PENGENDALIAN PENYAKIT BRUCELLOSIS DI KABUPATEN SLEMAN TAHUN 2017

dokumen-dokumen yang mirip
umum digunakan untuk brucellosis yang di Indonesia umumnya menggunakan teknik Rose Bengal Plate Test (RBPT), Serum Agglutination Test (SAT), dan Compl

BAB II KAJIAN PUSTAKA. pertama kali saat terjadinya perang di Crimea, Malta pada tahun Gejala

HASIL DAN PEMBAHASAN

TENTANG. wilayah Provinsi Sumatera Utara dapat menyebabkan penyebaran penyakit keluron menular (Brucr,llosis);

PEDOMAN IDENTIFIKASI DAN PENGAWASAN TERNAK RUMINANSIA BESAR BAB I PENDAHULUAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Bujur Timur dengan jarak 149 km dari Dili, suhu maksimun 32 o C dan

GUBERNUR RIAU PERATURAN GUBERNUR RIAU NOMOR : 72 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN KOMISI INFORMASI PROVINSI

Manual Prosedur. Analisis Sampel

LEMBARAN DAERAH KOTA DUMAI

BAB V RENCANA PROGRAM DAN KEGIATAN, INDIKATOR KINERJA, KELOMPOK SASARAN, DAN PENDANAAN INDIKATIF

PERATURAN DAERAH KOTA DUMAI NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG RETRIBUSI PELAYANAN KESEHATAN HEWAN, DAN KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER (KESMAVET)

EPIDEMIOLOGI DAN PENGENDALIAN BRUCELLOSIS PADA SAPI PERAH DI PULAU JAWA

2015, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 2

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61/Permentan/PK.320/12/2015 TENTANG PEMBERANTASAN PENYAKIT HEWAN

LAPORAN ANALISIS RISIKO PEMASUKAN SAPI BIBIT BALI YANG DIKIRIM DARI LOMBOK- NTB KE MAKASSAR TERHADAP PENYAKIT ANTHRAKS

OLEH DR. Drh. RAIHANAH, M.Si. KEPALA DINAS KESEHATAN HEWAN DAN PETERNAKAN ACEH DISAMPAIKAN PADA :

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN

BUPATI MALANG BUPATI MALANG,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN

Lampiran 2. Rencana Kinerja Tahunan Balai Besar Veteriner Denpasar Tahun : 2009

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PETERNAKAN DI PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DAN KEPEGAWAIAN DRAH KATA PENGANTAR

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RENCANA KINERJA TAHUNAN BPTU-HPT DENPASAR TAHUN 2016

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

MATRIKS DOMESTIK MASUK MEDIA PEMBAWA HPHK BKP KELAS II GORONTALO

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG PENGAWASAN LALU LINTAS TERNAK DAN PEREDARAN BAHAN ASAL HEWAN DI KABUPATEN BULUKUMBA

STANDAR PELAYANAN PUBLIK JANGKA WAKTU LAYANAN KARANTINA ( SERVICE LEVEL AGREEMENT )

LAPORAN REALISASI KEGIATAN APBN PROVINSI SUMATERA BARAT TAHUN 2015 KEADAAN s/d AKHIR BULAN : DESEMBER 2015

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Protein berperan penting untuk perkembangan kecerdasan otak,

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.78, 2010 Kementerian Pertanian. Identifikasi. Ternak Ruminansia Besar. Pedoman.

BAB III. AKUNTABILITAS KINERJA

Tabel. 2.1 Pencapaian Kinerja Pelayanan Dinas Kesehatan Hewan dan Peternakan Aceh Provinsi Aceh

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran

BAB III. AKUNTABILITAS KINERJA. Berikut ini merupakan gambaran umum pencapaian kinerja Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur :

PROFIL LABORATORIUM KESEHATAN HEWAN DAN PUSAT KESEHATAN HEWAN DINAS PERTANIAN KABUPATEN TORAJA UTARA

BAB V RENCANA PROGRAM DAN KEGIATAN, INDIKATOR KINERJA, KELOMPOK SASARAN, DAN PENDANAAN INDIKATIF

Lampiran 2. Rencana Kinerja Tahunan Balai Besar Veteriner Denpasar Tahun : 2010

Rencana Kinerja Tahunan Balai Besar Veteriner Denpasar Tahun : 2013

- 1 - BUPATI BANYUWANGI PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 44 TAHUN 2011 TENTANG

Lampiran 1 Kuisioner Peternak Pemasok Susu Segar

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN

AKABANE A. PENDAHULUAN

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 7 TAHUN 2009 PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 7 TAHUN 2009 TENTANG

Bagian Keenam Bidang Kesehatan Hewan dan Kesmavet Pasal 16 (1) Bidang Kesehatan Hewan dan Kesmavet mempunyai tugas pokok menyelenggarakan pengkajian

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG PELAYANAN PEMERIKSAAN KESEHATAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

GUBERNUR BENGKULU PERATURAN DAERAH PROVINSI BENGKULU NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENGENDALIAN TERNAK SAPI DAN KERBAU BETINA PRODUKTIF

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI

TINJAUAN PUSTAKA Bruselosis Etiologi

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN

KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI

PENGAWASAN DAN PEMERIKSAAN BAHAN PANGAN ASAL HEWAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TEMANGGUNG NOMOR 18 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KATA PENGANTAR. Bandar Lampung, Pebruari Panitia

PEDOMAN FORMASI JABATAN FUNGSIONAL MEDIK VETERINER DAN PARAMEDIK VETERINER BAB I PENDAHULUAN

LEMBARAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 1 TAHUN 2015

- 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PENGENDALIAN SAPI DAN KERBAU BETINA PRODUKTIF

LAPORAN BULANAN SEPTEMBER 2016 BALAI BESAR PENELITIAN VETERINER BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN

NOTULENSI RAPAT PEMANTAUAN PENCAPAIAN KINERJA TRIWULAN I TAHUN 2014 DAN SOSIALISASI PERATURAN PRESIDEN RI NOMOR 29 TAHUN 2014

Laporan Tahunan Bidang Kesehatan Masyarakat Veteriner Tahun BAB I PENDAHULUAN

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI

CAPAIAN KINERJA KELUARAN (OUTPUT ) UTAMA APBN PKH TAHUN 2014

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 83/Permentan/OT.140/12/2012 TENTANG PEDOMAN FORMASI JABATAN FUNGSIONAL MEDIK VETERINER DAN PARAMEDIK VETERINER

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH

BAB I PENDAHULUAN. yang lebih maju, kesadaran kebutuhan nutrisi asal ternak semakin meningkat,

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 102 TAHUN 2001 SERI D.99 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 27 TAHUN 2001 TENTANG

Serodeteksi Brucella abortus pada Sapi Bali di Timor Leste

LAPORAN KINERJA 2014 BAB I. PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

LAPORAN PEMBINAAN DAN BIMBINGAN TEKNIS PUSKESWAN

GUBERNUR RIAU PERATURAN GUBERNUR RIAU NOMOR : 30 TAHUN 2012 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN RABIES DI PROVINSI RIAU

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKAYANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG

(Rp.) , ,04

Revisi ke 05 Tanggal : 27 Desember 2017

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 2000 TENTANG KARANTINA HEWAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENDAHULUAN. Latar Belakang. baik, diantaranya dalam hal pemeliharaan. Masalah kesehatan kurang

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA 2013

PEDOMAN TEKNIS PENGEMBANGAN PEMBIBITAN BABI TAHUN 2012 DIREKTORAT PERBIBITAN TERNAK

LAPORAN KEGIATAN INVESTIGASI WABAH PENYAKIT HEWAN TAHUN Penyakit hewan masih menjadi permasalahan bagi industri peternakan di Indonesia

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT HEWAN

PEMERINTAH KOTA PROBOLINGGO

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI

PENYAKIT STRATEGIS RUMINASIA BESAR DAN SITUASINYA DI KALIMANTAN TIMUR

WALIKOTA MALANG PROVINSI JAWA TIMUR

LAMPIRAN KUESIONER GAMBARAN PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU MASYARAKAT TERHADAP PENCEGAHAN PENYAKIT AVIAN INFLUENZA

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

GAMBARAN PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU MASYARAKAT TERHADAP PENYAKIT AVIAN

ISOLASI DAN IDENTIFIKASI BRUCELLA ABORTUS PENYEBAB KEGUGURAN PADA SAPI

BUPATI BONDOWOSO PERATURAN BUPATI BONDOWOSO NOMOR 43 TAHUN 2010 TENTANG

Lampiran 1. Kuisioner Penelitian Desa : Kelompok : I. IDENTITAS RESPONDEN 1. Nama : Umur :...tahun 3. Alamat Tempat Tinggal :......

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA 2013

Ayam Ras Pedaging , Itik ,06 12 Entok ,58 13 Angsa ,33 14 Puyuh ,54 15 Kelinci 5.

PEMERINTAH KOTA PROBOLINGGO

KOMPETENSI MATA KULIAH PPDH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1991 TENTANG PENANGGULANGAN WABAH PENYAKIT MENULAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG

Transkripsi:

PENGENDALIAN PENYAKIT BRUCELLOSIS DI KABUPATEN SLEMAN TAHUN 2017 Oleh : drh Nyoman A Anggreni T PENDAHULUAN Pengendalian terhadap penyakit brucellosis di Indonesia, pulau Jawa dan khususnya di terus dilaksanakan secara berkesinambungan. merupakan kabupaten yang ada di wilayah DIY dengan populasi sapi perah yang paling banyak dibanding kabupaten/kota lainnya. Mobilitas sapi perah yang ada di pulau jawa maupun sangat tinggi, sehingga memungkinkan terjadinya penularan penyakit brucellosis dari daerah tertular ke daerah bebas. Berdasarkan Road Map Pengendalian dan Penanggulangan Brucellosis Direktorat Kesehatan Hewan, Daerah Istimewa Yogyakarta termasuk dalam katagori wilayah tertular ringan. Angka prevalensi Brucellosis di pulau jawa yang merupakan sentra sapi (sapi perah maupun potong) cukup tinggi. Brucellosis adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri yang berbentuk coccobasil, bersifat gram negatip, dari genus Brucella, penyakit ini dikenal juga dengan sebutan penyakit keluron menular atau penyakit Bang. Brucellosis pada sapi disebabkan oleh bakteri Brucella abortus, pada babi Brucella suis, pada kambing Brucella mellitensis, pada domba Brucella ovis dan pada anjing Brucella Canis (Ressang, 1984). Tanda-tanda brucellosis pada sapi: Pada sapi betina bunting akan menyebabkan keguguran atau keluron, biasanya pada umur kebuntingan antara 5-8 bulan. Pada kebuntingan berikutnya biasanya akan diikuti dengan kelahiran normal, tidak mengalami keguguran tetapi kuman akan tetap ada pada organ reproduksi sapi, air susu dan pedet yang dilahirkan. Setelah pedet dewasa dan bunting kemungkinan besar akan mengalami keguguran. Menyebabkan infeksi pada saluran reproduksi (endometritis) yang apabila tidak mendapatkan penanganan yang baik akan menyebabkan kemajiran sementara ataupun permanen. Produksi susu mengalami penurunan, terjadi peradangan pada placenta sapi, sering mengakibatkan terjadinya retensi Placenta (RTP), tertahannya keluarnya plasenta. Peradangan pada skrotum sapi jantan, pada sperma sapi jantan mengandung bakteri brucellosis. Brucella abortus dapat tahan hidup sampai 6 bulan apabila tidak terkena sinar matahari dan cepat mati bila terkena sinar matahari. Selain Brucella abortus, Brucella suis dan Brucella mellitensis dapat pula menyerang sapi, akan tetapi organisme tersebut biasanya hanya terdapat terbatas di dalam sistem retikulo-endoletial, serta tidak mengakibatkan gambaran penyakit yang jelas (Subronto, 2004). Menurut Ressang (1984) pada spesies

Brucella dikenal 9 biotipe yang semuanya menghasilkan penyakit yang sama. Distribusi biotipe-biotipe tersebut di berbagai bagian dunia berbeda-beda, misalnya biotipe yang sudah dikenal di Australia adalah biotipe 1, 2 dan 4. Penyebab utama Brucellosis pada sapi adalah Brucella abortus biotipe 1, 2 dan 4. Brucella abortus tipe ini juga merupakan penyebab utama Brucellosis pada manusia. Diagnosa Diagnosis brucellosis dapat berdasarkan, gejala klinis, Isolasi dan identifikasi kuman Brucella abortus dan uji serologis. Apabila ditemukan kejadian keguguran pada umur kebuntingan 5 8 bulan maka perlu diduga kemungkinan karena brucellosis, untuk itu perlu dilakukan peneguhan diagnosa dengan upaya isolasi dan identifikasi kuman B.abortus dari organ/jaringan tubuh seperti: limfoglandula supramamaria, limfoglandula retropharyngealis, dan limfoglandula iliaca interna, placenta, janin abortus serta cairan vagina. Kegiatan penanganan brucellosis yang dilaksanakan tahun 2017 meliputi: A. Koordinasi 1. Koordinasi rutin dilaksanakan sebelum pelaksanaan kegiatan pengendalian brucellosis, koordinasi intern antara pengampu kewenangan dan staf serta pejabat fungsional medik dan paramedik yang ada di kabupaten Sleman. Beberapa hal yang dilaksanakan pada saat koordinasi adalah, penyusunan jadual kegiatan pengendalian, menentukan personil yang terlibat dalam pelaksanaan kegiatan pengendalian dan membahas mengenai persiapan peralatan dan bahan yang diperlukan. 2. Koordinasi antara petugas kabupaten dan personil Puskeswan (medik dan paramedik), untuk pembagian personil dan sinkronisasi jadual pelaksanaan pengendalian di lapangan. 3. Koordinasi antara kabupaten, petugas puskeswan, dinas Provinsi yang membidangi fungsi Kesehtan Hewan, BBVet Wates, Laboratorium Type B Provinsi dan Instansi terkait lainnya. B. Sosialisasi Kegiatan sosialisasi Penyakit Hewan Menular Brucellosis rutin dilaksanakan, di tingkat kecamatan, tingkat desa, tingkat dusun dan kandang kelompok, dan biasanya yang paling mengena kalau langsung dilaksanakan kepada peternak pada saat ada kasus di lapangan (abortus). Kegiatan sosialisasi ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan peternak tentang penyakit brucellosis dan cara penanganannya, terutama pada peternak yang setiap hari kontak dengan ternak peliharaannya, karena penyakit ini

bersifat zoonosis (dapat menular dari hewan ke manusia). Peternak diharapkan hatihati dalam membeli ternak baru, dikarenakan dengan semakin terbukanya lalu lintas ternak dari luar DIY masuk ke DIY (khususnya Sleman) sangat memungkinkan ternak yang baru berasal dari daerah tertular brucellosis. Untuk antisipasi, setiap ternak yang masuk ke harus dilengkapi dengan Surat Keterangan Kesehatan Hewan (SKKH) dan uji brucellosis (RBT) negatip (-). Pada ternak yang dinyatakan positip brucellosis peternak perlu melakukan hal sebagai berikut: 1. Ternak yang sakit dipisahkan dari ternak yang sehat 2. Sisa pakan dari ternak yang sakit tidak diberikan pada ternak yang sehat 3. Peletakan posisi kandang ataupun lokasi dari ternak yang sakit ada di tempat yang lebih bawah agar sisa-sisa dari ternak yang sakit tidak mengalir atau terbawa ke ternak yang sehat 4. Peternak yang menangani ternak yang sakit memakai APD (Alat Pelindung Diri) 5. Air susu dari ternak yang sakit tidak dapat dikonsumsi 6. Ternak yang sakit tidak boleh dipindah-pindah tempatkan dan tidak boleh dijual 7. Kotoran dan leleran dll yang ada hubungannya dengan ternak yang sakit diamankan 8. Peralatan yang dipakai untuk ternak yang sakit jangan dipergunakan untuk ternak yang sehat 9. Pada ternak yang dinyatakan positip terinfeksi penyakit brucellosis dilaksanakan depopulasi atau potong paksa bersyarat C. Pengambilan sampel Pengambilan sampel darah pada sapi perah dan sebagian kecil sapi potong (yang sekandang dengan sapi perah atau yang berdekatan kandangnya) dilaksanakan setiap tahun sekali, tahun 2017 dilaksanakan dari bulan Pebruari sampai dengan Mei. Personel yang terlibat dalam pengambilan sampel, staf keswan kesmavet (medik dan paramedik), Medik dan paramedik puskeswan, THL medik dan paramedik, Dokter Hewan dan paramedis magang, Koas Interna FKH (kalau ada), dan bisa bersama-sama dengan Lab Type B Provinsi dan BBVet. Pengambilan sampel darah dilakukan di kecamatan yang populasi ternak sapi perahnya cukup banyak yaitu, Kecamatan Pakem, Kecamatan Cangkringan, Kecamatan Tempel dan Kecamatan Turi. Ternak sapi yang diambil sampelnya, ternak betina yang sudah berumur diatas 6 bulan. Untuk jadual pelaksanaan pengambilan sampel darah dibuat bersama-sama antara petugas kabupaten dengan puskeswan agar tidak terjadi tumpang tindih kegiatan pada saat pelaksanaan pengambilan sampel. Tahun ini pelaksanaan pengambilan sampel darah di Kecamatan Pakem dilaksanakan pada bulan Pebruari, sedangkan di Kecamatan Cangkringan dilaksanakan bulan Maret sampai dengan bulan Mei. Banyaknya sampel yang diambil setiap harinya tergantung lokasi ternak, pada kandang komunal jumlah

sampel yang didapat lebih banyak dibandingkan dengan ternak yang dikandangkan di rumah-rumah. Volume pengambilan sampel darah antara 2 3 ml / ekor dengan menggunakan tabung venojec lewat vena jugularis atau lewat vena coxcygea. Darah yang sudah diambil diberdirikan di atas rak tabung, sebelumnya ditulis kode pada etiket tabung. Kode pada tabung ditulis dalam buku bantu pengambilan sampel dengan diisi keterangan lengkap nama, alamat pemilik, identitas ternak dll. Setiap 1 pengambilan sampel, jarum dan tabung venojec diganti, hanya holdernya yang bisa dipakai berulang-ulang. Koleksi sampel pada hari itu, dibawa ke laboratorium Type C, untuk dilakukan pengujian pada keesokan harinya. D. Pemeriksaan sampel Uji serologis untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap B.abortus yang terdapat dalam serum darah dilakukan dengan metode RBT (Rose Bengal Test) sebagai uji saring (screening test) dan CFT (Complement Fixation Test) sebagai uji konfirmasi. Apabila dengan pengujian ini diperoleh hasil positip maka sapi tersebut dinyatakan sebagai Reaktor Positip. Sedangkan untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap B. Abortus yang terdapat dalam susu, dapat dilakukan pengujian dengan metode MRT (Milk Ring Test) Pada hewan ada beberapa tahapan pemeriksaan serologik, yaitu Rose Bengal Test (RBT),ELISA, isolasi, yang dilakukan pada sapi hidup. Pada sapi yang telah mati, pemeriksaan dapat dengan menggunakan sampel limfa, kelenyar mamaria, vagina, jaringan uterus sapi penderita, paru-paru, isi obdomen pedet yang diabortuskan dan kotiledon dari plasenta. Pengujian RBT di Dinas Pertanian, Pangan dan Perikanan dilaksanakan di Laboratorium type C, yang berada di bawah seksi Keswan dan Kesmavet. Pelaksana pengujian RBT dilaksanakan oleh petugas medik dan paramedik yang ada di Lab. Type C. Serum darah dari sampel yang sudah diambil hari sebelumnya diteteskan satu tetes (30 mikron) pada plate, kemudian diteteskan antigen RBT (30 mikron), setelah itu dicampur antara serum dengan antigen sampai merata, kemudian ditunggu sebentar, apabila timbul seperti pasir atau jonjot-jonjot berarti hasil pengujian RBT dinyatakan positip (+), apabila campurannya tetap sama tidak ada perubahan, RBT negatip (-). Apabila uji RBT positip, maka pengujian akan diulang lagi dan apabila positip lagi, sampel dinyatakan positip uji RBT dan selanjutnya akan dilaksanakan pengujian ke tingkat yang lebih tinggi yaitu uji CFT. Pengujian CFT dilaksanakan di BBVet Wates dengan mengirimkan serum dari sampel darah yang positip uji RBT, apabila hasil pengujian yang dilaksanakan oleh BBVet menunjukkan hasil yang positip, dapat disimpulkan ternak tersebut positip terkena Brucellosis. Untuk ternak yang sudah dinyatakan positip brucellosis harus dilakukan potong paksa.

Sampai dengan tahun 2008, semua sampel darah yang dilakukan pengujian RBT di Laboratorium Type C tidak ditemukan sampel darah positip brucellosis (negatip). Setelah tahun 2009 baru ditemukan adanya sampel darah yang positip pada uji RBT. E. Perlakuan ternak positip Brucellosis Ternak yang dinyatakan positip brucellosis akan dilaksanakan depopulasi atau pengeluaran dari lokasi tempatnya dipelihara untuk selanjutnya dilaksanakan potong paksa. Pengeluaran sesegera mungkin dari tempat pemeliharaan agar menghindari terjadinya penularan pada ternak sekandang yang ada di lingkungan tersebut (terutama yang berada dalam kandang komunal). Petugas pelaksana pemotongan memakai APD sesuai dengan SOP. Sapi penderita brucellosis yang dipotong paksa, bagian-bagian tertentu dari sapi tersebut akan diafkir seperti: organ dalam (visceral), saluran reproduksi, dan ambing (mammae). Bagian yang diafkir diberikan perlakuan sebagai berikut, dibuatkan lubang dengan kedalam 1,5-2 meter kemudian organ yang diafkir dimasukkan dalam lubang, ditambahkan bahan bakar dan dibakar, setelah habis terbakar kemudian ditimbun. Untuk karkasnya aman untuk dikonsumsi. F. Potong Paksa Pelaksanaan potong paksa dilakukan dibawah pengawasan drh yang berwenang dan dilaksanakan di Rumah Potong Hewan milik Pemerintah. Pada saat pelaksanaan potong paksa, semua petugas yang terlibat dalam kegiatan tersebut harus memakai pelindung diri sesuai dengan SOP yang sudah ditetapkan. Ternak yang akan dipotong paksa dibawa ke RPH milik pemerintah kabupaten Sleman, yaitu RPH Mancasan yang terletak di dusun Mancasan Lor Condong catur Depok Sleman. Pelaksanaan potong paksa dilaksanakan malam hari menjelang pagi, setelah dilaksanakannya pemotongan ternak rutin, untuk menghindari pencemaran pada ternak sehat yang dipotong hari itu. Pada saat dilakukan potong paksa dibuatkan berita acara potong paksa yang ditanda tangani oleh Dokter Hewan pengawas pemotongan. Ternak milik petani yang dipotong paksa, apabila anggaran masih ada, akan diberikan kompensasi besarnya sesuai dengan yang dianggarkan (sifatnya hanya bantuan, tidak utuh seharga ternaknya). HASIL KEGIATAN PENANGANAN BRUCELLOSIS Pelaksanaan pengambilan sampel darah diutamakan pada sapi perah (mobilitas tinggi dan cepat penularannya), untuk mengetahui prevalensi kejadian penyakit brucellosis di

tahun 2017 sudah dilaksanakan dari awal Pebruari tahun 2017 sampai dengan bulan Mei tahun 2017. Lokasi pengambilan sampel diutamakan pada lokasi yang memiliki populasi sapi perah yang cukup banyak yaitu, Kecamatan Pakem, Kecamatan, Cangkringan. Kecamatan Tempel dan Kecamatan Turi dan kecamatan lain yg ada sapi perahnya seperti: Kecamatan Depok, Kecamatan Sleman dan Kecamatan Prambanan. Untuk sapi potong yang berada dalam satu kandang dengan sapi perah juga dilakukan pengambilan sampel darahnya. Adapun hasil pengambilan sampel darah untuk uji terhadap pernyakit brucellosis tahun 2017 seperti dibawah ini. Tabel 1. Jumlah pengambilan sampel darah pada sapi perah dan potong tahun 2017 dan hasil uji terhadap penyakit brucellosis Jumlah Sampel Hasil Uji Bruc NO Kecamatan Perah Non Negatip Positip Perah Perah Non Perah Perah Non Perah 1. Pakem 655 50 646 48 9 2 2. Cangkringan 1.277 73 1.276 73 1-3. Tempel 82-82 - - - 4. Turi 33-33 - - - 5. Sleman 14-14 - - - 6. Depok 10-10 - - - 7. Prambanan 2-2 - - - 2.073 123 2.063 121 10 2 Tabel 2. Hasil pengambilan sampel darah dan hasil pengujian tahun 2013 2017 NO Tahun Jumlah sampel Uji Bruc (RBT,CFT) Positip Negatip 1. 2013 1800 6 1794 2. 2014 1.620 44 1.576 3. 2015 1.774 8 1.766 4. 2016 1.375 5 1.370 5. 2017 2.196 12 2.184 Pada ternak sapi yang dinyatakan positip brucellosis dari hasil uji RBT yang dilaksanakan oleh Laboratorium Type C dan dilanjutkan uji CFT yang dilakukan di BBVet Wates telah dilaksanakan potong paksa di RPH Mancasan.

Prevalensi kejadian Penyakit Brucellosis pada sapi perah di dapat dilihat pada tabel 3. Tabel 3. Prevalensi Brucellosis Pada sapi perah di Tahun 2017 NO Kecamatan Jml Sampel yang diambil Hasil Uji Positip Brucellosis Prevalensi (%) 1. Pakem 655 9 1,374 2. Cangkringan 1.277 1 0,078 3. Tempel 82 - - 4. Turi 33 - - 5. Sleman 14 - - 6. Depok 10 - - 7. Prambanan 2 - - 2.073 10 0,482 Dari data di atas dapat dilihat bahwa prevalensi penyakit brucellosis pada sapi perah di adalah 0,482 %, sedangkan prevalensi penyakit brucellosis pada sapi perah di Kecamatan Pakem 1,374% dan Kecamatan Cangkringan 0,078%. KESIMPULAN DAN SARAN KESIMPULAN 1. Saat ini kejadian kasus penyakit Brucellosis di relatif kecil dan masih bisa dikendalikan, walaupun akhir-akhir ini ada peningkatan kasus, tapi dibandingkan populasi ternak yang ada saat ini, prevalensi masih dibawah 2%, yaitu 0,482%. Belum saatnya dilaksanakan vaksinasi brucellosis. 2. Langkah program vaksinasi brucellosis dilakukan untuk daerah dengan prevalensi Brucellosis > 2%. Di saat ini diterapkan program test and slaughter (prevalensi 2%), yaitu mengeluarkan dan memusnahkan sapi-sapi dengan hasil uji menunjukkan positif brucellosis(reaktor). 3. Kerjasama yang baik antara pemerintah Sleman, Provinsi DIY, Lab Type B Prov DIY, BBVet Wates dan peternak dalam pengendalian penyakit Brucellosis memberikan hasil yang positip, sehingga penyakit bisa ditekan.

SARAN 1. Surveilance penyakit Brucellosis harus tetap dilaksanakan secara terus menerus, sehingga kabupaten Sleman dapat mengetahui ada tidaknya penyakit Brucellosis (meningkat atau mengalami penurunan), cara penularan, sumber penularan dan luas sebaran penularannya. 2. Pengawasan lalu lintas ternak, agar lebih ditingkatkan baik kuantitas maupun SDM nya. 3. Sosialisasi pada peternak kaitannya dengan PHM diintensifkan 4. Kerjasama yang baik dalam pengendalian penyakit Brucellosis tetap dipertahankan, antara Pemerintah Daerah dengan Dinas Provinsi DIY, Lab Type B Provinsi DIY, BBVet, dan FKH UGM serta peternak sapi perah. 5. Sosialisasi tentang penyakit hewan menular, khususnya Brucellosis tetap dilaksanakan ke peternak sapi perah 6. Koordinasi dengan instansi terkait dilakukan secara rutin (termasuk dengan Dinas Kesehatan dan Puskesmas) 7. Workshop penyakit Brucellosis untuk medik, paramedik, dan peternak rutin dilaksanakan. (DRH NYOMAN A ANGGRENI T, MEDIK VETERINER MADYA DINAS PERTANIAN, PANGAN, DAN PERIKANAN KABUPATEN SLEMAN)