II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 TINJAUAN UMUM SUB-DAS CITARIK DAS Citarum merupakan DAS terpanjang terbesar di Jawa Barat dengan area pengairan meliputi Kabupaten Bandung, Bandung Barat, Bekasi, Cianjur, Indramayu, Karawang, Purwakarta, Subang, Sumedang, Kota Bandung, Kota Bekasi, dan Kota Cimahi. DAS Citarum memiliki panjang 269 km dan bersumber dari Gunung Wayang (sebelah selatan Kota Bandung), mengalir ke utara dan bermuara di laut Jawa (Cita Citarum, 2008). Dalam pengelolaannya, DAS Citarum hulu terbagi atas beberapa sub- DAS yaitu sub-das Cikapundung, Cikeruh, Cirasea, Cisangkuy, Citarik, Ciwidey, dan Saguling (Lampiran 1). Sub-DAS Citarik yang merupakan salah satu sub-das dalam DAS Citarum bagian hulu berada di tiga kabupaten yaitu Kabupaten Bandung, Sumedang, dan Kabupaten Garut. Tataguna lahan di sub-das Citarik pada tahun 2002 berturut-turut dari yang terbesar ialah sawah 32,30%, hutan seluas 30,95%, lahan terbuka 20,04%, belukar 9,94%, dan penggunaan lahan lainnya (Haryanto et al, 2005). Secara geografis, sub-das Citarik terletak pada 6 0 49 LS 7 0 18 LS dan 107 0 30 BT 107 0 57 BT. Tipe iklim sub-das Citarik menurut klasifikasi Smith & Fergusson termasuk kategori B dengan enam bulan basah dan enam bulan kering (Departemen Kehutanan,2008). 2.2 SIKLUS HIDROLOGI Siklus hidrologi merupakan sirkulasi air yang tetap mulai dari lautan sampai ke udara dan kembali ke lautan (Kartasapoetra, 2004). Menurut Chang (2006) komponen utama siklus hidrologi adalah presipitasi, evaporasi, dan runoff. Presipitasi merupakan uap yang mengkondensasi dan jatuh ke tanah dalam rangkaian proses siklus hidrologi (Sosrodarsono, 2006). Jumlah presipitasi (curah hujan) dinyatakan dengan dalamnya presipitasi (mm). Pada daerah tropis yang tidak mengenal musim dingin, presipitasi selalu berupa hujan.
Gambar 1. Siklus Hidrologi (http:www.ilmusipil.com) Dalam siklus hidrologi masukan berupa curah hujan akan didistribusikan melalui beberapa cara, yaitu air lolos (throughfall), aliran batang (streamfall), dan air hujan langsung sampai ke permukaan tanah untuk kemudian terbagi menjadi air larian, evaporasi, dan air infiltrasi. Gabungan evaporasi uap air hasil proses transpirasi dan intersepsi dinamakan evapotranspirasi. Sedang air larian dan air infiltrasi akan mengalir ke sungai sebagai debit aliran (Asdak, 2007). Sirkulasi air yang terjadi dipengaruhi kondisi meteorologi seperti suhu,tekanan atmosfer, dan angin (Sosrodarsono, 2006). Selain itu terdapat pula faktor kondisi lingkungan seperti topografi serta vegetasi. Hal-hal tersebut mempengaruhi besar air yang dapat diserap, disimpan, maupun yang tidak dapat disimpan (limpasan) pada suatu wilayah. 2.3 EVAPOTRANSPIRASI Daerah tropis merupakan daerah yang memiliki suhu tinggi dengan perbedaan antara suhu minimum dan maksimum yang tidak terlalu tinggi. Suhu merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kejadian evapotranspirasi suatu wilayah. Evapotranspirasi adalah jumlah air total yang dikembalikan lagi ke atmosfer dari permukaan tanah, badan air, dan vegetasi oleh adanya pengaruh faktor-faktor iklim dan fisiologis vegetasi (Asdak, 2007). Evapotranspirasi dibagi menjadi dua berdasar jenis faktor yang mempengaruhinya. Evapotranspirasi yang lebih dipengaruhi faktor metereologi disebut evapotranspirasi potensial (ETP). 4
Salah satu metode yang kerap digunakan untuk menghitung besar ETP yang terjadi ialah metode Thorntwhaite. Metode ini telah dikembangkan oleh USGS menjadi sebuah model perhitungan bulanan. USGS Thornthwaite Water Balance menggunakan prosedur perhitungan dan analisis alokasi air dalam beberapa komponen hidrologi. Input yang digunakan ialah suhu dan curah hujan bulanan dengan output berupa evaportranspirasi potensial, evapotranspirasi aktual, simpanan air tanah, simpanan salju, kelebihan air, dan limpasan (USGS, 2012). Penggunaan model ini juga memperhatikan besar kelembaban tanah serta lokasi geografis wilayah pengamatan. 2.4 KOEFISIEN LIMPASAN (C) Limpasan merupakan kelebihan air hujan yang mengalir diatas permukaan tanah akibat terlampauinya kapasitas infiltrasi tanah tersebut. Kelebihan air tersebut akan mengalir menuju ke sungai, danau, dan lautan. Menurut Sosrodarsono (2006), limpasan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor meteorologi (jenis presipitasi, intensitas dan lamanya curah hujan, distribusi curah hujan, arah pergerakan curah hujan, dan kelembaban tanah) serta faktor kondisi daerah pengaliran (kondisi penggunaan tanah, luas daerah pengaliran, kondisi topografi, dan jenis tanah). Koefisien limpasan merupakan nilai perbandingan antara jumlah limpasan permukaan dengan jumlah hujan yang jatuh (Departemen Pekerjaan Umum). Koefisien limpasan (C) bernilai antara 0-1. Nilai C merupakan salah satu indikator yang menentukan baik-buruknya suatu DAS. Semakin besar nilai C (mendekati 1) maka semakin banyak air hujan yang menjadi limpasan dan semakin besar terjadinya ancaman erosi dan banjir di DAS tersebut. 2.5 KLASIFIKASI IKLIM Klasifikasi iklim merupakan penggolongan iklim menjadi beberapa kelas yang mempunyai sifat karakteristik yang sama melalui sudut pandang tertentu (Kartasapoetra,2004). Salah satu sistem klasifikasi iklim yang umum digunakan di Indonesia ialah klasifikasi iklim Schmidt-Fergusson. Sistem klasifikasi ini merupakan pengembangan dari sistem klasifikasi Mohr dengan menggunakan perhitungan bulan 5
basah dan bulan kering sebagai dasar perhitungannya. Bulan basah merupakan bulan yang memiliki curah hujan > 100 mm sedangkan bulan kering merupakan bulan dengan curah hujan < 60 mm. Antara bulan basah dan bulan kering terdapat bulan lembab dengan curah hujan = 60-100 mm. Dalam sistem klasifikasi Schmidt-Fergusson, bulan lembab tidak digunakan dalam perhitungan. Sistem klasifikasi Schmidt-Fergusson membagi iklim menjadi tujuh golongan, yaitu golongan A-H dengan berdasarkan nilai nisbah bulan kering dan bulan basah (Q). 2.6 DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) Daerah aliran sungai (DAS) merupakan wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami (Ongkosongo, 2010). Dalam pengelolaannya, DAS dibagi menjadi tiga daerah, yaitu daerah hulu, tengah, dan hilir. DAS bagian hulu merupakan bagian penting dalam sistem DAS karena merupakan daerah peresapan air sehingga memiliki fungsi perlindungan terhadap seluruh bagian DAS. Secara biogeofisik, daerah hulu DAS memiliki ciri seperti, merupakan daerah konservasi, mempunyai kerapatan drainase lebih tinggi, daerah dengan kemiringan lereng besar (>15%), bukan daerah banjir, pengaturan pemakaian air ditentukan oleh pola drainase, dan jenis vegetasi merupakan tegakan hutan (Asdak, 2007). Perubahan kondisi fisik pada DAS hulu akan memberikan pengaruh terhadap kondisi hidrologis DAS tersebut. Parameter hidrologis yang dapat dimanfaatkan untuk menelaah kondisi suatu DAS ialah data klimatologi, data debit sungai, muatan sedimen air sungai, potensi air tanah, koefisien regim sungai (KRS), koefisien limpasan (C), serta frekuensi banjir. KRS merupakan nilai perbandingan antara debit maksimum rata-rata dengan debit minimum rata-rata. Menurut Asdak (2007), suatu DAS dikatakan mengalami gangguan dalam fungsi hidrologisnya jika : Koefisien limpasan (C) cenderung terus naik dari tahun ke tahun Angka KRS cenderung terus naik dari tahun ke tahun Debit aliran minimum menunjukan kecenderungan menurun 6
2.7 HUBUNGAN AIR SUNGAI DENGAN AIRTANAH Menurut Lee (1980), akibat adanya perbedaan litologi maka dapat dibagi menjadi 4 tipe hubungan sungai dengan sistem airtanah yang dilaluinya (Gambar 2), yaitu sungai menguras/diisi airtanah (efluent stream), sungai mengisi airtanah (influent stream), sungai dan airtanah tidak saling berhubungan (isolated stream), dan sungai bersifat influent tetapi dipisahkan oleh zona tidak jenuh/aliran menggantung (perched stream). Gambar 2. Hubungan air sungai-airtanah (Lee, 1980) Hubungan tersebut juga diakibatkan oleh jenis bahan induk pembentuk tanah di sekitar DAS. Bahan induk merupakan keadaan tanah pada waktu nol (time zero) dari proses pembentukan tanah (Jenny, 1941). Salah satu jenis bahan induk yang menyusun pembentukan tanah ialah batuan. Terdapat tiga jenis batuan pembentuk tanah yaitu batuan beku/vulkanik, batuan sedimen, dan batuan malihan. Batuan vulkanik terbentuk dari abu vulkan yang disemburkan oleh gunung api. Batuan sedimen merupakan batuan yang dihasilkan dari proses endapan mineral, sedangkan batuan malihan merupakan batuan vulkanik atau sedimen yang mengalami perubahan karena adanya tekanan atau suhu yang tinggi. Berbagai sifat fisik yang dimiliki bahan induk akan mempengaruhi sifat fisik tanah yang akan terbentuk. Salah satu sifat fisik bahan induk yang sangat berhubungan dengan hidrologi ialah kemampuan untuk 7
meloloskan air (permeabilitas). Perbedaan permeabilitas tiap bahan induk akan mempengaruhi aliran air sungai dan airtanah di sekitarnya. 2.8 PENGGUNAAN LAHAN Lahan merupakan bagian dari bentang alam (landscape) yang mencakup pengertian lingkungan fisik termasuk iklim, topografi/relief, tanah, hidrologi, dan bahkan keadaan vegetasi alami (natural vegetation) yang semuanya secara potensial akan berpengaruh terhadap penggunaan lahan (FAO, 1976). Lahan dalam pengertian yang lebih luas termasuk yang telah dipengaruhi oleh berbagai aktivitas flora, fauna, dan manusia baik di masa lalu maupun saat sekarang, seperti lahan rawa dan pasang surut yang telah direklamasi atau tindakan konservasi tanah pada suatu lahan tertentu (Departemen Pertanian). Menurut FAO/UNEP (1999), penggunaan lahan merupakan kegiatan yang ditandai oleh pengaturan dan pengambilan tindakan untuk menghasilkan, mengubah, dan memelihara dalam penentuan tipe penutupan lahan tertentu. Tipe penutupan lahan terbagi atas dua jenis yaitu penggunaan lahan pertanian dan penggunaan lahan non-pertanian. Penggunaan lahan pertanian antara lain berupa hutan, sawah, tegalan, dan perkebunan, sedangkan penggunaan lahan non-pertanian antara lain seperti pemukiman, jalan, dan kawasan industri. Perubahan penggunaan lahan ialah adanya pertambahan/pengurangan luas suatu jenis penggunaan lahan akibat dari adanya pertambahan/pengurangan penggunaan lahan yang lain. Perubahan penggunaan lahan memberikan pengaruh nyata terhadap kualitas DAS yang ada di sekitarnya. Hasil penelitian di banyak negara telah memberikan informasi mengenai pengaruh komposisi vegetasi terhadap kondisi aliran air. Menurut Asdak (2007), secara umum kenaikan aliran air disebabkan oleh penurunan penguapan air oleh vegetasi (transpiration) dan dengan demikian aliran air permukaan maupun air tanah semakin besar. Menurut hasil penelitian Putri (2011) di sub-das Batang Arau Hulu, Padang, Sumatera Barat, bahwa penurunan luas hutan pada tahun 2000-2006 menyebabkan peningkatan aliran permukaan. Pada penelitian tersebut juga didapatkan bahwa terjadi peningkatan debit bulanan ratarata yang terjadi karena penurunan kapasitas infiltrasi yang disebabkan perubahan penggunaan lahan berupa pertambahan luas ladang/tegalan serta lahan tambang. 8
Hasil penelitian Kurnia et al (2006) menunjukan bahwa terjadi peningkatan debit dan sedimentasi, banjir serta penurunan luas areal panen dan produksi di wilayah DAS Kaligarang bagian hulu akibat adanya perubahan penggunaan lahan sawah menjadi lahan pemukiman dan industri. Pada peneletian tersebut juga didapatkan peningkatan nilai rasio debit maksimum terhadap debit minimum dari tahun ke tahun. Penelitian yang dilakukan oleh Haryanto et al (2005) di DAS Citarum hulu menghasilkan terjadinya peningkatan koefisien aliran pada rentang waktu 1983-2002 akibat adanya perubahan luas lahan hutan, sawah, dan tegalan menjadi industri, urban, dan lahan terbuka. Pada penelitian tersebut didapatkan pula bahwa sub-das Citarik merupakan sub-das yang akan mengalami kekritisan pada lima dan sepuluh tahun mendatang. 9