Tetra Febryandi Sagala, Maryani Cyccu Tobing *,Lisnawita

dokumen-dokumen yang mirip
PENGARUH LAMANYA INOKULASI

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Phragmatoecia castaneae Hubner. (Lepidoptera : Cossidae)

Sari M. D. Panggabean, Maryani Cyccu Tobing*, Lahmuddin Lubis

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi hama penggerek batang berkilat menurut Soma and Ganeshan

76. Jurnal Online Agroekoteknologi Vol.1, No.2, Maret 2013 ISSN No

Sisko Budianto, Maryani Cyccu Tobing, Hasanuddin

Utara, Medan, 2 Staf Pengajar Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan *Corresponding author:

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Telur P. castanae Hubner. Bentuk telur oval dan dapat menghasilkan telur sebanyak butir perbetina.

TINJAUAN PUSTAKA. Berbentuk oval sampai bulat, pada permukaan atasnya agak datar. Jumlah telur

Pengaruh Ukuran Pupa Beberapa Penggerek Batang Tebu terhadap Jumlah Populasi Tetrastichus sp. (Hymenoptera : Eulophidae) di Laboratorium

TINJAUAN PUSTAKA. beberapa hari berubah menjadi coklat muda. Satu atau dua hari menjelang

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biocontrol, Divisi Research and

TINJAUAN PUSTAKA. Chilo Sachhariphagus Boj. (Lepidoptera: Crambidae)

TINJAUAN PUSTAKA. Chilo sacchariphagus Bojer (Lepidoptera: Crambidae) diletakkan secara berkelompok dalam 2-3 baris (Gambar 1). Bentuk telur jorong

TINJAUAN PUSTAKA. Xanthocampoplex sp. (Hymenoptera : Ichneumonidae) Famili Ichneumonidae merupakan salah satu famili serangga terbesar yang

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Chilo sacchariphagus Boj. (Lepioptera: Crambidae) Bentuk telur jorong dan sangat pipih, diletakkan dalam 2-3 baris tersusun

Jenis- jenis penggerek batang pada tanaman tebu Oleh Ayu Endah Anugrahini, SP

264. Jurnal Online Agroekoteknologi Vol.1, No.2, Maret 2013 ISSN No

Rosma Susiwaty Situmeang, Maryani Cyccu Tobing*, Mukhtar Iskandar Pinem

BAHAN DAN METODE. Faktor II (lama penyinaran) : T 0 = 15 menit T 1 = 25 menit T 2 = 35 menit

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Chilo sacchariphagus Bojer. (Lepidoptera: Crambidae) Imago betina meletakkan telur secara berkelompok pada dua baris secara

UJI DAYA TUMBUH BIBIT TEBU YANG TERSERANG HAMA PENGGEREK BATANG BERGARIS (Chilo sacchariphagus Bojer.)

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat

TINJAUAN PUSTAKA. Chilo saccharipaghus Bojer (Lepidoptera: Pyralidae) mengkilap. Telur berwarna putih dan akan berubah menjadi hitam sebelum

PENGARUH BENTUK DAN KETINGGIAN PERANGKAP STICKY TRAP KUNING TERHADAP LALAT BUAH

Andrico Tampubolon, Marheni *, Darma Bakti

PARASITISASI DAN KAPASITAS REPRODUKSI COTESIA FLAVIPES CAMERON (HYMENOPTERA: BRACONIDAE) PADA INANG DAN INSTAR YANG BERBEDA DI LABORATORIUM

TINJAUAN PUSTAKA. berkelompok (Gambar 1). Kebanyakan telur ditemukan di bawah permukaan daun,

PATOGENISITAS Beauveria bassiana PADA Spodoptera litura Fabricius. (Lepidoptera : Noctuidae) PADA TANAMAN KELAPA SAWIT SKRIPSI OLEH :

Luskino Silitonga, Maryani Cyccu Tobing*, Lahmuddin Lubis

Penggerek Pucuk Tebu dan Teknik Pengendaliannya

Uji Residu Herbisida Glifosat terhadap Beberapa Imago Parasitoid di Laboratorium

PEMANFAATAN PARASITOID Tetrastichus schoenobii Ferr. (Eulopidae, Hymenoptera) DALAM PENGENDALIAN PENGGEREK BATANG PADA TANAMAN PADI

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAHAN DAN METODE. Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Persiapan tanaman uji, tanaman G. pictum (kiri) dan tanaman A. gangetica (kanan)

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981), klasifikasi S. inferens adalah sebagai berikut:

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi dan siklus hiduptrichogramma spp. (Hymenoptera : Famili Trichogrammatidae merupakan parasitoid telur yang

Potensi Kehilangan Gula Oleh Chilo sacchariphagus di Pertanaman Tebu Lahan Kering Cinta Manis Ogan Ilir

Uji Parasitasi Tetrastichus brontispae terhadap Pupa Brontispae Di Laboratorium

Yati Setiati, Neneng Hayatul Mutmainah, M. Subandi. Jurusan Agroteknologi Fakultas Sains dan Teknologi UIN SGD Bandung

UJI EFEKTIFITAS BEBERAPA ENTOMOPATOGEN PADA LARVA Oryctes rhinoceros L. (Coleoptera: Scarabaeidae) DI LABORATORIUM SKRIPSI. Oleh :

Gambar 1. Gejala serangan penggerek batang padi pada stadium vegetatif (sundep)

PENGARUH JARAK TANAM DAN DOSIS PUPUK NITROGEN TERHADAP PERTUMBUHAN BUD CHIP TEBU (Saccharum officinarum L.) SKRIPSI OLEH:

PENGARUH PERANGKAP WARNA BERPEREKAT DAN AROMA REMPAH UNTUK MENGENDALIKAN HAMA GUDANG

PENGARUH PEMBERIAN BERBAGAI JENIS PAKAN NGENGAT TERHADAP TELUR PENGGEREK BATANG TEBU BERKILAT

POLYHEDROSIS BIOINSEKTISIDA NUCLEAR TEST VIRUS TO SOME SUGAR CANE CROP PEST IN LABORATORY

HASIL DAN PEMBAHASAN Gejala Parasitisasi

KEMAMPUAN Actinote anteas Doub. (Lepidoptera:Nymphalidae) SEBAGAI SERANGGA PEMAKAN GULMA

KAJIAN BEBERAPA KARAKTERISTIK BIOLOGI PENGGEREK BATANG TEBU BERKILAT CHILO AURICILIUS DAN PARASITOIDNYA (TRICHOGRAMMA CHILONIS)

PENGARUH LAMA PENYIMPANAN INANG PADA SUHU RENDAH TERHADAP PREFERENSI SERTA KESESUAIAN INANG BAGI

BAB I PENDAHULUAN. Intensitas serangannya dapat mencapai 90% di lapang, sehingga perlu

II. TINJAUAN PUSTAKA. pada 8000 SM yaitu ke Pulau Solomon, Hebrida Baru dan Kaledonia Baru.

Tetratichus brontispae, PARASITOID HAMA Brontispa longissima

Parasitisasi dan Kapasitas Reproduksi

DEPARTEMEN HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2011

VI. PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN UMUM. 6.1 Pembahasan Umum. Berdasarkan hasil penelitian perkembangan Ostrinia furnacalis di Desa

Pengaruh Beauveria bassiana terhadap Mortalitas Semut Rangrang Oecophylla smaragdina (F.) (Hymenoptera: Formicidae)

TINJAUAN PUSTAKA. A. Biologi dan Morfologi Kumbang Tanduk (Oryctes rhinoceros) kelapa sawit di Indonesia adalah kumbang tanduk O. rhinoceros.

Parasitoid Larva dan Pupa Tetrastichus brontispae

ABSTRACT. Keywords: Graphium agamemnon, Graphium doson, Mechelia champaca, Annona muricata, life cycle, food consumption.

PENGGUNAAN BEAUVERIA BASSIANA DAN BACILLUS THURINGIENSIS UNTUK MENGGENDALIKAN Plutella xylostella L. (Lepidoptera: Plutellidae) DI LABORATORIUM

HASIL DAN PEMBAHASAN

EFEKTIVITAS ISOLAT DAN METODE PAPARAN Beauveria bassiana (Balsamo) Vuillemin TERHADAP MORTALITAS DAN MIKOSIS Spodoptera litura Fabricius

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2013

BIOLOGI HAMA KUMBANG PENGGEREK PUCUK KELAPA SAWIT

SERANGAN PENGGEREK BATANG TEBU Chilo sacchariphagus DI SENTRA TEBU JAWA TIMUR. Oleh: Erna Zahro in,sp dan Effendi Wibowo,SP

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat. Metode Penelitian

KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN SERANGGA PARASITOID DI LAHAN TEBU DESA PAKISJAJAR KECAMATAN PAKIS KABUPATEN MALANG

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Persiapan Penelitian Koleksi dan Perbanyakan Parasitoid Perbanyakan Serangga Inang Corcyra cephalonica

III. METODE PENELITIAN. Penelitan ini dilaksanakan di Laboratorium Hama Tumbuhan dan Penyakit

Yati Setiati, Neneng Hayatul Mutmainah, M. Subandi, *)

DAYA PREDASI Sycanus croceovittatus (Hemiptera: Reduviidae) TERHADAP ULAT API Setothosea asigna PADA TANAMAN KELAPA SAWIT DI INSEKTARIUM OLEH:

PEMBERIAN PUPUK P DAN Zn UNTUK MENINGKATKAN KETERSEDIAAN P DAN Zn DI TANAH SAWAH SKRIPSI OLEH : KIKI DAMAYANTI

III. BAHAN DAN METODE. Tanaman, serta Laboratorium Lapang Terpadu, Fakultas Pertanian, Universitas

SPESIES, PERBANDINGAN KELAMIN, DAN CIRI MORFOLOGI PENGGEREK POLONG KEDELAI Etiella sp., DI KEBUN PERCOBAAN NGALE

BAB III METODE PENELITIAN. (BALITTAS) Karangploso Malang pada bulan Maret sampai Mei 2014.

PERKEMBANGAN POPULASI SIPUT SETENGAH CANGKANG (Parmarion sp.) DAN UMUR TANAMAN TERHADAP KERUSAKAN DAN PRODUKSI KUBIS BUNGA

I. PENDAHULUAN. luas areal kakao yang cenderung mengalami peningkatan. Berdasarkan data dari

Afriansyah Nugraha*, Yuli Andriani**, Yuniar Mulyani**

HASIL DAN PEMBAHASAN

DAMAYANTI BUCHOR1, ERNA DWI HERAWATI, ADHA SARI. Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor

TINJAUAN PUSTAKA. Siklus hidup S. litura berkisar antara hari (lama stadium telur 2 4

TINJAUAN PUSTAKA. Telur berwarna putih, berbentuk bulat panjang, dan diletakkan

Pengaruh Instar Larva Inang Spodoptera litura Fabricius (Lepidoptera: Noctuidae) terhadap Keberhasilan Hidup

TOKSISITAS METABOLIT SEKUNDER PENICILLIUM SP. PADA BERBAGAI MEDIA KULTUR UNTUK MENGENDALIKAN SPODOPTERA SP. SECARA IN VITRO

Keterangan : Yijk = H + tti + Pj + (ap)ij + Sijk. Sijk

I. PENDAHULUAN. Tanaman tebu (Saccharum officinarum L.) adalah satu anggota famili rumputrumputan

BAHAN DAN METODE. Pestisida, Medan Sumut dan Laboratorium Fakultas Pertanian Universitas Medan

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Hewan Percobaan Bahan dan Peralatan

Program Studi Entomologi, Pasca Sarjana Universitas Sam Ratulangi, Kampus UNSRAT Manado * korespondensi:

Rintisan Metode Pengamatan Hama Penggerek Buah Kopi (Hypothenemus hampei Ferr.) di Kabupaten Dairi Propinsi Sumatera Utara.

UJI PATOGENITAS JAMUR

Icerya purchasi & Rodolia cardinalis

BAB III METODE PERCOBAAN. Kelompok (RAK) Faktorial dengan 2 faktor perlakuan, yaitu perlakuan jenis

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Sebaran Jumlah Telur S. manilae Per Larva Inang

Jurnal Agroekoteknologi. E-ISSN No Vol.4. No.3, Juni (595) :

Jurnal Agroekoteknologi. E-ISSN No Vol.4. No.1, Desember (553) :

SKRIPSI OLEH: M. ZAHRIN SARAGIH HPT

MATERI DAN METODE. Materi

Transkripsi:

Pengaruh Lamanya Inokulasi Parasitoid Sturmiopsis inferens Town (Diptera: Tachinidae) terhadap Jumlah Inang Phragmatocia castaneae Hubner (Lepidoptera: Cossidae) di Laboratorium The Influence of Inoculation Periode Parasitoid Sturmiopsis inferens Town (Diptera: Tachinidae) on Larvae Number of Phragmatocia castaneae Hubner (Lepidoptera: Cossidae) in Laboratory Tetra Febryandi Sagala, Maryani Cyccu Tobing *,Lisnawita Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian, USU, Medan 20155 *Corresponding author: cyccu@indosat.net.id ABSTRACT The objectives of the research was to study the capability of S. inferens (Diptera: Tachinidae) after inoculated on larvae P. castaneae Hubner (Lepidoptera: Cossidae) with different types of the inoculation period and larvae numbers. The research was conducted in Laboratory of Sugarcane Research and Development Sei Semayang, Binjai, Medan, North Sumatera from November 2013 until January 2014. The method used Randomized Complete Design with two factors and three replications, the first factor was larvae number (30, 40, 50 larvae P. castaneae) and the second factor was inoculation period (25, 35, 45 minutes). The results showed that inoculation period, larvae numbers and interaction of both did not effected tobe become imago. Sex ratio of S. inferens effected on progeny producted with male and female 1.1 : 1.0 Keywords: inoculation, parasitoid, Sturmiopsis inferens, Phragmatocia castaneae. ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan S. inferens (Diptera: Tachinidae) menjadi imago setelah diinokulasi pada larva P. castaneae (Lepidoptera: Cossidae) dengan jumlah inang dan lama inokulasi yang berbeda. Penelitian dilakukan di Laboratorium Balai Riset dan Pengembangan Tebu Sei Semayang, Binjai, Medan, Sumatera Utara pada bulan November 2013 sampai Januari 2014. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap dengan dua faktor dan tiga ulangan. Faktor pertama adalah jumlah inang (30, 40, 50 larva P. castaneae), faktor kedua adalah lama inokulasi (25, 35, 45 menit). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa lama inokulasi dan jumlah larva serta interaksi keduanya tidak mempengaruhi keberhasilan menjadi imago. Nisbah kelamin S. inferens berpengaruh terhadap keturunan yang dihasilkan dengan perbandingan jantan dan betina 1,1 : 1,0 Kata kunci: inoculation, parasitoid, Sturmiopsis inferens, Phragmatocia castaneae. PENDAHULUAN Tebu merupakan bahan baku gula yang mengandung 20% cairan gula. Olahan tebu akan menghasilkan gula 5%, ampas tebu 90% dan sisanya berupa tetes (molasse) dan air. Pada tahun 2000 produksi gula Indonesia hanya sebesar 1,69 juta ton, tahun 2002 produksi gula mencapai 1,76 juta ton, sedangkan konsumsi gula nasional mencapai 3,3 juta ton, sehingga mencapai defisit sebesar 1,54 juta ton. Sementara pada tahun 2011 meningkat menjadi 2,23 juta ton atau meningkat sebesar 3,16%. Produksi tebu tertinggi selama periode tahun 2000-2011 terjadi pada tahun 2008 yang mencapai 2,69 juta ton. Namun sejak tahun 2008 hingga tahun 2011, produksi tebu mengalami 97

penurunan hingga 17,30% atau berkurang 155.362 ton/tahun (P3GI, 2011). Kerugian gula yang disebabkan oleh hama tebu di Indonesia ditaksir dapat mencapai 75%, beberapa diantaranya yang sering merusak dan menimbulkan kerugian yang cukup besar seperti serangga hama penggerek batang tebu bergaris (Chilo sacchariphagus), penggerek batang tebu berkilat (Chilo auricilius), penggerek batang jambon (Sesamia inferens) dan oleh serangan penggerek batang tebu raksasa (P. castaneae) (Nugroho, 2009). Phragmatocia castaneae (Lepidoptera: Cossidae) telah ada di Sumatera Utara sejak tahun 1977 yang ditemukan di perkebunan tebu khususnya di PTPN II. Serangan hama ini menjadi kendala dalam peningkatan produktivitas tebu karena menyebabkan kerugian dan kehilangan hasil gula yang cukup tinggi yaitu sekitar 15%. Tingginya intensitas serangan hama ini pula yang menjadi salah satu faktor penyebab turunnya produktivitas rata-rata tebu giling PTPN II dari 70 ton/ha menjadi hanya 40 ton/hektar. Kerugian gula akibat serangan hama ini ditentukan oleh jarak waktu antara saat penyerangan dan saat penebangan. Kehilangan rendemen dapat mencapai 50% jika menyerang tanaman tebu umur 4-5 bulan dan 4-15% pada tebu yang berumur 10 bulan (Suryana, 2007). Phragmatocia castaneae masuk ke dalam batang dengan membuat lorong gerekan pada pelepah daun. Pada serangan berat, bagian dalam batang akan hancur. Hama ini juga dapat merusak tebu-tebu liar (Chinwada et al., 2004). Pada serangan awal akan tampak adanya titik putih di bawah pelepah daun ke-3 atau ke-4 disertai dengan adanya gerekan larva yang baru menetas, selanjutnya terdapat lorong gerekan pada ruas muda maupun tua. Pada serangan berat tanaman tebu akan mati pucuk (PTPN II, 2001). Sampai saat ini penggerek batang tebu raksasa hanya ditemukan di Perkebunan Tebu Sumatera Utara. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Industri Gula tahun 1977 diperoleh bahwa kerugian hasil akibat serangan penggerek ini mencapai 60%. Pada tahun 1968 di Johor Baru, penggerek ini memusnahkan tanaman tebu seluas + 8.222 Ha, dan merupakan hama penting pada pertanaman tebu di PTP Nusantara II, Sumatera Utara (Purnama, 2007). Pengendalian secara hayati dapat dilakukan dengan melepas musuh alami hama penggerek batang raksasa (PBR) yaitu parasitoid telur Tumidiclava sp. dan parasitoid larva S. inferens dan Xanthocampoplex sp. Selain itu, penggunaan cendawan entomopatogen Beauveria bassiana dan Metarhizium anisopliae juga cukup efektif dalam mengendalikan hama PBR (Mahrub, 2000). Berbagai pengendalian hayati yang telah dilakukan oleh Risbang PTPN II denganmenggunakan parasitoid seperti: Tumidiclava sp., S. inferens, Xantocampoplex sp, Trichogramma spp. Salah satu parasitoid larva yang dapat memarasit P. castaneae dan menjadi inang utama yaitu S. inferens, namun belum memberi hasil yang memuaskan. Khususnya dalam usaha perbanyakan parasitoid S. inferens di laboratorium dijumpai berbagai hambatan seperti waktu inokulasi dan penyediaan inang. Dari uraian di atas, peneliti tertarik melakukan penelitian tentang pengaruh lama inokulasi S. inferens dan jumlah larva P. castaneae yang berbeda di laboratorium. BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Balai Riset dan Pengembangan Tebu PTPN II Sei Semayang (+50 m diatas permukaan laut) mulai November 2013 sampai Januari 2014. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial dengan 2 faktor dan 3 ulangan, yakni faktor 1 (jumlah larva P. castaneae instar ke 4) A1 = 30 larva A2 = 40 larva A3 = 50 larva Faktor 2 (Lama inokulasi larva S. inferens ke dalam tubuh larva P. castaneae) B1 = 25 menit B2 = 35 menit B3 = 45 menit Terhadap sidik ragam yang nyata, maka dilanjutkan analisa lanjutan dengan Uji 98

Jarak Berganda Duncan (DMRT) dengan taraf 5% (Steel & Torrie, 1993). Penyediaan larva P. castaneae diambil dari lapangan kemudian dipilah larva instar 4 umur ± 50-60 hari. Persiapan imago S. inferens jantan dan betina yang telah tersedia di laboratorium dikawinkan dalam tabung kaca. Setelah kopulasi, imago jantan dipisahkan dari imago betina. Imago betina yang telah berkopulasi dipelihara dalam kotak kassa dengan ukuran panjang 30 cm, lebar 30 cm dan tinggi 30 cm serta diberi pakan 2% madu. Setelah 10 hari dilakukan pembedahan terhadap imago betina dan diambil larvanya dengan cara diletakkan pada kaca cembung. Larva S. inferens diinokulasi 2 ekor. Pada permukaan tubuh diantara ruas kepala dengan ruas thorax diletakkan 1 ekor dan pada abdomen larva P. castaneae diletakkan 1 ekor lagi dengan jumlah dan lama inokulasi sesuai masing-masing perlakuan. Larva yang telah diinokulasi dimasukkan ke dalam tabung berukuran tinggi 2 cm dan diameter 2,5 cm dan didiamkan selama 1 jam untuk memberikan waktu larva S. inferens masuk ke dalam tubuh inangnya kemudian larva tersebut dimasukan ke dalam gelagah dengan panjang 15 cm dan diameter ± 1 cm yang telah dilubangi bagian dalamnya lalu ditutup kembali. Peubah amatan terdiri dari: 1. Persentase Parasititasi Pengamatan dilakukan 20 hari setelah inokulasi dengan cara membongkar gelagah yang berisi larva P. castaneae sesuai dengan masing-masing perlakuan. Persentase larva yang terparasit dapat dihitung dengan rumus: Ps = P S x 100% Keterangan: Ps = Persentase parasitisme P = Jumlah larva inang yang terparasit S = Total larva inang (Khairiyah, 2008). 2. Tingkat Keberhasilan Parasitoid S. inferens menjadi Imago Pengamatan dilakukan 20 hari setelah inokulasi dengan membuka gelagah untuk mengumpulkan larva yang telah terparasit dan menjadi pupa S. inferens kemudian dihitung jumlah pupa pada masing-masing perlakuan. Pupa dimasukkan ke dalam cawan petri, lalu dipelihara dalam kotak kassa kemudian dihitung jumlah pupa S. inferens yang menjadi imago dengan cara mengamati kotak kassa setiap hari sampai semua pupa menjadi imago. 3. Nisbah Kelamin Jantan dan Betina S. inferens Untuk mengetahui nisbah kelamin jantan dan betina S. inferens dilakukan dengan mengamati parasitoid yang muncul dari pupa yang dapat dilihat dengan kasat mata dan ditunggu hingga parasitoid tersebut mati. Selanjutnya dihitung imago jantan dan betina S. inferens dari masing masing perlakuan, sehingga akan diperoleh nisbah kelamin S. inferens. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Persentase Parasititasi Hasil pengamatan dan analisa sidik ragam lama inokulasi S. inferens terhadap persentase parasititasi pada P. castaneae tidak berpengaruh nyata (Tabel 1). Tabel 1.Pengaruh lama inokulasi S. inferens terhadap persentase parasititasi pada P. castaneae. Lama Inokulasi Jumlah Larva Terparasit (%) B1 (25 menit) 67,76 B2 (35 menit) 64,07 B3 (45 menit) 63,46 Tabel 1 menunjukkan bahwa persentase parasitasi tertinggi (67,76%) pada perlakuan B1 (lama inokulasi 25 menit) dan terendah (63,46%) pada perlakuan B3 (lama inokulasi 45 menit). Hal ini disebabkan standar waktu yang optimal untuk inokulasi adalah 12 detik per larva, sementara pada ketiga perlakuan telah terjadi penambahan waktu inokulasi lebih dari 12 detik setiap larvanya. Sehingga semakin lama waktu inokulasi akan mempengaruhi kegagalan parasititasi, yaitu pada waktu inokulasi larva S. inferens tidak aktif lagi untuk memasit inangnya akibat pengaruh lingkungan sehingga mengurangi daya parasitoidnya. Hal 99

ini sesuai dengan penelitian Wirioatmodjo (1977) terhadap parasitoid Diatraeophaga striatalis Town (Diptera: Tachinidae) pada larva Chilo auricilius Dugdeon (Lepidoptera: Pyralidae) yang menyatakan bahwa keberhasilan parasititasi tergantung pada waktu proses peletakan larva ke tubuh inangnya. Lama rata rata peletakan larva adalah 12 detik. Semakin cepat waktu proses peletakan larva semakin tinggi kemampuan memarasit sedangkan semakin lama menyebabkan turunnya kemampuan memarasit. Hasil analisa sidik ragam menunjukkan bahwa pengaruh jumlah larva S. inferens terhadap persentase parasititasi pada P. castaneae menunjukkan hasil yang tidak berpengaruh nyata (Tabel 2) Tabel 2. Pengaruh jumlah larva P. castaneae terhadap persentase parasititasi Jumlah Larva Jumlah Larva Terparasit (%) A1 (30 larva) 62,96 A2 (40 larva) 63,89 A3 (50 larva) 68,44 Tabel 2 menunjukan bahwa persentase parasititasi tertinggi (68,44 %) pada perlakuan A3 (50 larva) dan terendah (62,96 %) pada perlakuan A1 (30 larva). Hasil penelitian ini dapat dilihat bahwa jumlah inang tidak mempengaruhi persentase parasititasi disebabkan larva S. inferens lebih banyak memarasit inang tersebut. Ditjenbud (2011) menyatakan jumlah larva S. inferens yang dihasilkan pada satu induk betina sekitar 100-500 larva, sehingga semua inang dapat diparasit karena ketersediaan larva S. inferens. Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa ada perbedaan jumlah larva yang diinokulasikan. Total pupa yang terbentuk bergantung pada jumlah inang. Semakin besar ketersediaan inang maka keturunan yang akan dihasilkan oleh parasitoid S. inferens semakin besar jumlahnya. Saragih et al. (1986) menyatakan bahwa kepadatan inang dan kepadatan parasitoid dapat berpengaruh pada parasitasi parasitoid. Penelitian ini tidak berbeda jauh dengan Thomson (2012) terhadap Ormia ochracea (Diptera: Tachinidae) pada Gryllus texentis (Orthoptera: Gryllidae) yang menyatakan bahwa ketersediaan inang dan jumlah inang akan mempengaruhi jumlah keturunan dari parasitoid, semakin banyak inang yang diparasit maka jumlah keturunannya akan semakin banyak. Hasil analisa sidik ragam menunjukan bahwa pengaruh interaksi jumlah inang dan lama inokulasi P. castaneae yang digunakan tidak berpengaruh nyata terhadap persentase parasititasi. Persentase larva yang terparasit tertinggi (57,47%) pada perlakuan A2B1(40 larva 25 menit) dan terendah (47,39%) pada perlakuan A2B3 (40 larva 45 menit). 2. Tingkat Keberhasilan Pupa S. inferens menjadi Imago Tabel 3. Pengaruh interaksi lama inokulasi dan jumlah inang terhadap tingkat keberhasilan pupa S. inferens menjadi imago Perlakuan Jumlah Pupa menjadi Imago (%) A1B1 (30 larva 25 menit) 100 A1B2 (30 larva 35 menit) 100 A1B3 (30 larva 45 menit) 100 A2B1 (40 larva 25 menit) 100 A2B2 (40 larva 35 menit) 100 A2B3 (40 larva 45 menit) 100 A3B1 (50 larva 25 menit) 100 A3B2 (50 larva 35 menit) 100 A3B3 (50 larva 45 menit) 100 Tabel 3 menunjukkan bahwa tingkat keberhasilan pupa S. inferens menjadi imago pada setiap perlakuan yaitu sebesar 100% yang berarti bahwa semua pupa S. inferens yang dipelihara dalam kelambu menjadi imago. Hal ini disebabkan nutrisi dalam tubuh larva P. castaneae dapat memenuhi kebutuhan larva S. inferens, sehingga larva tersebut dapat melanjutkan siklus hidupnya. Sesuai dengan penelitian Foerster & Doetzer (2002) terhadap parasitoid Peleteria robusta (Diptera: Tachinidae) pada larva Mythmina sequax (Lepidoptera: Noctuidae) menyatakan bahwa semakin tinggi daya parasitasi semakin tinggi 100

pula pupa yang terbentuk, karena untuk dapat membentuk pupa (berlanjut ke stadia berikutnya) seekor larva parasitoid harus dapat memarasit inang untuk dapat hidup. Memarasit inang berarti larva dapat memperoleh pakan untuk tumbuh dan berkembang, apabila nutrisi yang diperoleh larva tidak optimal dapat menyebabkan gagalnya larva melanjutkan ke stadia berikutnya. Lebih lanjut Verly et al. (1973) menyatakan bahwa larva yang memperoleh pakan yang cukup dapat menyelesaikan perkembangannya, sedangkan yang tidak mendapatkan pakan akan mati. Keberhasilan larva menjadi pupa umumnya berlangsung 20 hari setelah inokulasi dan melanjutkan hidup ke stadia imago. 3. Nisbah Kelamin Jantan dan Betina S. inferens Hasil analisa sidik ragam menunjukkan bahwa pengaruh lama inokulasi larva S. inferens ke dalam tubuh larva P. castaneae berpengaruh nyata terhadap nisbah kelamin (Tabel 4) Tabel 4. Pengaruh jumlah larva P. castaneae terhadap nisbah kelamin jantan dan betina S. inferens Jumlah Parasitoid Jumlah Nisbah Kelamin S. inferens (ekor) Larva Jantan Betina Jantan Betina A1 (30 9,33c 9,56c 1,0 0,9 larva) A2 (40 13,89b 11,67b 1,1 0.8 larva) A3 (50 17,56a 16,67a 1,0 0.9 larva) Keterangan : Angka yang diikuti dengan notasi huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada Uji Jarak Duncan taraf 5%. Dari Tabel 4 dapat dilihat bahwa jumlah S. inferens jantan tertinggi (17,56 ekor) pada perlakuan A3 (50 larva) dan terendah (9,33 ekor) pada perlakuan A1 (30 larva) sedangkan jumlah S. inferens betina tertinggi (16,67 ekor) pada perlakuan A3 (50 larva) dan terendah (9,56 ekor) pada perlakuan A1 (30 larva). Imago parasitoid jantan yang dihasilkan lebih banyak dibandingkan imago parasitoid betina serta jumlah imago tertinggi terdapat pada perlakuan 50 larva. Hal ini menunjukan jumlah inang mempengaruhi jumlah parasitoid yang dihasilkan. Sesuai dengan penelitian Davis et al. (2013) pada parasitoid Zelia vertebrata (Diptera: Tachinidae) dengan larva Odontotaenius disjunctus (Coleoptera: Passalidae) yang menyatakan jumlah inang berlimpah maka jumlah keturunan dapat meningkat. Parasitoid umumnya bergantung pada kerapatan inang, dengan demikian semakin banyak ketersediaan inang semakin banyak pula inang yang terparasit, begitu pula sebaliknya. Dari Tabel 4 dapat dilihat bahwa jumlah parasitoid jantan yang muncul lebih tinggi dibandingkan betina dengan nisbah jantan dan betina 1,1:1,0. Hasil pengamatan terhadap nisbah kelamin S. inferens dalam penelitian ini tidak berbeda dengan hasil penelitian Saragih et al. (2006) mengenai parasitoid S. inferens pada larva P. castaneae yang menyatakan bahwa perbandingan antara imago jantan dan imago betina S. inferens 1,13: 1,0. Perbandingan tersebut menunjukkan jumlah imago jantan lebih besar dari imago betina. Hal ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor yang mempengaruhi S. inferens. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Welch (2006) terhadap parasitoid Ormia deplete (Diptera: Tachinidae) pada Scapteriscus spp. (Orthoptera: Gryllotalpidae) yang menyatakan bahwa nisbah kelamin dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti karakteristik spermatozoa, viabilitas, transformergen, pautan dan resesif, suhu, segregation distortion dan umur jantan. SIMPULAN Persentase parasitasi tertinggi (67,76%) terdapat pada perlakuan B1 (lama inokulasi 25 menit) dan terendah (63,46%) pada perlakuan B3 (lama inokulasi 45 menit). Persentase larva yang terparasit tertinggi (68,44%) pada perlakuan A3 (jumlah inang 50 larva) dan terendah (62,96%) pada perlakuan A1 (jumlah inang 30 larva). Hasil pengamatan tingkat keberhasilan pupa S. inferens menjadi imago yaitu 100% pada semua perlakuan yang diuji. Nisbah kelamin jantan dan betina yang diperoleh dari hasil penelitian yaitu 1,1:1,0. 101

Perbanyakan parasitoid S. inferens di laboratorium dapat dilakukan pada jumlah inang 50 larva dengan lama inokulasi 25 menit. DAFTAR PUSTAKA Chinwada P., Overholt WA., Omwega CO & Mueke JM. 2004. Biology of Sturmiopsis parasitica (Diptera: Tachinidae) and Suitability of Three Cereal Stem Borers (Lepidoptera: Crambidae, Noctuidae) for Its Development. Entomol. Soc. Am.97(1):153-160. Davis AK., Cornelius E & Cox D. 2013. Tachinid (Diptera: Tachinidae) Parasitism in Adult Horned Passalus beetles (Coleoptera: Passalidae) at the Wormsloe Historic Site, Savannah, Georgia. J. Entomol. Sci. 48(3):1-3. Ditjenbun. 2011. Lalat Sturmiopsis Sahabat Petani Tebu. http://ditjenbun.deptan. go.id. (5 Agustus 2013). Foerster LA & Doetzer AK. 2002. Host Instar Preference of Peleteria robusta (Wiedman) (Diptera: Tachinidae) and Development in Relation to Temperature. Neotrop. Entomol. 31(3):405-409. Khairiyah U. 2008. Daya Parasitasi Lalat (Sturmiopsis inferens Town) (Diptera: Tachinidae) Turunan dari Beberapa Hasil Perkawinan pada Larva Penggerek Batang Tebu Raksasa (Phragmatoecia castaneae Hubner) (Lepidoptera: Cossidae) di Laboratorium. Skripsi. Universitas Sumatera Utara, Medan. Mahrub E. 2000. Evaluasi Potensi Parasitoid Penggerek Pucuk Tebu di Kabupaten Bantul. J. Perlind. Tan. Indonesia 6(1):18-22. Nugroho BA. 2009. Hama Penggerek Pucuk dan Teknik Pengendaliannya. www.ditjenbun.deptan.go.id. (5 Agustus 2013). PTPN II (Persero). 2001. Pengendalian Secara Hayati Penggerek Batang Raksasa (Phragmatoecia castaneae Hubner) pada Tanaman Tebu. PTPN II Tg. Morawa, Medan. P3GI (Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia). 2011. Konsep Peningkatan Rendemen untuk Mendukung Program Akselerasi Industri Gula Nasional. www.isri@telkom.net. (5 Agustus 2013). Purnama A. 2007. Pengendalian Hama Penggerek Tebu (Phragmatoecia castaneae). Penelitian Tembakau Deli PTPN II, Medan. Saragih R., Harahap CP & Boedijono. 2006. Perkawinan Sturmiopsis inferens Town, Lalat Parasit dari Phragmatoecia castaneae Hubner. PTP IX, Medan. Saragih R., Zuraida B & Abidin Z. 1986. Pembiakan Sturmiopsis inferens Town. dan Kemampuan Memarasit Phragmatoecia castaneae Hubner. Prosiding Temu Ilmiah Entomologi Perkebunan Indonesia, Medan. 8 Oktober 1986. Hlm 143-145. Steel RGR & Torrie JH. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Suryana A. 2007. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Tebu. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta. Thomson IR., Vincent CM & Bertram SM. 2012. Success of the Parasitoid Fly Ormia ochracea (Diptera: Tachinidae) on Natural and Unnatural Cricket Hosts. J. Florida Entomol. 95(1):43-48. Welch CH. 2006. Intraspecific Competition for Resources by Ormia depleta (Diptera: Tachinidae) Larvae. J. Florida Entomol. 89(4):497-501. Wirioatmodjo B. 1977. Hayati Lalat Jatiroto, Diatraeophaga striatalis Townsend dan Penerapannya dalam Pengendalian Penggerek Berkilat, Chilo auricilius Dudgeon. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Verly GC., Grandwell GN & Hassel MP. 1973. Insect Populataion Ecology and Analitical Approach Black Well. Publisher Oxford, London. P.209. 102

103