1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hubungan antara kesetaraan jender dengan proses pembangunan ekonomi merupakan hal penting untuk memutuskan sebuah kebijakan, hal ini karena bagian dari pembangunan ekonomi adalah proses memperluas kebebasan yang sama bagi semua orang, mengurangi kemiskinan, dan mengurangi kesenjangan dalam kesejahteraan antara pria dan perempuan (UNDP, 2005; Todaro, Economic Development, 2006; World Bank, 2012). Kesetaraan hak pada jender dan pembangunan ekonomi secara bersama sama dapat memacu pembangunan ekonomi. Dengan adanya kesempatan yang sama bagi perempuan terhadap aspek ekonomi, persamaan hak pada jender dapat meningkatkan efisiensi dan meningkatkan aspek pembangunan lainnya. Sehingga perekonomian mendapat manfaat dari hubungan kesetaraan jender dengan proses pembangunan. Seperti pembuat kebijakan yang dapat menciptakan perubahan populasi produktif dengan meningkatkan fertilitas atau meredam tingkat fertilitas perempuan ataupun dapat menggunakan perspektif kesetaraan jender dalam membuat keputusan menghasilkan barang publik.
2 Sehingga adanya ketidaksetaraan hak pada jender menciptakan inefisensi dalam perekonomian dan menciptakan keberpihakan kemiskinan pada kaum perempuan ( World Bank, 2012). Hal ini menciptakan pemikiran yang mendasari keberpihakan tersebut. Pemikiran tersebut adalah Feminization poverty yaitu sifat dari kemiskinan yang berpihak pada kaum perempuan, sehingga perempuan menjadi objek yang paling menderita akibat kemiskinan itu sendiri. Keberpihakan kemiskinan ini didasari karena adanya berbagai hambatan pada perempuan. Banyak penelitian telah menjelaskan adanya faktor-faktor penghambat tersebut, yaitu seperti faktor kebudayaan, faktor usaha dari perempuan, pendidikan, hingga peraturan perundang-undangan, yang menyebabkan mengapa kemiskinan tidak bersifat netral pada jender (Maundeni, 2002; Medeiros & Costas, 2006; Bastos, Casac, Nunes, & Pereirinha, 2008; Chaudhuri, 2010). Sehingga mayoritas penduduk miskin di dunia adalah kaum perempuan yang diakibatkan oleh proses pembangunan ekonomi yang gagal memperbaiki kondisi kesejahteraan (Todaro, Economic Development, 2006) Dengan kata lain perempuan sangat sulit untuk keluar dari kemiskinan. Sehingga dibutuhkan peran serta dalam pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi yang menyertakan partisipasi perempuan akan membantu meningkatakan posisi ekonomi kaum perempuan (United Nations 2010; UNIFEM, 2005). Sehingga cara mendorong peran perempuan pada aspek ekonomi adalah dengan pemberdayaan ekonomi perempuan. Pemberdayaan perempuan merupakan salah satu cara meningkatakan status ekonomi perempuan dengan mendorong tingkat pendidikan, kesehatan, kesejahteraan, hingga menjunjung hak dan kewajiban yang
3 bertujuan tercapainya keteradilan. Karena, apabila seorang perempuan atau ibu memiliki pendidikan dan kesehatan yang baik maka akan berpengaruh pada generasi selanjutnya. Dengan pendidikan dan kesehatan yang baik pada perempuan atau ibu maka akan menghasilkan anak yang lebih sehat ketika dilahirkan. Sehingga hal ini berpengaruh pada populasi di masa yang akan datang seperti pada hasil penelitian Thomas, Strauss, dan Henriques (1990) dan Allendorf (2007) dalam ( World Bank, 2012). Mengintegrasikan peran perempuan pada perekonomian merupakan tujuan dari pemberdayaan. Salah satu hasil dari pemberdayaan adalah semakin tingginya partisipasi tenaga kerja perempuan di pasar tenaga kerja yang akan meningkatkan perannya pada perekonomian (Boserup, 1970; Goldin, 1994; Mammen & Paxson, 2000; Lincove, 2008; Ambreen & Sultana, 2009). Meningkatnya partisipasi tenaga kerja perempuan merupakan indikasi dari perubahan peran perempuan sebagai salah satu jalan keluar dari kemiskinan. Fenomena meningkatnya partisipasi pekerja perempuan dengan pendapatan nasional per kapita yang terjadi di negara negara berpenghasilan rendah dan negara yang sangat maju tetapi relatif rendah pada negara berpenghasilan menengah disebut fenomena U-shape (Goldin, 1994; Mammen & Paxson, 2000; Gaddis & Klasen, 2012). Fenomena ini menjelaskan bahwa tanpa menghilangkan pengaruh faktor pendidikan, pendapatan dan budaya, partisipasi tenaga kerja perempuan akan meningkat seiring dengan proses pembangunan ekonomi ketika kesempatan bekerja di white-collar terbuka bagi perempuan. Dalam hal ini pertumbuhan pendapatan nasional per kapita mewakili proses pembangunan ekonomi.
4 Namun, masih rendahnya tingkat pendidikan perempuan pada tahap pembangunan ekonomi hingga adanya batasan budaya yang membuat stigma negatif menciptakan etos kerja perempuan untuk bekerja diluar rumah merupakan hal yang dilarang oleh norma sosial di awal pembangunan ekonomi. Maka dari itu perempuan tidak akan mendapat manfaat dari berkembanganya industri dan sektor formal lainnya. Ketika pembangunan ekonomi mencapai tahapan selanjutnya perempuan akan ikut berpartisipasi dalam pasar tenaga kerja, dan batasan batasan seperti norma sosial akan menghilang seiring berjalannya waktu dan semakin tinggi tingkat pendidikan di masyarakat (Mincer, 1962; Goldin, 1994; Mammen & Paxson, 2000; Lincove, 2008). Di banyak negara dari waktu ke waktu akan memperlihatkan fenomena kurva berbentuk U, khususnya negara berkembang yang mana peran perempuan dalam kegiatan ekonomi sudah berkembang dan dapat diketahui dari partispasi tenaga kerja perempuan seperti dikatakan oleh Mincer (1962) dan Kain (1966) dalam (Ambreen & Sultana, 2009). Namun, tidak semua pengaruh pembangunan ekonomi terhadap partisipasi tenaga kerja perempuan akan ikut meningkat dan membentuk U-shape Hal tersebut karena tidak semua negara memiliki kebijakan yang sama dan tidak semua negara berkembang dalam proses pembangunan ekonomi menciptakan peningkatan pendidikan, pendapatan hingga hilangnya batasan batasan perempuan yang menghambat masuknya perempuan ke pasar tenaga kerja (Gaddis & Klasen, 2012). Sedangkan, meningkatnya partisipasi angkatan kerja perempuan tidak hanya berdampak pada peningkatan status ekonomi kaum perempuan, namun juga
5 berdampak pada diskriminasi upah antara perempuan dengan laki-laki. Latar belakang tersebut dikarenakan perempuan merupakan pemain baru dalam pasar tenaga kerja (Greenberg, 2011). Adanya sex-role stereotypes dan glass ceiling menciptakan terhambatnya pertumbuhan upah atau pun turunya pertumbuhan upah perempuan khususnya yang telah menikah dibandingkan dengan laki-laki ataupun perempuan yang tidak menikah. Walaupun dengan jenjang pendidikan yang sama antara laki-laki dan perempuan (Ahituv & Lerman, 2007; Loughran & Zissimopoulos, 2009). Dari hal tersebut diketahui bahwa pembangunan ekonomi masih belum bisa untuk mencapai kesetaraan hak pada jender. Bahkan bagi negara negara yang sudah memiliki pendapatan tinggi dan indeks pembangunan manusia yang tinggi, masih memiliki permasalahan ketidaksetaraan hak pada jender (UNDP, 2014). Ketidakseteraan jender ini dapat terlihat pada Gender Inequality Index (GII) pada grafik 1.1
6 Grafik 1.1 Indeks Ketidaksetaraan Jender dengan Klasifikasi Human Development Index pada 187 Negara di Tahun 2013 0.700 0.600 0.500 % 0.400 0.300 0.200 0.100 0.000 Very high human development High human development Medium human development Low human development (UNDP, 2014) Gender Inequality Index (GII) atau indeks ketidaksetaraan jender adalah metode perhitungan ketidaksetraan dari penyesuaian indeks pembangunan manusia yang dapat diinterpretasikan sebagai kombinasi dari hilangnya pencapaian dalam hal kesehatan reproduksi, pemberdayaan termasuk pendidikan dan partisipasi tenaga kerja pada perempuan. Karena GII memiliki hal yang tidak dimilik HDI, hal ini tidak bisa di interpretasikan sebagai HDI. Nilai GII yang tinggi mengindikasi tingginya ketidaksetaraan pada jender (UNDP, 2014). Dari grafik 1.1 dapat diketahui bahwa di negara yang memiliki indeks pembangunan manusia yang sangat tinggi pun memiliki nilai rata-rata GII sebesar 0,197. Hal ini menjelaskan bahwa sebesar 19,7 persen perempuan kehilangan haknya dalam kesetaraan jender pada tiga aspek yaitu kesehatan reproduksi, pemberdayaan/pendidikan dan partisipasi dalam pasar tenaga kerja. Pada negara yang memiliki indeks pembangunan manusia yang rendah, nilai rata-rata GII
7 indeks sebesar 0,587. Sedangkan di negara yang memiliki indeks pembangunan manusia sedang dan negara yang memiliki indeks pembangunan manusia yang tinggi memiliki nilai GII sebesar 0,513 untuk negara yang memilik indeks pembangunan sedang dan 0,315 untuk negara yang memiliki indeks pembangunan tinggi. Dengan rata-rata nilai GII pada dunia sebesar 0,451, maka dapat disimpulkan bahwa sebanyak 45,1 persen perempuan di dunia kehilangan haknya dalam kesetaraan jender pada tiga aspek yaitu kesehatan reproduksi, pemberdayaan/pendidikan dan partisipasi dalam pasar tenaga kerja (UNDP, 2014). GII di Indonesia pada tahun 2013 sebesar 0,50 persen, maka ada indikasi bahwa di Indonesia terjadi ketidaksetraan jender khususnya pada hak kesehatan reproduksi, pemberdayaan perempuan yang termasuk pendidikan dan partisipasi perempuan dalam pasar tenaga kerja. Karena sebesar 50 persen perempuan di Indonesia tidak mendapatkan haknya dalam kesetaraan jender. Data dan grafik dapat dilihat pada lampiran 1.1 hingga 1.3 yang terdiri dari GII negara negara ASEAN dan GII per wilayah di dunia. Pertumbuhan partisipasi tenaga kerja perempuan meningkat seiring dengan pertumbuhan PDB perkapita di Indonesia pada tahun 2000 hingga 2012 yang terlihat pada lampiran 1.4 dan 1.5. Namun partisipasi tenaga kerja perempuan di Indonesia pada tahun 2000 hingga 2002 mengalami penurunan sekitar 2%, walaupun begitu di tahun 2003 hingga 2012 pertumbuhan partisipasi tenaga kerja perempuan meningkat lebih besar dari 2% seiring dengan kenaikan pertumbuhan PDB perkapita. Hal tersebut menciptakan kurva meneyerupai bentuk U pada
8 partisipasi tenaga kerja perempuan, yang mengindikasikan adanya fenomena hipotesis U di Indonesia terlihat pada grafik 1.2. Grafik 1.2 Tingkat Partisipasi Tenaga Kerja Perempuan dengan Pertumbuhan GDP per Kapita periode 2000-2012 Tingkat Partisipas Tenga Kerja Permpuan 51.4 51.2 51 50.8 50.6 50.4 50.2 50 49.8 49.6 49.4 49.2 3.42 3.47 3.52 3.57 3.62 ln GDP per kapita Sumber: (ILO Key Indikator Labor Market Edisi 8, 2013). Sementara itu, penyerap tenaga kerja rata-rata dari tahun 2008 hingga 2012 paling besar terdapat di sektor pertanian yaitu sebesar 37,86 %, di mana porsi lakilaki 10% lebih banyak dari pada perempuan. Penyerapan tenaga kerja yang paling besar setelah sektor pertanian adalah sektor perdagangan, dimana porsi perempuan sedikit lebih tinggi dibanding laki-laki dengan rata-rata tahun 2008 hingga 2012 sebesar 0,18%. Lalu pada sektor jasa kemasyarakatan, porsi laki-laki sedikit lebih banyak, dengan rata-rata tahun 2008 hingga 2012 sebesar 1,4% lebih besar dibanding perempuan. Dapat dilihat pada lampiran 2.1. Lain halnya di sektor industri yang merupakan kontributor utama struktur PDB di Indonesia, sektor ini hanya mampu menyerap 12-13 persen total tenaga kerja Indonesia, dimana porsi laki-laki lebih banyak dibanding perempuan secara
9 agregat. Jumlah pekerja laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan dengan perbandingan 6:4. Perbandingan dapat dilihat pada lampiran 2.2. Dalam hal rata-rata upah di Indonesia pada lampiran 2.2, upah rata-rata yang diterima laki-laki lebih tinggi dibandingkan yang diterima perempuan, dengan selisih sekitar 30 persen hingga 37 persen. Perbedaan upah perempuan dan laki-laki menciptakan kesenjangan yang semakin besar dari tahun ke tahun, walaupun pertumbuhan partisipasi tenaga kerja perempuan meningkat setiap tahunnya, namun pertumbuhan kenaikan upah perempuan tidak sebesar kenaikan upah pada laki-laki. Di tahun 2009 dan 2010 peningkatan upah rata-rata pada perempuan sedikit lebih tinggi dengan perubahan upah laki-laki yaitu sebesar 1,3 banding 1 di tahun 2009 sedangkan di tahun 2010 yaitu 1,07 banding 1. Terlihat pada lampiran 2.2 sampai dengan 2.6. Di pada tahun 2011 dan 2012 peningkatan upah rata-rata nominal yang diterima laki-laki lebih besar daripada yang diterima perempuan. Pada tahun 2011 terjadi peningkatan upah rata-rata yang sangat besar dibandingkan tahun 2010. Salah satu penyebabnya adalah peningkatan gaji PNS, seperti yang termuat dalam Peraturan Pemerintah No.11 Tahun 2011 tanggal 16 Februari 2011. Jumlah penerima upah yang mengalami perubahan yang paling tinggi terjadi pada kisaran Rp 1-2,5 juta. Terlihat pada grafik 1.2.
10 Rp1,200,000.00 Rp1,000,000.00 Grafik 1.3 Rata-rata Upah yang Diterima oleh Tenaga Kerja di Indonesia Berdasarkan Jenis Kelamin. Rp800,000.00 Rp600,000.00 Rp400,000.00 Rp200,000.00 Rp0.00 2008 2009 2010 2011 2012 Rata rata upah nominal perempuan Rata rata upah nominal laki laki Data Sakenas BPS (2013) dan diolah sendiri. Adanya perbedaan upah antara perempuan dan laki-laki pada pekerjaan yang sama memiliki kecenderungan bahwa adanya diskriminasi. Indikasi tersebut bertentangan dengan falsafah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tidak mengenal adanya perbedaan diskriminasi. Namun, indikasi ini belum tentu melanggar pengakuan dari persamaan hak, karena bisa jadi ada perbedaan produktivitas kerja. Adanya perbedaan produktivitas kerja antara pihak tertentu, dapat melatarbelakangi perbedaan upah. Sehingga secara hukum, pengakuan hak antara perempuan dan laki-laki adalah sama dan tercantum dalam UUD 1945 dan perubahannya. Dalam pasal 27 dinyatakan bahwa (ayat 1) Segala Warga negara bersamaan kedudukannya di dalam Hukum dan Pemerintahan dan wajib menjunjung Hukum dan Pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. (ayat 2) Tiap-tiap warga negara berhak atas
11 pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Sedangkan hak dalam bekerja disebutkan pada pasal 28D, ayat 2, yaitu setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja (ILO, 2005). Mengingat sedikitnya penelitian yang telah mengkaji partisipasi tenaga kerja perempuan dan perbedaan upah di Indonesia dan berdasarkan penjelasan yang telah diuraikan, maka peneliti berminat untuk mengambil judul Analisis pembangunan ekonomi, partsipasi tenaga kerja perempuan, dan diskriminiasi jender di pasar tenaga kerja Indonesia periode 1993-2007: Analisis Data Panel. B. Rumusan masalah Sebagaimana dapat disimpulkan dari studi literatur, mendorong peneliti untuk melakukan penelitian terkait hal tersebut dengan studi kasus Indonesia. Dengan kata lain, sentral dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui efek pembangunan ekonomi (pendapatan nasional per kapita) terhadap partisipasi tenaga kerja perempuan. Dalam hal ini sektor pertanian merupakan basis dimana fenomena bentuk U terjadi ketika pengaruh pangsa sektor ini mempengaruhi partisipasi tenaga kerja perempuan, sedangkan sektor industri dan sektor jasa merupakan sektor yang mendukung ada tidaknya transformasi struktural pada suatu perekonomian (Gaddis & Klasen, 2012). Sebagai tambahan atas penelitian U-shape, penelitian juga memasukkan beberapa indikator makroekonomi dari kajian literatur dan teori yang berhubungan dalam mempengaruhi partisipasi tenaga kerja perempuan yaitu upah rata-rata laki-laki per provinsi dan rata-rata pendidikan perempuan per provinsi.
12 Sedangkan, meningkatnya partisipasi angkatan kerja perempuan tidak hanya berdampak pada peningkatan status ekonomi kaum perempuan, namun juga berdampak pada diskriminasi upah antara perempuan dengan laki-laki. Latar belakang tersebut dikarenakan perempuan merupakan pemain baru dalam pasar tenaga kerja (Greenberg, 2011). Adanya sex-role stereotypes dan glass ceiling menciptakan terhambatnya pertumbuhan upah atau pun turunya pertumbuhan upah perempuan khususnya yang telah menikah dibandingkan dengan laki-laki ataupun perempuan yang tidak menikah. Walaupun dengan jenjang pendidikan yang sama antara laki-laki dan perempuan (Ahituv & Lerman, 2007; Loughran & Zissimopoulos, 2009). Efek memiliki anak bagi perempuan juga mempengaruhi efek terhadap upah. Maka dalam hal adanya diskriminasi upah pada perempuan, peneliti menggunakan variabel seperti, jenis kelamin, jam bekerja per bulan, pernikahan, tingkat pendidikan, dan memiliki anak. Peneliti juga menganalisis latar belakang perempuan yang sudah menikah terhadap ada tidaknya opportunity cost antara mengurus pekerjaan atau rumah tangga. Sehingga memunculkan hipotesisi kombinasi jam untuk bekerja dan jam untuk mengurusi rumah tangga (Goldin, 1994). Maka peneliti menganalisis adanya indikasi dari kecenderungan peran perempuan yang sudah menikah dan memiliki anak akan memaksimalkan kehidupan di rumah tangga dan dikehidupan kerjanya. Dalam hal ini peneliti menggunakan variabel dependen adalah jam bekerja per bulan dan variabel independen adalah tingkat upah, menikah, anak.
13 C. Pertanyaan Penelitian Uraian ringkas dalam latar belakang masalah di atas memberi dasar bagi peneliti untuk merumuskan pertanyaan penelitian yaitu: 1. Apakah hubungan bentuk-u antara partisipasi angkatan kerja perempuan dan tingkat pertumbuhan ekonomi ada di Indonesia, bagaimana respon pangsa tenaga kerja dari sektor pertanian, industri dan jasa per provinsi, hingga rata-rata upah laki-laki provinsi, rata-rata jenjang pendidikan di tingkat provinsi terhadap partisipasi angkatan kerja perempuan? 2. Apakah jenis kelamin, pendidikan, menikah, memliki anak akan berdampak pada perbedaan pertumbuhan upah antar perempuan dan laki laki? 3. Apakah faktor pendidikan dan memiliki anak dapat menjelaskan adanya kecenderungan perempuan dalam mengoptimalkan kehidupan di rumah tangga dan kehidupan kerjanya? D. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini mencoba untuk memberikan analisis pada berbagai aspek partisipasi angkatan kerja perempuan di Indonesia. Maka penelitian ini bertujuan untuk: 1. Menganalisis hubungan bentuk-u antara partisipasi angkatan kerja perempuan dan tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia, pangsa tenaga kerja dari sektor pertanian, industri dan jasa per provinsi, rata-rata upah laki-laki provinsi, rata-rata jenjang pendidikan di tingkat provinsi.
14 2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi perbedaan upah antar jender yaitu faktor pendidikan dan fenomena wage schooling locus di jenjang pendidikan perempuan, jenis kelamin, wage penalty bagi perempuan yang menikah, efek menikah terhadap laki-laki, dan motherhood penalty. 3. Menganalisis kecenderungan peran perempuan dalam mengoptimalkan kehidupan di rumah tangga dan kehidupan kerjanya dengan faktor faktor yang mempengaruhi yaitu anak, upah, dan pendidikan. E. Lingkup Penelitian Pengaruh dampak pembangunan ekonomi terhadap partisipasi tenaga kerja perempuan, maka peneliti menganalisis hubungan tersebut menggunakan analisis sektoral. Sektor yang digunakan dalam analisis ini adalah pangsa tenaga kerja dari sektor pertanian, jasa dan industri dibagi dengan seluruh sektor. Hal ini karena peneliti telah mempertimbangkan penelitan dari Claudia (1990), Mammen & Paxson (2000) dan Gaddis & Klasen (2012), dimana sektor tersebut adalah salah satu variabel kunci terhadap kontribusi pada fenomena tersebut. Selain analisis sektoral, peneliti juga menggunakan analisis spasial per provinsi dengan variabel seperti rata-rata pendidikan perempuan per provinsi dan rata - rata upah laki-laki per provinsi. Dengan observasi yang akan dijadikan objek penelitian adalah 21 provinsi di Indonesia pada periode 2002-2007 pada data SUSENAS. Di penelitian tentang diskriminasi jender pada pasar tenaga kerja. Analisis yang digunakan tidak hanya pada lapangan usaha atau sektor tertentu melainkan keseluruhan sektor di Indonesia. Hal ini karena diskriminasi upah terjadi tidak
15 hanya sektor di pertanian, melainkan terjadi hampir disemua sektor. Dapat dilihat pada tabel di lampiran 2.3 hingga 3.2. Pada analisis wage penalty dan wage premium, data yang digunakan adalah IFLS1 hingga IFLS4 yaitu periode 1993, 1997, 2000, dan 2007. Observasi yang diteliti di IFLS adalah perempuan dan laki-laki yang telah bekerja. Selain itu, peneliti juga memiliki tujuan penelitian lainya yang terkait dari analisis wage premium dan wage penalty. Pertama, adalah menganalisis fenomena wage schooling locus pada perempuan dan kedua, adalah kombinasi jam bekerja yang dipilih oleh pekerja perempuan yang sudah berumah tangga. Pada analisis wage penalty dan wage premium peneliti memilih 21 provinsi yang sama dengan penelitian di pendekatan U-shape. Hal tersebut dilatarbelakangi pada keinginan peneliti menganalisis fenomena U-shape dan fenomena kesenjangan pertumbuhan upah perempuan pada 21 provinsi di Indonesia. F. Manfaat Penelitian Dengan adanya latar belakang yang telah diuraikan, rumusan permasalahan serta tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini, maka manfaat yang akan diperoleh adalah sebagai berikut: 1. Sebagai gambaran umum bagi pekerja perempuan, mengenai kondisi pasar tenaga kerja di Indonesia. 2. Bagi pembuat kebijakan sebagai acuan dalam pengambilan kebijakan yang terkait dalam masalah per buruhan. 3. Untuk pengembangan ilmu pengetahuan bagi dunia pendidikan dan memperkaya studi empiris bagi para peneliti mengenai topik yang
16 diteliti sehingga penelitian dengan topik serupa bisa lebih dikembangkan khususnya pada penelitian marriage market. G. Sistematika Penulisan Bagian utama dari penulisan ini disusun dengan mempergunakan sistematika sebagai berikut: I. Bab I akan dipaparkan uraian terkait pendahuluan; yang memuat latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, lingkup penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan. II. Bab II akan dipaparkan uraian terkait landasan teori; yang memuat tinjauan pustaka, penelitian terdahulu yang sesuai dengan penelitian. III. Bab III akan dipaparkan uraian terkait data metodologi, pembatasan data survai, alat analisis dan hipotesis penelitian. IV. Bab IV akan dipaparkan hasil dan pembahasan, tahapan analisis, hasil dan temuan, dan pembahasan hasil penelitian. V. Bab V terdiri dari kesimpulan merangkum hasil penelitian secara keseluruhan, maupun kekurangan dan saran dari penelitian ini. serta rekomendasi yang bisa dijadikan bahan penelitian selanjutnya.