BAB II LANDASAN TEORI. pada lingkungannya (Sunarto dan Hartono, 2008). Penyesuaian merupakan

dokumen-dokumen yang mirip
MODUL PERKULIAHAN. Kesehatan Mental. Kesehatan Mental yang Berkaitan dengan Kesejahketaan Psikologis (Penyesuaian Diri)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Penyesuaian Diri. dalam dirinya, ketegangan-ketegangan, konflik-konflik, dan

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

Psikologi Konseling Pendekatan Terapi Realitas (Reality Therapy)

BAB II LANDASAN TEORI. administrators ( diaskes tanggal 7

BAB I PENDAHULUAN. manakala unsur-unsur tersebut menyatu dalam dirinya. tersebut dikaitkan dengan kedudukannya sebagai makhluk individu dan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia pada hakekatnya adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Manusia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dengan adaptasi (Lazarus, 1969). Penyesuaian diri merupakan proses

Psikologi Konseling Agustini, M.Psi., Psikolog MODUL PERKULIAHAN. Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh

BAB II TINJAUAN TEORITIS. A. Karyawan PT. INALUM. capital, yang artinya karyawan adalah modal terpenting untuk menghasilkan nilai

BAB II LANDASAN TEORI. Teori dan penelitian mengenai self regulated learning mulai muncul

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Penyesuaian Diri. Manusia dalam perkembangannya, sebagai makhluk sosial tidak lepas dari

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dimaksud adalah lingkungan sosial yang berisi individu-individu yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Penyesuaian Diri

BAB I PENDAHULUAN. ingin dicapai dari proses pendidikan yaitu menghasilkan manusia yang terdidik

I. PENDAHULUAN. Secara hakiki, manusia merupakan makhluk sosial yang selalu membutuhkan

Reality Therapy. William Glasser

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki ambang millennium ketiga, masyarakat Indonesia mengalami

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk sosial,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan desain eksperimen kasus tunggal (singlecase

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. lingkungan. Ketika remaja dihadapkan pada lingkungan baru misalnya lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. Stres senantiasa ada dalam kehidupan manusia yang terkadang menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Manusia tidak dapat hidup seorang diri karena manusia merupakan

Penyesuaian Diri LIA AULIA FACHRIAL, M.SI

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa anak-anak menuju masa

HUBUNGAN ANTARA KEYAKINAN DIRI AKADEMIK DENGAN PENYESUAIAN DIRI SISWA TAHUN PERTAMA SEKOLAH ASRAMA SMA PANGUDI LUHUR VAN LITH MUNTILAN

BAB I PENDAHULUAN. atau interaksi dengan orang lain, tentunya dibutuhkan kemampuan individu untuk

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 2014

PROFIL PENYESUAIAN SOSIAL SISWA KELAS VIII SMP NEGERI 35 JAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. untuk saling berinteraksi. Melalui interaksi ini manusia dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas

BAB II LANDASAN TEORI

EFEKTIFITAS LAYANAN KONSELING KELOMPOK DENGAN PENDEKATAN GESTALT

BAB III METODE PENELITIAN

BAB II LANDASAN TEORI

Psikologi Konseling MODUL PERKULIAHAN. Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh 10

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Mutia Ramadanti Nur,2013

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. sebagai contoh kasus tawuran (metro.sindonews.com, 25/11/2016) yang terjadi. dengan pedang panjang dan juga melempar batu.

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki era globalisasi yang terjadi saat ini ditandai dengan adanya

BAB II LANDASAN TEORI. yang terbentuk melalui pengalaman-pengalaman yang diperoleh dari interaksi

BAB I PENDAHULUAN. dan berfungsinya organ-organ tubuh sebagai bentuk penyesuaian diri terhadap

HUBUNGAN ANTARA SELF-EFFICACY DENGAN PENYESUAIAN DIRI PADA SISWA AKSELERASI. Widanti Mahendrani 1) 2)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Devi Eryanti, 2013

BAB IV PEMBAHASAN. penelitian. Subyek dalam penelitian ini adalah mahasiswa baru tahun

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia adalah makhluk sosial yang senantiasa ingin berinteraksi dengan

BAB I PENDAHULUAN. pemenuhan hasrat seksual, dan menjadi lebih matang. Pernikahan juga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ditandai dengan adanya perkembangan yang pesat pada individu dari segi fisik, psikis

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah internasional adalah sekolah yang melayani siswa yang berasal dari sejumlah

BAB I PENDAHULUAN. tersebut dapat beradaptasi dengan baik maka ia akan memiliki kehidupan

NO. Hal yang diungkap Daftar Pertanyaan

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. lain. Sebagai makhluk sosial manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri,

BAB I PENDAHULUAN. diinginkan karena adanya keterbatasan-keterbatasan, baik fisik maupun mental.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. lainnya khususnya di lingkungannya sendiri. Manusia dalam beraktivitas selalu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Penyesuaian Sosial. Manusia adalah makhluk sosial.di dalam kehidupan sehari-hari manusia

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN KELUARGA DENGAN PRESTASI BELAJAR SISWA. Skripsi

BAB I PENDAHULUAN. seorang peserta didik adalah belajar. Menurut Gagne (Hariyanto, 2010), belajar

BAB I PENDAHULUAN. Di dalam kehidupannya, individu sebagai makhluk sosial selalu

BAB I PENDAHULUAN. orang lain dan membutuhkan orang lain dalam menjalani kehidupannya. Menurut

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB II KAJIAN PUSTAKA. untuk mengatasi tekanan kebutuhan, frustrasi dan kemampuan untuk. mengembangkan mekanisme psikologi yang tepat diungkapkan oleh

PERKEMBANGAN KOGNITIF (INTELEKTUAL) (PIAGET) Tahap operasional formal (operasi = kegiatan- kegiatan mental tentang berbagai gagasan) Dapat berpikir lo

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. mengembangan berbagai potensi yang dimiliki anak. Usia 4-6 tahun adalah suatu tahap

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. pada masa remaja, salah satunya adalah problematika seksual. Sebagian besar

BAB I PENDAHULUAN. ketidakmampuan. Orang yang lahir dalam keadaan cacat dihadapkan pada

EMPATI DAN PERILAKU PROSOSIAL PADA ANAK

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. luas. Fenomena ini sudah ada sejak dulu hingga sekarang. Faktor yang mendorong

BAB II LANDASAN TEORI. rendah atau tinggi. Penilaian tersebut terlihat dari penghargaan mereka terhadap

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Hasil akhir dari pendidikan seseorang individu terletak pada sejauh mana hal

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Sebagai makhluk hidup sosial, dalam kesehariannya senantiasa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam

BAB I PENDAHULUAN. melalui pendidikan formal maupun nonformal. mempermudah mendapatkan pekerjaan. Berdasarkan data dari Badan

TERAPI REALITAS UNTUK MEMBAWA GENERASI MUDA INDONESIA KEMBALI KEPADA REALITA KEHIDUPAN SAAT INI.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. mencari pengalaman hidup serta ingin menuntut ilmu yang lebih tinggi di

PEDOMAN WAWANCARA. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi penyesuaian dengan

BAB I PENDAHULUAN. individu dengan individu yang lain merupakan usaha manusia dalam

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan segmen kehidupan yang penting dalam siklus

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pada prinsipnya sebagai makhluk sosial, antara individu yang satu dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dan berlangsung terus-menerus sepanjang kehidupan. Hal demikian

5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

TINJAUAN PUSTAKA Keluarga Nilai Anak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Departemen Kesehatan (1988, dalam Effendy 1998)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dalam kehidupan remaja, karena remaja tidak lagi hanya berinteraksi dengan keluarga

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini membahas hal-hal yang berkaitan dengan inti dan arah penelitian,

BAB II KAJIAN PUSTAKA. proses penyesuaian diri seseorang dalam konteks interaksi dengan lingkungan

MENGATASI PERILAKU MEMBOLOS MELALUI PENDEKATAN KONSELING REALITA PADA SISWA KELAS VII Di MTS NU UNGARAN. Oleh M. Andi Setiawan, M.

BAB I PENDAHULUAN. Remaja merupakan fase yang disebut Hall sebagai fase storm and stress

BAB I PENDAHULUAN. semakin menyadari pentingnya mendapatkan pendidikan setinggi mungkin. Salah

Transkripsi:

14 BAB II LANDASAN TEORI A. Penyesuaian Diri Penyesuaian mengacu pada seberapa jauhnya kepribadian individu berfungsi secara efisien dalam masyarakat (Hurlock, 2005). Penyesuaian adalah usaha menusia untuk mencapai keharmonisan pada diri sendiri dan pada lingkungannya (Sunarto dan Hartono, 2008). Penyesuaian merupakan suatu proses untuk mencari titik temu antara kondisi diri sendiri dan tuntutan lingkungan (Mu tadin, 2002). 1. Pengertian Penyesuaian Diri Seorang individu tidak dilahirkan dalam keadaan sudah mampu menyesuaikan diri atau tidak mampu menyesuaikan diri. Penyesuaian diri berlangsung secara terus menerus antara memuaskan kebutuhan diri sendiri dan tuntutan lingkungan, termasuk tuntutan orang lain secara kelompok ataupun masyarakat. Hal ini yang menjadikan penyesuaian diri sebagai komponen penting agar tercapai individu yang sehat secara fisik dan mental (Mu tadin, 2002). Penyesuaian diri adalah reaksi individu terhadap tuntutan yang dihadapkan kepada individu tersebut. Tuntutan psikologis yang dimaksud dapat diklasifikasikan menjadi tuntutan eksternal dan tuntutan internal (Vembriarto, 1993). Selanjutnya Vembriarto (1993) juga menjelaskan bahwa penyesuaian diri yang dilakukan individu dapat dipahami sebagai

15 hasil (achievement) dan atau sebagai proses. Penyesuaian diri sebagai hasil berhubungan dengan kualitas atau efisiensi penyesuaian diri yang dilakukan individu. Penyesuaian diri individu dapat dievaluasi menjadi baik atau buruk dan secara praktis dapat dibandingkan dengan penyesuaian diri yang dilakukan oleh individu lain dengan meninjau kualitas atau efesiensinya. Konsep kedua, yaitu penyesuaian diri sebagai proses menekankan pada cara atau pola yang dilakukan individu untuk menghadapi tuntutan yang dihadapkan kepadanya. Runyon dan Haber (1984) mengemukakan bahwa penyesuaian diri dapat dipandang sebagai keadaan (state) atau sebagai proses. Penyesuaian diri sebagai keadaan berarti bahwa penyesuaian diri merupakan suatu tujuan yang ingin dicapai oleh individu. Menurut Runyon dan Haber, konsep penyesuaian diri sebagai keadaan mengimplikasikan bahwa individu merupakan keseluruhan yang bisa bersifat well adjusted dan maladjusted. Individu yang memiliki penyesuaian diri yang baik terkadang tidak dapat meraih tujuan yang ditetapkannya, membuat dirinya atau orang lain kecewa, merasa bersalah, dan tidak dapat lepas dari perasaan takut dan kuatir. Penyesuaian diri sebagai tujuan atau kondisi ideal yang diharapkan tidak mungkin dicapai oleh individu dengan sempurna. Tidak ada individu yang berhasil menyesuaikan diri dalam segala situasi sepanjang waktu karena situasi senantiasa berubah. Runyon dan Haber (1984) menjelaskan bahwa penyesuaian dirimerupakan proses yang terus berlangsung dalam kehidupan individu. Situasi dalam kehidupan selalu berubah. Individu

16 mengubah tujuan dalam hidupnya seiring dengan perubahan yang terjadi di lingkungannya. Berdasarkan konsep penyesuaian diri sebagai proses, penyesuaian diri yang efektif dapat diukur dengan mengetahui bagaimana kemampuan individu menghadapi lingkungan yang senantiasa berubah. Calhoun dan Acocella (1990) menyatakan bahwa penyesuaian diri adalah interaksi individu yang terus-menerus dengan dirinya sendiri, dengan orang lain dan dengan lingkungan sekitar tempat individu hidup. Schneiders menyatakan bahwa penyesuaian diri merupakan suatu proses yang mencakup respon mental dan tingkah laku individu, yaitu individu berusaha keras agar mampu mengatasi konflik dan frustrasi karena terhambatnya kebutuhan dalam dirinya, sehingga tercapai keselarasan dan keharmonisan antara diri sendiri dengan lingkungannya. Penyesuaian diri juga sebagai interaksi terus-menerus antara individu dengan lingkungannya yang melibatkan sistem behavioral, kognisi, dan emosional. Dalam interaksi tersebut baik individu maupun lingkungan menjadi agen perubahan. (Schneiders, 1991). Penyesuaian diri diartikan sebagai keberhasilan seseorang untuk menyesuaikan diri terhadap orang lain pada umumnya dan terhadap kelompok pada khususnya (Hurlock, 2006). Orang yang dapat menyesuaikan diri dengan baik mempelajari berbagai keterampilan sosial seperti kemampuan untuk menjalin hubungan secara diplomatis dengan orang lain, baik teman maupun orang yang tidak dikenal sehingga sikap orang lain terhadap mereka menyenangkan. Meichiati (1983) menyebutkan

17 penyesuaian sosial adalah usaha untuk menciptakan situasi dan kondisi yang serasi antara seseorang dengan masyarakat sekitarnya sehingga terjadi hubungan yang bertimbal balik yang harmonis antara keduanya. Penyesuaian sosial dapat berlangsung karena ada dorongan manusia untuk memenuhi kebutuhan. Pemenuhan kebutuhan ini adalah untuk mencapai kesimbangan antara tuntutan sosial dengan harapan yang ada dalam dirinya. Schneiders (1991) mendefenisikan penyesuaian diri sebagai suatu kemampuan untuk berinteraksi secara efektif dan bermanfaat terhadap realitas, situasi dan relasi sosial sehingga kriteria yang harus dipenuhi dalam kehidupan sosialnya dapat terpenuhi dengan cara-cara yang dapat diterima dan memuaskan. Menurut Agustina (2006), penyesuaian diri merupakan penyesuaian yang dilakukan individu terhadap lingkungan yang berada di luar dirinya seperti lingkungan rumah, sekolah dan masyarakat. Berdasarkan pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa penyesuaian diri adalah kemampuan individu dalam menghadapi perubahan yang terjadi dalam hidupnya, untuk mempertemukan tuntutan diri dan lingkungan agar tercapai keadaan atau tujuan yang diharapkan oleh diri sendiri dan lingkungannya.

18 2. Kriteria Penyesuaian Diri Penyesuaian diri berlangsung secara terus-menerus dalam diri individu dan lingkungan. Schneiders (1991) memberikan kriteria individu dengan penyesuaian diri yang baik, yaitu sebagai berikut : a) Pengetahuan tentang kekurangan dan kelebihan dirinya. b) Objektivitas diri dan penerimaan diri c) Kontrol dan perkembangan diri d) Integrasi pribadi yang baik e) Adanya tujuan dan arah yang jelas dari perbuatannya f) Adanya perspektif, skala nilai, filsafat hidup yang adekuat g) Mempunyai rasa humor h) Mempunyai rasa tanggung jawab i) Menunjukkan kematangan respon j) Adanya perkembangan kebiasaan yang baik k) Adanya adaptabilitas l) Bebas dari respon-respon yang simtomatis atau cacat m) Memiliki kemampuan bekerjasama dan menaruh minat terhadap orang lain n) Memiliki minat yang besar dalam bekerja dan bermain o) Adanya kepuasan dalam bekerja dan bermain p) Memiliki orientasi yang adekuat terhadap realitas

19 Lazarus (1961) menyatakan bahwa penyesuaian diri yang baik mencakup empat ciri sebagai berikut : a) Kesehatan fisik yang baik Kesehatan fisik yang baik berarti individu bebas dari gangguan kesehatan seperti sakit kepala, gangguan pencernaan dan masalah selera makan ataupun masalah fisik yang disebabkan faktor psikologis. b) Kenyamanan psikologis Individu yang merasakan kenyamanan psikologis berarti terbebas dari gejala psikologis seperti obsesif-kompulsif, kecemasan dan depresi. c) Efisiensi kerja Efisiensi kerja dapat dicapai bila individu mampu memanfaatkan kapasitas kerja maupun sosialnya. d. Penerimaan sosial Penerimaan sosial terjadi bila individu diterima dan dapat berinteraksi dengan individu lain. Individu dapat diterima dan berinteraksi dengan individu lain jika individu mematuhi norma dan nilai yang berlaku.

20 3. Aspek-aspek Penyesuaian Diri Schneiders (1991) mengungkapkan bahwa penyesuaian diri yang baik meliputi enam aspek sebagai berikut : a. Kontrol terhadap emosi yang berlebihan Aspek pertama menekankan kepada adanya kontrol dan ketenangan emosi individu yang memungkinkannya untuk menghadapi permasalahan secara inteligen dan dapat menentukan berbagai kemungkinan pemecahan masalah ketika muncul hambatan. Bukan berarti tidak ada emosi sama sekali, tetapi lebih kepada kontrol emosi ketika menghadapi situasi tertentu. b) Mekanisme pertahanan diri yang minimal Aspek kedua menjelaskan pendekatan terhadap permasalahan lebih mengindikasikan respon yang normal dari pada penyelesaian masalah yang memutar melalui serangkaian mekanisme pertahanan diri yang disertai tindakan nyata untuk mengubah suatu kondisi. Individu dikategorikan normal jika bersedia mengakui kegagalan yang dialami dan berusaha kembali untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. Individu dikatakan mengalami gangguan penyesuaian jika individu mengalami kegagalan dan menyatakan bahwa tujuan tersebut tidak berharga untuk dicapai. c) Frustrasi personal yang minimal Individu yang mengalami frustrasi ditandai dengan perasaan tidak berdaya dan tanpa harapan, maka akan sulit bagi individu untuk

21 mengorganisir kemampuan berpikir, perasaan, motivasi dan tingkah laku dalam menghadapi situasi yang menuntut penyelesaian. d) Pertimbangan rasional dan kemampuan mengarahkan diri Individu memiliki kemampuan berpikir dan melakukan pertimbangan terhadap masalah atau konflik serta kemampuan mengorganisasi pikiran, tingkah laku dan perasaan untuk memecahkan masalah, dalam kondisi sulit sekalipun menunjukkan penyesuaian yang normal. Individu tidak mampu melakukan penyesuaian diri yang baik apabila individu dikuasai oleh emosi yang berlebihan ketika berhadapan dengan situasi yang menimbulkan konflik. e) Kemampuan untuk belajar dan memanfaatkan pengalaman masa lalu. Penyesuaian normal yang ditunjukkan individu merupakan proses belajar berkesinambungan dari perkembangan individu sebagai hasil dari kemampuannya mengatasi situasi konflik dan stres. Individu dapat menggunakan pengalamannya maupun pengalaman orang lain melalui proses belajar. Individu dapat melakukan analisis mengenai faktor-faktor apa saja yang membantu dan mengganggu penyesuaiannya.

22 f) Sikap realistik dan objektif Sikap yang realistik dan objektif bersumber pada pemikiran yang rasional, kemampuan menilai situasi, masalah dan keterbatasan individu sesuai dengan kenyataan sebenarnya. Hurlock (2006) mengemukakan aspek-aspek dalam penyesuaian diri, antara lain : a) Penampilan nyata Overperformance yang diperlihatkan individu sesuai norma yang berlaku di dalam kelompoknya, berarti individu dapat memenuhi harapan kelompok dan dapat diterima menjadi anggota kelompok tersebut. b) Penyesuaian diri terhadap kelompok Hal ini berarti bahwa individu tersebut mampu menyesuaikan diri secara baik dengan kelompok yang dimasukinya, baik teman sebaya maupun orang dewasa. c) Sikap sosial Individu mampu menunjukkan sikap yang menyenangkan terhadap orang lain, ikut berpartisipasi dan dapat menjalankan perannya dengan baik dalam kegiatan sosial. d) Kepuasan pribadi Hal ini ditandai dengan adanya rasa puas dan perasaan bahagia karena dapat ikut ambil bagian dalam aktifitas kelompoknya dan mampu menerima diri sendiri apa adanya dalam situasi sosial.

23 Runyon dan Haber (1984) menyebutkan bahwa penyesuaian diri yang dilakukan individu memiliki 5 (lima) aspek sebagai berikut : a) Persepsi terhadap realitas Individu mengubah persepsinya tentang kenyataan hidup dan menginterpretasikannya, sehingga mampu menentukan tujuan yang realistik sesuai dengan kemampuannya serta mampu mengenali konsekuensi dan tindakannya agar dapat menuntun pada perilaku yang sesuai. b) Kemampuan mengatasi stres dan kecemasan Mempunyai kemampuan mengatasi stres dan kecemasan berarti individu mampu mengatasi masalah-masalah yang timbul dalam hidup dan mampu menerima kegagalan yang dialami. c) Gambaran diri yang positif Gambaran diri yang positif berkaitan dengan penilaian individu tentang dirinya sendiri. Individu mempunyai gambaran diri yang positif baik melalui penilaian pribadi maupun melalui penilaian orang lain, sehingga individu dapat merasakan kenyamanan psikologis. d) Kemampuan mengekspresikan emosi dengan baik Kemampuan mengekspresikan emosi dengan baik berarti individu memiliki ekspresi emosi dan kontrol emosi yang baik.

24 e) Hubungan interpersonal yang baik Memiliki hubungan interpersonal yang baik berkaitan dengan hakekat individu sebagai makhluk sosial, yang sejak lahir tergantung pada orang lain.individu yang memiliki penyesuaian diri yang baik mampu membentuk hubungan dengan cara yang berkualitas dan bermanfaat. Berdasarkan penjelasan diatas, aspek-aspek yang digunakan dalam penelitian ini adalah aspek penyesuaian diri menurut Scchneider (1991), yaitu kontrol terhadap emosi yang berlebihan, mekanisme pertahanan diri yang minimal, frustrasi personal yang minimal, pertimbangan rasional dan kemampuan mengarahkan diri, kemampuan untuk belajar dan memanfaatkan pengalaman masa lalu, sikap realistik dna objektif 4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian Diri Sawrey dan Telford (1968) mengemukakan bahwa penyesuaian bervariasi sifatnya, apakah sesuai atau tidak dengan keinginan sosial, sesuai atau tidak dengan keinginan personal, menunjukkan konformitas sosial atau tidak, dan atau kombinasi dari beberapa sifat di atas. Sawrey dan Telford (1968) lebih jauh lagi mengemukakan bahwa penyesuaian yang dilakukan tergantung pada sejumlah faktor yaitu pengalaman terdahulu, sumber frustrasi, kekuatan motivasi, dan kemampuan individu untuk menanggulangi masalah.

25 Menurut Schneiders (1991) faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri adalah : a) Keadaan fisik Kondisi fisik individu merupakan faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri, sebab keadaan sistem-sistem tubuh yang baik merupakan syarat bagi terciptanya penyesuaian diri yang baik. Adanya cacat fisik dan penyakit kronis akan melatarbelakangi adanya hambatan pada individu dalam melaksanakan penyesuaian diri. b) Perkembangan dan kematangan Bentuk-bentuk penyesuaian diri individu berbeda pada setiap tahap perkembangan. Sejalan dengan perkembangannya, individu meninggalkan tingkah laku infantil dalam merespon lingkungan. Hal tersebut bukan karena proses pembelajaran semata, melainkan karena individu menjadi lebih matang. Kematangan individu dalam segi intelektual, sosial, moral, dan emosi mempengaruhi bagaimana individu melakukan penyesuaian diri. c) Keadaan psikologis Keadaan mental yang sehat merupakan syarat bagi tercapainya penyesuaian diri yang baik, sehingga dapat dikatakan bahwa adanya frustrasi, kecemasan dan cacat mental akan dapat melatarbelakangi adanya hambatan dalam penyesuaian diri. Keadaan mental yang baik akan mendorong individu untuk memberikan respon yang selaras

26 dengan dorongan internal maupun tuntutan lingkungannya. Variabel yang termasuk dalam keadaan psikologis di antaranya adalah pengalaman, pendidikan, konsep diri, dan keyakinan diri. d) Keadaan lingkungan Keadaan lingkungan yang baik, damai, tentram, aman, penuh penerimaan dan pengertian, serta mampu memberikan perlindungan kepada anggota-anggotanya merupakan lingkungan yang akan memperlancar proses penyesuaian diri. Sebaliknya apabila individu tinggal di lingkungan yang tidak tentram, tidak damai, dan tidak aman, maka individu tersebut akan mengalami gangguan dalam melakukan proses penyesuaian diri. Keadaan lingkungan yang dimaksud meliputi sekolah, rumah, dan keluarga. Sekolah bukan hanya memberikan pendidikan bagi individu dalam segi intelektual, tetapi juga dalam aspek sosial dan moral yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Sekolah juga berpengaruh dalam pembentukan minat, keyakinan, sikap dan nilai-nilai yang menjadi dasar penyesuaian diri yang baik (Schneiders, 1991). Keadaan keluarga memegang peranan penting pada individu dalam melakukan penyesuaian diri. Susunan individu dalam keluarga, banyaknya anggota keluarga, peran sosial individu serta pola hubungan orang tua dan anak dapat mempengaruhi individu dalam melakukan penyesuaian diri. Keluarga dengan jumlah anggota yang banyak mengharuskan anggota untuk menyesuaikan perilakunya

27 dengan harapan dan hak anggota keluarga yang lain. Situasi tersebut dapat mempermudah penyesuaian diri, proses belajar, dan sosialisasi atau justru memunculkan persaingan, kecemburuan, dan agresi. Setiap individu dalam keluarga memainkan peran sosial sesuai dengan harapan dan sikap anggota keluarga yang lain. Orang tua memiliki sikap dan harapan supaya anak berperan sesuai dengan jenis kelamin dan usianya. Sikap dan harapan orang tua yang realistik dapat membantu remaja mencapai kedewasaannya sehingga remaja dapat menyesuaikan diri dengan tuntutan dan tanggung jawab. Sikap orang tua yang overprotektif atau kurang peduli akan menghasilkan remaja yang kurang mampu menyesuaikan diri. Hubungan anak dengan orang tua dapat mempengaruhi penyesuaian diri. Penerimaan orangtua terhadap remaja memberikan penghargaan, rasa aman, kepercayaan diri, afeksi pada remaja yang mendukung penyesuaian diri dan stabilitas mental. Sebaliknya, penolakan orang tua menimbulkan permusuhan dan kenakalan remaja. Identifikasi anak pada orang tua juga mempengaruhi penyesuaian diri. Apabila orang tua merupakan model yang baik, identifikasi akan menghasilkan pengaruh yang baik terhadap penyesuaian diri. e) Tingkat religiusitas dan kebudayaan Religiusitas merupakan faktor yang memberikan suasana psikologis yang dapat digunakan untuk mengurangi konflik, frustrasi dan

28 ketegangan psikis lain. Religiusitas memberi nilai dan keyakinan sehingga individu memiliki arti, tujuan, dan stabilitas hidup yang diperlukan untuk menghadapi tuntutan dan perubahan yang terjadi dalam hidupnya (Schneiders, 1991). Kebudayaan pada suatu masyarakat merupakan suatu faktor yang membentuk watak dan tingkah laku individu untuk menyesuaikan diri dengan baik atau justru membentuk individu yang sulit menyesuaikan diri. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri meliputi keadaan fisik individu, perkembangan dan kematangan psikologis, lingkungan, serta religiusitas dan kebudayaan. B. Konseling Realitas 1. Pengertian Konseling Realitas Konseling realitas diperkenalkan oleh William Glasser pada tahun 1950. Konseling realitas merupakan suatu pendekatan yang dikembangkan sebagai reaksi melawan konseling konvensional. Konseling realitas adalah konseling yang bersifat jangka pendek yang berfokus pada kondisi saat ini, menekankan pada kekuatan pribadi, dan mendorong individu untuk mengembangkan tingkah laku yang lebih realistik agar dapat mencapai kesuksesan (Corey, 2005). Glasser (dalam Latipun, 2008) mendasari pendekatan realitas dengan pandangannya yaitu bahwa setiap manusia memiliki dua

29 kebutuhan dasar yaitu kebutuhan fisiologis dan psikologis. Kebutuhan fisiologis yang dimaksud adalah sama dengan pandangan ahli lain, sedangkan kebutuhan psikologis manusia yang mendasar ada dua macam, yaitu : (1) kebutuhan dicintai dan mencintai, dan (2) kebutuhan akan penghargaan. Kedua kebutuhan psikologis itu bila digabungkan menjadi satu kebutuhan yang sangat utama yang disebut kebutuhan identitas (identity). Identitas merupakan cara seseorang melihat dirinya sendiri sebagai manusia dalam hubungannya dengan orang lain dan dunia luarnya. Setiap orang mengembangkan gambaran identitasnya (identity image) berdasarkan atas pemenuhan kebutuhan psikologisnya. Individu yang berhasil menemukan kebutuhannya, yaitu terpenuhinya kebutuhan cinta dan penghargaan akan mengembangkan gambaran diri sebagai orang yang berhasil dan membentuk identitasnya dengan success identity sebaliknya jika individu yang gagal menemukan kebutuhannya, akan mengembangkan gambaran diri sebagai orang yang gagal dan membentuk identitasnya dengan identitas kegagalan (failure identity). Gambaran identitas ini dimiliki oleh setiap orang mulai dari usia lima tahun hingga dewasa. Berdasarkan segenap pengalaman-pengalamannya, individu akan memberikan gambaran terhadap dirinya sebagai orang yang berhasil atau gagal. Konseling realitas dalam hal ini berperan untuk membantu individu dalam mencapai success identity, dimana dalam konseling, konselor akan berfokus pada perilaku individu saat ini. Namun, konseling realitas berbeda dengan pendekatan behavioral yang berfokus pada stimulus

30 respon. Konseling ini berpusat pada person yang melihat perilaku dalam konteks fenomenologis. Berdasarkan pandangan-pandangan diatas, dapat dinyatakan bahwa konseling realitas adalah konseling yang bersifat jangka pendek. Konselor pada konseling realitas menekankan pada kekuatan pribadi yang dimiliki oleh individu. Konseling realitas berfokus pada perilaku individu saat ini dan membuka jalan kepada individu untuk menampilkan perilaku yang dapat membawa individu ke keberhasilan dan pada akhirnya memunculkan success identity di dalam diri individu. 2. Prosedur Konseling Realitas Prosedur konseling realitas dapat dilakukan dengan langkah WDEP, yaitu wants, direction and doing, evaluation, dan planning(corey, 1996). Berikut ini adalah penjelasan dari langkah WDEP : a) Wants : Wants merupakan suatu tahapan dimana konselor melakukan eksplorasi terhadap harapan, kebutuhan dan persepsi dari individu. Konselor dapat bertanya, Apa yang anda inginkan?. Melalui pertanyaan-pertanyaan yang diajukan konselor, seorang individu diharapkan dapat memahami apakah harapan-harapan mereka sejalan dengan kebutuhan mereka saat ini. Konselor pada tahapan ini harus bersifat hangat dan menerima sehingga memungkinkan konseli untuk menjabarkan setiap hal yang ia inginkan baik dalam keluarga, pertemanan, ataupun pekerjaan. Beberapa pertanyaan yang dapat

31 digunakan pada sesi ini adalah : Jika anda sudah menjadi sosok impian anda, bagaimanakah sosok itu? Bagaimana reaksi keluarga anda jika keinginan mereka dan keingsinan anda sejalan? Apakah anda ingin berubah? Menurut anda, apa yang membuat anda tidak dapat berubah? b) Direction and Doing : Konselor realitas menekankan pada perilaku saat ini dan bukan pada masa lalu. Oleh karenanya, seorang konselor realitas biasanya sering bertanya, Apa yang anda lakukan saat ini? Meskipun suatu masalah bisa berakar dari pengalaman masa lalu, namun individu perlu belajar bagaimana cara berdamai dengan masa lalunya dan menunjukkan perilaku yang lebih baik untuk mencapai keinginannya. Kondisi masa lalu individu boleh saja didiskusikan apabila hal itu memang dapat membantu individu menyusun perencanaan hidup yang lebih baik. Pada sesi ini, konselor mendiskusikan dengan individu mengenai apa saja tujuan hidup mereka, apa yang akan mereka lakukan, dan kemana hidup mereka akan berjalan dengan perilaku yang mereka tunjukkan saat ini. Seorang konselor dapat bertanya, Apa yang anda lihat pada diri anda saat ini? Bagaimana masa depan anda?. c) Evaluation Inti dari konseling realitas adalah untuk membantu individu mengevaluasi perilakunya. Konselor dapat bertanya, Apakah perilaku anda saat ini cukup rasional untuk membawa anda ke

32 keinginan anda? Apakah perilaku anda dapat mewujudkan apa yang menjadi keinginan anda?.konselor pada tahapan ini dapat mengkonfrontasi individu mengenai konsekuensi dari perilakunya. d) Planning and Commitment Ketika individu sudah dapat menentukan apa yang mereka inginkan dan siap untuk diajak mengeksplorasi bentuk-bentuk perilaku yang dapat membawa mereka ke tujuan yang mereka inginkan, maka sudah waktunya konselor mengajak individu membuat rencana aksi. Wubbolding (dalam Corey, 1996) mengemukakan bahwa dalam membuat perencanaan perilaku, ada beberapa hal yang harus diperhatikan yaitu : a) Pembuatan rencana perilaku harus memperhatikan kapasitas motivasi dan kemampuan dari setiap individu. Seorang konselor yang terlatih dapat membantu individu untuk membuat perencanaan yang memuaskan kehidupannya. Konselor misalnya dapat bertanya kepada individu, rencana seperti apa yang harus anda buat agar anda lebih puas dengan hidup anda? b) Perencanaan yang baik adalah perencanaan yang sederhana dan mudah dimengerti. Perencanaan perilaku harus bersifat spesifik, konkrit, dapat diukur, dan harus fleksibel atau dapat diubah-ubah ketika individu sudah memahami perilaku apa yang sebenarnya ingin diubah.

33 c) Perencanaan yang dibuat haruslah berdasarkan pada persetujuan individu. d) Konselor harus mendorong individu untuk membuat perencanaannya sendiri e) Perencanaan yang baik adalah perencanaan yang bersifat repetitif dan dilakukan setiap hari f) Perencanaan harus dilakukan sesegera mungkin g) Perencanaan yang baik meliputi aktivitas yang bersifat process centered, misalnya : individu dapat memiliki rencana untuk melamar pekerjaan, menulis surat untuk teman, masuk klub yoga, makan makanan bergizi, dan berlibur h) Sebelum individu melakukan perencanaan, ada baiknya jika individu diminta untuk mengevaluasi perencanaan yang dibuat, apakah perencanaan tersebut sudah realistis. i) Untuk memastikan bahwa individu akan melaksanakan rencana yang sudah dibuat, maka individu harus membuat pernyataan secara tertulis. Pelaksanaan konseling realitas pada penelitian ini akan dilakukan secara berkelompok. American Psychological Association (APA) menjelaskan bahwa konseling kelompok adalah konseling yang melibatkan satu atau dua orang konselor yang membawakan konseling untuk satu kelompok yang terdiri dari 5 (lima) hingga 15 (lima belas) orang individu yang memiliki permasalahan yang sama (Corey, 1996). Spitz dan Spitz (1999) menyebutkan bahwa konseling

34 kelompok adalah konseling yang dibawakan oleh seorang profesional untuk sekelompok orang yang memiliki keinginan untuk menyelesaikan permasalahannya secara bersama-sama. Anggota kelompok adalah orang-orang yang memiliki permasalahan psikologis yang sama dan membutuhkan konseling untuk menyelesaikan permasalahannya. American Psychological Association (APA) jugamenuliskan bahwa konseling kelompok menawarkan keuntungan yang tidak didapatkan dalam konseling individual, yaitu adanya dukungan dari individu-individu yang senasib sehingga setiap anggota kelompok dapat menyadari bahwa ia bukan satu-satunya orang yang mengalami masalah. Selain itu, konseling kelompok juga memungkinkan anggota kelompok belajar dari pengalaman anggota kelompok lain yang berhasil mengatasi masalahnya dengan strategi tertentu (Coey, 1996). Berdasarkan prosedur konseling diatas, maka dapat disimpulkan bahwa konseling realitas secara garis besar melalui empat tahapan yang disebut WDEP (wants, direction and doing, evaluation, dan planning and commitment). Saat memasuki tahapan planning and commitment, seorang konselor juga harus memperhatikan sembilan hal yang dikemukakan oleh Corey (1996) agar individu dapat membuat suatu perencanaan yang relistis, spesifik, mudah dimengerti, dan dapat segera dilaksanakan. Adapun pelaksanaan konseling realitas yang akan diselenggarakan secara berkelompok dapat diartikan sebagai bentuk konseling realitas yang dibawakan oleh satu, dua, atau beberapa konselor. Anggota kelompok yang mengikuti konseling realitas berjumlah antara 5-15 orang, memiliki permasalahan psikologis yang sama, membutuhkan bantuan psikologis,

35 dan bersedia mengikuti konseling kelompok (menyelesaikan permasalahannya bersama-sama dengan orang lain). 3. Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan konseling Lynch (2012) mengemukakan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan dari suatu konseling, yaitu : a) Kedekatan antara konselor dan individu Kedekatan antara konselor dengan individu merupakan hal yang penting untuk meraih kesuksesan dalam konseling. Konselor harus mampu menunjukkan beberapa karakteristik yang mampu meningkatkan rapport dalam konseling seperti tertarik pada masalah individu, tenang, hangat, dan penuh penghargaan terhadap individu. Kedekatan antara konselor dan individu biasanya dapat dibentuk dalam waktu yang cukup cepat yaitu 2-4 sesi atau bahkan 10 menit saja, tergantung dari bagaimana pembawaan konselor saat pertama kali bertemu dengan individu. b) Motivasi Subjek Motivasi individu dalam mengikuti konseling adalah kunci utama yang menentukan keberhasilan dari suatu konseling. Motivasi subjek dapat terlihat dari kehadiran subjek dalam seluruh sesi konseling dan kemampuan subjek untuk selalu bersikap kooperatif.

36 c) Kemampuan subjek mempelajari perilaku baru Subjek yang berhasil meraih kesuksesan adalah subjek yang merasa kondisinya lebih baik setelah mengikuti konseling. Hal ini ditunjukkan dengan kesediaan dan kemampuan subjek untuk mempelajari perilaku baru seperti meningkatnya rasa percaya diri, ataupun berkurangnya simptom-simptom yang sebelumnya dimiliki. C. Efektivitas Konseling Realitas untuk Meningkatkan Penyesuaian Diri Taruna Penyesuaian diri merupakan suatu proses yang mencakup respon-respon mental dan tingkah laku, yang merupakan usaha individu agar berhasil mengatasi kebutuhan, ketegangan, konflik dan frustasi yang dialami dalam dirinya (Agustiani, 2009). Satriawan (2013) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa penyesuaian diri penting bagi siswa untuk menyeimbangkan kebutuhannya dengan lingkungan sehingga tercipta suasana yang harmonis antara siswa dengan tuntutan yang bersumber dari lingkungan. Kemampuan siswa untuk menyesuaikan diri mempunyai pengaruh yang cukup besar dalam memberikan persepsi terhadap keadaan yang dihadapi, siswa yang yang memiliki penyesuaian diri yang baik akan mampu menhadapi keadaan yang sulit dengan penyesuaian diri yang positif. Davidoff (1991) mengatakan bahwa manusia dituntut untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial dan lingkungan alam

37 sekitarnya. Proses penyesuaian diri dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti faktor fisiologis, faktor psikologis, faktor perkembangan dan kematangan, faktor lingkungan, faktor budaya dan agama (Enung, 2008). Penyesuaian diri berlangsung secara terus-menerus dalam diri individu dan lingkungan. Penjabaran defenisi tersebut memberikan penjelasan bahwa dengan penyesuaian diri yang baik, siswa diharapkan semakin mampu untuk menghadapi lingkungannya dan memiliki cara pandang yang positif dalam menghadapi setiap tuntutan dalam lingkungan pendidikan. Kemampuan untuk mampu menghadapi realita lingkungan dapat ditingkatkan melalui pemberian intervensi berupa konseling realita. Melalui pemberian konseling realita maka siswa akan semakin mampu untuk menghadapi kenyataan hidup yang selanjutnya semakin mampu menyesuaikan diri dengan tuntutan lingkungannya. Fokus dalam konseling realitas ini adalah permasalahan yang sedang dihadapi dan kenyataan yang dihadapi siswa pada saat ini (Fauzan, 2004). Konseling realitas mengidealkan tingkah laku sebagai individu yang tercukupi kebutuhannya akan cinta dan harga diri, mengembangkan tingkah laku yang normal yakni yang bertanggung jawab dan berorientasi pada realita, mengidentifikasi diri sebagai individu yang berhasil atau sukses (Fauzan, 2004). Proses konseling realita menggunakan prinsip 3 R (Right, Responsibility,Reality), yang mempunyai arti: 1) Right, yang dimaksud Glasser ada ukuran atau norma yang diterima secara umum diamana tingkah laku dapat diperbandingkan; 2) Responsibility, prinsip ini

38 merupakan kemampuan untuk mencapai sesuatu kebutuhan dan untuk berbuat dalam cara yang tidak merampas keinginan orang lain dalam memenuhi kebutuhan mereka; 3) Reality, dalam hal ini orang harus memahami bahwa ada dunia nyata dari bahwa mereka harus memenuhi kebutuhan-kebutuhannya dalam kerangka kerja tertentu (Fauzan, 2004). Berdasarkan pandangan tersebut konseling realita mempunyai tujuan yaitu membantu individu mencapai otonomi, konseling ini juga membantu individu dalam mengartikan dan memperluas tujuan-tujuan hidup mereka, menekankan tujuan konseling realita dari sudut pandang konselor (Fauzan, 2004). Seperti halnya pendekatan-pendekatn konseling lainnya yang mempunyai pprosedur dalam pelaksanaannya konseling realita juga mempunyai prosedur dalam melakukan konseling. Fauzan (2004) juga mengungkapkan prosedur konseling realita yang didasarkan pada delapan prinsip yaitu: (involvement: focus on personal), berpusat pada tingkah laku (focus on behavior, pertimbangan nilai (value judgment), perencanaan tingkah laku yang bertanggung jawab (planning responsible behavior), kesepakatan (commitment), tiada ampunan (no-excuse), dan membatasi hubungan (eliminate punishment). Oleh karenaitu melalui penggunaan konseling realitas diharapkan individu mampu merencanakan dan memunculkan perilaku yang bertanggung jawab dan sesuai dengan tuntutan lingkungan sekitar. Terkait dengan penerapan konseling realitas ini, Satriawan (2013) melakukan penelitian untuk melihat efektivitas konseling realitas terhadap penyesuaian diri, ia membuktikan

39 bahwa konseling realitas efektif untuk meningkatkan penyesuaian diri. Berdasarkan penjelasan ini maka diharapkan konseling realitas dapat meningkatkan penyesuaian diri taruna sehingga semakin mampu menyesuaikan dirinya dan bersikap mandiri secara optimal.

40 Hasil preliminary research: ada taruna tingkat I ATKP Medan yang memiliki penyesuaian diri rendah Diberi intervensi konseling realitas (pretestposttest control group design) Control group (CG):5 orang Experiment (EG):5 orang group Pretest: Pengukuran skor penyesuaian diri sebelum intervensi Pretest: Pengukuran skor penyesuaian diri sebelum intervensi Tidak mendapat intervensi Mendapat intervensi : konseling realitas W : eksplorasi keinginan dan harapan taruna D : mengidentififkasi tindakan/perilaku yang telah dilakukan taruna E : evaluasi kesesuaian antara harapan taruna dengan tindakan/perilaku yang dilakukan P : membuat rencana perubahan perilaku penyesuaian diri Analisa hasil posttestuntuk melihat apakah ada perbedaan skor penyesuaian diri pada CG dan EG Follow up Gambar 2.1 Bagan Paradigma Penelitian

41 D. Hipotesa Penelitian Ho : Tidak terdapat perbedaan penyesuaian diri antara kelompok yang diberi intervensi konseling realitas (kelompok eksperimen) dan kelompok yang tidak diberi intervensi konseling realitas (kelompok kontrol). Ha : terdapat perbedaan penyesuaian diri kelompok yang diberi intervensi konseling realitas (kelompok eksperimen) dan kelompok yang tidak diberi intervensi konsleing realitas (kelompok kontrol), dimana kelompok yang mendapat intervensi konseling realitas memiliki penyesuaian diri yang lebih tinggi dibanding kelompok yang tidak mendapat intervensi konseling realitas.