Welly Wiliarni, Priyo Wahyudi, Priyanto Fakultas Farmasi dan Sains Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka, Jakarta

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN. Desain penelitian ini adalah penelitian eksperimental laboratorik dengan

25 Universitas Indonesia

METODELOGI PENELITIAN. Umum DR. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung dan Laboratorium. Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Lampung dalam waktu 4

III. METODE PENELITIAN. 3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif laboratorik dengan

3. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN. menggunakan media Mannitol Salt Agar (MSA). pada tenaga medis di ruang Perinatologi dan Obsgyn Rumah Sakit Umum

DAFTAR ISI.. HALAMAN JUDUL... HALAMAN PENGESAHAN. HALAMAN MOTTO. HALAMAN PERSEMBAHAN. DEKLARASI.. KATA PENGANTAR... DAFTAR TABEL.

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit infeksi merupakan salah satu masalah. kesehatan yang terus berkembang di dunia. Peningkatan

BAB IV METODE PENELITIAN. Ilmu Kesehatan Anak, dan Ilmu Kesehatan Masyarakat.

BAB 1 PENDAHULUAN. Sepsis adalah terjadinya SIRS ( Systemic Inflamatory Respon Syndrome)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mikroorganisme ke dalam tubuh, mikroorganisme tersebut masuk bersama makanan

I. PENDAHULUAN. Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) adalah bakteri. Staphylococcus aureus yang mengalami kekebalan terhadap antibiotik

BAB I. PENDAHULUAN. Staphylococcus aureus, merupakan masalah yang serius, apalagi didukung kemampuan

BAB I PENDAHULUAN. infeksi dan juga merupakan patogen utama pada manusia. Bakteri S. aureus juga

Efek Pasca Antibiotik Ciprofloxacin terhadap Staphylococcus aureus ATCC dan Escherichia coli ATCC 25922

Analisis Hayati KEPEKAAN TERHADAP ANTIBIOTIKA. Oleh : Dr. Harmita

IDENTIFIKASI BAKTERI OXACILLIN RESISTANT STAPHYLOCOCCUS AUREUS (ORSA)

I. PENDAHULUAN. Enterobacteriaceae merupakan kelompok bakteri Gram negatif berbentuk

I. PENDAHULUAN. penyakit menemui kesulitan akibat terjadinya resistensi mikrobia terhadap antibiotik

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian Ke-1

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

UJI-UJI ANTIMIKROBA. Uji Suseptibilitas Antimikrobial. Menggunakan cakram filter, mengandung sejumlah antibiotik dengan konsentrasi tertentu

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorik untuk menguji

BAB I PENDAHULUAN. pengisian alveoli oleh eksudat, sel radang dan fibrin. Pneumonia masih

AKTIVITAS ANTIBAKTERI SARI BUAH BELIMBING WULUH (Averrhoa bilimbi Linn.) TERHADAP BAKTERI PSEUDOMONAS AERUGINOSA DAN STAPHYLOCOCCUS EPIDERMIDIS

LAMPIRAN 1. Standar zona hambat antibiotik menurut CLSI

LEMBAR PENGESAHAN Laporan lengkap praktikum Mikrobiologi dengan judul Daya Kerja Antimikroba dan Oligodinamik yang disusun oleh: Nama : Lasinrang Adit

Uji Potensi Bakteri dan Resistensi terhadap Antibiotik

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Indonesia serta negara-negara Asia lainnya berasal dari tumbuh-tumbuhan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB III METODE PENELITIAN. Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB IV METODE PENELITIAN. 1. Pengambilan data berupa sampel swab nasofaring dan kuesioner diadakan di

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

PENUNTUN PRAKTIKUM MIKROBIOLOGI FARMASI

BAB III METODE PENELITIAN

II. METODELOGI PENELITIAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

PETA KUMAN DAN RESISTENSINYA TERHADAP ANTIBIOTIK PADA PENDERITA GANGREN DIABETIK DI RSUD Dr. MOEWARDI TAHUN 2014 SKRIPSI

II. METODE PENELITIAN

Haris Dianto Darwindra BAB VI PEMBAHASAN

ABSTRAK. EFEK ANTIMIKROBA EKSTRAK ETANOL BAWANG PUTIH (Allium sativum Linn.) TERHADAP Staphylococcus aureus DAN Escherichia coli SECARA IN VITRO

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian Deskriptif karena tujuan dari

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif laboratorium dengan metode

BAB III METODE PENELITIAN. penelitian bulan Desember 2011 hingga Februari 2012.

METODE PENELITIAN. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung.

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Analis Kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Di negara-negara berkembang, penyakit infeksi masih menempati urutan

ABSTRAK. Deteksi Mutasi pada Quinolone Resistant Determining Regions (QRDRs ) gen gyra pada Salmonella typhi Isolat Klinik dan Galur Khas Indonesia

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian observasional laboratorik.

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

II. TINJAUAN PUSTAKA

Alat dan Bahan : Cara Kerja :

BAB III METODE PENELITIAN. Februari sampai Juli 2012 di Laboratorium Mikrobiologi Departemen Biologi,

Konsentrasi Konsentrasi Kultur campuran bakteri kandidat resisten antibiotik. Kultur murni kandidat bakteri resisten antibiotik

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. pengukuran zona hambat yang berikut ini disajikan dalam Tabel 2 : Ulangan (mm) Jumlah Rata-rata

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

SKRIPSI SOFIA ADHITYA PRADANI K Oleh :

BAB III METODE PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian yang dilakukan menggunakan daun sirsak (Annona muricata) yang

POLA RESISTENSI BAKTERI TERHADAP ANTIBIOTIK PADA PENDERITA PNEUMONIA DI RSUP Dr. SOERADJI TIRTONEGORO KLATEN PERIODE AGUSTUS 2013 AGUSTUS 2015 SKRIPSI

ABSTRACT. Keywords: Identification, Sensitivity Test, Pneumonia, Antibiotics, and Microorganis ABSTRAK

BAB I. PENDAHULUAN. Pseudomonas aeruginosa (P. aeruginosa) merupakan bakteri penyebab tersering infeksi

BAB III METODE PENELITIAN. A. Rancangan Penelitian. Pada metode difusi, digunakan 5 perlakuan dengan masing-masing 3

Lampiran 1. Hasil Identifikasi Tumbuhan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. ekstrak kulit nanas (Ananas comosus) terhadap bakteri Porphyromonas. Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Jurusan Biologi

ABSTRAK. Pembimbing I : Widura, dr., MS. Pembimbing II : Yenni Limyati, dr., Sp.KFR., S.Sn., M.Kes. Selly Saiya, 2016;

AKTIVITAS ANTIMIKROBA EKSTRAK DAUN BUNGUR (LANGERSTROEMIA SPECIOSA (L.) PERS)

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit infeksi merupakan salah satu masalah kesehatan terbesar tidak

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari sampai bulan April 2014.

ABSTRACT. Key words : sensitivity, nosocomial infections, measurement of the inhibitory zones ABSTRAK

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Jurusan Biologi Fakultas

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Tujuan

PHARMACONJurnal Ilmiah Farmasi UNSRAT Vol. 4 No. 3 Agustus 2015 ISSN

ABSTRAK. Michael Jonathan, 2012; Pembimbing I : dr. Fanny Rahardja, M.Si Pembimbing II: dr. Rita Tjokropranoto, M.Sc

BAB I PENDAHULUAN UKDW. lain (Jawetz dkk., 2013). Infeksi yang dapat disebabkan oleh S. aureus antara lain

I. PENDAHULUAN. Penyakit infeksi merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di dunia.

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode descriptive analitic

I. Tujuan Praktikum Tujuan dari praktikum ini adalah 1. untuk mengetahui potensi suatu antibiotika yang digunakan untuk membunuh mikroba 2.

PEMANFAATAN EKSTRAK ETANOL DAUN SOM JAWA SEBAGAI OBAT ANTISEPTIK DALAM SEDIAAN GEL ANTISEPTIK KULIT

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang. Staphylococcus aureus merupakan salah satu. penyebab utama infeksi di rumah sakit dan komunitas,

BAB I PENDAHULUAN UKDW. jika menembus permukaan kulit ke aliran darah (Otto, 2009). S. epidermidis

BAB I PENDAHULUAN. dan non-bergerak bulat kecil berbentuk atau non-motil cocci. Hal ini

IDENTIFIKASI BAKTERI DAN RESISTENSINYA TERHADAP ANTIBIOTIK DI POLI GIGI RSUD dr. DORIS SYLVANUS PALANGKA RAYA 1. Susi Novaryatiin

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB III METODELOGI PENELITIAN

LAPORAN HASIL PENELITIAN PENENTUAN POTENSI JAMU ANTI TYPHOSA SERBUK HERBAL CAP BUNGA SIANTAN

III. MATERI DAN METODE

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. dari Lactobacillus plantarum yang diisolasi dari usus halus itik Mojosari (Anas

BAB III. METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di laboratorium Mikrobiologi Pangan Universitas Katolik Soegijapranata pada Agustus 2013 hingga Januari 2014.

Transkripsi:

UJI RESISTENSI Staphylococcus aureus DARI PASIEN INFEKSI KULIT DI RUMAH SAKIT SILOAM KARAWACI TANGERANG BANTEN TERHADAP OKSASILIN, VANKOMISIN, KLINDAMISIN, DAN LEVOFLOKSASIN SUSCEPTIBILITY TEST OF Staphylococcus aureus OF SKIN INFECTION PATIENTS AT SILOAM HOSPITAL KARAWACI TANGERANG BANTEN AGAINST OXACILLIN, VANCOMYCIN, CLINDAMYCIN, AND LEVOFLOXACIN Welly Wiliarni, Priyo Wahyudi, Priyanto Fakultas Farmasi dan Sains Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka, Jakarta ABSTRAK Staphylococcus aureus merupakan bakteri penyebab penyakit infeksi. Infeksi yang disebabkan oleh bakteri diterapi menggunakan antibiotika. Penggunaan antibiotika yang irrasional dan intensif dapat menyebabkan terjadinya resistensi. Resistensi adalah kemampuan bakteri untuk tidak terbunuh atau tidak terhambat pertumbuhannya oleh antibiotika. Uji resistensi perlu dilakukan untuk mengetahui kepekaan bakteri terhadap antibiotika, sehingga pengobatan efektif dan tepat guna. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui resistensi S. aureus patogen infeksi kulit dari pasien infeksi kulit terhadap beberapa antibiotika pilihan terapi. Isolat S. aureus berasal dari pasien infeksi kulit di Rumah Sakit Siloam Karawaci Tangerang Banten periode Desember 2013-Januari 2014. Uji penentuan resistensi bakteri dilakukan dengan metode difusi cakram. Antibiotika yang digunakan yaitu oksasilin, vankomisin, klindamisin dan levofloksasin. Analisis data dengan membandingkan diameter zona bening di sekitar cakram antibiotika uji dengan diameter zona hambat standar CLSI 2007. Hasil penelitian menunjukkan telah terjadi resistensi S. aureus terhadap oksasilin 40%, vankomisin 40%, klindamisin 50%, dan levofloksasin 50%. Kata Kunci: Staphylococcus aureus, infeksi kulit, resistensi, antibiotika ABSTRACT Staphylococcus aureus is a bacteria that cause infectious diseases. Infections caused by bacteria treated with antibiotics. Irrational use of antibiotics and intensive application might cause resistance. Resistance is the ability of bacteria to not killed or inhibited by antibiotics. This study aim at determining the resistance pattern of S. aureus to oxacillin, vancomycin, clindamycin, and levofloxacin. The bacteria that isolated from skin infection patients at Siloam Hospital Karawaci Tangerang Banten on period of Desember 2013-January 2014. Disc diffusion method was used in this study. Diameter of inhibition zone measure and compared to CLSI 2007. The result showed that S. aureus already resisted to oxacillin 40%, to vancomycin 40 %, to clindamycin 50%, and to levofloxacin 50%. Key words: Staphylococcus aureus, skin infection, resistance, antibiotic 1

PENDAHULUAN Penyakit infeksi merupakan salah satu masalah kesehatan terbesar tidak saja di Indonesia, tapi juga di seluruh dunia (Mardiastuti dkk. 2007). Profil Kesehatan Indonesia 2010 menunjukkan, prevalensi dan jumlah kasus penyakit infeksi di Indonesia lebih tinggi dibandingkan negara ASEAN lain (Anonim 2011). Di Indonesia, penyakit infeksi merupakan penyakit utama dan penyebab kematian pertama (Priyanto 2010). Selain virus sebagai penyebabnya, bakteri juga tidak kalah pentingnya dalam menyebabkan penyakit infeksi (Mardiastuti dkk. 2007). Staphylococcus aureus merupakan bakteri Gram positif yang dapat menyebabkan berbagai macam penyakit, mulai dari infeksi yang ringan sampai infeksi yang mengancam jiwa dan fatal. Berbagai infeksi yang dapat ditimbulkan oleh S. aureus seperti infeksi kulit, perikarditis, osteomielitis, artritis septik, endokarditis, dan sindrom syok toksik (Garna 2012). Menurut profil kesehatan Kabupaten Tangerang, gangguan lain kulit dan jaringan lunak termasuk 20 besar penyakit di Kabupaten Tangerang tahun 2010 (Anonim 2010). Rumah Sakit Siloam Karawaci Tangerang Banten merupakan salah satu rumah sakit yang berada di Kabupaten Tangerang. Penyakit infeksi kulit menjadi perhatian di Rumah Sakit Siloam Karawaci Tangerang, karena banyaknya jumlah pasien infeksi kulit yang disebabkan S. aureus. Antibiotika sampai saat ini masih menjadi obat andalan dalam penanganan kasuskasus penyakit infeksi (Utami 2012). Obat pilihan pertama terapi antibiotika untuk penyakit infeksi oleh S. aureus adalah penisilin, sedangkan obat alternatif adalah sefalosporin generasi pertama, vankomisin (Katzung 2010), imipenem, meropenem, fluorokuinolon dan klindamisin (Brooks et al. 2007). Intensitas penggunaan antibiotika yang relatif tinggi menimbulkan berbagai permasalahan dan merupakan ancaman global bagi kesehatan terutama resistensi bakteri terhadap antibiotika (Kemenkes 2011). Resistensi adalah kemampuan suatu bakteri untuk tidak terbunuh atau tidak terhambat 2 pertumbuhannya oleh suatu antibiotika (Priyanto 2010). Masalah resistensi ini menjadi serius karena selain berdampak pada morbiditas dan mortalitas, juga memberi dampak negatif terhadap ekonomi dan sosial yang sangat tinggi. Pada awalnya resistensi terjadi di tingkat rumah sakit, tetapi lambat laun juga berkembang di lingkungan masyarakat (Kemenkes 2011). Uji resistensi perlu dilakukan untuk mengetahui kepekaan bakteri terhadap antibiotika, sehingga pengobatan yang dilakukan akan efektif dan tepat guna. Berdasarkan uraian tersebut maka perlu dilakukan penelitian uji resistensi S. aureus dari isolat pasien infeksi kulit di Rumah Sakit Siloam Karawaci Tangerang Banten, untuk mengetahui persentase resistensi S. aureus terhadap beberapa antibiotika pilihan terapi BAHAN DAN METODE Sebanyak sepuluh isolat bakteri S. aureus yang digunakan berasal dari pasien infeksi kulit di Rumah Sakit Siloam Karawaci Tangerang Banten. Medium uji adalah Nutrient Agar (Merck) dan Mueller Hinton Agar (Acumedia). Cakram antibiotika yang digunakan adalah oksasilin 1 µg (Oxoid), vankomisin 30 µg (Becton), klindamisin 2 µg (Oxoid), levofloksasin 5 µg (Oxoid). Bahan lain yang digunakan yaitu pewarna Gram, etanol 70%, NaCl fisiologis 0,9%, akuadest. Pengambilan Isolat Bakteri Isolat bakteri S. aureus diambil secara acak dari pus dan darah 10 pasien infeksi kulit di Rumah Sakit Siloam Karawaci Tangerang Banten periode Desember 2013-Januari 2014. Pembiakan Isolat Bakteri Satu ose biakan bakteri S. aureus stok isolat dari Rumah Sakit Siloam Karawaci Tangerang Banten diinokulasi dengan menggunakan jarum ose, kemudian dipindahkan ke dalam medium NA pada cawan Petri dengan cara digores. Diinkubasi pada suhu 37 C selama 24 jam dalam inkubator. Dilakukan pengamatan makroskopis terhadap S. aureus pada cawan Petri tersebut. Sebanyak satu ose biakan bakteri S. aureus dari cawan Petri diinokulasikan dengan menggunakan jarum

ose ke medium NA miring dengan cara digores. Diinkubasi pada suhu 37 C selama 24 jam dalam inkubator. Pembuatan Suspensi Bakteri Pembuatan suspensi bakteri sesuai dengan Mc Farland 0,5. Satu ose isolat bakteri S. aureus diambil, dimasukkan ke dalam tabung yang berisi larutan fisiologis NaCl, dihomogenkan dan dibiarkan selama beberapa menit. Kekeruhan suspensi disesuaikan secara visual dengan larutan Mc Farland 0,5 (merupakan standar untuk bakteri). Penetapan Resistensi Isolat S. aureus Terhadap Antibiotika Pengujian resistensi S. aureus patogen infeksi kulit terhadap beberapa antibiotika dilakukan dengan menggunakan metode difusi. Diambil sebanyak 20 ml Mueller Hinton Agar dimasukkan ke dalam cawan Petri, dibiarkan menjadi padat. Secara aseptis, sebanyak 0,1 ml suspensi bakteri dipindahkan ke medium agar dengan menggunakan mikro pipet. Suspensi bakteri diratakan menggunakan spatel Drugalsky, dibiarkan beberapa menit. Masing-masing cakram antibiotika oksasilin, vankomisin, klindamisin, dan levofloksasin diletakkan di atas medium agar dan diinkubasi pada suhu 37 o C selama 24 jam. Dilakukan tiga kali pengulangan pada cawan Petri yang berbeda. Pengamatan zona hambat antibiotika uji terhadap pertumbuhan S. aureus dilakukan setelah 24 jam inkubasi. Pengamatan dilakukan dengan mengukur diameter zona bening di luar cakram tersebut dengan jangka sorong. Koloni bakteri yang sensitif terhadap antibiotika dilihat dengan adanya zona hambatan berupa daerah bening di sekitar cakram antibiotika. Diameter daerah bening diukur dengan jangka sorong. Sensitivitas kuman terhadap antibiotika ditentukan oleh diameter zona hambat yang terbentuk dalam millimeter (mm). Semakin besar diameter maka semakin terhambat pertumbuhan kuman. Hasil uji ini dirujuk dengan tabel CLSI 2007 (tabel 1) untuk menentukan susceptible (S), intermediate (I) atau resistant (R). Tabel 1. Diameter Zona Hambat Standar Menurut CLSI Untuk Bakteri Staphylococcus aureus No Antibiotika Disk content Diameter zona hambat (mm) Resistant Intermediate Susceptible 1 Oksasilin 1 µg 10 11 12 13 2 Vankomisin 30 µg - - 15 3 Klindamisin 2 µg 14 15-20 21 4 Levofloksasin 5 µg 15 16-18 19 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Makroskopis dan Mikroskopis Isolat S. aureus Isolat S. aureus yang digunakan diperoleh dari pus dan darah pasien infeksi kulit yang telah diisolasi di Rumah Sakit Siloam Karawaci Tangerang Banten periode Desember 2013-Januari 2014. Isolat S. aureus dipindahkan ke medium NA miring, untuk mengurangi kontaminasi dan untuk memudahkan proses pengerjaan. Medium NA digunakan karena merupakan medium yang paling umum dalam mikrobiologi yang menunjang pertumbuhan sebagian besar mikroba (Waluyo 2010). 3 Karakteristik mikroskopis isolat S. aureus dilakukan dengan pewarnaan Gram. Menurut Waluyo (2010), pewarnaan Gram merupakan tahap penting untuk membedakan bakteri yang satu dengan bakteri yang lain, memudahkan melihat mikroba pada mikroskop, dan untuk mengetahui struktur bakteri uji yang digunakan, sehingga pewarnaan Gram dapat dilakukan sebagai salah satu tahap identifiksi bakteri dan memastikan tidak terjadi kontaminasi pada isolat bakteri. Berikut adalah hasil karakteristik makroskopis dan mikroskopis isolat S. aureus pada media pertumbuhan NA (tabel 2).

Pada pengatamatan makroskopis, 10 isolat S. aureus yang tumbuh pada medium NA berbentuk bulat kecil dan berwarna kuning. Hasil ini sesuai dengan Brooks et al. (2007), koloni S. aureus pada medium padat berbentuk bulat dan membentuk koloni kuning emas. Bakteri S. aureus merupakan bakteri Gram positif. Pada pengamatan mikroskopis di mikroskop perbesaran 640 kali, terlihat bahwa 10 isolat bakteri S. aureus yang telah diwarnai berwarna ungu yang menandakan S. aureus termasuk bakteri Gram positif, berbentuk kokus atau bulat dan dan berkoloni cenderung berkelompok menyerupai buah anggur. Hasil ini sesuai dengan Radji ( 2010), S. aureus berbentuk bulat, dan koloni mikroskopik cenderung berbentuk menyerupai buah anggur. Tabel 2. Karakteristik Makroskopis dan Mikroskopis Isolat S. aureus dari Pasien Infeksi Kulit di Rumah Sakit Siloam Karawaci Tangerang Banten No Isolat Ciri Makroskopis Ciri Mikroskopis Bentuk Warna Bentuk Warna (Gram) 1 SA1 Bulat kecil Kuning Kokus Ungu (Positif) 2 SA2 Bulat kecil Kuning Kokus Ungu (Positif) 3 SA3 Bulat kecil Kuning Kokus Ungu (Positif) 4 SA4 Bulat kecil Kuning Kokus Ungu (Positif) 5 SA5 Bulat kecil Kuning Kokus Ungu (Positif) 6 SA6 Bulat kecil Kuning Kokus Ungu (Positif) 7 SA7 Bulat kecil Kuning Kokus Ungu (Positif) 8 SA8 Bulat kecil Kuning Kokus Ungu (Positif) 9 SA9 Bulat kecil Kuning Kokus Ungu (Positif) 10 SA10 Bulat kecil Kuning Kokus Ungu (Positif) Tabel 3. Rerata Zona Hambat dan Kategori Kepekaan Isolat S. aureus dari Pasien Infeksi Kulit di Rumah Sakit Siloam Karawaci Tangerang Banten terhadap Antibiotika Oksasilin, Vankomisin, Klindamisin, dan Levofloksasin No Isolat Rerata Zona Hambat (mm) dan Kategori Sensitivitas Oksasilin Vankomisin Klindamisin Levofloksasin 1 1 14,65 ( S ) 23,43 ( S ) 13,40 ( R ) 28,91 ( S ) 2 2 4,97 ( R ) 3,47 ( R ) 4,58 ( R ) 3,32 ( R ) 3 3 15,33 ( S ) 5,40 ( R ) 3,63 ( R ) 5,72 ( R ) 4 4 10,43 ( R ) 13,41 ( R ) 21,70 ( S ) 13,29 ( R ) 5 5 3,42 ( R ) 14,13 ( R ) 8,27 ( R ) 8,18 ( R ) 6 6 14,55 ( S ) 16,35 ( S ) 1,37 ( R ) 28,29 ( S ) 7 7 20,75 ( S ) 17,24 ( S ) 25,40 ( S ) 29,12 ( S ) 8 8 21,64 ( S ) 15,92 ( S ) 26,40 ( S ) 26,85 ( S ) 9 9 18,84 ( S ) 15,47 ( S ) 26,00 ( S ) 27,06 ( S ) 10 10 5,71 ( R ) 20,37 ( S ) 30,40 ( S ) 7,34 ( R ) R : 40% 40% 50% 50% I : 0% 0% 0% 0% S : 60% 60% 50% 50% Persentase (%) Ket: R (resisten), I (intermediet), S (sensitif) Hasil Penetapan Resistensi Isolat S. aureus Terhadap Antibiotika Uji resistensi dilakukan pada medium Mueller Hinton Agar yang merupakan 4 medium yang sensitif karena kaya nutrisi, sehingga cocok untuk menguji sensitivitas mikroorganisme (Safitri dan Novel 2010). Antibiotika uji yang digunakan adalah

oksasilin, vankomisin, klindamisin, dan levofloksasin karena merupakan antibiotika pilihan yang digunakan pada terapi infeksi kulit oleh S. aureus. Uji resistensi dilakukan dengan menggunakan metode difusi (tes Kirby & Bauer) karena merupakan metode untuk menentukan aktivitas antibiotika. Antibiotika pada disk cakram akan berdifusi ke medium agar dan menghambat pertumbuhan S. aureus. Terhambatnya pertumbuhan S. aureus dilihat dengan adanya zona bening yang terbentuk di sekitar cakram antibiotika (Brooks et al. 2007). Zona bening yang terbentuk di ukur diameternya dan di bandingkan dengan standar pengukuran bagi masing-masing antibiotika yang di tetapkan CLSI untuk mengetahui kategori sensitivitas isolat S. aureus. Data pengukuran diameter zona hambat antibiotika dapat dilihat pada lampiran 5. Berikut adalah hasil kategori sensitivitas S. aureus terhadap antibiotika uji (tabel 3). Dari pengujian resistensi isolat S. aureus terhadap antibiotika, didapatkan hasil: sebanyak 6 isolat (SA1, SA3, SA6, SA7, SA8 dan SA9) sensitif terhadap oksasilin, sedangkan 4 isolat lainnya resisten (SA2, SA4 SA5 dan SA10). Isolat S.aureus yang sensitif terhadap vankomisin sebanyak 6 isolat (SA1, SA6, SA7, SA8, SA9, SA10) dan 4 isolat lainnya (SA2, SA3, SA4, SA5) resisten. Terhadap klindamisin, sebanyak 5 isolat sensitif ( SA4, SA7, SA8, SA9, SA10) dan 5 isolat lainnya resisten (SA1, SA2, SA3, SA5, SA6). Sebanyak 5 isolat sensitif terhadap levofloksasin (SA1, SA6, SA7, SA8, SA9), dan 5 isolat lainnya resisten (SA2, SA3, SA4, SA5, SA10). Dari tabel 3 di atas terlihat bahwa isolat SA1 sensitif terhadap oksasilin, vankomisin dan levofloksasin, namun resisten terhadap klindamisin. Resistensi isolat S. aureus terhadap antibiotika uji tertinggi terlihat pada isolat SA2 dan isolat SA5, isolat telah resisten terhadap semua antibiotika uji (oksasilin, vankomisin, klindamisin, dan levofloksasin). Pada isolat SA3, isolat resisten terhadap 3 antibiotika uji (vankomisi n, klindamisin dan levofloksasin) dan sensitif terhadap oksasilin. Pada isolat SA4, isolat sensitif terhadap klindamisin, namun telah 5 resisten terhadap oksasilin, vankomisin dan levofloksasin. Pada isolat SA6, isolat sensitif terhadap oksasilin, vankomisin dan levofloksasin dan resisten terhadap klindamisin. Sensitivitas isolat S. aureus terhadap antibiotika uji tertinggi terlihat pada isolat SA7, SA8, SA9, yang sensitif terhadap semua antibiotika uji (oksasilin, vankomisin, klindamisin, dan levofloksasin). Isolat SA10 resisten terhadap oksasilin dan levofloksasin, sensitif terhadap vankomisin dan klindamisin. Antibiotika uji yang digunakan merupakan obat pilihan pertama yaitu oksasilin, dan obat alternatif: vankomisin (Katzung 2010), klindamisin, dan levofloksasin (Brooks et al. 2007), untuk pengobatan infeksi kulit yang disebabkan oleh bakteri S. aureus. Berdasarkan uji resistensi, didapatkan hasil persentase resistensi antibiotika oksasilin dan vankomisin sebesar 40%. Namun hasil persentase resistensi isolat S. aureus lebih tinggi terhadap klindamisin dan levofloksasin, yaitu sebesar 50%. Adanya peningkatan tingkat resistensi isolat S. aureus terhadap obat pilihan alternatif (vankomisin, klindamisin, dan levofloksasin), serta terjadinya perbedaan sensitivitas dari masing-masing isolat S. aureus terhadap antibiotika uji disebabkan karena penggunaan antibiotika yang meluas, kurang tepat (irrasional) serta intensitas penggunaan yang tinggi, seperti penggunaan obat yang terlalu singkat, dosis yang digunakan terlalu rendah, diagnosa awal yang salah, pemilihan antibiotika yang keliru pada pengobatan infeksi terhadap bakteri yang telah resisten, tingkat kepatuhan pasien dalam menggunakan obat, dan penggunaan antibiotika pada keadaan yang seharusnya tidak membutuhkan antibiotika (Utami 2012). Oksasilin merupakan antibiotika golongan β-laktam dan merupakan obat pilihan pertama pada pengobatan infeksi kulit yang disebabkan oleh bakteri S. aureus. Mekanisme kerja penisilin menghambat pertumbuhan bakteri dengan mengganggu reaksi transpeptidasi dalam sintesis dinding sel. Ada 4 mekanisme resistensi terhadap β- laktam yaitu: (1) inaktivasi antibiotika oleh β- laktamase, (2) modifikasi Penicillin-Binding- Protein (PBP) target, (3) gangguan penetrasi

obat untuk mencapai PBP sasaran, dan (4) efluks (Katzung 2010). Vankomisin termasuk antibiotika yang bekerja dengan menghambat sintesis dinding sel bakteri. Mekanisme kerja vankomisin dengan berikatan secara kuat pada ujung D- Ala-D-Ala pada pentapeptida peptidoglikan yang baru terbentuk, sehingga menghambat reaksi transglikosilasi, yang mencegah elongasi peptidoglikan lebih lanjut serta ikatan silang. Resistensi S. aureus terhadap vankomisin karena adanya perubahan PBP, yaitu modifikasi tempat ikatan D-Ala-D-Ala pada peptidoglikan. Pada keadaan ini ujung D-Ala digantikan oleh D-laktat atau D-Ser. Perubahan ikatan ini menyebabkan hilangnya ikatan hidrogen yang memfasilitasi tingginya afinitas ikatan vankomisin dengan target, sehingga aktivitas vankomisin hilang (Katzung 2010). Pada klindamisin, mekanisme kerja dengan menghambat sintesis protein pada bakteri (Brunton et al. 2010). Resistensi terhadap klindamisin terjadi melalui mekanisme: (1) mutasi lokasi reseptor ribosomal, (2) modifikasi reseptor oleh metilase yang diekspresikan secara konstitutif, dan (3) inaktivasi klindamisin oleh enzimatik (Katzung 2010). Tabel 4. Mekanisme Aktivitas dan Mekanisme Resistensi Antibiotika Antibiotika Golongan Mekanisme Kerja Mekanisme Resistensi Oksasilin Vankomisin Klindamisin Levofloksasin Β-laktam (Penisilin) Vankomisin Klindamisin Fluorokuinolon Menghambat sintesis dinding sel dengan mengganggu reaksi peptidasi Menghambat sintesis dinding sel dengan menghambat transglikosilase Menghambat sintesis protein pada bakteri dengan menghambat perpindahan rantai asam amino yang baru dengan trnanya bergeser dari lokasi akseptor ke lokasi peptidil Menghambat sintesis DNA mikroba dengan menghambat DNA gyrase dan Topoisomerase IV (1) Inaktivasi antibiotika oleh β-laktamase (2) Modifikasi Penicillin- Binding-Protein (PBP) target (3) Gangguan penetrasi obat untuk mencapai PBP sasaran (4) Efluks Perubahan pada target bakteri (perubahan PBP), yaitu perubahan target D-Ala-D-Ala menjadi D-Ala-D-Laktat atau D-Ala-D-Ser (1) Mutasi lokasi reseptor ribosomal (2) Modifikasi reseptor oleh metilase yang diekspresikan secara konstitutif (3) Inaktivasi klindamisin oleh enzimatik (1) Membuat target menjadi tidak sensitif (mutation ofgyrase genes) (2) Pengeluaran antibiotika secara aktif (active efflux) Levofloksasin merupakan antibiotika golongan fluorokuinolon. Mekanisme kerja fluorokuinolon yaitu menghambat sintesis DNA mikroba (Brooks et al. 2007), melalui penghambatan DNA girase dan topoisomerase IV. Menurut Sudoyo dkk. (2006), resistensi terhadap fluorokuinolon terjadi dengan membuat target menjadi tidak sensitif melalui mutasi gen kromosom bakteri yang mengode DNA girase (mutation ofgyrase genes) dan pengeluaran antibiotika 6

dari bakteri melalui transpor aktif (active efflux). Satu bakteri yang telah resisten terhadap suatu antibiotika bisa menyebar dari satu orang ke orang lain, sehingga memperbesar potensinya dalam proporsi epidemik. Penyebaran ini dipermudah oleh lemahnya kontrol infeksi dan penggunaan antibiotika yang luas. Penggunaan antibiotika di rumah sakit harus dilakukan dengan tepat (rasional) dan hati-hati dengan melibatkan diagnosis klinik dan bakteriologik untuk menegaskan diagnosa serta melakukan pemantauan pola kepekaan bakteri secara berkala dan berkesinambungan sebagai pedoman pemberian antibiotika pada pengobatan infeksi. Pencegahan terhadap resistensi dapat dilakukan dengan cara: menggunakan antibiotika kombinasi untuk mengurangi timbulnya resistensi bakteri terhadap antibiotika, menjaga kebersihan terutama pada tenaga kesehatan yang berhubungan langsung dengan pasien untuk mencegah penularan galur baru yang telah resisten, dan edukasi terhadap pasien (Utami 2012). SIMPULAN Berdasarkan hasil uji resistensi bakteri S. aureus dari pasien infeksi kulit di Rumah Sakit Siloam Karawaci Tangerang Banten terhadap antibiotika pilihan terapi, menunjukkan telah terjadi resistensi terhadap oksasilin sebesar 40%, terhadap vankomisin sebesar 40%, terhadap klindamisin sebesar 50% dan terhadap levofloksasin sebesar 50%. UCAPAN TERIMA KASIH: Terimakasih kepada Rumah Sakit Siloam Karawaci Tangerang Banten yang telah menyediakan isolat untuk diuji pada penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2010. Profil Kesehatan Kabupaten Tangerang 2010. Tangerang: Dinas Kesehatan Kabupaten Tangerang; Hlm. 12. Anonim. 2011. Infeksi Sulit Dieliminasi. http://nasional.kompas.com/read/2011 /12 7 /20/03304966/.Infeksi.Sulit.Dielimina si. Diakses 8 oktober 2014. Brooks GF, Butel JS, Morse SA. 2007. Mikrobiologi Kedokteran Jawetz, Melnick dan Adelberg. Edisi 23, Terjemahan: Elferia RN, Ramadhani D, Karolina S, Indriyani F, Rianti SSP, Yulia P. EGC, Jakarta. Hlm. 166-167, 266-267. Brunton LL, Parker KL, Blumenthal D, Buxton I. 2010. Goodman and Gilman Manual Farmakologi dan Terapi, Terjemahan: Manurung J, Aini N, Hadinata AH, Fazriyah Y, Vidhayanti H. EGC, Jakarta. Hlm. 675, 693, 698, 706-707, 709. Clinical Laboratory Standards Institute (CLSI). 2007. Performance Standards for Antimicrobial Disk Susceptibility Testing. Seventeenth Informational Suplement. Wayne, Pa. hlm 18-22, 44-51. Garna H. 2012. Buku Ajar Divisi Infeksi dan Penyakit Tropis Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran. Sagung Seto, Jakarta. Hlm. 687-690. Katzung BG. 2010. Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi 10, Terjemahan: Nirmala WK, Yesdelita N, Susanto D, Dany F. EGC, Jakarta. Hlm. 748-749, 756, 759-762, 857. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik. Jakarta: Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan; Hlm. 8-9. Mardiastuti HW, Anis K, Ariyani K, Ikaningsih, Retno K. 2007. Emerging Resistance Pathogen: Situasi Terkini di Asia, Eropa, Amerika Serikat, Timur Tengah dan Indonesia. Majalah Kedokteran Indonesia, 57(3) : 75-79. Priyanto. 2010. Farmakologi Dasar untuk Mahasiswa Farmasi dan Keperawatan. Edisi 2. Leskonfi, Depok. Hlm 84. Radji M. 2010. Buku Ajar Mikrobiologi: Panduan Mahasiswa Farmasi dan Kedokteran. EGC, Jakarta. Hlm. 179-181,184, 186,189-190.

Safitri R, Novel SS. 2010. Medium Analisis Mikroorganisme (Isolasi dan Kultur). Trans Info Media, Jakarta. Hlm 46. Sudoyo AW, Setiyohadi B. Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Indonesia, Jakarta. Hlm. 1700-1701, 1703. Utami ER. 2012. Antibiotika, Resistensi, dan Rasionalitas Terapi. Malang. Sainstis, 1 (1): 124-125, 127, 131. Waluyo L. 2010. Teknik dan Metode Dasar Mikrobiologi. UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang, Malang. Hlm 89-92, 133. 8