II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bioregion

dokumen-dokumen yang mirip
II.TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bioregion

RENCANA LANSKAP AGROFORESTRI MANGGIS BERBASIS BIOREGION DI DESA BARENGKOK KECAMATAN LEUWILIANG, KABUPATEN BOGOR BALQIS NAILUFAR

II. TINJAUAN PUSTAKA. berinteraksi dalam satu sistem (pohon, tanaman dan atau ternak) membuat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan Rakyat dan Agroforestry. maupun lahan yang dikuasai oleh negara. Hutan rakyat tersusun dari satuan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Agroforestri Definisi agroforestri

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

III. METODOLOGI. Gambar 2 Peta Lokasi Desa Barengkok, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor. Peta Jawa Barat. Peta Kabupaten Bogor

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian merupakan salah satu tindakan yang mendukung untuk

I. PENDAHULUAN. jenis salak yang terdapat di Indonesia, yakni : salak Jawa Salacca zalacca

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAGIAN EMPAT KLASIFIKASI AGROFORESTRI. Panduan Praktis Agroforestri

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala

AGROFORESTRI PENDAHULUAN. Apa itu Agroforestri? Cakupan pembahasan agroforestri

EKOLOGI MANUSIA : PERTANIAN DAN PANGAN MANUSIA. Nini Rahmawati

I. PENDAHULUAN. dan menjadi suatu sistem yang menguntungkan adalah sistem agroforestri.

II. TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA. kehidupan mulai dari tanaman keras, non kayu, satwa, buah-buahan, satuan budi

Ekologi Padang Alang-alang

LEMBAR KERJA SISWA. No Jenis Tanah Jenis tanaman Pemanfaatannya

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

AGRIBISNIS TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA

BAB I. PENDAHULUAN. Agroforestri: ilmu baru, teknik lama. Penanaman berbagai jenis. pohon dengan atau tanpa tanaman semusim (setahun) pada sebidang

TASIKMALAYA 14 DESEMBER 2015

AGROFORESTRY : SISTEM PENGGUNAAN LAHAN YANG MAMPU MENINGKATKAN PENDAPATAN MASYARAKAT DAN MENJAGA KEBERLANJUTAN

Evaluasi Lahan. proses perencanaan penggunaan lahan (land use planning). Evaluasi lahan

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Apa itu Agroforestri?

BAB I PENDAHULUAN. memiliki potensi sangat besar dalam menyerap tenaga kerja di Indonesia.

SUMBERDAYA LAHAN INDONESIA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan

PENDAHULUAN. hutan yang dialih-gunakan menjadi lahan usaha lain. Agroforestry adalah salah

BAB IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Sragi Kabupaten Lampung Selatan.

Perkembangan Potensi Lahan Kering Masam

BAB I PENDAHULUAN. Potensi kekayaan alam yang dimiliki Indonesia sangatlah berlimpah, mulai

PENINGKATAN KESEJAHTERAAN PETANI MELALUI PENGEMBANGAN AGROFORESTRY

BAB I PENDAHULUAN. terdiri dari pulau dengan garis pantai sepanjang km, merupakan

PENDAHULUAN Latar Belakang

PEMULSAAN ( MULCHING ) Pemulsaan (mulching) merupakan penambahan bahan organik mentah dipermukaan tanah. Dalam usaha konservasi air pemberian mulsa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Penggunaan Lahan Pertanian dan Arah Pengembangan ke Depan

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya hutan tropis untuk kepentingan pertanian terkait dengan upayaupaya

TUGAS TEKNOLOGI KONSERVASI SUMBER DAYA LAHAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Ubi Jalar (Ipomoea batatas L.) Tanaman ubi jalar tergolong famili Convolvulaceae suku Kangkungkangkungan,

3.3 Luas dan Potensi Lahan Basah Non Rawa

TINJAUAN PUSTAKA. fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat

mampu menurunkan kemampuan fungsi lingkungan, baik sebagai media pula terhadap makhluk hidup yang memanfaatkannya. Namun dengan

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah

BAB I PENDAHULUAN. I.I Latar Belakang. Pertambahan penduduk merupakan faktor utama pendorong bagi upaya

Geografi KEARIFAN DALAM PEMANFAATAN SUMBER DAYA ALAM I. K e l a s. Kurikulum 2013

PENDAHULUAN Latar Belakang

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA Penggunaan Lahan

Ekonomi Pertanian di Indonesia

KEBIJAKAN DAN STRATEGI OPERASIONAL PENGEMBANGAN BIOINDUSTRI KELAPA NASIONAL

TINJAUAN PUSTAKA Sistem Agroforestri Istilah agroforestri mulai mendapat perhatian dunia internasional secara global sejak tahun 1970-an (van Maydel

PEMBENTUKAN TANAH DAN PERSEBARAN JENIS TANAH. A.Pembentukan Tanah

GAMBARAN UMUM. Wilayah Sulawesi Tenggara

V. GAMBARAN UMUM. 5.1 Luas Areal Perkebunan Kopi Robusta Indonesia. hektar dengan luas lahan tanaman menghasilkan (TM) seluas 878.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta

BAB II. KLASIFIKASI AGROFORESTRI

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan,

5 GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya/Papua. Dari 168 juta hektar lahan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1 Rata-rata intensitas cahaya dan persentase penutupan tajuk pada petak ukur contoh mahoni muda dan tua

BAB IV KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. dalam pembangunan ekonomi nasional di Indonesia. Hal ini disebabkan Indonesia

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Lokasi Geografis

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Tabel 7. Luas wilayah tiap-tiap kabupaten di Provinsi Jawa Barat. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Provinsi Lampung adalah provinsi yang memiliki luas wilayah ,50 km 2

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kebutuhan hidupnya. Manfaat hutan bagi manusia diantaranya menghasilkan

BAB I PENDAHULUAN. Menurut FAO (dalam Arsyad 1989:206) mengenai pengertian lahan, Adapun pengertian dari FAO (1976) yang dikutip oleh Sitorus (1998)

I PENDAHULUAN Latar Belakang

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan merupakan suatu asosiasi dari tumbuh-tumbuhan yang sebagian

PERANAN AGROFORESTRY UNTUK KONSERVASI TANAH DAN AIR. Oleh Firmansyah, S.Hut, M.Si Penyuluh Kehutanan Ahli Pusat Penyuluhan Kehutanan BP2SDM

II. TINJAUAN PUSTAKA. menggabungkan unsur tanaman dan pepohonan. Agroforestri adalah suatu

POLA TANAM TANAMAN PANGAN DI LAHAN SAWAH DAN KERING

BAB I PENDAHULUAN. pemukiman, pertanian, kehutanan, perkebunan, penggembalaan, dan

PENDAHULUAN. kadang-kadang tidak mencukupi (Ekstensia, 2003). Peran sektor pertanian di Indonesia terlebih di Sumatera Utara

VI. ARAH PENGEMBANGAN PERTANIAN BEDASARKAN KESESUAIAN LAHAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi

BAB I PENDAHULUAN. langsung persoalan-persoalan fungsional yang berkenaan dengan tingkat regional.

Klasifikasi dan Pola Kombinasi Komponen Agroforestri

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan lingkungan. Fungsi hutan terkait dengan lingkungan, sosial budaya

V. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. 5.1 Provinsi Jawa Timur Jawa Timur merupakan penghasil gula terbesar di Indonesia berdasarkan

I. PENDAHULUAN. masyarakat dengan memperhatikan tiga prinsip yaitu secara ekologi tidak merusak. waktu, aman dan terjangkau bagi setiap rumah tangga.

BAB I PENDAHULUAN. Hutan di Indonesia merupakan sumber daya alam yang cukup besar

TINJAUAN PUSTAKA. kombinasi antara produksi pertanian, termasuk pohon, buah-buahan dan atau

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

Transkripsi:

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bioregion Bioregion merupakan suatu konsep sekaligus praktik dalam mengelola wilayah yang termasuk didalamnya tanah dan air yang menghubungkan antara masyarakat, pemerintah, dan lingkungan hidup, sehingga dalam aplikasinya penentuan batas tidak berdasar faktor politis dan batas artifisial seperti administratif, juridiksi, maupun kepemilikan, tetapi berdasarkan batas geografis komunitas manusia dan sistem ekologinya. Berdasarkan etimologi Thayer (2003), mendefinisikan bioregion berasal dari -bio yang berarti hidup, region yang berarti wilayah, dan territorial yang berarti sebagai tempat hidup (life place). Hal ini berarti bioregion merupakan ruang kehidupan yaitu secara bervariasi terdiri dari geografi daerah aliran sungai, ekosistem tumbuhan dan hewan, landform serta budaya manusia yang khas yang tumbuh dari potensi alam. Bioregion memadukan ekosistem darat, pesisir dan laut, termasuk ekosistem pulau kecil dengan masyarakat dan kebudayaannya dalam konteks ruang. Bioregion juga merupakan wilayah geografis yang memiliki kesamaan cirri iklim, tanah, flora, fauna asli dan pola interaksi manusia dengan alam yang menggambarkan integritas sistem alam dan lingkungan serta kondisi kesadaran untuk hidup di wilayah tersebut WALHI (2010). Berdasarkan (WRI-IOCN- UNEP,1991 dalam Kartodiharjo, 2001) kakteristik bioregion adalah sebagai berikut: 1. Mempunyai keberagaman ekosistem dan memiliki ketergantungan satusama lain 2. Menyatukan ekosistem alam dengan masyarakat sehingga dapat menjamin integritas, resiliensi, dan produktivitas. 3. Tidak dibatasi oleh administrasi atau etnis 4. Memerlukan riset, ilmu pengetahuan, dan pengetahuan lokal. 5. Pendekatan koopertif dan adaptif Oleh sebab itu mengacu pada definisi dan karakteristik diatas, bioregion dapat digunakan sebagai: 1. Batasan ekosistem dan sosial budaya

5 2. Pendekatan dalam merencanakan suatu kawasan 3. Proses untuk merencanakan suatu kawasan. 2.2 Ruang Bioregional Bioregional terdiri dari empat unit ruang antara lain bioregion, subregion, unit lanskap, dan unit tempat. Pendekatan bioregional menawarkan kerangka kerja berbasis ruang untuk perencanaan, konservasi dan pembangunan. Pendekatan ini membagi lanskap ke dalam bagian-bagian atau unit lanskap berdasarkan kondisi geologi dan hidrologinya bukan dengan metode politik. Setiap unit ruang bisa dinamakan berdasarkan sumber daya intrinsik, arkeologi, budaya, rekreasi, keindahan, pendidikan, dan kebutuhan lokal yang dimilikinya (Jones, G., I. Jones, S. Durrant, S.K. Lee, A.K. Hardy, M.S. Atkinson dan K.G Kim, 1998). Berdasarkan Thayer (2003), Bioregion juga diistilahkan sebagai ruang kehidupan. Studi mengenai ruang hidup menghubungkan ruang alam, ruang spiritual, identitas, seni lokal, makanan, dan kearifan kedalam pengetahuan yang holistik. Pendekatan Bioregion menemukan pola dari suatu tempat dan dapat membangun kesadaran yang sangat bernilai dalam perencanaan, desain serta konservasi di skala regional. Pola bioregional unik secara regional dan sesuai dengan geomorfi, iklim, biotik dan budaya yang mempengaruhi suatu tempat. Pola Bioregional bisa memberikan jalan untuk: a. menghubungkan simbol-simbol dalam peta ke dalam data lingkungan; b. menghubungkan urutan dari simbol dan pola kedalam ruang dan waktu; c. memberikan bentuk ruang (melalui desain) ke lanskap masa depan; d. mencapai keberlanjutan dalam kombinasi ekologi dan budaya. Pengidentifikasian pola biokultural suatu kawasan ini, akan menyediakan solusi untuk mengetahui mana tempat yang dapat dibangun dan tidak boleh dibangun (Lewis, 1996). 2.3 Manggis Manggis merupakan tanaman buah berupa pohon yang berasal dari hutan tropis yang tumbuh di kawasan Asia Tenggara, yaitu hutan belantara Malaysia atau Indonesia. Manggis berasal dari Asia Tenggara dan menyebar ke daerah Amerika Tengah serta daerah tropis lainnya seperti Srilanka, Malagasi, Karibia, Hawai, dan Australia Utara. Di Indonesia manggis disebut dengan berbagai

6 macam nama lokal seperti Manggu (Jawa Barat), Manggus (Lampung), Manggusto (Sulawesi Utara) dan Manggista (Sumatra Barat). Masyarakat dunia mengenal manggis sebagai Queen of Fruits karena rasanya yang eksotik yaitu manis, asam berpadu dengan sedikit sepat. Prospek pengembangan agribisnis manggis sangat cerah mengingat peminat buah ini di luar negeri banyak dan harganya relatif mahal.selama tahun 1994, Taiwan merupakan pasar terbesar manggis Indonesia. Taiwan mengimpor manggis Indonesia sebayak 2.235.177 kg atau 83% dari total ekspor buah Indonesia. Negara lain yang mengimpor manggis adalah Jepang, Brunci, Hongkong, Arab Saudi, Kuwait, Oman, Belanda, Perancis, Swiss, dan Amerika Serikat. Peluang pasar luar negeri diperkirakan terus meningkat dengan penambahan volume 10,7% per tahun. Harga manggis di pasar tradisional relatif murah karena manggis yang dipasarkan di dalam negeri adalah sisa ekspor, jadi mutunya sudah tidak baik. Jika produsen dapat menghasilkan buah manggis dengan mutu yang merata dan konstan, sudah pasti harga tersebut akan jauh lebih tinggi. Sistem penanaman yang dilakukan pada komoditas manggis sebagian besar menggunakan sistem polikultur atau monokultur. Namun, ada beberapa petani yang menggunakan sistem penanaman monoluktur. Sebagian besar petani melakukan polikultur manggis dengan tanaman durian, melinjo dan dukuh. Sedangkan jenis tanaman lain yang biasa dipolikulturkan dengan manggis adalah cengkeh, kayu, petai, rambutan, kuweni, nangka, dan pisang (Pusat kajian Buah Tropis Institut pertanian Bogor, 2004). Kawasan perencanaan sentra manggis di Kabupaten Bogor terdapat di Kecamatan Leuwiliang dan Kecamatan Jasinga. Pada kawasan perencanan mengingat lahan yang relatif luas, beberapa kegiatan budidaya seperti penanaman, penyiangan, dan panen dilakukan dengan menggunakan tenaga kerja di luar rumah tangga. Sedangkan untuk aktivitas pemeliharaan yang ringan banyak dilakukan oleh tenaga kerja keluarga. Istri dan anak lelaki merupakan tenaga kerja keluarga yang paling dominan membantu petani dalam pekerjaan (Bappeda, 2005). Berdasarkan Direktorat Tanaman Buah (2003), untuk meningkatkan mutu dan produktivitas manggis di sentra produksi, diperlukan adanya norma-norma

7 khususnya mengenai pemilihan lokasi, agar dapat menghasilkan buah manggis yang berkualitas baik dan berdaya saing khususnya di pasar luar negeri. Pemilihan lokasi yang dilakukan pada saat pra-panen dalam upaya penerapan sistem jaringan mutu pada tanaman manggis, berdasar pada a. studi kelayakan lahan dan agrokilimat (tipe iklim A, tanpa bulan kering) sampai dengan (tipe iklim C bulan kering 4-6 bulan), dengan curah hujan antara 1.250-2.500 mm/ tahun atau rata-rata 1500-1700 mm/ tahun dengan suhu udara 22-32 C, menurut Smith ferguson; b. kemiringan lahan < 20% dengan ketinggian tempat < 800 meter dpl; c. menerapkan teknik konservasi pada lahan miring dan sistem surjan pada lahan sawah; d. jenis tanah yang sesuai adalah Latosol, Podzolik Merah Kuning dan Andosol dengan syarat gembur, memiliki zat hara yang cukup dan drainasi yang baik dan tidak bercadas, keasaman tanah (ph) 5-7; e. kedalaman air tanah dangkal (50-200 cm) dan dekat sumber air; f. letak lahan bebas residu pestisida, bahan beracun dan berbahaya seperti limbah B. Dalam menghasilkan buah manggis yang berkualitas baik dan berdaya saing khusunya dipasar luar negeri juga diperhatikan kriteria kesesuaian lahan seperti pada Tabel 1. Tabel 1 Kriteria Kesesuai Lahan Komoditas Manggis Persaratan Penggunaan/ Karakteristik lahan Ketersedian Oksigen Drainase Baik, Sedang Agak Terhambat Media Perakaran Tekstur Kelas Kesesuaian Lahan S1 S2 S3 N Halus, Agak Halus, Sedang Terhambat, Agak Cepat Sangat Terhambat, Cepat - Agak Kasar Kasar Kedalaman tanah (cm) >100 75-100 50-75 <50 Bahaya Erosi Lereng (%) <8 8-16 16-30 >30 Bahaya Erosi Sangat Rendah Rendah Sedang Berat Penyiapan Lahan Batuan di permukaan (%) <5 5-15 15-40 >40 Singkapan batuan (%) <5 5-15 15-25 >25 Sumber: Djaenudin, et al., 2003. Sangat berat

8 Keterangan a. kelas S1 (sangat sesuai): lahan tidak mempunyai kriteria pembatas yang berarti atau nyata terhadap penggunaan secara berkelanjutan, atau kriteria pembatas bersifat minor dan tidak akan berpengaruh terhadap produktivitas lahan secara nyata; b. kelas S2 (cukup sesuai): lahan mempunyai kriteria pembatas, dan kriteria pembatas ini akan berpengaruh terhadap produktivitasnya, memerlukan tambahan masukan (input). Pembatas tersebut biasanya dapat diatasi oleh petani sendiri; c. kelas S3 (sesuai marginal): lahan mempunyai kriteria pembatas yang berat, dan kriteria pembatas ini akan sangat berpengaruh terhadap produktivitasnya, memerlukan tambahan masukan yang lebih banyak daripada lahan yang tergolong S2. Untuk mengatasi kriteria pembatas pada S3 memerlukan modal tinggi, sehingga perlu adanya bantuan atau campur tangan (interval) pemerintah atau pihak swasta; d. kelas N (tidak sesuai): lahan yang karena mempunyai kriteria pembatas yang sangat berat dan / atau sulit diatasi (Ritung et al, 2007). 2.4 Agroforestri Agroforestri adalah suatu sistem tata guna lahan berkelanjutan yang mempertahankan atau meningkatkan hasil total dengan mengkombinasikan tanaman pangan (annual) dengan tanaman pohon (parennial) atau peternakan dalam unit lahan yang sama pada waktu yang bergantian atau pada waktu yang sama dengan melakukan pengelolaan yang sesuai dengan karakteristik sosial, budaya penduduk setempat dan kondisi ekonomi, ekologi area (Vergara, 1982). Young, 1989 mengatakan bahwa agroforestri adalah gabungan nama untuk sistem tata guna lahan yang didalamnya terdapat tanaman perennial berkayu (pohon, semak) yang tumbuh bersama-sama dengan tanaman herbaceous (tanaman pangan, padang rumput) atau peternakan dan didalamnya terdapat interaksi ekologi dan ekonomi antara komponen pohon dengan komponen bukan pohon. Berdasarkan pengertian tersebut maka dapat dikemukakan karakteristik dari agroforestri (Combed an Budowski, 1979) a. produksi pertanian dikaitkan dengan pohon-pohon kehutanan;

9 b. fungsi yang terpenting diberikan oleh komponen hutan. Waktu dari kombinasi dan pembagian ruang lahan diukur dari komponen kehutanan. 2.4.1 Klasifikasi sistem Agroforestri Pengklasifikasian agroforestri dapat didasarkan pada berbagai aspek sesuai dengan perspektif dan kepentingannya. Pengklasifikasian ini bukan dimaksudkan untuk menunjukkan kompleksitas agroroforestri dibandingkan budidaya tunggal (monoculture; baik di sektor kehutanan atau di sektor pertanian). Pengklasifikasian ini justru akan sangat membantu dalam menganalisis setiap bentuk implementasi agroforestri yang dijumpai di lapangan secara lebih mendalam, guna mengoptimalkan fungsi dan manfaatnya bagi masyarakat atau para pemilik lahan, berikut merupakan klasifikasi sistem agroforestri yang terdapat pada lapangan: a. Klasifikasi berdasarkan komponen penyusunnya. Komponen penyusun utama agroforestri adalah komponen kehutanan, pertanian, atau peternakan. Ditinjau dari komponennya, agroforestri dapat diklasifikasikan sebagai berikut 1) agrisilvikultur (Agrisilvicultural systems) adalah sistem agroforestri yang mengkombinasikan komponen kehutanan (tanaman berkayu/ woody plants) dengan komponen pertanian (tanaman non-kayu); 2) silvopastura (Silvopastural systems) adalah Sistem agroforestri yang meliputi komponen kehutanan (tanaman berkayu) dengan komponen peternakan (binatang ternak/ pasture) disebut sebagai sistem silvopastura; 3) agrosilvopastura (Agrosilvopastural systems) adalah pengkombinasian komponen berkayu (kehutanan) dengan pertanian (semusim) dan sekaligus peternakan (binatang) pada unit manajemen lahan yang sama. b. Klasifikasi berdasarkan istilah teknis yang digunakan. Meskipun kita telah mengenal agroforestri sebagai sistem penggunaan lahan, tetapi seringkali digunakan istilah teknis yang berbeda atau lebih spesifik, seperti sistem, sub-sistem, praktik, dan teknologi (Nair, 1993).

10 1) Sistem agroforestri, didasarkan pada komposisi biologis serta pengaturannya, tingkat pengelolaan teknis atau ciri-ciri sosial-ekonominya. Istilah sistem sebenarnya bersifat umum. 2) Sub-sistem agroforestri, menunjukkan hirarki yang lebih rendah daripada sistem agroforestri, meskipun tetap merupakan bagian dari sistem itu sendiri. 3) Praktek agroforestri, menjurus kepada operasional pengelolaan lahan yang khas dari agroforestri yang murni didasarkan pada kepentingan atau kebutuhan. Prakter agroforestri juga merupakan pengalaman dari petani lokal atau unit manajemen yang lain, yang didalamnya terdapat komponenkomponen agroforestri. 4) Teknologi agroforestri, merupakan inovasi atau penyempurnaan melalui intervensi ilmiah terhadap sistem-sistem atau praktik-praktik agroforestri yang sudah ada untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar. c. Klasifikasi berdasarkan masa perkembangannya Ditinjau dari masa perkembangannya, terdapat dua kelompok besar agroforestri, yaitu 1) agroforestri tradisional/klasik (traditional/ classical agroforestry); Thaman, 1988 mendefinisikan agroforestri tradisional atau agroforestri klasik sebagai setiap sistem pertanian, di mana pohon-pohonan baik yang berasal dari penanaman atau pemeliharaan tegakan atau tanaman yang telah ada menjadi bagian terpadu, sosial-ekonomi dan ekologis dari keseluruhan sistem (agroecosystem); 2) agroforestri moderen (modern/ modern agroforestry). Berbagai bentuk dan teknologi agroforestri yang dikembangkan setelah diperkenalkan istilah agroforestri pada akhir tahun 70-an, dikategorikan sebagai agroforestri moderen. d. Klasifikasi berdasarkan zona agroekologi Menurut Nair (1989), klasifikasi agroforestri dapat juga ditinjau dari penyebarannya atau didasarkan pada zona agroekologi, yaitu: (1) agroforestri yang berada di wilayah tropis lembab dataran rendah (lowland tropical humid tropic); (2) agroforestri pada wilayah tropis lembab dataran tinggi (high-land tropical humid tropic); (3) agroforestri pada wilayah sub-tropis lembab dataran

11 rendah (lowland humid sub-tropic); dan (4) agroforestri pada wilayah sub-tropis dataran tinggi (highland humid sub-tropic). Dalam konteks Indonesia, klasifikasi seperti ini dapat didasarkan pada wilayah agroekologi yang sedikit berbeda. Pada zona klimatis utama, terdapat 4 wilayah yaitu (1) zona monsoon (khususnya di Jawa dan Bali); (2) zona tropis lembab (Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi); serta (3) zona kering atau semi arid (Nusa Tenggara). Pembagian berdasarkan zona ekologi klimatis utama di atas, dapat pula berdasarkan ekologi lokal, antara lain (4) zona kepulauan (Nusa Tenggara atau Kepuluan Maluku); dan (5) zona pegunungan (Jawa, Sumatera, dan Papua). e. Klasifikasi berdasarkan orientasi ekonomi Banyak pihak yang berpandangan bahwa agroforestri dikembangkan untuk memecahkan permasalahan kemiskinan dan petani kecil, karena adanya busung lapar (sebagai contoh di Jawa yang memiliki kepadatan penduduk >700 jiwa/km2) atau kondisi lingkungan hidup yang sulit akibat aspek geografis (keterisolasian wilayah) atau aspek ekologis (wilayah-wilayah beriklim kering). Pendapat ini tidak dapat disalahkan seratus persen, karena kenyataannya selama ini memang program-program (proyek-proyek) pengembangan agroforestri lebih banyak dijumpai pada negara-negara berkembang yang miskin di wilayah tropis (Afrika, Asia, dan Amerika Latin). Dalam implementasi, agroforestri dibuktikan sebagai sistem pemanfaatan lahan yang mampu mendukung orientasi ekonomi, tidak hanya pada tingkatan subsistem saja, melainkan pada tingkatan semi-komersial hingga komersial sekalipun (Nair, 1989). f. Klasifikasi berdasarkan sistem produksi Ditinjau dari sistem produksi menurut A.S. Mustofa. D. Tony, S.A. Hadi, dan W. Nurheni, 2003 terdapat tiga pengklasifikasian agroforestri berdasar sistem produksi, yaitu 1) agroforestri berbasis hutan (Forest Based Agroforestry); Forest Based Agroforestry systems pada dasarnya adalah bebagai bentuk agroforestri yang diawali dengan pembukaan sebagian areal hutan atau belukar untuk aktivitas pertanian,dan dikenal dengan sebutan agroforest; 2) agroforestri berbasis pada pertanian (Farm based Agroforestry);

12 Farm based Agroforestry systems dianggap lebih teratur dibandingkan dengan agroforest (forest based agroforestry) dengan produk utama tanaman pertanian dan atau peternakan tergantung sistem produksi pertanian dominan di daerah tersebut. Komponen kehutanan merupakan elemen pendukung bagi peningkatan produktivitas atau keberlanjutan sistem; 3) agroforestri berbasis pada keluarga (Household based Agroforestry); Agroforestri yang dikembangakan pada areal pekarangan rumah ini di Banglades juga disebut agroforestri pekarangan (homestead agroforestry). Di Indonesia, yang terkenal adalah model kebun talun di Jawa Barat. Sedangkan di Kalimantan Timur, ada kebun pekarangan tradisinal yang dimiliki oleh sayu keluarga besar (clan). Kondisi ini bisa terjadi karena pada masa lampau beberapa keluarga tinggal bersama-sama pada rumah panjang (atau disebut sebagai lamin ). Di berbagai daerah di Indonesia, pekarangan biasanya ditanam pohon buah-buahan dengan tanaman pangan. g. Klasifikasi berdasarkan lingkup manajemen Pengklasifikasian agroforestri berdasarkan lingkup manajemen ini memang belum dilakukan secara luas karena dalam agroforestri terdapat kombinasi jenis dalam satu unit manajemen (misal satu kebun). Tetapi secara tradisional dan sesuai dengan tuntutan aspek perencanaan tata ruang wilayah di masa depan, kombinasi kehutanan, pertanian, atau peternakan juga berlangsung dalam satu bentang alam dari suatu agroekosistem. Klasifikasi agroforestri berdasarkan lingkup manajemennya, adalah sebagai berikut 1) agroforestri pada tingkat tapak (skala plot); 2) agroforestri pada tingkat bentang lahan. h. Klasifikasi berdasarkan jenisnya Berdasarkan Arsyad, 2006 menyatakan bahwa tindakan konservasi lahan yang dilakukan dengan cara wanatani (agoforestri) memiliki banyak jenis, diantaranya adalah 1) kebun Pekarangan, yakni kebun campuran yang terdiri atas campuran yang tidak teratur antara tanaman tahunan yang menghassilkan buah-buahan dan sayuran serta tanaman semusim yang terletak di sekitar rumah;

13 2) talun Kebun, adalah suatu sistem wanatani tradisional dimana sebidang tanah ditanami dengan berbagai macam tanaman yang diatur secara spasial dan urutan temporal; 3) pertanaman lorong, yakni suatu bentuk penggunaan yang menanam tanaman semusim atau tanaman pangan dilorong atau gang yang ada diantara pagar tanaman pohon atau semak (Kang, et al, dalam Arsyad,2006); 4) permaculture, merupakan suatu sistem yang terpadu dan berkembang terdiri atas berbagai tanaman tahunan atau tanaman yang dapat tumbuh dan berkembang dengan sendirinya dan hewan yang bermanfaat bagi manusia (Mollison dan Holmgren dalam Arsyad, 2006). Berdasarkan klasifikasi agroforestri tersebut, maka secara umum pada Tabel 2 terdapat beberapa bentuk agroforestri yang berkembang di Indonesia. Tabel 2 Bentuk agroforestri yang berkembang di Indonesia Sistem Sub-Sistem Contoh Praktek Contoh Teknologi Agrisilvikultur Pohon dengan tanaman semusim (Plantation Crop Combination) Sengon dengan umbiumbian (ubi jalar, talas, ubi kayu), sengon dengan tanaman pangan lain; Kebun Pekarangan (Home-gardens) Pekarangan (Di seluruh Jawa) Tumpangsari (Taungya systems) Perlandangan Berpindah Tradisional (Taditional Shifting Cultivation) Kebun Rotan (Rattan Cardens) Hamper di seluruh wilayah tropis lembab di Kalimantan, Sumatra, dan Sulawesi Kebont We (Suku Dayak benua/ Kaltim); kebun Gai (Suku Tunjung/ Kaltim) Tumpangsari (Hampir di seluruh hutan jati di Jawa); MR (Manajemen Rejim; taraf uji coba a.l. di Madiun); Pinus dan kopi (Malang) Pengayaan lahan yang diberakan (improved fallow) dengan penanaman Sengon atau pohon cepat tumbuh lainnya) Penanaman jenis-jenis rotan komersial (a.l. pulut dan manau) pada tegakan bekas tebangan (di areal HPH di Kaltim) atau dikombinasikan dengantanaman keras

14 Lanjutan Tabel 2 Sistem Sub-Sistem Contoh Praktek Contoh Teknologi Kebun campuran (Mixed Cropping) a.l. Pohon buahbuahan dengan kopo atau padi (di pedalaman Kaltim) Tumpangsari di Perkebunan Karet, Pinus atau Hutan tanaman Industri (di banyak tempat); Kakao di bawah tegakan hutan bekas tebangan (Kaltim) Tajar Hidup (Life poles) Tanaman lada/ Vanili/ Sirih pada berbagai jenis pohon a.l. Gamal, Dadap, randu, Jengkol (di banyak tepat di Kalimantan dan Sumatera) Sistem tebas bakar (slash and burn agriculture) Oma (Nusa tenggara; pertanian lahan kering berpindah dikonbersi dari hutan, saat ini ada beberapa pohon) Sistem pertanaman semusim (mixed annual-tree cropping) Rau (Lombok) (pertanian lahan kering menetap dengan pohon penutup yang tersebar) Budidaya lorong (Alley cropping system) Kamutu luri (Sumba; budidaya lorong tradisional) Silvopastura Hutan Keluaga/ kebun campuran (Mixed tree-gardening) Penggembalaan dalam perkebunan Tegakan pohon pakan ternak (Fooder Woodlots) Omang wike (Sumba; hutan keluarga tradisional) Ternak sapi di bawah kebun kelapa (Tanjung Harapan/ Kaltim) Timor(diperkenalkan di seluruh Nusa Tenggara) Nangka, Lamtoro Gung dll. Ditanam untuk pakan ternak (sistem usaha tani terpadu/ integrated farming system di areal-areal transmigrasi) Agrosilvopastura Kebun Hutan (Forestgardens) Talun (Jawa Barat); Wono (Kapur Selatan/ yogyakarta)

15 Lanjutan Tabel 2 Sistem Sub-Sistem Contoh Praktek Contoh Teknologi Sistem Tiga Strata (Baru dipromosikan oleh dinas pertanian) Lainnya Pohon pada Budidaya ikan (Trees in piscicultre) Dijumpai banyak pada area transmigrasi Budidaya ikan / udang di mangrove (aquaculture in mangrove area) Lebah madu alam (Apiculture with trees) Hanya di beberaa daerah di wilayah pantai Sumatra, Kalimantan, dna Sulawesi Dijumpai banyak di desa-desa masyarakat asli/ lokal di pedalaman Kalimantan (Ide untuk mengatur pola tanaman guna menyempurnakan silvofishery) (pebudidaaan; tetapi belum berkembang luas di luar Jawa) 2.4.2 Dampak Sistem Agroforestri Vergara, 1982 menyatakan bahwa terdapat tiga macam manfaat dari sistem agroforestri, yaitu: a. Manfaat lingkungan Manfaat lingkungan dari penggabungan tanaman pohon dan pangan di ladang pegunungan terdiri dari manfaat ekologi dan manfaat ekolologi tapak itu sendiri. Pada manfaat ekologi dari pernggabungan tanaman meliputi 1) agroforestri dapat menurunkan tekanan di hutan. Oleh karena itu, pohon kehutanan ditempatkan untuk melindungi area bukit dari perusahaan lingkungan; 2) agroforestri dapat mengembalikan nutrisi dengan lebih efisien melalui akar pohon yang dalam di tapak; 3) agroforestri dapat membuat perlindungan yang lebih baik sistem ekologi pegunungan sampai dapat menstabilkan penanaman yang nomaden atau berpindah-pindah. Manfaat ekologi tapak itu sendiri dari penggabungan tanaman meliputi 1) agroforestri dapat menurunkan run off permukaan, peluruhan nutrisi, dan erosi tanah, karena akar pohon dan batang menghalangi proses tersebut;

16 2) agroforestri dapat memperbaiki iklim mikro seperti menurunkan temperature permukaan tanah dan menurunkan evaporasi penguapan tanah melalui kombinasi mulsa dan keteduhan; 3) agroforestri dapat meningkatkan nutrisi tanah melalui penambahan dan pembusukan daun yang jatuh; 4) melaui agroforestri dapat memperbaiki struktur tanah melalui penambahan secara tetap bahan organik dari pembusukan daun yang berjatuhan (serasah). b. Manfaat ekonomi Sistem agroforestri di ladang sempit dapat memberikan keuntungan ekonomi yang signifikan kepada petani, masyarakat, wilayah, atau negara. Beberapa keuntungannya sistem agroforestri antara lain 1) agroforestri dapat meningkatkan dan memelihara produksi pangan, kayu, kayu bakar, makanan ternak, dan dapat berfungsi sebagai penyubur atau pupuk; 2) melalui agroforestri dapat menurunkan bahaya kegagalan panen yang mungkin terjadi pada tanaman penanaman tunggal atau sistem monokultur; 3) agroforestri dapat meningkatkan pendapatan ladang untuk memperbaiki dan melanjutkan produksi. c. Manfaat sosial 1) agroforestri dapat memperbaiki standar hidup masyarakat pedesaan dari pekerjaan terus menerus; 2) agroforestri dapat memperbaiki nutrisi dan kesehatan yang disebabkan oleh peningkatan kuantitas dan keaneragaman hasil pangan; 3) melalui agroforestri dapat menstabilkan dan memperbaiki komunitas pegunungan melalui pembersihan kebutuhan untuk mengganti tapak dan aktivitas ladang. Menurut Vergara, 1982 selain manfaat yang didapat, juga terdapat faktor negatif dari sistem agroforestri terhadap lingkungan aspek sosial-ekonomi, yaitu: a. Faktor negatif terhadap lingkungan 1) agroforestri dapat menyebabkan kompetisi pohon dengan tanaman pangan untuk ruang, sinar matahari, kelembaban, dan nutrisi, yang mengurangi hasil panen tanaman pangan;

17 2) agroforestri dapat merusak tanaman pangan selama kegiatan panen pohon; 3) agroforestri dapat menyebabkan potensi pohon terhadap serangan hama serangga yang berbahaya untuk tanaman pangan; 4) melalui agroforestri, lahan dapat beregenerasi secara cepat karena pohon mudah berkembangbiak, sehingga menggantikan tanaman pangan dan mengambil alih seluruh lahan. b. Aspek sosial ekonomi sistem agroforestri yang tidak diinginkan 1) agroforestri membutuhkan input pekerjaan yang lebih, yang dapat menyebabkan kelangkaan pekerja pada saat aktivitas di lahan lain; 2) kompetisi antar tanaman pangan dan pohon pada sistem agroforestri, dapat lebih rendah dibandingkan tanaman tunggal; 3) sistem agroforestri membutuhkan periode yang lama untuk pohon tumbuh dewasa dan memperoleh nilai ekonomi; 4) sistem agroforestri dapat menyebabkan perlawanan dari masyarakat, karena menggantikan tanaman pangan dengan pohon terutama di lahan yang jarang ada orang. Tetapi dalam kenyataannya agroforestri sangat kompleks dimengerti dan sulit untuk diaplikasikan dibandingkan dengan ladang tanaman tunggal. 2.4.3 Pemilihan Lahan Agroforestri Agroforestri merupakan suatu sistem yang dapat memadukan kepentingan ekosistem dengan kepentingan peningkatan produktivitas lahan untuk pangan, dan papan dalam hubungan penatagunaan lahan. Namun, sistem agroforestri jika salah melaksanakannya justru dapat menimbulkan masalah. Berdasarkan hal tersebut, kawasan pelaksanaannya perlu mendapatkan pertimbangan baik-baik (Satjapradja, 1982). Menurut pihak agrarian tata guna lahan yang cocok untuk tanaman pangan antara 25 sampai 500 m dari permukaan laut dengan kemiringan 0-8% (Satjapradja, 1982). Pada saat ini, desakan pertambahan penduduk sangat terbatas, karena untuk usaha perluasan dan ekstensifikasi para ahli dihadapkan pada lahan-lahan miring dengan tingkat kesuburan yang rendah. Untuk mengembangkan agroforestri, sebaiknya jangan mengkonversi hutan alam yang baik, tetapi justru memfokuskan pada rehabilitasi tanah-tanah

18 kosong, padang alang-alang yang setiap tahunnya bertambah sekitar + 200.000 ha. Selain itu, sistem agroforestri dapat dikembangkan di daerah batas antara hutan dan pemukiman yang sering disebut daerah penyangga (buffer zone). 2.5 Lanskap Agroforestri Berbasis Bioregional Perencanaan lanskap menurut Laurie, 1990 merupakan pendekatan ke masa depan terhadap lahan dan perencanaan tersebut disertai dengan imajinasi dan kepekaan terhadap analisis tapak. Perencanaan adalah proses pemikiran dari suatu ide ke arah bentuk yang nyata. Proses perencanaan adalah suatu alat yang sistematis untuk menentukan keadaan awal, keadaan yang diharapkan dan cara terbaik untuk mencapai keadaan yang diharapkan tersebut (Simonds, 1978). Hal ini membuat proses perencanaan yang baik harus merupakan suatu proses yang dinamis. Menurut Miller (1996), perencanaan bioregional merupakan proses pengorganisasian. Pada perencanaan bioregional masyarakat memungkinkan bekerja sama dalam mengumpulkan informasi, memikirkan potensi serta masalah, menetapkan tujuan, merencanakan aktivitas, dan mengimplikasikan proyek, mengambil langkah yang telah disetujui oleh komunitas, serta mengevaluasi hasil. Perencanaan laskap bioregion DAS diharapkan melibatkan peran manusia, sehingga terjadi keterkaitan langsung antara manusia dengan tapak sekitar. Berdasarkan Thayer, 2003 setiap bioregion terdapat perencanaan, desain dan manajemen yang unik, sehingga akan menghasilkan pola lanskap yang unik. Jika dari dimensi waktu maka konsep bioregion juga dapat dikembangkan sebagai proses perencaan. Penggunaan pendekatan bioregion pada akhirnya membagi-bagi ruang berdasar batasan geografik, komunitas manusia, serta sistem ekologi. Sistem agroforestri nantinya dapat dikembangkan dan berpengaruh terhadap kondisi ekologis yang terdapat pada lingkungan sekitar.