Kondisi Fisik Congestion Jaringan Telekomunikasi Bergerak Seluler pada Wilayah Non- Rural

dokumen-dokumen yang mirip
LOGO. NATIONAL BROADBAND ECONOMY Strategi: Teknologi, Regulasi dan Pendanaan

1.2 Tujuan dan Manfaat Tujuan tugas akhir ini adalah: 1. Melakukan upgrading jaringan 2G/3G menuju jaringan Long Term Evolution (LTE) dengan terlebih

Gambar 1 1 Alokasi Penataan Ulang Frekuensi 1800 MHz[1]

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang


BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

KEPUTUSAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR : 181/KEP/M.KOMINFO/12/ 2006 T E N T A N G

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

TANTANGAN INDONESIA PADA ERA BROADBAND ICT

TEKNIK PERANCANGAN JARINGAN AKSES SELULER

MASUKAN PUSAT KEBIJAKAN INDUSTRI DAN REGULASI TELEKOMUNIKASI ITB ATAS RPM LELANG 2100 MHZ DAN 2300 MHZ

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ESTIMASI ZONA MENARA BARU PADA KOMUNIKASI SELULAR DI KABUPATEN MOJOKERTO MENGGUNAKAN GEOGRAPHIC INFORMATION SYSTEM (GIS)

Powered By TeUinSuska2009.Wordpress.com. Upload By - Vj Afive -

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BUPATI BANTUL PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 14 TAHUN 2013 TENTANG

BERITA DAERAH KABUPATEN KULON PROGO

BAB I PENDAHULUAN. (browsing, downloading, video streaming dll) dan semakin pesatnya kebutuhan

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB 2 PERENCANAAN CAKUPAN

BUPATI TEMANGGUNG PERATURAN BUPATI TEMANGGUNG NOMOR 16 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA PENEMPATAN MENARA TELEKOMUNIKASI DI KABUPATEN TEMANGGUNG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA,

RESUME PAPER KOMUNIKASI DATA & JARINGAN

BUPATI BANJAR PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN BUPATI BANJAR NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN PENATAAN PEMBANGUNAN MENARA TELEKOMUNIKASI

Analisa Performansi Sinyal EVDO di Area Boundary Pada Frekuensi 1900 MHz

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II LANDASAN TEORI

DAFTAR INFORMASI PUBLIK INFORMASI YANG WAJIB TERSEDIA SETIAP SAAT PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA TAHUN 2011

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA,

MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA KEPUTUSAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1017 TAHUN 2014

MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA

# CDMA1900, khususnya kanal 12 untuk 3G/WCDMA. Dengan penataan ulang yang dilakukan oleh pihak regulator berdampak juga terhadap pengguna komunikasi s

ANALISIS PENYEBAB BLOCKING CALL DAN DROPPED CALL PADA HARI RAYA IDUL FITRI 2012 TERHADAP UNJUK KERJA CDMA X

Working Paper. WG Spectrum 4G. (Rencana wireless broadband menuju konsolidasi infrastuktur)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA,

2011, No c. bahwa untuk dapat mendorong persaingan industri telekomunikasi yang sehat, mengembangkan inovasi teknologi informasi dan membuka pel

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

DAFTAR PM KOMINFO TERKAIT PERIZINAN DAN INVESTASI

Perencanaan Jaringan 3G UMTS. Kota Bekasi, Jawa Barat. Aldrin Fakhri Azhari

BAB I PENDAHULUAN - 1 -

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring dengan berkembangnya jaman kebutuhan manusia akan bidang telekomunikasi juga semakin meningkat,

PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 37 TAHUN 2011 TENTANG PENATAAN PEMBANGUNAN MENARA TELEKOMUNIKASI BERSAMA DI KABUPATEN TANGERANG

BAB I PENDAHULUAN UNIVERSITAS INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Menakar Kinerja Kota Kota DiIndonesia

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Bab 1. Pendahuluan. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Pengertian Judul

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Apabila dilihat dari perkembangannya, perkembangan telepon nirkabel di

PERENCANAAN JARINGAN LONG TERM EVOLUTION (LTE) 1800 MHz DI WILAYAH MAGELANG MENGGUNAKAN BTS EXISTING OPERATOR XYZ

MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR: 02/PER/M.KOMINFO/1/2006 TENTANG

2 2. Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 107, Tambaha

BAB III OPTIMASI THIRD CARRIER

ISSN : STMIK AMIKOM Yogyakarta, 6-8 Februari 2015

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2014

1. BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Analisis Pengaplikasian MCPA pada Perusahaan Provider GSM di Daerah Sumatera Utara

Perencanaan dan Penataan Menara Telekomunikasi Seluler Bersama di Kabupaten Sidoarjo Menggunakan MapInfo

BERITA DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2011 NOMOR 31 SERI E PERATURAN BUPATI BANJARNEGARA NOMOR 841 TAHUN 2011 TENTANG

2017, No c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Komunikasi dan I

BAB 1 I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB V ANALISIS POTENSI PEMANFAATAN TEKNOLOGI BROADBAND WIRELESS ACCESS PADA PITA FREKUENSI 2,3 GHz DI DAERAH USO

BAB I PENDAHULUAN. berkomunikasi yang cenderung memerlukan data rate tinggi, hal ini terlihat dari

WALIKOTA TANGERANG PROVINSI BANTEN

1.1 TINJAUAN TERHADAP OBJEK STUDI

BERITA NEGARA. No.1013, 2012 KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA. Penggunaan Pita Frekuensi Radio 2.3GHz. Layanan Wireless Broadband. Prosedur.

Perencanaan dan Penataan Menara Telekomunikasi Seluler Bersama di Kabupaten Bangkalan Menggunakan MapInfo Dwi Adha Manjayanti

Management Bisnis ICT

BAB III PERANCANGAN DAN SIMULASI LEVEL DAYATERIMA DAN SIGNAL INTERFERENSI RATIO (SIR) UE MENGGUNAKAN RPS 5.3

ANALISIS PENGARUH HALF RATE DAN FULL RATE TERHADAP TRAFFIC CHANNEL DAN SPEECH QUALITY INDICATOR PADA JARINGAN GSM PT.

PENGANTAR SISTEM KOMUNIKASI SELULER

PERENCANAAN JARINGAN LONG TERM EVOLUTION (LTE)1800 Mhz DI WILAYAH MAGELANG MENGGUNAKAN BTS EXISTING OPERATOR XYZ

Perencanaan dan Penataan Menara Telekomunikasi Seluler Bersama di Kabupaten Sidoarjo Menggunakan MapInfo

BERITA DAERAH KABUPATEN KULON PROGO

PERATURAN MENTERI KOMNIKASI DAN INFORMATIKA. NOMOR : 05 / P / M. Kominfo / 5 / 2005 TENTANG

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2017 TENTANG TABEL ALOKASI SPEKTRUM FREKUENSI RADIO INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA DAERAH KABUPATEN KULON PROGO

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PERPANJANGAN IZIN PITA FREKUENSI RADIO

ANALISA PENERAPAN TEKNOLOGI UMTS UNTUK MENGATASI PERMASALAHAN KAPASITAS PADA JARINGAN 2G (GSM) STUDI KASUS DI PT. INDOSAT.

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

WALIKOTA BANJAR PERATURAN WALIKOTA BANJAR NOMOR 33 TAHUN 2013 TENTANG TATA CARA PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN SERTA PEMANFAATAN MENARA TELEKOMUNIKASI

Teknik Transmisi Seluler (DTG3G3)

Teknik Transmisi Seluler (DTG3G3)

PERATURAN GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

Transkripsi:

SIARAN PERS KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NO. 60/HM/KOMINFO/05/2017 Tentang Kondisi Fisik Congestion Jaringan Telekomunikasi Bergerak Seluler pada Non- Rural Kementerian Komunikasi dan Informatika melakukan pengkajian kondisi fisik jaringan telekomunikai bergerak selular di wilayah perkotaan yang bertujuan untuk melihat sejauhmana kebutuhan masyarakat dalam berkomunikasi di wilayah- wilayah non- rural pada 10 kota besar (Medan, DKI Jakarta, Bodetabek, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Denpasar, Pontianak, dan Makasar) dapat dipenuhi dan dilayani dilihat dari kondisi Congestion jaringan. Sebagaimana diketahui tuntutan dan harapan atau ekspektasi masyarakat akan layanan telekomunikasi saat ini meningkat tajam seiring tuntutan tidak hanya pada basis layanan suara (voice) akan tetapi ekspektsi yang semakin besar justru pada kelayakan dan kepuasan layanan data atau akses Internet. Kajian ini memberikan manfaat bagi masyarakat dalam keterlayanannya dalam penyelenggaraan telekomunikasi nasional di wilayah non- rural sehingga di satu sisi secara teknis terjadi kesetimbangan dalam beban jaringan dan di sisi lain masyarakat diberikan kondisi jaringan yang memberikan jaminan kestabilan dan keberlangsungan layanan. Siapapun saat ini membutuhkan layanan telekomunikasi berbasis jaringan bergerak seluler, seiring ketergantungan masyarakat untuk dapat berkomunikasi di mana saja dan tetap terkoneksi dengan jaringan Internet dimanapun. Tidak hanya untuk melayani jumlah pelanggan atau perangkat terkoneksi yang semakin banyak akan tetapi penyelenggara jaringan telekomunikasi bergerak seluler atau operator seluler harus mampu memenuhi pertumbuhan trafik dan kebutuhan kecepatan data di suatu wilayah. Oleh karena itu seluler dituntut untuk terus membangun jaringan telekomunikasi seluler nya dengan memperhatikan kemampuan menangani jumlah koneksi, kemampuan menangani pertumbuhan atau melonjaknya trafik dan juga menjaga kenyamaan dari sisi kecepatan data atau Internet. Bagaimana operator seluler dapat menangani kebutuhan jaringan bergerak selulernya untuk dapat memenuhi kebutuhan- kebutuhan di atas? Tentu operator selalu melakukan peningkatan jaringan seiring prediksi peningkatan kebutuhan pengguna layanannya, yaitu dengan melakukan langkah- langkah sebagai berikut : a) Menambah carrier frekuensi di dalam satu sektor pancaran base- station; b) Jika carrier frekuensi sudah maksimal digunakan, maka operator akan menambah sektor; c) Jika carrier frekuensi dan sektor sudah maksimal di suatu site, bisa karena keterbatasan kemampuan fisik tower atau kemampuan support daya listrik di site tersebut, maka pilihan terakhir operator adalah melakukan penambahan site site / base- station baru di sekitar area yang menjadi target coverage tersebut (cell splitting); d) Jika ternyata penambahan site baru sudah maksimal di suatu area, atau bahkan tidak dimungkinkan lagi, karena terbatasi oleh Rencana Tata Ruang dan (RTRW) Pemda setempat, maka operator akan mempertimbangkan untuk meng- upgrade 1

teknologi pada base- station terkait menjadi teknologi terbaru yang dapat menampung lebih banyak trafik. e) Apabila setelah dilakukan upgrade teknologi masih terdapat indikasi bahwa trafik terus meningkat dan throughput di sisi pelanggan mulai menurun, di titik inilah operator seluler dalam kondisi sangat membutuhkan tambahan bandwidth dalam bentuk Izin Pita Frekuensi Radio (IPFR) baru guna menambah jumlah carrier yang dapat dipancarkan di setiap cell- nya. Akan terdapat satu kondisi di mana pembangunan base- station sudah maksimal namun masih mampu membawa kebutuhan trafik dan tuntutan kecepatan data, hal ini dinamakan kondisi di mana coverage planning sama dengan capacity planning, ada kondisi jenuh atau cakupan base station tidak bisa ditingkatkan sementara trafik juga pada posisi yang maksimal. Apabila tuntutan kebutuhan jumlah pelanggan, peningkatan trafik dan tuntutan kecepatan data meningkat maka kondisi di atas tidak bisa menangani kebutuhan tersebut sehingga tentu dibutuhkan adanya pembangunan tambahan base- station baru yang banyak karena harus dilakukan dengan cell- splitting, membagi area cakupan base- station semula menjadi lebih kecil sehingga harus ditangani oleh jumlah base- station yang lebih banyak. Kondisi ini yang terjadi di kota- kota besar dan relatif besar di Indonesia. Apakah mudah untuk begitu saja melakukan cell- splitting seperti di atas? Sayangnya penambahan base- station juga tidak mudah karena sangat terbatas, dibatasi oleh regulasi atau kebijakan tata ruang wilayah atau karena memang situasi fisik lingkungan di mana bangunan- bangunan di sekitar area tidak memungkinkan adanya penambahan base- station. Di sini digambarkan penjelasan teknikal jika setiap penambahan base- station dilakukan bersamaan dengan penambahan jumlah carrier yang diizinkan untuk dipancarkan, di mana terdapat kondisi yang harus dilakukan baik dari sisi regulator agar terjadi pemenuhan tuntutan kebutuhan pelanggan, yaitu jumlah pelanggan/koneksi, penanganan trafik, kecepatan data Internet, dengan ilustrasi pada gambar di bawah ini : 2

Berdasarkan data/informasi dari operator seluler bahwa kondisi saat ini telah terjadi situasi kepadatan jaringan seluler, atau disebut congestion, sehingga throughput di sisi pelanggan terjadi penurunan. Hal ini mengakibatkan selain pada menurunnya kualitas layanan (Quality of Services/QoS) di sisi pelanggan, juga pada tidak terpenuhinya pencapaian target kecepatan minimal akses bergerak yang tercantum di dalam Rencana Pitalebar Indonesia (RPI) / Indonesia Broadband Plan yang telah ditetapkan oleh Presiden RI melalui Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2014. Berkenaan dengan situasi di atas, Pemerintah kemudian melakukan evaluasi terhadap jumlah infrastruktur base- station G dan 4G yang telah dibangun oleh para operator seluler di 10 wilayah provinsi dan kota besar yang tersebar di seluruh Indonesia, yaitu Kota Medan, wilayah Provinsi DKI Jakarta, wilayah outter ring DKI Jakarta yakni Bodetabek (Bogor, Depok, Tangerang/Tangerang Selatan dan Bekasi), Kota Semarang, Kota Yogyakarta, Kota Surabaya, Kota Denpasar, Kota Pontianak, dan Kota Makasar. Evaluasi ini bertujuan melihat seberapa tinggi tingkat kepadatan jaringan (congestion) yang terjadi tersebut. Evaluasi dilakukan dengan menggunakan acuan parameter merujuk pada dokumen rekomendasi dari ITU yaitu ITU- R Report yang terkait dan dokumen GPP. Evaluasi dilakukan dengan 2 pendekatan, yaitu: a) Membandingkan antara jumlah sektor Base Station yang telah dibangun di suatu wilayah dengan batas minimum jumlah sektor untuk cover wilayah tersebut (coverage- wise); dan b) Membandingkan antara rata- rata jarak antar- site setiap operator (actual average Inter- Site Distance) di suatu wilayah dengan referensi Inter- Site Distance (ISD) untuk kawasan urban dan sub- urban yang tercantum di dalam dokumen ITU- R Report M.215. Berdasarkan hasil evaluasi terhadap data pembangunan base- station yang disampaikan oleh semua operator seluler (data per bulan Maret 2017), didapatkan hasil evaluasi untuk pendekatan yang pertama (jumlah sektor vs coverage- wise) adalah sebagai berikut (Tabel 1): No. Luas (km 2 ) Klasifikasi Minimum Acuan Jumlah Sector Inter- Site Base Station Untuk Distance (ISD) Cover (km) (Coverage Wise) A B Jumlah Sektor G+4G (data Maret 2017) C D E Tabel 1. Evaluasi kepadatan jaringan seluler dengan pendekatan Coverage Wise F 1 Kota Medan 265,00 Sub Urban 1, 544 179 1426 0 78 79 06 2445 2 DKI Jakarta 664,01 Urban 0,5 9201 496 11729 8 1566 1558 1918 1128 Outter Ring DKI Jakarta 826,52 Sub Urban 1, 1695 4878 5594 4 1012 999 16712 7507 (Bodetabek) 4 Kota Bandung 167,67 Urban 0,5 224 1604 1755 0 42 422 724 281 5 Kota Semarang 7,78 Sub urban 1, 767 197 1262 0 71 2 2002 1279 6 Kota Yogyakarta 2,50 Sub Urban 1, 67 291 700 0 96 96 711 441 7 Kota Surabaya 50,54 Sub Urban 1, 719 1786 2727 9 650 687 621 299 8 Kota Denpasar 127,78 Sub Urban 1, 262 960 1028 1 140 14 2022 2170 9 Kota Pontianak 107,80 Sub Urban 1, 221 610 74 0 18 0 85 78 10 Kota Makassar 199,26 Sub Urban 1, 409 1192 1046 28 26 260 24 886 G

Keterangan : a) Kotak yang diberi highlight merah muda berarti sudah mengalami congestion karena jumlah sektor eksisting yang dibangun di wilayah tersebut telah melebihi batas minimum jumlah sektor Base Station untuk cover wilayah. Sedangkan kotak yang tidak diberi highlight merah muda berarti belum mengalami congestion. b) DKI Jakarta meliputi seluruh wilayah Provinsi DKI Jakarta, yakni : Jakarta Pusat, Jakarta Barat, Jakarta Timur, Jakarta Selatan, Jakarta Utara dan Kep. Seribu. c) Outter Ring DKI Jakarta (Bodetabek) diambil wilayah perkotaannya, yakni : Kota Bogor, Kota Depok, Kota Tangerang, Kota Tangerang Selatan, dan Kota Bekasi. No. Untuk evaluasi dengan pendekatan yang kedua, yaitu membandingkan antara rata- rata ISD setiap operator dengan ISD acuan di dalam dokumen ITU- R Report M.215, hasilnya adalah sebagai berikut (Tabel 2) : Luas (km 2 ) Klasifikasi Acuan Inter- Site Distance (ISD) dari Dok. Rep. ITU- R M.215 (meter) A Actual Average Inter- Site Distance (ISD) untuk Sektor G+4G Eksisting (data Maret 2017) (dalam meter) B C D E Tabel 2. Evaluasi kepadatan jaringan seluler dengan pendekatan Inter- Site Distance F Keterangan : a) Kotak yang diberi highlight merah muda berarti sudah mengalami congestion karena jarak rata- rata antar- site yang telah dibangun di wilayah tersebut lebih kecil daripada referensi jarak antar- site ideal sesuai dokumen ITU- R Report M.215. Sedangkan kotak yang tidak diberi highlight merah muda berarti belum mengalami congestion karena rata- rata jarak antar- sitenya masih lebih besar dari jarak ISD ideal. b) DKI Jakarta meliputi seluruh wilayah Provinsi DKI Jakarta, yakni : Jakarta Pusat, Jakarta Barat, Jakarta Timur, Jakarta Selatan, Jakarta Utara dan Kep. Seribu. c) Outter Ring DKI Jakarta (Bodetabek) diambil wilayah perkotaannya, yakni : Kota Bogor, Kota Depok, Kota Tangerang, Kota Tangerang Selatan, dan Kota Bekasi. Dari Tabel 1 dan Tabel 2 di atas dapat dilihat bahwa telah terjadi kepadatan (congestion) jaringan seluler pada hampir seluruh operator seluler. Hanya P.T. E yang belum mencapai tahap congestion karena pembangunannya selama ini terkonsentrasi di daerah rural dan G 1 Kota Medan 265,00 Sub Urban 100 816 802 N/A 1558 1556 547 61 2 DKI Jakarta 664,01 Urban 500 68 44 16957 1212 1215 407 451 Outter Ring DKI Jakarta 826,52 Sub Urban 100 766 715 26754 1682 169 414 618 (Bodetabek) 4 Kota Bandung 167,67 Urban 500 602 575 N/A 1160 117 95 494 5 Kota Semarang 7,78 Sub urban 100 96 101 N/A 1868 1975 804 1006 6 Kota Yogyakarta 2,50 Sub Urban 100 622 401 N/A 108 108 98 505 7 Kota Surabaya 50,54 Sub Urban 100 825 667 11616 167 129 579 67 8 Kota Denpasar 127,78 Sub Urban 100 679 656 2109 1778 1759 468 452 9 Kota Pontianak 107,80 Sub Urban 100 782 999 N/A 4555 N/A 662 994 10 Kota Makassar 199,26 Sub Urban 100 761 812 4965 1620 1629 461 88 4

baru mendapatkan hak mengoperasikan teknologi seluler selain CDMA pada akhir tahun 2016 yang lalu. Dalam situasi terjadinya kepadatan (congestion) jaringan bergerak seluler tersebut, maka Pemerintah sebagai regulator telekomunikasi sangat penting untuk memberikan pemenuhan tuntutan kebutuhan pelanggan, yaitu jumlah pelanggan/koneksi, penanganan trafik, kecepatan data Internet. Pemenuhan tersebut dilakukan dengan menyediakan pita yang seusai dan memberikan penugasan penggunaan spektrum frekuensi radio untuk keperluan penambahan kapasitas layanan telekomunikasi berbasis jaringan bergerak seluler. Jakarta, 19 Mei 2017 BIRO HUMAS, KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA 5