BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN.

dokumen-dokumen yang mirip
DIPA BADAN URUSAN ADMINISTRASI TAHUN ANGGARAN 2014

BAB IV GAMBARAN UMUM

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan di daerah setempat. Penyediaan lapangan kerja berhubungan erat dengan

BAB I PENDAHULUAN. ketimpangan dan pengurangan kemiskinan yang absolut (Todaro, 2000).

BAB IV GAMBARAN UMUM DAN OBJEK PENELITIAN. Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara Lintang

Sumber: Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Indonesia (2012)

KATA PENGANTAR Drs. Helmizar Kepala Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara Sekretariat Jenderal dan Badan Keahlian DPR RI

BAB I PENDAHULUAN. untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat baik material maupun spiritual. Untuk

BAB V KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah dan desentralisasi yang efektif berlaku sejak tahun 2001

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 08 /PMK.07/2011 TENTANG

TIPOLOGI WILAYAH HASIL PENDATAAN POTENSI DESA (PODES) 2014

V GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2015

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH

DATA PERKEMBANGAN REALISASI INVESTASI PMA DAN PMDN SE JAWA BARAT PERIODE LAPORAN JANUARI - MARET TAHUN 2017

LAPORAN REALISASI ANGGARAN BELANJA (TRANSAKSI KAS) BELANJA WILAYAH MELALUI KPPN UNTUK BULAN YANG BERAKHIR 31 DESEMBER 2014 (dalam rupiah)

INDEKS PEMBANGUNAN GENDER DAN INDEKS PEMBERDAYAAN GENDER KOTA BEKASI TAHUN 2013

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH PROVINSI JAWA BARAT TAHUN 2014

BAB I PENDAHULUAN. Sejak kebijakan pemerintah Indonesia tentang Otonomi Daerah

BAB IV GAMBARAN UMUM

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan tersebut diharapkan dapat memberikan trickle down effect yang

BAB I PENDAHULUAN. diberlakukan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah. Tujuan

LAPORAN REALISASI ANGGARAN BELANJA (TRANSAKSI KAS) BELANJA WILAYAH MELALUI KPPN UNTUK BULAN YANG BERAKHIR 31 DESEMBER 2013 (dalam rupiah)

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

BAB V KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Sejak otonomi daerah dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2001

EVALUASI PELAKSANAAN DANA ALOKASI KHUSUS (DAK) PROVINSI JAWA BARAT

MODAL DASAR PD.BPR/PD.PK HASIL KONSOLIDISASI ATAU MERGER

Daftar Populasi dan Sampel Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. DASAR HUKUM A. Gambaran Umum Daerah 1. Kondisi Geografis Daerah 2. Kondisi Demografi

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2016

BAB V GAMBARAN UMUM PROPINSI JAWA BARAT. Lintang Selatan dan 104 o 48 '- 108 o 48 ' Bujur Timur, dengan luas wilayah

KATA PENGANTAR. keterampilan para petani dan petugas melalui sekolah lapangan serta pelatihan pemandu (PL I, PL II, PL III).

1. COOPERATIVE FAIR KE-1

BAB IX PENETAPAN INDIKATOR KINERJA DAERAH

Draft 18/02/2014 GUBERNUR JAWA BARAT,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BERITA RESMI STATISTIK

Sistem Informasi Pembangunan Daerah (SIPD) dan Satu Data Pembangunan Jawa Barat

Yth. Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten/ Kota se-jawa Barat. Disampaikan dengan hormat, terima kasih. T April 2017 antor Wilayaha

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Kota Bandung merupakan salah satu kota yang memiliki potensi besar untuk

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.11, 2010 Kementerian Keuangan. Dana Bagi Hasil. Pertambangan. Panas Bumi.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI JAWA BARAT

BAB I PENDAHULUAN LKPJ GUBERNUR JAWA BARAT TAHUN 2015 I - 1

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. dalam perekonomian Indonesia. Masalah kemiskinan, pengangguran, pendapatan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

CAPAIAN INDIKATOR MUTU DAN KESELAMATAN PASIEN AREA MANAJEMEN TRIWULAN I TAHUN 2016

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah melakukan reformasi pengelolaan keuangan dengan. mengeluarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara,

I-1 BAB I PENDAHULUAN. I. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. sektor perindustrian ini adalah dengan cara mengembangkan industri kecil.

BAB I PENDAHULUAN. Sejak jatuhnya rezim orde baru pada tahun 1998 terjadi perubahan di

V. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA DI JAWA BARAT

PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 12 Tahun 2010 TENTANG PENGELOLAAN PENGGUNAAN DAN PENGALOKASIAN DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU TAHUN 2010

Buletin Analisis Hujan dan Indeks Kekeringan Bulan April 2012 dan Prakiraan Hujan Bulan Juni, Juli dan Agustus 2012 KATA PENGANTAR

BAB I PENDAHULUAN. diberlakukannya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU No.

BAB I PENDAHULUAN. di Indonesia dilandasi oleh Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 dan Undang-

BAB I PENDAHULUAN. daerah, karenanya pembangunan lebih diarahkan ke daerah-daerah, sehingga

BAB I PENDAHULUAN. membiayai pembangunan dan pelayanan atas dasar keuangan sendiri (Anzar, tangan dari pemerintah pusat (Fitriyanti & Pratolo, 2009).

BERITA RESMI STATISTIK

URGENSI SIPD DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH

No Kawasan Andalan Sektor Unggulan

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah adalah suatu pemberian hak dan kewajiban kepada daerah

diterangkan oleh variabel lain di luar model. Adjusted R-squared yang bernilai 79,8%

Bab IV Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Pengaruhnya Terhadap Ketahanan Pangan

Jumlah penduduk Jawa Barat berdasarkan hasil SP2010 sebanyak 43 juta orang dengan laju pertumbuhan sebesar 1,91 persen per tahun

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

Buletin Analisis Hujan Bulan Januari 2013 dan Prakiraan Hujan Bulan Maret, April dan Mei 2013 KATA PENGANTAR

LAMPIRAN. Laju Pertumbuhan PDRB ADHK 2000 menurut Kab/ Kota di Provinisi Jawa Barat (Persen)

BAB I PENDAHULUAN. undang undang ini adalah besaran alokasi dana desa yang sebelumnya hanya. cukup besar mulai Tahun 2015 yang akan datang.

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan perubahan peraturan perundangan yang mendasari pengelolaan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Dasar Hukum

Buletin Analisis Hujan dan Indeks Kekeringan Bulan Juli 2012 dan Prakiraan Hujan Bulan September, Oktober dan November 2012 KATA PENGANTAR

BAB I PENDAHULUAN LKPJ GUBERNUR JAWA BARAT ATA 2014 I - 1

IV. KONDISI UMUM WILAYAH

BERITA DAERAH KOTA SUKABUMI

PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR 28 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN UMUM PENGGUNAAN BANTUAN KEUANGAN DALAM RANGKA SINERGITAS PERENCANAAN PEMBANGUNAN DI

BAB I PENDAHULUAN. meningkat, peran akuntansi semakin dibutuhkan, tidak saja untuk kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. Timur dan Tenggara. Negara-negara dengan sebutan Newly Industrializing Countries

KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI

Buletin Analisis Hujan dan Indeks Kekeringan Bulan Desember 2012 dan Prakiraan Hujan Bulan Februari, Maret dan April 2013 KATA PENGANTAR

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

SATU DATA PEMBANGUNAN JAWA BARAT PUSAT DATA DAN ANALISA PEMBANGUNAN (PUSDALISBANG) DAFTAR ISI DAFTAR ISI

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Analisis Klaster untuk Pengelompokan Kemiskinan di Jawa Barat Berdasarkan Indeks Kemiskinan 2016

BAB I PENDAHULUAN. akuntabilitas sesuai dengan prinsip-prinsip dasar good governance pada sektor

BAB I PENDAHULUAN. Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum Bulog) Divisi ton beras dari petani nasional khususnya petani di wilayah Jawa

Ringkasan Laporan Kegiatan Monitoring dan Evaluasi Penerapan UU di Pemerintah Kabupaten/Kota di Jawa Barat. Komisi Informasi Provinsi Jawa Barat

BAB I PENDAHULUAN. yang mensyaratkan bentuk dan isi laporan pertanggung jawaban pelaksanaan

Buletin Analisis Hujan Bulan Februari 2013 dan Prakiraan Hujan Bulan April, Mei dan Juni 2013 KATA PENGANTAR

1.1. UMUM. Statistik BPKH Wilayah XI Jawa-Madura Tahun

PENCAPAIAN KONTRAK KINERJA PROVINSI (KKP) PROVINSI JAWA BARAT JANUARI 2013

Nomor : W10-A/2565/OT.01.2/XII/2012 Bandung, 4 Desember 2012 Lampiran : 1 (satu) bundel Perihal : Laporan Tahunan 2012

Transkripsi:

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Indeks Kemampuan Keuangan (IKK) Indeks Kemampuan Keuangan (IKK) yang didapatkan dari perhitungan setiap kabupaten/kota di Jawa Barat pada tahu 2015 dibawah ini menunjukkan bahwa terdapat 7 kabupaten/kota yang memiliki Indeks Kemampuan Keuangan (IKK) daerah yang tergolong sangat baik yakni kabupaten Bekasi, kota Bekasi, kota Depok, kota Bogor, kota Bandung, kabupaten Pangandaran, dan kabupaten karawang. Selanjutnya terdapat 3 kabupaten/kota di Jawa Barat yang memiliki IKK yang termasuk kedalam kategori baik yakni kota Cimahi, kota Sukabumi, dan Kabupaten Bogor. Kemudian terdapat 4 kabupaten/kota yang memiliki IKK dengan kategori cukup baik yakni kabupaten Garut, kota Cirebon, kabupaten Purwakarta, dan kabupaten Cirebon. Setelah itu terdapat 6 kabupaten/kota yang memiliki IKK dengan kategori sedang yakni kabupaten Sukabumi, kota Banjar, kabupaten Subang, kabupaten Sumedang, kabupaten Majalengka, dan kabupaten Cianjur. Kemudian terdapat 6 kabupaten dengan golongan IKK yang termasuk tidak baik yakni kabupaten Indramayu, kabupaten Kuningan, kabupaten Tasikmalaya, kabupaten Bandung Barat, kabupaten Ciamis, dan kabupaten Bandng. Dan terakhir, terdapat 1 kota yang memiliki jumlah IKK dengan golongan tidak baik kota Tasikmalaya seperti yang terlihat pada tabel 5.3 dibawah ini. 48

49 TABEL 5.1 INDEKS KEMAMPUAN KEUANGAN DAERAH 27 KABUPATEN/ KOTA DI JAWA BARAT NO Kabupaten/Kota IKK Status IKK 1 Kabupaten Bekasi 0.71 Sangat Baik 2 Kota Bekasi 0.64 Sangat Baik 3 Kota Depok 0.63 Sangat Baik 4 Kota Bogor 0.61 Sangat Baik 5 Kota Bandung 0.61 Sangat Baik 6 Kabupaten Pangandaran 0.59 Sangat Baik 7 Kabupaten Karawang 0.51 Sangat Baik 8 Kota Cimahi 0.45 Baik 9 Kota Sukabumi 0.44 Baik 10 Kabupaten Bogor 0.41 Baik 11 Kabupaten Garut 0.39 Cukup Baik 12 Kota Cirebon 0.39 Cukup Baik 13 Kabupaten Purwakarta 0.36 Cukup Baik 14 Kabupaten Cirebon 0.31 Cukup Baik 15 Kabupaten Sukabumi 0.28 Sedang 16 Kota Banjar 0.27 Sedang 17 Kabupaten Subang 0.26 Sedang 18 Kabupaten Sumedang 0.24 Sedang 19 Kabupaten Majalengka 0.21 Sedang 20 Kabupaten Cianjur 0.21 Sedang 21 Kabupaten Indramayu 0.19 Kurang Baik 22 Kabupaten Kuningan 0.17 Kurang Baik 23 Kabupaten Tasikmalaya 0.14 Kurang Baik 24 Kabupaten Bandung Barat 0.13 Kurang Baik 25 Kabupaten Ciamis 0.12 Kurang Baik 26 Kabupaten Bandung 0.11 Kurang Baik 27 Kota Tasikmalaya 0.10 Tidak Baik Sumber : Hasil Olah Data, 2016 Kota Tasikmalaya masih memiliki kemampuan keuangan yang rendah karena pertumbuhan PAD di daerah tersebut tergolong sangat lambat. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan lambat nya pertumbuhan PAD diantaranya adalah kurang nya perhatian dan manajemen pemerintah setempat terhadap potensi perekonomian yang dimiliki kota tersebut. Salah

50 satu fakta nya, kota Tasikmalaya memiliki beragam sumber daya alam yang dapat dikembangkan menjadi sektor wisata namun terbengkalai sehingga pendapatan dari sektor pariwisata rendah. B. Indeks Pinjaman Daerah (IPD) Selanjutnya dilakukan perhitungan terhadap Penerimaan Umum (PU) daerah untuk mengetahui Indeks Pinjaman Daerah di Jawa Barat. Pada perhitungan ini,digunakan data Penerimaan Umum tahun 2014 dikalikan dengan 75% agar dapat mengetahui batas maksimum suatu daerah dapat melakukan pinjaman untuk tahun 2015. Dimana angka yang dikalikan yakni 75% berasal dari jumlah kumulatif pokok pinjaman yang wajib dibayar dari penerimaan umum APBD tahun sebelumnya merujuk pada PP 54 Tahun 2005. (Walidi, 2009) Berdasarkan hasil hitungan berikut, kabupaten Bogor memiliki Indeks Pinjaman Daerah tertinggi dengan angka indeks sebesar 1.00. Hal tersebut dikarenakan kabupaten Bogor memiliki penerimaan daerah yang paling tinggi diantara wilayah lainnya. Kemudian kota Banjar memiliki Indeks Pinjaman Daerah terendah dengan angka indeks sebesar 0.00. TABEL 5.2 INDEKS PINJAMAN DAERAH (IPD) DI JAWA BARAT TAHUN 2014 No Kabupaten/Kota Penerimaan Umum (PU) 75%*PU IPD 1 Kabupaten Bogor 4289485456400 3217114092300 1.00 2 Kota Bandung 3607817129570 2705862847178 0.82 3 Kabupaten Bekasi 3395405692170 2546554269128 0.76 4 Kabupaten Bandung 2949488045830 2212116034373 0.64 5 Kota Bekasi 2798724295510 2099043221633 0.60 6 Kabupaten Karawang 2548095464000 1911071598000 0.54

51 Lanjutan Tabel 5.2 7 Kabupaten Garut 2302787014970 1727090261228 0.47 8 Kabupaten Sukabumi 2136060769010 1602045576758 0.43 9 Kabupaten Cirebon 1984658783330 1488494087498 0.39 10 Kabupaten Cianjur 1970949290520 1478211967890 0.38 11 Kabupaten Indramayu 1826565030640 1369923772980 0.35 12 Kota Depok 1771223744630 1328417808473 0.33 13 Kabupaten Subang 1651528294830 1238646221123 0.30 14 Kabupaten Tasikmalaya 1631008778000 1223256583500 0.29 15 Kabupaten Majalengka 1485249641000 1113937230750 0.26 16 Kabupaten Sumedang 1517606666260 1138204999695 0.26 17 Kabupaten Kuningan 1411705882000 1058779411500 0.24 18 Kota Bogor 1433933925060 1075450443795 0.24 19 Kabupaten Bandung Barat 1405221120630 1053915840473 0.23 20 Kabupaten Ciamis 1394956025130 1046217018848 0.23 21 Kabupaten Purwakarta 1210719727000 908039795250 0.18 22 Kota Cirebon 951308067970 713481050978 0.11 23 Kota Tasikmalaya 912308585120 684231438840 0.10 24 Kota Cimahi 863427095000 647570321250 0.09 25 Kota Sukabumi 812677164350 609507873263 0.08 26 Kabupaten Pangandaran 741239294530 555929470898 0.06 27 Kota Banjar 519579997780 389684998335 0.00 Sumber: Badan Pusat Statistik C. Indeks Kemampuan Penerbitan Sukuk Daerah Pada hasil perhitungan Indeks Kemampuan Penerbitan (IKP) sukuk daerah dimana Indeks Kemampuan Penerbitan (IKP) diperoleh dari Indeks Kemampuan Keuangan (IKK) ditambah dengan Indeks Pinjaman Daerah (IPD) dibagi dua, kabupaten Bekasi justru menempati posisi tertinggi dengan Indeks Kemampuan Penerbitan (IKP) sebesar 0.74. Hal tersebut dikarenakan Indeks Pinjaman Daerah yang tinggi diiringi dengan Indeks Kemampuan Keuangan yang tinggi pula. Urutan kedua ditempati oleh kota Bandungdengan Indeks Kemampuan Penerbitan sebesar 0.71. Kabupaten Bogor berada di posisi ke tiga karena meskipun kabupaten Bogor memiliki Indeks Pinjaman Daerah yang tinggi namun tidak diiringi dengan Indeks

52 Kemampuan Keuangan yang tinggi pula. Sedangkan pada urutan terakhir ditempati oleh kota Tasikmalaya dengan nilai Indeks Kemampuan Penerbitan (IKP) sebesar 0.10. TABEL 5.3 INDEKS KEMAMPUAN PENERBITAN (IKP) SUKUK DAERAH KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT TAHUN 2015 No Kabupaten/Kota IPD IKK IKP 1 Kabupaten Bekasi 0.76 0.71 0.74 2 Kota Bandung 0.82 0.61 0.71 3 Kabupaten Bogor 1.00 0.41 0.70 4 Kota Bekasi 0.60 0.64 0.62 5 Kabupaten Karawang 0.54 0.51 0.52 6 Kota Depok 0.33 0.63 0.48 7 Kabupaten Garut 0.47 0.39 0.43 8 Kota Bogor 0.24 0.61 0.43 9 Kabupaten Bandung 0.64 0.11 0.38 10 Kabupaten Sukabumi 0.43 0.28 0.35 11 Kabupaten Cirebon 0.39 0.31 0.35 12 Kabupaten Pangandaran 0.06 0.59 0.32 13 Kabupaten Cianjur 0.38 0.21 0.30 14 Kabupaten Subang 0.30 0.26 0.28 15 Kabupaten Purwakarta 0.18 0.36 0.27 16 Kabupaten Indramayu 0.35 0.19 0.27 17 Kota Cimahi 0.09 0.45 0.27 18 Kota Sukabumi 0.08 0.44 0.26 19 Kota Cirebon 0.11 0.39 0.25 20 Kabupaten Sumedang 0.26 0.24 0.25 21 Kabupaten Majalengka 0.26 0.21 0.23 22 Kabupaten Tasikmalaya 0.29 0.14 0.22 23 Kabupaten Kuningan 0.24 0.17 0.21 24 Kabupaten Bandung Barat 0.23 0.13 0.18 25 Kabupaten Ciamis 0.23 0.12 0.18 26 Kota Banjar 0.00 0.27 0.13 27 Kota Tasikmalaya 0.10 0.10 0.10 Sumber: Hasil Olah Data, 2016 D. Metode Indeks Tahapan pertama menghitung peta permintaan sukuk dengan menggunakan metode indeks yaitu menghitung jumlah Indeks Komposisi

53 Dana Likuid (IKDL) yang siap untuk diinvestasikan, menghitung Indeks Komposisi Keluarga Sejahtera (IKKS) yang menggambarkan tingkat kesejahteraan di masing-masing daerah sehingga diasumsikan akan mempengaruhi tingkat permintaan investasi sukuk pada masing-masing daearah, dan selanjutnya menghitung Indeks Potensi Populasi Muslim (IPPM) untuk mempertimbangkan tingkat permintaan umat islam atas penawaran instrumen investasi yang berbasis syariah. TABEL 5.4 PERHITUNGAN INDEKS POTENSI POPULASI MUSLIM, INDEKS KOMPOSISI KELUARGA SEJAHTERA DAN INDEKS KOMPOSISI DANA LIKUID No Kabupaten/Kota IPPM IKKS IKDL 1 Kabupaten Bogor 1.00 1.00 0.34 2 Kabupaten Sukabumi 0.50 0.44 0.08 3 Kabupaten Cianjur 0.47 0.54 0.04 4 Kabupaten Bandung 0.66 0.73 0.41 5 Kabupaten Garut 0.52 0.49 0.09 6 Kabupaten Tasikmalaya 0.36 0.41 0.02 7 Kabupaten Ciamis 0.33 0.28 0.03 8 Kabupaten Kuningan 0.22 0.27 0.03 9 Kabupaten Cirebon 0.44 0.44 0.12 10 Kabupaten Majalengka 0.24 0.29 0.02 11 Kabupaten Sumedang 0.23 0.28 0.04 12 Kabupaten Indramayu 0.36 0.39 0.30 13 Kabupaten Subang 0.32 0.31 0.04 14 Kabupaten Purwakarta 0.18 0.23 0.08 15 Kabupaten Karawang 0.45 0.40 0.54 16 Kabupaten Bekasi 0.54 0.60 1.00 17 Kabupaten Bandung Barat 0.33 0.33 0.02 18 Kabupaten Pangandaran 0.00 0.07 0.00 19 Kota Bogor 0.17 0.00 0.12 20 Kota Sukabumi 0.04 0.06 0.02 21 Kota Bandung 0.37 0.23 0.84 22 Kota Cirebon 0.04 0.04 0.08 23 Kota Bekasi 0.42 0.50 0.22 24 Kota Depok 0.36 0.38 0.10 25 Kota Cimahi 0.11 0.11 0.03

54 Lanjutan Tabel 5.4 26 Kota Tasikmalaya 0.13 0.15 0.03 27 Kota Banjar 0.03 0.02 0.01 Sumber :Badan Pusat Statistik dan Bank Indonesia, 2016 Berdasarkan perhitungan indeks diatas, menunjukkan bahwa Kabupaten Bogor memiliki keunggulan dalam faktor populasi jumlah umat muslim di daerah dan komposisi keluarga sejahtera. Hal tersebut tentu saja membuat kabupaten bogor berada di urutan pertama dalam hasil perhitungan Indeks Potensi Permintaan (IPP) sukuk daerah. Kemudian kabupaten Bekasi merupakan wilayah yang memiliki populasi muslim terbanyak di Jawa Barat dibandingkan dengan wilayah lainnya, sehingga hal tersebut membuat wilayah kabupaten Bekasi berada di urutan ke dua dalam hasil perhitungan Indeks Potensi Permintaan (IPP) sukuk daerah seperti yang dijelaskan dalam tabel 5.9 berikut ini. TABEL 5.9 INDEKS POTENSI PENERBITAN (IPP) SUKUK DAERAH NO Kabupaten/Kota Indeks Potensi Permintaan (IPP) Sukuk 1 Kabupaten Bogor 0.78 2 Kabupaten Bekasi 0.71 3 Kabupaten Bandung 0.60 4 Kota Bandung 0.48 5 Kabupaten Karawang 0.47 6 Kota Bekasi 0.38 7 Kabupaten Garut 0.37 8 Kabupaten Cianjur 0.35 9 Kabupaten Indramayu 0.35 10 Kabupaten Sukabumi 0.34 11 Kabupaten Cirebon 0.33 12 Kota Depok 0.28 13 Kabupaten Tasikmalaya 0.27

55 Lanjutan Tabel 5.5 14 Kabupaten Bandung Barat 0.23 15 Kabupaten Subang 0.22 16 Kabupaten Ciamis 0.21 17 Kabupaten Majalengka 0.18 18 Kabupaten Sumedang 0.18 19 Kabupaten Kuningan 0.17 20 Kabupaten Purwakarta 0.16 21 Kota Tasikmalaya 0.11 22 Kota Bogor 0.10 23 Kota Cimahi 0.08 24 Kota Cirebon 0.05 25 Kota Sukabumi 0.04 26 Kabupaten Pangandaran 0.02 27 Kota Banjar 0.02 Sumber : Hasil Olah Data, 2016 Setelah diketahui angka Indeks Potesi Permintaan (IPP) dan Indeks Kemampuan Penerbitan (IKP) sukuk daerah kabupaten/kota di wilayah Jawa Barat pada tahun 2015, maka selanjutnya dihitung angka Indeks Kemampuan dan Potensi Penerbitan (IKPP) sukuk daerah sebagai hasil akhir untuk mengetahui kabupaten/kota mana yang paling baik dan berpotensi dalam menerbitkan investasi sukuk daerah tersebut. E. Indeks Kemampuan dan Potensi Penerbitan Sukuk TABEL 5.6 INDEKS KEMAMPUAN DAN POTENSI PENERBITAN SUKUK No Kabupaten/Kota IPP IKP IKPP 1 Kabupaten Bogor 0.78 0.70 0.74 2 Kabupaten Bekasi 0.71 0.74 0.72 3 Kota Bandung 0.48 0.71 0.60 4 Kota Bekasi 0.38 0.62 0.50 5 Kabupaten Karawang 0.47 0.52 0.49 6 Kabupaten Bandung 0.60 0.38 0.49 7 Kabupaten Garut 0.37 0.43 0.40 8 Kota Depok 0.28 0.48 0.38 9 Kabupaten Sukabumi 0.34 0.35 0.35 10 Kabupaten Cirebon 0.33 0.35 0.34

56 Lanjutan Tabel 5.6 11 Kabupaten Cianjur 0.35 0.30 0.32 12 Kabupaten Indramayu 0.35 0.27 0.31 13 Kota Bogor 0.10 0.43 0.26 14 Kabupaten Subang 0.22 0.28 0.25 15 Kabupaten Tasikmalaya 0.27 0.22 0.24 16 Kabupaten Sumedang 0.18 0.25 0.22 17 Kabupaten Purwakarta 0.16 0.27 0.22 18 Kabupaten Majalengka 0.18 0.23 0.21 19 Kabupaten Bandung Barat 0.23 0.18 0.20 20 Kabupaten Ciamis 0.21 0.18 0.20 21 Kabupaten Kuningan 0.17 0.21 0.19 22 Kota Cimahi 0.08 0.27 0.18 23 Kabupaten Pangandaran 0.02 0.32 0.17 24 Kota Cirebon 0.05 0.25 0.15 25 Kota Sukabumi 0.04 0.26 0.15 26 Kota Tasikmalaya 0.11 0.10 0.10 27 Kota Banjar 0.02 0.13 0.08 Rata-rata 0.31 Sumber : Olah Data, 2016 Berdasarkan hasil olah data diatas, wilayah yang paling baik dan potensial dalam menerbitkan sukuk adalah kabupaten Bogor. Hal tersebut dapat dilihat dari nilai Indeks Kemampuan Keuangan wilayah kabupaten Bogor yang termasuk kedalam kategori baik sehingga apabila wilayah tersebut melakukan pinjaman daerah diasumsikan akan terjamin dalam pengembalian nya karena kemampuan keuangan yang dimiliki daerah tersebut cukup baik. Selain itu, kabupaten Bogor merupakan wilayah yang memiliki batas maksimum pinjaman tertinggi yang dapat dilakukan pada tahun 2015 dibandingkan dengan wilayah lainnya. Potensi permintaan akan sukuk daerah pun sangat tinggi dibandingkan dengan wilayah lain berdasarkan perhitungan Indeks Potensi Permintaan (IPP) sukuk daerah

57 diatas. Hal tersebut didukung dengan potensi penduduk muslim dan keluarga sejahtera yang tinggi. Penerapan sukuk yang sesuai dengan keadaan wilayah kabupaten Bogor adalah sukuk ijarah. Karena sukuk ijarah memiliki akad sewa tanpa memindahkan kepemilikan aset. Sehingga potensi sumber daya yang dimiliki daerah tersebut dapat dikembangkan secara maksmimal dengan bantuan investasi syariah dari masyarakat setempat. Penerapan investasi sukuk pun akan sangat membantu pada perencanaan wilayah kabupaten Bogor di tahun 2015 yakni melakukan penguatan aspek mencangkup infrastruktur, pelayanan publik, dan penguatan infastruktur situ front city. Selain itu, investasi sukuk akan membatu pembiayaan daerah untuk mewujudkan pengembangan sektor pariwisata yang dibuat dengan 5 destinasi yakni wisata perkotaan, wisata ekowisata, wisata warisan budaya dan pendidikan, destinasi wisata kreatif, dan destinasi MICE (Meeting, Incentive, Convention, and Exhibition) dan rekreasi. Selanjtnya wilayah yang berpotensi dalam menerapkan sukuk yang berada pada posisi kedua adalah kabupaten Bekasi. Hal tersebut didorong dari tinggi nya nilai Indeks Kemampuan Keuangan wilayah kabupaten Bekasi yang berada pada urutan pertama sehingga apabila wilayah tersebut melakukan pinjaman daerah diasumsikan akan terjamin dalam pengembalian nya karena tingginya kemampuan keuangan yang dimiliki daerah tersebut. Jumlah dana likuid yang siap diinvestasikan yang dimiliki kabupaten Bekasi

58 pun berada di urutan pertama yang dapat artikan bahwa dana likuid yang dimiliki kabupaten Bekasi lebih besar dibandingkan dengan wilayah lainnya. Sukuk dengan akad ijarah baik diterapkan pada wilayah tersebut. Sehingga potensi sumber daya yang dimiliki daerah tersebut dapat dikembangkan secara maksmimal dengan bantuan investasi syariah dari masyarakat setempat. Seiring dengan perkembangan sumber daya alam yang dilakukan, kabupaten Bekasi pun harus memperhatikan infratruktur yang dimiliki wilayah tersebut agar tetap beroperasi dengan baik. Oleh karena itu, penerapan sukuk pun akan membantu wilayah tersebut dalam pembiayaan peningkatan atau pembangunan infrastuktur dan pengembangan potensi sumber daya yang berada di kabupaten Bekasi. Wilayah lain yang memiliki potensi permintaan dan kemampuan penerbitan yang tinggi adalah kota Bandung. Kota Bandung merupakan Ibukota Jawa Barat yang memiliki letak yang strategis dalam komunikasi dan potensi perekonomian wilayah karena berada di pertemuan poros jalur utama pulau jawa. Kota Bandung pun tidak memiliki sumber daya alam yang dapat dikembangkan sehingga pendapatan daerah tersebut berasal dari perkembangan sektor ekonomi kreatif. Beberapa wisata buatan telah berdiri di kota Bandung untuk meningkatkan minat masyarakat dalam negeri atau masyarakat luar negeri untuk berkunjung ke kota tersebut. Hal tersebut mengharuskan kota Bandung untuk memiliki infrastruktur yang baik dan terus berkembang. Penerapan investasi sukuk ijarah pun sesuai apabila diterapkan di kota tersebut karena akan membantu pembiayaan dalam

59 pengembangan infrastruktur daerah dan pengembangan wisata buatan di daerah tersebut. Dampak penerapan sukuk pada daerah-daerah tersebut pun akan mengurangi ketergantungan daerah dalam pembiayaan yang dikeluarkan sehingga tidak selalu mengacu pada pendapatan asli daerah dan membantu daerah agar tidak memiliki banyak hutang sehingga daerah tersebut akan menjadi daerah yang mandiri. Investasi sukuk ijarah sangat baik apabila diterapkan di wilayah kabupaten/kota yang terdapat di Jawa Barat terutama pada daerah potensial sesuai dengan hitungan yang dilakukan diatas.