Fakhrani Ahliyah, Farida Prihatini, dan Sulaikin Lubis. Program Studi Ilmu Hukum. Fakultas Hukum. Universitas Indonesia.

dokumen-dokumen yang mirip
Prosiding SNaPP2014Sosial, Ekonomi, dan Humaniora ISSN EISSN Sri Turatmiyah

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama

BAB I PENDAHULUAN. menginginkan bahagia dan berusaha agar kebahagiaan itu tetap menjadi

BAB 1 PENDAHULUAN. sejak jaman dahulu hingga saat ini. Karena perkawinan merupakan suatu

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan Tuhan Yang Maha Esa secara berpasangpasangan. yaitu laki-laki dan perempuan. Sebagai makhluk sosial, manusia

BAB I PENDAHULUAN. setiap orang memiliki harapan untuk membentuk sebuah keluarga dan untuk

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.

BAB I PENDAHULUAN. mulia dibanding makhluk lainnya. Manusia memiliki fitrah untuk saling

Nadya Febrina, Neng Djubaedah, Farida Prihatini. Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Kampus Baru UI Depok, 16424, Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Perlindungan dan pengakuan terhadap penentuan status pribadi dan status

BAB I PENDAHULUAN. Sebuah perkawinan yang dimulai dengan adanya rasa saling cinta dan kasih sayang

BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

BAB I PENDAHULUAN. kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 1 Sedangkan menurut

BAB I PENDAHULUAN. sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN

DAFTAR PUSTAKA. Asmawi, Mohammad. Nikah (dalam Perbincangan dan Perbedaan). Yogyakarta:

BAB I PENDAHULUAN. makhluk-nya, baik pada manusia, hewan, maupun, tumbuh-tumbuhan. Ia adalah

P E N E T A P A N Nomor : 277/Pdt.P/2013/PA.SUB DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P E N E T A P A N Nomor : 320/Pdt.P/2013/PA.SUB DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 2 Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. Aristoteles, seorang filsuf yunani yang terkemuka pernah berkata bahwa

TINJAUAN YURIDIS TENTANG PEMBATALAN PERKAWINAN KARENA PENIPUAN PIHAK LAKI-LAKI (Studi Kasus Di Pengadilan Agama Klaten) NASKAH PUBLIKASI

BAB I PENDAHULUAN. Demikian menurut pasal 1 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang. manusia dalam kehidupannya di dunia ini. 1

BAB III PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA MURTAD MENURUT HUKUM POSITIF. A. Putusnya Perkawinan karena Murtad dalam Hukum Positif di Indonesia

P E N E T A P A N Nomor : 275/Pdt.P/2013/PA.SUB DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Manusia pada kodratnya adalah sebagai makhluk sosial (zoon politicon)

H.M.A Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h.6

A. Pertimbangan Hukum Hakim dalam Perkara Perceraian Putusan. mediator yang tujuannya agar dapat memberikan alternatif serta solusi yang terbaik

BAB I. Pendahuluan. Perkawinan beda agama adalah suatu perkawinan yang dilakukan oleh

BAB II TINJAUAN UMUM PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

BAB IV ANALISIS PANDANGAN TOKOH MUI JAWA TIMUR TERHADAP PENDAPAT HAKIM PENGADILAN AGAMA PASURUAN TENTANG STATUS ISTRI SETELAH PEMBATALAN NIKAH

BAB IV ANALISIS TENTANG STATUS PERWALIAN ANAK AKIBAT PEMBATALAN NIKAH

FUNGSI PERJANJIAN KAWIN TERHADAP PERKAWINAN MENURUT UNDANG- UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

Marini Henni Clementin, Surini Ahlan Sjarif, Farida Prihatini. Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. (selanjutnya ditulis dengan UUP) menjelaskan, Perkawinan ialah ikatan lahir bathin

BAB II KONSEP PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN sembarangan. Islam tidak melarangnya, membunuh atau mematikan nafsu

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS. 1. Pertimbangan Hakim dalam Memutuskan Perceraian (Putusan. Banyuwangi) perspektif UU No.

The Enactment of Marriage Agreement Post Constitutional Court Verdict

BAB 1 PENDAHULUAN. 1960), hal Sayuti Thalib, Hukum Keluarga Indonesia, Cet. 5, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1986), hal. 48.

BAB I PENDAHULUAN. keluarga, perkawinan tidak hanya mengandung unsur hubungan manusia. harus memenuhi syarat maupun rukun perkawinan, bahwa perkawinan

Lex Privatum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG STATUS ANAK DARI PEMBATALAN PERKAWINAN

P E N E T A P A N. Nomor XX/Pdt.P/2012/PA.Ktbm BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk ciptaan Allah merupakan makhluk sosial yang

BAB I PENDAHULUAN. hidupnya salah satu kebutuhan manusia adalah perkawinan. Berdasarkan Pasal 28B ayat (1) Undang Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang

BAB I PENDAHULUAN. dengan melangsungkan Perkawinan manusia dapat mempertahankan

BAB I PENDAHULUAN. perbuatan yang bernilai ibadah adalah perkawinan. Shahihah, dari Anas bin Malik RA, Ia berkata bahwa Rasulullah SAW

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia diciptakan Allah SWT yang pada hakikatnya sebagai makhluk

BAB I PENDAHULUAN. dalam kehidupannya. Apabila ada peristiwa meninggalnya seseorang yang

BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN

BAB I PENDAHULUAN. antara suami, istri dan anak akan tetapi antara dua keluarga. Dalam UU

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang

BAB I PENDAHULUAN. mahluk Allah SWT, tanpa perkawinan manusia tidak akan melanjutkan sejarah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA)

IMPLIKASI PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN DALAM PRESFEKTIF HUKUM ISLAM DAN UU NO. 1 TAHUN 1974

BAB I. Persada, 1993), hal Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, cet.17, (Jakarta:Raja Grafindo

P E N E T A P A N NOMOR 01/Pdt.P/2013/PA.Msa BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

P E N E T A P A N Nomor: 0079/Pdt.P/2015/PA Pas.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang

BAB I PENDAHULUAN. dalam ajarannya, bahwa manusia adalah zoon politicon artinya bahwa manusia

BAB 1 PENDAHULUAN. menyangkut urusan keluarga dan urusan masyarakat. 1. tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ke-tuhanan Yang Maha Esa.

PELAKSANAAN PERKAWINAN DENGAN WALI HAKIM DI KANTOR URUSAN AGAMA KECAMATAN GROGOL KABUPATEN SUKOHARJO

KEDUDUKAN HUKUM ANAK LUAR KAWIN YANG DIAKUI. Oleh: Mulyadi, SH., MH. ( )

Nomor: 0217/Pdt.G/2010/PA.Spn. BISMILLAAHIRRAHMAANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA LAWAN

BAB I PENDAHULUAN. mensyariatkan perkawinan sebagai realisasi kemaslahatan primer, yaitu

PUTUSAN Nomor : 201/Pdt.G/2011/PA.Pkc. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

AKIBAT HUKUM PERCERAIAN TERHADAP HARTA. BERSAMA di PENGADILAN AGAMA BALIKPAPAN SKRIPSI

P E N E T A P A N. NOMOR 03/Pdt.P/2012/PA.Msa B ISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM. penetapan itsbat nikah sebagai berikut dalam perkara yang diajukan oleh:

PUTUSAN Nomor: 105/Pdt.G/2012/PA.Pkc

I. PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan kebutuhan hidup seluruh umat manusia sejak zaman. dibicarakan di dalam maupun di luar peraturan hukum.

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

PEMBATALAN PERKAWINAN TERHADAP PEMALSUAN IDENTITAS JENIS KELAMIN MENURUT NO. 1 TAHUN 1974 DAN KHI. (Analisis Putusan 192/Pdt.P/2012/PA.

b. Hutang-hutang yang timbul selama perkawinan berlangsung kecuali yang merupakan harta pribadi masing-masing suami isteri; dan

P E N E T A P A N Nomor /Pdt.P/2015/PA Sgr.

BAB IV ANALISIS PERSAMAAN DAN PERBEDAAN IMPLIKASI HUKUM PERKAWINAN AKIBAT PEMALSUAN STATUS CALON SUAMI DI KUA

TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

BAB IV ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA TENTANG CERAI GUGAT DENGAN ALASAN IMPOTEN. A. Prosedur Cerai Gugat Dengan Alasan Impoten

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WANITA DAN ANAK YANG PERKAWINANNYA TIDAK TERCATAT DI INDONESIA. Sukma Rochayat *, Akhmad Khisni **

BAB IV ANALISIS TERHADAP PENETAPAN HAKIM PENGADILAN AGAMA. MALANG NOMOR 0038/Pdt.P/2014/PA.Mlg

P E N E T A P A N. Nomor : 0011/Pdt.P/2010/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMAANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P E N E T A P A N Nomor: 0085/Pdt.P/2015/PA Pas.

BAB III TINJAUAN TEORITIS TENTANG ISBAT NIKAH. Mengisbatkan artinya menyungguhkan, menentukan, menetapkan

PENETAPAN. Nomor XXXX/Pdt.P/2015/PA.Ktbm

BAB I PENDAHULUAN. dan lain sebagainya. Hikmahnya ialah supaya manusia itu hidup

BAB II KRITERIA ANAK LUAR NIKAH DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

P E N E T A P A N Nomor: 3/Pdt.P/2011/PA.Slk BISMILLAHIRRAHMAANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

SALINAN P E N E T A P A N

BAB I PENDAHULUAN. sunnatullah yang umumnya berlaku pada semua mahkluk-nya. Hal ini merupakan

BAB III IMPLIKASI HAK KEWARISAN ATAS PENGAKUAN ANAK LUAR

P U T U S A N NOMOR : XXX/Pdt.G/2012/PA.GM

BAB IV ANALISIS YURUDIS TERHADAP KEBIJAKAN KEPALA DESA YANG MENAMBAH USIA NIKAH BAGI CALON SUAMI ISTRI YANG BELUM

BAB III KONSEP MAQASID ASY-SYARI AH DAN PENCEGAHAN TERHADAP NIKAH DI BAWAH TANGAN

bismillahirrahmanirrahim

P E N E T A P A N. Nomor : 0097/Pdt.P/2011/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P E N E T A P A N Nomor /Pdt.P/2015/PA Sgr.

PENETAPAN Nomor /Pdt.P/2015/PA.Sgr. DUDUK PERKARA

BAB IV. Putusan Pengadilan Agama Malang No.0758/Pdt.G/2013 Tentang Perkara. HIR, Rbg, dan KUH Perdata atau BW. Pasal 54 Undang-undang Nomor 7

BAB I PENDAHULUAN. Qur anul Karim dan Sunnah Rosullulloh saw. Dalam kehidupan didunia ini, Firman Allah dalam Q.S. Adz-Dzaariyat : 49, yang artinya :

AKIBAT HUKUM PENCATATAN PERKAWINAN

Transkripsi:

Analisis Pembatalan Perkawinan Karena Saudara Sesusuan dan Akibat Hukum Terhadap Anak Hasil Perkawinan (Studi Kasus Permohonan Pembatalan Perkawinan Nomor 15/Pdt.G/2012/PA.PKc) Fakhrani Ahliyah, Farida Prihatini, dan Sulaikin Lubis Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia E-mail: fahliyah@gmail.com Abstrak Penulisan skripsi ini berfokus pada pembatalan perkawinan karena saudara sesusuan yang ditinjau dari Hukum Islam. Menurut Hukum Islam, perkawinan yang dilakukan oleh saudara sesusuan dilarang. Selain itu, pembuktian hubungan sesusuan menjadi fokus skripsi ini karena pembuktiannya tidak mudah. Apabila perkawinan dibatalkan, maka perkawinan dianggap tidak pernah terjadi sehingga akan berakibat pada status hukum suami-istri, harta dalam perkawinan, dan anak. Skripsi ini menggunakan metode penelitian kepustakaan yang bersifat deskriptif-analitis dengan data sekunder sebagai sumber datanya. Pembatalan perkawinan karena hubungan sesusuan belum mempunyai pengaturan mengenai batasan timbulnya hubungan sesusuan, sehingga berdampak pada sulitnya pembuktian di pengadilan. Akibat dari pembatalan perkawinan tidak membuat anak sah kehilangan hak dari orang tuanya. Analysis of Marriage s Annulment Caused By Nest Relationship and Legal Implication Againts Children in That Marriage (Case Study on Annulment of Marriage No. 15/Pdt.G/2012/PA.Pkc) Abstract This thesis focus is annulment of marriage which caused by acknowledgement by the nest-mother that the spouses are related by nest relationship. In Islamic Law perspective, marriage that happens between people who related by nest relationship is forbidden. In case of the marriage is annulment occurs, the marriage will be considered as never happened, so this will affect the legal status of the child from the marriage. The writing of this thesis uses literature based research method with secondary data as its data resources. There is no specific regulation concerning about annulment of marriage which caused by nest relation yet, and it will has an impact on authentication process in the Court. Annulment of marriage has no impact to the child s rights in that marriage. Keywords: Annulment of marriage; Marriage; Nest relationship. Pendahuluan Dalam rangka mewujudkan perkawinan, tentu saja terdapat persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak yang akan melangsungkan perkawinan demi 1

sahnya perkawinan tersebut. Terhadap perkawinan yang sudah dilangsungkan namun ternyata tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan, maka perkawinannya dapat dibatalkan. Artinya, apabila perkawinan dilakukan dengan tidak memperhatikan mengenai apa saja yang menjadi syarat dan larangan perkawinan, maka perkawinan tersebut dianggap tidak sah dan dapat dibatalkan. Pembatalan perkawinan merupakan tindakan pengadilan berupa keputusan yang menyatakan perkawinan yang dilakukan itu dinyatakan tidak sah. Sesuatu yang dinyatakan tidak sah itu dianggap tidak pernah ada. 1 Dari pengertian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa perkawinan dianggap tidak sah dan dengan sendirinya dianggap tidak pernah ada atau batal. Oleh karena itu, pihak laki-laki dan perempuan yang perkawinannya dibatalkan dianggap tidak pernah melakukan perkawinan. Adapun yang menjadi perhatian dalam hal ini adalah adanya pembatalan perkawinan yang disebabkan oleh dilanggarnya larangan perkawinan yang diatur dalam Pasal 8 Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pasal 70 Kompilasi Hukum Islam, yaitu larangan perkawinan antara saudara sesusuan. Saudara sesusuan adalah saudara yang diakibatkan oleh satu susu ibu yang diminumnya yang bukan merupakan ibunya sendiri, dengan beberapa syarat hingga memiliki akibat kemahraman. Sehingga sebenarnya tidak semua orang yang pernah satu susu dapat menjadi saudara sesusuan, namun perlu dilihat lagi syarat-syarat yang dapat menjadikannya sebagai mahram. 2 Adanya upaya pembatalan perkawinan dengan alasan bahwa pasangan suami istri ternyata adalah saudara sesusuan ini penulis temukan kasusnya dalam Putusan Pengadilan Agama Pangkalan Kerinci Nomor: 15/Pdt.G/2012/PA.Pkc. Berdasarkan kasus tersebut, penulis menemukan hal-hal yang menarik untuk diteliti lebih mendalam yaitu mengenai pembuktian bahwa pihak suami dan istri tersebut adalah benar-benar saudara sesusuan dikarenakan penetapan saudara sesusuan juga membutuhkan beberapa syarat tertentu yang harus terlebih dahulu terpenuhi. Selain itu, anak juga menjadi hal yang dipersoalkan status dan kedudukannya apabila pembatalan perkawinan ini dikabulkan mengingat bahwa akibat 1 Wienarsih Imam Subekti dan Sri Soesilowati Mahdi, Hukum Perorangan dan Kekeluargaan Perdata Barat, (Gitama Jaya: Jakarta, 2005), hlm. 59. 2 Mahram adalah semua orang yang haram untuk dinikahi selamanya karena sebab keturunan, persusuan, dan pernikahan dalam hukum atau syariat Islam. Dikutip dari buku Hukum Perdata Islam di Indonesia, penulis Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, pada halaman 145. 2

dari pembatalan perkawinan adalah perkawinan tersebut dianggap tidak pernah ada atau tidak pernah terjadi. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka terdapat beberapa rumusan masalah sebagai berikut: 1) Bagaimana pandangan Hukum Islam terhadap pembatalan perkawinan karena suami-istri merupakan saudara sesusuan? 2) Bagaimana pembuktian saudara sesusuan dalam hal permohonan pembatalan perkawinan dalam Putusan Pengadilan Agama Pangkalan Kerinci Nomor: 15/Pdt.G/2012/PA.Pkc? 3) Bagaimana akibat hukum apabila terjadi pembatalan perkawinan dengan Putusan Pengadilan Agama Pangkalan Kerinci Nomor: 15/Pdt.G/2012/PA.Pkc terhadap anak yang dilahirkan dalam perkawinan tersebut? Tujuan umum yang hendak dicapai adalah untuk memberikan suatu pemahaman yang lebih jelas mengenai pembatalan perkawinan menurut hukum yang berlaku di Indonesia serta akibat-akibat hukumnya. Sementara tujuan khususnya adalah: 1) Menjelaskan mengenai pembatalan perkawinan karena suami-istri merupakan saudara sesusuan berdasarkan Hukum Islam. 2) Menjelaskan mengenai pembuktian saudara sesusuan dalam permohonan pembatalan perkawinan dalam Putusan Pengadilan Agama Pangkalan Kerinci Nomor: 15/Pdt.G/2012/PA.Pkc. 3) Mengetahui apa saja akibat hukum yang dapat ditimbulkan dari adanya pembatalan perkawinan terhadap anak yang dihasilkan dalam perkawinan tersebut. Tinjauan Teoritis Perkawinan menurut Pasal 2 dan 3 Kompilasi Hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan gholiizhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah yang bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Perkawinan menurut Wahbah al-zuhaily adalah akad yang membolehkan terjadinya al-istimta (persetubuhan) dengan seorang wanita, atau melakukan wath i, dan berkumpul 3

selama wanita tersebut bukan wanita yang diharamkan baik dengan sebab keturunan, atau sepersusuan. 3 Pembatalan perkawinan menurut para Sarjana Hukum adalah tindakan pengadilan berupa keputusan yang menyatakan perkawinan yang dilakukan itu dinyatakan tidak sah, dan dengan sendirinya perkawinan tersebut dianggap tidak pernah ada atau batal. 4 Larangan perkawinan menurut Amir Syarifuddin adalah orang-orang yang tidak boleh dikawini oleh seseorang, yaitu perempuan mana saja yang tidak boleh dikawini oleh seorang laki-laki atau laki-laki mana saja yang tidak boleh dikawini oleh seorang perempuan. 5 Metode Penelitian Bentuk penelitian ini adalah yuridis-normatif yaitu penelitian yang menekankan penggunaan norma-norma hukum tertulis yang terdapat di peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan pembatalan perkawinan. Jenis data yang digunakan utamanya adalah data sekunder yang mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku referensi, dan hasil penelitian yang berkaitan dengan pembatalan perkawinan, serta didukung oleh data primer berupa hasil wawancara dengan narasumber. Oleh karena jenis data utama yang digunakan dalam penelitian adalah data sekunder, maka alat pengumpulan data yang digunakan guna memperoleh data-data tersebut adalah studi dokumen. Selain itu, data primer juga digunakan untuk mendukung penelitian ini dengan menggunakan alat pengumpulan data berupa wawancara dengan salah satu Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Hasil Penelitian Metode kualitatif merupakan metode analisis data yang menghasilkan data deskriptifanalitis, yaitu apa yang dinyatakan oleh objek penelitian yang bersangkutan secara tertulis serta penerapan nyatanya. 6 Penelitian deskriptif bertujuan untuk menganalisis suatu permasalahan yang timbul atau juga yang mungkin dapat terjadi. 7 Penelitian ini akan 3 Wahbah al-zuhaily, al-fiqh al-islami Wa Adillatuhu, Juz VII, (Damsyiq: Dar al-fikr, 1989), hlm. 29. 4 Wahyono Darmabrata dan Surini Ahlan Sjarif, Hukum Perkawinan dan Keluarga Indonesia, ed. 1, cet. 2, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004), hlm. 59. 5 Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, ed. 1, cet. 1, (Bogor: Kencana, 2003), hlm. 106. 6 Sri Mamudji, dkk, Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Depok: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hlm. 67. 7 Ibid, hlm. 4. 4

menggambarkan bagaimana hukum perdata nasional dan hukum Islam memandang mengenai pembatalan perkawinan karena pasangan suami-istri merupakan saudara sesusuan dan juga akibat hukumnya terhadap anak yang dihasilkan dari perkawinan tersebut apabila terjadi pembatalan perkawinan. Pembahasan Perkawinan menurut Pasal 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan didefinisikan sebagai berikut: Perkawinan adalah suatu ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri yang bertujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Berdasarkan pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menganggap bahwa ikatan lahir batin merupakan hal yang penting dalam perkawinan sehingga tujuan melakukan perkawinan bukan sekadar untuk memenuhi hawa nafsu. 8 Perkawinan dikatakan bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pada dasarnya, tujuan perkawinan menurut perintah Allah SWT adalah untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat dengan mendirikan rumah tangga yang damai dan teratur. 9 Selain itu, Kompilasi Hukum Islam mengatakan bahwa perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. 10 Oleh karena itu, untuk dapat mewujudkan perkawinan dan mencapai tujuan tersebut, maka terdapat rukun dan syarat yang harus dipenuhi. Rukun dan syarat itu terdapat pengaturannya dalam al-qur an, UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Dalam hal perkawinan belum dilaksanakan dan ternyata terdapat rukun atau syarat yang belum terpenuhi, maka dapat dilakukan pencegahan perkawinan. Namun apabila tidak 8 Lili Rasjidi, Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1991), hlm. 5. 9 Yunus Mahmud, Hukum Perkawinan Dalam Islam, (Jakarta: CV Al-Hidayah, 1964), hlm. 1. 10 Indonesia, Instruksi Presiden tentang Kompilasi Hukum Islam, Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991, Ps. 3. 5

terpenuhinya rukun atau syarat perkawinan itu setelah perkawinan dilangsungkan, maka dapat dilakukan pembatalan perkawinan. Pembatalan perkawinan dalam Islam dapat dilakukan dengan beberapa cara. Salah satunya adalah dengan fasakh, yaitu membatalkan perkawinan antara suami dan istri karena disebabkan oleh terjadinya kerusakan atau cacat pada akad perkawinan maupun disebabkan oleh hal-hal yang datang kemudian sehingga perkawinan tersebut tidak dapat dilanjutkan. 11 Sayuti Thalib mengartikan fasakh sebagai diputuskannya hubungan perkawinan atas permintaan dari salah satu pihak oleh Hakim Agama karena salah satu pihak menemui cela pada pihak lain atau merasa tertipu atas hal-hal yang belum diketahui sebelum berlangsungnya perkawinan. Perkawinan yang telah terjadi tersebut sebenarnya sah, namun karena difasakhkan maka menjadi bubar hubungan perkawinannya. 12 Terjadinya kerusakan atau kecacatan pada akad perkawinan dapat disebabkan oleh tidak terpenuhinya salah satu rukun maupun syarat-syarat perkawinan. Dalam istilah fiqih, hal ini disebut dengan nikah al-fasid untuk perkawinan yang tidak memenuhi syarat-syarat perkawinan dan nikah al-batil untuk perkawinan yang tidak memenuhi rukun-rukun perkawinan. Kasus yang terdapat dalam Putusan Pengadilan Agama Pangkalan Kerinci Nomor 15/Pdt.G/2012/PA.PKc adalah mengenai permohonan pembatalan perkawinan. Dalam kasus ini terdapat 3 (tiga) pihak, yaitu istri sebagai Pemohon, suami sebagai Termohon I, dan Termohon II yaitu Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Bunut tempat perkawinan antara Pemohon dan Termohon I dicatatkan. Dalam permohonannya, Pemohon meminta Majelis Hakim untuk membatalkan perkawinan antara Pemohon dengan Termohon I yang terjalin sejak tahun 1992. Alasan permohonan pembatalan perkawinan yang diajukan oleh Pemohon adalah bahwa pernikahan yang terjadi antara Pemohon dan Termohon I tidak sah karena telah melanggar larangan perkawinan sebagaimana yang telah diatur dalam al-qur an maupun UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. 11 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ikhtiar Baru, 2003), hlm. 217. 12 Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, cet.5, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), 1986), hlm. 117. 6

Dalam kasus, semua rukun nikah berdasarkan Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam seperti calon suami, calon istri, wali nikah, 2 (dua) orang saksi, serta Ijab dan kabul telah terpenuhi. Pada saat berlangsungnya perkawinan, Termohon I sebagai calon suami dan Pemohon sebagai calon istri. Sementara wali nikah pada perkawinan mereka adalah ayah Pemohon dan juga dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi seperti yang telah disampaikan Termohon I. Dengan demikian, perkawinan yang dilakukan oleh Pemohon dan Termohon I tidak melanggar rukun-rukun perkawinan sehingga perkawinan mereka bukan nikah al-batil. Pemohon mengajukan pembatalan perkawinan dengan alasan bahwa Pemohon dan Termohon I merupakan saudara sesusuan. Salah satu syarat umum perkawinan dalam Islam adalah perkawinan tidak boleh melanggar ketentuan mengenai larangan perkawinan yang terdapat dalam al-qur an, yaitu Q.S. an-nisaa ayat 22, 23, dan 24 mengenai larangan perkawinan karena hubungan darah, semenda, dan saudara sesusuan. Selain dalam al-qur an, syarat-syarat perkawinan yang tidak terpenuhi dalam perkawinan antara Pemohon dan Termohon I juga terdapat ketentuannya dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, melakukan perkawinan dengan saudara sesusuan telah melanggar ketentuan Pasal 8 huruf d UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dimana terdapat larangan perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita apabila berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan, dan bibi/paman susuan. Kompilasi Hukum Islam dalam Pasal 39 angka 3 juga telah menentukan larangan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena pertalian sesusuan, yaitu dengan wanita yang menyusuinya dan garis keturunannya ke atas, dengan wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis keturunan ke bawah, dengan wanita saudara sesusuan dan kemenakan sesusuan ke bawah, dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke atas, serta dengan anak yang disusui oleh istrinya dan keturunannya. Dalam kasus ini, Termohon I diduga mengawini saudara sesusuannya sendiri, yaitu Pemohon. Apabila melihat ketentuan di atas, perkawinan Pemohon dan Termohon I telah melanggar syarat perkawinan yaitu perkawinan tidak boleh bertentangan dengan larangan perkawinan yang terdapat dalam Q.S. an-nisaa ayat 23, Pasal 8 huruf d UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan Pasal 39 angka 3 KHI. Dalam hal ini larangan perkawinan 7

yang dimaksud adalah larangan perkawinan karena saudara sesusuan sehingga perkawinan tersebut tidak sah dan batal dengan sendirinya menurut hukum Islam. Menurut ketentuan Hukum Islam, satu atau dua isapan saja dalam menyusu terhadap seorang wanita belum menimbulkan hubungan sesusuan. Setidaknya terdapat 2 (dua) syarat timbulnya hubungan sesusuan, yaitu: 13 1) Anak yang menyusu masih berusia 2 tahun sehingga air susu ibu pada masa tersebut akan menjadi pertumbuhannya. 2) Anak tersebut menyusu sebanyak 5 (lima) kali dengan waktu yang berlainan. Sementara menurut Majelis Ulama Indonesia dalam Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 28 Tahun 2013 tentang Seputar Masalah Donor Air Susu Ibu (Istirdla ), terjadinya mahram atau larangan pernikahan karena hubungan sesusuan ini tidak jauh berbeda dengan apa yang disebutkan sebelumnya, yaitu harus memenuhi syarat sebagai berikut: 14 1) Usia anak yang menerima susuan maksimal 2 (dua) tahun; 2) Ibu yang menyusui diketahui identitasnya secara jelas; 3) Jumlah air susu yang dikonsumsi sebanyak minimal 5 (lima) kali persusuan; 4) Cara penyusuannya dilakukan secara langsung maupun melalui perahan; 5) Air susu yang dikonsumsi oleh anak tersebut mengenyangkan. Pada dasarnya, penentuan syarat seperti yang telah disebutkan di atas bertujuan untuk memastikan bahwa penyusuan yang dilakukan oleh si ibu terhadap anak yang bukan anak kandungnya itu telah sempurna. Sempurna dalam hal ini artinya air susu tersebut telah bercampur menjadi darah dan daging dari si anak sehingga timbul hubungan sesusuan yang mengakibatkan ibu susuannya menjadi seperti ibu kandungnya dan saudara-saudara sesusuannya seperti saudara-saudara kandungnya. Terhadap perkawinan yang terjadi antara saudara sesusuan, berdasarkan Pasal 25 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Pasal 74 ayat (1) KHI dapat dimohonkan pembatalan perkawinan kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal suami 13 Syarifuddin, loc. cit.. 14 Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 28 Tahun 2013 tentang Seputar Masalah Donor Air Susu Ibu. 8

atau istri atau tempat perkawinan dilangsungkan. Adapun tata cara permohonan pembatalan perkawinan diatur dalam Bab VI Pasal 38 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menentukan bahwa tata cara pengajuan permohonan pembatalan perkawinan dilakukan sesuai dengan tata cara pengajuan gugatan perceraian. Dengan demikian, meskipun perkawinan yang dilakukan antara saudara sesusuan apabila dilihat menurut hukum Islam telah batal dengan sendirinya tanpa memerlukan permohonan pembatalan dari pihak-pihak yang berhak, namun ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengharuskan diajukannya pembatalan perkawinan demi kepastian hukum. Untuk dapat membuktikan adanya hubungan sesusuan di antara Pemohon dengan Termohon I, maka Pemohon mengajukan alat bukti berupa alat bukti surat dan alat bukti saksi. Pemohon dalam kasus mengajukan alat bukti surat berupa akta otentik, yaitu fotokopi Buku Kutipan Akta Nikah Nomor 124/03/I/1993, fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama Pemohon, fotokopi Kartu Keluarga, dan fotokopi Akta Kelahiran anak Pemohon dan Termohon I. Fotokopi dapat diterima sebagai alat bukti apabila fotokopi itu disertai dengan keterangan atau dengan jalan apapun secara sah bahwa fotokopi-fotokopi tersebut sama dengan aslinya. 15 Mengenai keterangan saksi yang dapat dijadikan alat bukti yang sah menurut hukum sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 164 HIR dan Pasal 284 R.Bg harus terbatas pada peristiwa-peristiwa yang dialami, dilihat, atau didengar sendiri, dan disertai alasan-alasan bagaimana diketahuinya peristiwa yang diterangkan oleh saksi-saksi tersebut. Hal ini sejalan dengan pendapat Imam Al Kahlani yang mengatakan bahwa saksi tidak boleh memberikan kesaksian, kecuali apa yang ia lihat dan alami sendiri. 16 Sedangkan saksi-saksi yang diajukan oleh Pemohon ini tidak secara langsung mengalami, melihat, atau mendengar sendiri peristiwa saat ibu kandung Pemohon menyusui Termohon I waktu masih kecil, melainkan hanya sebatas mendengar dari cerita, baik dari ibu 15 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, ed. 7, cet. 1, (Yogyakarta: Liberty, 2006), hlm. 165. 16 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama, cet. 3, (Jakarta: Kencana, 2005), hlm. 375. 9

kandung Pemohon maupun orang lain. Kesaksian semacam itu disebut dengan testimonium de auditu. 17 Mengenai nilai pembuktian dari kesaksian testimonium de auditu ini tidak ada nilainya sama sekali, akan tetapi keterangan-keterangan yang demikian itu dapat digunakan untuk menyusun persangkaan atau untuk melengkapi keterangan saksi-saksi yang bisa dipercayai. 18 Sehingga Majelis Hakim seharusnya dapat pula mempertimbangkan mengenai kesaksian testimonium de auditu yang diajukan Pemohon. Pendapat ini kemudian didukung dengan adanya pendapat dari Imam Syafi i yang memperbolehkan seorang hakim untuk menggunakan saksi testimonium de auditu dalam hal-hal yang berhubungan dengan nikah dan permasalahannya. Begitu pula pendapat yang dinyatakan oleh Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bahwa saksi testimonium de auditu tersebut dapat digunakan dalam hal yang berhubungan dengan pernikahan. 19 Diperbolehkannya penggunaan saksi testimonium de auditu juga dapat dilihat dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 308 K/Sip/1959 tanggal 11 November 1959. Sehingga Majelis Hakim seharusnya menggunakan kebebasan untuk membuat persangkaan berdasarkan keterangan pihak ketiga yang disampaikan oleh saksi. Keterangan saksi berdasarkan pendengaran dari pihak ketiga dapat dianggap sebagai bukti langsung tentang kebenaran bahwa pihak ketiga menyatakan demikian, lepas dari kebenaran materiil yang dikatakan oleh pihak ketiga tersebut. 20 Pembatalan perkawinan pasti menimbulkan akibat hukum bagi para pihak yang terlibat di dalamnya. Apabila dalam perkawinan sebelum dibatalkan tersebut telah lahir anak, maka tentu saja dengan adanya pembatalan perkawinan ini dapat menimbulkan akibat hukum pula bagi anak dalam perkawinan yang dibatalkan itu. Hal ini dikarenakan adanya hubungan hukum antara orang tua dan anak yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. 17 Testimonium de auditu adalah keterangan yang saksi peroleh dari orang lain, ia tidak melihatnya atau mengalaminya sendiri, melainkan hanya mendengarnya saja dari orang lain tentang kejadian tersebut atau adanya hal-hal tersebut. Dikutip dari buku Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, penulis Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, pada halaman 74. 18 Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, cet. 11, (Bandung: Mandar Maju, 2009), hlm. 74. 19 Manan, op. cit., hlm. 375. 20 Mertokusumo, op. cit., hlm. 170. 10

Menurut UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan KHI, pembatalan perkawinan baru akan menimbulkan akibat hukum saat mulai berlakunya pembatalan perkawinan tersebut. Dalam Pasal 28 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Pasal 74 ayat (2) KHI dikatakan bahwa: Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan. Ketentuan Pasal di atas menyebutkan bahwa batalnya suatu perkawinan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan. Menurut penulis, kalimat sejak saat berlangsungnya perkawinan berarti bahwa perkawinan yang dibatalkan tersebut dianggap sama sekali tidak pernah ada karena pembatalan itu berlaku dari saat berlangsungnya perkawinan. Sehingga akibat-akibat hukum yang timbul karena adanya pembatalan perkawinan ini adalah segala akibat hukum yang timbul karena perkawinan akan kembali seperti semula sebelum adanya perkawinan. Namun menurut Pasal 28 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan keputusan tersebut tidak berlaku surut terhadap: 1) Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan yang dibatalkan; 2) Suami atau istri yang bertindak dengan itikad baik, kecuali terhadap harta bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu; 3) Orang-orang ketiga lainnya yang tidak termasuk anak-anak atau suami atau istri sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan itikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap. Berdasarkan Pasal 75 Kompilasi Hukum Islam, keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap: 1) Perkawinan yang batal karena salah satu dari suami atau istri murtad. 2) Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut. 3) Pihak ketiga sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan beritikad baik, sebelum keputusan pembatalan perkawinan mempunyai kekuatan hukum tetap. 11

Apabila melihat ketentuan di atas, maka akibat-akibat hukum pembatalan perkawinan tidak mempengaruhi status anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang dibatalkan tersebut. Dengan demikian, anak yang dilahirkan dalam perkawinan tetap mempunyai hubungan hukum dengan kedua orang tuanya sehingga tetap dapat mempunyai hak dan kewajiban dengan kedua orang tuanya. Bagi pernikahan yang batal karena tidak dipenuhinya salah satu syarat perkawinan atau nikah al-fasid, anak yang lahir dalam perkawinan tersebut secara sah dinisbahkan kepada suami atau ayah si anak demi kepentingan anak tersebut. Menurut Abu Hanifah, hal ini dilakukan karena wujud dari akad nikah itu dianggap sudah ada sedangkan yang cacat adalah syaratnya. 21 Kemudian, kewajiban orang tua menurut Pasal 45 dan 48 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tetap berlaku dan diberikan kepada anak. Kewajiban tersebut adalah kewajiban orang tua untuk memelihara dan mendidik anak mereka dengan sebaik-baiknya hingga anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri. 22 Berdiri sendiri dalam hal ini maksudnya adalah anak tersebut sudah dapat hidup secara mandiri atau lepas dari ketergantungan terhadap orang tuanya, biasanya diartikan pula sebagai sudah mempunyai pekerjaan. Dalam hal kewarisan, anak tersebut juga tetap dapat mewaris, baik dari garis keturunan ayah maupun garis keturunan ibu. 23 Namun sebelumnya harus dilihat terlebih dahulu apakah kedua orang tua yang membatalkan perkawinan ini sudah mengetahui dari awal bahwa terdapat hubungan sesusuan di antara mereka atau belum. Dalam kasus, sebenarnya kedua orang tua si anak, yaitu Pemohon dan Termohon I, sejak awal telah mengetahui bahwa mereka adalah saudara sesusuan dengan adanya pengakuan dari ibu Pemohon, sehingga apabila perkawinan dibatalkan maka si anak tidak berhak untuk saling mewaris dengan kedua orang tuanya, melainkan dapat digantikan dengan cara hibah. Selanjutnya, anak dalam kasus ini berhak untuk memilih akan tinggal dengan ayah atau ibunya karena ia telah mumayyiz, yaitu berusia sekitar 18 tahun ketika putusan Pengadilan. Baik anak tersebut memilih tinggal bersama ayah atau ibunya, biaya 21 Neng Djubaedah, Sulaikin Lubis, dan Farida Prihatini, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Hecca Mitra Utama, 2005), hlm. 180. 22 Indonesia, Undang-Undang Perkawinan, UU No. 1 Tahun 1974, LN No. 1 Tahun 1974, Ps. 45. 23 Wienarsih Imam Subekti dan Sri Soesilowati Mahdi, Hukum Perorangan dan Kekeluargaan Perdata Barat, (Gitama Jaya: Jakarta, 2005), hlm. 12

pemeliharaan anak tetap menjadi tanggungan ayahnya sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 105 KHI. Walaupun anak hanya akan tinggal dengan salah satu orang tuanya setelah adanya pembatalan perkawinan, namun kedua orang tua tetap mempunyai kewajiban untuk memelihara dan mendidik anak-anaknya sebaik-baiknya sampai anak tersebut kawin atau setidaknya dapat berdiri sendiri. Hal tersebut diatur dalam Pasal 4 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan di atas, maka penulis berkesimpulan bahwa: 1) Perkawinan yang dilakukan antara saudara sesusuan apabila dilihat menurut hukum Islam seharusnya batal dengan sendirinya demi hukum tanpa memerlukan permohonan pembatalan dari pihak-pihak yang berhak. Para pihak yang berhak mengajukan pembatalan perkawinan telah ditentukan dalam Pasal 23 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pasal 73 KHI. Meskipun seharusnya perkawinan yang tidak memenuhi syarat perkawinan yaitu larangan antara saudara sesusuan batal demi hukum, namun ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengharuskan diajukannya permohonan pembatalan perkawinan. Hal ini diperlukan demi kepentingan administratif, sehingga pembatalan perkawinan tersebut dapat mempunyai kekuatan hukum tetap dengan diputuskannya dalam Pengadilan berkaitan dengan akibat hukum yang akan timbul dengan adanya pembatalan perkawinan. 2) Alat bukti yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama pada dasarnya sama dengan alat bukti pada Pengadilan dalam lingkup umum, yaitu alat buti surat, alat bukti saksi, persangkaan, pengakuan, dan sumpah. Pembuktian hubungan sesusuan ini cukup sulit. Alat bukti saksi yang diajukan harus mengalami, melihat, dan mendengar sendiri peristiwa yang diperkarakan. Sementara itu dalam pembuktian hubungan persusuan ini sangat sulit mendapatkan saksi yang secara langsung mengalami, melihat, dan mendengar sendiri peristiwa penyusuan itu. Sehingga seharusnya saksi testimonium de auditu dapat dipertimbangkan. 13

3) Apabila pembatalan perkawinan diputuskan oleh Pengadilan, akibat-akibat hukum yang timbul dari adanya pembatalan perkawinan tersebut tidak berlaku surut terhadap anakanak yang dilahirkan dari perkawinan yang dibatalkan. Dengan demikian, anak-anak Saran tersebut tetap memiliki hubungan hukum, baik dengan ayah maupun ibunya. Ayah dan ibu anak tersebut tetap harus melaksanakan kewajibannya terhadap si anak, serta memberikan apa yang menjadi hak si anak, termasuk dalam hal ini hak untuk saling mewaris. 1) Majelis Hakim sebaiknya tetap mempertimbangkan keterangan yang diberikan oleh saksi-saksi testimonium de auditu dari pihak Pemohon dengan persangkaan hakim karena untuk mendapatkan saksi yang secara langsung benar-benar menyaksikan peristiwa penyusuan itu sangatlah sulit, apalagi ibu Pemohon yang secara nyata mengetahui peristiwa tersebut sudah meninggal dunia. 2) Majelis Hakim sebaiknya melihat yurisprudensi-yurisprudensi yang ada mengenai permasalahan yang sama, dalam kasus ini contohnya Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 308 K/Sip/1959 tanggal 11 November 1959, dimana dalam yurisprudensi tersebut saksi testimonium de auditu dapat menjadi pertimbangan hakim dalam memutuskan suatu perkara. Daftar Referensi Al-Zuhaily, Wahbah. al-fiqh al-islami Wa Adillatuhu. Juz VII. Damsyiq: Dar al-fikr, 1989. Dahlan, Abdul Aziz. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: Ikhtiar Baru, 2003. Darmabrata, Wahyono dan Surini Ahlan Sjarif. Hukum Perkawinan dan Keluarga di Indonesia. Ed. 1. Cet. 2. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004. Djubaedah, Neng, Sulaikin Lubis, dan Farida Prihatini. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Hecca Mitra Utama, 2005. Indonesia. Undang-Undang Perkawinan. UU No. 1 Tahun 1974, LN No. 1 Tahun 1974. Indonesia. Undang-Undang Peradilan Agama, UU No. 59 Tahun 2009, LN No. 59 Tahun 2009. Indonesia. Instruksi Presiden tentang Kompilasi Hukum Islam. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991. 14

Mahmud, Yunus. Hukum Perkawinan Dalam Islam. Jakarta: CV Al-Hidayah, 1964. Majelis Ulama Indonesia, Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 28 Tahun 2013 tentang Seputar Masalah Donor Air Susu Ibu. Mamudji, Sri, dkk. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Depok: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005. Manan, Abdul. Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama. Cet. 3. Jakarta: Kencana, 2005. Mertokusumo, Sudikno. Hukum Acara Perdata Indonesia. Ed. 7. Cet. 1. Yogyakarta: Liberty, 2006. Nuruddin, Amiur dan Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No.1/1974 sampai KHI. Jakarta: Prenada Media, 2004. Rasjidi, Lili. Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1991. Subekti, Wienarsih Imam dan Sri Soesilowati Mahdi. Hukum Perorangan dan Kekeluargaan Perdata Barat. Gitama Jaya: Jakarta, 2005. Sutantio, Retnowulan dan Iskandar Oeripkartawinata. Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek. Cet. 11. Bandung: Mandar Maju, 2009. Syarifuddin, Amir. Garis-Garis Besar Fiqh. Ed. 1. Cet. 1. Bogor: Kencana, 2003. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2007. Thalib, Sayuti. Hukum Kekeluargaan Indonesia. Cet.5. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), 1986. 15