PENGUASAAN TANAH DAN STRUKTUR SOSIAL DI PEDESAAN JAWA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB V POLA PENGUASAAN LAHAN DAN FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGUASAAN LAHAN

1. Hak individual diliputi juga oleh hak persekutuan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB VI HUBUNGAN FAKTOR-FAKTOR PENGUASAAN LAHAN TERHADAP TINGKAT PENGUASAAN LAHAN

BAB V STRUKTUR PENGUASAAN TANAH LOKAL

BAB I PENDAHULUAN PATRON DAN KLIEN PETANI PADI DI RENGASDENGKLOK PADA TAHUN

I. PENDAHULUAN. tanda bukti kepemilikan. Tanah adat tersebut hanya ditandai dengan ciri-ciri fisik

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Sejak dulu tanah sangat erat hubungannya dengan kehidupan manusia sehari hari

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KULON PROGO NOMOR 7 TAHUN 2001 SERI D PERATURAN DAERAH KABUPATEN KULON PROGO NOMOR 7 TAHUN 2001 T E N T A N G

I. PENDAHULUAN. proses penyelenggaraan pemerintahan. Menurut Abdulkarim (2007:15), pemerintah yang berpegang pada demokrasi merupakan pemerintah yang

BAB II. Tinjauan Pustaka. Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebutkan pengertian mengenai tanah, adalah

Keseluruhan lingkungan X merupakan wilayah pemukiman yang padat penduduk. Pada

Ditulis oleh AdminMaI.Com Sabtu, 26 November :43 - Pemutakhiran Terakhir Selasa, 13 Desember :01

BAB V PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA DESA PANGRADIN

I. PENDAHULUAN. merupakan suatu hal yang dapat memperlambat lajunya pembangunan, walaupun

PROSES PERKEMBANGAN KOLONIALISME DAN IMPERIALISME BARAT

BAB II PENDEKATAN TEORETIS

Bab II TINJAUAN PUSTAKA. Istilah patron berasal dari bahasa Latin patronus atau pater, yang berarti

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia adalah Negara kepulauan yang sebagian besar penduduknya

BAB I PENDAHULUAN. mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang terbagi secara adil dan

I PENDAHULUAN. Petani merupakan pekerjaan yang telah berlangsung secara turun-temurun bagi kehidupan

PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. menyebabkan terjadinya perubahan struktur penguasaan lahan pertanian, pola

LAND REFORM INDONESIA

Bab I PENDAHULUAN. memegang peranan penting dari keseluruhan perekonomian nasional.kondisi ini

BAB I PENGANTAR Latar Belakang. asasi manusia, sebagaimana tersebut dalam pasal 27 UUD 1945 maupun dalam

A. LATAR BELAKANG PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 56 TAHUN 1960 TENTANG PENETAPAN LUAS TANAH PERTANIAN

Tanah, dan Kepemilikan Harta Benda lainnya

I. PENDAHULUAN. penduduknya untuk mendapatkan pekerjaan atau mata pencaharian di daerah yang

3. Penutup Pertanyaan Diskusi

BAB I PENDAHULUAN. dapat bermanfaat bagi pemilik tanah maupun bagi masyarakat dan negara.

Perda Kab. Belitung No. 8 Tahun

Tabel 15. Hubungan Luas Lahan dengan Tingkat Pendapatan Tahun 2011

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa ini, kesadaran masyarakat untuk melakukan gotong royong sangat

BAB IV ANALISIS PENELITIAN

BAB V IMPLIKASI TERHADAP LEMBAGA KELURAHAN DAN HAK ULAYAT ATAS TANAH EKS DESA

BAB I PENDAHULUAN. Tingkat pertumbuhan jumlah penduduk di Kota Medan saling berkaitan

Masalah pertanahan mendapat perhatian yang serius dari para pendiri negara. Perhatian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. perhatian yang khusus. Perjuangan dalam pergerakan kebangsaan Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. tentang pemanfaatan tanah sangat penting. sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat. Berdasarkan pasal tersebut, seluruh

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

SISTEM SEWA TANAH DALAM UPAYA PENGHAPUSAN FEODALISME DI JAWA ABAD XIX ( Fragmen Sosio-kultural pada Masyarakat Jawa ) Rosalina Ginting & Agus Sutono*

BAB V PENUTUP Kesimpulan. Kaum buruh merupakan klas baru dalam tatanan sosial dengan semangat

I.PENDAHULUAN. kebiasaan-kebiasaan tersebut adalah berupa folklor yang hidup dalam masyarakat.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PNDAHULUAN. Jepang dalam Perang Raya Asia Timur tahun Namun, ditengah tengah

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG,

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia hingga saat ini masih tergolong negara yang sedang berkembang dengan tingkat pertumbuhan penduduk yang

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Gorontalo. Dalam penelitian ini yang dikaji adalah pertama, melakukan observasi

BAB IV PERUBAHAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT

KESIMPULAN DAN SARAN. Di antara kemajemukan ekonomi serta suku (yang dimunculkan dalam

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Masyarakat Kampung Mosso di perbatasan provinsi papua kota Jayapura

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

FORMAT KASUS - KOMPREHENSIF

Bab V PENUTUP. persepsi Tabua Ma Tnek Mese, boleh dikatakan sebagai sebuah fenomena sosial yang

BAB V PENGELOLAAN HUTAN DAN LUAS LAHAN

BAB I P E N D A H U L U AN

STRATIFIKASI SOSIAL fitri dwi lestari

BAB I PENDAHULUAN. cenderung ditulis sebagai fenomena yang tidak penting dengan alasan

PERPU 56/1960, PENETAPAN LUAS TANAH PERTANIAN. Oleh:PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. dinilai memiliki berbagai manfaat bagi kehidupan manusia. Tanah dalam hal

BAB II PENDEKATAN TEORITIS

PENGUASAAN LAHAN PERTANIAN DI JAWA BARAT*

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tinjauan pustaka dilakukan untuk menyeleksi masalah-masalah yang akan

BAB I PENDAHULAN. digunakan untuk pemenuhan berbagai kebutuhan dasar manusia seperti untuk

SENGKETA TANAH PERKEBUNAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. bagian dari negara Indonesia. Baik tanah maupun sumber-sumber daya alam

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 1999 TENTANG PENYELENGGARAAN KEISTIMEWAAN PROPINSI DAERAH ISTIMEWA ACEH

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Setiap manusia harus memenuhi kebutuhannya, guna kelangsungan hidup.

Pertemuan ke-2 GARIS-GARIS BESAR PERKEMBANGAN HUKUM TANAH DI INDONESIA. Dosen : Dr. Suryanti T. Arief SH.,MBA.,MKn

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB X KESIMPULAN DAN IMPLIKASI

BAB II KAJIAN TEORI. A. Kemandirian Pangan dan Ironi Negara Agraris

WAWASAN SOSIAL BUDAYA. Kehidupan Pedesaan Dan Perkotaan

Unsur - unsur potensi Fisik desa. Keterkaitan Perkembangan Desa & Kota

QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 4 TAHUN 2003 TENTANG PEMERINTAHAN MUKIM DALAM PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM

BAB III TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengakuan Keberadaan Masyarakat Hukum Adat Menurut UndangUndang Nomor 41 Tahun 1999

BAB II TEORI DASAR 2.1 Konsep Hubungan Manusia Dengan Tanah

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang terkenal akan kekayaannya, baik itu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sistem kekuasaan yang diterapkan di Indonesia sebelum adanya pengaruh

SISTEM KELEMBAGAAN HUBUIUGAN KERJA PERTANIAN PAD1 SAWAH DAN PERKEMBANGANNYA DIPEDESAAN KABUPATEN LUMAJANG PROPlNSl JAWA TlMUR

BAB I PENDAHULUAN. memiliki dimensi ekonomi, sosial, kultural, politik dan ekologis.

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. geosfer dengan sudut pandang kelingkungan atau kewilayahan dalam konteks

BAB III PRAKTEK PELAKSANAAN GADAI TANAH DAN PEMANFAATAN TANAH GADAI DALAM MASYARAKAT KRIKILAN KECAMATAN SUMBER KABUPATEN REMBANG

BAB I PENDAHULUAN. Sumatera yang mengalami eksploitasi besar-besaran oleh pihak swasta terutama

BAB I PENDAHULUAN. perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan

BUPATI BADUNG PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG KEUANGAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KAJIAN AGRARIA (KPM 321) PENDAHULUAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA / DEPARTEMEN -KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN ASYARAKAT.

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penguasaan dan Pengusahaan Lahan Pola Penguasaan Tanah dan Reforma Agraria

BAB I PENDAHULUAN. makin maraknya alih fungsi lahan tanaman padi ke tanaman lainnya.

BAB I PENDAHULUAN. dari Tuhan Yang Maha Esa. Ketersediaan tanah sebagai sebagai sumber

Transkripsi:

PENGUASAAN TANAH DAN STRUKTUR SOSIAL DI PEDESAAN JAWA Indonesia lahir sebagai sebuah negara republik kesatuan setelah Perang Dunia II berakhir. Masalah utama yang dihadapai setelah berakhirnya Perang Dunia II bagi pemerintah Indonesia adalah masalah penguasaaan tanah khususnya di Jawa, Bali, dan beberapa daerah berpenduduk padat di pulaupulau besar luar Jawa dan Bali di dalam wilayah republik. Masalah penguasaan tanah oleh pemimpin-pemimpin Pergerakan Nasional sejak awal abad XX sudah dikenal sebagai masalah dasar yang mengakibatkan kemelaratan bagi penduduk Jawa. Permasalah tanah yang berkaitan dengan kedudukan ekonomi dan sosial penduduk daerah pedesaan mulai menumpuk sejak awal abad XIX, dan kebijakan pemerintah Hindia Belanda setelah menjalankan pemerintahan secara lebih langsung setelah VOC bangkrut (1799) lebih mengeksploitasi sumber daya tanah dengan cara-cara terpimpin misalnya Tanam Paksa (cultuurstelsel) antara tahun 1830-1870. Kebijakan dalam mendistribusi tanah yang dikuasai negara sebenarnya juga diulang pada masa pembagian tanah antara tahun 1962-1965, waktu tanah negaralah yang untuk sebagian besar dijatahkan dan hanya sedikit tanah yang dikurangi sampai tingkat pemilikan maksimal sesuai dengan undangundang. Pada periode tersebut masalah ketimpangan penguasaan tanah antara tuan tanah di satu pihak dan petani gurem maupun buruh tani di pihak lain menjadi pemicu pertikaian politik. Golongan petani yang paling miskin dan buruh tani yang tidak bertanah, dapat dipahami merupakan golongan yang paling gigih melakukan aksi sepihak yaitu menuntut dan merebut bidangbidang tanah mereka yang pemilik tanahnya sudah melebihi batas maksimum. Pola penguasaan tanah orang Jawa cenderung berada diantara dua kutub yang berlawanan yaitu antara pemilik komunal yang kuat atau hak ulayat dan pemilik perorangan dengan beberapa hak istimewa komunal. Sebagai akibat tekanan penduduk yang semakin berat dan tidak adanya cadangan tanah baru yang dapat dibuka menjadi tanah pertanian, pola-pola

penguasaan perorangan makin bertambah banyak mengorbankan pengawasan komunal yang dahulu prnah ada. Bentuk-bentuk perampasan tanah dan bagi hasil dewasa ini menunjukkan banyak ragam kelenturan. Sekaligus strata sosial tradisoinal masyarakat pedesaan telah terganggu, dan apa yang disebut fungsional baru menjadi nyata di masyarakat desa, terutama dikalangan proletariat pedesaan. Ciri umum banyak negara sedang berkembang adalah masalah kelebihan penduduk agraris yang terdapat surplus tenaga kerja manusia dibanding dengan tersedianya tanah pertanian. Akibat ketiadaan pilihan kesempatan kerja lain maka penduduk desa terus menerus memadati tanah yang ada, menggunakan proses produksi pertanian melebihi batas sehingga menghambat keseluruhan usaha pembangunan ekonomi. Secara tradisional desa Jawa merupakan tatanan sosio-ekonomi yang tertutup, dicirikan oleh pola dan sifat kesetiaan komunal serta hubungan tolong-menolong diantara anggota masyarakat yang luas jangkauannya dan erat terjalin dengan nilai-nilai magis dan religius yang menetapkan titik aspek produksi, distribusi dan konsumsi sumber makanan pokok. 1 Sebidang tanah pertanian tertentu yang pada waktu tertentu mencakup cadangan tanah yang belum digarap, merupakan milik desa. Adat-kebiasan telah menentukan cara pemanfaatan air atau pinggiran sungai dan bagian dasar sungai yang dari waktu ke waktu mengering. Pada abad lalu di Jawa jauh sebelum timbul kecenderungankecenderungan individualisme, bentuk-bentuk penguasaan tanah masih sangat beragam. Dalam semua kemungkinannya bentuk tradisional yang pailng umum adalah hak penguasaan secara komunal. Dengan sistem ini maka semua tanah baik yang dapat ditanami maupun yang merupakan tanah cadangan, seluruhnya berada di bawah penguasaan desa, dan petani penggarap menerima tanah desa atas kesepakatan bersama para anggota masyarakat desa. Bentuk ini tidak menutup adanya hak atas tanah yang untuk selama-lamanya dikuasakan kepada tuan tanah di suatu desa sebagai 1 Sedionon M.P. Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi. 1984. Dua Abad Penguasan Tanah : Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa. Jakarta : PT Gramedia.

bagiannya dari tanah komunal. Dengan demikian tuan tanah dapat menghidupi dirinya beserta keluarga. Ia diperkenankan melimpahkan sebidang tanahnya tersebut kepada ahli warisnya untuk dimanfaatkan, walaupun pengalihan hak keluar desa pada halnya tidak mungkin. Sebagian dari tanah desa dapat juga dipisahkan untuk khusus dimanfaatkan oleh kepala desa dan pegawai-pegawainya, sebagai imbalan untuk jasa-jasanya, sedangkan diwilayah-wilayah yang langsung diperintah oleh penguasapenguasa pribumi di kerajaan-kerajaan Jawa Tengah sudah meninggalkan tradisi sifat-sifat feodal dalam sistem penguasaan tanah dan pemungutan pajak. Fakta penting yang perlu diingat tentang penguasaan tanah di Jawa ialah bahwa dalam abad lalu hak-hak pribadi dalam penguasaan tanah sangat menonjol, sehingga mngakibatkan melemahnya pengawasan komunal. Banyak daerah di Jawa kepemilikan berbagai tanah pada kaum hak-hak komunal dan perorangan diatur dengan prinsip-prinsip penguasaan yang berbeda walaupun letaknya berbatasan. Sudah sejak tahun 1927 Poertjaja Gadroen dan Vink di suatu daerah kecil di Jawa Timur menemukan bentukbentuk pemilikan tanah sebagai berikut: 1. Pemilikan tanah komunal dengan penggarap menggarap tanah secara bergiliran dan luas tanah garapan berbeda ukuran. Dewan desa mempunyai weenang untuk memperbanyak jumlah penggarap yang ikut serta. 2. Pemilikan tanah komunal, tetapi dengan jumlah penggarap terbatas. 3. Pemilikan tanah komunal dengan penggarap bergiliran, tetapi dengan tanah garapan yang luasnya tetap. 4. Pemilikan tanah-tanah komunal dengan hak-hak perorangan tertentu. Hak-hak tersebut tidak pasti dapat diwariskan. Dewan desa harus menentukan siapa yang akan mendapatkan tanah tersebut setelah penggarap sebelumnya meninggal. 5. Seperti pada no. 4 tetapi dengan kepastian hak waris. 6. Seperti pada no. 5 tetapi dengan hak menjual sebagian tanah berssangkutan kepada penduduk lain desa.

7. Seperti pada no. 6 tetapi dengan hak menjual sebagian tanah kepada orang bukan penduduk sedesa, asalkan kewajiban kerja untuk desa dapat dipenuhi oleh pembeli bukan sdesa tersebut. 8. Pemilik tanah pribadi yang dapat diwariskan, tetapi dibatasi oleh kewajiban partisipasi dalam pekerjaan komunal. 9. Pemilik tanah pribadi yang dapat diwariskan tanpa kewajiban kerja komunal selama sebagian tanah garapan lainnya tetap tunduk kepada aturan kewajiban kerja komunal. 10. Pemilik tanah pribadi bercorak Barat dan dapat digadaikan. Studi kasus di suatu desa di Jawa Tengah pada tahun 1953 menunjukan adanya dua bentuk pemilikan tanah : (a) satu bentuk pemilikan tanah bebas perorangan dimana hak ulayat masyarakat desa tidak lagi berlaku atasnya, dan (b) penggarapan tanah yang dikuasai secara komunal dengan hak ulayat masyarakat desa yang terbatas. Kedua bentuk tersebut dapat diwariskan. Dengan demikian hak-hak penguasaan tanah secara komunal tidak hilang seluruhnya, dan kedua pemerintah baik kolonial maupun Republik Indonesia tetap mengakui kedua bentuk pemilikan tanah tersebut. Analisa lapangan lainnya yang dilakukan pada tahun 1956 di Desa Jatiyoso di Jawa Tengah secara jelas menyatakan bahwa semua tanah merupakan milik masyarakat yang berhak membagikannya kepada kelompok-kelompok penduduk desa yang mempunyai hak atasnya. Di desa Jatiyoso terdapat tiga macam tanah, yaitu : 1. Lungguh, terdiri dari tanah pertanian. Seorang penduduk desa dapat memperoleh satu patok (kurang lebih 3,5 ha) untuk digarap. 2. Tanah yang diperuntukan bagi aparat pemerintahan desa sebagai pembayaran atas jasa-jasanya 3. Tanah kas desa yang dimiliki bersama oleh desa dan diolah oleh bururh tani yang tidak memiliki tanah dan berhak atas setengah hasil panen, sisa paneh yang setengahnya lagi dimanfaatkan oleh desa untuk membiayai keperluasan desa bersama (misalnya untuk perbaikan jalan jembatan). Perlu ditegaskan disini bahwa, setidak-tidaknya di daerah Jawa Tengah di mana buruh tani tidak bertanah sangat padat, hak ulayat masyarakat desa

dan pengawasan bersama masih kuat sekali. Sejalan dengan itu mungkin dapat diperdebatkan bahwa kepadatan penduduk yang sangat tinggi, jauh mendorong ke arah meluasnya penguasaan tanah secara perorangan, dan dalam beberapa hal justru mempunyai pengaruh sebaliknya dan memperkuat hak-hak penguasaan komunal. Oleh karena itu penguasaan tanah secara komunal, dianggap tetap penting meskipun tekanan penduduk atas tanah tersebut meningkat. Salah satu alasan adalah desa-desa Jawa menurut tradisi telah terbiasa dengan kepadatan yang tinggi dan mampu menyesuaikan diri pada kelebihan penduduk secara terus-menerus, sehingga tekanan yang sekarang mudah diserap dengan cara-cara komunal tradisional. Di desa-desa pada Pulau Jawa sawah-sawahnya terbentang seperti karangan bunga mengelilingi daerah pemukiman dan jumlah penduduk sangat erat hubungannya dengan luas tanah pertanian. Menurut tradisi, tiap keluarga di desa hanya mendapat tanah seluas-luasnya yang dapat dikerjakan dengan cara-cara sederhana yaitu seluas kurang lebih 0,9 ha sampai 2 ha. Selama dua dasawarsa terakhir masyarakat pedesaan di Jawa telah mengalami perubahan-perubahan struktural yang menentukan. Hal ini tercermin dalam berbagai pola penguasaan tanah. Secara singkat dapat dikatakan bahwa perubahan-perubahan tersebut melemahkan sistem kelas horisontal tradisional di desa, berdasarkan pemilikan tanah dan solidaritas komunal. Kini terdapat pertumbuhan yang sejalan dan struktur vertikal baru tentang afiliasi perorangan dan pengawasan sosial, berdasarkan keyakinan politik parta dan kepentingan sosial-ekonomi fungsional. Desa Jawa secara tradisional terbagi dalam beberapa golongan sebagai berikut : 1. Kelompok penduduk desa inti (disebut baku, gogol, atau pribumi) yang nenek moyangnya pada zaman dahulu mulai bermukim di situ. Memiliki tanah, rumah dan halaman (juga pekarangan sempit atau tanaman kebutuhan dapur atau kebun buah-buahan), mempunyai hak dan kewajiban sebagai warga desa terutama dalam pelaksanaan pekerjaapekerjaan perbaikan dan pemeliharaan komunal.

2. Mereka yang disebut indung, memiliki sebidang tanah pertanian atau rumah dan halaman, tetapi tidak keduanya, dan mempunyai hak dan kewajiban komunal yang terbatas. 3. Mereka yang disebut musup, tlosor atau bujang tidak memiliki baik tanah pertanian maupun rumah dan halaman, tetapi bertempat tinggal di halaman orang lain, bekerja sebagai penyewa atau petani bagi hasil, atau hidup menumpang dan bekerja bagi pemilik rumah di mana dia tinggal. Di daerah-daerah dengan hak-hak komunal lemah, penguasaan tanah perorangan dapat diperoleh terutama melalui jual-beli atau warisan dan masyarakat mengawasi proses tersebut. Struktur golongan biasanya mencerminkan suatu proses lambatnya absorpsi masyarakat desa terhadap orang-orang yang tidak memiliki tanah yang datang dari luar desa, yang harus membuktikan bahwa mereka berguna. Dalam studi kasus yang baru dilakukan oleh Chandra Bhal Tripathi, di desa terdapat golongan-golongan sebagai berikut : 1. Kuli kenceng, merupakan kelompok inti meliputi hampir 58% dari jumlah pemilik tanah dan para pekerja di desa. 2. Kuli kendo (kira-kira20%), merupakan calon untuk menjadi kenceng, nampaknya memiliki hak-hak yang secara komparatif kurang pasti atas tanah pertanian, halaman dan perkarangan. 3. Gundul (kira-kira 4%), memiliki tanah pertanian, tetapi tidak memiliki halaman dan tanah perkarangan. 4. Magersari (12,8%), buruh tani yang tidak memiliki tanah, yang tinggal di rumahnya sendiri di halaman orang lain dan bekerja sebagai petani bagi hasil. 5. Mondok empok (3,9%) buruh tani yang tidak memiliki tanah, tanpa rumah milik sendiri, dan hidup bersama majikannya. Seperti pada masa lalu aparat pemerintah desa mendapat tanah sebagai penghargaan atau pekerjaan. Dengan demikian maka lurah, menurut penelitian Bhal, menerima 4 ha, juru tulis desa (carik) 3 ha dan pesuruh (kebayan) serta mantri air (ulu-ulu) masing-masing 1 ha tanah. Pamong desa

dan kuli kenceng dengan jelas merupakan lapisan-lapisan paling atas di desa tersebut. Struktur kelas baru masyarakat desa, seperti digambarkan di beberapa publikasi Partai Komunis Indonesia, sangat menekankan fungsi ekonomi dan kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan dengan anggota masyarakat desa. 1. Golongan tuan tanah, terdiri dari pemilik tanah lima sampai ratusan ha, yang disewakan kepada penyakap kebanyakan dari mereka merupakan orang kaya baru dan mampu mengumpulkan tanah selama masa pendudukan Jepang dan zaman revolusi. 2. Petani kaya, terdiri dari mereka yang memiliki tanah (dari 5-10 ha) tetapi dikerjakan sendiri. Luas tanah yang dikelola lebih sempit dari pada golongan pertama. Meskipun seorang petani kaya dapat menyewakan tanahnya kepada petani lain, namun ia lebih senang memperkerjakan buruh tani dari pada penyakap untuk menggarap tanahnya. 3. Petani sedang, memiliki tanah sampai 5 ha sekedar cukup untuk kepentingan sendiri dan tidak memperkerjakan buruh tani ataupun penyakap. 4. Petani miskin, memiliki tanah yang sempit (kurang dari 1 ha) yang benarbenar tidak mencukupi untuk mwnghidupi dirinya sendiri dan keluarganya. Sebagian besar mereka terpaksa bekerja sebagai buruh tani atau petani bagi hasil. 5. Buruh tani tak bertanah, banyak yang tidak memiliki alat-alat pertanian sama sekali, dan bertempat tinggal di atas tanah orang lain atau menumpang.