Bab IV ANALISIS Analisis dilakukan terhadap hasil revisi dari Permendagri no 1 tahun 2006 beserta lampirannya berdasarkan kaidah-kaidah keilmuan Geodesi, adapun analalisis yang diberikan sebagai berikut: 4.1 Hasil Revisi Analisis hasil revisi Permendagri no 1 tahun 2006 terdiri dari 2 pasal, sebagai berikut: Tabel 4.1 Revisi pasal 3 Permendagri no 1 tahun 2006 A Ayat Pasal 3 Pasal 3 1 Penegasan batas daerah berpedoman pada batas-batas daerah yang ditetapkan dalam Undang-undang Pembentukan Daerah. Penegasan batas daerah berpedoman pada dokumen hukum paling kuat berdasarkan keputusan kajian Tim Penegasan Batas Daerah Kekurangan pada pasal ini adalah penggunaan Undang-undang pembentukan daerah sebagai pedoman penegasan batas. Undang-undang pembentukan daerah yang merupakan dasar hukum pembentukan daerah tidak menyatakan dengan jelas titik-titik koordinat batas daerah. Undang-undang pembentukan daerah hanya mendekripsikan nama-nama daerah yang berbatasan dengan daerahnya. Selain itu peta lampiran undang-undang pembentukan daerah juga tidak jelas dan cenderung menimbulkan perbedaan penafsiran antar Undang-undang pembentukan daerah. Oleh karena itu, Undang-undang Pembentukan daerah sebaiknya tidak dijadikan pedoman utama dalam penegasan batas daerah. sebaiknya batas daerah berpedoman pada bukti hukum terkuat hasil keputusan kajian Tim Penegasan Batas. 48
Tabel 4.2 Revisi pasal 4 Permendagri no 1 tahun 2006 B. Ayat Pasal 4 Pasal 4 1 Penegasan batas daerah di darat sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 diwujudkan melalui tahapan : Penegasan batas daerah di darat sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 diwujudkan melalui tahapan : a. penelitian dokumen ; a. penelitian dokumen ; b. pelacakan batas; b. deliniasi batas; c. pemasangan pilar batas; c. pelacakan batas; d. pengukuran dan penentuan posisi d. pemasangan pilar batas; pilar batas; e. pembuatan peta batas. e. pengukuran dan penentuan posisi pilar batas; f. pembuatan peta batas. Pada pasal ini sebaiknya ditambahkan tahapan deliniasi batas. Deliniasi batas adalah tahapan penentuan batas di atas peta. deliniasi batas dilakukan menggunakan peta foto atau dengan menggunakan citra resolusi tinggi. Dengan menggunakan peta foto maupun citra resolusi tinggi, identifikasi batas dapat dilakukan dengan menentukan koordinat dari batas-batas daerah melalui digitasi citra. Sehingga tahap pelacakan hanya dilakukan jika diperlukan saja. Selain itu, pemasangan pilar titik ikat pada daerah sungai, jalan, rel kereta, dan saluran irigasi tidak perlu dilakukan karena koordinat pada daerah-daerah tersebut dapat diperoleh melalui tahapan ini. Pemasangan pilar cukup pada area yang dianggap perlu. Sehingga biaya yang diperlukan dalam proses penegasan batas dapat diminimalisir. Tabel 4.3 Revisi pasal 5 Permendagri no 1 tahun 2006 C. Ayat Pasal 5 Pasal 5 1 Penelitian dokumen sebagaimana dimaksud pada pasal 4 huruf a meliputi : a. Peraturan Perundang-Undangan tentang Pembentukan Daerah. b. Dokumen lainnya yang disepakati oleh daerah yang bersangkutan. Penelitian dokumen sebagaimana dimaksud pada pasal 4 huruf a meliputi : a. Peraturan Perundang-Undangan tentang Pembentukan Daerah. b. Dokumen-dokumen yang diajukan sebagai bukti hukum oleh setiap daerah. 49
Pada pasal ini disebutkan bahwa dokumen yang dimaksud meliputi peraturan Perundang-Undangan tentang Pembentukan Daerah serta dokumen lainnya yang disepakati oleh daerah yang bersangkutan. Hal ini dinilai kurang sesuai karena berbeda dengan teknis yang ada dilapangan, pada teknisnya setiap daerah mengajukan dokumen-dokumen untuk dijadikan bukti hukum atas batas daerahnya. Sebagian besar dokumen-dokumen yang diajukan menyajikan batasbatas daerah yang berbeda. penelitian dokumen diperlukan untuk memilih dokumen-dokumen yang memiliki kekuatan hukum terkuat untuk diputuskan sebagai acuan batas daerah. oleh karena itu, penggunaan kata dokumen yang disepakati sebaiknya diganti menjadi dokumen yang diajukan sebagai bukti hukum. Dengan demikian, proses penegasan batas daerah tidak terhambat oleh proses memperoleh kesepakatan yang sulit dicapai. Bagian selanjutnya merupakan analisis revisi hasil identifikasi lampiran penjelasan Permendagri no 1 tahun 2006, sebagai berikut: Tabel 4.4 Revisi bagian 1 lampiran Permendagri no 1 tahun 2006 D. Universal Transverse Mercator (UTM) adalah sistem grid pada proyeksi Transverse Mercator. Universal Transverse Mercator (UTM) adalah sistem proyeksi Transverse Mercator yang cakupannya dibatasi pada area λ=±3 o atau dengan lebar zona 6 o serta faktor perbesaran pada meridian sentral sebesar 0.9996. Kesalahan pada bagian ini adalah dalam mendefinisikan Universal Tranverse Mercator(UTM) sebagai sistem grid. Grid adalah garis tempat kedudukan titiktitik dengan absis atau orinat yang sama, digunakan sebagai alat bantu untuk menentukan koordinat pada peta. Sedangkan, Universal Tranverse Mercator merupakan sebuah sistem proyeksi peta. Definisi teknis yang ada pada suatu Peraturan dibuat sesederhana mungkin agar mudah dipahami secara umum. Namun, pemberian definisi harus sesuai sehingga tidak bergeser dari makna sebenarnya. 50
Tabel 4.5 Revisi bagian 2 lampiran Permendagri no 1 tahun 2006 E. Kegiatan penegasan batas daerah dilakukan oleh Tim Penetapan dan Penegasan Batas Daerah Tingkat Pusat bersama Tim Penetapan dan Penegasan Batas Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten dan Daerah Kota dari masing-masing daerah untuk mendapatkan suatu ketetapan hukum tentang batas daerah. Pada pelaksanaan di lapangan tim teknis dibantu masyarakat setempat yang mengetahui keberadaan batas daerah tersebut. Kegiatan penegasan batas daerah dilakukan oleh Tim Penegasan Batas Daerah Tingkat Pusat bersama Tim Penetapan dan Penegasan Batas Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten dan Daerah Kota dari masingmasing daerah untuk mendapatkan suatu ketetapan hukum tentang batas daerah. Pada pelaksanaan di lapangan tim teknis dibantu masyarakat setempat yang mengetahui keberadaan batas daerah tersebut. Bagian ini berisi penjelasan singkat tentang teknis penegasan batas daerah. kesalahan terdapat pada penulisan Tim Penetapan dan Penegasan Batas Daerah, yaitu pada penggunaan kata penetapan. Kata penetapan tidak dapat lagi dipakai karena Permendagri no 1 tahun 2006 hanya melingkupi masalah penegasan batas daerah. Tabel 4.6 Revisi bagian 3 lampiran Permendagri no 1 tahun 2006 F. Secara garis besar, penegasan batas daerah terdiri dari 5 (lima) kegiatan yaitu: Secara garis besar, penegasan batas daerah terdiri dari 6 (enam) kegiatan yaitu: 1) Penelitian dokumen 1) Penelitian dokumen 2) Pelacakan batas 2) Diliniasi batas 3) Pengukuran dan penentuan posisi pilar 3) Pelacakan batas batas 4) Pemasangan pilar batas 4) Pengukuran dan penentuan posisi pilar batas 5) Pembuatan peta batas 5) Pemasangan pilar batas Setiap kegiatan tersebut perlu didokumentasikan dalam formulir yang diisi oleh pelaksana dan disahkan oleh pejabat yang berwenang. 6) Pembuatan peta batas Setiap kegiatan tersebut perlu didokumentasikan dalam formulir yang diisi oleh pelaksana dan disahkan oleh pejabat yang berwenang. Penjelasan pada bagian ini dapat dilihat pada penjelasan pasal 4 Permendagri no 1 tahun 2006. 51
Tabel 4.7 Revisi bagian 4 lampiran Permendagri no 1 tahun 2006 G. Tim yang terkait melakukan pengkajian bersama terhadap sumber-sumber hukum tersebut. Jika tidak ada sumber hukum yang disepakati, maka tim tersebut bermusyawarah untuk membuat kesepakatan baru dalam menentukan batas daerah. Tim yang terkait melakukan pengkajian bersama terhadap sumber-sumber hukum tersebut untuk memilih dasar hukum terkuat yang akan dijadikan landasan dalam penegasan batas daerah Penggunaan kata kesepakatan sebaiknya ditinjau ulang. jika mengandalkan kesepakatan, batas daerah hanya akan menjadi masalah yang rumit untuk selesaikan. Salah satu kendala dalam penegasan batas yang terjadi saat ini adalah kesulitan untuk mencapai kesepakatan dalam menetapkan batas antar daerah, sehingga penyelesaian masalah penegasan batas daerah menjadi terhambat. Seharusnya Batas daerah merupakan wewenang pemerintah pusat dalam memutuskannya. Setiap daerah cukup mengajukan bukti dasar hukum terkait batas daerahnya, sedangkan pemilihan dasar hukum terkuat dalam penegasan batas daerah seluruhnya diserahkan kepada tim pengkaji. Tabel 4.8 Revisi bagian 5 lampiran Permendagri no 1 tahun 2006 H. Pilar batas utama (PBU) dipasang pada titik awal dan akhir dari garis batas serta titik-titik pertemuan beberapa daerah (desa, kecamatan, kabupaten/kota) sesuai dengan ketentuan tipe pilar batas. Kerapatan PBU sesuai dengan kriteria berikut ini : a) Untuk batas daerah provinsi yang mempunyai potensi tinggi, kerapatan pilar tidak melebihi 3-5 km, sedangkan untuk batas provinsi yang kurang potensi tidak melebihi 5-10 km. b) Untuk batas daerah kabupaten/kota yang mempunyai potensi tinggi kerapatan pilar tidak melebihi 1-3 km, sedangkan yang kurang potensi kerapatan pilar tidak melebihi 3-5 km. Pilar batas utama (PBU) dipasang pada titik awal dan akhir dari garis batas serta titiktitik pertemuan beberapa daerah (desa, kecamatan, kabupaten/kota) sesuai dengan ketentuan tipe pilar batas. Kerapatan PBU sesuai dengan kriteria berikut ini : a) Untuk batas daerah provinsi yang mempunyai potensi tinggi, kerapatan pilar tidak melebihi 3-5 km, sedangkan untuk batas provinsi yang kurang potensi tidak melebihi 5-10 km. b) Untuk batas daerah kabupaten/kota yang mempunyai potensi tinggi kerapatan pilar tidak melebihi 1-3 km, sedangkan yang kurang potensi kerapatan pilar tidak melebihi 3-5 km. 52
c) Untuk batas daerah desa dan kecamatan yang mempunyai potensi tinggi kerapatan pilar tidak melebihi 0.5 1 km, sedangkan yang kurang potensi tidak melebihi 1-3 km. c) Untuk batas daerah desa dan kecamatan yang mempunyai potensi tinggi kerapatan pilar tidak melebihi 0.5 1 km, sedangkan yang kurang potensi tidak melebihi 1-3 km. Kriteria potensi batas daerah berdasarkan pada: a) Tingkat kepadatan, b) Nilai ekonomi, c) Sumber daya alam, d) Nilai budaya, dll. Pada bagian perapatan PBU(Pilar Batas Utama) disebutkan bahwa Kerapatan PBU berdasarkan potensi daerah. Bagian ini dinilai kurang lengkap karena tidak terdapat penjelasan tentang kriteria dalam menentukan potensi daerah tersebut tinggi atau rendah. Oleh karena itu, pada bagian ini perlu ditambahkan kriteria dalam menentukan potensi daerah. Adapun kriteria kerapatan pilar batas yang tertera dalam buku Pedoman Penetapan dan Penegasan Batas Daerah berdasarkan pada : 1. Tingkat kepadatan, 2. Nilai ekonomi, 3. Sumber daya alam, 4. Nilai budaya, dll. Tabel 4.9 Revisi bagian 6 lampiran Permendagri no 1 tahun 2006 I. Sebagai tanda pemisah batas kecamatan dipasang pilar batas tipe "C" dengan ukuran 30 cm X 30 cm dan tinggi 50 cm, dengan kedalaman 75 cm dibawah tanah. (gambar 2). Sebagai tanda pemisah batas kecamatan dipasang pilar batas tipe "C" dengan ukuran 30 cm X 30 cm dan tinggi 50 cm, dengan kedalaman 75 cm dibawah tanah. (gambar 2). --revisi gambar perlu dilakukan oleh pihak Kemendagri-- Kesalahan pada bagian ini terletak pada sketsa untuk spesifikasi bentuk pilar batas tipe C untuk batas kecamatan, dengan ukuran pilar 30 cm x 30 cm, tinggi 50 cm serta kedalaman 75 cm di bawah tanah. Sedangkan pada sketsa gambar 2 ukuran pilar yang diberikan 40 cm x 40 cm, tinggi 75 cm serta 53
kedalaman 100 cm di bawah tanah. Untuk sketsa pilar tipe C dapat dilihat pada Gambar 4.1, sebagai berikut: Gambar 4.1 Kesalahan sketsa bentuk pilar tipe C 54
Tabel 4.10 Revisi bagian 7 lampiran Permendagri no 1 tahun 2006 J. Pengukuran Posisi Pilar Batas Utama. a) Koordinat Pilar Batas Utama ditentukan berdasarkan pengukuran posisi metoda satelit GPS. Peralatan yang digunakan adalah receiver GPS tipe geodetik beserta kelengkapannya. b) Untuk menghasilkan penentuan posisi dengan ketelitian tinggi, pengukuran posisi titik utama untuk batas wilayah provinsi, kabupaten dan kota sebaiknya menggunakan peralatan GPS tipe Geodetik. Pengukuran Posisi Pilar Batas Utama. a) Koordinat Pilar Batas Utama ditentukan berdasarkan pengukuran posisi metoda satelit GPS. Peralatan yang digunakan adalah receiver GPS tipe geodetik beserta kelengkapannya. b) Untuk menghasilkan penentuan posisi dengan ketelitian tinggi, pengukuran posisi titik utama untuk batas wilayah provinsi, kabupaten dan kota sebaiknya menggunakan peralatan GPS tipe Geodetik. Pengukuran GPS harus memenuhi Standar ketelitian untuk koordinat Pilar Batas Utama(PBU) sebesar ±15 cm Panjang Baseline Lama Pengamatan Satu frekuensi Dua frekuensi 1-3 km 15 menit 10 menit 3-5 km 20 menit 15 menit 5-10 km 30 menit 20 menit Pengukuran koordinat ditentukan berdasarkan pengukuran posisi metoda satelit GPS untuk menghasilkan penentuan posisi dengan ketelitian tinggi. Namun, nilai ketelitian dari pilar batas utama dalam Permendagri no 1 tahun 2006 tidak dispesifikasikan. jika dilihat dari skala peta batas daerah, yaitu 1 : 500.000 (untuk propinsi), 1:100.000 (untuk kabupaten), dan 1 : 50.000 (untuk kota), maka untuk keperluan pengeplotan di peta tersebut, tuntutan terhadap ketelitian titik acuan sebenarnya tidak terlalu ketat. Kalau kita mengacu pada toleransi ketelitian pengeplotan sebesar 0.1 mm di peta, maka sebenarnya tingkat ketelitian titik acuan dalam orde beberapa m sudahlah memadai. mengingat bahwa koordinat titik-titik batas juga akan digunakan untuk perhitungan luas daerah secara kuantitatif, dan juga dengan pertimbangan bahwa titik acuan juga sebaiknya dapat dimanfaatkan untuk keperluan-keperluan lainnya di samping untuk keperluan verifikasi titik-titik awal dan juga rekonstruksi titik-titik batas seandainya diperlukan, maka ketelitian koordinat relatif titik acuan sebaiknya berada pada level beberapa cm. Seandainya level cm, karena sesuatu hal tidak dapat dicapai, maka ketelitian relatif pada level 1-2 dm pada prinsipnya masih memadai (abidin, 2001). Merujuk pada Pedoman Umum Penetapan dan 55
Penegasan Batas Daerah(2002) standar ketelitian untuk koordinat pilar batas (satu simpangan baku) adalah : Untuk PBU dan PABU : ±15 cm Untuk PBA dan PABA : ±25 cm Selain itu, lamanya pengamatan dalam pengamatan GPS juga tidak dispesifikasikan. Merujuk pada Pedoman Umum Penetapan dan Penegasan Batas Daerah(2002) lamanya pengamatan GPS adalah: Tabel 4.11 Lama Pengamatan Penentuan Posisi Pilar Batas Antara Menggunakan GPS[Kemendagri,2002] Panjang Baseline Satu frekuensi Lama Pengamatan Dua frekuensi 1-3 km 15 menit 10 menit 3-5 km 20 menit 15 menit 5-10 km 30 menit 20 menit Tabel 4.12 Revisi bagian 8 lampiran Permendagri no 1 tahun 2006 K. Metode pengukurannya adalah dengan metode statik diferensial yaitu salah satu receiver GPS ditempatkan di titik yang sudah diketahui koordinatnya, sedangkan receiver yang lain ditempatkan di titik yang akan ditentukan koordinatnya. Pengukuran dapat dilakukan secara loop memancar (sentral), secara jaring trilaterasi atau secara poligon tergantung situasi dan kondisi daerah. Metode pengukurannya adalah dengan metode statik diferensial yaitu salah satu receiver GPS ditempatkan di titik yang sudah diketahui koordinatnya, sedangkan receiver yang lain ditempatkan di titik yang akan ditentukan koordinatnya. Pengukuran GPS dapat dilakukan dengan moda jaringan atau moda radial tergantung situasi dan kondisi daerah. penentuan posisi GPS umumnya dilakukan dengan moda jaringan atau moda radial. Tidak ada istilah pengukuran GPS dilakukan dengan metode poligon atau metode loop memancar. Metode poligon digunakan pada pengukuran terestris dengan mengukur sudut dan jarak antar titik. Sedangkan GPS adalah metode penentuan posisi dari suatu titik secara ekstra-terestris yaitu penentuan posisi dengan melakuan pengukuran atau pengamatan ke benda/objek di 56
angkasa, dalam hal ini berupa satelit. Sedangkan pengggunaan istilah metode loop memancar dinilai kurang tepat karena seharusnya istilah yang benar adalah moda memancar/sentral/radial. Tabel 4.13 Revisi bagian 9 lampiran Permendagri no 1 tahun 2006 L. Titik koordinat Orde Nol, Orde Satu yang tersebar di seluruh Indonesia merupakan titik ikat yang berlaku secara nasional. Agar pilarpilar batas daerah mempunyai koordinat sistem nasional, maka harus dikaitkan ke titik Orde Nol atau Orde Satu yang merupakan jaring kontrol nasional. Titik koordinat Orde Nol, Orde Satu yang tersebar di seluruh Indonesia merupakan titik ikat yang berlaku secara nasional. Agar pilar-pilar batas mempunyai sistem koordinat nasional, pilar-pilar batas diikatkan pada Jaring Kontrol Geodesi Nasional orde nol dan satu. Jika tidak terdapat titik-titik ikat orde nol dan satu maka pilar batas daerah dapat diikatkan pada titik ikat orde 2, 3 dan 4. Namun, transformasi koordinat ke sistem proyeksi UTM harus dilakukan karena titik-titik koordinat orde 2, 3 dan 4 memiliki sistem proyeksi TM 3 o Untuk dapat terikat pada jaring kontrol geodesi nasional, pengikatan koordinat dapat juga dilakukan dengan menggunakan titik ikat orde 2, 3 dan 4. Namun, transformasi koordinat harus dilakukan karena titik-titik koordinat orde 2, 3 dan 4 memiliki sistem proyeksi TM 3 o. ketelitian dari titik-titik koordinat orde nol dan satu lebih baik dari titik-titik koordinat orde 2, 3 dan 4. Oleh karena itu, pemakaian orde nol dan orde satu lebih diutamakan. Namun jika tidak terdapat titik-titik ikat orde nol dan orde satu pada area pengukuran, penggunaan titik ikat orde 2, 3 dan 4 masih dapat digunakan. Tabel 4.14 Revisi bagian 10 lampiran Permendagri no 1 tahun 2006 M. Penentuan Posisi untuk titik tambahan lainnya seperti Pilar Batas Antara (PBA) dapat dilakukan dengan metoda teristris seperti pengikatan silang ke muka, pengikatan silang ke belakang, trilaterasi, triangulasi atau poligon sesuai dengan spesifikasi teknis yang ditentukan oleh Tim Penegasan Batas Daerah. Penentuan Posisi untuk titik tambahan lainnya seperti Pilar Batas Antara (PBA) dapat dilakukan dengan metoda teristris seperti pengikatan silang ke muka, pengikatan silang ke belakang, trilaterasi, triangulasi atau poligon sesuai dengan spesifikasi teknis yang ditentukan oleh Tim Penegasan Batas Daerah. Standar ketelitian untuk koordinat Pilar Batas Antara(PBA) adalah ±25 cm Bagian ini tidak terdapat spesifikasi ketelitian Pilar Batas Antara 57
Tabel 4.15 Revisi bagian 12 lampiran Permendagri no 1 tahun 2006 N. Sistem Proyeksi Peta: a) Sistem Grid : Universal Transverse Mercator b) Lebar Zone : 6 derajat c) Angka Perbesaran : 0.9996 pada Meridian tengah d) Jarak Meridian Tepi : 180.000 m di sebelah Timur dan sebelah Barat Meridian Tengah e) Ellipsoid Referensi : Spheroid WGS-84 f) Sistem Referensi Koordinat (1) Primer : Grid Geografi (2) Sekunder : Grid Metrik Sistem Proyeksi Peta: a) Sistem proyeksi : Universal Transverse Mercator b) Ellipsoid Referensi : WGS-84 c) Garis kerangka peta: (1) Primer : Gratikul (2) Sekunder : Grid Bagian ini dinilai kurang sesuai karena spesifikasi yang diberikan dapat lebih disederhanakan. Penulisan lebar zona, angka perbesaran, dan jarak meridian tepi tidak perlu dispesifikasikan, karena ketiga hal tersebut sudah merupakan ciri khas dari sistem proyeksi Universal Transverse Mercator. Kesalahan juga terdapat pada penggunaan istilah sistem referensi koordinat. Pada bagian ini sistem grid di identikan dengan sistem referensi koordinat. Definisi Sistem referensi koordinat yang benar adalah sistem (termasuk teori, konsep, deskripsi fisis dan geometris, serta standar dan parameter) yang digunakan dalam pendefinisian koordinat dari suatu atau beberapa titik dalam ruang. Sistem referensi digunakan sebagai acuan untuk menyatakan nilai suatu titik. Realisasi praktis dari sistem referensi adalah kerangka referensi. Kerangka referensi digunakan untuk pendeskripsian secara kuantitatif posisi dan pergerakan titik titik, sedangkan grid adalah garis tempat kedudukan titik-titik dengan absis atau orinat yang sama,. Selain itu, penggunaan istilah grid geografi dan grid metrik juga tidak sesuai karena grid merupakan garis bantu yang menyajikan informasi dalam satuan metrik. Oleh karena itu, sebaiknya istilah grid geografi diganti menjadi gratikul, sedangkan istilah grid matrik diganti menjadi grid UTM. 58
Tabel 4.16 Revisi bagian 14 lampiran Permendagri no 1 tahun 2006 O. Penurunan/kompilasi dari peta-peta yang sudah ada. (1) Peta batas daerah dapat diperoleh dari peta-peta yang ada seperti peta-peta dasar, peta BPN, peta PBB dan lain-lain. (1) Prosesnya dilakukan secara kartografis manual dan jika perlu diadakan penyesuaian skala menggunakan Pantograph. Penurunan/kompilasi dari peta-peta yang sudah ada. (1) Peta batas daerah dapat diperoleh dari peta-peta yang ada seperti peta-peta dasar, peta BPN, peta PBB dan lain-lain. Dengan skala peta dasar yang sama atau lebih besar. (2) Prosesnya dilakukan secara kartografis manual. Jika menggunakan peta dengan skala yang lebih besar, maka diperlukan suatu penyesuaian skala menggunakan Pantograph dan melalui tahap generalisasi kartografi. Metode penurunan/kompilasi hanya bisa dilakukan pada peta dengan skala yang sama atau skala yang lebih besar. Selain itu, jika menggunakan metode turunan/kompilasi dari peta dasar dengan skala peta yang lebih besar proses penyesuaian tidak cukup dengan menggunakan Pantograph, diperlukan adanya proses generalisasi kartografi untuk dapat menggambarkan peta batas daerah tersebut. Generalisasi kartografi adalah proses pengaturan kepadatan objek yang disajikan terhadap skala peta. Selain itu, tahun pembuatan peta dasar juga harus diperhatikan agar keterbaruan data tetap terjaga. 59