BAB 5 PEMBAHASAN. Tabel 5.1 Ringkasan Hasil Regresi

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH

BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH

BAB I PENDAHULUAN. yang melibatkan seluruh kegiatan dengan dukungan masyarakat yang. berperan di berbagai sektor yang bertujuan untuk meratakan serta

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi mengikuti pola yang tidak selalu mudah dipahami. Apabila

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN. Provinsi Jawa Tengah sebagai salah satu Provinsi di Jawa, letaknya diapit

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumber-sumber yang ada

I. PENDAHULUAN. cepat, sementara beberapa daerah lain mengalami pertumbuhan yang lambat.

BAB I PENDAHULUAN. meningkat. Kemampuan yang meningkat ini disebabkan karena faktor-faktor. pembangunan suatu negara (Maharani dan Sri, 2014).

BAB III METODE PENELITIAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB III METODE PENELITIAN. mengemukakan definisi metode penelitian sebagai berikut: mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu.

BAB III METODE PENELITIAN

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. hasil dari uji heterokedastisitas tersebut menggunakan uji Park. Kriteria

BAB I PENDAHULUAN. sampai ada kesenjangan antar daerah yang disebabkan tidak meratanya

PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2013

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. 5.1 Trend Kesenjangann Ekonomi Antar Wilayah di Provinsi Jawa Tengah

BAB III METODE PENELITIAN. kabupaten/kota di provinsi Jawa Tengah yang terdiri dari : 1. Kab. Banjarnegara 13. Kab. Demak 25. Kab.

PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH TAHUN 2014 PROVINSI JAWA TENGAH

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN. Jawa Tengah terletak di antara B.T B.T dan 6 30 L.S --

BAB 1 PENDAHULUAN. dan Jusuf Kalla, Indonesia mempunyai strategi pembangunan yang

PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2018 TAHUN 2012 TENTANG

ASPEK : PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMAKAIAN KONTRASEPSI INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU

TABEL 4.1. TINGKAT KONSUMSI PANGAN NASIONAL BERDASARKAN POLA PANGAN HARAPAN

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH AGUSTUS 2011: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 5,93 PERSEN

BAB I PENDAHULUAN. terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan yang didasarkan kekhasan daerah

ASPEK : PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMAKAIAN KONTRASEPSI INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2015

BAB I PENDAHULUAN. (Khusaini 2006; Hadi 2009). Perubahan sistem ini juga dikenal dengan nama

Lampiran 1. Data Penelitian No Kabupaten Y X1 X2 X3 1 Kab. Cilacap Kab. Banyumas Kab.

Gambar 1 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Jawa Tengah,

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan merangsang proses produksi barang. maupun jasa dalam kegiatan masyarakat (Arta, 2013).

GUBERNUR JAWA TENGAH

GUBERNUR JAWA TENGAH

BAB III METODE PENELITIAN. kepada pemerintah pusat. Penulis melakukan pengambilan data

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 27 TAHUN 2015 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. turun, ditambah lagi naiknya harga benih, pupuk, pestisida dan obat-obatan

BAB I PENDAHULUAN. rakyat. Untuk mencapai cita-cita tersebut pemerintah mengupayakan. perekonomian adalah komponen utama demi berlangsungnya sistem

GUBERNUR JAWA TENGAH

BAB IV GAMBARAN UMUM

BAB I PENDAHULUAN. sejahtera, makmur dan berkeadilan. Akan tetapi kondisi geografis dan

Gambar 4.1 Peta Provinsi Jawa Tengah

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2015

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK

III. METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional. Pembangunan di Indonesia secara keseluruhan

BAB I PENDAHULUAN. menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan

1. REKAP DATA REALISASI APBD DAN (PDRB) PROVINSI JAWA TENGAH. TAHUN 2011 (dalam jutaan rupiah)

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan ke arah desentralisasi. Salinas dan Sole-Olle (2009)

BAB I PENDAHULUAN. World Bank dalam Whisnu, 2004), salah satu sebab terjadinya kemiskinan

BPS PROVINSI JAWA TENGAH

ASPEK : PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMAKAIAN KONTRASEPSI INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH

BAB I PENDAHULUAN. kebijakan tersendiri dalam pembangunan manusia,hal ini karena. sistem pemerintahan menjadi desentralisasi.

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Pada bab ini dilakukan analisis model Fixed Effect dan pengujian

PROVINSI JAWA TENGAH. Data Agregat per K b t /K t

BAB I PENDAHULUAN. perubahan mendasarkan status sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusiinstitusi

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH

BAB 4 ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. memperbaiki struktur pemerintahan dan kualitas pembangunan nasional guna

I. PENDAHULUAN. bertujuan untuk mencapai social welfare (kemakmuran bersama) serta

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH

BAB I PENDAHULUAN. untuk meningkatan pertumbuhan PDB (Produk Domestik Bruto) di tingkat

I. PENDAHULUAN. negara untuk mengembangkan outputnya (GNP per kapita). Kesejahteraan

KONDISI UMUM PROVINSI JAWA TENGAH

BPS PROVINSI JAWA TENGAH

METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. keadilan sejahtera, mandiri maju dan kokoh kekuatan moral dan etikanya.

Lampiran 1. Data Penelitian

TABEL 2.1. ESTIMASI KETERSEDIAAN PANGAN JAWA TENGAH 2013 ASEM _2012

PENEMPATAN TENAGA KERJA. A. Jumlah Pencari Kerja di Prov. Jateng Per Kab./Kota Tahun 2016

PENEMPATAN TENAGA KERJA

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan pembangunan ekonomi tradisional. Indikator pembangunan

BERITA RESMI STATISTIK

KEGIATAN PADA BIDANG REHABILITASI SOSIAL TAHUN 2017 DINAS SOSIAL PROVINSI JAWA TENGAH

KATA PENGANTAR. Demikian Buku KEADAAN TANAMAN PANGAN JAWA TENGAH kami susun dan semoga dapat digunakan sebagaimana mestinya.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sektor industri mempunyai peranan penting dalam pembangunan ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan dasar hidup sehari-hari. Padahal sebenarnya, kemiskinan adalah masalah yang

GUBERNUR JAWA TENGAH,

RUANG LINGKUP KERJA DINAS TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI PROVINSI JAWA TENGAH

TIM KOORDINASI PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAERAH KABUPATEN KENDAL. 0 Laporan Pelaksanaan Penanggulangan Kemiskinan Daerah (LP2KD) Kabupaten Kendal

BPS PROVINSI JAWA TENGAH

EVALUASI DAERAH PRIORITAS PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAN PENARGETAN BERBASIS WILAYAH

KEMENTERIAN DALAM NEGERI DIREKTORAT JENDERAL BINA KEUANGAN DERAH

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Analisis pertumbuhan..., Edi Tamtomo, FE UI, 2010.

Keadaan Tanaman Pangan dan Hortikultura Jawa Tengah April 2015

Keadaan Ketenagakerjaan Provinsi Jawa Tengah Agustus 2017

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Tembakau merupakan salah satu komoditas perdagangan penting di dunia. Menurut Rachmat dan Sri (2009) sejak tahun

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. mengenai situasi dan kondisi latar penelitian. Menurut Arikunto (1989),

ANALISIS FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT PENGANGGURAN DI PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN

LUAS TANAM, LUAS PANEN DAN PREDIKSI PANEN PADI TAHUN 2016 DINAS PERTANIAN TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA PROVINSI JAWA TENGAH

GUBERNURJAWATENGAH. PERATURANGUBERNUR JAWA TENGAH NOM0R '2 TAJroJii 2e15 TENTANG

ANALISIS PENGARUH PELAKSANAAN DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP PDRB DI KABUPATEN/KOTA PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN

GUBERNUR JAWA TENGAH

PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 116 TAHUN 2016 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

Transkripsi:

BAB 5 PEMBAHASAN 5.1 Pembahasan Hasil Regresi Dalam bab ini akan dibahas mengenai bagaimana pengaruh PAD dan DAU terhadap pertumbuhan ekonomi dan bagaimana perbandingan pengaruh kedua variabel tersebut terhadap pertumbuhan ekonomi mengingat kedua variabel tersebut sama-sama sebagai komponen penerimaan daerah dan sama-sama mewakili variabel modal fisik dalam model pertumbuhan ekonomi. Selain itu juga dibahas tentang pengaruh dari jumlah tenaga kerja dan tingkat pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Tingkat pendidikan menggambarkan kualitas tenaga kerja sehingga akan bisa dibandingkan pengaruh tenaga kerja baik dari sisi jumlah maupun dari sisi kualitasnya. Hasil uji regresi dengan model terbaik didapat dan ringkasan hasil dapat dilihat pada tabel 5.1. Regresi ini menggunakan model fixed effect dengan weighted cross section dan metode Pooled Weighted cross. Tabel 5.1 Ringkasan Hasil Regresi Variabel Independen koefisien Keterangan Ln PAD 0,201 Signifikan pada α = 5 % Ln LABOR 0,298 Signifikan pada α = 5 % Ln SMA 0,216 Signifikan pada α = 5 % Variabel dependen Ln PDRB perkapita R squared 0,991688 Adjusted R square 0,985822 N 175, dengan cross section: 35 dan time series : 5 F statistik 169,0296 Dari tabel tersebut dapat ditulis persamaan regresi sebagai berikut Ln PDRB/cap = α0 + 0,201 ln PAD + α2 ln DAU + 0,298 ln Labor +0,216 ln SMA 53

54 Pada persamaan tersebut, konstanta dan koefisien Ln DAU tidak tertulis karena untuk variabel DAU koefisiennya akan dilihat per daerah. Jadi untuk mengetahui persamaan daerah tertentu harus dilihat nilai konstanta tiap daerah yang ditunjukkan pada tabel 5.2 dan koefisien DAU masing-masing daerah pada tabel 5.3. Misalnya untuk melihat persamaan regresi di kabupaten Kudus, maka persamaan regresi menjadi Ln PDRB/cap = 2,671 + 0,201 ln PAD + 0,227 ln DAU + 0,298 ln L +0,216 ln SMA Tabel 5.2 Nilai Intersep Tiap Kabupaten/kota Propinsi Jawa Tengah No Kab/kota Intersep No Kab/kota Intersep 1 Cilacap -9.760044 19 Kudus 2.671134 2 Banyumas -6.865347 20 Jepara -5.848459 3 Purbalingga -8.737987 21 Demak 0.178996 4 Banjarnegara -6.626416 22 Semarang -2.260795 5 Kebumen -0.756309 23 Temanggung -4.494186 6 Purworejo -5.863300 24 Kendal 3.719106 7 Wonosobo -6.792110 25 Batang -4.211556 8 Magelang -3.066749 26 Pekalongan -3.444709 9 Boyolali 0.949056 27 Pemalang -2.989861 10 Klaten -4.346907 28 Tegal -14.55080 11 Sukoharjo -2.979707 29 Brebes -4.372017 12 Wonogiri -7.451122 30 Kota Magelang 4.187729 13 Karanganyar 0.543228 31 Kota Surakarta -2.428928 14 Sragen 6.534263 32 Kota Salatiga 0.732102 15 Grobogan -3.986800 33 Kota Semarang -1.891023 16 Blora -2.502149 34 Kota Pekalongan 0.147453 17 Rembang 0.224160 35 Kota Tegal -23.94920 18 Pati -7.736772 Dalam tabel 5.1 terlihat bahwa semua variabel PAD dan Labor berpengaruh positif signifikan terhadap PDRB perkapita dimana masing-masing variabel dalam bentuk logaritma natural. Demikian juga untuk variabel DAU semua daerah berpengaruh positif terhadap PDRB perkapita. Dari 35 daerah, 31 diantaranya berpengaruh signifikan. Hanya 4 daerah yang berpengaruh tidak signifikan yaitu Kebumen, Boyolali, Sragen dan Kendal.

55 Tabel 5.3 Nilai Koefisien Variabel DAU tiap Kabupaten/kota di Jawa Tengah No Kab/kota Intersep No Kab/kota Intersep 1 Cilacap 0.201065 19 Kudus 0.227195 2 Banyumas 0.298202 20 Jepara 0.482256 3 Purbalingga 0.216129 21 Demak 0.249635 4 Banjarnegara 0.649511 22 Semarang 0.361408 5 Kebumen* 0.498197 23 Temanggung 0.438396 6 Purworejo 0.589016 24 Kendal* 0.136869 7 Wonosobo 0.516127 25 Batang 0.435779 8 Magelang 0.272914 26 Pekalongan 0.402783 9 Boyolali* 0.490854 27 Pemalang 0.362973 10 Klaten 0.516332 28 Tegal 0.784415 11 Sukoharjo 0.365843 29 Brebes 0.417022 12 Wonogiri 0.227092 30 Kota Magelang 0.156788 13 Karanganyar 0.423938 31 Kota Surakarta 0.384388 14 Sragen* 0.388426 32 Kota Salatiga 0.272656 15 Grobogan 0.532278 33 Kota Semarang 0.356328 16 Blora 0.257370 34 Kota Pekalongan 0.306604 17 Rembang 0.014401 35 Kota Tegal 1.212929 18 Pati 0.390253 Rata-rata : 0,395325 Keterangan : *) menunjukkan pengaruh yang tidak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Good of fitness (kesesuaian model) dapat dilihat pada nilai adjusted R square-nya. Nilai adjusted R square sangat tinggi yaitu 99 persen. Hal ini berarti model dapat menjelaskan hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen sebesar 99 persen dan hanya 1 persen yang tidak bisa dijelaskan oleh model. Dilihat dari uji F stat ternyata signifikan. Hal ini berarti variabel-variabel independen secara bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen. Uji asumsi klasik yang dilakukan adalah multikolinearitas dan heteroskedatiasitas. Deteksi multikolinearitas dapat dilihat dengan nilai R square yang tinggi dan pengaruh dari sebagian besar variabel independen yang tidak signifikan. Hasil regresi menunjukkan bahwa nilai R square memang sangat tinggi tetapi variabel independen berpengaruh positif signifikan dan hanya variabel DAU yang berpengaruh tidak signifikan untuk daerah tertentu. Hal ini

56 menunjukkan bahwa model ini sudah terbebas dari multikolinearitas. Untuk uji heteroskedatisitas dapat diatasi dengan menggunakan metode weighted cross section. Dalam model fixed effect, koefisien variabel independen tiap objek dalam hal ini kabupaten/kota adalah sama, namun intersep tiap daerah akan berbeda dan besarannya tetap antar waktu. Intersep adalah nilai variabel dependen seandainya variabel independen dianggap bernilai nol. Dalam model di penelitian ini, intersep bisa diartikan sebagai total factor productivity (TFP). TFP mencangkup faktorfaktor yang mengubah hubungan input dan output dan pada umumnya dikaitkan dengan kemajuan teknologi. (Mankiw:2006). 5.2 Pembahasan Variabel PAD dan DAU Variabel PAD menggambarkan kemampuan suatu daerah dalam mengoptimalkan sumber-sumber pendapatan dari daerah tersebut. Namun demikian pemungutan PAD tidak hanya sekedar mengumpulkan dana sebanyakbanyaknya, tetapi bagaimana pemungutan PAD tersebut tidak membebani masyarakat dan bagaimana penggunaan dana PAD oleh pemerintah daerah bisa memberikan manfaat kepada masyarakat termasuk dalam peningkatan kesejahteraan yang diukur melalui pertumbuhan ekonominya. Menurut hasil regresi, koefisien PAD adalah 0,20. Artinya tiap kenaikan porsi PAD terhadap PDRB sebesar 1 persen akan meningkatkan PDRB perkapita sebesar 0,20 persen atau dengan kata lain elastisitas dari PAD sebesar 0,20. Pengaruh dari PAD signifikan dengan tingkat keyakinan 5 persen. Hal ini menunjukkan bahwa PAD berpengaruh positif untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah. Ini sejalan dengan beberapa penelitian sebelumnya yaitu Pujiati (2008), Pusporini (2006) dan Kharisma (2006). Komponen utama PAD adalah pajak dan retribusi daerah. Pajak daerah yang tidak memberatkan perekonomian dan dikembalikan untuk pelayanan publik dan pemungutan retribusi daerah yang bisa meningkatkan pelayanan publik bisa menjadi pemicu pertumbuhan ekonomi. Pada daerah perkotaan atau daerah yang sudah maju, basis pajak daerah akan lebih besar karena adanya nilai tambah

57 produksi yang lebih tinggi. Basis pajak yang tinggi akan meningkatkan penerimaan daerah melalui pajak. Pajak yang dipungut dapat dibelanjakan oleh daerah untuk kepentingan publik yang dapat memacu pertumbuhan ekonomi. Hal ini terlihat pada nilai PAD lebih tinggi terdapat di daerah perkotaan dan daerah perkotaan juga memiliki nilai PDRB perkapita yang relatif lebih tinggi. Dengan demikian, peningkatan PAD yang disertai dengan pemungutan PAD yang tidak bersifat membebani dan penggunaannya yang kembali ke masyarakat akan berdampak pada peningkatan pertumbuhan ekonomi. Variabel DAU adalah dana perimbangan yang bersifat block grant dan wewenang penggunaannya diserahkan kepada daerah. DAU bertujuan mengurangi ketimpangan antar daerah dan agar daerah mampu melaksanakan tugas pelayanan minimal dalam rangka desentralisasi. Tetapi di sisi lain, DAU adalah sebagai instrumen stimulasi perekonomian daerah. Dalam hal ini pengelolaan dan pembelanjaan DAU oleh pemerintah daerah akan menentukan efektivitas dana DAU untuk mendukung perekonomian daerah. Menurut hasil regresi, variabel DAU berpengaruh positif signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi pada sebagian besar daerah di Jawa Tengah. Dengan rata-rata koefisien DAU adalah 0,38. Dilihat dari klasifikasi kabupaten dan kota, daerah kota memiliki pengaruh DAU yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Sedangkan untuk daerah kabupaten hanya ada 4 daerah yang DAU-nya berpengaruh tidak signifikan yaitu Kebumen, Kendal, Sragen dan Boyolali. Data ini menggambarkan bahwa pengaruh dana DAU di sebagian besar daerah berpengaruh positif signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian daerah kota dan daerah kabupaten tidak sepenuhnya bisa dijadikan acuan dalam menentukan signifkan tidaknya peran DAU terhadap pertumbuhan ekonomi. Demikian pula jika dilihat dari klasifikasi sektor pertanian dan sektor non-pertanian. Dari 4 daerah yang tidak signifikan, 3 daerah adalah dari sektor pertanian yaitu Kebumen, Boyolali dan Sragen. Sedangkan 1 daerah lain adalah Kendal yang dominan dengan sektor industri. Dengan demikian dominasi sektor tidak bisa dijadikan patokan terhadap pengaruh DAU terhadap pertumbuhan ekonomi.

58 Pada tabel 5.4 digambarkan perbandingan antara porsi DAU terhadap total penerimaan daerah dengan koefisien variabel DAU dari hasil regresi yang menggambarkan elastisitas DAU terhadap pertumbuhan ekonomi. Tabel 5.4 Perbandingan Persentase DAU dengan Koefisien DAU No Kab/kota % DAU Koef. DAU No Kab/kota % DAU Koef. DAU 1 Cilacap 66,44% 0.201065 19 Kudus 63,59% 0.227195 2 Banyumas 77,80% 0.298202 20 Jepara 67,00% 0.482256 3 Purbalingga 67,04% 0.216129 21 Demak 70,80% 0.249635 4 Banjarnegara 61,96% 0.649511 22 Semarang 65,65% 0.361408 5 Kebumen 78,01% 0.498197 23 Temanggung 73,04% 0.438396 6 Purworejo 74,18% 0.589016 24 Kendal* 68,42% 0.136869 7 Wonosobo 75,67% 0.516127 25 Batang 72,26% 0.435779 8 Magelang 70,35% 0.272914 26 Pekalongan 69,13% 0.402783 9 Boyolali* 74,44% 0.490854 27 Pemalang 76,34% 0.362973 10 Klaten 76,21% 0.516332 28 Tegal 75,43% 0.784415 11 Sukoharjo 72,55% 0.365843 29 Brebes 77,48% 0.417022 12 Wonogiri 71,18% 0.227092 30 Kota Magelang 71,07% 0.156788 13 Karanganyar 65,62% 0.423938 31 Kota Surakarta 56,03% 0.384388 14 Sragen* 71,87% 0.388426 32 Kota Salatiga 57,68% 0.272656 15 Grobogan 76,96% 0.532278 33 Kota Semarang 47,46% 0.356328 16 Blora 67,32% 0.257370 34 Kota Pekalongan 74,34% 0.306604 17 Rembang 68,78% 0.014401 35 Kota Tegal 61,07% 1.212929 18 Pati 68,05% 0.390253 Tabel 5.4 menunjukkan bahwa tidak ditemukan pola yang pasti mengenai porsi DAU terhadap penerimaan daerah dan elastisitas DAU terhadap pertumbuhan ekonomi. Porsi DAU tertinggi adalah Kebumen, tetapi pengaruh DAU tidak signifikan terhadap pertumbuhan. Demikian pula untuk kabupaten Sragen (71%), Boyolali (74,44%) dan Kendal (68,42%). Porsi DAU sekitar 70 persen ternyata pengaruh DAU tidak signifikan. Sementara itu untuk daerah yang porsi DAU-nya relatif rendah misalnya kota Semarang sebesar 47%, elastisitas DAU sebesar 0,35 dan kota Surakarta (56%) mempunyai elastisitas DAU senilai 0,38. Elastisitas

59 DAU tertinggi adalah di kota Tegal yaitu sebesar 1,2 dimana porsi DAU kota Tegal sebesar 61 persen. Dengan demikian porsi DAU yang besar belum tentu akan berpengaruh besar pula terhadap elastisitas DAU. Jika dibandingkan antara PAD dan DAU, maka elastisitas DAU lebih besar. Jika diambil rata-rata elastisitas DAU adalah sebesar 0,39 dan elastisitas PAD hanya sebesar 0,20. Tiap tambahan 1 rupiah dari DAU berdampak lebih besar terhadap peningkatan PDRB perkapita daripada tambahan tiap 1 rupiah dari PAD. Sebenarnya tujuan dari DAU adalah memberikan basic endowment yang sama bagi daerah untuk dapat mengoptimalkan potensi daerahnya. Jadi diharapkan peran dari PAD akan lebih besar bagi pembangunan daerah yang salah satunya adalah pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian tujuan ini belum terwujud karena peran DAU masih besar terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. 5.3 Analisa Variabel Kuantitas Tenaga Kerja dan Tingkat Pendidikan Dalam pembahasan ini akan dianalisa dan dibandingkan pengaruh variabel jumlah tenaga kerja dan kualitas pendidikan yang menggambarkan kualitas tenaga kerja. Hasil regresi menunjukkan koefisien jumlah tenaga kerja sebesar 0,29 yang artinya tiap kenaikan jumlah tenaga kerja 1 persen akan meningkatkan PDRB perkapita sebesar 0,29 persen dan signifikan pada tingkat keyakinan 5 persen Persentase penduduk usia kerja lulusan SMA ke atas terhadap total penduduk usia kerja di suatu daerah menggambarkan kualitas tenaga kerja di tiaptiap daerah. Kualitas tenaga kerja yang bagus akan meningkatkan produktivitas dan efisiensi. Hasil regresi menunjukkan bahwa variabel tersebut mempunyai koefisien sebesar 0,22. Artinya tiap kenaikan persentase tingkat pendidikan penduduk usia kerja sebesar 1 persen akan meningkatkan PDRB sebesar 0,22 persen. Variabel tersebut berpengaruh signifikan dengan tingkat keyakinan 5 persen. Hasil ini sama dengan beberapa penelitian yang dilakukan oleh Bhinadi (2003) dan Budiono (2001). Jika dibandingkan antara variabel jumlah tenaga kerja dan kualitas SDM terlihat bahwa kualitas tenaga kerja memiliki nilai elastisitas yang lebih tinggi dimana jumlah tenaga kerja sebesar 0,26 dan kualitas SDM sebesar 0,21 meskipun

60 dengan selisih yang tipis. Artinya peran dari jumlah tenaga kerja masih besar untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Masih ada sektor-sektor tertentu yang kemungkinan membutuhkan tenaga kerja yang tidak memiliki level pendidikan yang lebih tinggi misalnya sektor pertanian. 5.4 Analisa Perbedaan Pertumbuhan Ekonomi Daerah Sektor Pertanian dengan Sektor Non-pertanian Sebagaimana telah dibahas sebelumnya bahwa daerah sektor pertanian dan sektor non-pertanian memiliki beberapa perbedaan yaitu dari nilai PDRB perkapita, kepadatan penduduk dan persentase penduduk usia kerja yang berlevel pendidikan SMA ke atas. Gambaran tersebut bisa dilihat pada tabel 5.5 Jenis Daerah Tabel 5.5 Perbandingan Daerah Sektor Pertanian dan Sektor Nonpertanian Rata-rata PDRB perkapita Rata-rata Kepadatan Penduduk Rata-rata persentase tingkat pendidikan Daerah Sektor Nonpertanian Rp.5.934.982 3248,4 jiwa/km 2 25,65 % Daerah Sektor Pertanian Rp.2.697.078 875,8 jiwa/km 2 14,25 % Sumber : Jawa Tengah dalam Angka 2005-2009 (diolah) Tabel 5.5 menunjukkan bahwa rata-rata PDRB perkapita daerah sektor nonpertanian lebih tinggi dibandingkan dengan daerah sektor pertanian. Demikian pula dengan kepadatan penduduk dan persentase penduduk usia kerja lulusan SMA ke atas. Hal ini mengindikasikan bahwa penduduk yang terpusat dan tingkat pendidikan yang tinggi berarti PDRB perkapita dari suatu daerah tinggi pula dan dari data PDRB perkapita yang tinggi terjadi di daerah sektor non-pertanian. Selanjutnya hasil uji beda rata-rata pertumbuhan ekonomi daerah dapat dilihat pada tabel 5.6. Pada tabel tersebut jika dilihat dari rata-rata pertumbuhan ekonomi, daerah sektor pertanian sedikit lebih tinggi yaitu sebesar dibandingkan 4,19 persen sedangkan daerah sektor non-pertanian memiliki rata-rata pertumbuhan ekonomi sebesar 3,2 persen. Namun jika diuji secara statistik melalui uji t, ternyata probabilitasnya sebesar 0,084 dan untuk tingkat α 5 persen berarti H0 tidak ditolak. Dari uji F, probabilitasnya juga sebesar 0,084 dan artinya

61 H0 tidak ditolak. Melalui uji t dan uji F maka tidak ada perbedaan rata-rata yang signifikan. Dengan demikian tidak ada perbedaan yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi antara daerah sektor pertanian dengan daerah sektor nonpertanian. Tabel 5.6 Ringkasan Hasil Uji Analisis Varian Untuk Rata-rata Pertumbuhan Ekonomi Daerah Sektor Pertanian dengan Sektor Non-pertanian Jenis daerah Jumlah observasi Rata-rata pertumbuhan ekonomi Daerah pertanian sektor 95 4,19 persen Daerah sektor nonpertanian 80 3,20 persen t-test Nilai : 1.737897 dengan probabilitas : 0,0840 F-test Nilai : 3.020285 dengan probabilitas : 0,0840 Dalam hal jumlah PDRB perkapita, daerah sektor non-pertanian kelihatan lebih berkembang dibandingkan daerah sektor non-pertanian, tetapi jika dilihat dari tingkat pertumbuhan ekonomi maka tidak ada perbedaan tingkat pertumbuhan ekonomi tersebut. Jika hal ini terjadi secara konstan berarti daerah sektor pertanian tidak dapat mengejar ketertinggalan dari daerah non-pertanian. Secara teori, dalam jangka waktu yang panjang akan terjadi konvergensi, dimana daerah yang miskin dalam hal ini daerah sektor pertanian akan mengalami tingkat pertumbuhan yang pesat dan menyusul daerah yang kaya (daerah sektor nonpertanian) sementara daerah yang kaya pertumbuhan ekonominya cenderung melambat. Berarti ada hal-hal yang perlu dipacu bagi daerah sektor non-pertanian agar tingkat pertumbuhan ekonominya lebih tinggi dan dalam jangka panjang akan bisa terjadi konvergensi, diantaranya melalui perkembangan teknologi dan peningkatan kualitas SDM.