POLA PEMBIAYAAN USAHA KECIL (PPUK) USAHA ITIK PETELUR (Pola Pembiayaan Konvensional)

dokumen-dokumen yang mirip
POLA PEMBIAYAAN USAHA KECIL (PPUK) USAHA ITIK PETELUR (Pola Pembiayaan Syariah)

I. PENDAHULUAN. 1 Sapi 0,334 0, Kerbau 0,014 0, Kambing 0,025 0, ,9 4 Babi 0,188 0, Ayam ras 3,050 3, ,7 7

ANALISIS FEASIBILITAS USAHA TERNAK ITIK MOJOSARI ALABIO

VII. ANALISIS KELAYAKAN ASPEK FINANSIAL

POLA PEMBIAYAAN USAHA KECIL (PPUK) PENGOLAHAN ARANG TEMPURUNG

IV. METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian

I. PENDAHULUAN. industri pertanian, dimana sektor tersebut memiliki nilai strategis dalam

VII. ANALISIS KELAYAKAN ASPEK FINANSIAL

ANALISIS FINANSIAL DAN SENSITIVITAS PETERNAKAN AYAM BROILER PT. BOGOR ECO FARMING, KABUPATEN BOGOR

I PENDAHULUAN. Aman, dan Halal. [20 Pebruari 2009]

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

VIII. ANALISIS FINANSIAL

BAB 2 LANDASAN TEORITIS

Ternak Sapi Potong, Untungnya Penuhi Kantong

II. TINJAUAN PUSTAKA

VII. ANALISIS FINANSIAL

VII ANALISIS ASPEK FINANSIAL

I. PENDAHULUAN. dalam pembangunan ekonomi nasional di Indonesia. Hal ini disebabkan Indonesia

VII. RENCANA KEUANGAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN

I. PENDAHULUAN. mempunyai peranan dalam memanfaatkan peluang kesempatan kerja.

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

MENGENAL SECARA SEDERHANA TERNAK AYAM BURAS

III. KERANGKA PEMIKIRAN

VIII. ANALISIS FINANSIAL

III KERANGKA PEMIKIRAN

Bab 4 P E T E R N A K A N

II ASPEK PASAR DAN PEMASARAN

Peternakan Tropika. Journal of Tropical Animal Science

Budidaya Bebek Peking Sangat Menjanjikan

IV METODE PENELITIAN

POLA PERDAGANGAN MASUKAN DAN KELUARAN USAHA TERNAK AYAM RAS"

VII ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai bobot badan antara 1,5-2.8 kg/ekor dan bisa segera

A. Kerangka Pemikiran

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2. Jenis dan Sumber Data 4.3. Metode Pengolahan dan Analisis Data

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Sumber :

BAB XVI KEGIATAN AGRIBISNIS

KINERJA USAHA PETERNAKAN AYAM RAS PETELUR DAN PROSPEK PENGEMBANGANNYA DI SULAWESI SELATAN. Armiati dan Yusmasari

II. KERANGKA PENDEKATAN TEORI. Koperasi berasal dari kata ( co = bersama, operation = usaha) yang secara

IV. METODE PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. Beternak merupakan usaha yang dikembangkan untuk mendapat keuntungan.

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor peternakan merupakan bagian integral dari. pembangunan pertanian dan pembangunan nasional. Sektor peternakan di

VII. ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL

III OBJEK DAN METODE PENELITIAN. Rakyat (KUR) di Desa Ciporeat, Kecamatan Cilengkrang, Kabupaten Bandung.

IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2 Jenis dan Sumber Data 4.3 Metode Penentuan Narasumber

III. METODE PENELITIAN. A. Konsep Dasar dan Bahan Batasan Operasional. Konsep dasar dan defenisi opresional mencakup pengertian yang

PROFIL USAHATANI UNGGAS DI KABUPATEN BREBES (STUDI KASUS)

I. PENDAHULUAN. sektor pertanian yang memiliki nilai strategis antara lain dalam memenuhi

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Jumlah Tenaga Kerja Usia 15 Tahun ke Atas Menurut Lapangan Pekerjaan Tahun 2011

Budidaya dan Pakan Ayam Buras. Oleh : Supriadi Loka Pengkajian Teknologi Pertanian Kepulauan Riau.

I. JUDUL Prospek Budidaya Burung Puyuh

I. PENDAHULUAN. kontribusi positif terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia.

I. PENDAHULUAN. Jumlah penduduk selalu bertambah dari tahun ke tahun, hal tersebut terus

Analisis Kelayakan Pengembangan Usaha Budidaya Ayam Ras Petelur Maya Rolet

II. ISI 2.1. Pra Produksi Penyiapan Sarana (Kandang) Persiapan peralatan dan ayam

ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL

IV METODOLOGI PENELITIAN

BUDIDAYA TERNAK ITIK Oleh : Sapto Waluyo

I. PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati yang sangat besar (mega biodiversity) berupa sumber

IV. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN. Tanaman kehutanan adalah tanaman yang tumbuh di hutan yang berumur

DAFTAR ISI... SAMPUL DALAM. PERNYATAAN KEASLIAN KARYA SKRIPSI.. ABSTRACT... RINGKASAN... HALAMAN PERSETUJUAN.. TIM PENGUJI.. RIWAYAT HIDUP.

KELAYAKAN USAHA TERNAK AYAM RAS PETELUR

III. METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Tahun (juta orang)

PEDOMAN TEKNIS PENGEMBANGAN PEMBIBITAN BABI TAHUN 2012 DIREKTORAT PERBIBITAN TERNAK

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Break Even Point adalah titik pulang pokok dimana total revenue = total

DATA STATISTIK KETAHANAN PANGAN TAHUN 2014

I PENDAHULUAN. lokal adalah salah satu unggas air yang telah lama di domestikasi, dan

ANALISIS FINANSIAL BUDIDAYA AYAM PETELUR DI KALIMANTAN TIMUR (The Financial Analysis Of Layer Poultry In Kalimantan Timur)

METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu 4.2. Jenis dan Sumber Data 4.3. Metode Pengumpulan Data

II. TINJAUAN PUSTAKA

III. METODE PENELITIAN


BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN an sejalan dengan semakin meningkatnya pendapatan per kapita masyarakat,

IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu 4.2. Metode Pengambilan Responden 4.3. Desain Penelitian

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. METODOLOGI. Tahap Pengumpulan Data dan Informasi

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN SISTEM INTEGRASI SAWIT-SAPI DI KABUPATEN ROKAN HULU PROVINSI RIAU

PENDAHULUAN. begitu ekonomi riil Indonesia belum benar-benar pulih, kemudian terjadi lagi

INTENSIFIKASI TERNAK AYAM BURAS

BUDI DAYA AYAM PETELUR

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Data Perkembangan Koperasi tahun Jumlah

I PENDAHULUAN. 2,89 2,60 2,98 3,35 5,91 6,20 Makanan Tanaman Perkebunan 0,40 2,48 3,79 4,40 3,84 4,03. Peternakan 3,35 3,13 3,35 3,36 3,89 4,08

I. PENDAHULUAN. pemenuhan protein hewani yang diwujudkan dalam program kedaulatan pangan.

I. PENDAHULUAN. dalam pembangunan sektor pertanian. Pada tahun 1997, sumbangan Produk

Bab XIII STUDI KELAYAKAN

IV. METODE PENELITIAN

KELAYAKAN FINANSIAL USAHA PETERNAKAN AYAM PETELUR DI KECAMATAN SIGI BIROMARU KABUPATEN SIGI (STUDI KASUS CV. BELONA MANDIRI)

I PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. oleh kelompok menengah yang mulai tumbuh, daya beli masyarakat yang

III. METODE PENELITIAN. Tulang Bawang. Pengambilan data dilakukan pada bulan Mei sampai dengan Juli

Lampiran 1 Gambar cara pengukuran, corak dan pola warna bulu itik Alabio

III. METODE PENELITIAN. Kampung Agung Timur merupakan salah satu kampung yang menjadi sentra

Transkripsi:

POLA PEMBIAYAAN USAHA KECIL (PPUK) USAHA ITIK PETELUR (Pola Pembiayaan Konvensional) BANK INDONESIA Direktorat Kredit, BPR dan UMKM Telepon : (021) 3818043 Fax : (021) 3518951, Email : tbtlkm@bi.go.id

DAFTAR ISI 1. Pendahuluan......... 2 a. Latar Belakang... 2 b. Tujuan... 2 c. Metode Penelitian... 3 2. Profil Usaha dan Pola Pembiayaan...... 4 3. Aspek Pemasaran......... 7 a. Permintaan... 7 b. Penawaran... 8 c. Pemasaran Produk... 10 4. Aspek Produksi......... 11 a. Lokasi Usaha dan Fasilitas Produksi... 11 b. Bahan Baku... 11 c. Tenaga Kerja dan Teknis Budidaya... 13 d. Produksi dan Kendala Produksi... 13 5. Aspek Keuangan......... 15 a. Asumsi... 15 b. Komponen dan Struktur Biaya... 17 c. Pendapatan... 20 d. Modal dan Kredit... 21 e. Aliran Laba-Rugi... 21 f. Analisis BEP... 23 g. Analisis Sensitivitas dan Kendala Keuangan... 23 6. Aspek Sosial Ekonomi...... 24 7. Penutup......... 26 a. Kesimpulan... 26 b. Saran... 26 LAMPIRAN......... 28 Bank Indonesia Usaha Itik Petelur (Konvensional) 1

1. Pendahuluan a. Latar Belakang Usaha ternak itik petelur mempunyai potensi yang besar untuk dikembangkan di daerah dengan kondisi alam tropis seperti di Indonesia. Peternakan itik petelur membutuhkan sumber protein yang lebih sedikit dibandingkan dengan peternakan ayam petelur. Dengan demikian usaha ternak itik petelur menjanjikan peluang keuntungan yang lebih besar dibandingkan dengan usaha ternak ayam pedaging. Kisah sukses usaha ternak itik petelur di Desa Kroya, Kecamatan Kapetakan, Kabupaten Cirebon seperti dikemukakan dalam SINAR TANI Edisi 11/17 Juli 2001 telah mampu meningkatkan kemakmuran para peternak itik petelur. Dikemukakan juga bahwa peternak, yang menghasilkan itik umur satu hari (DOD) berhasil memperoleh pendapatan hingga mencapai rata-rata sekitar Rp. 7.000.000 per bulan. Dengan demikian ternak itik petelur dapat dijadikan sebagai usaha unggulan bagi rakyat Indonesia. Sedikitnya terdapat tiga alasan utama, mengapa usaha ternak itik petelur dijadikan sebagai usaha unggulan, yaitu: 1. Usaha ternak itik petelur merupakan jenis usaha yang sudah dikenal secara luas oleh rakyat Indonesia. 2. Usaha ternak itik petelur membutuhkan pakan (khususnya protein) yang lebih efisien dibandingkan dengan usaha ternak ayam pedaging. 3. Usaha ternak itik petelur telah terbukti mampu memberikan pendapatan yang relatif besar. b. Tujuan Tujuan dari penyusunan pola pembiayaan ini adalah: 1. Menyediakan rujukan bagi perbankan dalam rangka meningkatkan realisasi kredit usaha kecil, khususnya bagi pengembangan usaha itik petelur. 2. Menyediakan informasi dan pengetahuan untuk mengembangkan usaha itik petelur terutama tentang aspek keuangan, produksi, dan pemasaran. Ruang lingkup dari studi ini meliputi: 1. Komoditi yang akan diteliti dalam kajian ini adalah itik petelur di Daerah Mataram Propinsi Nusa Tenggara Barat dengan jenis Itik Mojosari. 2. Aspek-aspek yang diteliti dalam pola pembiayaan usaha itik petelur adalah : Bank Indonesia Usaha Itik Petelur (Konvensional) 2

a. Aspek pemasaran meliputi antara lain kondisi permintaan yaitu pasar domestik dan ekspor, penawaran, persaingan, harga, proyeksi permintaan pasar dll, b. Aspek Produksi meliputi gambaran komoditi, persyaratan teknis produk, proses pengolahan dan penanganannya, c. Aspek Keuangan meliputi perhitungan kebutuhan biaya investasi, dan kelayakan keuangan. Perhitungan kelayakan keuangan menggunakan analisis yang disesuaikan dengan jenis usaha yang dapat meliputi rugi laba, cash flow, net present value, pay back ratio, benefit cost ratio dan internal rate of return, termasuk analisa sensitivitas, d. Aspek Sosial Ekonomi meliputi pengaruh pengembangan usaha komoditi yang diteliti terhadap perekonomian, penciptaan lapangan kerja dan pengaruh terhadap sektor lain, dan e. Aspek Dampak Lingkungan c. Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan mengadakan survei di wilayah yang selama ini mempunyai potensi pengembangan usaha ternak itik petelur cukup baik, yaitu di Kota Mataram, Propinsi Nusa Tenggara Barat. Survei lapang dilakukan untuk memperoleh data sebagai berikut: 1. Data primer dari pengusaha kecil (peternak itik petelur); 2. Data sekunder dari perbankan umum dan instansi terkait (Dinas Peternakan, dan BPS Kota Mataram); 3. Tokoh masyarakat setempat (tokoh formal dan tokoh informal). Atas hasil pengumpulan data tersebut di atas selanjutnya dilakukan analisa atas hal-hal sebagai berikut: a. Analisa usaha, dilakukan untuk mengetahui bagaimana pengaruh komoditi yang diteliti dilihat dari aspek-aspek pemasaran, produksi, sosial-ekonomi, dan dampak lingkungannya; b. Analisa pembiayaan, dilakukan untuk mengetahui bagaimana pembiayaan proyek dan kelayakan usaha dilihat dari aspek keuangannya. Untuk kepentingan pengumpulan dan analisa data tersebut di atas, sampel usaha kecil di wilayah penelitian diambil secara purposive dengan persyaratan bahwa usaha kecil tersebut yang paling banyak terdapat di wilayah studi, dengan mengutamakan mereka yang mendapat kredit bank untuk usaha taninya. Bank Indonesia Usaha Itik Petelur (Konvensional) 3

2. Profil Usaha dan Pola Pembiayaan Usaha ternak itik petelur biasanya dilaksanakan secara tradisional. Sebagai contoh di Propinsi Nusa Tenggara Barat, sebagian besar atau bahkan hampir 60% adalah peternak itik tradisional. Ciri peternak itik tradisional pada umumnya digembalakan dengan makanan seluruhnya diperoleh waktu digembalakan, kandang seadanya tanpa kolam dan tidak mengenal penanganan kesehatan sama sekali. Sedangkan bentuk pemeliharaan itik petelur lainnya adalah semi intensif dan intensif. Perbedaan pemeliharaan itik petelur tradisional, semi intensif dan intensif dapat dilihat pada Tabel 2.1 Tabel 2.1. Perbedaan Pemeliharaan Itik secara Tradisional, Semi Intensif dan Intensif Tradisional Semi intensif Intensif Digembalakan Sekali-kali digembalakan Tidak digembalakan 100% makanan 50% makanan 100% makanan dari buatan50 % dari buatan penggembalaan penggembalaan Kandang Kandang dilengkapi Kandang sistem kering seadanya, kolam seperti ayam ras tanpa kolam Tanpa Kadang ada Penggunaan obat dan penggunaan pengobatan dan vaksin secara intensif obat dan vaksin vaksinasi Sumber: Suharno dan Setiawan (2001) Dari Tabel 2.1 tersebut di atas tampak pemeliharaan itik petelur cara semi intensif merupakan peralihan dari tradisional menuju intensif. Tampak pula pemeliharaan itik petelur intensif memerlukan sarana dan prasarana yang relatif besar dibandingkan dengan beternak itik petelur tradisional. Sebagai contoh, dalam pemeliharaan itik petelur intensif diperlukan makanan buatan 100 persen, karena itik tidak pernah digembalakan dan begitu pula halnya dengan pembuatan kandang yang lebih baik serta pencegahan terhadap penyakit. Tabel 2.2 memperlihatkan kelebihan dan kekurangan pemeliharaan itik petelur tradisional dan intensif. Bank Indonesia Usaha Itik Petelur (Konvensional) 4

Tabel 2.2. Kelebihan dan Kekurangan Pemeliharaan Itik Petelur secara Tradisional dan Intensif Aspek Kegiatan Tradisional Intensif 1. Investasi yang Rendah dibutuhkan Tinggi 2. Teknologi yang Mudah dipakai Sulit 3. Efisiensi tenaga Rendah kerja Tinggi 4. ProduktivitasSangat pekerja rendah Lebih tinggi 5. Efisiensi lahan Rendah Tinggi 6. Penanggulangan Sulit penyakit Mudah 7. Pengembangan Sulit usaha Mudah Sumber: Wasito dan Siti Rohani (1994) dalam Suharno dan Setiawan (2001) Dari berbagai aspek yang dibahas pada Tabel 2.2, aspek investasi dan teknologi merupakan faktor kunci yang membuat peternak memilih cara pemeliharaan itik petelur tradisional. Pemeliharaan tradisional memerlukan modal rendah dan teknologi lebih mudah dibandingkan dengan pemeliharaan itik petelur intensif. Namun apabila modal untuk investasi tersedia dan teknologi mampu dikuasai, maka dipastikan peternak memilih pemeliharaan itik petelur intensif. Dengan pemeliharaan itik petelur intensif, akan diperoleh kelebihan-kelebihan yang sangat diperlukan dalam keberhasilan usaha. Beberapa aspek penting yang merupakan kelebihan pemeliharaan itik petelur intensif adalah efisiensi tenaga kerja dan produktivitas pekerja yang lebih tinggi serta penanggulangan penyakit yang lebih mudah dibandingkan dengan pemeliharaan itik petelur tradisional. Kelebihan-kelebihan ini tentunya akan menghasilkan biaya produksi pemeliharaan intensif yang lebih rendah dibandingkan dengan pemeliharaan tradisional dan pada akhirnya pemeliharaan itik petelur intensif akan lebih menguntungkan daripada pemeliharaan itik petelur tradisional. Pemeliharaan itik petelur selama ini masih didominasi oleh cara tradisional dengan pembiayaan bersumber dari pribadi, dan berdasarkan pengamatan masih sedikit sekali yang memanfaatkan jasa perbankan untuk menambah modalnya. Peternak itik petelur dengan pemeliharaan semi intensif dan intensif selama ini belum memperoleh kredit dari bank. Para peternak itik petelur semi intensif baru mendapatkan kredit program P4K (Program Peningkatan Pendapatan Petani Kecil) dan KPKU (Kredit Pengembangan Bank Indonesia Usaha Itik Petelur (Konvensional) 5

Kemitraan Usaha), yang merupakan kredit program. Namun diperoleh informasi terdapat peternak itik petelur yang mengajukan kredit dengan tingkat suku bunga komersial dari Bank Umum. Bank Indonesia Usaha Itik Petelur (Konvensional) 6

3. Aspek Pemasaran a. Permintaan Pemeliharaan itik petelur akan menghasilkan telur untuk konsumsi dan juga faeces (kotoran) yang berguna untuk pupuk. Telur untuk konsumsi diperdagangkan dalam bentuk segar dan olahan. Telur asin adalah merupakan bentuk olahan dari telur itik yang diperdagangkan di Indonesia. Subsititusi telur itik adalah telur ayam (ayam kampung dan ayam ras). Ternyata kandungan telur itik ditinjau dari kandungan lemak, protein, kalsium, besi dan Vitamin A per butirnya lebih tinggi dibandingkan dengan kandungan telur ayam. Hanya kandungan kalori telur itik lebih rendah dibandingkan dengan telur ayam. Dengan demikian kandungan nilai gizi telur itik secara umum lebih tinggi dibandingkan dengan telur ayam. Perbandingan nilai gizi telur itik dan telur ayam dapat dilihat dalam Tabel 3.1 di bawah ini. Tabel 3.1. Nilai Gizi Telur Itik dan Telur Ayam Per 100 Gram Telur Jenis Kalori Lemak Protein Kalsium Besi Telur (kkal) (g) (g) (mg) (mg) Vit.A(SI) Telur 163 14.3 13.1 56 2.8 1 230 itik Telur 189 11.5 12.8 54 2.7 900 ayam Sumber: Direktorat Gizi, Departemen Kesehatan (1972) dalam Suharno dan Amri (2000) Berdasarkan kenyataan yang ada saat ini, perkembangan permintaan terhadap telur itik selalu meningkat dari tahun ke tahun (Suharno dan Amri, 2000 dan Windhyarti, 2000). Sebagian besar konsumen telur itik adalah penduduk di kota-kota besar. Disamping untuk konsumsi rumah tangga, konsumen lainnya yang sangat potensial adalah restoran, rumah makan, kapal-kapal laut, rumah sakit, asrama-asrama, perusahaan-perusahaan tertentu, dan juga konsumen jamu. Jumlah permintaan secara nyata sulit untuk diketahui (Suharno dan Amri, 2000). Namun, Suharno dan Amri (2000) telah melakukan penelitian dibeberapa kota sebagai berikut: Bogor dengan jumlah permintaan 230.000 butir per bulan (Mei 1994), DKI Jakarta dengan jumlah permintaan 1.716.000 butir per bulan (Mei 1994), dan Tegal dengan jumlah permintaan 230.000 butir per bulan (1992). Ilustrasi jumlah permintaan di tiga kota tersebut di atas tentunya hanya merupakan sebagian kecil saja jika dibandingkan dengan jumlah kota dan Bank Indonesia Usaha Itik Petelur (Konvensional) 7

kabupaten yang lebih dari 300. Segi potensial dari permintaan telur itik adalah adanya kecenderungan sebagian orang yang menganggap telur itik lebih berkhasiat untuk campuran jamu godokan dibanding dengan telur ayam. Begitu juga untuk pembuatan martabak, disebutkan telur itik mutlak diperlukan dan bahkan ada yang berpendapat tidak dapat digantikan dengan telur ayam. Sebagai informasi tambahan, selain untuk dikonsumsi, telur itik juga dipergunakan oleh industri. Industri yang mempunyai kecenderungan untuk menggunakan telur itik adalah industri kosmetik dan farmasi. Bahkan, telur itik mempunyai potensi besar untuk dijadikan tepung telur. Gambaran permintaan telur itik nasional tidak diperoleh. Namun, tersedia data pengeluaran per kapita per bulan untuk susu dan telur penduduk Indonesia yang dikumpulkan oleh Badan Pusat Statistik, data tersebut dapat dipergunakan sebagai "proxy" atau dugaan bagi permintaan telur itik nasional. Tabel 3.2 berikut menunjukkan pengeluaran rata-rata per kapita per bulan untuk susu dan telur penduduk Indonesia. Dari Tabel 3.2 di atas tampak bahwa pengeluaran per bulan untuk telur dan susu tahun 1993, 1996 dan 1999 selalu meningkat. Namun, meskipun pengeluaran tersebut dalam rupiah selalu meningkat tajam, persentasenya terhadap pengeluaran relatif stabil. Tabel 3.2. Pengeluaran Rata-Rata Per Kapita Per Bulan untuk Telur dan Susu Penduduk Indonesia Tahun Pengeluaran Pengeluaran (Rp) (%) * 1993 1.264 2,90 1996 2.070 2,96 1999 4.004 2,91 *) Persentase terhadap total pengeluaran Sumber : BPS (2000) b. Penawaran Populasi Itik di Indonesia dalam tiga tahun terakhir relatif tidak stabil. Jumlah populasi itik (dalam ribu ekor) tahun 1997, 1998 dan 1999 adalah berturut-turut 30.320, dan 25.950 dan 26.254. (BPS, 2000) Tabel 3.3 menunjukkan populasi itik dimasing-masing propinsi di Indonesia. Bank Indonesia Usaha Itik Petelur (Konvensional) 8

Tabel 3.3. Populasi Itik Masing-Masing Propinsi di Indonesia Tahun 1997-1999 (dalam 000) No Propinsi Tahun 1997 1998 1999 Nangroe Aceh 1 3.399,23.418,93.438,7 Darussalam (NAD) 2 Sumatra Utara 2.265,32.129,52.254,5 3 Sumatra Barat 1.659,01.676,81.694,7 4 Riau 270,4 274,5 278,6 5 Jambi 552,1 632,3 723,8 6 Sumatra Selatan 1.705,11252 1302 7 Bengkulu 654,8 229,2 80,2 8 Lampung 387,8 418,3 439,2 9 D.K.I Jakarta 50,0 61,5 70,8 10 Jawa Barat 3.603,42.905,92938 11 Jawa Tengah 3.781,2 3.781,23.507,8 12 D.I. Yogyakarta 231,8 202,1 210 13 Jawa Timur 2.986,22.252,52.286,3 14 Bali 713,3 534,2 539,5 Nusa Tenggara 15 Barat 594,1 382,6 388,3 Nusa Tenggara 16 Timur 161,2 183,0 191,7 17 Kalimantan Barat 326,1 264,3 420,8 18 Kalimantan Tengah 147,4 153,8 154,9 19 Kalimantan Selatan 3.116,31.497,31.610,1 20 Kalimantan Timur 324,2 227,7 230,4 21 Sulawesi Utara 417,6 417,6 426 22 Sulawesi Tengah 145,3 148,2 151,8 23 Sulawesi Selatan 2.322,32.308,52.384,9 24 Sulawesi Tenggara 262,4 273,7 279,1 25 Maluku 109,4 121,4 135,7 26 Irian Jaya 105,6 110,9 116,5 Sumber : Direktorat Jenderal Peternakan Daerah sentra ternak itik (yang memiliki sekurang-kurangnya 1 juta ekor itik) di Indonesia adalah propinsi-propinsi: Nangroe Aceh Darussalam (NAD), Sumatra Utara, Sumatra Barat, Sumatra Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Barat. Dengan demikian masih tersedia peluang bagi propinsi lain untuk mengembangkan ternak itik. Bank Indonesia Usaha Itik Petelur (Konvensional) 9

c. Pemasaran Produk Perkembangan harga telur itik relatif stabil. Harga telur itik mengalami lonjakan musiman, yaitu pada saat menjelang hari-hari besar seperti Hari Raya Idul Fitri, Natal, dan Tahun Baru. Pada waktu tersebut jumlah permintaan melonjak, namun penawaran (jumlah produksi) relatif stabil sehingga mengakibatkan kenaikan harga rata-rata sekitar 10%. Tingkat persaingan peternak itik di daerah survei (Propinsi Nusa Tenggara Barat) relatif rendah. Dengan demikian peluang pasar masih terbuka untuk para peternak baru. Diperoleh keterangan bahwa ada permintaan untuk sejumlah 5000-an butir telur per hari dari super market terkenal, namun hal ini masih sulit untuk dipenuhi. Sedangkan data ekspor telur itik dari Indonesia hingga saat ini belum tersedia. Data ekspor tersedia untuk telur unggas dan berbagai produk olahannya. Tujuan ekspor adalah Negara Singapura, Saudi Arabia, Hongkong, Amerika Serikat dan Malaysia (Data selengkapnya dalam Lampiran 1.) Sebagian besar telur itik yang dihasilkan oleh peternak dibeli oleh pedagang pengumpul. Dengan demikian dapat dikatakan tidak dikeluarkan biaya pemasaran oleh para peternak. Selanjutnya para pedagang pengumpul tadi menjual telur itik kepada pembeli berikutnya dan selanjutnya dijual kembali untuk langsung dikonsumsi dan sebagian lagi diolah untuk menjadi telur asin. Pemasaran telur itik selama ini belum menunjukkan fluktuasi produksi yang besar. Hal ini menunjukkan bahwa kendala pemasaran belum dijumpai. Bank Indonesia Usaha Itik Petelur (Konvensional) 10

4. Aspek Produksi a. Lokasi Usaha dan Fasilitas Produksi Lokasi usaha peternakan itik petelur dapat dilaksanakan hampir di semua jenis lokasi. Lokasi peternakan itik dilaksanakan didekat pantai, di pegunungan, di tempat yang terlindung matahari, di tempat terbuka dan terkena panas matahari penuh, daerah berbatu-batu dan berumput. Bahkan dalam keadaan apapun itik dapat hidup (Windhyarti, 2000). Dengan demikian itik dapat hidup hampir di seluruh lokasi. Akan tetapi, hal yang harus diperhatikan adalah masalah lingkungan. Itik tidak cocok untuk hidup di daerah yang bising, seperti lapangan terbang dan lapangan tembak. Begitu juga tempat yang ramai dengan lalu lalang kendaraan bermotor atau tempat yang gaduh, lingkungan ini tidak cocok untuk itik. Keadaan ini akan membuat itik menjadi stress sehingga malas untuk bertelur. Dengan demikian itik dapat hidup di lokasi manapun asal tidak berisik dan aman dari lalu lalang orang atau kendaraan. Selain itu, perlu juga dipertimbangkan sebaiknya lokasi peternakan itik tidak terlalu dekat dengan pemukiman penduduk, karena ternak itik (dan ternak pada umumnya) mengeluarkan bau dan debu. Untuk memelihara itik petelur diperlukan kandang. Kandang terbuat dari bahan tahan lama dan tersedia di lokasi dengan harga semurah mungkin. Sebagai salah satu alternatif, dapat pula dipergunakan bahan bekas namun berkualitas tinggi. Berdasarkan pengalaman yang dijumpai di lapangan, bahan yang tersedia, kuat dan murah adalah bambu yang cukup tua. Bambu dapat dipergunakan untuk kerangka bangunan, pagar dan lantai. Selain dari bambu, lantai kandang dapat berupa tanah biasa, di semen, atau diberi batu-batu. Lantai kandang yang terlindung sebaiknya diberi alas jerami, sekam, serbuk gergaji atau bahan lainnya. Sedangkan atap bangunan kandang dapat dipergunakan bahan dari alang-alang, ijuk, rumbia, genteng, lembaran plastik atau bahan lainnya. Peralatan yang diperlukan di dalam kandang adalah tempat pakan dan tempat minum. Kedua jenis peralatan tersebut dapat terbuat dari plastik, kayu atau bahan lainnya. Selain itu, diperlukan juga sapu, sekop dan alat lainnya untuk membersihkan kandang. b. Bahan Baku Pemeliharaan itik petelur membutuhkan bahan baku bibit, pakan dan obatobatan. Pemilihan bibit harus dipertimbangkan secara baik, karena bibit ini merupakan keputusan awal yang akan berpengaruh pada tahap-tahap Bank Indonesia Usaha Itik Petelur (Konvensional) 11

pemeliharaan berikutnya. Beberapa jenis bibit unggul itik petelur yang dijumpai di pasar adalah sebagai berikut: Itik Tegal Itik Mojosari Itik Alabio Itik Bali Itik BPT KA Bibit unggul tersebut memiliki kemampuan yang berbeda dalam menghasilkan telur baik jumlah telur yang dihasilkan per tahun maupun ratarata berat telur dapat dilihat dalam Tabel 4.1. Tampak bahwa jenis itik Mojosari menghasilkan jumlah telur per tahun tertinggi (200-265 butir), dengan bobot per butirnya juga tinggi (70 gr). Urutan berikutnya adalah jenis itik Tegal yang menghasilkan jumlah telur per tahun 150-250 butir dengan bobot per butir antara 65-70 gram. Tabel 4.1. Kemampuan Produksi Telur dan Bobot Beberapa Jenis Itik Petelur Unggas. Jenis Itik Jumlah Telur (butir- Tahun) Itik Mojosari 200-265 70 Itik Tegal 150-250 65-70 Itik Alabio 130-250 65-70 Itik Bali 153-250 59-65 Itik BPT KA 274 70 Sumber: Suharno dan Amri (2000 diolah) Bobot Telur (gram/butir) Selanjutnya sarana produksi lainnya yang dibutuhkan yaitu pakan dan obatobatan. Jenis pakan adalah: starter (untuk anak itik), grower (untuk itik dara) dan layer (untuk itik dewasa). Ketiga jenis pakan ini dapat dengan mudah dibeli di toko. Pakan ini dapat dibuat sendiri dengan alternatif bahanbahan yang paling murah dan mudah diperoleh di sekitar lokasi usaha. Adapun bahan alternatif pakan ternak itik adalah jagung kuning, dedak/bekatul, tepung ikan, tepung daging bekicot, tepung tulang, tepung kerang, bungkil kelapa, tepung gaplek, tepung daun pepaya, tepung daun turi, dan tepung daun lamtoro. Komposisi bahan-bahan tersebut tergantung pada jenis pakan yang akan dibuat. Obat-obatan dibutuhkan karena untuk mendapatkan produksi yang baik dan bermutu tinggi, salah satunya adalah ternak harus sehat. Oleh karena itu, sudah menjadi kewajiban peternak untuk menjaga agar itik petelur terhindar dari segala macam serangan penyakit. Cara terbaik untuk menghindar dari serangan penyakit adalah dengan memelihara itik dalam kandang yang Bank Indonesia Usaha Itik Petelur (Konvensional) 12

memadai, baik sanitasi maupun luasannya, selain pakan yang mencukupi jumlah, nilai gizi, dan kesegarannya. Berdasarkan pengalaman, vaksinasi yang perlu diberikan pada itik adalah vaksinasi untuk mencegah penyakit fowl cholera atau duck cholera. Sedangkan penyakit yang dapat menyerang unggas (umumnya) adalah virus, bakteri, dan parasit (cacing, protozoa, dan kutu). Beberapa penyakit itik terpenting adalah: coccidiosis, coryza, infeksi salmonella, lumpuh, dan kolera. c. Tenaga Kerja dan Teknis Budidaya Tenaga kerja yang dibutuhkan untuk beternak itik petelur relatif tidak besar. Sebagai contoh, untuk memelihara sejumlah 100 ekor itik, biasanya dilakukan oleh suami dan istri, dimana suami yang menyediakan pakan dan istrinya yang memelihara dan memberikan pakan. Sedangan untuk jumlah mulai 300 ekor, diperlukan tenaga kerja khusus yang menangani ternak itik petelur. Tenaga kerja ini hendaknya mempunyai keterampilan untuk membersihkan kandang, membuat pakan dan menanggulangi penyakit. Tenaga kerja biasanya berasal dari penduduk lokal. Dalam beternak itik, tidak dikenal tingkat teknologi, melainkan cara pengusahaannya. Cara pengusahaan ternak itik petelur, sebagaimana sudah dikemukakan dalam Bab 2, terbagi atas tiga jenis, yaitu tradisional, semi intensif dan intensif. Peternakan itik tradisional menerapkan teknologi paling sederhana, sedangkan semi intensif dan intensif menerapkan teknologi lebih tinggi. Teknologi dalam kaitan ini misalnya dalam pengolahan pakan dan penanggulangan penyakit. Tahapan produksi itik petelur adalah dimulai dari pembibitan, penetasan, pemeliharaan mulai dari anak itik berumur satu hari (DOD-day old duck), dara, hingga dewasa (mulai bertelur), hingga akhirnya afkir. Peternak itik petelur dapat melakukan kegiatan usahanya dari mulai penetasan, dari DOD atau dari dara. d. Produksi dan Kendala Produksi Mutu telur itik dibedakan berdasarkan penilaian terhadap kulit telur, kantong udara pada telur, putih telur dan kuning telur. Telur itik biasanya dibedakan mutunya berdasarkan berat, > 65 gr (besar), berat 60-65 gr (sedang) dan < 65 (kecil). Seperti telah diuraikan dalam Bab 2, cara pengusahaan ternak itik petelur masih didominasi oleh cara tradisional. Hingga saat ini belum dilakukan studi skala usaha optimum untuk peternakan itik petelur. Akan tetapi, berdasarkan pengamatan di lapang, dapat diajukan suatu skala usaha tradisional adalah dari puluhan hingga 200 ekor. Sedangkan untuk skala usaha semi intensif antara 300 hingga di bawah 900 ekor. Sedangkan pada skala usaha mulai 900 ekor sudah dapat dikategorikan sebagai usaha intensif. Dalam pola pembiayaan ini, untuk analisa keuangan, skala usaha ditetapkan sejumlah Bank Indonesia Usaha Itik Petelur (Konvensional) 13

1.000 ekor dengan cara pengusahaan terbagi atas dua kategori yaitu pengusahaan mulai dari DOD dan pengusahaan mulai dari dara. Berdasarkan SK Menteri Pertanian No. 362/Kpts/TN.120/5/1990 berisi tentang ketentuan dan tata cara pelaksanaan pemberian ijin dan pendaftaran usaha peternakan. Jika populasi ternak itik dalam suatu peternakan lebih dari 15.000 ekor, maka harus mengajukan ijin usaha peternakan. Produksi telur itik utamanya tergantung pada bibit dan pemeliharaan (pemberian pakan khususnya). Dengan demikian perlu sekali mendapatkan bibit yang terjamin mutunya. Ketersediaan pakan yang terjamin berikut pemberiannya sesuai dengan jadwal dan dosis juga merupakan pangkal beberapa keberhasilan ternak itik petelur. Untuk mendapatkan itik petelur yang berkualitas dan mempunyai jaminan dapat dihubungi beberapa alamat yang ada pada Lampiran 2. Bank Indonesia Usaha Itik Petelur (Konvensional) 14

5. Aspek Keuangan a. Asumsi Aspek keuangan akan membahas komponen dan struktur biaya, pendapatan, kebutuhan modal dan investasi, aliran laba-rugi, arus kas dan evaluasi profitabilitas rencana investasi, analisa Break Even Point (BEP) dan analisa sensitivitas. Seperti telah dibahas dalam bab terdahulu, analisa aspek keuangan akan dibahas dalam dua kategori, yaitu pemeliharaan mulai dari DOD (kategori I) dan pemeliharaan mulai dari itik dara (kategori II). Guna perhitungan analisa keuangan ditetapkan beberapa asumsi dan parameter teknis seperti Tabel 5.1 dan Tabel 5.2 Tabel 5.1. Asumsi dan Parameter Perhitungan Itik Petelur dari DOD (Kategori I) No Asumsi Nilai Satuan 1 Periode Produksi 30 Bulan 2 Bangunan (kandang) 2.000.000 Rp/1000 ekor itik 3 Tenaga kerja 4 Orang 4 Tenaga Ahli 1 Orang 5 Harga jual 5.1. Telur per butir 600 5.2. Pupuk kandang 180000 (karung/100kg) 5.3. Itik tua per ekor 12500 Pemeliharaan itik umur 6 1000 1hari DOD 7 Itik mulai bertelur 6 bulan - Itik 6-8 bulan 50% bertelur - Itik 8-24 bulan 75% bertelur - Itik 24-30 bulan 50% bertelur 8 Pakan Alternatif I (Konsentrat: 1.150 Dedak = 1:4) Rp/kg Alternatif II (Konsentrat: 1.040 Dedak = 1:5) Rp/kg Alternatif III (Keong: 715 Dedak = 2:3) Rp/kg 9 Mortalitas 7% 10 Lama 1 bulan 30 hari Sumber: Pengolahan Data Primer (2001) Bank Indonesia Usaha Itik Petelur (Konvensional) 15

Tabel 5.2. Asumsi dan Parameter Perhitungan Itik Petelur dari Dara (Kategori II) No Asumsi Nilai Satuan 1 Periode Produksi 24 Bulan 2 Bangunan (kandang) 2.000.000 Rp/1000 ekor itik 3 Tenaga kerja 4 Orang 4 Tenaga Ahli 1 Orang 5 Harga jual 5.1. Telur per butir 600 Rupiah 5.2. Pupuk kandang 2.500 (karung/100kg) Rupiah 5.3. Itik tua per ekor 12.500 Rupiah Pemeliharaan itik umur 5 6 1.000 bulan 3 minggu Dara 7 Itik mulai bertelur 6 bulan - Itik 6-8 bulan 50% bertelur - Itik 8-24 bulan 75% bertelur - Itik 24-30 bulan 50% bertelur 8 Pakan Alternatif I (Konsentrat: 1.150 Dedak = 1:4) Rp/kg Alternatif II (Konsentrat: 1.040 Dedak = 1:5) Rp/kg Alternatif III (Keong: Dedak 715 = 2:3) Rp/kg 9 Mortalitas 2% 10 Lama 1 bulan 30 hari Itik Dara Betina (5 bulan 3 11 30.000 minggu) Rp/ekor Sumber: Pengolahan Data Primer (2001) Bank Indonesia Usaha Itik Petelur (Konvensional) 16

b. Komponen dan Struktur Biaya Komponen biaya investasi usaha itik petelur terdiri dari sewa tanah, biaya pembuatan kandang, biaya pembelian air dan listrik, peralatan penunjang lainnya, pembelian bibit itik DOD (Day Old Duck), sekop, wadah pakan, dan tempat penampungan telur. Biaya operasi adalah untuk pembelian pakan dan obat-obatan. Porsi biaya terbesar usaha itik petelur adalah untuk pakan, seperti dapat terlihat pada Tabel 5.3, Tabel 5.4, Tabel 5.5 dan Tabel 5.6. Tabel 5.3. Rincian Biaya Investasi (Kategori I) No Uraian Spesifikasi Jumlah Harga Jumlah Umur Nilai Satuan persatuan Nilai Ekonomis Penyusutan No Teknis Fisik Fisik (Rp (Rp) (th) (Rp) 1 2 3 4 5 6 7 1 Sewa rumah/tanah 375.000 2 Kandang Paket 1.000 250 2.000.0005 400.000 3 Utk Sumber air sejumlah dan listrik ekor 250.000 15 16.667 4 Peralatan penunjang lainnya 250.000 15 16.667 100 % 5 DOD betina 1.000 4.500 4.500.000 2,50 1.800.000 umur 1 hari 6 Sekop 5 20.000 100.000 5,00 20.000 7 Wadah pakan 10 21.000 210.000 5,00 42.000 Tempat 8 penampungan telur 240.000 5,00 48.000 Jumlah Ekor 2.000 7.925.000 2.343.334 Sumber : Hasil Pengolahan Data Primer (2001) Bank Indonesia Usaha Itik Petelur (Konvensional) 17

No. Uraian Tabel 5.4. Biaya Operasi Per Periode (Kategori I) Harga Spesifikasi Jumlah Jumlah per Teknis satuan Nilai (Rp) satuan Jumlah nilai (Rp) 1 Pakan 0-1 minggu gr/ekor/hr 20 1.040 145.600 48.300 1 minggu -1 gr/ekor/hr 40 bln 1.040 873.600 289.800 1-6 bulan gr/ekor/hr 120 1.040 18.720.000 9.832.500 6-30 bulan gr/ekor/hr 160 1.040 119.808.00049.680.000 2 Obat dan vaksin Ekor 1.000 1.500 1.500.000 450.000 3 Tenaga kerja Orang 4 300.000 36.000.000 4 Tenaga Ahli (Koordinator) Orang 1 15.000.000 100.000 500.000 Keranjang 5 telur dan Ekor 1.000 4.500.000 900.000 4.500 transport 6 Air dan Listrik Bulan 30 900.000 90.000 30.000 Penunjang 7 Ekor 1.000 300 300.000 10.500.000 Produksi Pemeliharaan 8 Ekor 1.000 1.000 1.000.000 10.500.000 dan perbaikan JUMLAH Ekor 2.000 198.747.200 82.390.600 Sumber : Hasil Pengolahan Data Primer (2001) Asumsi : 1. Penjualan tiap hari tetapi pendapatan di peroleh tiap 10 hari sekali 2. Modal Kerja = biaya operasi per 10 hari (= total biaya/360 x 10 ) Bank Indonesia Usaha Itik Petelur (Konvensional) 18

Tabel 5.5. Rincian Biaya Investasi (Kategori II) No Uraian Jumlah Harga Umur Nilai Spesifikasi Jumlah Satuan persatuan EkonomisPenyusutan Teknis Nilai (Rp) Fisik Fisik (Rp) (th) (Rp) 1 Sewa rumah/tanah 375.000 2 Kandang Paket 2.000.000 5 400.000 Utk Sumber air 3 sejumlah dan listrik ekor 1.000 250 250.000 15 16.667 Peralatan 4 penunjang lainnya 250.000 15 16.667 100 % 5 DOD betina 1.000 umur 5 30.500 30.000.0002,00 15.000.000 bulan 6 Sekop 5 20.000 100.000 5,00 20000 7 Wadah pakan 10 21.000 210.000 5,00 42.000 Tempat 8 penampungan telur 240.000 5,00 48000 JUMLAH Ekor 2.000 33.425.000 15.543.334 Sumber : Hasil Pengolahan Data Primer (2001) Bank Indonesia Usaha Itik Petelur (Konvensional) 19

Tabel 5.6. Biaya Operasi Per Periode (Kategori II) No Uraian Spesifikasi Teknis Jumlah satuan Harga per satuan Jumlah Nilai (Rp) 1 Pakan 6-30 bulan gr/ekor/hr 160 1.040 119.808.000 2 Obat dan vaksin Ekor 1.000 1.500 1.500.000 3 Tenaga kerja Orang 4 300.000 28.800.000 4 Tenaga Ahli Orang (Koordinator) 1 500.000 12.000.000 5 Keranjang telur dan Ekor transport 1.000 4.500 4.500.000 6 Air dan Listrik Bulan 30 30.000 900.000 7 Penunjang Produksi Ekor 1.000 300 300.000 8 Pemeliharaan dan Ekor perbaikan 1.000 1.000 1.000.000 JUMLAH Ekor 2.000 168.808.000 Sumber : Hasil Pengolahan Data Primer Asumsi : 1. Penjualan tiap hari tetapi pendapatan di peroleh tiap 10 hari sekali 2. Modal Kerja = biaya operasi per 10 hari (= total biaya/360 x 10 ) c. Pendapatan Pendapatan bersih yang dihasilkan dari usaha itik petelur dari tahun pertama hingga berakhirnya masa proyek rinciannya dapat dilihat dalam Lampiran 3.2 dan Lampiran 4.2. Sedangkan pendapatan bersih dapat dilihat pada Tabel 5.7 di bawah ini. Khusus pada tahun ke empat pada kategori I pendapatan bersih karena adanya pembelian baru DOD. Bank Indonesia Usaha Itik Petelur (Konvensional) 20

Tabel 5.7. Pendapatan Bersih Usaha Ternak Itik Petelur Tahun Tahun Ke 1 Kategori I (DOD) Kategori II (Itik Dara) - 39.590.607 63.026.000 Tahun Ke 2 33.603.697 65.489.480 Tahun Ke 3 40.405.088 71.759.010 Tahun Ke 4-19.430.567 66.851.000 Tahun Ke 5 30.678.697 40.453.480 Tahun Ke 6 40.030.088 63.412.690 Rata-rata per tahun 14.282.732 61.831.943 Sumber: Hasil pengolahan data primer (2001) d. Modal dan Kredit Kebutuhan modal kerja dan investasi dengan pembiayaan, kredit dan angsuran untuk usaha itik kategori I dan II dapat dilihat dalam Lampiran 3.3. dan Lampiran 4.3., sedangkan kebutuhan modal dan kredit dapat dilihat dalam Tabel 5.8. di bawah ini. Tabel 5.8. Kebutuhan Modal dan Kredit Usaha Itik Petelur No Rincian Biaya Proyek Kategori I (DOD) 1 Biaya Investasi 7.925.000 2 Biaya Modal Kerja 41.957.742 3 Total Biaya Proyek 49.882.742 a. Bersumber dari kredit b. Bersumber dari dana sendiri Sumber : Data Primer (2001) 32.423.782 17.458.960 e. Aliran Laba-Rugi Aliran laba-rugi untuk usaha itik petelur kategori I dan kategori II dapat dilihat dalam Lampiran 3.4. dan Lampiran 4.4. Bank Indonesia Usaha Itik Petelur (Konvensional) 21

Arus Kas dan Evaluasi Profitabilitas Rencana Investasi 1. Arus Kas Arus kas untuk usaha itik petelur kategori I dan kategori II secara terperinci dapat dilihat dalam Lampiran 3.5. dan Lampiran 4.5. 2. Net B/C, IRR, NPV, dan Pay Back Period Perhitungan net B/C, IRR dan NPV dan Pay Back Period untuk usaha itik petelur kategori I dan kategori II menggunakan rumus dan cara perhitungan seperti yang diuraikan pada Lampiran 5. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa usaha ternak itik petelur pada kategori II lebih menguntungkan dibandingkan dengan pengusahaan itik petelur pada kategori I. Nilai IRR untuk Kategori I sebesar 35% berarti usaha itu masih layak secara finansial untuk terus diusahakan sampai tingkat suku bunga yang berlaku masih dibawah 35%. Demikian juga untuk Kategori II, usaha tersebut masih layak untuk diusahakan secara finansial sampai tingkat suku bunga yang berlaku masih dibawah 159%. Hasil perhitungan lengkap dapat dilihat pada Tabel 5.9. Tabel 5.9. Evaluasi Profibilitas Rencana Investasi Usaha Ternak Itik Petelur Kriteria Kategori I Kategori II NPV Rp. 19.695.093 Rp. 179.405.378 Net B/C 1,42 1,42 5,94 IRR 34,76% 159% PBP 2 tahun 7 bulan 8 bulan Sumber: Hasil pengolahan data primer (2001) Bank Indonesia Usaha Itik Petelur (Konvensional) 22

f. Analisis BEP Analisis titik pulang pokok/impas atau Break Even Point dari usaha itik petelur dengan mempertimbangkan besarnya biaya tetap, biaya variabel dan tingkat harga jual, selama umur proyek didapatkan nilai rata-rata untuk skala usaha kategori I sebesar Rp 31.003.288, atau sebesar 49.502 kg telur itik, sedangkan untuk skala usaha kategori II sebesar Rp 45.022.355 atau sebesar 73.411 kg telur itik. g. Analisis Sensitivitas dan Kendala Keuangan Perhitungan sensitivitas berdasarkan asumsi dua skenario, yaitu skenario 1 naiknya biaya produksi sebesar 10% dan skenario 2 turunnya harga produksi sebesar 10%. Hasil perhitungan selengkapnya dapat dilihat dalam Lampiran 3.6.a. dan Lampiran 3.6.b. untuk skala usaha Kategori I dan Lampiran 4.6.a. dan Lampiran 4.6.b. untuk skala usaha Kategori II, sedangkan hasil ringkasnya dapat dilihat pada Tabel 5.10. Tabel 5.10. Analisa Sensitifitas Usaha Ternak Itik Petelur Kategori I Kategori II KriteriaBiaya naikharga Biaya naikharga turun 10% turun 10% 10% 10% Rp.- Rp. -Rp. Rp. NPV 3.485.447 2.428.746 155.602.809 137.000.573 Net B/C 0,94 0,95 5,24 4,77 IRR 15% 16% 140% 127% 6 tahun 116 tahun 11 PBP 9 bulan 10 bulan bulan bulan Sumber : Data Primer (2001) Tampak bahwa usaha ternak itik petelur lebih sensitif terhadap perubahan harga daripada perubahan biaya. Usaha ternak itik petelur kategori I tidak layak lagi untuk diusahakan apabila terjadi kenaikan biaya produksi sebesar 10% atau penurunan harga jual sebesar 10%, sedangkan usaha ternak itik petelur kategori II tetap layak untuk diusahakan meskipun terjadi kenaikan biaya produksi sebesar 10% atau penurunan harga jual sebesar 10%. Berdasarkan analisis keuangan yang telah dipaparkan dalam Bab ini menunjukkan bahwa usaha ternak itik petelur mampu memberikan pendapatan yang relatif besar. Bahkan pengusaha ternak itik petelur kategori II (itik dara) telah mampu memberikan pendapatan yang sangat besar Rp 61.831.943 per tahun atau lebih dari Rp 5 juta per bulan. Kendala utama adalah tersedianya bantuan modal bagi para peternak secara tepat waktu dan jumlah. Bank Indonesia Usaha Itik Petelur (Konvensional) 23

6. Aspek Sosial Ekonomi Usaha ternak itik petelur adalah merupakan usaha yang berbasis sumberdaya lokal. Usaha yang berbasis sumberdaya lokal tentu saja akan mampu menjadi sektor yang tangguh, karena tidak tergantung pada pasokan dari luar, baik pasokan dari propinsi lain dan bahkan negara asing. Dalam pelaksanaan usaha ternak itik petelur, meskipun tenaga kerja yang dibutuhkan relatif kecil, namun seluruh kebutuhan tenaga kerja tersebut dapat dipenuhi dari dalam daerah itu sendiri. Dengan demikian, usaha ternak itik petelur mempunyai potensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat. Hal ini mengingat pelaksanaan usaha peternak itik petelur memerlukan teknologi yang sederhana, sehingga persyaratan rekruitmen tenaga kerja menjadi lebih mudah. Pengusahaan ternak itik petelur bila dilaksanakan dengan cara semi intensif dapat memberikan pendapatan bagi masyarakat yang sangat nyata, apalagi jika diusahakan dengan cara intensif. Sebagai contoh, pada Bab 5 dalam buku ini, diperlihatkan contoh analisis finansial untuk pengusahaan semi intensif dan intensif. Pengelolaan itik petelur cara kategori I akan menghasilkan pendapatan bersih rata-rata per tahun sebesar Rp 14.383.732, sedangkan kategori II menghasilkan pendapatan rata-rata per tahun sebesar Rp 61.831.943. Dilihat dari besarnya pendapatan bersih tersebut dapat disimpulkan bahwa pengusahaan ternak itik petelur mampu memberikan pendapatan yang relatif besar. Usaha ternak itik petelur juga mempunyai potensi untuk menyumbangkan pajak baik bagi pemerintah daerah maupun pemerintah pusat. Pajak bagi pemerintah daerah berupa Pajak Bumi dan Bangunan dan pungutan lain sehubungan dengan pelaksanaan kegiatan usaha ternak, khususnya bagi peternak itik petelur yang diusahakan dengan cara intensif. Pelaksanaan usaha ternak itik petelur adalah merupakan suatu usaha yang mempunyai keterkaitan dengan sektor hulu dan hilir yang sangat erat. Hal ini mengingat dalam agribisnis perunggasan, usaha itik petelur merupakan salah satu sub-sistem yang sangat berkaitan erat dengan sub-sistem lainnya. Dalam pendekatan sistem, agribisnis perunggasan (usaha peternak itik petelur khususnya) sekurang-kurangnya terdiri dari sub-sistem: penyediaan sarana produksi (bibit, pakan, obat-obatan, dan kandang), budidaya ternak (itik petelur), pengolahan (telur itik menjadi telur asin, telur beku dan tepung telur), pemasaran, dan kebijakan pemerintah (misalnya penyediaan kredit dan pembangunan sarana dan prasarana perekonomian yang menunjang pengusahaan itik petelur). Dengan demikian, pengusahaan ternak itik petelur akan meningkatkan kebutuhan pada bibit (anak itik, yang disebut juga DOD), pakan, industri pengolahan telur, para pedagang telur, dan juga penyedia jasa permodalan. Dapat juga dikatakan usaha ternak itik petelur mempunyai keterkaitan erat antara industri hulu dan hilirnya. Bank Indonesia Usaha Itik Petelur (Konvensional) 24

Berdasarkan studi pustaka selama ini, Indonesia belum pernah mengekspor telur segar dan olahan. Potensi pasar ekspor telur utama adalah ke Jepang, Hongkong dan Singapura. Selama ini pemasok utama bagi ketiga negara tersebut adalah Taiwan, Thailand dan Malaysia. Indonesia belum menggarap pasar ekspor mengingat selama ini pemasaran telur itik di dalam negeri masih mampu menyerap produksi yang dihasilkan oleh peternak (Suharno dan Amri, 2000 dan Windhyarti, 2000). Berdasarkan uraian di atas, dampak yang dihasilkan dari usaha peternak itik petelur baik dari segi ekonomi maupun sosial adalah positif. Lebih lanjut, mengingat keterkaitan antar subsistem dalam pengusahaan ini sangat erat, maka perkembangan usaha ternak itik petelur ini akan mampu menggerakkan industri hulu dan hilir secara nyata. Bank Indonesia Usaha Itik Petelur (Konvensional) 25

7. Penutup a. Kesimpulan Usaha ternak itik petelur dapat dilaksanakan di seluruh lokasi, kecuali lokasi yang gaduh dan lalu lalang kendaraan bermotor serta dekat dengan pemukiman. Usaha ternak itik petelur umumnya masih dilakukan secara tradisional. Sedangkan cara pengusahaan itik petelur yang semi intensif dan intensif akan memberikan peluang menciptakan keuntungan lebih baik dan kepastian usaha yang tinggi. Usaha ternak itik petelur memerlukan sarana produksi yang sebagian besar berasal dari daerah setempat. Dengan demikian kelancaran produksinya dapat lebih terjamin. Selanjutnya, mengingat tenaga kerja yang dibutuhkan dapat juga dipenuhi dari daerah setempat, maka usaha ternak itik petelur tidak akan mengakibatkan gangguan sosial dan keamanan di lokasi usaha ini dilaksanakan. Pemasaran telur hingga saat ini tidak dijumpai masalah, artinya pasar masih mampu menyerap telur yang dihasilkan oleh peternak itik. Bahkan dijumpai adanya gejala pihak peternak tidak mampu menjawab tantangan pasar agar memasok lebih banyak lagi. Dari hasil analisis finansial yang telah dilakukan, menunjukkan usaha ternak itik petelur memberikan tingkat profitabilitas yang tinggi, sehingga layak untuk mendapatkan pinjaman dari Bank. Pada skala usaha kategori I nilai NPV pada tingkat suku bunga 18% Rp. 19.695.093, BC ratio 1,42, IRR 35%, PBP 2 tahun 7 bulan. Sedangkan pada skala usaha kategori II nilai NPV Rp. 179.405.378, BC ratio 5,94, IRR 159%, dan PBP 8 bulan. Akan tetapi, usaha ternak itik petelur dengan skala kategori I tidak layak diusahakan apabila terjadi kenaikan biaya produksi sebesar 10% atau penurunan harga jual sebesar 10%, sedangkan untuk skala usaha kategori II tetap layak diusahakan meskipun terjadi kenaikan biaya produksi sebesar 10% atau penurunan harga jual sebesar 10%. b. Saran Ketersediaan pakan merupakan salah satu kunci keberhasilan dalam usaha ternak itik petelur. Penentu keberhasilan usaha ternak itik petelur adalah pemilikan bibit (baik DOD maupun itik dara), oleh karena itu peternak perlu untuk mendapatkan informasi pembibitan itik berkualitas tinggi, seperti dari Balai Penelitian Ternak di Bogor serta Dinas Peternakan setempat. Disarankan agar peternak dapat diberikan keterampilan cara-cara pembuatan pakan dengan mempergunakan bahan baku yang tersedia di daerah itu. Hal ini untuk lebih meningkatkan kesempatan kerja bagi masyarakat setempat dan juga untuk lebih menjamin kontinuitas ketersediaan pakan. Bank Indonesia Usaha Itik Petelur (Konvensional) 26

Meskipun hingga saat ini usaha ternak itik petelur belum memerlukan pengobatan seperti pada usaha ternak ayam ras, namun ada baiknya untuk memperhatikan hal ini. Langkah yang disarankan adalah dengan menyediakan biaya untuk pengobatan dan memeriksa secara rutin keadaan kesehatan itik. Bank Indonesia Usaha Itik Petelur (Konvensional) 27

LAMPIRAN Bank Indonesia Usaha Itik Petelur (Konvensional) 28