ANALISIS RUANG TERBUKA HIJAU KOTA DEPOK DENGAN PENDEKATAN MODEL KONSERVASI AIR MELALUI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TETY NOFALINA

dokumen-dokumen yang mirip
ANALISIS RUANG TERBUKA HIJAU KOTA DEPOK DENGAN PENDEKATAN MODEL KONSERVASI AIR MELALUI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TETY NOFALINA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III BAHAN DAN METODE

Gambar 13. Citra ALOS AVNIR

BAB II DASAR TEORI. 2.1 DEM (Digital elevation Model) Definisi DEM

q Tujuan dari kegiatan ini diperolehnya peta penggunaan lahan yang up-to date Alat dan Bahan :

Phased Array Type L-Band Synthetic Aperture Radar (PALSAR)

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. DEM ( Digital Elevation Model

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

METODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok

Gambar 1. Lokasi Penelitian

II. TINJAUAN PUSTAKA

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian 3.2 Lokasi Penelitian

III. METODOLOGI PENELITIAN

Legenda: Sungai Jalan Blok sawah PT. Sang Hyang Seri Kabupaten Subang

Gambar 2. Peta Batas DAS Cimadur

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan

LOGO Potens i Guna Lahan

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian

III. BAHAN DAN METODE

MATA KULIAH PRASARANA WILAYAH DAN KOTA I (PW ) Jur. Perencanaan Wilayah dan Kota FTSP INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA

III. BAHAN DAN METODE

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

3 METODE. Lokasi dan Waktu Penelitian

IDENTIFIKASI KARAKTERISTIK RUANG TERBUKA HIJAU PADA KOTA DATARAN RENDAH DI INDONESIA (Studi Kasus: Kota Banjarmasin, Yogyakarta, dan Medan)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Gambar 7. Lokasi Penelitian

Pengembangan RTH Kota Berbasis Infrastruktur Hijau dan Tata Ruang

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kota diartikan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang

Penelitian Untuk Skripsi S-1 Program Studi Geografi. Diajukan Oleh : Mousafi Juniasandi Rukmana E

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi

PERANAN CITRA SATELIT ALOS UNTUK BERBAGAI APLIKASI TEKNIK GEODESI DAN GEOMATIKA DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

III. BAHAN DAN METODE

Pembangunan Geodatabase Ruang Terbuka Hijau Kota Bandung

PENDAHULUAN. banyaknya daerah yang dulunya desa telah menjadi kota dan daerah yang

1. BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 5. A. IDENTIFIKASI CITRA PENGINDERAAN JAUH a. Identifikasi Fisik

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan

ANALISISPERUBAHAN TUTUPAN LAHAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI WAMPU, KABUPATEN LANGKAT, SUMATERA UTARA

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

3. METODE PENELITIAN. Gambar 2. Peta administrasi Kota Sintang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR FISIK YANG MEMPENGARUHI PRODUKTIVITAS PADI SAWAH DENGAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB III METODE PENELITIAN

EKSPLORASI ALOS PALSAR MENGGUNAKAN POLSARPRO V3.0 DENGAN AREAL KAJIAN PT. SANG HYANG SERI, SUBANG, JAWA BARAT. Oleh : DERY RIANSYAH A

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Perumusan Masalah

III. BAHAN DAN METODE

II. TINJAUAN PUSTAKA. Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah suatu bentuk ruang terbuka di kota (urban

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Banjir 2.2 Tipologi Kawasan Rawan Banjir

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KECAMATAN SEWON KABUPATEN BANTUL TAHUN 2006 DAN 2014 BERDASARKAN CITRA QUICKBIRD

Aplikasi Penginderaan Jauh Untuk Monitoring Perubahan Ruang Terbuka Hijau (Studi Kasus : Wilayah Barat Kabupaten Pasuruan)

BAB III METODE PENELITIAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

TINJAUAN PUSTAKA. lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan kota seringkali menyebabkan terjadinya perubahan kondisi ekologis lingkungan perkotaan yang

BAB III. Penelitian inii dilakukan. dan Danau. bagi. Peta TANPA SKALA

2016 KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU BERD ASARKAN JUMLAH PEND UD UK D I KECAMATAN JATINANGOR KABUPATEN SUMED ANG

Perhitungan Ruang Terbuka Hijau Perkotaan Jenis Publik (Studi Kasus : Kota Surakarta)

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Secara Geografis Kota Depok terletak di antara Lintang

KAJIAN DAERAH RAWAN BENCANA TSUNAMI BERDASARKAN CITRA SATELIT ALOS DI CILACAP, JAWA TENGAH

III. METODE PENELITIAN

DETEKSI EKOSISTEM MANGROVE DI CILACAP, JAWA TENGAH DENGAN CITRA SATELIT ALOS

ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU PUBLIK DI KOTA BITUNG

ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU KECAMATAN KOTA TENGAH KOTA GORONTALO. Sri Sutarni Arifin 1. Intisari

REMOTE SENSING AND GIS DATA FOR URBAN PLANNING

II. TINJAUAN PUSTAKA

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

APLIKASI PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI UNTUK KESESUAIAN LAHAN PERMUKIMAN KOTA BEKASI. Dyah Wuri Khairina

ANALISIS KESESUAIAN LAHAN PERUMAHAN KELAS MENENGAH MENGGUNAKAN DATA PENGINDERAAN JAUH DENGAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI KOTA SURABAYA

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 39/Menhut-II/2009,

SISTEM INFORMASI GEOGRAFI. Data spasial direpresentasikan di dalam basis data sebagai vektor atau raster.

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN

ANALISIS KESESUAIAN MEDAN UNTUK BANGUNAN MENGGUNAKAN PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI KECAMATAN PAJANGAN KABUPATEN BANTUL

DAFTAR ISI. ABSTRAK... i KATA PENGANTAR... ii DAFTAR ISI... iv DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR xiii BAB I PENDAHULUAN... 1

III METODOLOGI. 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil analisis mengenai dampak perubahan penggunaan lahan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 8. SUPLEMEN PENGINDRAAN JAUH, PEMETAAN, DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG)LATIHAN SOAL 8.3.

PENDAHULUAN Latar Belakang

III. METODOLOGI. Gambar 2. Peta lokasi penelitian di DAS Ciliwung bagian hulu

ANALISIS PERUBAHAN TUTUPAN VEGETASI BERDASARKAN NILAI NDVI DAN FAKTOR BIOFISIK LAHAN DI CAGAR ALAM DOLOK SIBUAL-BUALI SKRIPSI

METODE PENELITIAN Lokasi dan waktu Bahan dan Alat

PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN DI TAMAN NASIONAL KERINCI SEBLAT KABUPATEN PESISIR SELATAN PROVINSI SUMBAR HANDY RUSYDI

Rizqi Agung Wicaksono Zuharnen Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta ABSTRACT

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan pesat di seluruh wilayah Indonesia. Pembangunan-pembangunan

KAJIAN KAWASAN RAWAN BANJIR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DI DAS TAMALATE

Transkripsi:

ANALISIS RUANG TERBUKA HIJAU KOTA DEPOK DENGAN PENDEKATAN MODEL KONSERVASI AIR MELALUI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TETY NOFALINA DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

ABSTRAK TETY NOFALINA. Green Open Space Analysis Depok with Water Conservation Model Approach through Geographic Information System. Supervised by BABA BARUS and KHURSATUL MUNIBAH Decrease in the quality and quantity of Green Open Space is closely related to land-use change, from green coverage to build-up area. Kota Depok has 40.68% private RTH and 9.32% public RTH (Bappeda, 2007). The Private RTH is exceeded the standard regulation as 10%, while the public RTH is smaller than the standard regulation as 20%. However, this is in line the Act No. 26, 2007, where RTH at least 30% of the total area. Current problems in the city of Depok is flooding that occurred in some districts, namely Sub Cimanggis and Sukmajaya. The location of RTH may relate to this phenomena. The purposes of this study were to (a) analyze Depok RTH model approach to water conservation with some parameters (slope class, precipitation, type of geology, soil types and land use), (b) create water zone conservation areas to determine RTH Depok (c) to recommende land use based Land Water Conservation and, (d) analyze relationship between conservation water with RTH. The model of water conservation approach used scoring system for each component of parameter. ALOS imagery AVNIR was used for land use identification which was the main parameter, and Geographic Information System (GIS) is used to combine all the parameters. The results show that Depok for RTH area is 7.765,61ha (38,48%) and area for Non RTH 12.417,695 ha (61,52%). This is accordance to the Law No. 26, 2007, where the proportion of RTH at least 30% of the total area. Depok has 6.995,6 Ha (34.66%) the private RTH that exceeds the maximum standard of 10% and the public RTH is only 769,9 Ha (3.82%) below the maximum standard of 20%. Based on the model of water conservation approach, in every sub district in Depok City has an area of high conservation level, and Sawangan has water

conservation zones covering a high level of 12.9% which indicates that most land in Sawangan is RTH. Sub districts of Sukmajaya and Cimanggis have a high level water conservation zones area only in small number, are 267,6 Ha (1,3%) and 169,7 Ha (0,8%) and the areas are dominated by the settlements. This may explain why these two districts are experienced with local flooding. To reduce the local flooding occurring in both districts, it is important to build a larger RTH compared to other districts and to select an appropriate land use that high capacity to absorb water. The suggestions are to expand forests in the District Cimanggis and Sukmajaya or to make change to undergrowth crops in forest or others. There is a high correlation (66,67%) between RTH and water conservation area in Depok. The higher of RTH area indicate the higher of the water conservation area.

RINGKASAN TETY NOFALINA. Analisis Ruang Terbuka Hijau Kota Depok dengan Pendekatan Model Konservasi Air melalui Sistem Informasi Geografis. Dibawah bimbingan BABA BARUS dan KHURSATUL MUNIBAH Penurunan kualitas dan kuantitas Ruang Terbuka Hijau (RTH) berkaitan erat dengan kegiatan perubahan penggunaan lahan dari kawasan bervegetasi menjadi kawasan terbangun. Kota Depok memiliki RTH privat sebesar 40,68% dan RTH publik sebesar 9,32% (Bappeda, 2007). RTH privat telah melampaui standar 10%, sedangkan RTH publik masih lebih kecil dari standar 20%. Namun demikian, hal ini telah sesuai dengan UU RI No. 26 tahun 2007 dimana RTH minimal 30% dari luas wilayah. Permasalahan yang ada pada Kota Depok adalah banjir yang terjadi di beberapa Kecamatan di Kota Depok, yaitu Kecamatan Cimanggis dan Sukmajaya. Hal ini mungkin disebabkan penempatan RTH yang tidak merata penyebarannya. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis RTH Kota Depok dengan pendekatan model konservasi air dengan beberapa parameter (kelas lereng, curah hujan, jenis geologi, jenis tanah dan penggunaan lahan), membuat zona kawasan konservasi air untuk menentukan RTH Kota Depok, Rekomendasi Penggunaan Lahan berdasarkan Konservasi Air dan menganalisis hubungan antara tingkat konservasi air dengan RTH. Pendekatan Model Konservasi Air menggunakan sistem pengharkatan (scoring) tiap komponen parameter dan pembobotan tiap parameter yang digunakan. Citra ALOS AVNIR digunakan untuk identifikasi penggunaan lahan yang merupakan parameter utama dan Sistem Informasi Geografis (SIG) digunakan untuk mengkombinasikan seluruh parameter. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kota Depok memiliki luas RTH sebesar 7.765,6 Ha (38,48%) dan Non RTH sebesar 12.417,7 Ha (61,52%). Hal ini telah sesuai UU RI No. 26 Tahun 2007, dimana proporsi RTH minimal 30% dari luas wilayah. Kota Depok memiliki luas RTH privat 6.995,6 Ha (34,66%) melebihi standar maksimal yaitu 10% dan RTH publik hanya 769,9 Ha (3,82%) dibawah standar maksimal yaitu 20%.

Berdasarkan pendekatan model konservasi air, di setiap kecamatan di Kota Depok memiliki wilayah tingkat konservasi tinggi, dan Kecamatan Sawangan memiliki zona konservasi air tingkat tinggi seluas 12,9% yang menunjukkan bahwa sebagian besar penggunaan lahan di Kecamatan Sawangan merupakan RTH. Kecamatan Cimanggis dan Sukmajaya memiliki zona konservasi air tingkat tinggi hanya seluas 0,8% dan 1,3%. Hal ini kemungkinan yang menyebabkan kedua kecamatan ini mengalami banjir lokal, dimana kedua kecamatan ini didominasi oleh pemukiman. Untuk mengatasi banjir lokal yang terjadi pada kedua kecamatan ini, maka perlu dibangun RTH yang lebih besar (luasan) dibandingkan kecamatan lain dan pemilihan penggunaan lahan yang tepat (meresapkan air). Disarankan memperluas hutan di Kecamatan Cimanggis dan Sukmajaya atau melakukan perubahan lahan dari tegalan menjadi semak belukar atau hutan. Hal ini karena semak belukar dan hutan memiliki daya serap air lebih tinggi dibandingkan tegalan). Hubungan tingkat konservasi air dengan RTH di Kota Depok berbanding lurus sekitar 66,67%, dimana jika nilai tingkat konservasi air tinggi maka RTH pun tinggi dalam hal luasan.

ANALISIS RUANG TERBUKA HIJAU KOTA DEPOK DENGAN PENDEKATAN MODEL KONSERVASI AIR MELALUI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TETY NOFALINA Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

Judul Nama NRP : Analisis Ruang Terbuka Hijau Kota Depok Dengan Pendekatan Model Konservasi Air Melalui Sistem Informasi Geografis : Tety Nofalina : A14053783 Menyetujui: Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II Dr. Ir. Baba Barus, M.Sc. Dr. Khursatul Munibah, M.Sc. NIP: 19610101 198703 1 004 NIP: 19620515 199003 2 001 Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Dr. Ir. Syaiful Anwar, M.Sc. NIP. 19621113 198703 1 003 Tanggal Pengesahan

RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 1 April 1987 di Sukoharjo, Solo, Jawa Tengah dari pasangan Bambang Sutejo dan Sudarti sebagai anak pertama dari dua bersaudara. Penulis memulai pendidikan formal di SD Negeri 07 Pagi Jakarta Timur pada tahun 1993-1999, meneruskan pendidikan di SLTP Negeri 102 Jakarta Timur pada tahun 1999-2002. Kemudian melanjutkan pendidikan di SMU Negeri 39 Jakarta Timur pada tahun 2002-2005. Pada tahun 2005 penulis diterima sebagai mahasiswa TPB (Tingkat Persiapan Bersama) Institut Pertanian Bogor melalui SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru). Pada tahun 2006 diterima di Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian. Selama mengikuti perkuliahan, penulis berkesempatan menjadi asisten praktikum pada mata kuliah Sistem Informasi Geografi dan Kartografi, serta Geomorfologi dan Analisis Lanskap pada tahun ajaran 2008-2009, dan mata kuliah Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra pada tahun ajaran 2009-2010.

KATA PENGANTAR Assalamu alaikum Wr. Wb Puji syukur kepada Allah SWT dan shalawat serta salam tercurah kepada Nabi Muhammad SAW karena berkat rahmat dan hidayahnya maka penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Analisis Ruang Terbuka Hijau Kota Depok Dengan Pendekatan Model Konservasi Air Melalui Sistem Informasi Geografis. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Hormat serta rasa terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Baba Barus, M.Sc. dan Ibu Dr Khursatul Munibah, M.Sc. selaku Pembimbing Skripsi serta Bapak Dr. Boedi Tjahjono selaku dosen penguji atas segala ilmu, arahan, nasehat, motivasi dan kesabaran kepada penulis selama ini. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa hormat dan terima kasih kepada : 1. Ibu dan Bapak tercinta serta Arun adikku tersayang atas segala kasih sayang, do a, dukungan yang tak henti-hentinya dicurahkan serta kesabaran kepada penulis selama ini 2. Indra Banagi atas cinta, kasih sayang, motivasi, dukungan dan do a yang diberikan serta waktu yang banyak diluangkan kepada penulis 3. De Bangkit atas perhatian, motivasi dan waktu yang diberikan kepada penulis 4. Staf Bappeda Kotamadya Depok Atas bantuan dalam mendapatkan data yang diperlukan penulis 5. Rasa terima kasih yang mendalam kepada Mbak Reni atas bimbingan, ilmu, nasehat, motivasi, kesabaran dan keikhlasan hati kepada penulis 6. Bapak Diar, Mbak Elly dan Kak Aris atas bantuan materi kepada penulis 7. Crew Lab PPJ (Pak Manijo, Mbak Annisa, Mbak Agi, Nurul) atas kebersaman dan masukan kepada penulis

8. Ajeng, Dyna, Eka Nurwita, Monica, Puput dan Rahardian (Genk Gonk) atas kebersamaan dalam suka dan duka serta canda tawa dan hari-hari yang kita lalui bersama selama ini 9. Stevia crew (K Aly Ndut, K Prama, K Rendy, K David, K Rusdi, K Prima, K Abdul, K Hamid), Moshi-moshi crew (K Zaqy, K Tulus, K Hendra, Mba Eva, Mba Eni, Mba Misri) dan Gift Shop atas ketersediaan meluangkan waktu, canda tawa dan kesabaran kepada penulis 10. Specially for Ali Msum, Carlos, Ganda dan Awank. 11. Teman-teman seperjuangan di Bagian Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial : Anter, Ai, Rizma, Linda, Rani, Rinjani Yusni, Nadia, Aufa, Benk2, Tyo dan Yudi atas kebersamaan dan kesenangan selama ini 12. Semua teman-teman seperjuangan Soiler 42 atas kebersamaan yang telah dilalui 13. Teman-teman Pondok Annisa atas kebersamaan dalam suka ataupun duka 14. Semua pihak yang membantu kelancaran dalam penelitian dan penulisan skripsi ini Penulis berharap skripsi ini bermanfaat bagi pihak yang membutuhkan maupun penulis secara pribadi. Saran dan kritik sangat diharapkan demi kesempurnaan skripsi ini serta pengembangan ilmu pendidikan. Bogor, Januari 2010 Penulis

DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... iii DAFTAR TABEL... v DAFTAR GAMBAR... xiii DAFTAR LAMPIRAN... ix I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Tujuan...3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perubahan Penggunaan Lahan... 4 2.2. Kawasan Perkotaan... 5 2.3. Ruang Terbuka Hijau... 5 2.4. Konservasi Air... 8 2.4.1.RTH sebagai Peresapan Air... 9 2.5. Sistem Informasi Geografis... 9 2.5.1.Analisis Spasial... 10 2.6. Penginderaan Jauh... 11 2.6.1.Satelit ALOS... 11 2.6.2.Sensor PRISM... 13 2.6.3.Sensor PALSAR... 14 2.6.4.Sensor AVNIR... 15 III. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Lokasi...17 3.2. Bahan dan Alat...... 17 3.3. Metode...... 18 3.3.1.Tahap Pengumpulan Data... 18 3.3.2.Tahap Pengolahan Data... 20 3.3.3.Pembuatan Peta Curah Hujan... 22 3.3.4.Pembuatan Peta Lereng... 22

3.3.5.Analisis Data Atribut... 22 3.3.6.Analisis Kelas Zona Konservasi Air... 26 IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Letak dan Luas Area...28 4.2. Kondisi Fisik...28 4.3. Demografi Kota Depok...30 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Citra ALOS AVNIR...32 5.2. Analisis Parameter Pendekatan Model Konservasi Air...35 5.3. Analisis Ruang Terbuka Hijau Kota Depok...39 5.4. RTH Kota Depok ditinjau dari RTRW...41 5.5. Analisis Pendekatan Model Konservasi Air...44 5.6. Rekomendasi Penggunaan Lahan berdasarkan Konservasi Air...45 5.7. Hubungan Tingkat Konservasi Air dengan RTH...47 VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan...48 6.2. Saran...48 VII. DAFTAR PUSTAKA...50 LAMPIRAN...52

DAFTAR TABEL Tabel Halaman 1. Karakteristik Umum Satelit ALOS... 12 2. Karakteristik Sensor PRISM... 14 3. Karakteristik Sensor PALSAR... 15 4. Karakteristik Sensor AVNIR... 16 5. Nama Bahan Penelitian... 18 6. Nama Alat Penelitian... 18 7. Skor untuk Kelas Curah Hujan... 24 8. Skor untuk Kelas Penggunaan Lahan... 24 9. Skor untuk Kelas Kemiringan Lereng... 25 10. Skor untuk Kelas Jenis Tanah... 25 11. Skor untuk Kelas Geologi... 26 12. Bobot Parameter Konservasi Air... 26 13. Nilai tingkat Konservasi Air... 27 14. Data kondisi iklim di Kota Depok... 29 15. Distribusi Situ di Kota Depok... 30 16. Luas Penggunaan Lahan Kota Depok...39 17. Luas dan Persentase RTH Kota Depok...40 18. Luasan RTRW Kota Depok...41 19. Wilayah Konservasi Air Tiap Kecamatan... 44 20. Penggunaan Lahan Konservasi Air Tinggi Tiap Kecamatan...45 21. RTH dan Tingkat Konservasi Air...47

DAFTAR GAMBAR Gambar Halaman 1. Satelit ALOS... 12 2. Sensor PRISM... 13 3. Prinsip Geometri PRISM... 13 4. Sensor PALSAR... 14 5. Prinsip Geometri Sensor PALSAR... 15 6. Sensor AVNIR... 16 7. Prinsip Geometri Sensor AVNIR... 16 8. Wilayah Administrasi Kota Depok... 17 9. Bagan alir proses analisis Konservasi Air... 19 10. Diagram Alir Analisis Citra ALOS... 20 11. Tampilan menu Model Builder... 22 12. Zona Tingkat Konservasi Air Aktual Kota Depok... 27 13. Citra ALOS AVNIR... 32 14. Citra ALOS AVNIR wilayah Kota Depok... 33 15. Kelas Lereng Kota... 34 16. Kontur Kota Depok... 34 17. Jenis Geologi Kota Depok... 35 18. Curah Hujan Kota Depok... 35 19. Jenis Tanah Kota Depok... 36 20. Penggunaan Lahan Kota Depok... 38 21. RTRW Kota Depok Periode 2000-2010... 42 22. RTH Publik dan Privat pada RTRW... 43 23. RTH Hasil Interpretasi Citra ALOS AVNIR... 43 24. Zona Kawasan Tingkat Konservasi Air... 44

DAFTAR LAMPIRAN Lampiran Halaman 1. Jumlah Penduduk Kota Depok... 52 2. Luas Penggunaan Lahan Tiap Kecamatan Kota Depok... 53

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan penggunaan lahan kota dari kawasan bervegetasi menjadi kawasan terbangun mengakibatkan ketidakseimbangan ekologi kota, seperti menurunnya luas dan jumlah Ruang Terbuka Hijau (RTH). RTH kota adalah bagian dari lahan terbuka dalam suatu kota yang didominasi oleh tanaman baik yang tumbuh secara alami maupun dibudidayakan yang memiliki manfaat dan fungsi terhadap kelestarian alam, kesehatan, kenyamanan, kesejahteraan manusia dan keindahan lingkungan. Fungsi RTH dapat berbentuk hutan kota, taman kota, taman pemakaman umum, lapangan olahraga, jalur hijau, jalan raya, bantaran rel kereta api, bantaran sungai dan kawasan pertanian. RTH disebut sebagai kawasan konservasi air karena merupakan kawasan penyimpan air khususnya disaat hujan. Tingginya tingkat perkembangan kota Jakarta yang berdampak tidak langsung terhadap kota penyangga seperti Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (BODETABEK) mengalami perkembangan yang cepat pula. Daerah yang mengalami perkembangan tinggi seperti Jakarta memerlukan merupakan aktivitas industri yang tinggi pula. Namun, kota Jakarta sudah hampir tidak memiliki ruang untuk aktifitas industri, maka muncul daerah-daerah industri dengan akses ddi sekitar kota Jakarta. Perkembangan wilayah penyangga ini kemudian diikuti oleh proses alih guna lahan yang cenderung berdampak positif terhadap perkembangan ekonomi, maupun sebaliknya berdampak negatif dari segi fisik dan sosial. Oleh karena itu, dalam melaksanakan pembangunan perlu adanya keseimbangan dalam pemanfaatan sumberdaya yang didayagunakan secara terencana. Berdasarkan PP No. 47 tahun 1997, kota Depok merupakan salah satu kota yang termasuk di dalam Kawasan Bopunjur, dengan pemanfaatan ruang yang sangat terbatas sesuai dengan fungsinya, yaitu sebagai kawasan konservasi air dan tanah, yang memiliki nilai strategis sebagai kawasan yang dapat memberikan perlindungan terhadap kawasan di bawahnya yaitu, provinsi Jawa Barat dan DKI Jakarta. Sesuai dengan kondisi geografisnya, kota Depok merupakan wilayah penyangga DKI Jakarta yang secara langsung akan berfungsi sebagai kawasan

2 limpahan dan tekanan dari pertumbuhan kota Jakarta dan juga sektor lain diantaranya ekonomi, perdagangan, komersial dan pendidikan. Menurut Laporan Akhir Penyusunan Strategi Ruang Terbuka Hijau Kota Depok Tahun 2007 yang disusun oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Depok menunjukkan bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi dan laju pertumbuhan penduduk Depok mencapai 6,75 persen per tahun. Hal ini telah mendorong dilakukannya pembangunan permukiman di atas lahan-lahan yang sebenarnya merupakan daerah resapan air. Kejadian ini bertentangan dengan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang se- Jabodetabekjur (Jakarta, Bogor, Depok, Jakarta, Bekasi, dan Cianjur) yang menyatakan bahwa Depok selalu diarahkan sebagai kota penyangga Jakarta, termasuk dalam hal penyediaan air tanah dan pengendalian banjir. Di wilayah perkotaan banjir dapat disumbangkan dari berkurangnya RTH kota. Masalah umum ini terjadi di sebagian wilayah Indonesia terutama di wilayah padat penduduk. Faktor alam berupa curah hujan menjadi kontribusi besar penyebab banjir selain tindakan manusia yang menyebabkan perubahan tata guna lahan secara cepat dan tak terkendali yang mengakibatkan banjir dan juga longsor. Pertambahan penduduk yang pesat akibat urbanisasi maupun kelahiran dapat berdampak secara langsung terhadap perluasan permukiman. Hal ini dapat menyebabkan berkurangnya kawasan bervegetasi dan secara langsung dapat meningkatnya run off sehingga debit air tersebut langsung terbuang ke sungai. Pada saat hujan, hampir 30% wilayah kota Depok tergenang oleh air dengan kedalaman ± 0,45m, sehingga fenomena alam berupa banjir ini menjadi konflik di wilayah kota Depok yang difungsikan sebagai kawasan resapan air. Hal ini diakibatkan oleh adanya tekanan penduduk yang sangat tinggi dan akibat perkembangan seluruh sektor pembangunan kota Jakarta. Menurut UU RI No. 26 Tahun 2007, luas RTH dengan proporsi minimal sebesar 30% dari luas wilayah yang diperinci menjadi 20 % RTH publik dan 10 % RTH privat. Adapun luas RTH di wilayah Kota Depok menurut Bappeda(2007) adalah RTH privat sebesar 40,68% atau melebihi standar maksimal (10%) dan RTH publik hanya sebesar 9,32%, yaitu di bawah standar maksimal (20%).

3 Untuk mempelajari lebih lanjut tentang perkembangan RTH di wilayah Kota Depok ini, maka diperlukan kajian tentang penutupan atau penggunaan lahan beserta perubahannya yang dapat dianalisis melalui data penginderaan jauh dan tehnologi SIG (Sistem Informasi Geografis). Metode ini dapat didekati dengan model konservasi air untuk mengetahui zona-zona kawasan konservasi air seperti yang diharapkan UU RI No. 26 Tahun 2007. 1.2. Tujuan Penelitian a) Pemetaan zona konservasi air aktual melalui Model Konservasi Air b) Menganalisis RTH berdasarkan zona konservasi aktual sesuai UU No. 26 Tahun 2007 c) Rekomendasi Penggunaan Lahan berdasarkan Konservasi Air d) Menganalisis hubungan antara tingkat konservasi air dengan RTH

4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perubahan Penggunaan Lahan Pengertian lahan berbeda dengan tanah, namun dalam kenyataan sering terjadi kekeliruan dalam memberikan batasan pada kedua istilah tersebut. Tanah merupakan suatu benda alami heterogen yang terdiri dari komponen-komponen padat, cair dan gas yag memiliki sifat dan perilaku yang dinamik. Benda alami ini terbentuk dari hasil interaksi antara iklim dan jasad hidup terhadap suatu bahan induk yang dipengaruhi relief tempatnya terbentuk dan waktu. Sedangkan lahan merupakan lingkungan fisik yang terdiri atas iklim, relief, tanah, air, vegetasi dan benda yang memiliki pengaruh terhadap pengguanan lahan. Termasuk di dalamnya kegiatan manusia di masa lalu dan sekarang (Arsyad,1989). Penggunaan lahan adalah penggunaan lahan utama atau kedua (apabila merupakan penggunaan lahan berganda) dari sebidang lahan pertanian, lahan hutan, padang rumput dan sebagainya. Jadi penggunaan lahan lebih mengarah dalam pengertian tingkat pemanfaatan oleh masyarakat. Penggunaan lahan (landuse) merupakan suatu bentuk campur tangan manusia terhadap lahan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya baik materil maupun spiritual. Menurut Arsyad (1989) penggunaan lahan dibagi atas dua golongan besar yaitu, penggunaan lahan pertanian dan penggunaan lahan non pertanian. Penggunaan lahan pertanian dibagi kembali berdasarkan atas penyediaan air dan komoditi yang diusahakan, dimanfaatkan atau yang terdapat di atas lahan tersebut, seperti pengunaan lahan sawah, tegalan, hutan lindung, kebun karet dan sebagainya. Sedangkan penggunaan lahan non pertanian dapat dibedakan ke dalam penggunaan lahan kota atau desa (permukiman), industri, rekreasi, pertambangan dan sebagainya. Penggunaan lahan merupakan salah satu produk kegiatan manusia di permukaan bumi yang memiliki berbagai macam variasi bentuk. Perubahan penggunaan lahan merupakan kombinasi dari hasil interaksi faktor sosial ekonomi, politik dan budaya. Manusia menjadi faktor utama terbentuknya berbagia macam pola penggunaan lahan serta terhadap perubahan-perubahan sebagai akibat aktivitasnya di atas permukaan bumi.

5 Analisis mengenai perubahan penggunaan lahan merupakan suatu alat untuk memperkirakan perubahan ekosistem dan implikasi lingkungannya pada skala waktu dan keruangan yang bervariasi. Yang termasuk perubahan pada penutupan lahan adalah perubahan keanekaragaman biotik, produktifitas yang utama dan aktual, kualitas tanah, alieran permukaan serta kecepatan sedimentasi (Meyer and Turner, 1994; Kikuchi, 1999 dalam Zain, 2002). 2.2. Kawasan Perkotaan Kawasan perkotaan adalah suatu bentuk lanskap buatan manusia, yang terjadi akibat manusia dalam mengelola kepentingan hidupnya Pada umumnya, pengertian kota dicirikan oleh tingginya kepadatan ruang terbangun, dengan sruktur bangunan yang semakin rapat. Dalam sebuah kota terjadi kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsinya sebagai tempat permukiman, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi (Eckbo, 1964). Branch (1995) mengartikan kota sebagai tempat tinggal dari beberapa ribu penduduk atau lebih. Perkotaan diartikan sebagi area terbangun dengan struktur dan jalan-jalan, sebagai suatu permukiman yang terpusat pada suatu area dengan kepadatan tertentu yang membutuhkan sarana dan pelayanan pendukung yang lengkap dibandingkan dengan yang dibutuhkan di daerah pedesaan. Perkembangan dan pembangunan kota juga berdampak pada berkurangnya keberadaan suatu ruang terbuka hijau di perkotaan. Hal ini akibat adanya perubahan penutupan dan penggunaan lahan di sebuah kota (Putri, 2006). 2.3. Ruang Terbuka Hijau Manusia yang tinggal di lingkungan perkotaan menbutuhkan lingkungan yang sehat dan bebas polusi untuk hidup dengan nyaman. Peran RTH untuk memenuhi kebutuhan ini adalah sebagai penyumbang ruang bernafas yang segar, keindahan visual, sebagai paru-paru kota, sumber air dalam tanah, mencegah erosi, keindahan dan kehidupan satwa, menciptakan iklim dan sebagai unsur pendidikan (Simond, 1983). Dalam RTH pemanfaatannya lebih bersifat pengisian hijau tanaman atau tumbuh-tumbuhan secara alamiah ataupun budidaya tanaman, seperti lahan pertanian, pertanaman, perkebunan dan sebagainya.

6 Berikut ini beberapa definisi dari RTH (Ruang Terbuka Hijau) : RTH adalah bagian dari ruang terbuka kota yang didefinisikan sebagai ruang terbuka yang pemanfaatannya lebih bersifat pada penghijauan tanaman dan tumbuhan secara alamiah ataupun buatan (budidaya tanaman) seperti lahan pertanian, pertanaman, perkebuanan dan laiannya (INMENDAGRI No. 14 tahun 1988). RTH adalah ruang- ruang dalam kota atau wilayah yang lebih luas, baik dalam bentuk area/kawasan maupun dalam bentuk area memanjang/jalur dimana dalam penggunaannya lebih bersifat terbuka yang pada dasarnya tanpa bangunan (Dinas Pertanaman DKI, 1988). RTH adalah ruang terbuka yang ditanami dengan tanaman, mulai dari yang bersifat alamiah seperti, rumput, jalur hijau, taman bermain dan taman lingkungan di daerah permukiman (Nurisjah, 1997). RTH adalah suatu ruang terbuka yang ditumbuhi oleh pepohonan dengan persentase ideal 20-30% dari luas bidang tanah termasuk yang ditempati bangunan rumah, misalnya halaman rumah (Handiktc (1997) dalam Wijayanti, 2003). Ruang terbuka hijau merupakan salah satu bentuk konsep untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup di wilayah perkotaan. Pengembangan RTH di perkotaan diupayakan membuka peluang terciptanya kawasan hijau bersifat alami dengan vegetasi jenis tanaman yang merupakan bagian dari penataan ruang kota sebagai kawasan hijau (Purnomo, 2001). a) Ruang Terbuka Hijau Perkotaan RTH wilayah perkotaan adalah ruang dalam kota atau wilayah yang lebih luas, dimana didominasi oleh tanaman dan tumbuh-tumbuhan secara alami (Slamet, 2003 dalam Putri, 2006). Ruang terbuka hijau memiliki kekuatan untuk membentuk karakter kota dan menjaga kelangsungan hidupnya. Tanpa keberadaan ruang terbuka hijau di kota akan mengakibatkan ketegangan mental bagi manusia yang tinggal di dalamnya. Oleh karena itu, perencanaan ruang terbuka harus dapat memenuhi keselarasan harmoni antara struktural kota dan alamnya, bentuknya bukan sekedar taman, lahan kosong untuk rekreasi atau lahan penuh tumbuhan

7 yang tidak dapat dimanfaatkan penduduk kota (Simon, 1983 dalam Roslita, 1997). Menurut Instruksi Mendagri No. 14 Tahun 1988 tujuan dibentuk atau disediakannya ruang terbuak hijau di wilayah perkotaan adalah (1) meningkatkan mutu lingkungan hidup perkotaan dan sebagai paengaman sarana lingkungan perkotaam, (2) menciptakan keserasian lingkungan alam dan lingkungan binaan yang berguna bagi kepentingan masyarakat. Menurut Nurisjah (1997), RTH di wilayah perkotaan mempunyai manfaat yang tingi dalam memelihara dan meningkatkan kualitas lingkungan perkotaan, keberadaan massa tanaman ini dapat memperbaiki dan meningkatkan keindahan visual dan estetika alami, kendahan dan habitat satwa, artifak sejarah, perlindungan plasma nutfah dan mengandung nilai sosial ekonomi. b) Komponen Ruang Terbuka Hijau Beberapa komponen RTH berdasarkan kriteria, sasaran dan fungsi penting, vegetasi serta intensitas manajemennya dikategorikan dalam : Taman Memiliki fungsi utama menghasilkan oksigen. Oleh karena itu jenis tanaman yang dibudidayakan dipilih dari jenis-jenis yang menghasilkan oksigen tinggi. Jalur Hijau Termasuk didalamnya adalah pepohonan peneduh pinggir jalan, lajur hijau di sekitar sungai dan hijauan di tempat parkir maupun ruang terbuka hijau lainnya. Kebun dan pekarangan Selain bertujuan untuk produksi, kebun dan pekarangan diharapkan mendukung kenyaman lingkungan perkotaan. Tempat-tempat rekreasi Hutan Merupakan suatu penerapan beberapa fungsi hutan seperti ameliorasi iklim, hidrologi dan penangkalan pencemaran. Fungsi-fungsi ini bertujuan mengimbangi kecenderungan menurunnya kualitas lingkungan. Berbagai potensi dan peluang hutan kota akan mengatasi, mencegah dan mengendalikan krisis lingkungan.

8 c) Fungsi Ruang Terbuka Hijau Peran pertumbuhan dalam RTH tidak hanya terbatas pada fungsi produksinya dipandang dari nilai ekonomis dan fungsi estetis sertafungsi kreatifnya dipandang dari segi arsitektural tapi juga fungsi ekologisnya. Selanjutnya dalam Instruksi Mendagri No. 14 Tahun 1988 manfaat RTH antara lain : Sebagai areal perlindungan berlangsungnya funsi ekosistem dan penyangga kehidupan. Sebagai sarana untuk menciptakan kebersihan, kesehatan, keserasian dan kehidupan lingkungan. Sebagai sarana rekreasi. Sebagai pengaman lingkungan hidup perkotaan terhadap berbagai macam pencemaran baik di darat, peraiaran maupun udara. Sebagai sarana penelitian dan pendidikan serta penyuluhan bagi masyarakat untuk membentuk kesadaran lingkungan. Sebagai tempat perlindungan plasma nutfah. Sebagai sarana untuk mempengaruhi dan memperbaiki iklim mikro. Sebagai pengatur tata air. 2.4. Konservasi Air Konservasi adalah upaya manusia untuk mempertahankan, meningkatkan, mengembalikan atau merehabilitasi daya guna lahan sesuai peruntukannya. Konservasi dalam manajemen sumber daya air, adalah mengadakan usaha perlindungan air dan sumber air dengan titik berat pada pengaturan, pengamanan dan pengendalian terhadap kerusakan air dan daerah resapan, dan meningkatkan pengelolaan sungai, danau/situ, dan sumber air lainnya dalam rangka terjaminnya ketersediaan air secara kesinambungan (Arsyad, 1989). Konservasi air pada dasarnya adalah penggunaan air yang jatuh ke tanah seefisien mungkin dan pengaturan waktu aliran sehingga tidak terjadi banjir yang merusak dan terdapat cukup air pada saat musim kemarau. Terdapat dua cara konservasi air, yaitu memelihara jumlah dan kualitas air melalui cara pengelolaan dan penggunaan tanah yang baik serta memaksimalkan manfaat air melalui

9 penerapan cara-cara yang efisien. Menurut Seta (1987), pada dasarnya konservasi tanah dan air dilakukan agar energi perusak (butir hujan dan aliran permukaan) sekcil mungkin sehingga tidak merusak dan agregat anah lebih tahan terhadap pukulan butir hujan dan aliran permukaan. 2.4.1. Ruang Terbuka Hijau Sebagai Peresapan Air Air merupakan suatu elemen dalam lanskap. Air berguna bagi manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, seperti untuk mandi, makan, minum, mencuci, irigasi, industri dan kebutuhan lainnya. Banyaknya volume air yang mengalir di permukaan bumi sehingga tidak terserap oleh sakuran-saluran baik alami maupun buatan yang ada akan mengakibatkan banjir. Fenomena banjir banyak menimpa daerah perkotaan, dimana lebih dari 30% permukaannya merupakan permukaan kedap air (atap bangunan, jalan, jembatan dan lainnya). Ruang terbuka hijau kota sedikit banyak dapat mengatasi masalah limpahan air hujan. Ruang terbuka hijau memiliki derajat kerembesan tanah yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan jenis permukaan lainnya. Permukaan tanah yang tertutup oleh tanaman memiliki kapasitas infiltrasi yang tinggi. Hal ini karena tanah yang tertutup tanaman memiliki rongga-rongga tanah atau jalur-jalur yang lebar sehingga air mudah masuk sedangkan udara mudah keluar. RTH sebagai peresapan air ke dalam tanah dipengaruhi oleh sifat-sifat hujan, sifat fisik kawasan dan pengelolaannya. Pengalihan fungsi lahan di perkotaan cenderung ke arah penutupan tanah dengan bahan-bahan semen yang tidak tembus air, sehingga mengakibatkan terganggunya keseimbangan hidrologi. Hal ini terjadi disebabkan tingginya tingkat urbanisasi yang secara tidak langsung meningkat pula luasan permukaan semen, aspal, paving sehingga air hujan tercegah untuk masuk ke dalam tanah dan menjadi limpasan permukaan. 2.5. Sistem Informasi Geografis BAKOSURTANAL menjabarkan SIG sebagai suatu sistem yang saling terkait antara satu dengan yang lain. SIG sebagai kumpulan yang terorganisir dari perangkat keras komputer, perangkat lunak, data geografi dan personel yang

10 didesain untuk memperoleh, menyimpan, memperbaiki, memanipulasi, menganalisis, serta menampilkan semua bentuk informasi yang bereferensi geografi. Prahasta (2002) mendefinisikan SIG sebagai alat bantu yang sangat esensial dalam menyimpan, memanipulasi, menganalisis dan menampilkan kembali kondisi-kondisi alam dengan bantuan data atribut dan spasial. Dengan demikian, SIG merupakan sistem komputer yang memiliki empat kemampuan berikut dalam menangani data yang bereferensi geografi a) masukan, b) manajemen, c) analisis dan manipulasi data serta d) keluaran (Aronoff, 1989). Sistem Informasi Geografi merupakan seperangkat sistem berbasis komputer untuk memetakan dan menganalisis sesuatu yang terlihat jelas dan terjadi di permukaan bumi. Teknologi SIG mengintegrasikan pengoperasikan database seperti pertanyaan dan analisis statistika dengan cara menampilkan secara khas dan menganalisis secara geografi dari suatu peta. Kemampuan ini membedakan SIG dengan sistem informasi lainnya dan menjadikannya lebih bernilai dalam penggunaannya oleh umum ataupun bisnis pribadi yang untuk menjelaskan peristiwa yang dianggap penting, memprediksi hasil serta perencana strategi. Data yang diperlukan dalam sistem informasi geografis merupakan data yang mengacu pada lokasi geografis terdiri atas data grafis dan data atribut. Data grafis tersusun dalam bentuk titik, garis dan poligon. Data atribut berupa data kualitatif atau kuantitatif yang merupakan hubungan satu-satu dengan data grafisnya. 2.5.1. Analisis Spasial Sistem Informasi Geografi adalah sistem yang dirancang untuk bekerja dengan data yang bereferensi spasial atau berkoordinat geografi. Analisis spasial dikembangkan untuk mengisi kebutuhan akan permodelan dan penganalisaan data spasial. Analisis spasial sebagai suatu kemampuan umum untuk memanipulasi data spasial ke dalam bentuk-bentuk yang berbeda dan mengekstraksi pengertian tambahan sebagai hasilnya. Analisis spasial lebih memusatkan perhatian pada (1) investasi pola-pola dan atribut / karakteristik / tanda-tanda lainnya dalam suatu wilayah studi, dan (2) permodelan hubungan-hubungan untuk keperluan pemahaman dan prediksi.

11 Menurut Haining (1995) analisis spasial adalah suatu kumpulan dari teknik-teknik analisis kejadian-kejadian geografis dimana hasil-hasil analisis tergantung pada susunan spasial kejadian-kejadian tersebut.kejadian geografis yang disebutkan berupa kumpulan objek titik, garis atau area yang dialokasikan dalam ruang geografi, ditambahkan pada suatu himpunan dari satu atau lebih nilai-nilai atribut. 2.6. Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu dan untuk memperoleh informasi suatu objek, daerah atau fenomena untuk melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah atau fenomena yang dikaji. Dengan menggunakan berbagai sensor kita mengumpulkan data dari jarak jauhmyang dapat dianalisis untuk mendapatkan informasi tentang objek, daerah atau fenomena yang diteliti (Lillesand dan Kiefer, 1979). Data penginderaan jauh dapat berupa citra dan data numerik. Data tersebut dapat dianalisis untuk mendapatkan informasi tentang objek, daerah atau fenomena yang diteliti. Analisis data penginderaan jauh memerlukan rujukan seperti peta tematik, data statistik dan data lapang. Informasi yang diperoleh dapat dimanfaatkan untuk pengambilan keputusan (F. Sri Hardiyanti, 2001). Data hasil penginderaan jauh merupakan salah satu bentuk data yang digunakan dalam Sistem Informasi Geografis. Hasil penginderaan jauh umumnya berupa citra yang merupakan gambaran rekaman suatu objek (biasanya berupa gambaran pada foto) yang dihasilkan dengan cara optik, elektro optik, optik mekanik atau elektronik. Menurut Lillesand dan Kiefer (1979) di dalam penginderaan jauh istilah foto diperuntukan secara esklusif bagi citra yang dideteksi dan direkam pada film. 2.6.1. Satelit Alos Satelit yang baru diluncurkan pada tahun 2006 milik JAXA-Jepang merupakan satelit sensor radar dengan empat polarisasi (full polarization). Satelit ini didesain untuk dapat beroperasi selama 3 sampai 5 tahun pada ketinggian 691,65 km (di atas Khatulistiwa) dengan kemiringan 98,16 (JAXA, Japan Aerospace Exploration Agency, 1997). Periode kunjungan ulang (revisiting

12 period) dari satelit ALOS adalah 46 hari. Akan tetapi, untuk kepentingan pemantauan bencana alam atau kondisi darurat satelit ALOS ini mampu melakukan observasi dalam waktu dua hari. Tabel 1. Karakteristik Umum Satelit Alos Karakteristik Alat peluncuran Tempat peluncuran Berat satelit Power Waktu operasional Orbit Sumber : NASDA, 1996 Keterangan Roket H-IIA Pusat Ruang Angkasa Tanagashima 4.000 Kg 7.000 W 3 sampai 5 Tahun Snu-synchronous Sub-Recurr Orbit Recurrent Period : 46 hari, Sub cycle 2 hari Tinggi lintasan : 692 km di atas Equator Inclinasi : 98,2 0 Satelit ini dilengkapi dengan teknologi yang lebih maju untuk memberikan kontribusi bagi dunia penginderaan jauh, terutama di bidang pemetaan, pengamatan tutupan lahan secara lebih persis dan akurat, sehingga untuk keperluan tersebut pada setelit ini dipasang dual frequency GPS receiver dan star tracker dengan presisi tinggi. Satelit ALOS memiliki tiga sensor, yaitu: (a) Panchromatic Remote Sensing Instrument for Stereo Mapping (PRISM) yang mempunyai resolusi 2,5 meter; (b) Advanced Visible and Near Infrared Radiometer type-2 (AVNIR-2) yang mempunyai resolusi 10 meter; dan (c) Phased Array type L-band Synthetic Aperture Radar (PALSAR) yang mempunyai dua resolusi, yaitu resolusi 10 meter dan 100 meter (Gambar 1). Gambar 1. Satelit ALOS (JAXA EORC, 1997)

13 2.6.2. Sensor PRISM (Panchromatic Remote Sensing Instrument for Stereo Mapping) Sensor PRISM (Panchromatic Remote Sensing Instrument for Stereo Mapping) (Gambar 2) memiliki tiga sistem optis yang dapat merekam data pada saat yang bersamaan, yaitu melalui mode observasi dari arah tegak lurus (nadir), depan (forward) dan belakang (backward) (Gambar 3). Dengan kemampuan seperti ini dimungkinkan untuk membangun data 3-D (three dimensional terrain data) dengan tingkat akurasi yang tinggi. Teleskop observasi pada arah nadir di sensor PRISM ini memiliki lebar sapuan 70 km, sedangkan teleskop observasi arah depan dan belakang (triplet mode) masing-masing mempunyai lebar sapuan 35 km. PRISM tidak dapat mengamati daerah-daerah di luar 82 derajat Lintang Selatan dan Lintang Utara. Adapun karakteristik umum sensor PRISM disajikan pada Tabel 2. Gambar 2. Sensor PRISM (JAXA EORC, 1997) Gambar 3. Prinsip Geometri PRISM (JAXA EORC, 1997)

14 Tabel 2. Karakteristik PRISM Jumlah Band Panjang Gelombang Jumlah Optik Resolusi Spatial Lebar Petak Jumlah Detektor Pointing Angle Bit Length 1 (Pankromatik) 0,52 0,77 mikrometer 3 (nadir, depan, belakang) 2,5 m (at nadir) 70 km (hanya nadir) / 35 km (Triplet mode) 28000 / band (petak lebar 70 km) 14000 / band (petak lebar 35 km) -1,5 ke 1,5 derajat (Triplet Mode, Cross-track direction) 8 bit Sumber : JAXA EORC, 1997 2.6.3. Sensor PALSAR (Phased Array type L-band Synthetic Aperture Radar) Sensor PALSAR (Phased Array type L-band Synthetic Aperture Radar) merupakan pengembangan dari sensor SAR yang dibawa oleh satelit pendahulunya, JERS-1 (Gambar 4). Sensor ini merupakan sensor gelombang mikro aktif yang dapat melakukan observasi siang dan malam tanpa terpengaruh pada kondisi cuaca. Melalui salah satu mode observasinya, yaitu ScanSAR, sensor ini memungkinkan untuk dapat melakukan pengamatan permukaan bumi dengan cakupan area yang cukup luas, yaitu 250 350 km (Gambar 5). Pembangunan PALSAR adalah proyek kerjasama antara JAXA dan Japan Resources Observation System Organization (JAROS). Gambar 4. Sensor PALSAR (JAXA EORC, 1997)

15 Gambar 5. Prinsip Geometri PALSAR (JAXA EORC, 1997) Karakteristik umum sensor PRISM disajikan pada Tabel 2, namun demikian sensor PALSAR tidak dapat mengamati daerah-daerah di luar 87,8 Lintang Uatra dan 75,9 Lintang Selatan ketika off-nadir adalah sudut 41,5. Tabel 3. Karakteristik PALSAR Mode Fine ScanSAR Polarimetric (Eksperimental mode)* Pusat Frekuensi 1270 MHz (L-band) Chrip 14 MHz, 28 MHz 14 MHz Bandwidth 28 MHz 14 MHz Polarisasi HH atau vv HH + hv atau vv + VH HH atau vv HH + hv + VH + vv Incident Angle 8 60 8-60 18-43 8-30 Range 100 m 7 44 m 14 88 m Resolution (multi look) 24 89 m Observation Swath 40 70 km 40 70 km 250 350 km 20 65 km Bit Length 5 bit 5 bit 5 bit 3 atau 5 bit Data rate 240Mbps 240Mbps 120 Mbps 240 Mbps 240 Mbps Radiometric accuracy Scene : 1 db / orbit : 1.5 db Sumber : JAXA EORC, 1997 2.6.4. Sensor AVNIR (Advanced Visible and Near Infrared Radiometer) Sensor AVNIR (Advanced Visible and Near Infrared Radiometer) (Gambar6.) dilengkapi dengan kemampuan khusus yang memungkinkan satelit dapat melakukan observasi tidak hanya pada arah tegak lurus lintasan satelit, tetapi juga mode operasi dengan sudut observasi (pointing angle) hingga sebesar

16 + 44 o (Gambar 7). Kemampuan itu diharapkan dapat membantu dalam pemantauan kondisi suatu area yang diinginkan. Sensor ini dapat dimanfaatkan dalam penyusunan peta penggunaan lahan atau peta vegetasi terutama dengan menggunakan band cahaya tampak (visible) dan inframerah dekat (near infrared). Gambar 6. Sensor AVNIR (JAXA EORC, 1997) Gambar 7. Prinsip Geometri AVNIR-2 (JAXA EORC, 1997) Karakteristik umum sensor AVNIR disajikan pada Tabel 4, namun demikian sensor AVNIR tidak dapat mengamati daerah-daerah di luar 88,4 Lintang Utara dan 88,5 Lintang Selatan. Tabel 4. Karakteristik AVNIR Jumlah Band 4 Band 1 : 0,42 0,50 mikrometer Panjang Gelombang Band 2 : 0,52 0,60 mikrometer Band 3 : 0,61 0,69 mikrometer Band 4 : 0,76 0,89 mikrometer Resolusi Spasial 10 m (at Nadir) Lebar petak (Swath Width) 70 km (at Nadir) Jumlah Detector 7000/Band Pointing Angle -44 + 44 Bit Length 8 bit Sumber : JAXA EORC, 1997

17 BAB III BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di wilayah administrasi Kota Depok, Provinsi Jawa Barat (Gambar 8). Meliputi 6 kecamatan yaitu, Sawangan, Pancoran Mas, Cimanggis, Sukmajaya, Beji dan Limo dengan luas wilayah 20.029 hektar. Waktu penelitian dilaksanakan mulai bulan Juni sampai dengan bulan November 2009 yang meliputi beberapa tahap, yaitu studi pustaka, pengumpulan data, dan analisis data yang dilakukan di Bagian Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Gambar 8. Administrasi Kota Depok 3.2. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan pada penelitian ini terinci pada Tabel 5. dan alat yang digunakan berupa seperangkat komputer yang dilengkapi software antara lain Erdas Imagine 8.6 dan Arc View 3.3. yang terinci pada Tabel 6.

18 Tabel 5. Nama Bahan (Data dan Peta) No. Nama Bahan Skala Fungsi 1 Citra satelit ALOS AVNIR wilayah Kota Depok Tahun 2006 2 3 4 5 6 7 Peta Topografi Kota Depok 1 : 25000 Interpretasi penggunaan lahan sebagai parameter model konservasi air Peta referensi untuk koreksi geometrik dan untuk menghasilkan kelas lereng dengan proses DEM Peta administrasi Kota Depok dan Jabodetabek 1 : 25000 Menentukan batas wilayah Kota Depok Peta geologi Jabodetabek Menghasilkan Peta geologi Kota Depok 1 : 1000000 (hard copy) sebagai parameter model konservasi air Peta jenis tanah Menghasilkan Peta jenis tanah Kota Depok Jabodetabek (hard copy) 1 : 1000000 sebagai parameter model konservasi air Data curah hujan Menghasilkan Peta curah hujan sebagai Kota Depok parameter model konservasi air Peta RTRW Kota Depok Referensi penetapan RTH Publik dan RTH peride tahun 2000-2010 Privat Kota Depok Tabel 6. Nama Alat No Software Fungsi dalam penelitian 1 Erdas Imagine 8.6 Melakukan proses koreksi geometrik 2 Arc View 3.3 Melakukan proses digitasi, interpolasi titik dan DEM 3 Microsoft Excel Melakukan pengolahan data atribut peta 3.3. Metode Penelitian Penelitian dilakukan melalui tiga tahap, yaitu (1) tahap pengumpulan data, (2) tahap pengolahan data spasial, dan (3) analisis data atribut untuk kawasan tingkat konservasi air aktual. Diagram alir penelitian disajikan pada Gambar 9. 3.3.1. Tahap Pengumpulan Data Tahap pengumpulan data meliputi pengumpulan baik data primer ataupun sekunder yang jumlah dan macamnya sesuai dengan parameter kriteria yang digunakan. Data tersebut dapat diperoleh dengan cara : a) Studi Pustaka Kegiatan ini dilakukan untuk mengumpulkan data yang diperlukan untuk penelitian. Data tersebut diperoleh dari instansi-instansi yang terkait antara lain : Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Depok, Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Depok, dan Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal).

19 Gambar 9. Bagan Alir Penelitian b) Cek Lapang Pengecekan lapang bertujuan untuk mengetahui kebenaran hasil interpretasi terhadap penutupan atau penggunaan lahan di lapangan dan untuk melihat secara langsung tentang kondisi lapangan mengenai lokasi-lokasi Ruang Terbuka Hijau (RTH). Tahap ini dilakukan dengan mengambil titik-titik sampel di peta, selanjutnya dilakukan pengecekan lapang dengan menggunakan Global Positioning System (GPS)

20 3.3.2. Tahap Pengolahan Data Kegiatan pengolahan citra ALOS AVNIR dilakukan dengan interpretasi secara digital yang meliputi : a) Koreksi Geometri Kegiatan ini bertujuan untuk mengoreksi posisi objek pada citra sehingga semua objek yang ada pada citra akan mempunyai posisi yang sama pada peta atau citra lain yang telah terkoreksi. Proses koreksi geometri dilakukan dengan cara mengidentifikasi objek atau titik kontrol (Ground Control Point/ GCP) pada citra yang bersesuaian dengan objek atau titik pada peta referensi. Penentuan titik kontrol tersebut dapat ditandai pada objek-objek permanen seperti, persimpangan jalan, jalur sungai, cabang sungai, perpotongan jalan dan sungai, atau pada titiktitk pasti lainnya. Kemudian citra dipotong sesuai dengan batasan wilayah studi yang didapat dari peta administrasi yang sudah digitasi. Akurasi yang baik ditunjukkan oleh nilai Root Mean Square Errorr (RMS-error) yang sangat kecil mendekati nol atau kurang dari 1. Hal ini karena jika suatu titik melewati 1 piksel maka kemungkinan objek akan bergeser 1 piksel, sehingga tidak sesuai dengan objek yang ada di lapang. Kegiatan ini dilakukan dengan menggunakan software ERDAS Imagine 8.6. b) On Screen Digitazing Klasifikasi yang digunakan pada citra ALOS AVNIR yaitu klasifikasi visual (on screen digitazing). Adapun langkah-langkah pengolahan data pada citra terdiri dari : Interpretasi citra dapat dilakukan dengan 2 pendekatan yaitu, interpretasi secara digital dan secara visual. Interpretasi secara digital pada dasarnya berupa klasifikasi pixel berdasarkan nilai spektralnya. Klasifikasi dapat dilakukan berdasarkan berbagai cara statistik. Tiap kelas kelompok pixel tersebut kemudian dicari kaitannya terhadap objek atau gejala di permukaan bumi. Interpretasi secara visual dilakukan dengan berdasarkan pada unsur-unsur interpretasi yaitu : rona / warna, pola, tekstur, ukuran, bentuk, bayangan, site, dan asosiasi. Interpretasi ini dilakukan terhadap jenis penggunaan / penutupan lahan pada citra satelit ALOS. Sehingga diperoleh berbagai tipe penggunaan / penutupan lahan pada citra ALOS tersebut. Adapun kombinasi band yang

21 digunakan pada penelitian ini adalah kombinasi antara Band 3, 2, dan 1 (RGB) menghasilkan kenampakan alami (natural colour). Digitasi merupakan kegiatan pemasukan data dalam Arcview yang dilakukan dengan mendeliniasi secara langsung pada layar atau on screen digitazing terhadap feature yang berbentuk line, point dan polygon. Kegiatan ini dilakukan dengan menggunakan software Arcview versi 3.3. Hasil digitasi dapat dikoreksi secara langsung pada program Arcview atau lebih sering disebut dengan tahapan editing yaitu proses memperbaiki kesalahan hasil digitasi. Labeling merupakan proses pemberian identitas label pada setiap poligon yang telah di digitasi sedangkan atributing adalah proses memberi atribut/ informasi pada suatu coverage. Informasi tersebut dapat dilihat dalam bentuk atribut tabel. Sebelum memberi label pada coverage yang akan dibuat, maka harus mengetahui ciri-ciri dari objek yang akan diberi label. Proses pengolahan citra dapat dilihat pada gambar 10. Gambar 10. Diagram alir análisis Citra ALOS AVNIR

22 3.3.3. Pembuatan Peta Curah Hujan Untuk membuat peta curah hujan digunakan model interpolasi titik. Interpolasi titik adalah suatu prosedur untuk menduga nilai-nilai yang tidak diketahui dengan menggunakan nilai yang diketahui pada lokasi yang berdekatan. Titik-titik yang berdekatan (bertetangga) tersebut dapat berjarak teratur atau tidak. Dalam pembuatan model interpretasi titik prosesnya dilakukan dengan ArcView 3.3 yang telah dilengkapi dengan extensions model builder dengan memilih menu add process data conversion point interpolation. Gambar 11. Tampilan menu Model Builder Untuk melakukan metode ini terdapat dua cara yang dapat digunakan yaitu, Inverse Distance Weight (IDW) dan Spline. Dalam penelitian ini metode interpolasi titik dilakukan dengan menggunakan Inverse Distance Weight (IDW), karena cara ini memiliki keunggulan dalam hal membuat batasan interval, sehingga klasifikasi data curah hujan dapat sesuai dengan parameter yang diinginkan. Adapun keunggulan metode Spline adalah dapat menghasilkan suatu permukaan yang lebih lembut, karena merupakan suatu proses pelengkungan suatu garis tidak lurus atau penambahan titik verteks yang bersifat menghaluskan dan melengkungkan garis (Barus, 2005). 3.3.4. Pembuatan Peta Lereng Peta kelas lereng (slope map) diperoleh dari hasil analisis kontur yang dilakukan beberapa tahap. Tahap pertama adalah pengaktifan extensoón spatial analyst, 3D analyst dan Model Builder. Data topografi yang berupa garis kontur

23 diubah menjadi Model Elevasi Digital (DEM). Adapun pembuatan DEM tersebut dilakukan dengan menggunakan metode TIN (Triangulated Irregular Network) dengan memilih Surface-Create TIN from features kemudian masukkan interval kontur sebagai height source. TIN dikonversi ke dalam bentuk grid, yaitu perubahan data spasial yang berbentuk garis, titik dan poligon ke dalam bentuk susunan sel yang mempunyai nilai. Kemudian dilanjutkan dengan proses Model Builder Add Process Terrain Slope untuk menentukan interval kelas kemiringan lereng yang digunakan. Hasil klasifikasi yang akan digeneralisasi harus diubah terlebih dahulu ke dalam bentuk shapefile dengan memilih Theme Convert to Shapefile, kemudian edit peta lereng sesuai dengan kelas kemiringan lereng. 3.3.5. Analisis Data Atribut Dalam analisis data atribut terdapat dua proses penting yaitu, pengharkatan (scoring) dan pembobotan. Dua proses tersebut dilakukan setelah proses klasifikasi tiap parameter selesai dilakukan. Kemudian dilanjutkan dengan tahap analisis penentuan zona konservasi air. a) Pengharkatan (Scoring) Pengharkatan merupakan suatu proses pemberian skor terhadap masingmasing parameter. Pemberian skor didasarkan pada pengaruhnya terhadap penentuan wilayah konservasi air. Semakin tinggi pengaruhnya untuk menyerap air dan menyediakan maka skor yang diberikan akan semakin tinggi. Adapun parameter yang diharkakan adalah curah hujan, penggunaan lahan, lereng, jenis tanah, dan geologi. Kelas Curah Hujan Kota Depok termasuk dalam wilayah yang beriklim tropis. Musim kemarau terjadi antara bulan April hingga September dan musim hujan terjadi antara bulan Oktober hingga Maret. Berikut merupakan tabel skor untuk kelas curah hujan : Tabel 7. Skor untuk Kelas Curah Hujan

24 Kelas Penggunaan Lahan No Curah hujan Skor 1 <1500 1 2 1500 2000 1 3 2000 2500 2.5 4 2500 3000 3 5 3000 3500 3.5 6 >3500 4 Sumber : Zain(2002), modifikasi Jenis kawasan di Kota Depok dibedakan menjadi kawasan lindung dan kawasan budidaya. Tabel 8. Skor untuk Kelas Penggunaan Lahan No Land Use Skor 1 Permukiman kepadatan tinggi 1 2 Permukiman kepadatan sedang 2 3 Permukiman kepadatan rendah 3 4 Permukiman kepadatan sangat rendah 3 5 Bedengan 2 6 Tegalan 2 7 Kebun 3 8 Lapangan Golf 2 9 Lahan Terbuka 3 10 Bendungan 4 11 Danau/Situ 5 12 Sungai 4 13 Sawah 4 14 Semak Belukar 3 15 Hutan 5 16 Awan 0 17 Bayangan awan 0 Sumber : Zain(2002), modifikasi Kelas Kemiringan Lereng Secara umum topografi wilayah Kota Depok di bagian utara merupakan dataran rendah, sedangkan bagian selatan merupakan perbukitan bergelombang. Kemiringan lereng Kota Depok didominasi pada kemiringan lereng 0 2% yang merupakan lereng datar. Kemiringan lereng ini sesuai untuk pengembangan

25 perkotaan dan pertanian. Kemiringan yang lebih curam (>15%) terdapat di sepanjang sungai Ciliwung, Cikeas dan bagian selatan sungai Angke. Kelas Jenis Tanah Tabel 9. Skor untuk Kelas Kemiringan Lereng No Lereng Skor 1 0% - 2% 3 2 2% - 15% 3 3 15% - 40% 2 4 >40% 1 Sumber : Zain(2002), modifikasi Jenis tanah yang dominan di Kota Depok adalah tanah Latosol Merah. 1. Tanah Alluvial, tanah endapan yang masih muda, terbentuk dari endapan lempung, debu dan pasir, umumnya tersingkap pada jalur sungai dengan tingkat kesuburan sedang-tinggi. 2. Assosiasi Latosol Merah dan Laterit merupakan tanah Latosol yang perkembangannya dipengaruhi oleh air tanah dengan tingkat kesuburan sedang dan kandungan air tanah cukup banyak. 3. Tanah Latosol Coklat Kemerahan adalah tanah yang belum begitu lanjut perkembangannya dengan tingkat kesuburan rendah-sedang dan terbentuk dari bahan tufa vulkanik andesitis-balsatis, mudah meresapkan air, tekstur halus dan tahan terhadap erosi. 4. Tanah Latosol Merah merupakan tanah yang terdapat pada elevasi yang lebih tinggi daripada tanah Latosol Cokelat Kemerahan dengan tekstur halus dan tingkat kesuburan tinggi. Tabel 10. Skor untuk Kelas Jenis Tanah No Jenis Tanah Skor 1 Asosiasi Latosol Merah,Latosol Coklat Kemerahan dan Laterit 2 2 Asosiasi Latosol Merah, Latosol Coklat Kemerahan 2 Sumber : Zain (2002), modifikasi Kelas Geologi Depok memiliki struktur geologi yang cukup baik untuk mengembangkan/mendirikan bangunan gedung berbagai jenis kegiatan, baik pembangunan gedung perumahan maupun bukan perumahan (sarana dan

26 prasarana perkotaan/wilayah). Sebagain besar struktur geologi yang ada berupa aluvium dan pleistocene volcanic facies Endapan Aluvium Pada umumnya bersifat lepas, lunak dan rapuh dan mempunyai sifat kelulusan air yang tinggi (65% pasir 25 % lempung, 10% debu). b) Pembobotan Tabel 11. Skor untuk Kelas Geologi No Geologi Skor 1 Alluvium 2 2 Pleistonece, volcanic fasies 2 Sumber : Zain (2002), modifikasi Pembobotan merupakan pemberian bobot pada peta digital terhadap masing-masing parameter yang mempengaruhi tingkat konservasi air. Semakin besar pengaruh parameter terhadap konservasi air (menyerap air dan menyediakan air), maka bobot yang diberikan semakin tinggi. Tabel 12. Bobot Parameter Konservasi Air No Parameter Bobot 1 Curah Hujan 0,25 2 Penggunaan Lahan 0,40 3 Kemiringan Lereng 0,15 4 Jenis Tanah 0,1 5 Geologi 0,1 3.3.6. Analisis Kelas Zona Konservasi Air Evaluasi fungsi konservasi air dapat dilakukan dengan menentukan kriteria kondisi utama dari penggunaan lahan dan kemampuan tanah dalam menyimpan air. Dalam perumusan model konservasi air, dilakukan modifikasi model awal melalui beberapa parameter seperti jenis tanah, geologi, kemiringan lereng, curah hujan dan penggunaan lahan. Dalam penentuan Zona Konservasi Air Kota Depok, digunakan data spasial berupa peta Jenis Tanah, Geologi, Kemiringan lereng, Curah hujan dan Penggunaan lahan. Tahapan yang dilakukan berupa membuat skoring tiap parameter dan nilai skoring tersebut dimasukan ke dalam format digital dan merubahnya ke bentuk vektor. Kemudian, menggunakan dan memodifikasi model tersebut untuk menentukan zona konservasi air Kota Depok menggunakan Sistem

27 Informasi Geografis pada software Arcview. Penentuan Zona Konservasi Air dilakukan dengan persamaan : Keterangan : WC = (0,25xP) + (0,40xLU) + (0,15xS) + (0,1xST ) + (0,1xG) WC = Water Conservation ST = Jenis tanah P = Curah hujan G = Geologi LU = Land Use S = Kemiringan lereng Menurut (Kingma, 1991 dalam Primayuda, 2006) penentuan tingkat kerawanan dilakukan dengan membagi sama banyak nilai-nilai kerawanan dengan jumlah interval kelas, yang ditentukan dengan persamaan sebagai berikut : i =R/n Keterangan : i : Kelas interval R : Selisih skor maksimum dan skor minimum n : Jumlah kelas Daerah dengan tingkat konservasi air tinggi akan mempunyai total nilai yang tinggi, sebaliknya daerah dengan tingkat konservasi air rendah akan mempunyai total nilai yang rendah. Tabel 13 berikut menunjukkan nilai tingkat konservasi air. Adapun peta sebaran zona konservasi air aktual disajikan pada Gambar 12. Tabel 13. Nilai tingkat Konservasi Air No Tingkat Konservasi Air Total Nilai 1 Tinggi 2,98 3,85 2 Sedang 2,11 2,98 3 Rendah 1,24 2,11 Gambar 12. Zona Tingkat Konservasi Air Aktual Kota Depok

28 BAB IV KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Letak dan Luas Areal Kota Depok merupakan wilayah penyangga Ibu Kota Negara yang diarahkan untuk permukiman, kota pendidikan, pusat pelayanan perdagangan dan kota pariwisata dan sebagai kota resapan air. Secara geografis kota Depok terletak pada koordinat 6 19 00 6 28 00 Lintang Selatan dan 106 43 00 106 55 30 Bujur Timur. Menurut Undang-Undang No. 15 pada tanggal 27 April 1999, Kota Depok dibentuk sebagai salah satu wilayah termuda di Jawa Barat dengan luas wilayah sekitar 20.029 Ha. Pemerintahan Kota Depok terbagi menjadi 6 kecamatan yaitu, Kecamatan Sawangan, Sukmajaya, Pancoran Mas, Cimanggis, Beji dan Limo. Kota Depok juga dibagi atas 63 Kelurahan dan memiliki 779 RW serta 3.909 RT. Sebagian Kelurahan Kota Depok tergolong dalam klasifikasi Swasembada dan Swakarya. Wilayah Kota Depok berbatasan dengan tiga Kabupaten dan satu Propinsi yang secara lengkap sebagi berikut : a. Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Ciputat Kabupaten Tangerang dan Wilayah DKI Jakarta. b. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Pondok Gede Kota Bekasi dan Kecamatan Gunung Putri Kabupaten Bogor. c. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Cibinong dan Kecamatan Bojong Gede Kabupaten Bogor. d. Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Parung dan Kecamatan Gunung Sindur Kabupaten Bogor. 4.2. Kondisi Fisik a) Iklim Wilayah Depok termasuk dalam iklim tropis dengan perbedaan curah hujan yang cukup kecil dan dipengaruhi oleh iklim musim. Iklim Kota Depok ini mendukung dalam pemanfaatan lahan pertanian dengan kadar curah hujan yang tetap sepanjang tahun.

29 Kondisi tanah wilayah Kota Depok merupakan tanah darat dan tanah sawah. Sebagian tanah darat merupakan areal permukiman sesuai fungsi Kota Depok yang dikembangkan sebagi pusat permukiman, pendidikan, perdagangan dan jasa. Tabel 14. Data kondisi iklim di Kota Depok No Keterangan Jumlah 1 Temperatur 24,3-33 derajat Celcius 2 Kelembaban rata-rata 82% 3 Penguapan rata-rata 3,9 mm/thn 4 Kecepatan angin rata-rata 3,3 knot 5 Penyinaran matahari rata-rata 49,8% 6 Jumlah curah hujan 2684 mm/thn 7 Jumlah hari hujan 222 hari/thn Sumber : Pemerintah Kota Depok b) Hidrologi Wilayah Kota Depok dari segi hidrogeologi didominasi oleh kelompok litologi endapan pasir, kerikil da kerakal hasl pengendapan kembali batuan vulkanik kuarter (kipas alluvium muda) serta konglomerat dan pasir sungai (endapan alluvium tua) dengan tingkat kelulusan air sedang sampai tinggi termasuk aktifer dengan produktifitas tinggi di bagian utara dan aktifer dengan produktifitas sedang di bagian selatan. Penyebaran aktifer luas denag debit antara 1-5 liter/detik, hal ini menunjukkan kandungan air tanah yang cukup baik. Penyediaan air minum di Kota Depok sampai saat ini masih dikelola oleh PDAM Kabupaten Bogor yang menggunakan sumber air baku dari Sungai Ciliwung, Kali Angke, Kali Pesanggrahan dan Mata air Ciburial. Jumlah pelanggan PDAM di Kota Depok sampai bulan September tahun 2008 adalah 42.206 pelanggan dan besarnya pemakaian adalah 998.726 m 3 (BPS Kota Depok, 2008). Sistem penyediaan air bersih di Kota Depok telah diatur dalam 3 (tiga) sistem wilayah, yaitu : i. Depok, mempunyai kapasitas 378,8 liter/detik ii. Sawangan, mempunyai kapasitas 18,3 liter/detik iii. Cimanggis, mempunyai kapasitas 5 liter/detik

30 Sumber air lain berasal dari situ. Kota Depok memiliki 30 situ dengan luas total 126,43 Ha atau 0,63% dari luas Kota Depok yang tersebar di 6 (enam) kecamatan dengan berbagai kondisi. c) Topografi Tabel 15. Distribusi Situ di Kota Depok No. Kecamatan Jumlah Situ Luas (Ha) 1 Beji 5 22,48 2 Cimanggis 10 45,56 3 Limo 2 2,99 4 Pancoran Mas 5 23,85 5 Sawangan 3 27,86 6 Sukmajaya 5 13,05 Total Luas 126,43 Sumber : Bappeda Kota Depok, 2008 Kondisi wilayah Kota Depok bagian utara umumnya berupa dataran rendah dengan elevasi antara 40-80 meter yang meliputi kelurahan-kelurahan yang ada di bagian tengah dan utara. Sedangkan di wilayah bagian selatan umumnya merupakan daerah perbukitan dengan ketinggian 80-140 meter di atas permukaan laut. Penyebaran wilayah berdasarkan kemiringan lereng adalah sebagai berikut: Wilayah dengan kemiringan lereng 2 8 % tersebar di bagian utara melintang dari barat ke timur Wilayah dengan kemiringan lereng antara 8 15 % tersebar di bagian tengah membentang dari barat ke timur Wilayah dengan kemiringan lereng >15 % terdapat di sepanjang Sungai Cikeas, Ciliwung dan bagian selatan Sungai Angke 4.3. Demografi Kota Depok Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 tahun 1999 mendasarkan pembentukan Kota Depok sebagai wilayah administratif baru di Propinsi Jawa Barat. Semenjak tahun 2000 perkembangan jumlah penduduk Kota Depok berlangsung cepat. Berdasarkan data yang bersumber dari BPS, penduduk kota Depok pada tahun 2000 sebanyak 973.036 jiwa dengan kepadatan penduduk 4.669 jiwa per km 2. Pada tahun 2008 jumlah penduduk kota Depok meningkat menjadi 1.503.677 jiwa, yang terdiri dari laki-laki 780.092 jiwa dan perempuan

31 723.585 jiwa. Laju pertumbuhan penduduk kota Depo tahun 2008 sebesar 3,43% dan rasio jenis kelamin di Kota Depok adalah 102. Kecamatan Cimanggis merupakan kecamatan yang memiliki jumlah penduduk paling banyak (412.388 jiwa) dibandingkan kecamatan lain, sedangkan Kecamatan Beji merupakan kecamatan dengan jmlah penduduk terendah (143.190 jiwa). Kepadatan penduduk Kota Depok pada tahun 2008 mencapai 7.507 jiwa per km 2. Kecamatan terpadat adalah Kecamatan Sukmajaya dengan tingkat kepadatan 10.264 jiwa per km 2 dan kecamatan dengan tingkat kepadatan terendah adalah Kecamatan Beji yaitu sebesar 3.714 jiwa per km 2. Dengan kondisi ini akan memberikan konsekuensi meningkatnya jumlah lahan yang berubah menjadi lahan permukiman, sehingga secara langsung akan mengurangi volume lahan bagi kebutuhan resapan air. Mayoritas penduduk Kota Depok beragama Islam. Denagn adanya pengamatan terhadap sosial budaya maka penduduk Kota Depok dibagi menjadi dua kelompok, yaitu penduduk asli dan pendatang. Penduduk pendatang hadir karena faktor kebutuhan tempat tinggal dan bekerja di DKI Jakarta.

32 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Citra ALOS AVNIR Citra yang digunakan pada penelitian ini adalah Citra ALOS AVNIR tahun 2006 seperti yang tampak pada Gambar 13. Adapun kombinasi band yang digunakan pada penelitian ini adalah kombinasi antara Band 3, 2, dan 1 (RGB) yang menghasilkan kenampakan alami (natural colour). Interpretasi secara visual pada Citra ALOS AVNIR dilakukan berdasarkan pada unsur-unsur interpretasi yaitu : rona, pola, tekstur, ukuran, bentuk, bayangan, site, dan asosiasi. Gambar berikut merupakan hasil komposit alami dari kombinasi Band 3, Band 2 dan Band 1. Gambar 13. Citra ALOS AVNIR Pada data ALOS AVNIR seperti yang terlihat pada Gambar 14 terlihat adanya gangguan awan dan haze. Pada analisis data penginderaan jauh, gangguan awan akan direprsentasikan sebagai data hilang (missing data) yang memerlukan

33 proses masking dalam keseluruhan analisis. Pada umumnya gangguan awan dan bayangannya ini tidak dapat diperbaiki. Berikut merupakan wilayah Kota Depok yang dipotong dari citra ALOS AVNIR (Gambar 14) : Gambar 14. Citra ALOS AVNIR wilayah Kota Depok 5.2. Analisis Parameter Pendekatan Model Konservasi Air Pendekatan Model Konservasi Air menggunakan berbagai parameter yang masing-masing dapat diketahui luasannya, sebagai berikut : 5.2.1. Kelas Lereng Gambar 15. menunjukkan Peta Kontur yang digunakan dalam proses pembuatan peta kelas lereng melalui metode DEM dan Gambar 16. menunjukkan pembagian kelas lereng beserta luasan di wilayah Kota Depok :

34 Gambar 15. Kelas Lereng Kota Gambar 15. Peta Kontur Kota Depok Berdasarkan peta kelas lereng, Kota Depok didominasi oleh kelas lereng 0 2% (landai) dengan luas area sebesar 14.384,9 Ha (71,42%). Sedangkan kelas lereng 15-40% banyak terdapat di sepanjang aliran sungai. Gambar 16. Kelas Lereng Kota Depok 5.2.2. Geologi Pada Gambar 17. menunjukkan sebaran jenis geologi beserta luasan di wilayah Kota Depok :

35 Gambar 17. Jenis Geologi Kota Depok Berdasarkan peta geologi, Kota Depok merupakan daerah yang mempunyai struktur geologi yang didominanasi oleh formasi Pleistocene Volcanic Facies yang hampir diseluruh wilayah Kota Depok dengan luasan sebesar 19.988,1 Ha (99,24%). 5.2.3. Curah Hujan Pada Gambar 18. merupakan peta curah hujan Kota Depok beserta tabel luasan masing-masing kelas curah hujan : Gambar 18. Curah Hujan Kota Depok

36 Gambar 18. menunjukkan bahwa Kota Depok didominasi oleh curah hujan rata-rata sekitar 1500-2000 mm/tahun dengan luasan sebesar 6.937 Ha di Kecamatan Cimanggis dan sebagian Kecamatan Sukmajaya dan Kecamatan Beji. Berdasarkan fenomena ini, curah hujan merupakan menyumbang besar terhadap kejadian banjir lokal di wilayah Kota Depok. 5.2.4. Jenis Tanah Gambar 19. menunjukkan sebaran jenis tanah di Kota Depok beserta luasan masing-masing jenis tanah. Gambar 19. Jenis Tanah Kota Depok Kota Depok di dominasi oleh jenis tanah Asosiasi Latosol Merah, Latosol Coklat Kemerahan yang memiliki tingkat kesuburan yang tinggi di hampir seluruh wilayah Kota Depok dengan luas 19.101,2 Ha (94,83%). Sedangkan jenis tanah Asosiasi Latosol Merah, Latosol Coklat Kemerahan dan Laterit hanya terdapat di sebagian wilayah Kecamatan Limo dengan luas sebesar 1.040,7 Ha (5,17%). 5.2.5. Penggunaan Lahan Penggunaan lahan di daerah penelitian sebagian besar didominasi oleh permukiman dan semak belukar. Selain itu, penggunaan lahan lainnya berupa tegalan, kebun, hutan, lahan terbuka, bedengan dan sawah. Berikut definisi dari penggunaan lahan :

37 1. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. 2. Kebun adalah istilah kolektif untuk sistem-sistem dan teknologi-teknologi penggunaan lahan, yang secara terencana dilaksanakan pada satu unit lahan dengan mengkombinasikan tumbuhan berkayu (perdu, palem, bambu, dll) dengan tanaman pertanian dan/atau hewan ternak dan/atau ikan, yang dilakukan pada waktu yang bersamaan atau bergiliran sehingga terbentuk interaksi ekologis dan ekonomis antar berbagi komponen yang ada. 3. Tegalan adalah usaha pertanian tanah kering yang intensitas penggarpannya dilaksanakan secara permanen. 4. Sawah adalah lahan pertanian yang berpetak-petak dan dibatasi oleh pematang (galengan) dan saluran untuk menahan/menyalurkan air. 5. Permukiman adalah suatu wilayah yang ditempati oleh seseorang atau kelompok manusia. Permukiman memiliki kaitan yang cukup erat dengan kondisi alam dan sosial kemasyarakatan sekitar. 6. Semak adalah tipe vegetasi kecil atau kerdil yang tumbuh tidak lebih tinggi daripada perdu dan tidak bernilai komersial. Bisa merupakan areal bekas tebangan atau bekas perladangan yang ditinggalkan. 7. Tanah terbuka adalah areal tanah yang belum dimanfaatkan untuk kegiatan produktif, baik kegiatan non pertanian maupun pertanian.

Gambar 20. Penggunaan Lahan Kota Depok 38

39 Tabel 16. Luas Penggunaan Lahan Kota Depok No Penggunaan Lahan Luas (Ha) % 1 Awan 0.5 0.003 2 Bayangan 0.7 0.003 3 Bedengan 98.9 0.5 4 Bendungan 6.7 0.03 5 Danau/Situ 73.8 0.4 6 Hutan 448.0 2.2 7 Kebun 460.8 2.3 8 Lahan Terbuka 416.1 2.1 9 Lapangan Golf 293.5 1.5 10 Perumahan kepadatan tinggi 1210.7 5.9 11 Perumahan kepadatan sedang 5295.3 26.2 12 Perumahan kepadatan rendah 1616.4 8.0 13 Perumahan kepadatan sangat rendah 4294.1 21.3 14 Sawah 2091.7 10.4 15 Semak belukar 744.3 3.7 16 Sungai 149.1 0.7 17 Tegalan 2982.4 14.7 Total Luas 20183.3 Penggunaan lahan Kota Depok didominasi oleh permukiman (perumahan) yaitu seluas 12.416,5 Ha (61,52%) yang terdiri dari perumahan dengan kepadatan bangunan tinggi, sedang, rendah, dan sangat rendah. 5.3. Analisis Ruang Terbuka Hijau Kota Depok Berdasarkan PP No. 47 tahun 1997, Kota Depok merupakan salah satu kota yang termasuk di dalam Kawasan Bopunjur dengan pemanfaatan ruang yang sangat dibatasi oleh fungsinya sebagai kawasan konservasi air dan tanah yang memiliki nilai strategis sebagai kawasan yang dapat memberikan perlindungan terhadap kawasan di bawahnya, yaitu wilayah Propinsi Jawa Barat dan wilayah Propinsi DKI Jakarta. Hal ini dalam rangka mempertahankan dan menyediakan kawasan Ruang Terbuka Hijau yang ditujukan untuk mengimbangi lahan terbangun kota. Kota Depok mempunyai fungsi dan peranan penting sebagai kawasan resapan air (penyangga) bagi kehidupan Kota Jakarta, sehingga perlu pengelolaan yang terhadap sumberdaya air yang ada di kawasan Kota Depok. Sumber-sumber

40 daya air tersebut terdiri dari air tanah dan air permukaan (sungai dan situ), dimana saat ini kondisi kualitas dan kuantitas sumber daya air di Kota Depok sudah pada tahap yang mengkhawatirkan dalam segi kualitas. Hal ini terlihat dari keberadaan situ yang tersisa dan terpelihara hanya 19 dari 49 situ (Bappeda, 2007). Wilayah Kota Depok memiliki berbagai penggunaan lahan berupa RTH ataupun Non RTH. Penggunaan lahan berupa RTH dibedakan atas RTH Privat dan RTH Publik. Tabel 17 berikut ini memperlihatkan luas RTH Kota Depok : Tabel 17. Luas dan Persentase RTH Kota Depok RTH Non RTH RTH Privat RTH Publik No Penggunaan Lahan Luas % Luas % Luas % Luas % 1 Bedengan 98.9 0.5 98.9 0.4 2 Bendungan 6.7 0.03 6.7 0.03 3 Danau/Situ 73.8 0.4 73.8 0.4 4 Hutan 448.0 2.2 448.0 2.2 5 Kebun 460.8 2.3 460.8 2.3 6 Lahan Terbuka 416.1 2.0 416.1 2.0 7 Lapangan Golf 293.5 1.4 293.5 1.5 8 Sawah 2091.7 10.4 2091.7 10.4 9 Semak belukar 744.2 3.7 744.2 3.7 10 Sungai 149.1 0.7 149.1 0.7 11 Tegalan 2982.4 14.7 2982.4 14.7 12 Permukiman kepadatan tinggi 1210.71 5.9 13 Permukiman kepadatan sedang 5295.3 26.2 14 Permukiman kepadatan rendah 1616.4 8.0 Permukiman kepadatan sangat 15 rendah 4294.1 21.3 16 Awan 0.5 0.003 17 Bayangan 0.7 0.003 Total Luas 7765.6 38.48 12417.7 61.5 6995.6 34.6 769.9 3.8 Berdasarkan Tabel 17 di atas, terlihat bahwa Kota Depok memiliki luas RTH sebesar 7.765,6 Ha (38,48%) dan Non RTH sebesar 12.417,7 Ha (61,52%). Berdasarkan luasan RTH tersebut, maka kondisi RTH di Kota Depok telah sesuai dengan UU RI No. 26 Tahun 2007, yaitu luas RTH dengan proporsi minimal 30% dari luas wilayah keseluruhan. Kota Depok memiliki luas RTH privat 6.995,6 Ha (34,66%) melebihi standar maksimal yaitu 10% dan RTH publik hanya 769,9 Ha (3,82%) dibawah standar maksimal yaitu 20%. Untuk memenuhi standar luas tersebut, maka masih diperlukan RTH publik sebesar 16,18%.

41 5.4. RTH Kota Depok ditinjau dari RTRW 5.4.1. RTRW Kota Depok Pada Tabel 18 berikut ini menunjukkan luasan dari tiap rencana penggunaan lahan pada RTRW Kota Depok Periode 2000-2010 dan pada Gambar 21. menunjukkan rencana penggunaan lahan pada RTRW Kota Depok Periode 2000-2010 Tabel 18. Luasan RTRW Kota Depok No RTRW Luas (Ha) 1 Kawasan Dagang dan Jasa Subpusat 446.657 2 Fasilitas Umum 64.652 3 Kawasan Industri 460.814 4 Kawasan Campuran 245.636 5 Kawasan Tertentu 454.506 6 Kebun 118.996 7 Kawasan Komersial dan Jasa Pusat Kota 426.019 8 Kawasan Pendidikan Tinggi 59.922 9 Kawasan Perkantoran dan Jasa Pelayanan Umum 205.091 10 Perumahan Kepadatan Bangunan Tinggi 5097.91 11 Perumahan Kepadatan Bangunan Sedang 6140.581 12 Perumahan Kepadatan Bangunan Rendah 135.441 13 Perumahan Kepadatan Bangunan Sangat Rendah 4487.864 14 Sawah 643.15 15 Sempadan Sungai 834.984 16 Situ 319.62 Luas Total 20141.843

42 Gambar 23. RTRW Kota Depok Periode 2000-2010 Gambar 21. RTRW Kota Depok Periode 2000-2010

43 Berikut rencana penggunaan lahan pada RTRW Kota Depok dari sudut pandang RTH publik dan RTH privat : Gambar 22. RTH Publik dan Privat pada RTRW Peta RTH Publik dan RTH Privat (RTRW) diperoleh dari Tabel 18, dimana penggunaan lahan yang terdapat pada RTRW diperinci menjadi RTH Publik dan RTH Privat. Berdasarkan Gambar 22. menunjukkan bahwa Kota Depok memiliki RTH Privat sebesar 40,68% dari luas wilayah dan RTH Publik sebesar 9,32% dari luas wilayah. 5.4.2. RTH Hasil Interpretasi Citra ALOS AVNIR Berikut merupakan peta RTH hasil interpretasi Citra ALOS AVNIR berdasarkan pada 9 unsur interpretasi. Gambar 23. RTH Publik dan RTH Privat Kota Depok (Analisis)