BAB V SIMPULAN DAN SARAN

dokumen-dokumen yang mirip
MORFOFONEMIK DALAM AFIKSASI BAHASA MELAYU DIALEK BETAWI TESIS

BAB III METODE PENELITIAN. berupa kata-kata (Subroto, 2007:5). Hal ini sejalan dengan pendapat Frankel (1998:

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kemampuan berkomunikasi merupakan hal yang sangat diperlukan saat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa ini, bahasa Indonesia semakin berkembang. Dalam penelitiannya

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

BAB1 PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan berpengaruh terhadap sistem atau kaidah

PROSES MORFOLOGIS PEMBENTUKAN KATA RAGAM BAHASA WALIKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. A. Tinjauan Pustaka. Beberapa studi terdahulu yang relevan dengan penelitian ini adalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. menengah. Di antara keempat kegiatan berbahasa tersebut, menulis

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 3 METODE DAN PROSEDUR PENELITIAN. Bab ini merupakan penjabaran lebih lanjut tentang metode penelitian yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORETIS. jadian. Dalam proses tersebut, ada empat komponen yang terlibat, yaitu (i) masukan

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

TATA KATA DAN TATA ISTILAH BAHASA INDONESIA

Nama : Irine Linawati NIM : BAB V TATARAN LINGUISTIK (2) = MORFOLOGI

BAB 5 TATARAN LINGUISTIK

MASALAH-MASALAH MORFOLOGIS DALAM PENYUSUNAN KALIMAT SISWA KELAS XSMA WAHIDIYAH KEDIRI

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

LINGUISTIK UMUM TATARAN LINGUISTIK (2) : MORFOLOGI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa sebagai sarana untuk berkomunikasi memunyai peranan yang sangat

ANALISIS FUNGSI DAN FAKTOR PENYEBAB PEMAKAIAN PREFIKS. MeN- YANG DOMINAN DALAM CERPEN MAJALAH STORY EDISI 14/ TH.II/ 25 AGUSTUS - 24 OKTOBER 2010

BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN. Kecamatan Kejaksan Kota Cirebon dalam bidang fonologi, morfologi, dan

BAB 5 TATARAN LINGUISTIK (2); MORFOLOGI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bahasa sangat berperan penting dalam kehidupan manusia. Bahasa adalah

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa adalah alat untuk berinteraksi atau alat untuk berkomunikasi,

BAB 11 KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. bahasa yang digunakan akal budi memahami hal-hal lain ( KBBI,2007:588).

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa memiliki peran yang amat penting dalam kehidupan sehari-hari. Bahasa

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Bahasa adalah suatu alat komunikasi pada manusia untuk menyatakan

Assalamu alaikum Wr. Kelompok 6 : 1. Novi Yanti Senjaya 2. Noviana Budianty 3. Nurani amalia

BAB I PENDAHULUAN. perhatian khusus dari pengamat bahasa. Hal ini dikarenakan nominalisasi mempunyai

PEMBENTUKAN KATA PADA LIRIK LAGU EBIET G. ADE

BAB I PENDAHULUAN. untuk pemersatu antarsuku, bangsa dan budaya, sehingga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB VI PENUTUP. dirumuskan tersebut berdasarkan rumusan masalah yang telah ditetapkan. Variabel

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN. Dibawah ini merupakan paradigma penelitian KAJIAN MORFOLOGIS

PROSES MORFOFONEMIK KATA BERAFIKS DALAM RUBRIK PERCIKAN MAJALAH GADIS

BAB I PENDAHULUAN. menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia dan pada undang-undang

BAB II LANDASAN TEORI. Proses morfologis ialah cara pembentukan kata-kata dengan menghubungkan

INFLEKSI DALAM BAHASA KULISUSU

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Dalam arti, bahasa mempunyai kedudukan yang penting bagi

BAB I PENDAHULUAN. bahasa manusia. Sebagai alat komunikasi manusia, bahasa adalah suatu sistem

THE AFFIXATION OF JAVA LANGUAGE KRAMA INGGIL DIALECT OF EAST JAVA IN THE VILLAGE SUAK TEMENGGUNG DISTRIC OF PEKAITAN ROKAN HILIR

BAB V PENUTUP. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tentang kajian. Aji Kabupaten Jepara dapat disimpulkan sebagai berikut.

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang digunakan oleh masyarakat

INTERERENSI FONOLOGIS DAN MORFOLOGIS BAHASA JAWA KE DALAM BAHASA INDONESIA PADA PROSES PEMBELAJARAN DI SD SE-KECAMATAN KRAMAT, KABUPATEN TEGAL

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Analisis Morfofonemik Cerita Bersambung Pedhalangan Aswatama Anglandhak dalam Majalah Djaka Lodang Tahun 2012 Karya Mulyantara

ANALISIS AFIKSASI DAN PENGHILANGAN BUNYI PADA LIRIK LAGU GEISHA DALAM ALBUM MERAIH BINTANG

BAB 4 PENUTUP. saran-saran. Berikut ini diuraikan secara berturut-turut (1) simpulan dan (2) saran.

ANALISIS KESALAHAN BERBAHASA BIDANG MORFOLOGI PADA MADING DI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA JURNAL ILMIAH

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. kata, yang memiliki kesanggupan melekat pada satuan-satuan lain untuk membentuk

PEMAKAIAN PREFIKS DALAM CERITA PENDEK DI MAJALAH ANEKA SKRIPSI

INTERFERENSI MORFOLOGI BAHASA OGAN DALAM PEMAKAIAN BAHASA INDONESIA MURID SEKOLAH DASAR. Oleh: Dewi Sri Rezki Cucu Sutarsyah Nurlaksana Eko Rusminto

ANALISIS BENTUK DAN MAKNA AFIKS VERBA PADA TEKS BACAAN DALAM BUKU SISWA BAHASA INDONESIA SMP/MTS KELAS VII KURIKULUM 2013

Jurnal Kata (Bahasa, Sastra, dan Pembelajarannya) Januari 2014 KATA BERIMBUHAN DALAM LAPORAN PRAKERIN SISWA SMK NEGERI 2 BANDAR LAMPUNG TAHUN 2013

BAB V KESIMPULAN. Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya,

AFIKSASI BAHASA JAWA-BANTEN PADA LAGU DAERAH BANTEN SEBAGAI PESONA IDENTITAS LOKAL. Sundawati Tisnasari 1 Agustia Afriyani 2

BAB I PENDAHULUAN. gambar. Dengan kata lain, komik adalah sebuah cerita bergambar.

Siti Zumrotul Maulida: Merubah, Mengobah atau...,

2/27/2017. Kemunculan AK; Kuliah 1 Sejarah Perkembangan, Konsep dan Teori Analisis Bezaan

BAB I PENDAHULUAN. Bangsa Indonesia terdiri atas berbagai suku bangsa, tiap suku bangsa mendiami daerah tertentu.

AFIKSASI BAHASA MELAYU DIALEK NGABANG

MORFOFONEMIK BAHASA MELAYU DELI

2. Punya pendirian, peduli sesama, berkomitmen dan bisa bertanggung jawab. Menurut aku, gentleman punya sifat yang seperti itu. Kalau punya pacar, dia

BAB I PENDAHULUAN. kriya. (Nurhayati, 2001: 69) menyatakan bahwa verba atau tembung kriya

BAB I PENDAHULUAN. menanggapi sesuatu yang terjadi di sekitarnya juga berkembang. Dalam hal ini,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut KBBI kata adalah unsur bahasa yang diucapkan atau dituliskan, yang

BAB I PENDAHULUAN. tindakan. Komunikasi dalam bentuk ujaran mungkin wujudnya berupa kalimat

BAB I PENDAHULUAN. yang ada di wilayah Sulawesi Tenggara, tepatnya di Pulau Buton. Pada masa

BAB I PENDAHULUAN. Proses morfologi memunyai tugas untuk membentuk kata. Sebagian besar

BAB II LANDASAN TEORI

ANALISIS MORFEM BAHASA MELAYU SUB-DIALEK SEKANAK DESA TINJUL KECAMATAN SINGKEP BARAT KABUPATEN LINGGA

DESKRIPSI PENGGUNAAN METODE CERAMAH UNTUK PEMBELAJARAN MORFOLOGI DAN DAMPAKNYA TERHADAP PENGGUNAAN MORFEM PADA TEKS PIDATO SISWA KELAS VIII A

Jurnal Sasindo Unpam, Volume 2, Nomor 2, Juli Afiksasi Dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Sunda (Studi Kontrastif)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Morfologi merupakan cabang ilmu linguistik yang mengkaji tentang

PROSES MORFOLOGIS BAHASA MELAYU PALEMBANG SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. mahasiswa dalam berbahasa Perancis yang baik dan benar. Selayaknya

I. PENDAHULUAN. Sekolah Menengah Kejuruan merupakan satuan pendidikan formal yang

PENYIMPANGAN GRAMATIKAL PADA BERITA UTAMA KORAN KENDARI POS EDISI FEBRUARI

BAB 2 LANDASAN TEORI. Dalam penelitian ini, dijelaskan konsep bentuk, khususnya afiksasi, dan

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Konsep adalah ide-ide, penggambaran hal-hal atau benda-benda ataupun

THE AFFIXATION LANGUAGE OF MALAY IN KOBA LITERATURE ORAL PEOPLE OF RIAU (In Dialect Districts Rokan Hilir)

BAB I PENDAHULUAN. Linguistik adalah ilmu yang mempelajari bahasa. Adapun yang dimaksud dengan

SKRIPSI. Oleh : Pradipta Rismarini NIM PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS BAHASA DAN SENI

II. TINJAUAN PUSTAKA. Chaer (2008:25) mengemukakan bahwa proses morfologi pada dasarnya adalah

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan hakikatnya, bahasa dimiliki oleh manusia saja. Tuhan memberi

ANALISIS BENTUK MORFEM BAHASA MELAYU DIALEK TANJUNG AMBAT KECAMATAN SENAYANG

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat di dunia. Bahasa terdiri atas bahasa lisan dan tulisan. Sebagai bagian dari

BAB I PENDAHULUAN. banyak masalah yang harus dicarikan jalan keluarnya secara sistematis. Salah satu

NUMERALIA BAHASA DAYAK DESA

BAB 1 PENDAHULUAN. Bahasa merupakan sistem lambang bunyi yang bersifat dinamis, arbitrer,

INTERFERENSI GRAMATIKAL BAHASA KOREA KE DALAM BAHASA INDONESIA

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa merupakan bentuk pemikiran yang dapat dipahami, berhubungan

Transkripsi:

BAB V SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan Setiap bahasa di dunia memiliki sistem kebahasaan yang berbeda. Perbedaan sistem bahasa itulah yang menyebabkan setiap bahasa memiliki ciri khas dan keunikan, baik dalam bidang sintaksis, semantik, morfologi, maupun fonologi. Dari sekian perbedaan tersebut, yang paling mudah dilihat adalah perbedaan fonologi. Pengucapan setiap kosakata pada tiap bahasa akan berbeda, meskipun memiliki makna yang sama. Perbedaan tersebut akan semakin jelas berbeda apabila suatu bahasa memiliki rumpun betul Betawi akan diucapkan / /, sedangkan dalam bahasa Melayu dialek Batak akan diucapkan / /. Untuk dapat mengetahui pola morfofonemik BMDB harus terlebih dahulu mengidentivikasi bentuk kata BMDB. Bentuk kata dalam BMDB ada dua, yaitu kata monomorfemis dan polimorfemis. Kosakata monomorfemis BMDB tidak masuk dalam kajian penelitian ini karena kosakata monomorfemis tidak akan mengalami proses morfologis sebelumnya. Morfem yang ada pada kata monomorfemis tersebut adalah satu-satunya unsur atau anggota kata. Kata polimorfemik BMDB terdiri atas dua morfem, yaitu morfem terikat dan morfem bebas. Dari 3.117 kosakata BMDB, ditemukan 1.416 kosakata berafiks. Morfem terikat BMDB berupa afiks yang terdiri atas prefiks, sufiks, dan konfiks. Kosakata berafiks BMDB yang terdiri atas prefiks, sufiks, dan konfiks tersebut dikelompokkan ke dalam tiga kelompok, yaitu Kelompok I: Awalan + Kata Dasar, Kelompok II: Awalan + Kata Dasar + Akhiran; dan Kelompok III: Kata Dasar + Akhiran. Apabila dilihat dari persentase kemunculannya, Kelompok I menempati urutan pertama dengan jumlah kosakata sebanyak 1.109. Proses afiksasi yang terjadi pada kelimpok I ini masuk dalam kategori prefiks. Urutan kedua ditempati oleh Kelompok III. Jumlah kosakata yang berhasil teridentifikasi sebanyak 218. Proses afiksasi pada kelompok ini adalah konfiks, yaitu berupa penggabungan awalan + Kata Dasar + akhiran. Urutan terakhir adalah kelompok II dengan jumlah kosakata sebanyak 90. Proses afiksasi pada kelompok ini adalah sufiks. 164

165 Masing-masing kelompok dapat diindetifikasi sesuai jenis afiksasi. Kelompok I berupa prefiks dapat dibagi ke dalam beberapa bentuk prefiks, yaitu prefiks /N- + KD/ yang terbagi lagi ke dalam beberapa variasi prefiks /N-/; Variasi Nasal 1: /N- + KD/: /ng- + KD/, /nge- + KD/, /ng - + KD/, /ng - + KD/, /ng - + KD/, /ng - + KD/, dan /ng - + KD/; Variasi Nasal 2: /N- + KD/: /ny- + KD/, /ny - + KD/, /ny - + KD/, / ny - KD/, /ny - + KD/, dan /ny - + KD/. Selanjutnya adalah prefiks /me- +KD/ dengan beberapa variasi prefiks: /m- + KD/, /me- +KD/, dan /meng- + KD/. Berikutnya adalah prefiks /pe- + KD/ yang memiliki dua variasi prefik: /pe- + KD/ dan /peng- + KD/. Prefiks lain yang teridentifikasi ialah prefiks /ber- + KD/, /ter- + KD/, /di- + KD/, /ke- + KD/, /se- + KD/, /je- + KD/, dan /ge- + KD/. Ketujuh prefiks terakhir yang ditemukan masing-masing tidak memiliki variasi bentuk prefiks. Kelompok II teridentifikasi sebagai konfiks, yaitu penggabungan awalan dan akhiran terhadap kata dasar sehingga membentuk kata jadian: /Prefiks + KD + Sufiks/. Kelompok II ini menempati urutan kedua setelah Kelompok I, yaitu sebanyak 218 kata. Pola konfiks yang teridentifikasi dari 218 kata berafiks BMDB terbagi atas 2 bentuk, yaitu Konfiks /N- + KD + -in/ memiliki varian terbanyak yang terdiri atas /N- + KD + -in/, /ng- + KD + -in/, /nge- + KD + -in/, /nga- + KD + -in/, dan /ngi- + KD + -in/. Varian - varian tersebut terdistribusi ke dalam 95 kata berafiks. Jenis konfik lain yang ditemukan, tetapi jumlahnya tidak banyak, yaitu /m- + KD + -in/ berjumlah 13 kata kata berafiks, /ke- + KD + -an/ berjumlah 18 kata berafiks BMDB, /be- + KD + -an/ berjumlah 6 kata berafiks, /se- + KD + -an/ berjumlah 1 kata berafiks, dan /ce- + KD + -an/ berjumlah 1 kata berafiks. Kelompok III teridentifikasi sebagai Sufiks dengan pola dasar /KD+ Akhiran/. Jumlah kata yang termasuk ke dalam kelompok III tidak banyak, yaitu 90 kosakata yang terdiri atas 4 jenis/bentuk sufiks: /KD + -an/ berjumlah 79 kata berafiks, /KD + -in/ sebanyak 8 kata berafiks, /KD + -nye/ sebanyak 2 kata berafiks, dan /KD + -kan/ sebanyak 1 kata berafiks. Kekhasan prefiks BMDB antara lain terletak pada prefiks /be-/. Prefiks /be-/ BMDB ini memiliki fungsi sama dengan prefiks /ber-/ dalam bahasa Indonesia. Setiap kata dasar (KD) BMDB yang mendapatkan awalan /ber-/ maka fonem /r/ pada prefiks /ber-/ akan hilang/luluh sehingga berubah menjadi prefiks /be-/. Demikian pula dengan

166 prefiks /ter-/ dalam bahasa Indonesia berubah menjadi prefiks /te-/. Prefiks lain yang khas dalam BMDB adalah /N-/ (nasal). Prefiks ini jika melekat pada kata BMDB yang diawali fonem /t/ (apikoalveolar) maka akan menimbulkan perubahan bunyi pada kata baru yang dihasilkan sebagai akibat hilangnya fonem /t/ di awal kata dasar. Namun, jika prefiks /N-/ melekat pada kata BMDB yang diawali fonem /j/ (laminopalatal) maka kata baru yang dihasilkan tidak akan mengalami perubahan bunyi. Variasi prefiks /N-/ berupa /ng-/, /ng /, /ny-/, /me-/, /meng-/, dan /N-/. Prefiks /ng-/ dapat direalisasikan ke dalam beberapa bentuk, yaitu /nge-/, /ng /, /nga-/, /ngi-/, /ngu-/, dan /ngo-/, sedangkan prefiks /ny-/ direalisasikan dalam bentuk /nya-/, /nye-/, /nyo-/, /ny Kemunculan fonem vokal /a/, /e/, /i/, / /, /u/, /o/ pada masing-masing varian prefiks tersebut sangat dipengaruhi oleh bentuk fonem pertama dan kedua dari kata dasar (KD) yang dilekati. Selanjutnya prefiks yang khas dalam BMDB adalah j /, /g /, dan / /. Kesembilan prefiks tersebut tidak dijumpai dalam bahasa Indonesia. Proses afiksasi yang ditimbulkan oleh prefiks tersebut apabila melekat pada kata dasar BMDB menimbulkan berbagai perubahan bunyi pada kata baru. Dalam BMDB dikenal empat sufiks, yaitu /-an/, /-an/, /-kan/, dan /-nye/. Sufiks /-an/ merupakan sufiks paling produktif dalam BMDB dibandingkan dengan jenis sufiks lainnya. Sufiks /-an/ dalam BMDB tidak menimbulkan perubahan bunyi pada kata baru yang dihasilkan. Afiksasi berupa konfiks dalam BMDB memiliki perbedaan dengan konfiks dalam bahasa Indonesia, sekaligus menjadi kekhasan konfiks BMDB. Apabila dalam bahasa Indonesia dikenal konfiks /ber-an/, /ber-kan/, /ke-an/, /pe-an/, /per-an/, /se-

167 nya/ maka di dalam BMDN dikenal konfiks /be-an/, /ke-an/, /se-an/, /ce-an/, /N-in/, /di-in/, /te-in/, /ber-in/, /se-nye/, ge-an/. Perubahan bunyi yang ditimbulkan dari proses afiksasi kata berafiks BMDB dan berulang pada setiap kata berafiks akan membentuk sebuah pola perubahan bunyi. Berdasarkan pola tersebut dapat ditentukan karakteristik morfofonemik afiksasi BMDB. Untuk mendapatkan karakteristik tersebut, penulis akan mendeskripsikan perubahan bunyi kata berafiks yang disebabkan oleh proses morfologis afiksasi. Kelompok I yang merupakan kelompok dominan dalam proses afiksasi prefiks BMDB beserta variannya menghasilkan pola morfofonemik khas berulang sebanyak 110. Pola-pola tersebut adalah sebagai berikut. /N- (ng-) + KD diawali /g// =, /N- (ng-) + KD diawali /k// = luluh. /N- + KD diawali /d/ =. /N- + KD diawali /j/ =. /N- + KD diawali /t / = luluh (P 5). /N- (nge-) + KD diawali /b/ =. /N- (nge-) + KD diawali /d/ =. /N- (nge-) + KD diawali /g/ =. /N- (nge-) + KD diawali /j/ =. /N- (nge-) + KD diawali /l/ =. /N- (nge-) + KD diawali /p/ =. /N- (nge-) + KD diawali /r/ =. /N- (nge-) + KD diawali /w/ =. /N- (me-) + KD diawali /l/ = dan /N- (me-) + KD diawali /r/ =. /N- (meng-) + KD diawali /r/ =. /N- (nge-) + KD diawali /e/ = / / mengalami pelesapan fonem /e/ = / / pada prefiks /nge-/ = / -/ =. /N- (nge-) + KD diawali /e/ = / / mengalami pelesapan fonem /e/ = / / pada prefiks /nge-/ = / / =. /N- (nge-) + KD diawali /e/ = / / mengalami pelesapan/peluluhan fonem /e/ = / / pada prefiks /nge-/ = / / =. /N- (nge-) + KD diawali fonem /k/ menyebabkan peluluhan fonem /k/ pada kata berafiks yang dihasilkan. /N- (nga-

168 ) + KD diawali /a/ menyebabkan pelesapan fonem /a/ pada kata kata berafiks yang dihasilkan. /N- (nga-) + KD diawali morfem /k/ menyebabkan peluluhan fonem /k/ pada kata berafiks yang dihasilkan. /N- (ngi-) + KD diawali fonem /h/ = menyebabkan peluluhan fonem /h-/ pada kata berafiks yang dihasilkan. /N- (ngi-) + KD diawali fonem /i/ menyebabkan pelesapan fonem /i-/ pada kata berafiks yang dihasilkan. /N- (ngi-) + KD diawali fonem /k/ menyebabkan peluluhan fonem /k-/ pada kata berafiks yang dihasilkan. /N- (ngo-) + KD diawali fonem /k/ menyebabkan peluluhan fonem /k/ pada kata berafiks yang dihasilkan. /N- (ngo-) + KD diawali fonem /o/ menyebabkan pelesapan fonem /o/ pada kata berafiks yang dihasilkan. /N- (ngu-) + KD diawali fonem /k/ menyebabkan peluluhan fonem /k/ pada kata berafiks yang dihasilkan. /N- (ngu-) + KD diawali fonem /u/ = menyebabkan pelesapan fonem /u/ pada kata berafiks yang dihasilkan. /N- (ny-) + KD (s)/ menyebabkan peluluhan fonem /s/ pada kata berafiks yang dihasilkan. /N- (ny-) + KD /c/ menyebabkan peluluhan fonem /c/ pada kata berafiks yang dihasilkan. /N- (nye-) + KD /r/ tidak menyebabkan perubahan bunyi pada kata berafiks yang dihasilkan. /N- (m-) + KD /b/ = (P ). /N- (m-) + KD /p/ menyebabkan peluluhan fonem /p/ pada kata berafiks yang dihasilkan (P 35). /N- (me-) + KD diawali /l/ = kata berafiks yang dihasilkan ; /N- (me-) + KD diawali /l/ = kata berafiks yang dihasilkan ; /N- (me-) + KD diawali /re/ = kata berafiks yang dihasilkan ; /N- (me-) + KD diawali /ri-/ = kata berafiks yang dihasilkan ; dan /N- (me-) + KD diawali /ro/ = kata berafiks yang dihasilkan. /N- (meng-) + KD /k/ =, artinya tidak menyebabkan perubahan bunyi berupa pelesapan /k/ pada kata berafiks yang dihasilkan

169 (P 41). /be- + KD /b/ = (P 42). /be- + KD /c/ = (P 43). /be- + KD /d/ = (P 44). /be- + KD /g/ = (P 45). /be- + KD /j/ = (P 46). /be- + KD /k/ = (P 47). /be- + KD /l/ = (P 48). /be- + KD /m/ =. (P 49). /be- + KD /p/ = (P 50). /be- + KD /r/ = (P 51). /be- + KD /s/ = (P 52). /be- + KD /t/ = (P 53). /be- + KD /u/ = (P 54). /be- + KD /w/ = (P 55). dan /be- + KD /ny/ = (P 56). /ber- + KD /h/ = (P 57). /pe-/ + KD /p/ = menyebabkan pemunculan fonem /m/ pada kata berafiks yang dihasilkan (P 58). /peng-/ + KD /k/ = menyebabkan pemunculan fonem / / pada kata berafiks yang dihasilkan (P 59). /peng-/ + KD /l/ = menyebabkan pemunculan fonem / / pada kata berafiks yang dihasilkan (P 60). /te-/ + KD /b/ = (P 61). /te -/ + KD /g/ = (P 62). /te-/ + KD /k/ = (P 63). /te-/ + KD /l/ = (P 64). /te-/ + KD /p/ = (P65). /te-/ + KD /t/ = (P 66). /di-/ + KD /a/ = (P 67). Afiksasi /di-/ + KD /c/ = (P 68). Afiksasi /di-/ + KD /d/ = (P 69). Afiksasi /di-/ + KD /e/ = (P 70). Afiksasi /di-/ + KD /g/ = (P 71). Afiksasi /di-/ + KD /h/ = (P 72). Afiksasi /di-/ + KD /i/ = (P 73). Afiksasi /di-/ + KD /j/ = (P 74). Afiksasi /di-/ + KD /k/ = (P 75). Afiksasi /di-/ + KD /l/ = (P 76). Afiksasi /di-/ + KD /m/ = (P 77). Afiksasi /di-/ + KD /o/ = (P 78). Afiksasi /di-/ + KD /p/ = (P 79). Afiksasi /di-/ + KD /r/ = (P 80). Afiksasi /di-/ + KD /s/ = (P 81). Afiksasi /di-/ + KD /t/ = (P 82). Afiksasi /ke-/ + KD /b/ = (P 83). Afiksasi /ke-/ + KD /c/ = (P 84). Afiksasi /ke-/ + KD /d/ = (P 85). Afiksasi /ke-/ + KD /e/ = menyebabkan pelesapan fonem /e/ pada kata yang dihasilkan (P 86). Afiksasi /ke-/ + KD /g/ = (P 87). Afiksasi /ke-/ + KD /i/ = (P 88). Afiksasi /ke-/ + KD /j/ = (P 89). Afiksasi /ke-/ + KD /l/ = (P 90). Afiksasi /ke-/ + KD /m/ = (P 91). Afiksasi /ke-/ + KD /o/ = (P 92). Afiksasi /ke-/ + KD /j/ = (P 93). Afiksasi /ke- / + KD /p/ = (P 94). Afiksasi /ke-/ + KD /s/ = (P 95). Afiksasi /ke-/ + KD /u/ = (P 96). Afiksasi /se-/ + KD /c/ = (P 97). Afiksasi /se-/ + KD /e/ = (P 98). Afiksasi /se-/

170 + KD /g/ = (P 99). Afiksasi /se-/ + KD /i/ = (P 100). Afiksasi /se-/ + KD /j/ = (P 101). Afiksasi /se-/ + KD /k/ = (P 102). Afiksasi /se-/ + KD /l/ = (P 103). Afiksasi /se-/ + KD /o/ = (P 104). Afiksasi /se-/ + KD /p/ = (P 105). Afiksasi /se-/ + KD /s/ = (P 106). Afiksasi /se-/ + KD /t/ = (P 107). Afiksasi /se-/ + KD /u/ = (P 108). Aiksasi /je-/ + KD /j/ = (P 109). Afiksasi /ge-/ + KD /g/ = (P 110). Kelompok III dalam penelitian ini berupa akhiran atau sufiks. Kelompok ini menempati urutan persentase ketiga dengan jumlah kosakata sebanyak 90 kata berafiks. Perubahan bunyi yang disebabkan oleh pelesapan/penghilangan, peluluhan, atau penggantian fonem pada kata polimorfemis yang dihasilkan menimbulkan pola morfofonemik yang khas. Pola tersebut menghasilkan rumus sebanyak 9 buah. Berikut adalah rumus yang dihasilkan. KD yang diakhiri dengan fonem /ng/ + /-an/ = (P111). KD yang diakhiri dengan fonem /s/ + /-an/ = (P112). KD yang diakhiri dengan fonem /t/ + /-an/ = (P113). KD yang diakhiri dengan fonem /n/ + /-in/ = (P114). KD yang diakhiri dengan fonem /l/ + /-in/ = (P115). KD yang diakhiri dengan fonem /ng + /-in/ = (P116). KD yang diakhiri dengan fonem /o/ / / + /-nye/ = (P117). KD yang diakhiri dengan fonem /l/ + /-nye/ = (P118). KD yang diakhiri dengan fonem /k/ + /-an/ = (P119). Kelompok II dalam penelitian ini tergolong dalam kategori konfiks yang menempati persentase urutan kedua sebanyak 218 kata berafiks. Kelompok II ini dengan varian konfiksnya mengasilkan pola morfofonemik khas berulang sebanyak 34 rumus. Rumus-rumus tersebut adalah sebagai berikut. Konfiks /be-an/ + KD /b/, /g/, /k/ = (P 120). Konfiks /ber-in/ + KD /h/ = menyebabkan peluluhan fonem /h/ pada kata berafiks yang dihasilkan (P 121). Konfiks /ce-an/ + KD /c/ = (P 122). Konfiks /sean/ + KD /i/ = (P 123). Konfiks /se-nye/ + KD /p/ = (P 124). Konfiks /ke-an/ +

171 KD /b/ = (P 125). Konfiks /te-in/ + KD /b/ = (P 126). Konfiks /N-in/ + KD /c/ = menyebabkan perubahan bunyi berupa peluluhan fonem /c/ pada kata berafiks yang dihasilkan (P 127). /N-in/ + KD /t/ = menyebabkan perubahan bunyi berupa peluluhan fonem /t/ pada kata berafiks yang dihasilkan (P 128). Konfiks /m-in/ + KD /b/ = (P 129). Konfiks /m-in/ + KD /e/ / / = (P 130). Konfiks /ng-in/ + kata dasar /a/ / / = (P 131). Konfiks /ng-in/ + KD /k/ = menyebabkan peluluhan bunyi /k/ pada kata berafiks yang dihasilkan (P 132). Konfiks /ng-in/ + KD /b/ = menyebabkan perubahan bunyi berupa pemunculan fonem /e/ pada kata berafiks yang dihasilkan (P 133). Konfiks /ng-in/ + KD /k/ = menyebabkan perubahan bunyi berupa peluluhan fonem /k/ pada kata berafiks yang dihasilkan (P 134). Konfiks /ng-in/ + KD /l/ = menyebabkan perubahan bunyi berupa pemunculan fonem /e/ pada kata yang dihasilkan (P 135). Konfiks /di-in/ + KD /a/ = (P 136). Konfiks /di-in/ + KD /b/ = (P 137). Konfiks /di-in/ + KD /c/ = (P 138). Konfiks /di-in/ + KD /d/ = (P 139). Konfiks /di-in/ + KD /e/ / / / / = (P 140). Konfiks /di-in/ + KD /g/ = (P 141). Konfiks /di-in/ + KD /i/ = (P 142). Konfiks /di-in/ + KD /j/ = (P 143). Konfiks /di-in/ + KD /k/ = (P 144). Konfiks /di-in/ + KD /l/ = (P 145). Konfiks /di-in/ + KD /m/ = (P 146). Konfiks /di-in/ + KD /n/ = (P 147). Konfiks /di-in/ + KD /o/ = (P 148). Konfiks /di-in/ + KD /p/ = (P 149). Konfiks /di-in/ + KD /w/ = (P 150). Konfiks /di-in/ + KD /r/ = (P 151). Konfiks /di-in/ + KD /s/ = (P 152). Konfiks /di-in/ + KD /t/ = (P 153). Sesuai dengan objek kajian dan topik penelitian ini yang berusaha meneliti ciri khas yang menonjol dalam kaidah morfonemik, khususnya dalam proses morfologi afiksasi, penulis mendapatkan beberapa simpulan penting. Dalam penelitian ini, penulis berhasil menemukan pola morfofonemik afiksasi dalam bahasa Melayu dialek Betawi sebanyak 153 pola. Dari 153 pola tersebut apabila dikelompokkan berdasarkan teori

172 proses morfofonemik menurut Harimurti Kridalaksana terbagi atas empat, yaitu proses pengekalan fonem, proses pelesapan fonem, proses peluluhan fonem, dan proses pemunculan fonem. Proses pengekalan fonem menempati urutan teratas dengan jumlah pola sebanyak 65. Selanjutnya, proses peluluhan fonem menempati urutan kedua dengan jumlah pola sebanyak 55. Urutan ketiga adalah proses pelesapan fonem dengan jumlah pola sebanyak 26. Yang terakhir adalah proses pemunculan fonem sebanyak 7 pola. Proses pemunculan fonem dalam morfofonemik menurut Harimurti biasanya merupakan proses yang dominan dijumpai dalam kajian morfofonemik. Namun, hal itu tidak ditemukan di dalam penelitian morfofonemik dalam afiksasi bahasa Melayu dialek Betawi. Proses ini justru menempati urutan terakhir, hanya 7 proses. B. Saran Penelitian linguistik di bidang morfologi telah banyak dihasilkan oleh peneliti, baik dalam maupun luar negeri. Namun, penelitian di bidang morfofonemik belum banyak dihasilkan. Oleh karena itu, penelitian di bidang morfofonemik masih sangat dibutuhkan. Apalagi Indonesia yang memiliki banyak bahasa daerah masih sangat terbuka untuk diteliti. Penelitian morfofonemik bahasa daerah memang sulit dilakukan karena tidak semua peneliti memiliki kemampuan dalam pengucapan secara tepat bahasa-bahasa daerah di Indonesia. Selain itu, kesulitan dalam menemukan narasumber/penutur asli bahasa daerah menjadi kendala minimnya penelitian bahasa daerah yang memfokuskan di bidang morfofonemik.. Dibutuhkan suatu kecermatan, ketelitian, ketekunan, kesabaran, dan kepekaan pendengaran dalam melakukan pengambilan data, indentifikasi, analisis data, hingga diperoleh simpulan. Hal itu disebabkan objek penelitian morfofonemik tidak hanya diperoleh melalui pengamatan teks atau kamus, tetapi perlu dilakukan kroscek data ke lapangan atau kepada penutur asli bahasa daerah. Tujuannya tentu saja untuk mendapatkan keaslian bahasadan kebenaran pengucapan

173 sitiap kosakata bahasa daerah tersebut. Untuk mendapatkan objektivitas data dan kebenaran pengucapan kosakata maka narasumber yang kita tunjuk harus memenuhi kriteria khusus, misalnya tidak boleh ompong, memiliki mobilitas rendah, penduduk asli yang ditinggal di daerah penelitian minimal 50 tahun, dan lain-lain. Berkaitan dengan hal itu maka calon peneliti perlu melengkapi atribut penelitian yang canggih yang berkaitan dengan proses pengambilan data, misalnya alat perekam suara yang sensitif dan kecil yang bisa disembunyikan. Dengan demikian data yang diperoleh lebih mendekati ideal. Melihat kondisi di atas maka sebaiknya, para peneliti memanfaatkan peluang tersebut untuk meneliti karakteristik morfofonemik bahasa-bahasa daerah di Indonesia. Dengan dilakukannya peneitian di bidang tersebut maka akan memperkaya dan melengkapi khasanah penelitian bahasa daerah di Indonesia, baik di bidang sintaksis, semantik, morfologi, fonologi, maupun morfofonemik. Hasil penelitian morfosintaksis bahasa-bahasa daerah tersebut perlu dirangkum dalam satu buku khusus sehingga dapat dimanfaatkan sebagai dokumentasi penting dan referensi bagi penelitian terkait. Di samping itu, dapat pula digunakan sebagai upaya pelestarian bahasa-bahasa daerah yang hampir punah.