Bab IV ANALISIS. 4.1 Hasil Revisi Analisis hasil revisi Permendagri no 1 tahun 2006 terdiri dari 2 pasal, sebagai berikut:

dokumen-dokumen yang mirip
Bab III KAJIAN TEKNIS

Bab II TEORI DASAR. Suatu batas daerah dikatakan jelas dan tegas jika memenuhi kriteria sebagai berikut:

PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS WILAYAH DESA KAUMAN KECAMATAN KARANGREJO PROPINSI JAWA TIMUR

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 141 TAHUN 2017 TENTANG PENEGASAN BATAS DAERAH

PEDOMAN PENEGASAN BATAS DAERAH

BAB IV ANALISIS IMPLEMENTASI DAN DATA CHECKING

BAB II DASAR TEORI 2.1 Pengertian Batas Darat

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUARA ENIM NOMOR 11 TAHUN 2007 TENTANG PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

URGENSI PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS LAUT DALAM MENGHADAPI OTONOMI DAERAH DAN GLOBALISASI. Oleh: Nanin Trianawati Sugito*)

MENGGAMBAR BATAS DESA PADA PETA

BEBERAPA PEMIKIRAN TENTANG SISTEM DAN KERANGKA REFERENSI KOORDINAT UNTUK DKI JAKARTA. Hasanuddin Z. Abidin

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar belakang

2012, No Batas Daerah di Darat

BUPATI PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR: 9 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS DESA

SPESIFIKASI PENYAJIAN PETA RDTR

PROVINSI KALIMANTAN BARAT TENTANG PEDOMAN PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 27 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS DESA DI KABUPATEN PURBALINGGA

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA SELATAN NOMOR 46 TAHUN 2011 TENTANG PEDOMAN PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS DESA

SISTEM INFORMASI SUMBER DAYA LAHAN

Materi : Bab IV. PROYEKSI PETA Pengajar : Ira Mutiara A, ST

Kajian Implementasi Metode Penetapan Batas Administrasi Kota/Kabupaten (Studi Kasus: Provinsi Sumatera Barat)

BAB III BATAS DAERAH DAN NEGARA

INFORMASI GEOSPASIAL UNTUK PEMETAAN BATAS DAERAH 1) Kol. Drs. Cpt. Suyanto 2)

PERATURAN DAERAH KOTA BANJAR NOMOR 30 TAHUN 2006 TENTANG PEMBENTUKAN, PEMEKARAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI NEGARA AGRARIA/KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL

BAB I PENDAHULUAN BAB I. PENDAHULUAN

BAB I Pengertian Sistem Informasi Geografis

MEMBACA DAN MENGGUNAKAN PETA RUPABUMI INDONESIA (RBI)

BAHAN AJAR ON THE JOB TRAINING

PENGENALAN GPS & PENGGUNAANNYA

PENGENALAN GPS & PENGGUNAANNYA

DAFTAR PUSTAKA. 1. Abidin, Hasanuddin Z.(2001). Geodesi satelit. Jakarta : Pradnya Paramita.

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA,

BAB IV ANALISIS 4.1 Analisis Cakupan

2016, No Indonesia Nomor 2514); 3. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 7, Tamba

PEMERINTAH KABUPATEN EMPAT LAWANG

PROYEKSI PETA DAN SKALA PETA

PENGENALAN GPS & PENGGUNAANNYA Oleh : Winardi & Abdullah S.

BAB II PENENTUAN BATAS LAUT DAERAH

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar belakang

GPS vs Terestris (1)

ANALISIS KETELITIAN DATA PENGUKURAN MENGGUNAKAN GPS DENGAN METODE DIFERENSIAL STATIK DALAM MODA JARING DAN RADIAL

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG PEDOMAN PENEGASAN BATAS DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI,

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG PEDOMAN PENEGASAN BATAS DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI,

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH

DAFTAR ISI ii KATA PENGANTAR

BAB II DASAR TEORI II.1 Kewenangan Daerah di Wilayah Laut

BAB II TINJAUAN UMUM PENENTUAN BATAS DAERAH

BAB III PROSES GENERALISASI GARIS PANTAI DALAM PETA KEWENANGAN DAERAH DI WILAYAH LAUT MENGGUNAKAN ALGORITMA DOUGLAS-PEUCKER

MENTERI NEGARA AGRARIA/KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Tugas 1. Survei Konstruksi. Makalah Pemetaan Topografi Kampus ITB. Krisna Andhika

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 27 TAHUN 2006 TENTANG PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI,

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2014 TENTANG PENGURUSAN HAK ATAS TANAH TRANSMIGRAN

K NSEP E P D A D SA S R

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN BADAN INFORMASI GEOSPASIAL NOMOR 12 TAHUN 2017 TENTANG PEDOMAN PEMETAAN WILAYAH MASYARAKAT HUKUM ADAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Modul 13. Proyeksi Peta MODUL KULIAH ILMU UKUR TANAH JURUSAN TEKNIK SIPIL POLIBAN. Modul Pengertian Proyeksi Peta

INFORMASI GEOGRAFIS DAN INFORMASI KERUANGAN

KAJIAN TEKNIS TERHADAP PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG PENEGASAN BATAS DAERAH DI WILAYAH DARAT

CORPORATE SOCIAL RESPONSIBLE

BUPATI MAJENE PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAJENE NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Mengapa proyeksi di Indonesia menggunakan WGS 84?

Pemetaan dimana seluruh data yg digunakan diperoleh dengan melakukan pengukuran-pengukuran dilapangan disebut : Pemetaan secara terestris Pemetaan yan

BAB 1 PENDAHULUAN. Berdasarkan PP No.24/1997 dan PMNA / KBPN No.3/1997, rincian kegiatan pengukuran dan pemetaan terdiri dari (Diagram 1-1) ;

REKONSTRUKSI/RESTORASI REKONSTRUKSI/RESTORASI. Minggu 9: TAHAPAN ANALISIS CITRA. 1. Rekonstruksi (Destripe) SLC (Scan Line Corrector) off

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2000 TENTANG TINGKAT KETELITIAN PETA UNTUK PENATAAN RUANG WILAYAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA

BAB IV ANALISIS PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN I.1

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU TIMUR NOMOR 27 TAHUN 2007 T E N T A N G PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS DESA

KLASIFIKASI PENGUKURAN DAN UNSUR PETA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 1 TAHUN 2009 PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA

BAB III TINJAUAN UMUM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN MENGENAI BATAS WILAYAH DESA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 20/Menhut-II/2011 TENTANG PEDOMAN PEMETAAN KAWASAN HUTAN TINGKAT KABUPATEN/KOTA

By. Y. Morsa Said RAMBE

Mekanisme Persetujuan Peta untuk RDTR. Isfandiar M. Baihaqi Diastarini Pusat Pemetaan Tata Ruang dan Atlas Badan Informasi Geospasial

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA

Gambar 1. prinsip proyeksi dari bidang lengkung muka bumi ke bidang datar kertas

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERUYAN NOMOR 24 TAHUN 2006 TENTANG PENETAPAN BATAS DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SERUYAN,

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 76 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN PENEGASAN BATAS DAERAH

BAB II DASAR TEORI II.1 Sistem referensi koordinat

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 44/Menhut-II/2012 TENTANG PENGUKUHAN KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA

LAMPIRAN PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS DESA

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

MODUL 3 REGISTER DAN DIGITASI PETA

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA

Adipandang YUDONO

Bab I Pendahuluan I.1. Latar Belakang

IV.1. Analisis Karakteristik Peta Blok

BAB II CORS dan Pendaftaran Tanah di Indonesia

Transkripsi:

Bab IV ANALISIS Analisis dilakukan terhadap hasil revisi dari Permendagri no 1 tahun 2006 beserta lampirannya berdasarkan kaidah-kaidah keilmuan Geodesi, adapun analalisis yang diberikan sebagai berikut: 4.1 Hasil Revisi Analisis hasil revisi Permendagri no 1 tahun 2006 terdiri dari 2 pasal, sebagai berikut: Tabel 4.1 Revisi pasal 3 Permendagri no 1 tahun 2006 A Ayat Pasal 3 Pasal 3 1 Penegasan batas daerah berpedoman pada batas-batas daerah yang ditetapkan dalam Undang-undang Pembentukan Daerah. Penegasan batas daerah berpedoman pada dokumen hukum paling kuat berdasarkan keputusan kajian Tim Penegasan Batas Daerah Kekurangan pada pasal ini adalah penggunaan Undang-undang pembentukan daerah sebagai pedoman penegasan batas. Undang-undang pembentukan daerah yang merupakan dasar hukum pembentukan daerah tidak menyatakan dengan jelas titik-titik koordinat batas daerah. Undang-undang pembentukan daerah hanya mendekripsikan nama-nama daerah yang berbatasan dengan daerahnya. Selain itu peta lampiran undang-undang pembentukan daerah juga tidak jelas dan cenderung menimbulkan perbedaan penafsiran antar Undang-undang pembentukan daerah. Oleh karena itu, Undang-undang Pembentukan daerah sebaiknya tidak dijadikan pedoman utama dalam penegasan batas daerah. sebaiknya batas daerah berpedoman pada bukti hukum terkuat hasil keputusan kajian Tim Penegasan Batas. 48

Tabel 4.2 Revisi pasal 4 Permendagri no 1 tahun 2006 B. Ayat Pasal 4 Pasal 4 1 Penegasan batas daerah di darat sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 diwujudkan melalui tahapan : Penegasan batas daerah di darat sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 diwujudkan melalui tahapan : a. penelitian dokumen ; a. penelitian dokumen ; b. pelacakan batas; b. deliniasi batas; c. pemasangan pilar batas; c. pelacakan batas; d. pengukuran dan penentuan posisi d. pemasangan pilar batas; pilar batas; e. pembuatan peta batas. e. pengukuran dan penentuan posisi pilar batas; f. pembuatan peta batas. Pada pasal ini sebaiknya ditambahkan tahapan deliniasi batas. Deliniasi batas adalah tahapan penentuan batas di atas peta. deliniasi batas dilakukan menggunakan peta foto atau dengan menggunakan citra resolusi tinggi. Dengan menggunakan peta foto maupun citra resolusi tinggi, identifikasi batas dapat dilakukan dengan menentukan koordinat dari batas-batas daerah melalui digitasi citra. Sehingga tahap pelacakan hanya dilakukan jika diperlukan saja. Selain itu, pemasangan pilar titik ikat pada daerah sungai, jalan, rel kereta, dan saluran irigasi tidak perlu dilakukan karena koordinat pada daerah-daerah tersebut dapat diperoleh melalui tahapan ini. Pemasangan pilar cukup pada area yang dianggap perlu. Sehingga biaya yang diperlukan dalam proses penegasan batas dapat diminimalisir. Tabel 4.3 Revisi pasal 5 Permendagri no 1 tahun 2006 C. Ayat Pasal 5 Pasal 5 1 Penelitian dokumen sebagaimana dimaksud pada pasal 4 huruf a meliputi : a. Peraturan Perundang-Undangan tentang Pembentukan Daerah. b. Dokumen lainnya yang disepakati oleh daerah yang bersangkutan. Penelitian dokumen sebagaimana dimaksud pada pasal 4 huruf a meliputi : a. Peraturan Perundang-Undangan tentang Pembentukan Daerah. b. Dokumen-dokumen yang diajukan sebagai bukti hukum oleh setiap daerah. 49

Pada pasal ini disebutkan bahwa dokumen yang dimaksud meliputi peraturan Perundang-Undangan tentang Pembentukan Daerah serta dokumen lainnya yang disepakati oleh daerah yang bersangkutan. Hal ini dinilai kurang sesuai karena berbeda dengan teknis yang ada dilapangan, pada teknisnya setiap daerah mengajukan dokumen-dokumen untuk dijadikan bukti hukum atas batas daerahnya. Sebagian besar dokumen-dokumen yang diajukan menyajikan batasbatas daerah yang berbeda. penelitian dokumen diperlukan untuk memilih dokumen-dokumen yang memiliki kekuatan hukum terkuat untuk diputuskan sebagai acuan batas daerah. oleh karena itu, penggunaan kata dokumen yang disepakati sebaiknya diganti menjadi dokumen yang diajukan sebagai bukti hukum. Dengan demikian, proses penegasan batas daerah tidak terhambat oleh proses memperoleh kesepakatan yang sulit dicapai. Bagian selanjutnya merupakan analisis revisi hasil identifikasi lampiran penjelasan Permendagri no 1 tahun 2006, sebagai berikut: Tabel 4.4 Revisi bagian 1 lampiran Permendagri no 1 tahun 2006 D. Universal Transverse Mercator (UTM) adalah sistem grid pada proyeksi Transverse Mercator. Universal Transverse Mercator (UTM) adalah sistem proyeksi Transverse Mercator yang cakupannya dibatasi pada area λ=±3 o atau dengan lebar zona 6 o serta faktor perbesaran pada meridian sentral sebesar 0.9996. Kesalahan pada bagian ini adalah dalam mendefinisikan Universal Tranverse Mercator(UTM) sebagai sistem grid. Grid adalah garis tempat kedudukan titiktitik dengan absis atau orinat yang sama, digunakan sebagai alat bantu untuk menentukan koordinat pada peta. Sedangkan, Universal Tranverse Mercator merupakan sebuah sistem proyeksi peta. Definisi teknis yang ada pada suatu Peraturan dibuat sesederhana mungkin agar mudah dipahami secara umum. Namun, pemberian definisi harus sesuai sehingga tidak bergeser dari makna sebenarnya. 50

Tabel 4.5 Revisi bagian 2 lampiran Permendagri no 1 tahun 2006 E. Kegiatan penegasan batas daerah dilakukan oleh Tim Penetapan dan Penegasan Batas Daerah Tingkat Pusat bersama Tim Penetapan dan Penegasan Batas Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten dan Daerah Kota dari masing-masing daerah untuk mendapatkan suatu ketetapan hukum tentang batas daerah. Pada pelaksanaan di lapangan tim teknis dibantu masyarakat setempat yang mengetahui keberadaan batas daerah tersebut. Kegiatan penegasan batas daerah dilakukan oleh Tim Penegasan Batas Daerah Tingkat Pusat bersama Tim Penetapan dan Penegasan Batas Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten dan Daerah Kota dari masingmasing daerah untuk mendapatkan suatu ketetapan hukum tentang batas daerah. Pada pelaksanaan di lapangan tim teknis dibantu masyarakat setempat yang mengetahui keberadaan batas daerah tersebut. Bagian ini berisi penjelasan singkat tentang teknis penegasan batas daerah. kesalahan terdapat pada penulisan Tim Penetapan dan Penegasan Batas Daerah, yaitu pada penggunaan kata penetapan. Kata penetapan tidak dapat lagi dipakai karena Permendagri no 1 tahun 2006 hanya melingkupi masalah penegasan batas daerah. Tabel 4.6 Revisi bagian 3 lampiran Permendagri no 1 tahun 2006 F. Secara garis besar, penegasan batas daerah terdiri dari 5 (lima) kegiatan yaitu: Secara garis besar, penegasan batas daerah terdiri dari 6 (enam) kegiatan yaitu: 1) Penelitian dokumen 1) Penelitian dokumen 2) Pelacakan batas 2) Diliniasi batas 3) Pengukuran dan penentuan posisi pilar 3) Pelacakan batas batas 4) Pemasangan pilar batas 4) Pengukuran dan penentuan posisi pilar batas 5) Pembuatan peta batas 5) Pemasangan pilar batas Setiap kegiatan tersebut perlu didokumentasikan dalam formulir yang diisi oleh pelaksana dan disahkan oleh pejabat yang berwenang. 6) Pembuatan peta batas Setiap kegiatan tersebut perlu didokumentasikan dalam formulir yang diisi oleh pelaksana dan disahkan oleh pejabat yang berwenang. Penjelasan pada bagian ini dapat dilihat pada penjelasan pasal 4 Permendagri no 1 tahun 2006. 51

Tabel 4.7 Revisi bagian 4 lampiran Permendagri no 1 tahun 2006 G. Tim yang terkait melakukan pengkajian bersama terhadap sumber-sumber hukum tersebut. Jika tidak ada sumber hukum yang disepakati, maka tim tersebut bermusyawarah untuk membuat kesepakatan baru dalam menentukan batas daerah. Tim yang terkait melakukan pengkajian bersama terhadap sumber-sumber hukum tersebut untuk memilih dasar hukum terkuat yang akan dijadikan landasan dalam penegasan batas daerah Penggunaan kata kesepakatan sebaiknya ditinjau ulang. jika mengandalkan kesepakatan, batas daerah hanya akan menjadi masalah yang rumit untuk selesaikan. Salah satu kendala dalam penegasan batas yang terjadi saat ini adalah kesulitan untuk mencapai kesepakatan dalam menetapkan batas antar daerah, sehingga penyelesaian masalah penegasan batas daerah menjadi terhambat. Seharusnya Batas daerah merupakan wewenang pemerintah pusat dalam memutuskannya. Setiap daerah cukup mengajukan bukti dasar hukum terkait batas daerahnya, sedangkan pemilihan dasar hukum terkuat dalam penegasan batas daerah seluruhnya diserahkan kepada tim pengkaji. Tabel 4.8 Revisi bagian 5 lampiran Permendagri no 1 tahun 2006 H. Pilar batas utama (PBU) dipasang pada titik awal dan akhir dari garis batas serta titik-titik pertemuan beberapa daerah (desa, kecamatan, kabupaten/kota) sesuai dengan ketentuan tipe pilar batas. Kerapatan PBU sesuai dengan kriteria berikut ini : a) Untuk batas daerah provinsi yang mempunyai potensi tinggi, kerapatan pilar tidak melebihi 3-5 km, sedangkan untuk batas provinsi yang kurang potensi tidak melebihi 5-10 km. b) Untuk batas daerah kabupaten/kota yang mempunyai potensi tinggi kerapatan pilar tidak melebihi 1-3 km, sedangkan yang kurang potensi kerapatan pilar tidak melebihi 3-5 km. Pilar batas utama (PBU) dipasang pada titik awal dan akhir dari garis batas serta titiktitik pertemuan beberapa daerah (desa, kecamatan, kabupaten/kota) sesuai dengan ketentuan tipe pilar batas. Kerapatan PBU sesuai dengan kriteria berikut ini : a) Untuk batas daerah provinsi yang mempunyai potensi tinggi, kerapatan pilar tidak melebihi 3-5 km, sedangkan untuk batas provinsi yang kurang potensi tidak melebihi 5-10 km. b) Untuk batas daerah kabupaten/kota yang mempunyai potensi tinggi kerapatan pilar tidak melebihi 1-3 km, sedangkan yang kurang potensi kerapatan pilar tidak melebihi 3-5 km. 52

c) Untuk batas daerah desa dan kecamatan yang mempunyai potensi tinggi kerapatan pilar tidak melebihi 0.5 1 km, sedangkan yang kurang potensi tidak melebihi 1-3 km. c) Untuk batas daerah desa dan kecamatan yang mempunyai potensi tinggi kerapatan pilar tidak melebihi 0.5 1 km, sedangkan yang kurang potensi tidak melebihi 1-3 km. Kriteria potensi batas daerah berdasarkan pada: a) Tingkat kepadatan, b) Nilai ekonomi, c) Sumber daya alam, d) Nilai budaya, dll. Pada bagian perapatan PBU(Pilar Batas Utama) disebutkan bahwa Kerapatan PBU berdasarkan potensi daerah. Bagian ini dinilai kurang lengkap karena tidak terdapat penjelasan tentang kriteria dalam menentukan potensi daerah tersebut tinggi atau rendah. Oleh karena itu, pada bagian ini perlu ditambahkan kriteria dalam menentukan potensi daerah. Adapun kriteria kerapatan pilar batas yang tertera dalam buku Pedoman Penetapan dan Penegasan Batas Daerah berdasarkan pada : 1. Tingkat kepadatan, 2. Nilai ekonomi, 3. Sumber daya alam, 4. Nilai budaya, dll. Tabel 4.9 Revisi bagian 6 lampiran Permendagri no 1 tahun 2006 I. Sebagai tanda pemisah batas kecamatan dipasang pilar batas tipe "C" dengan ukuran 30 cm X 30 cm dan tinggi 50 cm, dengan kedalaman 75 cm dibawah tanah. (gambar 2). Sebagai tanda pemisah batas kecamatan dipasang pilar batas tipe "C" dengan ukuran 30 cm X 30 cm dan tinggi 50 cm, dengan kedalaman 75 cm dibawah tanah. (gambar 2). --revisi gambar perlu dilakukan oleh pihak Kemendagri-- Kesalahan pada bagian ini terletak pada sketsa untuk spesifikasi bentuk pilar batas tipe C untuk batas kecamatan, dengan ukuran pilar 30 cm x 30 cm, tinggi 50 cm serta kedalaman 75 cm di bawah tanah. Sedangkan pada sketsa gambar 2 ukuran pilar yang diberikan 40 cm x 40 cm, tinggi 75 cm serta 53

kedalaman 100 cm di bawah tanah. Untuk sketsa pilar tipe C dapat dilihat pada Gambar 4.1, sebagai berikut: Gambar 4.1 Kesalahan sketsa bentuk pilar tipe C 54

Tabel 4.10 Revisi bagian 7 lampiran Permendagri no 1 tahun 2006 J. Pengukuran Posisi Pilar Batas Utama. a) Koordinat Pilar Batas Utama ditentukan berdasarkan pengukuran posisi metoda satelit GPS. Peralatan yang digunakan adalah receiver GPS tipe geodetik beserta kelengkapannya. b) Untuk menghasilkan penentuan posisi dengan ketelitian tinggi, pengukuran posisi titik utama untuk batas wilayah provinsi, kabupaten dan kota sebaiknya menggunakan peralatan GPS tipe Geodetik. Pengukuran Posisi Pilar Batas Utama. a) Koordinat Pilar Batas Utama ditentukan berdasarkan pengukuran posisi metoda satelit GPS. Peralatan yang digunakan adalah receiver GPS tipe geodetik beserta kelengkapannya. b) Untuk menghasilkan penentuan posisi dengan ketelitian tinggi, pengukuran posisi titik utama untuk batas wilayah provinsi, kabupaten dan kota sebaiknya menggunakan peralatan GPS tipe Geodetik. Pengukuran GPS harus memenuhi Standar ketelitian untuk koordinat Pilar Batas Utama(PBU) sebesar ±15 cm Panjang Baseline Lama Pengamatan Satu frekuensi Dua frekuensi 1-3 km 15 menit 10 menit 3-5 km 20 menit 15 menit 5-10 km 30 menit 20 menit Pengukuran koordinat ditentukan berdasarkan pengukuran posisi metoda satelit GPS untuk menghasilkan penentuan posisi dengan ketelitian tinggi. Namun, nilai ketelitian dari pilar batas utama dalam Permendagri no 1 tahun 2006 tidak dispesifikasikan. jika dilihat dari skala peta batas daerah, yaitu 1 : 500.000 (untuk propinsi), 1:100.000 (untuk kabupaten), dan 1 : 50.000 (untuk kota), maka untuk keperluan pengeplotan di peta tersebut, tuntutan terhadap ketelitian titik acuan sebenarnya tidak terlalu ketat. Kalau kita mengacu pada toleransi ketelitian pengeplotan sebesar 0.1 mm di peta, maka sebenarnya tingkat ketelitian titik acuan dalam orde beberapa m sudahlah memadai. mengingat bahwa koordinat titik-titik batas juga akan digunakan untuk perhitungan luas daerah secara kuantitatif, dan juga dengan pertimbangan bahwa titik acuan juga sebaiknya dapat dimanfaatkan untuk keperluan-keperluan lainnya di samping untuk keperluan verifikasi titik-titik awal dan juga rekonstruksi titik-titik batas seandainya diperlukan, maka ketelitian koordinat relatif titik acuan sebaiknya berada pada level beberapa cm. Seandainya level cm, karena sesuatu hal tidak dapat dicapai, maka ketelitian relatif pada level 1-2 dm pada prinsipnya masih memadai (abidin, 2001). Merujuk pada Pedoman Umum Penetapan dan 55

Penegasan Batas Daerah(2002) standar ketelitian untuk koordinat pilar batas (satu simpangan baku) adalah : Untuk PBU dan PABU : ±15 cm Untuk PBA dan PABA : ±25 cm Selain itu, lamanya pengamatan dalam pengamatan GPS juga tidak dispesifikasikan. Merujuk pada Pedoman Umum Penetapan dan Penegasan Batas Daerah(2002) lamanya pengamatan GPS adalah: Tabel 4.11 Lama Pengamatan Penentuan Posisi Pilar Batas Antara Menggunakan GPS[Kemendagri,2002] Panjang Baseline Satu frekuensi Lama Pengamatan Dua frekuensi 1-3 km 15 menit 10 menit 3-5 km 20 menit 15 menit 5-10 km 30 menit 20 menit Tabel 4.12 Revisi bagian 8 lampiran Permendagri no 1 tahun 2006 K. Metode pengukurannya adalah dengan metode statik diferensial yaitu salah satu receiver GPS ditempatkan di titik yang sudah diketahui koordinatnya, sedangkan receiver yang lain ditempatkan di titik yang akan ditentukan koordinatnya. Pengukuran dapat dilakukan secara loop memancar (sentral), secara jaring trilaterasi atau secara poligon tergantung situasi dan kondisi daerah. Metode pengukurannya adalah dengan metode statik diferensial yaitu salah satu receiver GPS ditempatkan di titik yang sudah diketahui koordinatnya, sedangkan receiver yang lain ditempatkan di titik yang akan ditentukan koordinatnya. Pengukuran GPS dapat dilakukan dengan moda jaringan atau moda radial tergantung situasi dan kondisi daerah. penentuan posisi GPS umumnya dilakukan dengan moda jaringan atau moda radial. Tidak ada istilah pengukuran GPS dilakukan dengan metode poligon atau metode loop memancar. Metode poligon digunakan pada pengukuran terestris dengan mengukur sudut dan jarak antar titik. Sedangkan GPS adalah metode penentuan posisi dari suatu titik secara ekstra-terestris yaitu penentuan posisi dengan melakuan pengukuran atau pengamatan ke benda/objek di 56

angkasa, dalam hal ini berupa satelit. Sedangkan pengggunaan istilah metode loop memancar dinilai kurang tepat karena seharusnya istilah yang benar adalah moda memancar/sentral/radial. Tabel 4.13 Revisi bagian 9 lampiran Permendagri no 1 tahun 2006 L. Titik koordinat Orde Nol, Orde Satu yang tersebar di seluruh Indonesia merupakan titik ikat yang berlaku secara nasional. Agar pilarpilar batas daerah mempunyai koordinat sistem nasional, maka harus dikaitkan ke titik Orde Nol atau Orde Satu yang merupakan jaring kontrol nasional. Titik koordinat Orde Nol, Orde Satu yang tersebar di seluruh Indonesia merupakan titik ikat yang berlaku secara nasional. Agar pilar-pilar batas mempunyai sistem koordinat nasional, pilar-pilar batas diikatkan pada Jaring Kontrol Geodesi Nasional orde nol dan satu. Jika tidak terdapat titik-titik ikat orde nol dan satu maka pilar batas daerah dapat diikatkan pada titik ikat orde 2, 3 dan 4. Namun, transformasi koordinat ke sistem proyeksi UTM harus dilakukan karena titik-titik koordinat orde 2, 3 dan 4 memiliki sistem proyeksi TM 3 o Untuk dapat terikat pada jaring kontrol geodesi nasional, pengikatan koordinat dapat juga dilakukan dengan menggunakan titik ikat orde 2, 3 dan 4. Namun, transformasi koordinat harus dilakukan karena titik-titik koordinat orde 2, 3 dan 4 memiliki sistem proyeksi TM 3 o. ketelitian dari titik-titik koordinat orde nol dan satu lebih baik dari titik-titik koordinat orde 2, 3 dan 4. Oleh karena itu, pemakaian orde nol dan orde satu lebih diutamakan. Namun jika tidak terdapat titik-titik ikat orde nol dan orde satu pada area pengukuran, penggunaan titik ikat orde 2, 3 dan 4 masih dapat digunakan. Tabel 4.14 Revisi bagian 10 lampiran Permendagri no 1 tahun 2006 M. Penentuan Posisi untuk titik tambahan lainnya seperti Pilar Batas Antara (PBA) dapat dilakukan dengan metoda teristris seperti pengikatan silang ke muka, pengikatan silang ke belakang, trilaterasi, triangulasi atau poligon sesuai dengan spesifikasi teknis yang ditentukan oleh Tim Penegasan Batas Daerah. Penentuan Posisi untuk titik tambahan lainnya seperti Pilar Batas Antara (PBA) dapat dilakukan dengan metoda teristris seperti pengikatan silang ke muka, pengikatan silang ke belakang, trilaterasi, triangulasi atau poligon sesuai dengan spesifikasi teknis yang ditentukan oleh Tim Penegasan Batas Daerah. Standar ketelitian untuk koordinat Pilar Batas Antara(PBA) adalah ±25 cm Bagian ini tidak terdapat spesifikasi ketelitian Pilar Batas Antara 57

Tabel 4.15 Revisi bagian 12 lampiran Permendagri no 1 tahun 2006 N. Sistem Proyeksi Peta: a) Sistem Grid : Universal Transverse Mercator b) Lebar Zone : 6 derajat c) Angka Perbesaran : 0.9996 pada Meridian tengah d) Jarak Meridian Tepi : 180.000 m di sebelah Timur dan sebelah Barat Meridian Tengah e) Ellipsoid Referensi : Spheroid WGS-84 f) Sistem Referensi Koordinat (1) Primer : Grid Geografi (2) Sekunder : Grid Metrik Sistem Proyeksi Peta: a) Sistem proyeksi : Universal Transverse Mercator b) Ellipsoid Referensi : WGS-84 c) Garis kerangka peta: (1) Primer : Gratikul (2) Sekunder : Grid Bagian ini dinilai kurang sesuai karena spesifikasi yang diberikan dapat lebih disederhanakan. Penulisan lebar zona, angka perbesaran, dan jarak meridian tepi tidak perlu dispesifikasikan, karena ketiga hal tersebut sudah merupakan ciri khas dari sistem proyeksi Universal Transverse Mercator. Kesalahan juga terdapat pada penggunaan istilah sistem referensi koordinat. Pada bagian ini sistem grid di identikan dengan sistem referensi koordinat. Definisi Sistem referensi koordinat yang benar adalah sistem (termasuk teori, konsep, deskripsi fisis dan geometris, serta standar dan parameter) yang digunakan dalam pendefinisian koordinat dari suatu atau beberapa titik dalam ruang. Sistem referensi digunakan sebagai acuan untuk menyatakan nilai suatu titik. Realisasi praktis dari sistem referensi adalah kerangka referensi. Kerangka referensi digunakan untuk pendeskripsian secara kuantitatif posisi dan pergerakan titik titik, sedangkan grid adalah garis tempat kedudukan titik-titik dengan absis atau orinat yang sama,. Selain itu, penggunaan istilah grid geografi dan grid metrik juga tidak sesuai karena grid merupakan garis bantu yang menyajikan informasi dalam satuan metrik. Oleh karena itu, sebaiknya istilah grid geografi diganti menjadi gratikul, sedangkan istilah grid matrik diganti menjadi grid UTM. 58

Tabel 4.16 Revisi bagian 14 lampiran Permendagri no 1 tahun 2006 O. Penurunan/kompilasi dari peta-peta yang sudah ada. (1) Peta batas daerah dapat diperoleh dari peta-peta yang ada seperti peta-peta dasar, peta BPN, peta PBB dan lain-lain. (1) Prosesnya dilakukan secara kartografis manual dan jika perlu diadakan penyesuaian skala menggunakan Pantograph. Penurunan/kompilasi dari peta-peta yang sudah ada. (1) Peta batas daerah dapat diperoleh dari peta-peta yang ada seperti peta-peta dasar, peta BPN, peta PBB dan lain-lain. Dengan skala peta dasar yang sama atau lebih besar. (2) Prosesnya dilakukan secara kartografis manual. Jika menggunakan peta dengan skala yang lebih besar, maka diperlukan suatu penyesuaian skala menggunakan Pantograph dan melalui tahap generalisasi kartografi. Metode penurunan/kompilasi hanya bisa dilakukan pada peta dengan skala yang sama atau skala yang lebih besar. Selain itu, jika menggunakan metode turunan/kompilasi dari peta dasar dengan skala peta yang lebih besar proses penyesuaian tidak cukup dengan menggunakan Pantograph, diperlukan adanya proses generalisasi kartografi untuk dapat menggambarkan peta batas daerah tersebut. Generalisasi kartografi adalah proses pengaturan kepadatan objek yang disajikan terhadap skala peta. Selain itu, tahun pembuatan peta dasar juga harus diperhatikan agar keterbaruan data tetap terjaga. 59