BAB II KAIDAH KESAHIHAN DAN PEMAKNAAN HADIS

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. hal ihwal Nabi Muhammad merupakan sumber ajaran Islam kedua setelah al-qur an.

ISTILAH-ISTILAH DALAM ILMU HADITS

HADITS SUMBER AJARAN ISLAM KEDUA. Oleh Drs. H. Aceng Kosasih, M. Ag

BAB IV ANALISIS HADIS SUGUHAN KELUARGA MAYAT. sanad. Adapun kritik sanadnya, antara lain sebagai berikut:

BAB II METODE KRITIK HADIS DAN PEMAKNAANNYA

A. PENDAHULUAN B. PEMBAHASAN

BAB V PENUTUP. Berdasarkan paparan bab-bab sebelumnya dapat disimpulkan sebagai

BAB IV MUSNAD AL-SHĀFI Ī DALAM KATEGORISASI KITAB HADIS STANDAR. Ulama hadis dalam menentukan kitab-kitab hadis standar tidak membuat

ULUMUL HADIS ULUMUL HADIS

BAB II METODE KRITIK HADIS. dirumuskan bahwa kesahihan hadis terpenuhi dengan 3 kriteria, yakni :

Pembagian hadits ahad dilihat dari sisi kuat dan lemahnya sebuah hadits terbagi menjadi dua, yaitu:

PEMBAGIAN HADITS NABI

2. Perawi harus adil. Artinya, perawi tersebut tidak menjalankan kefasikan, dosa-dosa, perbuatan dan perkataan yang hina.

BAB II TEORI KES}AH}>IHAN HADIS DAN PEMBERIAN NAMA YANG BAIK BAGI SESEORANG

BAB I PENDAHULUAN. Pada zaman Rasulullah SAW, hadis belumlah dibukukan, beliau tidak sempat

DIPLOMA PENGAJIAN ISLAM. WD3013 MUSTHOLAH AL-HADITH (Minggu 2)

BAB I PENDAHULUAN. berupa perkataan, perbuatan, maupun ketetapan (taqrir). 1. Allah SWT telah mewajibkan untuk menaati hukum-hukum dan

Pengertian Hadits. Ada bermacam-macam hadits, seperti yang diuraikan di bawah ini. Hadits yang dilihat dari banyak sedikitnya perawi.

BAB II TERMINOLOGI TAKDIR DAN TEORI HADIS

Derajat Hadits Puasa TARWIYAH

DIPLOMA PENGAJIAN ISLAM. WD3013 MUSTHOLAH AL-HADITH (Minggu 3)

KISI-KISI UJIAN SEKOLAH BERSTANDAR NASIONAL SEKOLAH MENENGAH ATAS / MADRASAH ALIYAH KURIKULUM 2013 TAHUN PELAJARAN 2016/2017

BAB V PENUTUP. Berdasarkan penelitian hadits tentang Hadis-Hadis Tentang Aqiqah. Telaah Ma anil Hadits yang telah dilakukan pada bab-bab sebelumnya,

KAIDAH KEMUTTASILAN SANAD HADIS (Studi Kritis Terhadap Pendapat Syuhudi Ismail)

BAB II KE-S{AH{IH{-AN HADIS DAN TEORI PEMAKNAANNYA

BAB II MUKHTALIF AL-HADITS. Mukhtalif al-hadits secara bahasa dapat dipahami dengan hadis-hadis

KELOMPOK 1 : AHMAD AHMAD FUAD HASAN DEDDY SHOLIHIN

Pengertian Istilah Hadis dan Fungsi Hadis

BAB I PENDAHULUAN. inilah yang dikatakan Agama, diputuskan oleh akal dan logika dan dibenarkan

Tim Penyusun MKD UIN SUNAN AMPEL SURABAYA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. mengkonsumsi hasil-hasil pertanian baik sayuran dan buah-buahan, biji-bijian

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap sampel sanad hadis,

DIPLOMA PENGAJIAN ISLAM. WD3013 MUSTHOLAH AL-HADITH (Minggu 4)

Sunnah menurut bahasa berarti: Sunnah menurut istilah: Ahli Hadis: Ahli Fiqh:

KISI-KISI UJIAN SEKOLAH BERSTANDAR NASIONAL SEKOLAH MENENGAH ATAS / MADRASAH ALIYAH KURIKULUM 2006 TAHUN PELAJARAN 2016/2017

BAB II PEMBAGIAN HADITS

BAB I PENDAHULUAN. dengan ibadah shalat dan haji. Tanpa bersuci orang yang berhadas tidak dapat

BAB II METODE KRITIK DAN PEMAKNAAN HADIS. dikatakan sebagai hadis. Imam Nawawi menegaskan dari apa yang telah

BAB II METODE MAUD}U I DAN ASBAB AL-WURUD. dipakai dalam beragam makna. Diantaranya yaitu: Turun atau merendahkan,

BAB IV ANALISIS SANAD DAN MATAN HADITS TENTANG SYAFAAT PENGHAFAL AL-QUR AN

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

Written by Andi Rahmanto Friday, 28 November :43 - Last Updated Friday, 28 November :55

INSTITUT PENGAJIAN TINGGI AL-ZUHRI DIPLOMA PENGAJIAN ISLAM AL-ZUHRI. hadits 1 MINGGU PERTAMA. 30 Mar 2014 / 9.00 PG TGH

BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK DAN IMAM SHAFI I TERHADAP. A. Komparasi Pendapat Imam Malik dan Imam Shafi i terhadap Ucapan

Kata Kunci: Ajjaj al-khatib, kitab Ushul al-hadis.

Hadis Sahih. Kamarul Azmi Jasmi

BAB I PENDAHULUAN. dipengaruhi oleh pendidikan formal informal dan non-formal. Penerapan

BAB II METODE KRITIK DAN PEMAHAMAN HADIS. Suatu berita tentang Rasulullah SAW (matan) tanpa ditemukan rangkaian dan

BAB II METODE KRITIK HADIS DAN PEMAKNAANNYA

BAB IV PEMAKNAAN DAN PENYELESAIAN HADIS TENTANG TATA CARA SUJUD DALAM SUNAN ABU DAWUD NO INDEKS 838 DAN 840

BAB II TEORI KESAHIHAN DAN MUKHTALIF HADIS DAN SEPUTAR AURAT

BAB II TEORI KESAHIHAN DAN PEMAKNAAN HADIS

BAB II PRILAKU MEMINTA-MINTA DAN METODE KRITIK HADIS

BAB IV ANALISIS DAN PEMAKNAAN HADIS

BAB IV ANALISIS HADIS TENTANG PAHA LAKI-LAKI

Hadits yang Sangat Lemah Tentang Larangan Berpuasa Ketika Safar

E٤٨٤ J٤٧٧ W F : :

BAB 1 PENDAHULUAN. disisi Tuhan-Nya, dan untuk berpacu menjadi hamba-nya yang menang di

DZIKIR PAGI & PETANG dan PENJELASANNYA

BAB I PENDAHULUAN. mengandung sifat-sifat yang sempurna. Nama-nama Allah yang agung dan mulia

Al-Hadits Tuntunan Nabi Mengenai Islam. Presented By : Saepul Anwar, M.Ag.

BAB V PENUTUP. sebelumnya, serta arahan dari pembimbing maka dalam bab ini penulis dapat

BAB II SALAT TAHAJUD DAN ILMU HADIS

Hijab Secara Online Menurut Hukum Islam

BAB IV ANALISA HADIS TENTANG RINTANGAN DAN PELUANG MENUJU SURGA DAN NERAKA. A. Kualitas hadis tentang rintangan dan peluang menuju surga dan neraka

BAB I PENDAHULUAN. Hadis merupakan sumber hukum Islam setelah al-qur a>n. Keduanya

BAB IV ANALISIS. keterangan ahli sebagai alat bukti yang sah. Malah tempatnya diletakkan pada. yang penting, artinya dalam pemeriksaan perkara pidana.

BAB I PENDAHULUAN. juga karena fungsinya sebagai penjelas (bayan) bagi ungkapan-ungkapan al- Qur an yang mujmal, muthlaq, amm dan sebagainya.

BAB II METODOLOGI PENELITIAN HADIS LARANGAN ISTRI MENOLAK AJAKAN SUAMI BERSETUBUH

BAB IV KE-H}UJJAH-AN DAN PENYELESAIAN H}ADI>TH TENTANG MEMINANG PINANGAN ORANG LAIN

DAFTAR PUSTAKA. M. Isa H.A. Salam Bustamin, Metodologi Kritik Hadis, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, Cet. I, 2004

BAB II METODOLOGI KRITIK HADIS. istilah dalam penelitian, analisis, pengecekan dan pembedaan. 2

Manzhumah Al-Baiquniyyah: Matan dan Terjemah Pustakasyabab.blogspot.com

BAB II SUNNAH DAN MACAMNYA

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP SANKSI HUKUM TENTANG KEJAHATAN TERHDAP ASAL-USUL PERNIKHAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP)

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PELARANGAN NIKAH DIKALANGAN KIAI DENGAN MASYARAKAT BIASA DI DESA BRAGUNG KECAMATAN GULUK-GULUK KABUPATEN SUMENEP

BAB II DOA DAN METODOLOGI PENELITIAN HADIS

HADIS SAHIH MUTAWATIR

Written by Andi Rahmanto Wednesday, 29 October :49 - Last Updated Wednesday, 29 October :29

Al-Qur an Al hadist Ijtihad

Hadits Palsu Tentang Keutamaan Memakai Pakaian WOL

BAB IV PERSAMAAN DAN PERBEDAAN IJAB AKAD NIKAH DALAM FIKIH EMPAT MADZHAB. A. Analisis Persamaan dan Perbedaan Lafadh-Lafadh Ijab yang Sah

Tafsir Depag RI : QS Al Baqarah 284

SUMBER AJARAN ISLAM. Erni Kurnianingsih ( ) Nanang Budi Nugroho ( ) Nia Kurniawati ( ) Tarmizi ( )

Dusta, Dosa Besar Yang Dianggap Biasa

BAB II. atau tidaknya sebuah hadis dijadikan sebagai hujjah. 1

BAB I PENDAHULUAN. jelas. Diantara sumber ajaran agama Islam adalah Alquran dan alhadits. Sebagai

PENDAHULUAN. Nabi Muhammad saw menurut al-qur an adalah Rasul utusan Allah, Nabi

SKALA PRIORITAS PENERIMA SEDEKAH DALAM HADIS. Fitrotun Nafsiyah

Elan Sumarna Syarah Hadis diusung dengan melalui dua bentuk kritik tadi bisa didapat, setidaknya menurut penulis ada dua hal: 1. Dapat diketahuinya ma

Hadits Palsu Tentang Surga Di Bawah Telapak Kaki Ibu

BAB I PENDAHULUAN. yang dilakukan dan tindakan yang diambil akan bertentangan dengan normanorma

BAB II TINJAUAN UMUM SEPUTAR SANAD HADIS. Sanad disebut juga dengan Thariq (Jalan), karena sanad merupakan

SUNNAH SEBAGAI SUMBER AJARAN ISLAM

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,

BAB I PENDAHULUAN. sesudah diangkat menjadi rasul, baik membawa konsekuensi hukum syara

BAB I PENDAHULUAN. bumi juga harus mampu menghambakan diri di hadapan Allâh Subhânahu

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK PENGEMBALIAN SISA PEMBAYARAN DI KOBER MIE SETAN SEMOLOWARU

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM DAN UU PERLINDUNGAN KONSUMEN NOMOR 8 TAHUN 1999 TERHADAP JUAL BELI BARANG REKONDISI

Transkripsi:

BAB II KAIDAH KESAHIHAN DAN PEMAKNAAN HADIS A. Kaidah Kesahihan Hadis Untuk meneliti dan mengukur keabsahan suatu hadis diperlukan acuan standar yang dapat digunakan sebagai menilai kualitas hadis, acuan yang dipakai adalah kaidah keabsahan (kesahihan) hadis, jika yang diteliti ternyata bukan hadis mutawati>r. 18 Sebagaimana yang sudah disebutkan bahwa hadis sahih adalah hadis yang sambung sanadnya, diriwayatkan oleh orang-orang yang adil dan d{abit serta tidak terdapat kejanggalan (shu>d{uz) dan cacat yang samar ( illat). Maka suatu hadis dapat dinyatakan sahih apabila memenuhi persyaratan. Unsur-unsur kaidah kesahihan hadis sebagai berikut: a. Sanad (mata rantai perawi) bersambung. b. Seluruh perawinya dalam sanad hadis bersifat adil (terpercaya). c. Seluruh perawi dalam sanad bersifat d{abit{ (cermat). d. Sanad dan matan hadis terhindar dari kejanggalan (shu>d{uz). e. Sanad dan matan hadis terhindar dari cacat yang samar ( illat). Dari kelima persyaratan hadis sahih diatas dapat diuraikan menjadi 7 bagian yaitu lima bagian berhubungan dengan sanad, dan dua bagian (matan terhindar dari kejanggalan dan illat) berhubungan dengan matan. Dengan 18 Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel, Studi Hadis cet:i (Surabaya:UIN Sunan Ampel Press, 2011), 155. 15

16 demikian hadis yang tidak memenuhi salah satu unsur tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai hadis sahih, berikut ini adalah rincian setiap unsur-unsur diatas. 19 1. Sanadnya Bersambung yang dimaksud dengan sanad bersambung ialah tiap-tiap periwayatan dalam sanad hadis menerima riwayat hadis dari periwayatan terdekat sebelumnya, keadaan itu berlangsung demikian sampai akhir sanad dari hadis itu jadi, seluruh rangkaian periwayat dalam sanad, mulai dari periwayatan yang disandari oleh mukhari>j (penghimpunan riwayat hadis dalam karya tulisnya) sampai kepada periwayat tingkat sahabat yang menerima hadis yang bersangkutan dari Nabi, bersambung dalam periwayatan. 20 Disamping itu, dikalangan ulama hadis dikenal juga istilah hadis muttas}il mau>s}ul. Menurut Ibn al-s}alah dan al-nawawi>, yang dimaksud dengan muttas}il atau mau>s}ul ialah hadis yang bersambung sanadnya, baik itu persambungan sampai kepada Nabi maupun hanya sampai kepada sahabat Nabi saja, jadi hadis muttas}il atau mau>s}ul ada yang ma ruf (disandarkan kepada Nabi) dan ada yang mau>quf. Apabila dibanding dengan hadis musnad maka dapat dinyatakan, bahwa hadis musnad mesti muttas}il atau mau>s}ul dan tidak semua hadis muttas}il atau mau>s}ul pasti musnad. Untuk mengetahui bersambung (dalam arti musnad) atau tidak bersambungnya suatu sanad, biasanya ulama hadis menempuh tata kerja penelitian dengan cara: mencatat semua periwayat dalam sanad yang diteliti. 19 Ibid., 156. 20 Ismail, Kaidah Keshahihan, 131-132.

17 Mempelajari sejarah hidup masing-masing periwayat, dengan melalui kitab rija>l al-h{adi>th, dengan maksud untuk mengetahui apakah setiap periwayatan dalam sanad itu dikenal sebagai orang adil dan d{abit{, serta tidak suka melakukan penyembunyian cacat (tadli>s). Dan apakah antara para periwayat dengan periwayat yang terdekat dalam sanad itu terdapat hubungan sezaman pada masa hidupnya dan antara guru murid dalam periwayatan hadis, serta meneliti kata-kata yang menghubungkan antara para periwayat dengan periwayat yang terdekat dalam sanad, yakni apakah kata-kata yang terpakai berupa h{addasa ni>, h{addas ana>, akhbarana>, an, anna atau kata-kata lainnya. Jadi apabila suatu sanad hadis barulah dapat dinyatakan bersambung apabila seluruh periwayat dalam sanad itu benar-benar th>iqoh (adil dan d{abit{) dan antara masing-masing periwayat dengan periwayat terdekat sebelumnya dalam sanad itu benar-benar telah terjadi hubungan periwayatan hadis secara sah menurut ketentuan tahammu>l wa ada al h{adi>th. 21 2. Periwayat bersifat adil Kata adil (al- adl) berasal dari bahasa Arab yang berarti pertengahan, lurus atau condong kepada kebenaran, sedangkan secara istilah para ulama berbeda pendapat, dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan dalam empat kriteria yaitu: beragama Islam, mukallaf, melaksanakan ketentuan agama (taat menjalankan agama), memelihara muru ah. Persyaratan beragama Islam adalah berlaku bagi kegiatan meriwayatkan hadis, sedangkan untuk kegiatan menerima hadis tidak disyaratkan beragama Islam, tetapi 21 Ismail, Kaidah Keshahihan, 132-133

18 ketika meriwayatkan harus beragama Islam. Demikian pula persyaratan mukallaf (bali>gh dan berakal sehat) merupakan syarat bagi kegiatan menyampaikan hadis, jadi apabila ketika melakukan kegiatan menerima hadis perawi belum bali>gh tetap dianggap sah selama sang perawi sudah tamyi>z. 22 Kemudian yang dimaksud dengan kriteria taat menjalankan agama adalah teguh dalam beragama, tidak menjalankan dosa besar, tidak berbuat bid ah, tidak berbuat maksiat, dan harus berakhlak mulia. Adapun yang dimaksud memelihara muru ah adalah selalu memelihara kesopanan pribadi yang membawa manusia untuk dapat menegakkan kebijakan moral dan kebajikan adat istiadat. Untuk mengetahui keadilan perawi hadis para ulama telah menetapkan ketentuan yaitu, berdasarkan popularitas keutamaan perawi dikalangan para ulama, berdasarkan penilaian para kritikus hadis, berdasarkan penerapan kaidah al-jarh{ wa ta di>l. Kata al- adalah sebagaimana yang dikutip oleh Fath{urrahman dari kitab ar-ra>zi bahwa makna tersebut adalah tenaga jiwa, yang mendorong untuk selalu bertindak taqwa, menjauhi dosa-dosa besar, menjauhi kebiasaan melakukan dosa kecil dan meninggalkan perbuatan mubah yang dapat menodai keperwiraan, keadilan seorang perawi terkait dengan aspek moralitas menjadi kajian penting dalam ilmu hadis. 23 Jadi seorang perawi harus mempunyai sifat yang adil dalam melakukan periwayatan hadis, sehingga dapat dipercayai tentang kualitas dari sanad maupun matan hadis. 22 MKD IAIN Sunan Ampel Studi Hadis, 158. 23 Ibid., 159-160.

19 3. Perawi yang D{abit{ D{abit{ berarti kuat, kokoh tepat dan hafal dengan sempurna. Kekuatan hafalan ini sama pentingnya dengan keadilan, kalau keadilan berkenaan dengan kapasitas pribadi, maka ke-d{a>bit{-an terkait dengan kualitas intelektual. Antara sifat a>dil dan sifat d{abit{ terdapat hubungan yang sangat erat, seseorang yang a>dil dengan kualitas pribadinya bagus misalnya, jujur, amanah (dapat dipercaya), dan objektif tidak dapat diterima informasinya apabila tidak mampu memelihara (hafal terhadap) informasi itu. Sebaliknya seseorang yang bisa menjaga hafalan dan paham terhadap informasi yang diketahuinya tetapi kalau ia tidak jujur, pendusta dan penipu, maka informasi yang disampaikannya tidak dapat dipercaya. Karena itu, oleh ulama hadis keadilan dan ke-d{abit{-an periwayat hadis kemudian dijadikan satu dengan istilah thi>qoh, jadi periwayat yang th>iqoh adalah periwayat yang a>dil dan d{abit{. 24 Beberapa pendapat yang dikemukakan para ulama hadis menyimpulkan bahwa kriteria d{abit{ meliputi: 25 a. Periwayat itu memahami dengan baik riwayat hadis yang telah didengar (diterimanya), dengan kemungkinan pertimbangan bahwa, apabila seseorang periwayat telah hafal dengan baik riwayat yang diterimanya, maka dengan sendirinya telah memahami apa yang telah dihafalnya. Kemudian yang dipentingkan bagi seorang periwayat adalah hafalannya dan bukan pemahamannya tentang apa yang diriwayatkannya. 24 Idris, Studi Hadis cet:i (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), 164. 25 Ibid., 165-166.

20 b. Periwayat itu harus hafal dengan baik riwayat hadis yang telah didengar (diterimannya), kemampuan hafalan periwayat merupakan syarat untuk dapat disebut sebagai orang yang d{abit{, meskipun ada ulama yang mendasarkan ke- d{abit{-an bukan hanya pada kemampuan hafalan saja, melainkan juga dengan pada kemampuan pemahaman. c. Periwayat itu mampu menyampaikan riwayat yang telah dihafal dengan baik kapan saja menghendakinya dan sampai saat menyampaikan riwayat itu kepada orang lain, kemampuan hafalan yang yang dituntut dari seorang periwayat, sehingga disebut seorang d{abit{, adalah tatkala periwayat itu menyampaikan riwayat kepada orang lain kapan saja ia menghendakinnya. Kriteria ini dimaksudkan pada kenyataan bahwa kemampuan waktu dan kapasitas hafalan seseorang mempunyai batas, misalnya karena pikun, terlalu banyak yang dihafal, atau sebab lainnya. 26 4. Terhindar dari Sha>dh (Kejanggalan) Secara bahasa, sha>dh merupakan isim fa> il dari shadhdha yang berarti menyendiri (infarada) seperti kata: ا ل م ن ف ر د ع ن ا لج م ه و ر (sesuatu yang menyendiri terpisah dari mayoritas). Menurut istilah ulama hadis, sha>dh adalah hadis yang diriwayatkan oleh periwayat thi>qoh dan bertentangan dengan riwayat oleh periwayat yang lebih thi>qoh. Menurut imam Shafi> i suatu hadis yang mengandung sha>dh apabila diriwayatkan oleh seorang periwayat yang thi>qoh dan bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan oleh banyak periwayat yang juga thi>qoh, suatu hadis tidak dinyatakan 26 Idris, Studi Hadis, 167.

21 mengandung sya>dh bila hanya diriwayatkan diriwayatkan oleh seorang periwayat thi>qoh sedang periwayat lain yang thi>qoh tidak meriwayatkannya. Jadi bagi al-shafi> i, suatu hadis yang dinyatakan mengandung sya>dh apabila, hadis itu memiliki lebih dari satu sanad, kemudian para periwayat hadis itu seluruhnya thi>qoh dan matan atau sanad hadis itu mengandung pertentangan, dan beberapa ulama lain sepakat dengan pendapat dari Imam Shafi> i ketika mendefinisikan hadis sha>dh tersebut. 5. Terhindar dari Illat Jika dalam sebuah hadis terdapat cacat tersembunyi dan secara lahiriah tampak sahih, maka hadis itu dinamakan hadis mu a>llal, yaitu hadisyang mengandung illat. Kata al- mu a>llal merupakan isim maf u>l dari kata a allah (ia mencacatkan), secara bahasa kata illat berarti cacat, kesalahan baca, penyakit dan keburukan. Menurut istilah ahli hadis illat berarti sebab yang tersembunyi yang dapat merusak kesahihan hadis, sebagai sebab kecacatan hadis, pengertian illat disini berbeda dengan pengertian illat yang secara umum, misalnya karena periwayat pendusta atau tidak kuat hafalan. 27 Cacat umum seperti ini dalam ilmu hadis disebut dengan istilah alt{a n atau al-jarh{ dan terkadang diistilahkan juga dengan illat dalam arti umum. Cacat umum ini dapat mengakibatkan pula lemahnya sanad, tetapi 27 Idris, Studi Hadis, 170.

22 hadis yang mengandung cacat itu tidak disebut dengan hadis mu a>llal (hadis yang bercacat). 28 Dilihat dari segi periwayat, hadis mu a>llal sama dengan hadis sha>d yaitu keduanya sama-sama diriwayatkan oleh periwayat thiqoh, bedanya dalam hadis mu a>llal illatnya dapat ditemukan, sedang dalam hadis sya>dh tidak karena dalam hadis sha>dh memang tidak terdapat illat. Sebagaimana yang telah dijelaskan tidak adannya illat merupakan syarat kesahihan suatu hadis. Jika suatu hadis mengandung illat, maka dinyatakan tidak sahih. 6. Kaidah Validitas Hadis (Kritik Matan Hadis). Matan hadis terhindar dari syu>dhuz Imam Shafi> i dan al-khali>li berpendapat dalam masalah hadis yang terhindar dari syu>dhuz adalah 29 : a. Sanad dari matan yang bersangkutan harus mah{fuz{ dan tidak gharib. b. Matan hadis bersangkutan tidak bertentangan atau tidak menyalahi riwayat yang lebih kuat. Konsenkuensi dari kaidah minor diatas dalam melakukan penelitian terhadap matan hadis yang mengandung sha>dh adalah bahwa penelitian tidak dapat terlepaskan dari penelitian atas kualitas sanad hadis yang bersangkutan, dengan demikian langkah metodologis yang perlu ditempuh untuk mengetahui apakah suatu matan hadis itu terdapat syu>dhuz atau tidak adalah: melakukan penelitian terhadap kualitas sanad matan yang diduga bermasalah, kemudian membandingkan redaksi matan yang bersangkutan dengan matan- 28 Ibid., 171. 29 MKD IAIN Sunan Ampel, Studi Hadis, 166

23 matan lain yang memiliki tema sama, dan memiliki sanad berbeda. Melakukan klarifikasi keselarasan antara redaksi matan-matan hadis yang mengangkat tema sama, dengan kegiatan ini akan diperoleh kesimpulan, mana matan yang mah{fuz{ dan matan yang janggal (sha>dh). 7. Matan Hadis Terhindar dari Illat Kaidah minor matan hadis yang terhindar dari illat adalah: 30 a. Tidak terdapat ziyadah (tambahan) dalam lafad. b. Tidak terdapat idraj (sisipan) dalam lafad matan. c. Tidak terjadi id{tira>b (pertentangan yang tidak dapat dikompromikan) dalam lafaz matan hadis. d. Jika ziyadah, idraj, id{tirab bertentangan dengan riwayat yang thi>qoh lainnya, maka matan hadis tersebut sekaligus mengandung syu>dhuz. Para ulama juga merumuskan acuan standar yang lain untuk menilai keabsahan matan hadis, secara umum suatu matan hadis dapat dikatakan sahih apabila: a. Tidak bertentangan dengan petunjuk Alquran. b. Tidak bertentangan dengan hadis yang lebih kuat. c. Tidak bertentangan dengan akal sehat, indera dan sejarah. d. Susunan bahasanya menunjukkan cirri-ciri lafad kenabian, yaitu tidak rancu, sesuai dengan kaidah bahasa arab, fasih. Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa standar matan sahih adalah: sanad periwayatnya berkualitas maqbu>l, redaksi matanya terhindar 30 MKD IAIN, Sunan Ampel Studi, 168.

24 dari illat atau cacat, redaksi matanya terhindar dari syu>dhuz dan kandungan maknanya tidak bertentangan dengan dalil-dalil dan realitas yang sahih. 31 B. Teori al-jarh wa al-ta di>l Adalah suatu kewajaran bila dalam menyampaikan atau mentransmisikan suatu perkataan terjadi kesalahan karena hal itu sangatlah manusiawi hal ini terjadi juga dalam hadis, akan tetapi jika kesalahan itu berulangkali dilakukan maka akan membawa dampak penilaian bagi perawi itu sendiri berupa predikat jelek bagi periwayat itu sendiri, para ulama berusaha menjaga keotentikan suatu hadis dengan berbagai cara, penelitian matan, sanad termasuk dengan meneliti sifat-sifat perawi, sehingga dapat dibedakan antara perawi yang kurang kredibel dengan mereka-mereka yang mempunyai kredibelitas tinggi, karena hal itu sangat dibutuhkan untuk menjaga hadis Nabi dari tangan-tangan jahat orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Penelitian tentang hadis sebenarnya telah dilakukan pada Nabi, sebagaimana dilakukan oleh Abu Bakar dalam masalah pembagian hak waris bagi Nenek (ja>ddah), Abu Bakar meminta saksi sebagai langkah antisipasi. Para ulama sepakat menganggap adil seluruh sahabat karena tidak akan berkata dusta yang dinisbatkan kepada Nabi, hal ini tentu berbeda dengan generasi setelahnya, banyak fitnah terjadi yang memunculkan hadis-hadis palsu dengan kepentingan tertentu, sehingga akan sangat beresiko ketika 31 Ibid.,169.

25 setiap hadis akan diterima tanpa diteliti terlebih dahulu, salah satu penelitian dalam menjaga keaslian hadis adalah dengan meneliti ihwa>l tentang perawi hadis, ini merupakan kajian keilmuan yang lazim disebut Jarh wa Ta di>l, yaitu ilmu yang membahas tentang perawi dari segi diterima atau ditolaknya periwayatan 32. Seorang perawi hadis akan diterima hadisnya jika memenuhi beberapa syarat, diantaranya perawi tersebut dikenal sebagai seorang yang terpuji serta hafalannya dapat dipertanggung jawabkan, hal ini akan berbeda jika perawi - misalnya- adalah orang yang hafalannya kurang sempurna. Sesuatu yang dianggap sebagai aib bagi seorang perawi hadis terdapat lima, yaitu : 1. Bid ah (melakukan tindakan tercela diluar ketentuan syara ). 2. Mukha>la>fah yaitu berbeda dengan periwayatan orang yang lebih tsiqah. 3. Gha>la>t ialah banyak melakukan kekeliruan. 4. Jaha>lah al-ha>l, tidak di kenal identitasnya. 5. Da wa>tul Inqita>, sanadnya diduga terputus. Untuk mengetahui keadilan seorang perawi dapat dilakukan dengan salah satu dari dua cara dibawah ini, yaitu : 1. Dengan kepopulerannya dikalangan ahli ilmu, bahwa dia seorang yang adil, seperti Malik bin Anas, Sufyan al-tsau>ri, tsu bah bin al Hajja>j, Ahmad bin Hanbal serta ahli-ahli hadis lainnya. 32 Muhammad Ajjaj al-kha>tib, Usu>l al-ha>dis Ulu>muhu wa Mustala>hu (Beirut: Da>r al Fikr t.t),261.

26 2. Dengan Tazki>yah yaitu penta dilan seorang yang adil terhadap perawi yang belum diketahui keadilannya, hal ini cukup dengan satu penta dilan satu orang adil, sebagian mengharuskan dengan 2 orang laki-laki 33. Penetapan kecacatan seorang perawi dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu: 1. Berdasarkan berita tentang ketenaran seorang perawi dalam kecacatannya. 2. Dengan pentajrihan seorang yang adil yang mengetahui sebab-sebabnya dia cacat, meskipun hanya satu orang, sebagian mengharuskan dua orang. 34 Syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi seorang pentajrih, adalah: 1. Berilmu. 2. Bertaqwa. 3. Wara'. 4. Jujur. 5. Tidak dalam keadaan di jarh. 6. Tidak fanatik. 7. Mengetahui sebab-sebab untuk men-jarh dan ta di>l. 35 Apabila terjadi ta a>rud antara jarh dan ta di>l pada seorang rawi, sebagian men-ta di>l dan sebagian yang lain men-jarh, dalam hal ini terdapat tiga pendapat : 33 Ibid., 268-269. 34 Rahman, 'Ikhtisa>r Mustala>hul Hadis 310 35 Al-Kha>tib, Usu>l al-hadi>s,268

27 1. Jarh harus didahulukan secara mutlak meskipun jumlah orang yang menganggap adil lebih banyak. 2. Ta di>l harus didahulukan. 3. Bila jumlah Mu a>ddil-nya lebih banyak dari Jarh, maka didahulukan Ta di>l karena jumlah yang banyak dapat memperkuat kedudukan mereka atau ditawa>qquf-kan hingga ditemukan penguat. 36 C. Teori Pemaknaan Hadis Selain dilakukan pengujian terhadap otentias dan kehujjahan hadis, langkah lain yang perlu dilakukan adalah pengujian terhadap pemaknaan hadis. Hal ini perlu dilakukan karena adanya fakta bahwa mayoritas hadis yang diriwayatkan adalah secara makna, 37 dan hal itu dapat berpengaruh terhadap makna yang dikandung, dan juga dalam penyampaian hadis Nabi selalu menggunakan bahasa yang sesuai dengan bahasa yang dipakai oleh orang yang diberi pengajaran hadis, sehingga hal itu membutuhkan pengetahuan yang luas dalam memahami ucapan Nabi SAW. Untuk memahami sunnah dengan baik, jauh dari penyimpangan, pemalsuan, dan penakwilan yang keliru, maka harus memahaminya sesuai dengan petunjuk Alquran yaitu, dalam bingkai tuntunan-tuntunan Ilahi yang kebenaran dan keadilannya bersifat pasti. 38 Para ulama berbeda dalam metode Ma ani> al- H{adi>th, namun perbedaan antara mereka tidaklah prinsipil, Yusuf al-qard{awi 36 Ibid., 269-270. 37 Salamah Noorhidayati, Kritik Teks Hadis, Analisis Tentang Riwayat bi al-ma na dan Implikasinya bagi Kualitas Hadis (Yogyakarta: Teras, 2009), 86-87. 38 Yusuf al-qard{awi>, Pengantar Studi Hadis (Bandung: Pustaka Setia, 1991), 156.

28 menetapkan beberapa acuan (Mi ya>r) untuk mencapai pemahaman yang komperhensif terhadap hadis, yaitu: 39 1. Memahami as-sunnah sesuai dengan petunjuk Alquran. 2. Menghimpun hadis -hadis yang terjalin dalam tema yang sama 3. Penggabungan atau pentarjihan antara hadis-hadis yang tampak bertentangan. 4. Memahami hadis dengan mempertimbangkan latar belakangnya, situasi dan kondisinya, serta tujuannya. 5. Membedakan antara sarana yang berubah-ubah dan tujuan yang tetap dari setiap hadis. 6. Membedakan antara ungkapan yang hakiki dengan yang majaz. 7. Membedakan antara ghaib dan nyata. 8. Memastikan makna dan konotasi kata-kata dalam hadis. Periwayatan hadis secara makna telah menyebabkan penelitian matan dengan pendekatan bahasa tidak mudah dilakukan. Karena matan hadis yang sampai ke tangan mukharri> jmasing-masing telah melalui sejumlah perawi yang berbeda generasi dengan latar budaya dan kecerdasan yang juga berbeda. Perbedaan tersebut dapat menyebabkan terjadinya perbedaan penggunaan dan pemahaman suatu kata ataupun istilah. Sehingga bagaimanapun kesulitan yang dihadapi, penelitian matan dengan pendekatan bahasa perlu dilakukan untuk mendapat pemaknaan yang komprehensif dan obyektif. Beberapa metode yang digunakan dalam pendekatan bahasa ini adalah: a. Mendeteksi hadis yang mempunyai lafad yang sama. 39 Al-Qard{awi>, Bagaimana Memahami Hadis, ter. Muhammad al-baqir, (Bandung: Karisma, 1994), 192-197.

29 Pendekatan lafad hadis yang sama ini dimaksudkan untuk mengetahui beberapa hal, antar lain; 40 1) Adanya Idraj (sisipan lafal hadis yang bukan berasal dari Nabi SAW). 2) Adanya Id{thira>b (pertentangan antara dua riwayat yang sama kuatnya sehingga tidak memungkinkan dilakukan tarjih). 3) Adanya al-qalb (pemutar balikan matan hadis). 4) Adanya Ziyadah al-thi>qat (penambahan lafad dalam sebagian riwayat). b. Membedakan makna hakiki dan makna majazi. Ungkapan majaz menurut ilmu balaghah lebih mengesankan daripada ungkapan makna hakiki dan Rasulullah SAW juga sering menggunakan ungkapan majaz dalam menyampaikan sabdanya. Majaz dalam hal ini mencakup majaz lughawi>, aqli>, isti a>rah, kinayah dan isti ar>ah tamthiliyyah atau ungkapan lainnya yang tidak mengandung makna sebenarnya. Makna majaz dalam pembicaraan hanya dapat diketahui melalui qarinah yang menunjukkan makna yang dimaksud. 41 Metode diatas merupakan sebagian dari beberapa metode kebahasaan lainnya yang juga harus digunakan seperti ilmu nahwu dan saraf sebagai dasar keilmuan dalam bahasa Arab. 40 Nawir Yuslem, Ulumul hadis (Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 2001), 368. 41 Yusuf Qard{awi>, Studi Kritis as-sunah, ter. Bah{run Abu> Bakar (Bandung: Trigenda Karya, 1995), 185.