak curam yang mencapai luasan 31,50%, dan lereng sangat curam menempati luasan 13,90%. Untuk kemiringan-kemiringan lereng yang lainnya relatif kecil luasannya. Hal ini menandakan bahwa wilayah penelitian mempunyai topografi yang umumnya berbukit sampai bergunung, sehingga proses geomorfologis

39 denudasional menjadi dominan di wilayah ini. Kondisi ini menyebabkan air hujan yang jatuh di dalam DAS Ciambulawung menjadi dinamis akan mengalami pergerakan yang cepat sesuai dengan kondisi topografi melalui lereng-lereng yang curam dan pengaruh tutupan lahannya. Keadaan lereng yang demikian menjadikan proses erosi dan longsor merupakan dua proses yang perlu mendapat perhatian dalam pengelolaan DAS, apalagi sebagian besar wilayahnya merupakan taman nasional yang berfungsi antara lain sebagai daerah pencadangan air. Kemiringan lereng banyak menentukan besarnya daya dukung lingkungan, dan daya lingkungan tersebut merupakan hal penting dalam pengelolaan DAS. Dalam hal ini kemiringan lereng juga mempunyai peranan penting dalam memilah bentuklahan menjadi satuan-satuan lahan (land units) yang lebih rinci dan homogen. Satuan lahan sangat diperlukan untuk penilaian daya dukung lingkungan melalui kemampuan lahannya (land capability). Dalam penelitian ini penilaian kemampuan lahan DAS Ciambulawung akan dilakukan berbasis pada satuan lahan, dan hasilnya dapat digunakan untuk menilai kualitas lingkungan DAS Ciambulawung secara kualitatif melalui kecocokan penggunaan lahannya.

Gambar 12. Peta Kemiringan Lereng DAS Ciambulawung. 40

41 Satuan Lahan (Land Unit) dan Kemampuan Lahan (Land Capability) DAS Ciambulawung Satuan lahan menggambarkan kondisi sebidang lahan yang mempunyai karakteristik relatif seragam berdasarkan faktor-faktor penyusunnya. Peta Satuan Lahan yang dihasilkan dalam penelitian ini merupakan hasil analisis dari peta bentuklahan dan peta kemiringan lereng, melalui proses tumpang tindih (overlay). Gambar 13 pada halaman berikut menunjukkan hasil dari analisis tersebut, yaitu berupa peta satuan lahan. Pemberian simbol satuan lahan didasarkan pada simbol dari masing-masing bentuklahan dan kelas lereng. Berdasarkan peta tersebut terlihat bahwa DAS Ciambulawung memiliki jenis satuan lahan yang cukup bervariasi yaitu terdapat sekitar 30 kelas, namun satuan lahan yang paling luas adalah satuan lahan DV3.St, yakni satuan lahan yang berada di atas bentuklahan perbukitan denudasional vulkanik yang mempunyai kemiringan lereng curam (30-45%). Satuan lahan DV3.St ini mempunyai luas sebesar 86.63 Ha, sedangkan satuan-satuan lahan yang lain luasannya secara rinci dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Satuan Lahan DAS Ciambulawung dan Luasannya. Simbol Satuan Lahan Bentuk Lahan Lereng Luas Ha % DV5.Sl Lereng kaki perbukitan Vulkano Denudasional 8-15 17,38 3,13 DV5.St Lereng kaki perbukitan Vulkano Denudasional 30-45 4,51 0,61 DV5.Vst Lereng kaki perbukitan Vulkano Denudasional 45-60 0,42 0,08 Hsn.Gs Dataran antar Bukit Berbatuan Sedimen 0-8 1,58 0,18 Hsn.Sl Dataran antar Bukit Berbatuan Sedimen 8-15 1,78 0,13 Tf.Gs Lembah Sungai & Teras Aluvial 0-8 1,31 0,24 Tf.Mst Lembah Sungai & Teras Aluvial 15-30 0,04 0,01 Tf.Sl Lembah Sungai & Teras Aluvial 8-15 1,75 0,32 Tf.St Lembah Sungai & Teras Aluvial 30-45 0,28 0,00

42 Tabel 8. Satuan Lahan DAS Ciambulawung dan Luasannya.(Lanjutan) Simbol Satuan Luas Bentuk Lahan Lereng Lahan Ha % DV1.Est Punggung/Igir Pegunungan Vulkano Denudasional 60-100 0,63 0,11 DV1.Gs Punggung/Igir Pegunungan Vulkano Denudasional 0-8 7,70 1,39 DV1.Mst Punggung/Igir Pegunungan Vulkano Denudasional 15-30 72,63 3,85 DV1.Sl Punggung/Igir Pegunungan Vulkano Denudasional 8-15 15,14 2,16 DV1.St Punggung/Igir Pegunungan Vulkano Denudasional 30-45 34,56 5,73 DV1.Vst Punggung/Igir Pegunungan Vulkano Denudasional 45-60 978,79 0,04 DV2.Est Lereng Atas Pegunungan Vulkano Denudasional 60-100 24,72 2,41 DV2.Mst Lereng Atas Pegunungan Vulkano Denudasional 15-30 3,51 0,00 DV2.Sl Lereng Atas Pegunungan Vulkano Denudasional 8-15 0,49 0,09 DV2.St Lereng Atas Pegunungan Vulkano Denudasional 30-45 61,71 1,46 DV2.Vst Lereng Atas Pegunungan Vulkano Denudasional 45-60 61,80 4,89 DV3.Est Perbukitan Vulkano Denudasional 60-100 0,39 0,02 DV3.Gs Perbukitan Vulkano Denudasional 0-8 1,35 0,24 DV3.Mst Perbukitan Vulkano Denudasional 15-30 94,31 2,48 DV3.Sl Perbukitan Vulkano Denudasional 8-15 10,41 0,05 DV3.St Perbukitan Vulkano Denudasional 30-45 92,18 0,04 DV3.Vst Perbukitan Vulkano Denudasional 45-60 9,37 0,93 DV4.Gs Punggung/Igir Perbukitan Vulkano Denudasional 0-8 2,83 0,43 DV4.Sl Punggung/Igir Perbukitan Vulkano Denudasional 8-15 3,61 0,65 DV5.Gs Lereng kaki perbukitan Vulkano Denudasional 0-8 10,23 1,84 DV5.Mst Lereng kaki perbukitan Vulkano Denudasional 15-30 11,07 0,37 554,72 100,00 Peta satuan lahan yang dihasilkan ini selanjutnya akan digunakan untuk menilai secara kualitatif kelas kemampuan lahan seperti yang telah diuraikan pada bab Metode Penelitian, dimana peta kelas kemampuan lahan dikelompokkan menjadi 8 kelas (dilambangkan dengan huruf Romawi), mengacu pada metode yang dikembangkan oleh USDA (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007). Berdasarkan hasil analisis kemampuan lahan (Gambar 14 dan Tabel 9) didapatkan bahwa kemampuan lahan Kelas VI merupakan kelas yang yang paling besar luasannya, yakni sebesar 189,82 Ha. Hal ini menggambarkan bahwa DAS Ciambulawung terletak pada wilayah yang mempunyai lereng agak curam dan rawan erosi. Sehingga lahan seperti ini cukup baik jika dimanfaatkan untuk penggembalaan atau hutan produksi meskipun harus dikelola dengan baik untuk

43 menghindari erosi. Kelas kemampuan lahan lain yang juga relatif luas adalah Kelas III (140,06 Ha). Kelas ini menggambarkan daerah yang memiliki lereng miring (15-25%), sangat peka terhadap erosi, solum dangkal, berdrainase buruk, permeabilitas lambat, kapasitas menahan air rendah, kesuburan tanah rendah dan tidak mudah diperbaiki. Kelas ini cukup baik jika dimanfaatkan untuk lahan pertanian tanaman semusim namun harus disertai dengan tindakan konservasi khusus. Tabel 9 berikut memperlihatkan luasan kelas kemampuan lahan yang lainnya. Dari luasan kelas kemampuan lahan yang ada tersebut, tergambarkan bahwa DAS Ciambulawung memiliki karakteristik wilayah dengan kemiringan lereng yang curam sehingga rawan terhadap aliran permukaan, proses erosi tanah, dan longsor. Untuk itu alokasi penggunaan lahan yang sesuai dengan kelas kemampuan lahan untuk DAS Ciambulawung perlu lebih diperhatikan untuk mengurangi potensi terjadinya bencana. Kondisi ini juga akan sangat berpengaruh terhadap kondisi lingkungan DAS Ciambulawung dalam menampung dan menyimpan air selama musim penghujan. Tabel 9. Luas Kelas Kemampuan Lahan DAS Ciambulawung Kemampuan Lahan LUAS Ha % Kelas I 23,65 4,26 Kelas II 35,41 6,38 Kelas III 140,06 25,25 Kelas IV 61,42 11,07 Kelas VI 189,82 34,22 Kelas VII 78,63 14,17 Kelas VIII 25,74 4,64 Luas total 554,72 100

44 PETA SATUAN LAHAN Gambar 13. Peta Satuan Lahan DAS Ciambulawung.

Gambar 14. Peta Kelas Kemampuan Lahan DAS Ciambulawung. 45

46 Sifat Fisik dan Jenis Tanah Sifat Fisik Tanah Dalam penelitian ini contoh tanah utuh yang diperoleh di lapangan (Gambar 15) telah dianalisis di laboratorium untuk mengetahui sifat fisik tanahnya, yaitu meliputi bobot isi, permeabilitas, dan nilai pf. Sifat-sifat ini diperlukan untuk analisis pendugaan nilai debit dan volume puncak di DAS Ciambulawung. Pendugaan tersebut perlu mengetahui kemampuan tanah dalam menampung air dan menentukan kondisi hidrologi di suatu wilayah. Pada penelitian ini sifat fisika tanah merupakan variabel yang digunakan untuk menentukan koefisien aliran permukaan dan simpanan air tersedia di dalam tanah pada saat dilakukan pendugaan terhadap besarnya nilai debit dan volume puncak aliran permukaan. Hasil dari analisis sifat fisika tanah yang telah dilakukan disajikan pada Tabel 10 dan 11 dan pada Gambar 16. Gambar 15. Pengambilan contoh tanah

47 Tabel 10. Nilai Bobot Isi Tanah di DAS Ciambulawung. Track* ID* BD_Atas (g/cm³) BD_Bawah (g/cm³) A 1 0,76 0,80 5 0,72 0,88 6 0,81 0,91 B 1 0,81 0,95 2 0,99 0,94 3 0,75 1,09 5 0,83 0,99 C 1 0,80 1,06 3 0,71 0,66 4 0,78 0,80 5 0,92 0,93 D 1 0,76 0,80 3 0,82 0,96 5 0,75 0,91 *Lokasi contoh tanah disajikan pada gambar 18 Tabel 11. Nilai Permeabilitas Tanah di DAS Ciambulawung. Track* Permeabilitas Atas (cm/jam) Permeabilitas Bawah (cm/jam) Rata-rata Permeabilitas Atas Rata-rata Permeabilitas Bawah A 6,6 5,5 0,6 3,7 B 0,7 0,8 2,6 3,3 5,6 2,4 7,1 10,0 4,6 7,0 C 1,6 2,1 4,7 5,4 11.9 11,3 15.5 15,1 1,7 2,1 D 13,4 15,8 10,6 8,6 6,6 5,5 3,4 7,5 5,4 3,4 5,1 5,5 * Lokasi contoh tanah disajikan pada gambar 18

48 5 Titik A Titik B 5 Titik A Titik C Titik B Titik D 4 Titik C Titik D 4 pf 3 pf 3 2 2 1 1 0 0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 0 0.00 20.00 40.00 60.00 Nilai pf tanah Nilai pf Tanah (a) (b) Gambar 16. (a) Kurva pf tanah Lapisan Atas DAS Ciambulawung, (b). Kurva pf Tanah Lapisan Bawah DAS Ciambulawung.

49 Tabel 10 menggambarkan bahwa sifat fisika tanah di DAS Ciambulawung memiliki bobot isi yang rendah (0,66-1,09 g/cm³). Angka ini masih di bawah dari nilai rata-rata tanah di lapang menurut Murtilaksono dan Wahjunie (2003) yaitu sebesar 1,3 g/cm³, kecuali tanah organik dan andisol. Selain itu antara lapisan tanah atas dan lapisan tanah bawah di DAS Ciambulawung ini juga memiliki karakteristik yang berbeda, yakni pada lapisan tanah atas memiliki bobot isi yang lebih rendah daripada lapisan tanah bawah. Hal ini menunjukkan bahwa pada lapisan tanah atas memiliki struktur remah dengan ruang pori total yang lebih besar dibandingkan dengan lapisan tanah bawah. Hal ini disebabkan bahan organik yang berasal dari sisa serasah ranting dan daun kering banyak terdekomposisi pada lapisan tanah atas yang merupakan hasil dari aktivitas dari mikroorganisme yang ada. Hasilnya air dapat terinfiltrasi dengan baik saat air jatuh di permukaan dan kemudian masuk ke lapisan atas. Berdasarkan nilai permeabilitasnya yang diperoleh (Tabel 11), tersirat bahwa tanah-tanah di DAS Ciambulawung memiliki karakteristik yang berbeda antara lapisan tanah atas dan lapisan tanah bawah. Nilai permeabilitas pada lapisan tanah atas lebih tinggi daripada lapisan tanah bawah. Hal ini terkait dengan bobot isi yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa tanah pada lapisan atas memiliki jumlah ruang pori yang lebih banyak, sehingga memudahkan perjalanan air di dalam lapisan tanah atas. Akan tetapi, jika mengacu pada klasifikasi Uhland dan O neal tahun 1951 (Brata et al., 1980) secara umum tanah-tanah di DAS Ciambulawung tergolong mempunyai nilai pergerakan air dari kecepatan sedang hingga agak cepat pada keadaan jenuh. Bentuk kurva pf mempunyai slope yang miring seperti yang terlihat pada Gambar 16. Hal ini mengindikasikan bahwa secara umum kemampuan tanah di DAS Ciambulawung untuk mengabsorpsikan air cukup tinggi. Pada Gambar 16.b (nilai pf pada lapisan tanah bawah) menunjukkan bahwa slope yang terbentuk secara umum tampak miring namun juga lebih landai dibandingkan dengan nilai pf pada lapisan tanah atas (Gambar 16.a). Hal ini disebabkan kandungan liat pada lapisan tanah bawah lebih banyak daripada lapisan tanah atas. Selain itu pada beberapa contoh tanah yang dianalisis menunjukkan adanya nilai permeabilitas yang relatif berbeda jauh dari yang lainnya, sebagai

50 contoh adalah antara Titik A6 dan C4 (Tabel 11). Hal ini menunjukkan bahwa tanah-tanah tersebut memiliki karakteristik sifat yang berbeda, baik morfologi maupun sifat fisika tanahnya. Jenis Tanah Hasil pengamatan dan analisis tanah di lapangan (Tabel Lampiran 1) menunjukkan bahwa jenis tanah yang terbentuk di wilayah Lebak Picung cenderung homogen. Berdasarkan klasifikasi soil taksonomy (Gambar Lampiran 8), didapatkan jenis tanah di DAS Ciambulawung tergolong yang berumur lanjut yakni termasuk jenis tanah Inceptisol dan Ultisol dengan suborder masing-masing Udepts dan Udults, sedangkan pada tanah sawah yang digenangi air memiliki karakteristik suborder Aquepts. Terbentuknya tanah-tanah tersebut sebagian besar berasal dari bahan induk tuff vulkanik yang dilanjutkan dengan adanya proses erosi dan sedimentasi. Tanah-tanah lanjut seperti ini umumnya memiliki karakteristik kandungan liat yang cukup tinggi, sehingga kemampuan untuk meloloskan air rendah. Akan tetapi pada kondisi saat ini dimana penggunaan lahan di DAS Ciambulawung yang sebagian besar masih berupa hutan, menjadikan tanah mampu untuk menahan atau memperlambat laju aliran permukaan yang dihasilkan. Di samping itu bahan organik yang berasal dari serasah daun dan ranting serta perakaran dari vegetasi berkayu sangat membantu membuat struktur tanah menjadi lebih gembur. Hal ini sejalan dengan pada sifat fisika yang telah dibahas sebelumnya, yakni terjadi perbedaan karakteristik antara lapisan tanah atas dengan lapisan tanah bawahnya. Curah Hujan di DAS Ciambulawung Curah hujan di DAS Ciambulawung sangat menentukan jumlah air yang tersedia, baik debit sungai maupun simpanan air yang berada di dalam tanah. Penelitian ini menggunakan data curah hujan yang diukur langsung di lapangan dengan menggunakan 5 buah alat penagkar hujan sederhana. Volume air hujan yang tertampung dalam alat tersebut (Tabel Lampiran 6) kemudian diolah menjadi data curah hujan rata-rata bulanan selama tahun 2011. Adapun metode untuk menentukan intensitas hujan akan digunakan rumus Mononobe (Sosrodarsono dan Takeda, 1978) seperti diuraikan pada Bab Metode

51 Penelitian. Nilai Curah hujan dan intensitas hujan DAS Ciambulawung berdasarkan data yang diperoleh di lapangan disajikan pada Tabel 12. Tabel 12. Nilai Curah Hujan dan Intensitas CH tahun 2011. Bulan CH Rata rata (mm) Intensitas rata-rata (mm/jam) Januari 197,18 10,12 Februari 187,90 6,91 Maret 718,93 17,15 April 499,30 12,74 Mei 244,32 5,36 Juni 94,80 5,60 Juli 83,90 3,10 Agustus 15,01 3,33 September 66,59 7,14 Oktober 271,08 14,29 November 645,56 17,86 Desember 267,69 5,95 CH Rata-rata 3292,27 9,13 Berdasarkan volume air hujan yang tertampung dari setiap penangkar (Tabel Lampiran 6) dapat disimpulkan bahwa curah hujan yang terjadi di DAS Ciambulawung cenderung seragam, yakni hujan terjadi dalam waktu yang bersamaan di atas DAS Ciambulawung. Pada Tabel 12 terlihat bahwa curah hujan di bulan basah (CH >100 mm), yakni Januari-April dan Oktober-Desember memiliki perbedaan nilai yang cukup signifikan (lebih tinggi) dibandingakan dengan nilai curah hujan pada bulan kering (CH <100 mm) yakni Juni-Agustus. Curah hujan paling tinggi terjadi pada bulan Maret dan curah hujan paling rendah terjadi pada bulan Agustus. Bulan Mei dan September merupakan bulan peralihan dari musim kering ke musim hujan (September) ataupun dari musim hujan ke musim kering (Mei). Oleh karena itu nilai curah hujan pada bulan Mei masih cenderung tinggi padahal pada bulan tersebut sudah masuk ke dalam musim kemarau. Begitu pula pada bulan September curah hujan yang terjadi cenderung rendah padahal bulan September sudah temasuk ke dalam musim hujan. Nilai curah hujan ini selanjutnya akan digunakan untuk menetapkan nilai pendugaan volume puncak aliran permukaan. Sepeti halnya nilai curah hujan, menurut hasil perhitungan nilai intensitas hujan, terlihat bahwa nilai intensitas tertinggi terjadi pada bulan Maret sedangkan

52 nilai intensitas hujan terendah terjadi pada bulan Agustus. Nilai intensitas hujan ini selanjutnya akan digunakan untuk pendugaan debit puncak aliran permukaan. Menurut Tukidi (2010) curah hujan di Indonesia bagian barat memiliki nilai yang cukup tinggi. Khususnya di Jawa Barat dan sekitarnya dimana curah hujan yang terjadi memiliki nilai rata-rata sebesar 2.000-3.000 per tahun. Jika dibandingkan dengan curah hujan di DAS Ciambulawung, dapat dikatakan bahwa wilayah penelitian memiliki curah hujan yang lebih tinggi, yakni mencapai 3.292,28 mm selama tahun 2011. Hal ini wajar terjadi karena DAS Ciambulawung terletak di daerah pegunungan, yaitu sekitar 680-1.188 mdpl. Dengan melihat keadaan tersebut, maka DAS Ciambulawung sesungguhnya memiliki potensi ketersediaan air yang cukup besar, baik sebagai air permukaan (debit dan volume sungai) maupun air tanah. Debit dan Volume Puncak Pendugaan nilai debit puncak dipengaruhi oleh beberapa variabel, antara lain adalah bentuklahan, curah hujan, penutupan/penggunaan lahan, jenis tanah dan sifat fisik tanah di wilayah tersebut. Bentuklahan sangat terkait dengan morfometrinya (lereng) dimana semakin curam lereng dari suatu bentuklahan maka laju aliran permukaan (run off) akan semakin cepat. Akan tetapi faktor lereng dikategorikan sebagai faktor yang relatif permanen karena perubahannya sangat lama atau cenderung tetap. Tanah juga merupakan bagian dari bentuklahan karena tanah merupakan bagian paling luar (permukaan) bentuklahan yang kontak langsung dengan atmosfir dan mengalami proses pelapukan (weathering). Sifat fisik tanah ditentukan oleh bahan induk atau litologi penyusun bentuklahan beserta proses-proses geomorfik yang berlangsung di permukaan, termasuk organisme, flora-fauna, dan aktivitas manusia yang menghasilkan beragam bentuk penutupan/penggunaan lahan pada suatu bentanglahan. Faktor atmosfir banyak memberikan sumbangan terhadap proses pelapukan, antara lain adanya variasi suhu, kelembapan, dan curah hujan pada setiap waktu atau musim. Curah hujan dalam hidrologi dinyatakan berbanding lurus dengan nilai debit, karena curah hujan mempengaruhi volume air yang tertampung di dalam DAS sebelum sampai ke sungai (outlet). Dalam hal ini penutupan/penggunaan

53 lahan merupakan faktor yang banyak berpengaruh terhadap air yang tertampung di dalam DAS sebelum masuk ke dalam sungai. Perbedaan tipe penutupan/penggunaan lahan yang ada di dalam DAS akan memberikan dampak yang berbeda terhadap besarnya volume air yang masuk ke dalam sungai. Dalam kajian hidrologi, faktor penutupan/penggunaan lahan menentukan besarnya nilai koefisien aliran permukaan (C) dan Curve Number (CN) untuk pendugaan debit dan volume puncak aliran permukaan. Dalam penelitian ini metode yang digunakan untuk menetapkan nilai C dan CN mengacu pada klasifikasi yang dikembangkan oleh Schwab et al. (1981) dalam Arsyad (2001). Dalam metode ini penetapan nilai-nilai tersebut didasarkan atas pengelompokan jenis penggunaan lahan tertentu dan kondisi hidrologi (keadaan tanah terhadap drainase air) di suatu wilayah. Secara rinci penetapan ini disajikan pada Lampiran (Tabel 4 dan Tabel 5). Penetapan kondisi hidrologi ditentukan dengan memperhatikan karakteristik tanah di DAS Ciambulawung, salah satunya adalah dari faktor sifat fisik tanah. Setelah dikelompokkan penggunaan lahannya, nilai C dan CN di konversi terhadap luas wilayah DAS Ciambulawung, dalam hal ini digunakan metode pembobotan (Tabel Lampiran 7). Tabel 13 berikut merupakan hasil dari perhitungan nilai pendugaan debit dan volume puncak aliran permukaan yang dihitung berdasarkan nilai curah hujan tahun 2011 yang diukur di lapangan. Tabel 13. Pendugaan Volume Puncak (Q=mm) dari Curah Hujan Rata-Rata/bulan dan Debit Puncak (q=l/detik) (Tahun 2011). No. Bulan Q(Volume puncak_mm) q(debit puncak_l/detik) 1 Januari* 82,14 622,38 2 Februari* 77,10 424,68 3 Maret* 528,57 1.054,38 4 April* 348,41 783,46 5 Mei* 304,87 329,49 6 Juni** 17,85 344,14 7 Juli** 12,83 190,37 8 Agustus** 2,03 205,02 9 September** 6,22 439,33 10 Oktober* 87,67 878,65 11 Nopember* 486,97 1.098,31 12 Desember* 115,67 366,10 Keterangan : (*) Bulan Basah :CH >100 mm; (**) Bulan Kering : CH<100 mm

54 Berdasarkan tabel tersebut di atas terlihat bahwa pada bulan basah (musim hujan) besarnya debit maksimum terjadi di bulan Maret sebesar 1.054,38 L/detik, yang dapat dikatakan sebagai debit puncak atau bajir, sedangkan debit minimum yang dihasilkan hanya sebesar 205,02 L/detik yang terjadi pada bulan Agustus. Hal ini menggambarkan bahwa tingkat curah hujan maupun intensitas curah hujan terjadi di bulan Maret tersebut, sehingga jumlah air terbesar yang tertampung di dalam DAS Ciambulawung adalah pada bulan itu dibandingkan dengan bulanbulan lainnya, khususnya pada bulan basah. Hal yang sama terjadi pada volume puncak, dimana pada bulan Maret volume yang dihasilkan mencapai angka sebesar 582,57 mm, sedangkan volume minimum hanya sebesar 2,03 mm (Agustus). Tabel 13 ini sesungguhnya juga dapat menunjukkan keterkaitan antara jumlah curah hujan yang terjadi terhadap jumlah air yang tertampung di dalam DAS pada kondisi penggunaan lahan tahun 2011. Pendugaan nilai debit puncak dan volume puncak sesungguhnya dapat diterapkan juga terhadap kondisi penutupan/penggunaan lahan versi TNGHS. Dengan asumsi kondisi curah hujan yang sama (tahun 2011) maka angka-angka debit puncak dan volume puncak yang diperoleh seperti yang tersaji pada Tabel 14. Dengan membandingkan Tabel 13 dengan Tabel 14 maka akan dilihat bahwa tipe penggunaan lahan berpengaruh besar terhadap nilai debit dan volume puncak aliran permukaan (run off). Berdasarkan Tabel 12, 13, dan 14, maka terlihat bahwa nilai debit dan volume puncak aliran permukaan pada penggunaan lahan aktual menjadi paling besar dibandingkan dengan debit dan volume puncak aliran permukaan versi TNGHS yang terjadi di bulan Maret. Hal ini dikarenakan pada penggunaan lahan aktual memiliki luas penggunaan lahan hutan lebih sempit di antara keduanya. Seperti diketahui bahwa hutan memiliki kemampuan dalam menahan air paling tinggi dan membantu menyerap jumlah air kedalam tanah paling banyak dibandingkan dengan penggunaan lahan lainnya seperti semak belukar, kebun campuran, sawah tanah terbuka, dan permukiman. Karakteristik atau kemampuan hutan ini dapat ditunjukkan dengan besarnya volume aliran permukaan (nilai koefisien dan bilangan kurva) yang dihasilkan paling kecil daripada penggunaan

55 lahan lainnya. Nilai koefisien aliran permukaan ini akan dibahas lebih rinci pada bab selanjutnya, yakni pemodelan. Selain menduga nilai debit dan volume pucak aliran permukaan, penelitian ini juga melakukan pengukuran debit di lapangan. Hal ini dilakukan untuk menganalisis keterkaitan antara nilai pendugaan dengan nilai terukur sesaat di lapangan. Tabel 14. Pendugaan Vol.puncak (Q=mm) dari ch rata-rata/bulan dan Debit puncak (q=l/detik) Sungai Ciambulawung Berdasarkan Peta Tata Guna Hutan TNGHS Tahun 2003. No. Bulan Q(Volume puncak_mm) q(debit puncak_l/detik) 1 Januari* 66,27 311,19 2 Februari* 61,77 212,34 3 Maret* 493,28 527,19 4 April* 317,61 391,73 5 Mei* 276,29 164,75 6 Juni** 11,43 172,07 7 Juli** 7,62 95,19 8 Agustus** 3,74 102,51 9 September** 2,95 219,66 10 Oktober* 71,46 439,33 11 Nopember* 452,53 549,16 12 Desember* 96,67 183,05 Keterangan : (*) Bulan Basah :CH >100 mm; (**) Bulan Kering : CH<100 mm

56 Tabel 15 menunjukkan debit sungai aktual pada Titik A saat musim hujan (Februari) sebesar 242,71 L/detik sedangkan pada saat musim kemarau (Juli) menjadi 36.1 L/detik. Titik A (Gambar 17) terletak pada saluran yang menuju atau masuk ke PLTMH untuk mengoperasikan turbin. Besarnya debit sungai pada musim penghujan tersebut sangat mencukupi untuk dapat memutar turbin PLTMH, karena menurut Sugardana et al. (2005) dalam Tjahjono et al. (2011) debit minimal untuk dapat mengoperasikan PLTMH (10 KVA) adalah sebesar 127,4 L/detik. Namun demikian untuk musim kemarau debit sungai yang ada tidak mencukupi. Hal ini sesuai dengan kondisi yang ditemukan pada saat survei di lapangan (bulan Juli), dimana aliran listrik di Kampung Lebak Picung terlihat padam. Menurut warga kejadian ini berlangsung selama empat bulan. Kejadian ini tampak memprihatinkan bagi warga setempat, sehingga yang perlu dicarikan adalah pemecahannya agar arus listrik dapat mengalir sepanjang tahun. Tabel 15. Pengukuran Debit Aktual DAS Ciambulawung Tahun 2010. Titik* Debit Hujan (L/s) Debit Musim Kemarau (L/detik) A 242,71 36,1 B 153,60 28,54 C 39,45 16,20 D 66,15 15,96 E 26,03 4,55 F 39,30 13,05 G 118,23 51,38 H 51,10 35,21 I 112,38 49,25 *Titik/lokasi pengukuraan terdapat pada Gambar 17

Gambar 17. Peta Lokasi Pengukuran Debit Aktual DAS Ciambulawung 57

58 Berdasarkan kondisi aktual bentanglahan di DAS Ciambulawung dan hasil analisis pendugaan debit dan volume puncak sungai yang telah dilakukan, maka dapat dikatakan bahwa keberlanjutan PLTMH ke depan masih dapat beroperasi. Namun demikian jika melihat hasil perhitungan debit aktual yang diukur di lapangan pada musim kemarau 2011 terbukti bahwa PLTMH tidak dapat berfungsi dalam beberapa waktu. Tentunya data debit yang didapatkan ini hanya data sesaat tahun 2011, sehingga masih diperlukan data yang lebih banyak lagi untuk dapat menyimpulkan dengan lebih baik. Berkaitan dengan masalah debit untuk PLTMH ini, kiranya ada hal lain yang perlu diperhatikan pula, yaitu pemakaian aliran sungai Ciambulawung di atas lokasi PLTMH. Berdasarkan informasi warga Lebak Picung dan pengamatan lapang, pemanfaatan aliran sungai di atas lokasi PLTMH ternyata tidak hanya untuk memutar turbin PLTMH saja atau mengairi sawah di kampung Lebak Picung, namun juga untuk mengairi sawah-sawah di kampung lain, seperti Kampung Karang Ropong melalui suatu outlet yang berada di atas lokasi turbin PLTMH. Kampung Karang Ropong terletak agak jauh dari Kampung Lebak Picung, berjarak sekitar 1 jam jika ditempuh dengan jalan kaki. Berdasarkan hasil pengukuran debit di lapangan didapatkan bahwa besarnya debit yang keluar dari sungai Ciambulawung dan masuk ke saluran irigasi sebesar 51,10 L/detik pada musim hujan dan 35,21 L/detik pada musim kemarau (titik H pada Tabel 14). Dan besarnya debit sisa yang masih mengalir di dalam sungai Ciambulawung (titik I) adalah sebesar 112,38 L/detik saat musim hujan dan 49,25 L/detik saat musim kemarau. Apabila debit yang keluar (mengalir ke saluran irigasi) ditutup dan dialirkan ke sungai menuju PLTMH maka akumulasi antara titik G, H dan I sebenarnya menghasilkan debit yang mencukupi, yaitu 135, 84 L/detik atau di atas debit minimum yang dibutuhkan untuk untuk memutar turbin. Berkaitan dengan perhitungan tersebut, sesungguhnya PLTMH masih bisa beroperasi di musim kemarau jika ada perbaikan sistem pembagian pemakaian air dengan Desa Karang Ropong, artinya kesepakatan ini bertujuan untuk dapat mengatur pemakaian aliran sungai Ciambulawung sehingga kedua warga kampung tersebut dapat memanfaatkan sungai Ciambulawung dengan optimal. Selain itu diperlukan pula perbaikan teknik pembendungan air yang lebih baik, karena kondisi bendungan yang ada sekarang ini masih sangat sederhana seperti

59 yang ditampilkan pada Gambar 18, sehingga masih banyak air yang lolos ke luar bendunga. Keterangan: : Arah Arus Air Menuju Ke Saluran Turbin PLTMH Gambar 18. Kondisi bendungan yang dipakai untuk PLTMH sebelum dimasukkan ke saluran menuju turbin Solusi lain yang dapat dilakukan untuk meningkatkan debit sungai di musim kemarau antara lain adalah mengubah luasan tipe penggunaan lahan tertentu yang ada di dalam DAS Ciambulawung. Dalam hal ini kawasan hutan perlu diperluas. Maksud dari perluasan adalah untuk dapat menyimpan air lebih banyak atau mempunyai cadangan air yang lebih pasti mencukupi daripada yang ada sekarang (karena sesungguhnya cadangan yang ada masih bisa dimanfaatkan untuk operasi PLTMH di musim kemarau seperti diuraikan di atas). Perluasan cakupan hutan mungkin dapat menyesuaikan dengan rencana seperti yang tertuang di dalam peta TNGHS Tahun 2003, yakni luas hutan sebesar 538,07 Ha atau diperlukan tambahan perluasan sebesar 199,52 Ha jika dibandingkan dengan luas hutan dari penggunaan lahan aktual Tahun 2010. Meskipun disadari juga bahwa pelaksanaannya mungkin tidak mudah karena akan dapat menimbulkan konflik dengan masyarakat di sekitarnya. Namun demikian sebelum melangkah lebih jauh untuk memikirkan solusi lain, yang perlu diketahui terlebih dahulu adalah mengetahui kualitas lingkungan DAS Ciambulawung itu sendiri melalui analisis kecocokan (fitness) pemanfaatan lahannya. Dengan demikian jika ditemukan wilayah-wilayah yang kurang atau tidak cocok antara pemanfaatan dengan kondisi lingkungan DAS, maka tahap perbaikan pemanfaatan lahan ini yang perlu diprioritaskan terlebih dahulu sebelum menginjak kepada langkah-langkah yang lain.

60 Kecocokan Penggunaan Lahan (Land Use Fitness) Dalam penelitian ini kecocokan pemanfaatan lahan dikelaskan menjadi 4 kelas mengacu pada penelitian Hidiya (2011), yaitu cocok, agak cocok, kurang cocok, dan tidak cocok. Kecocokan ini didasarkan pada 3 variabel, yaitu kemampuan lahan, fungsi/manfaat penggunaan lahan, dan kepatutannya yang dinilai secara kualitatif. Seperti yang telah diuraikan pada Bab Metode Penelitian bahwa suatu penggunaan lahan dikatakan cocok apabila dipandang dari aspek kemampuan lahan tidak mempunyai kendala, mempunyai fungsi atau manfaat cukup baik untuk lingkungan, memiliki kepatutan keberadaan penggunaan lahan tersebut dan tidak mempunyai dampak negatif yang besar di waktu sekarang dan mendatang (nilai = 3). Dikatakan agak cocok jika ada salah satu kendala dari ketiga aspek tersebut (nilai = 2), kurang cocok jika ada dua aspek yang menjadi kendala (nilai = 1), dan dikatakan tidak cocok apabila semua aspek menjadi kendala (nilai = 0). Hasil analisis kecocokan penggunaan lahan aktual di DAS Ciambulawung disajikan pada Tabel 16 dan Gambar 19, adapun kecocokan penggunaan lahan untuk versi TNGHS dicantumkan pada Tabel 17 dan Gambar 20 Tabel 16. Luas Tingkat Kecocokan Penggunaan Lahan DAS Ciambulawung Tahun 2010. Kecocokan Ekologi Bentang Lahan Luas lahan Ha % Tidak Cocok 1,83 0,33 Kurang Cocok 14,41 2,60 Agak Cocok 163,39 29,46 Cocok 375,09 67,62 Total 554,72 100,00 Tabel 17. Luas Tingkat Kecocokan Penggunaan Lahan DAS Ciambulawung versi TNGHS Kecocokan Ekologi Bentang Lahan Luas lahan Ha % Tidak Cocok 0,00 0,00 Kurang Cocok 44,90 8,09 Agak Cocok 155,18 27,97 Cocok 354,63 63,94 Total 554,72 100,00

Gambar 19. Peta Kecocokan Penggunaan Lahan DAS Ciambulawung. 61

62 PETA KECOCOKAN PENGGUNAAN LAHAN VERSI TNGHS DAS CIAMBULAWUNG, LEBAK, BANTEN Gambar 20. Peta Kecocokan Penggunaan Lahan DAS Ciambulawung Versi TNGHS

63 Pada Tabel 16 dapat disimak bahwa wilayah penelitian mempunyai kualitas lingkungan yang masih baik yang ditunjukkan dari besarnya persentase luas penggunaan lahan yang berada pada tingkat cocok dan agak cocok yaitu mencapai 97,08 %. Hal ini mengindikasikan bahwa DAS Ciambulawung tidak mengalami kerusakan atau kecenderungan kerusakan ekologi yang besar. Nilai ini bahkan lebih tinggi jika dibandingkan dengan tingkat kecocokan untuk penggunaan lahan versi TNGHS (Tabel 17) yang hanya mencapai persentase sebesar 91,91%. Hal ini dapat terjadi disebabkan sebagian luas hutan tidak sesuai dengan kemampuan lahannya, yakni terdapat di wilayah dengan kelas I, II, III yang seharusnya lebih cocok dimanfaatkan sebagai lahan pertanian intensif, tanaman tahunan, atau bahkan permukiman. Dari segi fungsi, hutan kurang cocok pada kelas kemampuan lahan tersebut, karena salah satu fungsi hutan adalah untuk konservasi tanah, air, udara dan biologi sehingga lebih cocok jika berada pada lahan yang memiliki potensi bahaya erosi tinggi atau memiliki kemiringan lereng curam dan juga pada lahan yang berdrainase buruk. Dari segi kepatutan/estetika hutan sangat cocok sebagai penghias landskap perbukitan ataupun pengunungan sehingga dapat menjadi penyejuk jiwa manusia dan penghasil oksigen. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dikatakan bahwa DAS Ciambulawung pada kondisi aktual masih berfungsi baik dalam menyediakan air permukaan atau air tanah sesuai dengan kemampuan atau karakteristik bentanglahan yang ada, yaitu untuk menopang siklus hidrologi dan sebagai wadah untuk menampung air hujan. Meskipun juga disadari bahwa pada penggunaan lahan aktual ini masih terdapat sebagian kecil dari wilayahnya yang perlu mendapat perbaikan pemanfaatan lahan agar tidak merusak fungsi ekologi, yaitu pada kelas kurang cocok dan tidak cocok. Wilayah yang yang berada pada kategori kurang cocok dan tidak cocok ini memiliki luasan berturut-turut sebesar 14,41 Ha dan 1,83 Ha dengan jenis penggunaan lahan hutan, kebun campuran, sawah dan lahan terbuka. Jenis-jenis penggunaan lahan ini terdapat pada area yang tidak sesuai dengan kondisi kemampuan lahannya, atau dari segi manfaat dan/atau kepatutan. Ketidakcocokan atau kekurangcocokan kebun campuran, sawah, dan lahan terbuka disebabkan

64 oleh kondisi kemampuan lahan yang ada di DAS Ciambulawung didominasi oleh kelas III sampai VII yang memiliki potensi erosi yang cukup tinggi, sehingga lereng dalam hal ini menjadi kendala utama. Adapun untuk hutan, karena berada pada kemampuan lahan kelas I, sehingga masuk dalam kategori kurang cocok. Untuk memperbaiki kondisi ini, maka perlu dilakukan pengelolaan yang lebih arif, seperti melakukan praktek-praktek konservasi tanah, baik dalam bentuk pergiliran tanaman, sistem tumpang sari (terutama untuk tanaman semusim dan kebun campuran), reboisasi hutan pada lahan miring hingga terjal khususnya pada lahan-lahan terbuka (untuk mengurangi erosi), maupun kesadaran untuk ikut serta dalam menjaga atau melestarikan lingkungan dari masyarakat setempat ataupun pemerintah. Pemodelan Debit dan Volume Puncak Aliran Permukaan berdasarkan luas penutupan/penggunaan lahan Berikut ini dilakukan simulasi terhadap besarnya nilai pendugaan debit dan volume puncak sungai Ciambulawung berdasarkan pada kondisi penutupan/penggunaan lahan aktual di DAS Ciambulawung dan berdasarkan pada peta TGHK (TNGHS) tahun 2003. Hasil penilaian pendugaan terhadap kedua sumber tersebut disajikan pada Tabel 18, sedangkan untuk pemodelan ini curah hujan yang digunakan adalah curah hujan maksimum yang terjadi di Tahun 2011. Mengacu pada hasil pemodelan yang disajikan pada Tabel 18, dapat diterangkan bahwa nilai CN total dari penggunaan lahan aktual mempunyai nilai lebih tinggi (61,41) dibandingkan dengan nilai dari TNGHS, sehingga menyebabkan nilai volume puncak aliran (Q) juga ikut besar (2.968,21 mm). Besarnya angka ini pada dasarnya lebih disebabkan oleh kecilnya nilai luasan hutan pada penggunaan lahan aktual (338,55 Ha) daripada luas yang ada pada peta TNGHS (538,07 Ha), meskipun luas kebun campuran pada penggunaan lahan aktual paling tinggi (157,11 Ha) daripada versi TNGHS (9,51 Ha), namun luasan kebun campuran masih belum dapat mengimbangi penurunan nilai volume puncak aliran. Dengan sempitnya luasan hutan pada penggunaan lahan aktual, maka hal ini berpengaruh terhadap besarnya nilai koefisien aliran permukaan (C) dimana nilainya menjadi tinggi (0.04) dibandingkan dengan nilai pada versi TNGHS

65 (0,02). Mengingat bahwa nilai C terkait erat dengan nilai debit puncak (q), maka pada penggunaan lahan aktual nilai q juga menjadi lebih terbesar (628,01 L/s) dibandingkan dengan nilai q versi TNGHS (281,37 L/s). Hal ini menyiratkan bahwa pada penggunaan lahan aktual, selama musim penghujan banyak melahirkan aliran permukaan namun kurang dapat menyimpan air di dalam tanah, sehingga pada musim kemarau debit puncak yang dihasilkan menjadi sangat kecil. Melihat angka-angka pada Tabel 18, maka dapat dikatakan bahwa faktor penutupan/penggunaan lahan di dalam DAS Ciambulawung cukup mempengaruhi terhadap nilai debit dan volume puncak aliran sungai Ciambulawung. Kita menyadari bahwa perubahan penutupan/penggunaan lahan terkait erat dengan dinamika kegiatan manusia, sehingga manusia adalah sebagai motor utama atau faktor yang sangat dinamis terhadap perubahan penutupan/penggunaan lahan. Namun demikian, besar atau kecilnya nilai debit dan volume puncak sesungguhnya tidak bisa terlepas pula dari aspek-aspek geomorfologis (bentuklahan, lereng, tanah) dan klimatik (curah hujan), karena tipe-tipe tutupan vegetasi dan pemanfaatan di atasnya sangat dipengaruhi oleh faktor fisioklimatis seperti tersebut di atas. Sehingga di sini dapat disimpulkan bahwa dari sudut pandang ekologi bentanglahan, aspek-aspek hidrologi, seperti debit dan volume puncak untuk sungai Ciambulawung, sangat ditentukan oleh parameter-parameter geomorfologis, klimatologis, dan penutup lahan, namun mengingat bahwa DAS Ciambulawung merupakan DAS yang berukuran kecil (554,72 Ha), tersusun oleh litologi yang relatif seragam (vulkanik), morfologi dominan yang seragam (perbukitan/pegunungan), dan curah hujan di dalam DAS yang juga relatif seragam, sebesar 3292,27 mm untuk tahun 2011, maka dari sisi ekologi bentanglahan, parameter penutup lahan di DAS Ciambulawung menjadi faktor yang sangat menentukan terhadap cepatnya perubahan kondisi hidrologi yang terkait dengan debit dan volume puncak aliran sungai. Dengan demikian untuk mendukung berjalannya PLTMH Lebak Picung sepanjang tahun, maka pengelolaan penggunaan lahan perlu sangat diperhatikan, sedangkan nilai debit dan volume puncak aliran sungai Ciambulawung dapat diduga melalui simulasi atau pemodelan luas dan tipe penutup lahannya.

66 Tabel 18. Pengaruh Perbedaan Luasan Jenis Penggunaan Lahan Terhadap Nilai Volume dan Debit Puncak Aliran Permukaan. Pengamatan 2010 TGHK Versi TNGHS (Kemenhut) Luas Nilai CN Nilai Nilai C / Penggunaan Penggunaan Nilai S /Penggunaan CN Q (mm)* penggunaan Lahan Lahan (mm) Lahan Pembobotan lahan (Hektar) Kebun campuran 157,11 70 0,03 Semak belukar 32,09 71 0,02 Sawah 23,69 81 0,44 61,41 159,60 2968,21 Permukiman 1,08 82 0,60 Hutan 338,55 55 0,02 Tanah terbuka 2,20 74 0,65 Kebun campuran 9,51 70 0,03 Semak belukar 4,07 71 0,02 Sawah t 2,64 81 0,44 55,51 203,55 2920,20 Permukiman 0,00 82 0,60 Hutan 538,07 55 0,02 Tanah terbuka 0,43 74 0,65 Ket : *Faktor Curah hujan per tahun diasimsikan konstan (Curah hujan maksimum) Nilai C q (L/s)* Pembobotan 0,04 628,01 0,02 281,37

67 Dari contoh perbandingan 2 tipe dan luas penutup lahan di atas, versi TNGHS dinilai menjadi versi terbaik untuk mendukung PLTMH karena mempunyai debit puncak yang relatif kecil, yang berarti bahwa curah hujan yang tertangkap di dalam DAS sepanjang musim hujan akan banyak tersimpan di dalam tanah dan akan dikeluarkan sebagai aliran dasar sungai (base flow) pada musim kemarau. Dengan demikian, versi TNGHS berpotensi untuk dapat mendukung berjalannya PLTMH di musim kemarau. Meskipun disadari bahwa jika versi TNGHS ini benar-benar diterapkan, maka akan banyak kebun campuran, semak belukar dan persawahan yang terkonversi menjadi hutan, seperti yang di tunjukkan oleh peta penggunaan lahan aktual jika dibandingkan dengan peta TNGHS (Gambar 19). Selain itu jika ketetapan TNGHS diterapkan nampaknya tidak memungkinkan bagi warga Lebak Picung untuk tetap tinggal di kampungnya sendiri, kecuali ada kebijakan khusus dari pemerintah. Jika kampung terpaksa harus ditinggalkan, maka sesungguhnya tidak perlu mempertahankan PLTMH karena keberadaan PLTMH adalah untuk warga di Lebak Picung. Berkaitan dengan hal tersebut, mengingat kondisi penutupan/penggunaan lahan aktual yang ada di DAS Ciambulawung dinilai sudah menunjukkan kondisi yang baik, dalam arti mempunyai kecocokan penggunaan lahan yang tinggi atau 97 % cocok dan agak cocok (melebihi nilai kecocokan untuk versi TNGHS), serta kecilnya peluang dapat memperluas hutan (karena dapat menimbulkan konflik sosial), maka untuk dapat menaikkan debit sungai Ciambulawung di musim kemarau maka dapat diupayakan dengan cara-cara lain, seperti (a) perbaikan teknik penampungan air (bendungan) menjadi lebih baik, (b) melakukan kesepakatan dengan penduduk Desa Karang Ropong untuk pemakaian air sungai Ciambulawung secara bersama, (c) PLTMH yang ada saat ini perlu diubah atau dimodifikasi sedemikian rupa sehingga dapat berfungsi atau beroperasi dengan debit yang lebih kecil, dan (d) dicarikan model pembangkit tenaga listrik lain yang mampu bekerja sesuai dengan debit sungai Ciambulawung pada musim kemarau, misalnya dengan model kincir air atau yang lainnya.