BAB II LANDASAN TEORI

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II KAJIAN PUSTAKA. 1. Pengertian Perilaku Seksual Pranikah

HUBUNGAN ANTARA PERILAKU ASERTIF DENGAN PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH PADA REMAJA PUTRI. Skripsi

BAB 2 Tinjauan Pustaka

BAB I PENDAHULUAN. dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih

BAB I PENDAHULUAN. A.Latar Belakang. Remaja adalah mereka yang berusia diantara tahun dan merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. tersebut terjadi akibat dari kehidupan seksual remaja yang saat ini semakin bebas

BAB II LANDASAN TEORI. anggota keluarga merasa bahagia yang ditandai oleh berkurangnya ketegangan,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. HARGA DIRI. dirinya sendiri secara positif atau negatif (rendah atau tinggi). Evaluasi ini

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian Masa remaja adalah masa peralihan dari anak-anak ke dewasa yang jangka

BAB 1 PENDAHULUAN. Statistik (BPS) Republik Indonesia melaporkan bahwa Indonesia memiliki

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pada perkembangan zaman saat ini, perilaku berciuman ikut dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Menurut Imran (1998) masa remaja diawali dengan masa pubertas,

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN. gambaran harga diri (self esteem) remaja yang telah melakukan seks di luar nikah

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat melekat pada diri manusia. Seksualitas tidak bisa dihindari oleh makhluk

BAB I PENDAHULUAN. jangka waktunya berbeda bagi setiap orang tergantung faktor sosial dan budaya.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Remaja adalah masa peralihan diantara masa kanak-kanak dan dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. latin adolescere yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Latifah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

, 2015 GAMBARAN KONTROL DIRI PADA MAHASISWI YANG MELAKUKAN PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH

BAB I PENDAHULUAN. melalui perubahan fisik dan psikologis, dari masa kanak-kanak ke masa

BAB I PENDAHULUAN. yang dapat diwujudkan dalam tingkah laku yang bermacam-macam, mulai dari

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB II LANDASAN TEORI. rendah atau tinggi. Penilaian tersebut terlihat dari penghargaan mereka terhadap

BAB II KAJIAN TEORI. A. Perilaku Seksual Pranikah. 1. Perilaku Seksual. Sarwono (2003), mendefinisikan perilaku seksual remaja sebagai

BAB II LANDASAN TEORI. serangkaian kemampuan pribadi, emosi dan sosial yang mempengaruhi

BAB 1 PENDAHULUAN. Y, 2009). Pada dasarnya pendidikan seksual merupakan suatu informasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Remaja merupakan salah satu tahap dalam kehidupan manusia. Tahap ini

BAB I PENDAHULUAN. namun akan lebih nyata ketika individu memasuki usia remaja.

BAB II LANDASAN TEORI

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian seksual secara umum adalah sesuatu yang berkaitan dengan alat

BAB I PENDAHULUAN. khusus remaja seakan-akan merasa terjepit antara norma-norma yang baru

BAB II. Tinjauan Pustaka

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Seksual Pranikah. jenis. Bentuk-bentuk tingkah laku ini bisa bermacam macam mulai dari perasaan

HUBUNGAN KEINTIMAN KELUARGA DENGAN PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH PADA MAHASISWA PROGRAM STUDI D3 KEBIDANAN POLTEKKES BHAKTI MULIA

KUESIONER GAMBARAN PENGETAHUAN DAN SIKAP REMAJA TENTANG PERILAKU SEKSUAL DI SMK PENCAWAN MEDAN TAHUN 2014

BAB II TINJAUAN TEORITIS

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I. perkembangan, yaitu fase remaja. Remaja (Adolescence) di artikan sebagai masa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanan menuju masa dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. dalam tubuh yang mengiringi rangkaian pendewasaan. Pertumbuhan organ-organ

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. untuk memiliki. Pada masa ini, seorang remaja biasanya mulai naksir lawan

BAB I PENDAHULUAN. kemandirian sehingga dapat diterima dan diakui sebagai orang dewasa. Remaja

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dalam istilah asing yaitu adolescence yang berarti tumbuh kearah

BAB I PENDAHULUAN. Remaja Indonesia saat ini sedang mengalami perubahan sosial yang cepat

BAB I PENDAHULUAN. Periode perkembangan manusia terdiri atas tiga yaitu masa anak-anak,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nadia Aulia Nadhirah, 2013

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Latin adolescere (kata bendanya, adolescentia yang berarti remaja) yang berarti

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Setiap manusia selama hidupnya pasti mengalami perubahan.

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ekonomi. Remaja akan mengalami transisi dari masa kanak-kanak menuju dewasa. Pada

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi antara masa kanak-kanak dan masa

BAB II LANDASAN TEORI. (Baron & Byrne, 2004). Harga diri (self esteem) merupakan salah satu

BAB I PENDAHULUAN. Remaja adalah masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa. reproduksi sehingga mempengaruhi terjadinya perubahan perubahan

BAB I PENDAHULUAN. Remaja kota besar khususnya Jakarta semakin berani melakukan hubungan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. dengan orang lain, perubahan nilai dan kebanyakan remaja memiliki dua

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang .

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Dinamika Kebidanan vol. 2 no.2. Agustus 2012

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Seksual. laku individu yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenis

BAB I PENDAHULUAN. tampak pada pola asuh yang diterapkan orang tuanya sehingga menjadi anak

SKRIPSI. Proposal skripsi. Skripsi ini Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Ijazah S-1 Kesehatan Masyarakat

BAB II KAJIAN TEORI. dibaca dalam media massa. Menurut Walgito, (2000) perkawinan

BAB I PENDAHULUAN. Remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju dewasa yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa terjadinya perubahan-perubahan baik perubahan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dimasyarakat pada saat ini melalui media-media seperti televisi, koran, radio dan

Bab I Pendahuluan. Mahasiswa masuk pada tahapan perkembangan remaja akhir karena berada pada usia 17-

BAB II LANDASAN TEORI A. HARGA DIRI Menurut Coopersmith harga diri merupakan evaluasi yang dibuat oleh individu dan berkembang menjadi kebiasaan

Hubungan Peran Teman Sebaya Dengan Perilaku Seksual Remaja Di Smk Bina Patria 1 Sukoharjo

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. bereproduksi. Masa ini berkisar antara usia 12/13 hingga 21 tahun, dimana 13-14

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. negara-negara Barat, istilah remaja dikenal dengan adolescence yang berasal

BAB II TINJAUAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. Konsep diri adalah cara individu dalam melihat pribadinya secara utuh,

BAB 1 : PENDAHULUAN. produktif. Apabila seseorang jatuh sakit, seseorang tersebut akan mengalami

BAB I PENDAHULUAN. untuk dibicarakan. Hal ini dimungkinkan karena permasalahan seksual telah

BAB I PENDAHULUAN. menyenangkan. Apalagi pada masa-masa sekolah menengah atas. Banyak alasan. sosial yang bersifat sementara (Santrock, 1996).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV HASIL KAJIAN DAN PEMBAHASAN

Perpustakaan Unika LAMPIRAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja dikenal sebagai masa peralihan dari anak-anak menuju

Nomor : PETUNJUK PENGISIAN

BAB I PENDAHULUAN. petualangan dan tantangan serta cenderung berani menanggung risiko atas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkembangan fisik remaja di awal pubertas terjadi perubahan penampilan

BAB I PENDAHULUAN. ketergantungan sosial-ekonomi secara total ke arah ketergantungan yang

LAMPIRAN 1 SURAT PERNYATAAN PERSETUJUAN UNTUK IKUT SERTA DALAM PENELITIAN (INFORMED CONSENT)

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Masa remaja merupakan masa perubahan atau peralihan dari masa kanak-kanak

BAB I PENDAHULUAN A Latar Belakang Masalah Jelia Karlina Rachmawati, 2014

Transkripsi:

BAB II LANDASAN TEORI 2.1. HARGA DIRI (Self Esteem) 2.1.1. Pengertian Harga Diri Harga diri adalah salah satu faktor yang sangat menentukan perilaku individu (Ghufron, 2010). Setiap orang menginginkan penghargaaan yang positif. Penghargaan yang positif akan membuat seseorang merasa bahwa dirinya berharga, berhasil, dan berguna (berarti). Meskipun dirinya memiliki kekurangan baik secara fisik dan psikis, terpenuhinya kebutuhan harga diri akan menghasilkan sikap optimis dan percaya diri. Apabila kebutuhan harga diri ini tidak terpenuhi, maka akan membuat seseorang berperilaku negatif (Ghufron, 2010). Tidak semua kompensasi harga diri negatif menyebabkan perilaku negatif. Ada juga yang menyadari perasaan rendah diri kemudian mengkompensasikannya melalui prestasi dalam bidang tertentu. Dalam hal ini, prestasi apapun yang dicapai, akan meningkatkan harga diri seseorang (Tambunan, 2001). Menurut James (dalam Baron dan Byrne, 2004) harga diri adalah evaluasi diri yang dibuat oleh individu itu sendiri. Mencakup sikap seseorang terhadap dirinya sendiri dalam rentang dimensi positif dan negatif. Harga diri sebagai evaluasi yang dibuat oleh individu mengenai hal-hal yang berkaitan dengan dirinya, yang mengekspresikan suatu sikap setuju atau tidak dan menunjukkan tingkat dimana individu meyakinkan

diri sendiri bahwa dia mampu, penting, berhasil, dan berharga. Dengan kata lain harga diri merupakan suatu penilaian pribadi terhadap perasaan berharga yang diekspresikan di dalam sikap-sikap yang dipegang oleh individu tersebut (Coopersmith dalam Sari, 2009). Harga diri dapat juga diartikan sebagai evaluatif yang menyeluruh dari dirinya (Santrock, 2003). Sedangkan menurut Branden (dalam Sari, 2009) harga diri adalah apa yang individu pikirkan dan rasakan tentang dirinya, bukan apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh orang lain tentang siapa dirinya sebenarnya. Berdasarkan beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa harga diri adalah penilaian diri yang dilakukan seseorang terhadap dirinya sendiri baik secara positif maupun negatif, yang dapat tercermin melalui sikap seseorang tersebut. Harga diri merupakan hasil dari penilaian yang dilakukannya yang menunjukkan sejauh mana individu memiliki rasa percaya diri serta mampu, berhasil, berharga, dan berguna. 2.1.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Harga Diri (Self Esteem) Harga diri dalam perkembangannya terbentuk dari hasil interaksi dengan lingkungan dan atas sejumlah penghargaan, penerimaan, dan pengertian orang (Ghufron, 2010). Faktor harga diri tersebut diantaranya: 1. Faktor jenis kelamin Menurut Ancock dkk (dalam Ghufron, 2010) wanita selalu merasa harga dirinya lebih rendah daripada pria seperti perasaan kurang mampu, kepercayaan diri yang kurang mampu, atau merasa harus dilindungi. Hal ini mungkin terjadi karena peran orangtua dan harapan-harapan masyarakat yang berbeda-beda baik pada pria

maupun wanita. Pendapat tersebut sama dengan penelitian Coopersmith (dalam Ghufron, 2010) yang membuktikan bahwa harga diri wanita lebih rendah daripada harga diri pria. 2. Inteligensi Inteligensi sebagai gambaran lengkap kapasitas fungsional individu sangat erat dengan prestasi karena pengukuran inteligensi selalu berdasarkan kemampuan akademis. Menurut Coopersmith (dalam Ghufron, 2010) individu dengan harga diri yang tinggi akan mencapai prestasi akademik yang tinggi daripada individu dengan harga diri yang rendah. Selanjutnya dikatakan individu yang memiliki harga diri tinggi memiliki skor inteligensi yang lebih baik, taraf aspirasi yang lebih baik, dan selalu berusaha keras. 3. Kondisi fisik Coopersmith (dalam Ghufron, 2010) menemukan adanya hubungan yang konsisten antara daya tarik fisik dan tinggi badan dengan harga diri. Individu dengan kondisi fisik yang menarik cenderung memiliki harga diri yang lebih baik dibandingkan dengan kondisi fisik yang kurang menarik. Begitu pula dengan remaja yang terlalu memikirkan masalah ukuran dan bentuk tubuhnya. Mereka akan berusaha mati-matian untuk bisa mempertahankan bentuk tubuh atau menurunkan berat badannya. 4. Lingkungan keluarga Gerungan (dalam Sari, 2009), menyatakan bahwa keluarga merupakan kelompok sosial pertama dalam kehidupan manusia. Ia

belajar menyatakan diri sebagai manusia sosial dalam interaksi kelompoknya. Keluarga disini meliputi status ekonomi, pekerjaan orangtua, nilai-nilai orangtua, sejarah perkawinan, keterlibatan orangtua dalam kehidupan anak dan interaksi orangtua dan anak. Coopersmith (dalam Ghufron, 2010) berpendapat bahwa perlakuan adil, pemberian kesempatan untuk aktif dan mendidik yang demokratis akan membuat anak mendapat harga diri yang tinggi. Sebaliknya, orangtua yang sering memberi hukuman dan larangan tanpa alasan dapat menyebabkan anak merasa tidak berharga. Sedangkan menurut Purkey (dalam Fakhrurrozi, 2008), iklim emosi keluarga lebih menentukan tingginya harga diri daripada status sosial dan ekonomi. Mereka yang berasal dari keluarga bahagia akan memiliki harga diri tinggi karena mengalami perasaan nyaman yang berasal dari penerimaan, cinta, dan tanggapan positif orangtua. Sedangkan pengabaian dan penolakan akan membuat mereka secara otomatis merasa tidak berharga. Karena merasa tidak berharga, diacuhkan dan tidak dihargai maka mereka akan mengalami perasaan negatif. 5. Lingkungan sosial Klass dan Hodge (dalam Ghufron, 2010) berpendapat bahwa pembentukan harga diri dimulai dari seseorang yang menyadari dirinya berharga atau tidak. Hal ini merupakan hasil dari proses lingkungan, penghargaan, penerimaan, dan perlakuan orang lain kepadanya. Termasuk penerimaan teman dekat, mereka bahkan

mau untuk melepaskan prinsip diri dan melakukan perbuatan yang sama dengan teman dekat mereka agar bisa dianggap sehati walaupun perbuatan itu adalah perbuatan negatif. Sementara menurut Coopersmith (dalam Ghufron, 2010) ada beberapa ubahan dalam harga diri yang dapat dijelaskan melalui konsep-konsep kesuksesan, nilai, aspirasi dan mekanisme pertahanan diri. Kesuksesan itu dapat timbul melalui pengalaman di lingkungan, kesuksesan di bidang tertentu, kompetisi, dan nilai kebaikan. 2.1.3. Komponen Harga diri (Self Esteem) Felker (dalam Fakhrurrozi, 2008) mengemukakan bahwa komponen harga diri terdiri dari: a. Perasaan diterima (Feeling Of Belonging) Perasaan individu bahwa dirinya merupakan bagian dari suatu kelompok dan dirinya diterima seperti dihargai oleh anggota kelompoknya. Kelompok ini dapat berupa keluarga kelompok teman sebaya, atau kelompok apapun. Individu akan memiliki penilaian yang positif tentang dirinya apabila individu tersebut merasa diterima dan menjadi bagian dalam kelompoknya. Namun individu akan memiliki penilaian negatif tentang dirinya bila mengalami perasaan tidak diterima. b. Perasaan Mampu (Feeling Of Competence) Perasaan dan keyakinan individu akan kemampuan yang ada pada dirinya sendiri dalam mencapai suatu hasil yang diharapkan, misalnya perasaan seseorang pada saat mengalami keberhasilan atau kegagalan.

c. Perasaan Berharga (Feeling Of Worth) Perasaan dimana individu merasa dirinya berharga atau tidak, perasaan ini banyak dipengaruhi oleh pengalaman yang lalu. Perasaan yang dimiliki individu sering kali ditampilkan dan berasal dari pernyataan yang sifatnya pribadi seperti pintar, sopan, baik dan lain sebagainya. 2.1.4. Karakteristik Harga Diri (Self Esteem) Menurut Maslow (dalam Warsito, 2010) mengungkapkan bahwa kepuasan kebutuhan harga diri menimbulkan perasaan dan sikap percaya diri, diri berharga, diri mampu, dan perasaan berguna dan penting di dunia. Sebaliknya kebutuhan harga diri tidak terpuaskan akan menimbulkan perasaan dan sikap inferior, canggung, lemah, pasif, tergantung, penakut, tidak mampu mengatasi tuntutan hidup, dan rendah diri dalam bergaul. Coopersmith (dalam Fakhrurrozi, 2008) mengemukakan harga diri dapat dibedakan menjadi tiga jenis apabila dilihat dari karakteristik individu, yakni harga diri rendah, harga diri sedang dan harga diri tinggi. a. Individu dengan harga diri tinggi (high self-esteem) Individu dengan self esteem tinggi merupakan individu yang puas atas karakteristik dan kemampuan dirinya. Mereka menerima dan memberikan penghargaan positif terhadap dirinya, dengan begitu individu tersebut akan menciptakan rasa aman dalam menyesuaikan diri dan beraksi terhadap stimulus dari lingkungan sosial. Mereka juga memandang dirinya sebagai orang yang bernilai, penting dan berharga. Berkaitan dengan lingkungan sosialnya,

individu tersebut tidak kesulitan dalam membina persahabatan dan mengekspresikan pendapatnya, selain itu merupakan individu yang aktif. H. J Eysenck (dalam Warsito, 2010 ) mengemukakan bahwa seseorang yang memiliki harga diri tinggi cenderung percaya diri, percaya pada kemampuannya, merasa berguna, merasa berharga, dan percaya kalau mereka disukai orang lain, sedangkan mereka yang mempunyai pendapat yang rendah tentang dirinya akan cenderung merasa rendah diri, merasa gagal, tidak berarti, dan tidak menarik. Menurut Coopersmith (dalam Sari, 2009) karakteristik individu dengan harga diri tinggi antara lain, yaitu : 1. Merasa berharga dan sama baiknya dengan orang lain yang sebaya dan juga dapat menghargai orang lain. 2. Dapat mengendalikan tindakan-tindakannya terhadap dunia luar dan dapat menerima kritik dari orang lain. 3. Menyukai tugas baru yang menantang dan tidak mudah bingung bila ada hal-hal yang terjadi diluar rencana. 4. Berprestasi akademik, aktif, dapat mengekspresikan diri. 5. Tidak menganggap dirinya adalah individu yang sempurna, mengetahui keterbatasan-keterbatasan diri dan selalu mengharapkan perbaikan dirinya. 6. Memiliki nilai dan sikap yang demokratis dan realistis. 7. Bahagia dan efektif menghadapi tuntutan lingkungan.

b. Individu dengan harga diri sedang (medium self-esteem) Karakteristik individu dengan harga diri sedang hampir sama dengan karakteristik individu harga diri tinggi, terutama dalam kualitas, perilaku dan sikap. Pernyataan diri mereka memang positif, namun cenderung kurang moderat. Mereka menilai lebih baik dari kebanyakan orang, tetapi tidak termasuk dalam kelompok pilihan. Pada dasarnya penilaian mereka cenderung seperti kelompok dengan taraf harga diri tinggi daripada kelompok dengan harga diri rendah. c. Individu dengan harga diri rendah (low self-esteem) Individu dengan self esteem rendah adalah individu yang hilang kepercayaan dirinya dan tidak mampu menilai kemampuannya. Hal inilah yang mengakibatkan individu tersebut tidak mampu mengekspresikan dirinya di lingkungan sosial. Seperti tidak suka memberikan pendapatnya walaupun diminta, merasa kesulitan dalam beradaptasi di lingkungan baru. Selain itu mereka juga merupakan individu yang pesimis dan perasaannya dikendalikan oleh pendapat yang diterima oleh lingkungan. Menurut Coopersmith (dalam Sari, 2009) karakteristik individu dengan harga diri rendah antara lain, yaitu : 1. Merasa dirinya tidak berharga dan tidak disukai, hal ini membuat takut gagal untuk melakukan hubungan sosial. Karena itulah individu tersebut sering menolak dirinya sendiri, merasa tidak puas dan meremehkan dirinya sendiri.

2. Tidak memiliki keyakinan akan pendapat dan kemampuannya, sehinga kurang mampu mengekspresikan diri dan menganggap ide dan hasil pekerjaan orang lain lebih bagus darinya. 3. Memiliki kesulitan untuk beradaptasi dengan segala sesuatu baik itu tugas maupun hal-hal yang baru dan jelas. 4. Sering kali terlihat putus asa dan depresi. 5. Tidak memperhatikan diri,sehingga merasa asing/tidak dicintai. 6. Merasa tidak dapat menyelesaikan pekerjaan dengan baik walaupun sudah bekerja keras. Kebutuhan diperhatikan orang-orang dengan harga diri rendah, melalui perhatian orang lain. Seperti, pengakuan harga diri, jika kebutuhan gagal terpenuhi maka akan timbul perilaku minum-minum, mencuri, membolos, menghisap ganja dan lain sebagainya (Warsito, 2010). 2.2 Seks Di Luar Nikah 2.2.1 Pengertian Seks Di Luar Nikah Menurut Sarwono (2005) perilaku seks adalah tingkah laku yang didorong hasrat seksual, baik dengan lawan jenis maupun sesama jenis. Objek seksualnya bisa berupa orang lain, orang dalam khayalan, atau diri sendiri. Bentuk tingkah laku ini bermacam-macam, mulai dari perasaan tertarik, berkencan, bercumbu, sampai bersenggama (Sarwono, 2005). Perilaku seksual yang dilakukan tanpa melalui proses pernikahan yang resmi menurut hukum maupun agama disebut seks di luar nikah (Mu tadin dalam Rachmawati, 2011). Menurut Scanzoni dan Szanconi

(dalam Sari, 2009) hubungan seks di luar nikah itu dilakukan oleh pria dan wanita yang belum terikat perkawinan, dimana nantinya mereka akan menikah satu sama lain atau masing-masing akan menikah dengan orang lain. Jadi tidak hanya terbatas pada orang yang berpacaran saja. Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa seks di luar nikah berarti hubungan seksual tanpa ikatan pernikahan yang dilakukan dengan pacar, tunangan atau seseorang yang memiliki hubungan spesial. 2.2.2. Bentuk-bentuk Perilaku seksual Di luar nikah Menurut Sarwono (2005) bentuk perilaku seks di luar nikah bermacam-macam dari perasaan tertarik sampai tingkah laku berikut; a. Kissing (berciuman) Kissing adalah berciuman dengan bibir atau dengan mulut terbuka, termasuk dengan menggunakan lidah dan bibir melekat. b. Necking Necking adalah berciuman di sekitar leher sampai ke daerah dada, yang biasa juga dilakukan oleh remaja saat ini. c. Petting Petting adalah bentuk kegiatan seksual yang lebih sekedar berpelukan dan berciuman dan sudah mengarah kepada pembangkitan gairah seksual tapi belum sampai berhubungan kelamin (dalam Sari, 2009. Petting, yang termasuk di dalamnya adalah menyentuh dan mengelus dengan lembut berbagai bagian tubuh terutama payudara dan organ vital, biasanya lebih dapat diterima daripada hubungan seks karena petting bersifat kurang

intim dan tidak menyebabkan kehamilan. Banyak individu menilai petting adalah awal terjadinya intercourse. d. Intercouse (bersenggama) Intercourse yaitu adanya kontak penis dan vagina dan terjadinya penetrasi penis kedalam vagina. Berdasarkan penelitianpenelitian sebelumnya, sexual intercourse diawali dengan perilakuperilaku seks lainnya seperti berpelukan, berciuman, necking, ataupun petting (Dacey & Kenny dalam Stefanie, 2009). 2.2.3. Faktor- Faktor yang menyebabkan Seks Di luar nikah Menurut Sarwono (2005), ada beberapa faktor yang menyebabkan seks di luar nikah yaitu: 1. Meningkatnya Libido Seksualitas Perubahan-perubahan hormonal yang meningkatkan hasrat seksual (libido seksualitas) remaja. Peningkatan hasrat seksual ini membutuhkan penyaluran dalam bentuk tingkah laku seksual. 2. Penundaan usia perkawinan Penyaluran perilaku seksual yang tidak dapat disalurkan karena penundaan usia perkawinan, baik secara faktor oleh karena adanya undang-undang tentang perkawinan yang sudah ditetapkan batas usia menikah yaitu sedikitnya usia 16 tahun untuk wanita dan 19 tahun untuk pria, maupun karena norma yang makin lama makin menuntut persyaratan yang makin tinggi untuk perkawinan seperti pendidikan, pekerjaan, kesiapan mental, dan lain-lain.

3. Tabu Larangan Sementara usia kawin ditunda, norma-norma agama tetap berlaku dimana seseorang dilarang untuk memenuhi kebutuhan biologis tersebut (hubungan seksual) sebelum menikah. Bahkan larangannya berkembang pada tingkah laku lain seperti berciuman, dan masturbasi. Bagi remaja yang tidak dapat menahan diri, berkecenderungan untuk melanggar larangan-larangan tersebut. Norma masyarakat Indonesia masih kuat mempengaruhi sikap hubungan seks di luar nikah (Kolopaking dalam Sarwono 2002). Tetapi dalam praktiknya hubungan seks di luar nikah tetap dilaksanakan. Dalam hal ini peran agama tidak cukup kuat mempengaruhi hal tersebut (Harseno, dalam Sarwono 2002). 4. Kurangnya Informasi Tentang Seks Kecenderungan pelanggaran makin meningkat oleh karena adanya penyebaran informasi dan rangsangan seksual melalui media massa yang tidak terbendung lagi. Remaja yang sedang dalam periode rasa ingin tahu dan ingin mencoba, akan meniru yang dilihat dan didengarnya karena mereka pada umumnya belum mengetahui masalah seksual secara lengkap dari orangtuanya. 5. Pergaulan yang makin bebas Di pihak lain, tidak dapat di ingkari adanya kecenderungan pergaulan yang makin bebas antara pria dan wanita dalam masyarakat, sebagai akibat berkembangnya peran dan pendidikan wanita hingga kedudukan wanita makin sejajar dengan pria.

Santrock dalam Sarwono (2010) menunjukkan alasan bahwa remaja yang melakukan hubungan seks di luar nikah sebagai berikut: a. Remaja laki-laki cenderung menyatakan bahwa mereka sudah berhubungan seks dan sudah aktif berperilaku seksual daripada wanita (Fieldman, et. al., 1999; Hayes, 1987). b. Remaja putri menghubungkan seks dengan cinta (Michel dkk., 1994). Alasan mereka berhubungan seks adalah cinta, sementara remaja pria kecenderungan hal ini jauh lebih kecil (Cassell, 1984). c. Sebagian besar dari hubungan seks remaja, diawali dengan agresivitas remaja pria, selanjutnya remaja putri yang menentukan batasan agresivitas pria (Goodchilds & Zellman, 1984). d. Remaja pria cenderung menekan dan memaksa remaja putri untuk seks, namun ia sendiri tidak merasa memaksa (Crump dkk., 1996). e. Alasan-alasan remaja berhubungan seks: Tabel 2.1 Alasan Remaja Berhubungan Seks Alasan Perempuan % Laki-laki % Dipaksa 61 23 Merasa sudah siap 51 59 Butuh dicintai 45 23 Takut dicela (karena masih gadis/perjaka) 38 43 Sumber: Santrock dalam Sarwono (2010) Sikap mengenai isu isu-isu seksual pada remaja berkisar dari sangat positif dan permisif (erotophilia) hingga sangat negatif dan restriktif (erotophobia), dan laki-laki cenderung lebih erotofilia daripada perempuan (Byrne, 2002). Remaja laki-laki dan perempuan juga berbeda

dalam hal seberapa lama seseorang harus mengenal satu sama lain sebelum akhirnya dianggap boleh untuk berhubungan seks (Byrne, 2002). Laki-laki lebih bersedia daripada perempuan untuk berhubungan seks dengan seseorang yang mereka kenal selama satu hari atau kurang, tetapi perempuan memilih untuk mengenal seseorang dalam waktu yang lebih lama sebelum menjadi intim (Buss dan Schmitt dalam Byrne 2002). Banyak orang akhirnya menyadari bahwa melakukan seks belum tentu merupakan keputusan pribadi. Seks tidak selalu merupakan ekspresi kebebasan yang menyenangkan, sama seperti konformitas terhadap tekanan sosial. Siapapun yang memilih tidak melakukan seks mungkin akan dicap kaku, tertekan, dan diluar kelaziman (DeLamater dalam Byrne 2002). Banyak perempuan melaporkan bahwa mereka merasa tak berdaya, bersalah dan tereksploitasi (Townsend dalam Byrne 2002). Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan hubungan seks di luar nikah adalah meningkatnya libido, penundaan usia perkawinan, tabu larangan, kurangnya informasi tentang seks, pergaulan makin bebas, tekanan dari teman dan pacar. 2.2.4. Dampak Hubungan Seks Di luar nikah Akibat melakukan hubungan seks di luar nikah menurut Depkes RI (dalam Masudin, 2003), yaitu: a. Bagi Remaja 1. Menambah risiko tertular penyakit menular seksual (PMS).

2. Kehamilan yang tidak diinginkan, pengguguran yang tidak aman, infeksi organ-organ reproduksi, anemia, kemandulan dan kematian. 3. Trauma kejiwaan (depresi, rendah diri, rasa berdosa, hilang harapan). 4. Hilangnya kesempatan melanjutkan pendidikan dan kesempatan kerja. 5. Melahirkan bayi yang kurang sehat. b. Bagi keluarga 1. Menimbulkan aib keluarga. 2. Menambah beban ekonomi keluarga. 3. Pengaruh kejiwaan bagi anak yang dilahirkan atas tekanan masyarakat. c. Bagi masyarakat 1. Meningkatnya putus sekolah, sehingga kualitas masyarakat menurun. 2. Meningkatnya angka kematian ibu dan bayi. 3. Menambah beban ekonomi sehingga derajat kesejahteraan menurun. Dari banyaknya dampak negatif seks di luar nikah, tidak banyak dampak positifnya. Salah satunya, mendapatkan pengakuan teman sebaya (Tambunan, 2001). Status tidak perawan dan perjaka seorang remaja dapat dianggap sebagai sesuatu yang baik bagi kelompok tertentu. Pengakuan dan penerimaan kelompok tersebut dapat meningkatkan harga diri mereka. 2.3. Remaja 2.3.1 Pengertian Remaja Masa remaja merupakan masa transisi antara masa kanak-kanak dan masa dewasa (Papalia, 2009). Remaja sesungguhnya memiliki arti yang luas mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik

(Hurlock dalam Santrock, 2003). Sedangkan menurut Dariyo (2004) remaja adalah masa peralihan dari masa anak-anak menuju masa dewasa yang ditandai dengan adanya perubahan aspek fisik, psikis dan psikososial. Secara kronologis yang tergolong remaja berkisar antara usia 12-13 sampai 21 tahun. Berbeda dengan pendapat Dariyo, menurut Monks dan Knoers dalam Sari, (2009), suatu analisis yang cermat mengenai semua aspek perkembangan dalam masa remaja, yang secara global berlangsung antara umur 12-21 tahun, dengan pembagian 12-15 tahun masa remaja awal, 15-18 tahun masa remaja pertengahan dan 18-21 tahun untuk remaja akhir. Dari beberapa definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa remaja (adolescence) adalah masa transisi atau peralihan dari masa kanakkanak menuju dewasa yang ditandai adanya perkembangan fisik, emosi, kognitif, dan psikososial serta secara kronologis usia remaja bekisar antara usia 12 sampai 21 tahun. 2.3.2 Karakteristik Perkembangan Masa remaja merupakan peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa yang melibatkan perubahan fisik, kognitif dan sosioemosional (Santrock, 2003). Perkembangan fisik remaja dikaitkan dengan munculnya masa pubertas yang ditandai dengan tercapainya kematangan seksual, seperti dimulainya menstruasi pertama dan pertumbuhan payudara pada remaja wanita, serta pengalaman ejakulasi pertama pada remaja pria. Masa pubertas juga turut mempengaruhi

perilaku seksual remaja (Santrock, 2009). Perilaku seksual tersebut terjadi karena remaja sudah mulai merasakan gairah. Hanurawan (2010), menyatakan bahwa kegairahan adalah sumber pembangkitan arousal yang mengacu pada keterbangkitan fungsi emosi dan fungsi biologis yang kuat. Pada perkembangan kognitifnya, remaja sering merasa dirinya berbeda dari orang lain sehingga ia merasa tidak akan mengalami hal yang dialami oleh remaja lainnya (Papalia dkk, 2009). Elkind (dalam Papalia dkk, 2009) berpendapat bahwa hal tersebut dapat menyebabkan remaja melakukan hal-hal yang beresiko dan merusak diri sendiri. Mengenai perkembangan sosioemosional remaja, penelitian Archibald, Graber, dan Brooks-Gunn (dalam Santrock, 2009) menemukan bahwa perubahan yang terjadi pada masa pubertas dapat menyebabkan perubahan emosional, dan salah satu hal yang dapat mempengaruhi perubahan emosional tersebut adalah ketika dimulai pengalaman seksual dan hubungan romantis. 2.3.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Remaja Menurut pandangan Gunarsa (2001) bahwa secara umum terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan remaja yaitu : a. Faktor Endogen Dalam pandangan ini dinyatakan bahwa perubahan fisik dan psikis dipengaruhi oleh faktor internal yang bersifat herediter yaitu yang diturunkan oleh orangtuanya, misalnya postur tubuh, bakat, minat, kecerdasan, kepribadian, dan sebagainya. b. Faktor Eksogen

Perubahan dan perkembangan individu sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berasal dari luar individu sendiri. Faktor ini diantaranya berupa lingkungan fisik maupun lingkungan sosial. Menurut Santrock (dalam Sari, 2009) terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi proses perkembangan remaja yaitu : a. Sekolah Faktor sekolah meliputi teman-teman sebaya dan guru-guru dengan kepribadian masing-masing. Tanpa disadari sikap cara mengajar dan pandangan seorang guru dapat mempengaruhi perkembangan murid-muridnya (Gunarsa, 2001). b. Teman-teman Remaja lebih banyak bergaul dan menghabiskan waktunya dengan teman sebaya. Jika seorang remaja memiliki masalah pribadi atau masalah dengan orangtuanya, maka ia lebih sering membicarakannya dengan temannya. Selain itu, teman sebaya merupakan faktor penting yang membantu remaja dalam mengatasi perubahan-perubahan yang terjadi pada dirinya (Papalia, 2009). c. Keluarga Lingkungan yang pertama kali berhubungan dengan remaja adalah keluarga. Itu sebabnya keluarga mempunyai pengaruh yang tidak kecil terhadap seorang remaja meskipun ia lebih sering menghabiskan waktu bersama teman-teman sebayanya. Anggota keluarga terdiri dari orangtua, saudara sekandung dan kerabat yang menempati tempat tinggal yang sama. Keluarga yang telah

mengasuh remaja sejak masa kanak-kanak mempunyai pengaruh besar terhadap tingkah laku dan nilai yang dipercaya oleh remaja. Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa proses perkembangan remaja dipengaruhi oleh faktor internal yaitu yang diturunkan oleh orangtuanya, perubahan dan perkembangan individu sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berasal dari luar diri individu sendiri, sekolah, teman-teman sebaya dan keluarga. 2.4. Kerangka Pemikiran Masa remaja merupakan masa transisi dari masa anak-anak menuju masa dewasa (Papalia, 2009). Selama masa transisi tersebut remaja mengalami perkembangan dalam dirinya, meliputi perkembangan fisik, kognitif, dan sosioemosional (Santrock, 2003). Perkembangan yang dialami pada diri remaja dapat mempengaruhi pembentukan harga diri mereka. Harga diri itu sendiri mengandung arti suatu hasil penilaian individu terhadap dirinya yang diungkapkan dalam sikap sikap yang dapat bersifat positif dan negatif (Tambunan, 2001). Harga diri dibedakan menjadi tiga karakteristik yakni harga diri rendah, harga diri sedang, dan harga diri tinggi (Coopersmith dalam Fakhrurrozi, 2008). Karakteristik harga diri yang dimiliki remaja dapat tercermin melalui bagaimana mereka berperilaku. Termasuk dalam perilaku seksual yang dapat menyebabkan remaja melakukan hubungan seks di luar nikah. Seks di luar nikah dapat juga terjadi karena dipengaruhi oleh faktor-faktor perkembangan remaja seperti perkembangan fisik, sosial, dan lain-lain.

Selain perkembangan remaja, seks di luar nikah juga memberi kontribusi dalam pembentukkan harga diri. Harga diri tertentu juga dapat menjadi kecenderungan seseorang untuk melakukan seks di luar nikah. Maka pada kerangka pemikiran ini peneliti ingin merincikan secara terstruktur mengenai point-point pembahasan dengan maksud agar penyajian masalah dapat lebih mudah dipahami bagi yang membaca. Kerangka pemikiran penelitian ini dibuat sebagai berikut : Remaja Faktor yang mempengaruhi perkembangan remaja; a. Endogen b. Eksogen : - sekolah - teman sebaya - keluarga Perilaku seks di luar nikah Harga diri: a. Komponen; - feeling of belonging - feeling of competence - feeling of worth b. Karakteristik; - High self esteem - Medium self esteem - Low self esteem