HASIL DAN PEMBAHASAN. s n. Pengujian Fitokimia Biji Kelor dan Biji. Kelor Berkulit

dokumen-dokumen yang mirip
Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 14. Hasil Uji Alkaloid dengan Pereaksi Meyer; a) Akar, b) Batang, c) Kulit batang, d) Daun

BAB III METODE PENELITIAN. 3.1 Lokasi Pengambilan Sampel, Waktu dan Tempat Penelitian. Lokasi pengambilan sampel bertempat di sepanjang jalan Lembang-

BAB III METODE PENELITIAN

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN. - Beaker glass 1000 ml Pyrex. - Erlenmeyer 1000 ml Pyrex. - Labu didih 1000 ml Buchi. - Labu rotap 1000 ml Buchi

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN

Lampiran 1. Bagan Alir Uji Fitokimia. a. Uji Alkaloid

PEMANFAATAN BIJI ASAM JAWA (TAMARINDUS INDICA) SEBAGAI KOAGULAN ALTERNATIF DALAM PROSES PENGOLAHAN AIR SUNGAI

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Instrumen Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA Universitas Pendidikan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. tanaman binahong (A. cordifolia) yang diperoleh dari Desa Toima Kecamatan

BAB IV PROSEDUR KERJA

HASIL DAN PEMBAHASAN. Lanjutan Nilai parameter. Baku mutu. sebelum perlakuan

BAB III METODE PENELITIAN. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain kulit jengkol, larva

HASIL DAN PEMBAHASAN. standar, dilanjutkan pengukuran kadar Pb dalam contoh sebelum dan setelah koagulasi (SNI ).

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan Juni 2012.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Sampel atau bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun

PEMANFAATAN BIJI KELOR (MORINGA OLEIFERA) SEBAGAI KOAGULAN ALTERNATIF DALAM PROSES PENJERNIHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI TEKSTIL KULIT

BAB III METODE PENELITIAN. Lokasi pengambilan sampel bertempat di daerah Cihideung Lembang Kab

BAB III METODE PENELITIAN. ini berlangsung selama 4 bulan, mulai bulan Maret-Juni 2013.

BAHAN DAN METODE. Bahan dan Alat

OPTIMASI PEMBUATAN KOPI BIJI PEPAYA (Carica papaya)

BAB 1 PENDAHULUAN. karena itu air berperan penting dalam berlangsungnya sebuah kehidupan. Air

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan komponen yang sangat penting dalam kehidupan. Bagi

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. polyanthum) asal NTB. Untuk memastikan identitas dari tanaman salam

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Oktober Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Teknik Pengolahan

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Objek yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun Artocarpus

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Prosedur Penelitian

LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA II KLINIK

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

BAB 3 PERCOBAAN 3.1 Bahan 3.2 Alat 3.3 Penyiapan Simplisia 3.4 Karakterisasi Simplisia

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan Tanaman Uji Serangga Uji Uji Proksimat

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Sampel dari penelitian ini adalah daun murbei (Morus australis Poir) yang

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. yang semakin tinggi dan peningkatan jumlah industri di Indonesia.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengujian kali ini adalah penetapan kadar air dan protein dengan bahan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Sampel atau bahan penelitian ini adalah daun M. australis (hasil

METODE. Waktu dan Tempat Penelitian

Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN Persiapan dan Ekstraksi Sampel Uji Aktivitas dan Pemilihan Ekstrak Terbaik Buah Andaliman

BAB 3 PERCOBAAN 3.1 Bahan 3.2 Alat 3.3 Penyiapan Serbuk Simplisia Pengumpulan Bahan Determinasi Tanaman

BAB IV PROSEDUR PENELITIAN

KAJIAN PENGGUNAAN BIJI KELOR SEBAGAI KOAGULAN PADA PROSES PENURUNAN KANDUNGAN ORGANIK (KMnO 4 ) LIMBAH INDUSTRI TEMPE DALAM REAKTOR BATCH

3 METODE PENELITIAN. Gambar 3 Garis besar jalannya penelitian

Aries Kristanto et al., Pengaruh Ekstrak Kasar Tanin dari Daun Belimbing Wuluh... 54

BAB I PENDAHULUAN. Kulit jadi merupakan kulit hewan yang disamak (diawetkan) atau kulit

BAB III METODE PENELITIAN

4 Hasil dan Pembahasan

3. BAHAN DAN METODE Waktu dan Lokasi Penelitian. Pengambilan sampel karang lunak dilakukan pada bulan Juli dan Agustus

Serbuk Biji Kelor Sebagai Koagulan Harimbi Mawan Dinda Rakhmawati

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Serbuk halus daun tumbuhan jeringau sebanyak 400 g diekstraksi dengan

3 METODOLOGI PENELITIAN

PENYISIHAN KESADAHAN dengan METODE PENUKAR ION

BAB III METODE PENELITIAN Lokasi Pengambilan Sampel, Waktu dan Tempat Penelitian

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat

Bab III Metodologi Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat, karena air merupakan salah satu media dari berbagai macam

Bab IV Hasil Dan Pembahasan

BAB 3 PERCOBAAN. Hewan yang digunakan pada penelitian ini adalah kelinci albino New Zealand yang diperoleh dari peternakan kelinci di Lembang.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Objek atau bahan penelitian ini adalah biji paria (Momordica charantia)

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia dan Laboratorium Kimia Instrumen

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Mutu air adalah kadar air yang diperbolehkan dalam zat yang akan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Riset, Jurusan Pendidikan Kimia,

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. (Pandanus amaryllifolius Roxb.) 500 gram yang diperoleh dari padukuhan

III. Metode Penelitian A. Waktu dan Tempat Penelitian kelimpahan populasi dan pola sebaran kerang Donax variabilis di laksanakan mulai bulan Juni

LAMPIRAN LAMPIRAN 1. Alur Kerja Ekstraksi Biji Alpukat (Persea Americana Mill.) Menggunakan Pelarut Metanol, n-heksana dan Etil Asetat

HASIL DA PEMBAHASA. Kadar Air

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Mn 2+ + O 2 + H 2 O ====> MnO2 + 2 H + tak larut

BAB I PENDAHULUAN. terutama disebabkan oleh kurangnya kebersihan. Penanganan penyakit yang

HASIL DAN PEMBAHASAN Penetapan Kadar Air Hasil Ekstraksi Daun dan Buah Takokak

BAB IV PROSEDUR PENELITIAN

I PENDAHULUAN. Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka

HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Kadar Air Ekstraksi dan Rendemen Hasil Ekstraksi

BAHAN DAN METODE Tempat Penelitian Serangga Uji Bahan Tanaman Uji Penyiapan Tanaman Pakan

UJI EFEKTIVITAS EKSTRAK KERING DAUN Ocimum americanum L. SEBAGAI ANTIFUNGI Candida albicans

BAB 3 PERCOBAAN 3.1 Bahan 3.2 Alat 3.3 Hewan Uji 3.4 Pemeriksaan Kandungan Kimia Ekstrak Bawang Putih dan Kunyit Pemeriksaan Alkaloid

Analisis Fitokimia (Harborne 1987) Uji alkaloid. Penentuan Bakteriostatik Uji flavonoid dan senyawa fenolik. Penentuan Bakterisidal

Lampiran 1. Kriteria penilaian beberapa sifat kimia tanah

MODUL PRAKTIKUM BIOKIMIA PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN JURUSAN TEKNOLOGI PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. di Laboratorium Kimia Riset Makanan dan Material Jurusan Pendidikan

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilakukan dari bulan Agustus 2009 sampai dengan bulan

BAB III. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Riset, Jurusan Pendidikan Kimia,

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. di Laboratorium Kimia Riset Makanan dan Laboratorium Kimia Analitik

R E A K S I U J I P R O T E I N

BAB III METODE PENELITIAN

BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat

HASIL DAN PEMBAHASAN. Skema interaksi proton dengan struktur kaolin (Dudkin et al. 2004).

LAMPIRAN 1 DATA PENGAMATAN. Tabel 7. Data Pengamtan Hidrolisis, Fermentasi Dan Destilasi. No Perlakuan Pengamatan

PEMANFAATAN BIJI ASAM JAWA (TAMARINDUS INDICA) SEBAGAI KOAGULAN ALAMI DALAM PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI FARMASI

Transkripsi:

8 s n i1 n 1 x x i 2 HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian Fitokimia Kelor dan Kelor Berkulit s RSD (%) 100% x Pengujian Fitokimia Kelor dan Kelor Berkulit Pengujian Alkaloid Satu gram contoh dimasukkan ke dalam tabung reaksi kemudian ditambahkan 3 tetes NH 3 dan dikocok. Lima ml HCl 3 ditambahkan lalu divorteks sampai homogen. Contoh disaring, 5 tetes H 2 SO 4 2M ditambahkan ke dalam filtrat. Akan terbentuk dua lapisan. Lapisan atas atau lapisan asam dibagi menjadi tiga bagian. Masingmasing bagian ditambahkan pereaksi Dragendorff, Mayer, dan Wagner. Perubahan yang terjadi diamati. Pengujian Fenolik Campuran 5 g contoh dan 100 ml akuabides dipanaskan selama 5 menit. Contoh disaring, dan filtrat dibagi tiga, masingmasing untuk uji flavonoid, tanin, dan saponin. Untuk uji flavonoid, filtrat berturutturut ditambahkan bubuk Mg, HCletanol (1:1), dan 1 ml amil alkohol. Perubahan warna yang terjadi pada lapisan amil alkohol diamati. Filtrat ditambahkan 3 tetes FeCl 3 10% dan diamati perubahan warnanya dalam uji tanin. Sementara untuk uji saponin, filtrat dikocok kuat dan dilihat apakah terbentuk buih yang stabil. Pengujian Terpenoid Contoh diambil sebanyak 1 g, ditambahkan etanol, divorteks sampai homogen, lalu dipanaskan. Saat masih panas contoh disaring. Filtrat dipanaskan kembali sampai kering, lalu ditambahkan 1 ml dietil eter dan dikocok sampai homogen. Setelah itu, 1 ml H 2 SO 4 pekat dan 1 tetes anhidrida asetat ditambahkan ke dalamnya, dan diamati perubahan warna yang terjadi. Pengujian fitokimia biji dan biji berkulit dilakukan untuk mengetahui senyawa metabolit sekunder yang terdapat di dalam contoh. Hasil pengujian ini secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Hasil pengujian fitokimia biji dan biji berkulit Parameter Kelor Alkaloid A. Dragendorff B. Mayer C. Wagner Fenolik A. Flavanoid B. Tanin C. Saponin Terpenoid A. Steroid B. Triterpenoid Kelor Berkulit Pengujian alkaloid dalam biji dan biji berkulit menunjukkan hasil yang positif. Contoh direaksikan dengan pereaksi Dragendorff menghasilkan endapan jingga, dengan pereaksi Mayer menghasilkan endapan putih, dan dengan pereaksi Wagner menghasilkan endapan cokelat. Alkaloid merupakan golongan zat tumbuhan sekunder yang terbesar. Pada umumnya alkaloid bersifat basa dengan satu atau lebih atom nitrogen, biasanya sebagai bagian dari sistem siklik. Prekursor alkaloid yang paling umum adalah asam amino (Harborne 1987). Hasil uji fenolik menunjukkan bahwa dalam contoh biji dan biji berkulit terdapat saponin. Hal itu dibuktikan dengan terbentuknya buih yang stabil setelah contoh diberi perlakuan dan dikocok. Saponin adalah glikosida triterpena dan sterol. Saponin merupakan senyawa aktif permukaan dan bersifat seperti sabun, yang dapat dideteksi berdasarkan kemampuannya membentuk busa (Harborne 1987). Koagulan alami yang telah dikaji sifat fitokimianya antara lain Bridelia ferruginea dengan kandungan tanin dan alkaloid sebagai senyawa bioaktif utama. Selain itu, terdapat pula steroid, terpenoid, dan saponin sebagai senyawa aktif lainnya (Kolawole et al. 2006).

9 Pengujian terpenoid terhadap contoh menunjukkan hasil yang negatif baik untuk steroid maupun untuk triterpenoid. Hasil pengujian fitokimia biji dan biji berkulit dapat dilihat pada Lampiran 3. Penetapan ph Optimum Penelitian ini diawali dengan penetapan ph yang tidak memengaruhi penurunan kekeruhan air pada perlakuan tanpa pemberian koagulan biji. Pengaturan kisaran ph sangat penting dalam proses koagulasi yang optimum (Bratby 1980). Hasil penelitian (Lampiran 4) menunjukkan bahwa ph 5 9 tidak berpengaruh signifikan terhadap penurunan kekeruhan; kekeruhan hanya menurun sebesar 2,00 5,60%. Karena itu, pada penelitian ini ph tersebut dipilih untuk proses optimalisasi, sebab proses koagulasi pada nilai ph kurang dari 5 atau lebih dari 9 akan terjadi tidak hanya karena penambahan koagulan, tetapi juga dipengaruhi oleh ph. Hubungan persen penurunan kekeruhan dengan ph tanpa penambahan koagulan dapat dilihat pada Gambar 5. Penurunan Kekeruhan (%) 120.00 60.00 40.00 20.00 0.00 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 Gambar 4 Kurva hubungan antara ph dan persen penurunan kekeruhan tanpa penambahan koagulan. Setelah diperoleh rentang ph yang tidak memengaruhi proses koagulasi secara signifikan, dilakukan penetapan ph optimum untuk penurunan kekeruhan contoh menggunakan koagulan biji maupun biji berkulit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ph optimum untuk penurunan kekeruhan menggunakan koagulan biji adalah 6, dengan persentase penurunan kekeruhan sebesar 94,91%. Secara umum, persen penurunan kekeruhan menggunakan biji berkulit pada ph 5 9 relatif sama. ph 7 memberikan persen penurunan terbesar, yaitu sebesar 97,87%, (Gambar ph 5). P e n u r u n a n k e k e ru h a n (% ) 120.00 60.00 40.00 20.00 0.00 5 6 7 8 9 ph berkulit Gambar 5 Kurva hubungan antara ph dan persen penurunan kekeruhan padapenetapan ph optimum untukkoagulan biji dan biji berkulit. Proses koagulasi air baku berkaitan dengan nilai potensial zeta larutan biji dan air baku itu sendiri. Potensial zeta air sintetik adalah 46mV (Rambe 2009). Pada ph tinggi spesies negatif dominan (Bratby 1980). Bahan koagulan dalam biji adalah protein kationik yang larut dalam air. Potensial zeta larutan 5% biji tanpa kulit sekitar 6 mv (Ndabigenggesere et al. 1995). Hal ini menunjukkan bahwa larutan ini didominasi oleh tegangan positif meskipun merupakan campuran heterogen yang kompleks. Kedua hal di atas menunjukkan bahwa pada ph netral partikelpartikel dalam air bermuatan negatif. Akibatnya, koagulasi partikel tersuspensi dengan biji dipengaruhi oleh proses destabilisasi tegangan negatif koloid oleh polielektrolit kationik. Penetapan Konsentrasi Optimum Penetapan konsentrasi optimum koagulan biji dan biji berkulit dilakukan dengan variasi konsentrasi 10 500 mg/l terhadap contoh dengan kekeruhan awal 228,00 NTU. Setelah penambahan koagulan biji dengan konsentrasi 50 mg/l, kekeruhan berkurang menjadi 3,29 NTU. Konsentrasi tersebut optimum, karena pada saat konsentrasi biji ditingkatkan nilai kekeruhan akhir naik kembali menjadi 3,98 NTU (Gambar 6).

10 P e n u ru n a n k ek e ru h a n (% ) 95.00 90.00 85.00 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 200 300 400 500 Konsentrasi koagulan (mg/l) kulitnya yang menjadi zat aktif untuk proses koagulasi (Pandia & Husin 2005). Perubahan visual air baku setelah koagulasi dapat dijadikan indikator awal keberhasilan proses tersebut. Perubahan visual yang nyata seperti terlihat pada Gambar 7 dan 8. berkulit Gambar 6 Kurva hubungan antara konsentrasi koagulan dan persen penurunan kekeruhan pada penetapan konsentrasi optimum koagulan biji dan biji berkulit. Penetapan konsentrasi optimum koagulan biji berkulit dilakukan terhadap contoh dengan kekeruhan awal 240,00 NTU. Penambahan koagulan biji berkulit sebesar 80 mg/l mengurangi kekeruhan menjadi 4,06 NTU. Pada saat konsentrasi koagulan ditingkatkan menjadi 90 mg/l, kekeruhan akhir naik menjadi 4,15 NTU (Gambar 6). Hal ini menunjukkan bahwa konsentrasi optimum untuk koagulan biji berkulit adalah 80 mg/l. Penambahan koagulan biji dalam dosis tertentu meningkatkan jumlah kation yang berfungsi menetralkan muatan negatif dari partikelpartikel koloid. Penambahan ion positif akan mengurangi gaya tolakmenolak sesama koloid. Terjadi destabilisasi sistem koloid yang memungkinkan koloid saling mendekat dan membentuk mikroflok. Mikroflokmikroflok tersebut cenderung bersatu dan membentuk makroflok karena sudah mengalami destabilisasi dan akhirnya mengendap. Pada konsentrasi koagulan yang tepat, seluruh koloid dapat terikat dan bergabung menjadi flok yang besar. Gambar 6 menunjukkan bahwa penambahan konsentrasi koagulan biji maupun biji berkulit melebihi jumlah optimum justru akan menurunkan persentase penurunan kekeruhan. Koagulan berlebih dapat menutupi mikroflok sehingga tidak terbentuk makroflok. Mekanismenya adalah polimerpolimer yang berlebih akan menutupi seluruh permukaan partikel koloid sehingga tidak ada tempat untuk rantai akhir menempel dan proses flokulasi tidak terjadi. Keadaan ini dapat menstabilkan kembali partikel koloid. Data penetapan konsentrasi optimum selengkapnya diberikan di Lampiran 5. Perbedaan dosis optimum antara koagulan biji dan biji berkulit berkaitan dengan kandungan protein dalam biji dan Penetapan Waktu Pengenapan Optimum Selain penetapan ph dan konsentrasi optimum, juga dilakukan penetapan waktu pengenapan (settling time) optimum. Lampiran 6 dan Gambar 9 menunjukkan bahwa waktu pengenapan optimum untuk masingmasing koagulan adalah 60 menit dengan persentase penurunan kekeruhan sebesar 99,00% untuk koagulan biji dan 98,98% untuk koagulan biji berkulit. Penurunan kekeruhan (%) 100,00 99,00 98,00 97,00 96,00 95,00 94,00 93,00 92,00 91,00 (a) 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 Waktu pengenapan (menit) (b) Gambar 7 Air baku sebelum (a) dan setelah dikoagulasi (b) dengan biji. (a) (b) Gambar 8 Air baku sebelum (a) dan setelah dikoagulasi (b) dengan biji berkulit. berkulit Gambar 9 Kurva hubungan antara waktu dan persen penurunan kekeruhan pada penentuan waktu optimum proses pengenapan untuk koagulan biji dan biji berkulit.

11 Waktu pengenapan yang optimum adalah 60 menit. Namun, mulai menit ke10 telah diperoleh persen penurunan kekeruhan sebesar 94,17% untuk koagulan biji dan 96,12% untuk biji berkulit. Nilai kekeruhan akhir yang diperoleh berturutturut 13,30 dan 8,86 NTU. Nilai tersebut telah memenuhi baku mutu air bersih untuk parameter kekeruhan, yaitu 25 NTU (Depkes 1990). Karena itu, pengenapan 10 menit dapat diaplikasikan pada proses koagulasi untuk pengolahan air bersih. Perbandingan Hasil Koagulasi Kelor dan Kelor Berkulit dengan Koagulan Anorganik Secara umum, besi dan mangan dalam air tidak menyebabkan risiko kesehatan yang berarti, tetapi dapat menyebabkan air menjadi berwarna, berasa, dan berbau. Selain itu, dapat timbul masalah pada sistem distribusi air karena penempelan logam tersebut yang membentuk kerak pada pipa (Lin 2007). Baik besi maupun mangan dalam air biasanya terlarut dalam bentuk senyawaan atau garam bikarbonat, sulfat, hidroksida, dan juga dalam bentuk koloid atau bergabung dengan senyawa organik. Salah satu cara menghilangkan zat besi dan mangan dalam air adalah dengan koagulasi (Said & Wahyono 1999). Senyawa 4(αLramnosiloksi)benzil isotiosiana larut dalam air (Goyal et al. 2007). Gugus hidroksil dalam zat aktif tersebut dapat mengikat logam berat. Hidrogen yang semula terikat pada alkohol akan digantikan oleh logam berat yang lebih elektronegatif (Muharto et al. 2007). juga mengandung asam amino sistein yang dapat menangkap logam berat (Muharto et al. 2007). Air sungai dikoagulasi menggunakan koagulan (a) biji pada ph 6 dengan konsentrasi 50 mg/l serta waktu pengenapan 60 menit, (b) biji berkulit pada ph 7, konsentrasi 80 mg/l, dan waktu pengenapan 60 menit, serta (c) ACH ph 7, konsentrasi 10 mg/l, dan waktu pengenapan 10 menit. Ketiganya merupakan kondisi optimum yang diperoleh dari penelitian sebelumnya. Hasil koagulasi pada kondisi optimum untuk masingmasing koagulan diukur penurunan kekeruhan, konsentrasi logam besi dan mangannya. Kemudian hasilnya dibandingkan dengan koagulasi menggunakan ACH sebagai koagulan anorganik yang telah diaplikasikan pada proses pengolahan air bersih di IPA. Pembandingan dilakukan secara statistik dengan menggunakan uji beda nyata. Uji beda nyata dilakukan dengan menghitung nilai F hitung untuk membandingkan variasi data yang dihasilkan. Selain itu, juga dihitung nilai t hitung dengan metode tidak berpasangan dua arah untuk mengetahui apakah data yang dihasilkan saling berbeda nyata. Uji beda nyata dilakukan pada taraf kepercayaan 95%. Kekeruhan Kekeruhan akan sangat mengubah estetika maupun dari segi mutu air (Efendi 2003). Cara paling lazim untuk menurunkan kekeruhan adalah dengan pengenapan. Proses pengenapan dapat dipercepat dengan pemberian koagulan (Sutrisno 2006). Contoh air baku yang digunakan memiliki kekeruhan awal 380,00 NTU. Tabel 3 memperlihatkan bahwa nilai rerata persen penurunan kekeruhan air baku menggunakan biji, biji berkulit, dan ACH berturutturut 99,10; 99,07; dan 99,71%. Tabel 3 Persen penurunan kekeruhan air baku hasil koagulasi 1 99,01 99,06 99,70 2 99,08 99,13 99,71 3 99,17 99,14 99,72 4 99,07 99,02 99,70 5 99,08 99,00 99,74 6 99,22 99,06 99,73 Rerata 99,10 99,07 99,71 SD 0,078 0,053 0,016 %RSD 0,079 0,054 0,016 Diperoleh nilai F hitung 23,76, lebih besar daripada F tabel untuk perbandingan koagulan biji dengan ACH. Artinya, data kekeruhan akhir air baku hasil koagulasi menggunakan kedua koagulan tersebut berbeda nyata. Nilai t hitung juga diperoleh jauh lebih besar daripada t tabel. Perbedaan nyata juga diperoleh antara hasil koagulasi dengan biji berkulit dan dengan ACH. Diperoleh nilai F hitung dan t hitung berturutturut 10,97 dan 28,32. Perhitungan selengkapnya diberikan pada Lampiran 7.

12 Konsentrasi Ion Besi Contoh air baku yang digunakan memiliki konsentrasi awal ion besi sebesar 8,63 mg/l. Tabel 4 memperlihatkan nilai rerata persen penurunan konsentrasi ion besi dalam air baku setelah dikoagulasi menggunakan biji, biji berkulit, dan ACH berturutturut adalah 98,30; 98,45; dan 98,98%. Tabel 4 Persen penurunan konsentrasi ion besi hasil koagulasi 1 98,22 98,27 99,11 2 98,25 98,49 98,91 3 98,49 98,37 98,98 4 98,27 98,40 98,98 5 98,33 98,49 99,04 6 98,26 98,69 98,86 Rerata 98,30 98,45 98,98 SD 0,099 0,143 0,092 %RSD 0,101 0,146 0,093 Rerata persen penurunan konsentrasi ion besi dalam air baku yang dikoagulasi menggunakan biji dan ACH memiliki nilai F hitung 1,16, lebih kecil daripada F tabel. Artinya, variasi kedua kelompok data tersebut tidak berbeda nyata. Sementara itu, nilai t hitung (12,32) yang lebih besar daripada t tabel. Artinya, persen penurunan konsentrasi ion besi dalam air baku hasil koagulasi menggunakan biji dan dengan ACH berbeda nyata. Koagulan biji berkulit dan ACH memberikan nilai yang serupa. Nilai F hitung lebih kecil daripada F tabel. Artinya, variasi persen penurunan konsentrasi ion besi dalam air baku hasil koagulasi dengan biji berkulit dan dengan ACH tidak berbeda nyata. Nilai t hitung (7,63) juga lebih besar daripada t tabel. Artinya, penurunan konsentrasi ion besi dalam air baku hasil koagulasi menggunakan biji berkulit dan dengan ACH berbeda nyata. Perhitungan selengkapnya diberikan pada Lampiran 8. Berdasarkan APHAAWWA (2005), nilai %RSD yang dipersyaratkan pada pengukuran logam dalam contoh air menggunakan AAS adalah di bawah 10%. Hasil koagulasi menggunakan ketiga jenis koagulan untuk parameter ion besi memberikan %RSD di bawah 10%. Artinya, ketiga perlakuan memiliki nilai %RSD yang baik dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam APHAAWWA (2005). Konsentrasi Ion Mangan Air baku yang digunakan sebagai contoh memiliki konsentrasi awal ion mangan sebesar 0,3143 mg/l. Tabel 4 memperlihatkan rerata persen penurunan konsentrasi ion mangan dalam air baku yang telah dikoagulasi menggunakan biji, biji berkulit, dan ACH berturutturut sebesar 77,87; 81,08; dan 78,65%. Tabel 5 Persen penurunan konsentrasi ion mangan hasil koagulasi 1 76,49 80,13 79,31 2 78,06 81,63 81,42 3 79,59 81,57 78,68 4 76,70 80,69 78,62 5 78,88 81,01 76,53 6 77,47 81,44 77,34 Rerata 77,87 81,08 78,65 SD 1,220 0,588 1,692 %RSD 1,567 0,725 2,152 Dari hasil koagulasi menggunakan koagulan biji dan dengan ACH, diperoleh nilai F hitung 1,92, lebih kecil daripada F tabel. Artinya, variasi hasil koagulasi menggunakan biji dan ACH tidak berbeda nyata. Sementara itu, nilai t hitung 0,92 lebih kecil daripada t tabel. Artinya, kadar ion mangan dalam air baku hasil koagulasi menggunakan biji dan dengan ACH tidak berbeda nyata. Perhitungan hasil koagulasi menggunakan biji berkulit dan dengan ACH menghasilkan nilai F hitung lebih besar daripada F tabel. Artinya, variasi penurunan konsentrasi ion mangan dalam air baku hasil koagulasi biji berkulit dan dengan ACH berbeda nyata. Nilai t hitung 3,35 lebih besar daripada t tabel. Artinya, konsentrasi ion mangan dalam air baku hasil koagulasi dengan biji berkulit dan ACH berbeda nyata. Perhitungan selengkapnya diberikan pada Lampiran 9. Nilai %RSD pengukuran kadar mangan dalam air baku hasil koagulasi dengan biji, biji berkulit, dan ACH juga memenuhi persyaratan %RSD yang ditetapkan dalam APHAAWWA (2005).