BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penumpang menunggu. Berikut adalah beberapa bagian penting bandar udara.

PERTEMUAN KE - 1 PENGENALAN

Runway Koreksi Panjang Runway Windrose Runway Strip RESA LDA, TORA, ASDA, TODA Take Off Distance

BAB III LANDASAN TEORI. A. Petunjuk Pelaksanaan Perencanaan/ Perancangan Landasan pacu pada Bandar Udara

Variabel-variabel Pesawat

BAB III METODE PENELITIAN

Bagian 4 P ERENCANAAN P ANJANG L ANDAS P ACU DAN G EOMETRIK LANDING AREA

BAB V ANALISA KEBUTUHAN RUANG BANDARA PADA TAHUN RENCANA

PERENCANAAN BANDAR UDARA. Page 1

STUDI OPTIMASI KAPASITAS LANDASAN PACU (RUNWAY) PADA BANDAR UDARA INTERNASIONAL JUANDA SURABAYA TUGAS AKHIR

PA U PESAW PESA AT A T TER

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Udara Nomor:

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. terbang. Panjang runway utama ditentukan oleh pesawat yang memiliki maximum

( LAPANGAN TERBANG ) : Perencanaan Lapangan Terbang

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Spesifikasi Bandara Radin Inten II

Perencanaan Sisi Udara Pengembangan Bandara Internasional Juanda Surabaya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Dosen Pembimbing. Mahasiswa. Ir. Hera Widyastuti, MT. PhD. Sheellfia Juni Permana TUGAS AKHIR ( RC )

1. Pertimbangan penentuan lokasi Bandar udara. IZIN PENETAPAN LOKASI BANDAR UDARA Perizinan Direktorat Bandar Udara Dasar Hukum :

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

OPTIMASI KAPASITAS LANDAS PACU BANDAR UDARA SAM RATULANGI MANADO

KAPASITAS LANDAS PACU BANDAR UDARA SAM RATULANGI MANADO

PERENCANAAN STRUKTUR PERKERASAN LANDAS PACU BANDAR UDARA SYAMSUDIN NOOR BANJARMASIN

Physical Characteristics of Aerodromes

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Annex 14 dari ICAO (International Civil Aviation

TUGAS AKHIR AHMAD SAIFULLAH. Diajukan sebagai salah satu syarat kelulusan. Program Strata Satu (S-1) Teknik Sipil.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Sandhyavitri (2005), bandar udara dibagi menjadi dua bagian

Perhitungan panjang landasan menurut petunjuk dari. persyaratan yang ditetapkan FAA, dengan pesawat rencana:

ANALISIS PENINGKATAN LANDASAN PACU (RUNWAY) BANDAR UDARA PINANG KAMPAI-DUMAI

ICAO (International Civil Aviation Organization)

PERENCANAAN ULANG LAYOUT RUNWAY BANDAR UDARA SYAMSUDIN NOOR BANJARMASIN YANG DIDASARKAN PADA HASIL ANALISIS AIRPORTS GIS FAA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut PP RI No.70 Tahun 2001 tentang Kebandar udaraan, Pasal 1 Ayat

MANAJEMEN KAPASITAS RUNWAY

PERENCANAAN PENGEMBANGAN BANDAR UDARA (STUDI KASUS: BANDAR UDARA SEPINGGAN BALIKPAPAN)

4.1 Landasan pacu (runway)

Perencanaan Pengembangan Apron Bandar Udara Internasional Juanda Surabaya

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN. 19,45 km dari kota Jakarta yang memiliki koordinat 06 o Lintang

KULIAH LAPANGAN TERBANG I (Airport Engineering)

ANALISIS TEBAL PERKERASAN TAMBAHAN PADA BANDAR UDARA NUSAWIRU CIJULANG KABUPATEN CIAMIS

BAB 1 PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Pembangunan runway baru yang lokasinya paralel runway eksisting

ANALISA PENGEMBANGAN GEOMETRI LANDASAN (STUDI KASUS BANDARA HUSEIN SASTRANEGARA)

BAB I PENDAHULUAN. mengadakan transportasi udara adalah tersedianya Bandar Udara (Airport)

Jurnal Penelitian Perhubungan Udara WARTA ARDHIA

EVALUASI TAHAPAN PENGEMBANGAN FASILITAS SISI UDARA BANDARA TEBELIAN SINTANG

ABSTRAK. Kata kunci : runway, taxiway dan apron I. PENDAHULUAN

JURUSAN TEKNIK SIPIL Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya 2012

TUGAS AKHIR ANALISA KAPASITAS APRON DAN OPTIMALISASI PARKING STAND DI TERMINAL KARGO BANDAR UDARA SOEKARNO - HATTA

BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN

Evaluasi dan Perencanaan Posisi Parkir Pesawat pada Apron Bandara Husein Sastranegara Bandung

PENGARUH LINGKUNGAN LAPANGAN TERBANG PADA PERENCANAAN PANJANG LANDASAN DENGAN STANDAR A.R.F.L. Oleh : Dwi Sri Wiyanti. Abstract

Studi Penentuan Lokasi Runway 2 Dengan Memperhatikan Kontur Kebisingan Bandara Juanda

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN. jenis data yang diperlukan untuk menunjang proses penelitian, untuk kemudian diolah

BAB 1 PENDAHULUAN. laut, maupun udara perlu ditingkatkan. Hal ini bertujuan untuk menjangkau, menggali,

BAB V ANALISIS DAN PERANCANGAN

BAB 4 HASIL PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Bandar Udara

BAB III METODE PENELITIAN DAN ANALISIS

JURNAL TEKNIK ITS Vol. 6, No. 1, (2017) ISSN: ( Print) E-12

6.4. Runway End Safety Area (RESA)

PENDAHULUAN Perkembangan teknologi di bidang transportasi semakin berkembang. Hal ini dikarenakan banyaknya aktivitas masyarakat dalam melakukan hubun

KAJIAN TEKNIS PERENCANAAN PERKERASAN LANDAS PACU

BAB 1 PENDAHULUAN. Tabel 1. 1 Bandara tersibuk di dunia tahun 2014 versi ACI

2.4. Pertentangan dengan Standar Lainnya 2.5. Penggunaan Kode Referensi Bandar Udara ICAO untuk Menetapkan Standar

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Desain Bandara Binaka Nias Untuk Pesawat Airbus 300A ABSTRAK

PERENCANAAN LANDASAN PACU BANDAR UDARA TUANKU TAMBUSAI KABUPATEN ROKAN HULU. B U D I M A N 1 ARIFAL HIDAYAT, ST, MT 2 BAMBANG EDISON, S.

BAB III LANDASAN TEORI Faktor - Faktor Yang Mempengaruhi Ukuran Bandar Udara

ANALISIS PERKERASAN LANDAS PACU BANDARA SOEKARNO-HATTA MENGGUNAKAN PERANGKAT LUNAK FAARFIELD

SIMULASI PENENTUAN JUMLAH DAN KOMPOSISI PESAWAT MAKSIMUM PADA DUA PARALEL RUNWAY SATRIO REKSO W

Bandar Udara. Eddi Wahyudi, ST,MM

UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR

ANALISIS KAPASITAS APRON: PERMSALAHAN DAN USULAN KONSEP DESAIN TERMINAL BARU PADA BANDAR UDARA INTERNATIONAL SULTAN HASANUDDIN

WARTA ARDHIA Jurnal Perhubungan Udara. Telaah Literatur Mencegah Kecelakaan Landas Pacu di Bandar Udara di Indonesia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Bandara atau bandar udara yang juga populer disebut dengan istilah airport

PERENCANAAN PENGEMBANGAN BANDAR UDARA RENDANI DI KABUPATEN MANOKWARI PROVINSI PAPUA BARAT

TUGAS AKHIR OPTIMALISASI KAPASITAS APRON TERMINAL 2 BANDAR UDARA SOEKARNO-HATTA AKIBAT PERPINDAHAN PESAWAT INTERNASIONAL

BAB IV PENGOLAHAN DATA &ANALISIS. dengan menggunakan Program COMFAA 3.0 adalah sebagai berikut :

TUGAS AKHIR PERENCANAAN ULANG DAN MANAJEMEN KONSTRUKSI TAXIWAY DI BANDARA ADI SUTJIPTO YOGYAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. strategis sehingga memiliki pengaruh positif dalam berbagai bidang. Moda

TINJAUAN PENGEMBANGAN LANDASAN PACU BANDAR UDARA KASIGUNCU KABUPATEN POSO

KAPASITAS LANDASAN PACU BANDAR UDARA SOEKARNO-HATTA JAKARTA

AIRPORT CONFIGURATION

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN

Bagian 3 KARAKTERISTIK P ESAWAT

OPTIMASI PERGERAKAN PESAWAT PADA BANDARA HUSEIN SASTRANEGARA ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. menambah peluang menurunnya jaminan kualitas keselamatan transportasi.

ANALISIS TEBAL DAN PERPANJANGAN LANDASAN PACU PADA BANDAR UDARA INTERNASIONAL SULTAN MAHMUD BADARUDDIN II

DAFTAR lsi. ii DAFTAR lsi. iv DAFTAR TABEL. vi DAFTAR GAMBAR. vii DAFTAR LAMPIRAN. viii ISTILAH - ISTILAH. ix NOTASI- NOTASI

ANALISIS KINERJA GATE PADA TERMINAL KEBERANGKATAN DOMESTIK DI BANDAR UDARA INTERNASIONAL SULTAN HASANUDDIN

ANALISIS GEOMETRIK FASILITAS SISI UDARA BANDAR UDARA INTERNASIONAL LOMBOK (BIL) NUSA TENGGARA BARAT

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. (Airport) berfungsi sebagai simpul pergerakan penumpang atau barang dari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan - Universitas Gadjah Mada. Pertemuan Kesembilan TRANSPORTASI UDARA

PENDAHULUAN BAB I. berpopulasi tinggi. Melihat kondisi geografisnya, transportasi menjadi salah satu

ANALISIS TEBAL DAN PERPANJANGAN LANDASAN PACU PADA BANDAR UDARA INTERNASIONAL SULTAN MAHMUD BADARUDDIN II

STUDI PENGEMBANGAN BANDAR UDARA HANG NADIM BATAM

BAB I PENDAHULUAN. terhadap tingkat pelayanan (level of service) terminal dan apron Bandara. Sultan Mahmud Badaruddin II Palembang.

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Pesawat Terbang Dalam Perencanaan Bandar Udara 2.1.1. Pendahuluan Menurut Horonjeff (1994) berat pesawat terbang penting untuk menentukan tebal perkerasan runway, taxiway dan apron, panjang runway saat lepas landas dan pendaratan pada suatu bandara. Bentang sayap dan panjang badan pesawat terbang mempengaruhi ukuran apron parkir, yang akan mempengaruhi susunan gedunggedung terminal. Ukuran pesawat terbang juga menentukan lebar runway, taxiway dan jarak antara keduanya, serta mempengaruhi jari-jari putar yang dibutuhkan pada kurva- kurva perkerasan. Kapasitas penumpang mempunyai pengaruh penting dalam menentukan fasilitas-fasilitas di dalam dan yang berdekatan dengan gedung-gedung terminal. Panjang runway mempengaruhi sebagian besar daerah yang dibutuhkan di suatu bandara. Panjang landas pacu yang terdapat pada Tabel 2.1. dan Tabel 2.2. adalah pendekatan panjang landasan pacu minimum yang dipakai setelah beberapa kali tes yang dilakukan oleh pabrik pembuat pesawat terbang yang bersangkutan. Perlu dijelaskan bahwa tabel-tabel ini diberikan untuk mengenal bahwa beberapa besaran seperti Operating Weight Empty kapasitas penumpang dan landasan adalah sebagai ancar-ancar, mengingat bahwa besaran tadi bisa dihitung dan hitungannya dipengaruhi oleh beberapa aspek. 6

Tabel 2.1. Klasifikasi Bandar Udara, Desain Grup Pesawat dan Jenis Pesawat AEROPLANE TYPE REF CODE AEROPLANE CHARACTERISTICS ARFL Wingspan OMGWS Length MTOW TP (m) (m) (m) (m) (kg) (kpa) DHC2 Beaver 1A 381 14.6 3.3 10.3 2490 240 Beechcraft 58 (Baron) 1A 401 11.5 3.1 9.1 2449 392 100 1A 628 14.0 4.0 12.2 5352 Britten Norman Islander 1A 353 14.9 4.0 10.9 2850 228 Cessna : 172 1A 272 10.9 2.7 8.2 1066 206 1A 274 10.9 2.6 8.6 1639 310 1A 518 11.3 3.7 9.7 2359 414 404 1A 721 14.1 4.3 12.1 3810 490 Partenavia P68 1A 230 12.0 2.6 9.4 1960 Piper : PA 31 (Navajo) 1A 639 12.4 4.3 9.9 2950 414 PA 38 1A 378 11.8 3.4 8.7 1814 Beechcraft 200 1B 592 16.6 5.6 13.3 5670 735 Cessna : 208 A (Caravan) 1B 296 15.9 3.7 11.5 3310 402 C 1B 669 13.45 5.6 11.1 3107 490 441 1B 544 15.1 4.6 11.9 4468 665 DHC 6 Twin Otter 1B 695 19.8 4.1 15.8 5670 220 Domier 228-200 1B 525 17.0 3.6 16.6 5700 DHC-7 1C 689 28.4 7.8 24.6 19505 620 DHC-5E 1d 290 29.3 10.2 24.1 22316 Lear Jet 28/29 2A 912 13.4 2.5 14.5 6804 793 Beechcraft 1900 2B 1098 16.6 5.8 17.6 7530 CASA C-212 2B 866 20.3 3.5 16.2 7700 392 Embraer EMB110 2B 1199 15.3 4.9 15.1 5670 586 Metro II 2B 800 14.1 5.4 18.1 5670 74 Metro III 2B 991 17.37 5.4 18.1 6577 740 ATR 42-200 2C 1010 24.6 4.9 22.7 16150 728 Cessna 550 2C 912 15.8 6.0 14.4 6033 700 DHC-8 : 100 2C 948 25.9 8.5 22.3 15650 805 300 2C 1122 27.4 8.5 25.7 18642 805 Lear Jet 55 3A 1292 13.4 2.5 16.8 9298 IAI Westwind 2 3A 1495 13.7 3.7 15.9 10660 1000 7

AEROPLANE TYPE REF CODE AEROPLANE CHARACTERISTICS ARFL Wingspan OMGWS Length MTOW TP (m) (m) (m) (m) (kg) (kpa) Bae 125-400 3B 1713 15.7 3.3 15.5 12480 1007 Canadair : CL600 3B 1737 18.9 4.0 20.9 18642 1140 CRJ-200 3B 1527 21.21 4.0 26.77 21523 1117 Bae : Jetstream 31 3C 1440 15.9 6.2 14.4 6950 448 Jetstream 41 3C 1500 18.3 19.3 10433 146-200 3C 1615 26.3 5.5 26.2 42185 1138 146-300 3C 1615 26.3 5.5 31.0 44225 945 McDonnell Douglas : DC-3 3C 1204 28.8 5.8 19.6 14100 358 DC9-20 3C 1551 28.5 6.0 31.8 45360 972 Fokker : F27-500 3C 1670 29.0 7.9 25.1 20412 540 F28-4000 3C 1640 25.1 5.8 29.6 32205 779 F50 3C 1760 29.0 8.0 25.2 20820 552 F100 3C 1695 28.1 5.0 35.5 44450 920 SAAB SF-340 3C 1220 21.4 7.5 19.7 12371 655 Airbus A300 B2 3D 1676 44.8 10.9 53.6 142000 1241 Airbus A320-200 4C 2058 33.9 8.7 37.6 72000 1360 Boieng : B717-200 4C 2130 28.4 6.0 37.8 51710 B737-200 4C 2595 28.4 6.4 30.6 52390 1145 B737-300 4C 2749 28.9 6.4 30.5 61230 1344 B737-400 4C 2499 28.9 6.4 36.5 63083 1400 B737-800 4C 2256 35.8 6.4 39.5 70535 McDonnell Douglas : DC9-30 4C 2134 28.5 6.0 37.8 48988 DC9-80/MD80 4C 2553 32.9 6.2 45.1 72575 1390 Airbus : A300-600 4D 2332 44.8 10.9 54.1 165000 1260 A310-200 4D 1845 43.9 10.9 46.7 132000 1080 Boieng : B707-300 4D 3088 44.4 7.9 46.6 151315 1240 B757-200 4D 2057 36.0 8.7 47.3 108860 1172 B767-200ER 4D 2499 47.6 10.8 48.5 156500 1310 B767-300ER 4D 2743 47.6 10.8 54.9 172365 1310 8

AEROPLANE TYPE REF CODE AEROPLANE CHARACTERISTICS ARFL Wingspan OMGWS Length MTOW TP (m) (m) (m) (m) (kg) (kpa) McDonnell Douglas : Lockheed : DC8-63 4D 3179 45.2 7.6 57.1 158757 1365 DC10-30 4D 3170 50.4 12.6 55.4 251744 1276 L1011-100/200 4D 2469 47.3 12.8 54.2 211378 1207 McDonnell Douglas : MD11 4D 2207 51.7 12.0 61.2 273289 1400 Tupolev TU154 4D 2160 37.6 12.4 48.0 90300 Airbus : Boieng : A 330-200 4E 2713 60.3 12.0 59.0 230000 1400 A 330-300 4E 2560 60.3 12.0 63.6 230000 1400 A 340-300 4E 2200 60.3 12.0 63.7 253500 1400 B747-SP 4E 2710 59.6 12.4 56.3 318420 1413 B747-300 4E 3292 59.6 12.4 70.4 377800 1323 B747-400 4E 3383 64.9 12.4 70.4 394625 1410 B777-200 4E 2500 60.9 12.8 63.73 287800 1400 Sumber : Manual of Standards Part 139 Aerodromes Chapter 2: Application of Standards to Aerodromes, Civil Aviation Safety Authority, Australian Government 9

Tabel 2.2. Aerodrom Reference Code Aerodrome Refecence Code Code Element 1 Code Element 2 Code Aeroplane Reference Code Wing span Outer main gear Number Field Length Letter wheel span 1 less than 800 m A up to but not up to but not including 15 m including 4.5 m 2 800 m up to but not B 15 m up to but not 4.5 m up to but not including 1200 m including 24 m including 6 m 3 1200 m up to but not C 24 m up to but not 6 m up to but not including 1800 m including 36 m including 9 m 4 1800 m and over D 36 m up to but not 9 m up to but not including 52 m including 14 m 5 E 52 m up to but not 9 m up to but not including 65 m including 14 m 6 F 65 m up to but not 14 m up to but not including 80 m including 16 m Sumber : Manual of Standards Part 139 Aerodromes Chapter 2: Application of Standards to Aerodromes, Civil Aviation Safety Authority, Australian Government 2.1.2. Tipe Mesin Pesawat Terbang Untuk mengetahui klasifikasi pesawat terbang perlu diketahui tentang tipe mesin pesawat terbang : 1. Piston Engine Aircraft (P) Pesawat terbang digerakan oleh perputaran baling baling dengan tenaga mesin piston. Sebagian pesawat terbang kecil digerakan oleh mesin piston. 2. Turbo Propeller (TP) Pesawat terbang digerakan oleh baling baling dengan tenaga mesin. 3. Turbo Jet (TJ) Pesawat terbang digerakan oleh daya dorong dari tenaga semburan Turbo Jet, sangat boros bahan bakar. 10

4. Turbo Fan (TF) Pesawat terbang digerakan oleh daya dorong dari tenaga semburan Turbo Jet yang ditambahkan kipas (fan), ditempatkan di depan dari turbin induk. Sehingga didapatkan tenaga penggerak lebih besar. 2.1.3. Macam - macam Berat Pesawat Terbang Beban pesawat terbang diperlukan untuk menentukan tebal lapis keras landing movement yang dibutuhkan. Beberapa jenis beban pesawat terbang yang berhubungan dengan pengoperasian pesawat terbang antara lain : 1. Berat kosong operasi (Operating Weight Empty = OWE) Adalah beban utama pesawat terbang, termasuk awak pesawat dan konfigurasi roda pesawat terbang tetapi tidak termasuk muatan (payload) dan bahan bakar. 2. Muatan (Payload) Adalah beban pesawat terbang yang diperbolehkan untuk diangkut oleh pesawat terbang sesuai dengan persyaratan angkut pesawat terbang. Biasanya beban muatan menghasilkan pendapatan (beban yang dikenai biaya). Secara teoritis beban maksimum ini merupakan perbedaan antara berat bahan bakar kosong dan berat operasi kosong. 3. Berat bahan bakar kosong (Zero Fuel Weight = ZFW) Adalah beban maksimum yang terdiri dari berat operasi kosong, beban penumpang dan barang. Sehingga ketika pesawat terbang sedang terbang, tidak terjadi momen lentur yang berlebihan pada sambungan. 11

4. Berat Ramp maksimum (Maximum Ramp Weight = MRW) Adalah beban maksimum untuk melakukan gerakan, atau berjalan dari parkir pesawat ke pangkal landas pacu. Selama melakukan gerakan ini, maka akan terjadi pembakaran bahan bakar sehingga pesawat akan kehilangan berat. 5. Berat maksimum lepas landas (Maximum Take Off Weight = MTOW) Adalah beban maksimum pada awal lepas landas sesuai dengan bobot pesawat terbang dan persyaratan kelayakan penerbangan. Beban ini meliputi berat operasi kosong, bahan bakar dan cadangan (tidak termasuk bahan bakar yang digunakan untuk melakukan gerakan awal) dan muatan (payload). 6. Rumus menghitung panjang runway Adalah beban maksimum pada saat roda pesawat terbang menyentuh lapis keras (mendarat) sesuai dengan bobot pesawat dan persyaratan kelayakan penerbangan. Main gear (roda pendarat utama) direncanakan untuk menyerap gaya yang lebih besar, jadi harus dengan gear yang lebih kuat. Untuk pesawat terbang transport, main gear direncanakan untuk menahan berat yang lebih kecil dari maximum structural take off weight. Untuk pesawat terbang dengan jarak tempuh tidak terlalu jauh misalnya DC-9, main gear direncanakan dengan kekuatan menahan hampir maximum structural take off weight karena keperluaan bahan bakar tidak terlalu banyak. Pada saat mendarat pesawat terbang tidak boleh melebihi maximum structural landing weight. Pada saat lepas landas pesawat terbang tidak boleh melebihi maximum structural take off weight. 12

Tabel 2.3. merupakan perhitungan distribusi yang mendekati kebenaran dari komponen bobot pesawat terbang. Dapat diperhatikan tentang perbandingan jarak jelajah terbang dengan berat bahan bakar perjalanan, semakin jauh jarak jelajah terbang maka berat bahan bakar perjalanan ketika lepas landas juga semakin besar. Namun bobot muatan (payload) menurun. Tabel 2.3. Persentase Take Off Weight Operating Penerbangan Empty Weight Payload Tripload Reverse Fuel Short Range 66 24 6 4 Medium Range 59 16 21 4 Long Range 44 16 42 5 (Sumber: Tabel 1.2 hal 5. Heru Basuki, 1986) 2.1.4. Payload dan Range (jarak tempuh) Pertanyaaan yang sering muncul, berapa jauh pesawat terbang bisa terbang, jarak yang bisa ditempuh disebut range (jarak tempuh). Banyak faktor yang mempengaruhi jarak tempuh pesawat terbang, yang paling penting adalah payload. Pada dasar payload bertambah, jarak tempuhnya berkurang atau sebaliknya payload berkurang, jarak tempuh bertambah. 2.1.5. Berat Statik pada Main Gear dan Nose Gear Selain berat pesawat terbang, konfigurasi roda pendaratan utama sangat berpengaruh terhadap perancangan tebal lapis keras. Pada umumnya konfigurasi roda pendaratan utama dirancang untuk menyerap gaya-gaya yang ditimbulkan selama melakukan pendaratan (semakin besar gaya yang ditimbulkan semakin kuat roda yang digunakan), dan untuk menahan beban yang lebih kecil dari beban pesawat terbang lepas landas maksimum. 13

Distribusi beban untuk perkerasan runway dan apron sangat penting diketahui untuk menentukan tebal perkerasan. Untuk merencanakan kekuatan landasan, dianggap bahwa 5% beban diberikan kepada nose gear sedangkan yang 95% dibebankan kepada main gear. Bila ada dua main gear, masing masing gear menahan 47,5 % beban pesawat. Pada main gear yang mempunyai lebih dari dua main gear seperti B 747 dibuat sumbu tengah antara dua gear. Tabel 2.4. Tipikal Konfigurasi Roda Pesawat Terbang dan Tekanan Angin (Sumber: Tabel 1.2 hal 5. Heru Basuki, 1986) 14

2.2. Perencanaan Runway 2.2.1. Pendahuluan Runway adalah bagian dari bandar udara yang diperlukan untuk tinggal landas (take off) dan pendaratan (landing). 2.2.2. Konfigurasi Runway Banyak macam konfigurasi landasan pacu, sebagian konfigurasi adalah kombinasi dari konfigurasi besar. Konfigurasi dasar adalah : 1. Single Runway 2. Paralel Runway 3. Intersecting Runway 4. Open V Runway 1. Single Runway Konfigurasi ini merupakan konfigurasi yang paling sederhana seperti terlihat pada gambar. Kapasitas landasan pacu untuk kondisi VFR kapasitasnya adalah antara 45 100 operations/hours (gerakan /jam). Sedangkan untuk kondisi IFR kapasitasnya berkurang menjadi 50-70 operasi tergantung dari komposisi mix pesawat dan perlengkapan penerbangan yang tersedia. 2. Paralel Runway (Landasan Pacu Dua Arah) Kapasitas runway tergantung dari jumlah dan jarak antara runway. Untuk close paralel : Kondisi VFR kapsitasnya per jam : 90 198 Kondisi IFR kapasitasnya per jam : 54 64 15

Untuk intermediate per jam : Kondisi VFR kapsitasnya per jam : 90 198 Kondisi IFR kapasitasnya per jam : 74 79 Untuk far paralel : Kondisi VFR kapsitasnya per jam : 90 198 Kondisi IFR kapasitasnya per jam : 84 106 3. Intersecting Runway (Landasan Pacu Berpotongan) Banyak Bandar udara mempunyai dua atau lebih landasan pacu yang arahnya berbeda dan saling berpotongan. Landasan pacu ini diperlukan bila terdapat angin yang relatif kuat, bertiup lebih dari satu arah. Kapasitas landasan pacu yang berpotongan sangat tergantung pada letak perpotongannya (ditengah atau diujung) dan pada cara pengoperasian landasan pacu, yang disebut strategi (lepas landas atau mendarat). 4. Open V Runway (Landasan Pacu V-terbuka) Landasan pacu yang arahnya memencar (divergen) tetapi tidak berpotongan disebut landasan pacu V-terbuka. Seperti landasan pacu berpotongan, landasan pacu V-terbuka akan berubah menjadi landasan pacu tunggal apabila angin bertiup dari satu arah. Apabila hembusan angin lemah, kedua landasan pacu dapat digunakan. Perbandingan konfigurasi landasan pacu dipandang dari segi kapasitas dan pengendalian lalu lintas udara, konfigurasi landasan pacu satu arah (single runway) adalah yang terbaik. Konfigurasi ini akan menghasilkan kapasitas yang tertinggi dibandingkan konfigurasi lainnya. 16

Gambar 2.1. Tipikal Konfigurasi Runway 2.2.3. Perhitungan Panjang Runway Ada tiga metode yang menjadi dasar perhitungan panjang runway : 1. Tuntunan terhadap pembuatan dan operator pesawat terbang mengenai prestasi atau Performance. 2. Hal hal yang menentukan berat tiap tiap jenis pesawat terbang pada waktu take off dan landing. 3. Keadaan sekeliling bandar udara. 17

Tabel 2.5. Tipikal Konfigurasi Panjang Runway NO Runway use configuration Hourly capacity ops/h VFR IFR Annual service volume 1 51-98 50-59 195.000-240.000 2 215-761 m 94-197 56-60 260.000-355.000 3 762-1310 m 103-197 65-75 275.000-365.000 4 1311 m + 103-197 99-119 305.000-370.000 5 72-98 56-60 200.000-265.000 6 73-150 56-60 220.000-270.000 7 73-132 56-60 215.00-265.000 (Sumber: Tabel 1.2 hal 5. Heru Basuki, 1986) 2.2.3.1 Persyaratan prestasi (performance) yang ditentukan oleh industri pesawat terbang. Ada tiga kasus yang dipertimbangkan dalam menetapkan panjang runway untuk pengoperasian yang aman : 18

1. Kasus pendaratan (Landing Case) Disediakannya landasan yang cukup panjang sehingga suatu pesawat terbang dalam situasi normal dapat mendarat dengan aman atau adanya overshoots dan poor approaches dapat dihindari dengan baik. Sehingga pesawat terbang dapat berhenti 60% dari seluruh panjang landasan, dimana ketinggian pesawat pada ujung runway sebesar 50 ft (15,24 m). 2. Kasus lepas landas normal Pada keadaan ini harus ada runway yang panjang sehingga pesawat terbang yang akan lepas landas dengan segala variasi dapat berjalan aman. 3. Kasus lepas landas dengan kegagalan mesin Pada keadaan ini harus ada runway yang panjang sehingga pesawat terbang dapat melanjutkan tinggal landas walaupun pesawat terbang kekurangan tenaga atau dibutuhkan runway yang panjang sehingga pesawat terbang yang mengalami kerusakan mesin dapat berhenti dengan melakuakan pengereman. Untuk menghitung panjang runway dapat digunakan perumusan sebagai berikut : a. Keadaan pendaratan FL = FS = LD LD = b. Keadaan lepas landas normal FL = FS + CL CL = 0.5[TOD 1.15(LOD)] TOD = 1.15(D 35 ) FS = TOR TOR = TOD - CL 19

c. Keadaan lepas landas dengan kegagalan mesin Ditunda/dibatalkan FL = FS + SW FL = ASD Tetap lepas landas FL = FS + CL CL = 0.50(TOD - LOD) TOD = D 35 FS = TOR TOR = TOD CL Keterangan: FL FS CW : Panjang lapangan (Field Length), m : Panjang perkerasan kekuatan penuh (Full Strength), m : Daerah bebas (Clearway), m TOD : Jarak lepas landas (Take Off Distance), m LOD : Jarak pengangkatan (Lift Off Distance), m D35 : Jarak pada ketinggian 35 ft, m TOR : Jarak pacuan lepas landas (Take Off Run), m ASD : Jarak percepatan berhenti (Accelerate Stop Distance), m LD SD : Jarak pendaratan (Landing Distance), m : Jarak pemberhentian (Stop Distance), m 20

2.2.4. Parameter yang Mempengaruhi Panjang Landasan Bagi Pesawat Terbang 1. Elevasi Lapangan Terbang Panjang landasan pacu yang didapat adalah tinggi di atas muka air laut. 2. Temperatur Standard temperatur adalah suhu rata-rata harian dari bulan-bulan yang terpanas di lokasi lapangan terbang. Data bisa didapat pada Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG). 3. Take Off Weight Zero fuel weight ditambah payload ditambah BBM yang dibutuhkan untuk terbang ke lapangan terbang tujuan, ditambah BBM cadangan untuk terbang 1,5 jam. Maximum landing weight ditambah payload tambah BBM untuk terbang ke lapangan terbang tujuan. 4. Distance Jarak yang dapat ditempuh pesawat terbang dari satu tujuan lapangan terbang ke lapangan terbang yang lain dengan maximum payload dan minimum berat BBM yang dibutuhkan untuk jarak itu. 5. Arah Runway Arah runway harus selalu searah dengan atau mendekati dengan angin dominan (prevailing wind) yang terdapat di daerah tersebut, karena gerakan pesawat sewaktu landing dan take off akan menjadi sulit bahkan berbahaya apabila kecepatan angin melampaui suatu batas tertentu dan juga bila arah angin membentuk sudut dengan arah pendaratan. 21

Gambar 2.2. Tipikal Arah Angin Penyelidikan angin dilakukan minimum selama 5 tahun dan dicatat: Arah angin Kecepatan/kekuatan angin Lamanya angin bertiup Ketika landing dan take off, pesawat terbang dimungkinkan untuk manuver di atas runway selama komponen angin bertiup pada sudut yang sesuai dengan arah perjalanan dan crosswind tidak terjadi. Maksimum crosswind yang diijinkan tergantung pada : Ukuran pesawat terbang Konfigurasi sayap Kondisi permukaan perkerasan 22

2.3. Kapasitas dan Delay 2.3.1. Perumusan Delay Definisi keduanya adalah jumlah maksimum pesawat terbang yang beroperasi yang dapat diakomodasikan oleh bandara selama interval waktu tertentu ketika ada permintaan untuk pelayanan yang berkesinambungan (Blumstein,1960). Perhitungan delay dipengaruhi oleh seberapa lama sebuah pesawat terbang clear dari runway. Waktu minimal yang diperlukan agar pesawat terbang berikutnya dapat melakukan pergerakan di runway minimal sebesar clearance time pesawat terbang sebelumnya. Clearance time tergantung dari kecepatan pesawat saat melakukan pendaratan, touchdown, keluar exit taxiway, dan perlambatan ketika akan mendarat dan setalah mendarat. Perumusan matematis kapasitas runway yang berkaitan dengan delay untuk tingkat kedatangan adalah : a a a a a a Dimana : a: delay rata-rata pesawat terbang yang datang (satuan waktu) a : tingkat kedatangan rata-rata (pesawat terbang per satuan waktu) a : tingkat pelayanan rata-rata (pesawat terbang per satuan waktu) a : simpangan rata-rata pesawat terbang yang datang. 23

Perumusan matematis kapasitas runway yang berkaitan dengan delay untuk tingkat keberangkatan adalah : d d d d d d Dimana : d: delay rata-rata pesawat terbang yang berangkat (satuan waktu) d : tingkat keberangkatan rata-rata (pesawat terbang per satuan waktu) : tingkat pelayanan rata-rata (pesawat terbang per satuan waktu) d : simpangan rata-rata pesawat terbang yang berangkat Sebelum menghitung delay harus diketahui jumlah pergerakan maksimum yang bisa terjadi di runway untuk mengetahui tingkat pelayanan runway. Jumlah pergerakan maksimum yang bisa terjadi di runway tergatung pada persentase takeoff, landing dan campuran kategori pesawat terbang. Perumusan sebagai berikut : (pesawat) ( x to) ( x (( x ta) ( x tb) ( x tc) ( x td) ( x te))) Dimana : N = Jumlah pergerakan maksimum dalam 1 jam % T = % Take-off % L = % Landing % A = % Pesawat terbang landing kategori A % B = % Pesawat terbang landing kategori B % C = % Pesawat terbang landing kategori C % D = % Pesawat terbang landing kategori D 24

% E = % Pesawat terbang landing kategori E CTto = Clearance time pesawat terbang takeoff CTta = Clearance time pesawat terbang kategori A CTtb = Clearance time pesawat terbang kategori B CTtc = Clearance time pesawat terbang kategori C CTtd = Clearance time pesawat terbang kategori D CTte = Clearance time pesawat terbang kategori E 2.3.2. Perumusan Kapasitas Metode FAA American Federal Aviation Administration (FAA) sudah menyediakan petunjuk penghitungan kapasitas bandar udara untuk komposisi pesawat terbang yang berbeda-beda dan dengan konfigurasi landas pacu yang berbeda-beda dalam Federal Aviation Administration (FAA) Advisory Circular (AC) 150/5060-5, Airport Capacity and Delay tahun 1983 dengan revisi tahun 1995. Penghitungan kapasitas bandar udara menurut FAA merupakan gabungan dari kapasitas komponen landasan pacu, landasan hubung dan landasan parkir. Penghitungan kapasitas menurut metode yang dikembangkan oleh FAA dalam AC. 150/5060-5 adalah untuk menghitung kapasitas bandar udara. Maka diperlukan penghitungan menyeluruh untuk setiap komponen sisi udara, yaitu: a. Runway atau landasan pacu, istilah landasan pacu termasuk permukaan untuk mendarat, ditambah dengan bagian dari jalur pendekatan dan keberangkatan yang secara umum digunakan oleh semua pesawat terbang. Penghitungan kapasitas dari komponen landasan pacu berdasarkan konfigurasi landasan pacu dari bandar udara yang ada. 25

b. Taxiway atau landasan hubung, istilah landasan hubung termasuk landasan hubung sejajar (parallel taxiway), landasan hubung keluar dan masuk, serta landasan hubung yang berpotongan dengan landasan pacu. Kapasitas dari komponen landasan hubung perlu diperhitungkan apabila terdapat landasan hubung yang memotong landasan pacu, karena dapat mengurangi kapasitas operasi landasan pacu. c. Gate Group atau kelompok pintu kedatangan/keberangkatan merupakan istilah yang menyatakan jumlah pintu yang ada di terminal yang digunakan oleh suatu perusahaan penerbangan atau digunakan secara bersama-sama antara 2 atau lebih perusahaan penerbangan atau pesawat terbang berjadwal lainnya yang beroperasi secara rutin. penerbangan yang ada ditambah dengan Positioning Time (PT) atau waktu yang diperlukan pesawat terbang untuk bergerak atau manuver keluar dan masuk tempat parkir. Kapasitas yang dihasilkan oleh sistem sisi udara (throughput capacity) merupakan ukuran dari jumlah maksimum operasi pesawat terbang yang bisa diakomodasi oleh bandar udara atau komponen bandar udara dalam 1 jam. Melalui penghitungan kapasitas tiap komponen sisi udara tersebut dapat diketahui kapasitas bandar udara tiap jam dan dihitung volume tahunan yang mampu dilayani oleh suatu bandar udara (annual service volume). Langkah dan data masukan yang diperlukan untuk menghitung kapasitas bandar udara metode FAA. AC. 150/5060-5. 2.3.3 Faktor yang Mempengaruhi Kapasitas Tujuan dari perhitungan kapasitas bandar udara adalah untuk menjelaskan kapasitas dari suatu bandar udara sebagai dasar untuk pengembangan bandar udara di masa mendatang dalam menghadapi pertumbuhan lalulintas udara. Pertumbuhan 26

penumpang udara yang telah diperhitungkan sebelumnya berakibat kepada semua komponen transportasi udara termasuk bandar udara. Mengantisipasi dan menangani kenaikan penumpang, penambahan fasilitas dan pengembangan bandar udara diperlukan untuk memenuhi permintaan akan transportasi udara di masa yang akan datang. Metode pertama yang digunakan adalah dengan mengevaluasi komponenkomponen utama dari bandar udara termasuk sisi udara, fasilitas dan gedung serta ruang udara yang tersedia. Melalui studi perencanaan, maka akan diketahui komponen yang perlu mendapatkan penanganan lebih lanjut untuk menghadapi kenaikan permintaan akan transportasi udara. Tabel 2.6. Langkah Penghitungan Kapasitas Sisi Udara Hasil Kapasitas tiap jam dari komponen landas pacu (Hourly capacity of runway component) Kapasitas tiap jam dari komponen landas hubung (Hourly capacity of taxiway) component Kapasitas tiap jam dari apron (Hourly capacity of gate group components) Kapasitas bandar udara tiap jam (Airport hourly capacity) Sumber : FAA AC 150/5060-5 Data masukan a. Cuaca; tinggi dasar awan dan jarak pandang (VFR, IFR atau PVC) b. Konfigurasi landas pacu c. Variasi pesawat (Aircraft Mix) d. Persentase kedatangan e. Persentase Touch and Go f. Lokasi dari landas hubung keluar/exit taxiway a. Lokasi persimpangan degan landas hubung b. Intensitas penggunaan landas pacu (Runway operation rate) c. Variasi pesawat pada landas pacu yang bersilangan a. Jumlah dan tipe gate pada tiap grup b. Gate mix c. Gate occupancy time Hasil dari perhitungan 1, 2 dan 3 di atas dipilih yang terendah 27

Komponen utama yang harus dihitung dan diketahui sebagai dasar menentukan kapasitas sisi udara adalah konfigurasi landasan pacu, panjang landasan pacu, dan jumlah dan letak landasan hubung keluar dari landasan pacu. Sebagai tambahan, kapasitas dari sistem sisi udara lebih lanjut dipengaruhi oleh karakteristik operasi seperti cuaca, variasi pesawat terbang yang beroperasi dan sistem pengendalian lalu lintas udara. Masing-masing komponen tersebut harus dianalisa sebagai bagian dari perhitungan kapasitas sisi udara. a. Konfigurasi Bandar Udara Faktor utama untuk menghitung kapasitas operasi suatu bandar udara adalah tata letak (layout) dan geometri dari landasan pacu serta landasan hubung bandar udara. Menurut FAA dalam Air Circular 150/5060-5 Airport Capacity and Delay ada sekitar 64 konfigurasi landasan pacu yang digunakan sebagai dasar penghitungan kapasitas landasan pacu. Masing-masing konfigurasi mempunyai kapasitas yang berbeda sehubungan dengan jarak pisah aman (separation) antar pesawat baik yang berangkat maupun mendarat. Dalam penghitungan kapasitas sisi udara terkait dengan konfigurasi bandar udara adalah exit factor atau faktor yang diakibatkan oleh jumlah landasan hubung dan jarak landasan hubung keluar dari awal pendaratan atau keberangkatan pesawat. Hal ini berpengaruh terhadap penghitungan kapasitas, jumlah landasan hubung keluar dari landasan pacu untuk pendaratan dan keluar dari landasan parkir untuk keberangkatan yang lebih banyak akan memperbesar kapasitas sisi udara, sedangkan jarak keluar yang sesuai dengan banyak landasan hubung keluar juga akan memperbesar kapasitas yang ada. 28

b. Cuaca Fenomena cuaca yang berpengaruh terhadap operasi penerbangan terutama di bandar udara adalah ceiling (tinggi dasar awan) dan visibility (jarak pandang). Terdapat 3 kategori untuk kondisi tersebut, yaitu: 1. Visual Flight Rules (VFR), tinggi dasar awan di atas 1000 kaki dan jarak pandang lebih dari 3 mil. 2. Instrument Flight Rules (IFR), tinggi dasar awan 670 sampai 1000 kaki dan atau jarak pandang 1 sampai 3 mil. 3. Poor Visibility Condition (PVC) atau kondisi cuaca di bawah minimum, dimana tinggi dasar awan di bawah 670 kaki dan atau jarak pandang kurang dari 1 mil. Kondisi cuaca di atas menyebabkan kapasitas yang berbeda akibat operasional pesawat yang terganggu, kapasitas pada kondisi IFR atau di bawah minimum akan jauh lebih sedikit dibandingkan dengan kondisi VFR. Perbedaan kondisi tersebut digunakan untuk menghitung kapasitas operasi bandar udara pada masing-masing kondisi cuaca. c. Mix Index Mix Index adalah fungsi matematis yang digunakan dalam penghitungan kapasitas bandar udara untuk mengetahui tingkat pengaruh pesawat terbang berbadan lebar terhadap sistem bandar udara. Hal ini terkait dengan perbedaan kecepatan pesawat terbang saat melakukan pendekatan (approach) sehingga waktu yang diperlukan berbeda untuk setiap kelas pesawat terbang, 29

selain itu adalah adanya pengaruh udara yang berputar di belakang mesin pesawat (wake turbulence) terutama apabila beroperasi di belakang pesawat terbang berbadan lebar sehingga harus ada jarak yang aman antar pesawat. Semakin besar perbedaan kelas pesawat terbang yang beroperasi, maka semakin besar jarak aman yang diperlukan dan berarti semakin sedikit kapasitas operasi yang dihasilkan. Untuk penghitungan kapasitas, maka pesawat terbang dikategorikan menjadi 4 kelas seperti dapat dilihat pada Tabel 2.7. Perhitungan Mix Index adalah persentase operasi dari pesawat terbang kelas C (pesawat terbang berbadan sedang) ditambah 3 kali persentase operasi pesawat terbang terbang kelas D (berbadan lebar), atau % (C+3D). Tabel 2.7. Klasifikasi Pesawat Terbang Kelas pesawat Maximum Take Off Weight (pounds) Jumlah mesin Kelas turbulen A Tunggal Kecil/Small(S).5 B Jamak Kecil/Small(S) C 12.500-300.000 Jamak Sedang/Large(L) D. Jamak Lebar/Heavy(H) d. Percent Arrivals Persentase kedatangan atau persentase pendaratan pesawat terbang adalah perbandingan antara jumlah pendaratan dengan seluruh operasi pesawat terbang, dengan perhitungan sebagai berikut. P i x Semakin besar persentase kedatangan maka akan semakin kecil kapasitas yang dihasilkan, hal ini dikarenakan prosedur kedatangan memerlukan waktu 30

yang lebih lama daripada prosedur keberangkatan atau lepas landas pesawat terbang terkait dengan separasi atau jarak pisah aman yang harus disediakan kepada pesawat terbang. e. Percent Touch & Go Persentase Touch and Go atau pesawat terbang yang melakukan latihan pendaratan dengan hanya menyentuh landasan tanpa berhenti adalah perbandingan antara jumlah Touch and Go dengan seluruh operasi pesawat terbang, dengan perhitungan sebagai berikut. T h x dengan, A = Jumlah kedatangan pesawat terbang dalam 1 jam DA = Jumlah keberangkatan pesawat terbang dalam 1 jam T&G = Jumlah Touch and Go dalam 1 jam Operasi Touch and Go memperkecil kapasitas sisi udara terutama komponen landasan pacu, hal ini disebabkan pesawat terbang yang akan mendarat dan lepas landas harus memiliki jarak pisah yang aman terhadap operasi Touch and Go yang berarti waktu tunggu yang lebih lama dan kapasitas yang semakin berkurang. 2.4. Clearance Time Clearance Time adalah waktu pemakaian pesawat terbang di runway hingga pesawat terbang mengosongkan runway dan dianggap aman bagi pesawat terbang berikutnya yang antri untuk melakukan take off dan landing di runway. 31

Takeoff-takeoff clearance time Takeoff-landing clearance time Landing-landing clearance time Landing-takeoff clearance time = 2 menit = 2 menit = CT menit = CT menit Catatan : CT take off 2 menit mengacu pada DOC 4444-RAC/501/12 ICAO, Untuk runway tunggal dengan posisi antrian saat take off berurutan pada satu garis lurus dan elevasi yang sama. CT dihitung dengan persamaan berikut (Horojeff & McKelvey, 1994) ot- td a td- e a t Dimana : CT = waktu pemakaian runway (dt) = kecepatan pesawat terbang saat melewati ujung runway (ft/dt) = kecepatan touchdown (ft/dt) = kecepatan keluar exit taxiway (ft/dt) = waktu membelokan dari runway setelah kecepatan keluar exit taxiway (dt) = perlambatan rata-rata di udara (ft/dt 2 ) = perlambatan rata-rata di darat (ft/dt 2 ) 3 = waktu yang dibutuhkan bagi roda depan pesawat terbang menyentuh runway (dt) 32

2.5. Metode Perhitungan Jam Puncak Diperlukannya metode ini adalah untuk mengetahui tinggkat pergerakan pesawat terbang pada kondisi peak hour dan juga sebagai dasar acuan kondisi paling maksimum pemakaian runway. Berdasarkan data existing jumlah rata-rata pergerakan harian di runway dalam 1 tahun dan jumlah pergerakan pesawat terbang di runway pada bulan puncak dalam satu tahun, dapat diketahui rasio jumlah pesawat terbang bulan puncak terhadap jumlah pergerakan pesawat terbang total satu tahun. Dapat dilihat pada persamaan berikut (Pignataro, 1973) : month month year Dimana : month = peak month ratio. month year = pergerakan total pesawat terbang di runway saat bulan puncak. = pergerakan total pesawat terbang di runway dalam 1 tahun. Rasio jumlah pergerakan pesawat terbang pada hari puncak terhadap jumlah pergerakan pesawat terbang bulan puncak. Dapat dilihat pada persamaan berikut (Pignataro, 1973) : day day month Dimana : day = peak day ratio. day = pergerakan total pesawat terbang di runway dalam 1 hari puncak. month = pergerakan total pesawat terbang di runway saat bulan puncak. 33

Rasio jumlah pergerakan pesawat terbang pada jam puncak terhadap jumlah pergerakan pesawat terbang hari puncak. Dapat dilihat pada persamaan berikut (Pignataro, 1973) : hour hour day Dimana : hour = peak hour ratio. hour = pergerakan total pesawat terbang di runway dalam satu jam puncak. day = pergerakan total pesawat terbang di runway saat hari puncak. 2.6. Metode Peramalan Lalu Lintas Udara Untuk melakukan peramalan lalu lintas udara terdapat beberapa metode yang dapat digunakan. Metode-metode yang digunakan yang ada ini cukup bervariasi mulai dari perkiraan yang sederhana hingga metode analisa matematis yang lebih rumit.. 2.6.1. Peramalan Kecenderungan (Trend Extrapolation) Ekstrapolasi didasarkan pada suatu pengukian pada hipótesis kegiatan dan menganggap bahwa faktor-faktor tersebut yang menentukan variasi lalu lintas pada masa lalu akan terus menunjukan hubungan-hubungan yang serupa pada masa depan. Prosedur ini menggunakan data tipe rangkaian wakru dan menganalisis pertumbuhan dan laju pertumbuhan yang dihubungkan dengan kegiatan penerbangan. 34

1. Linear Extrapolation (Ekstrapolasi Linear) Teknik ini digunakan untuk pola permintaan yang menunjukan suatu hubungan linear hitoris dengan perubahan waktu. 2. Exponential Extrapolation (Ekstrapolasi Eksponensial) Variabel yang tergantung pada yang lain memeperlihatkan suatau laju pertumbuhan yang konstan terhadap waktu, biasanya digunakan esktrapolasi eksponensial. 3. Logistic Curves (Kurva-Kurva Logistik) Dimana laju pertumbuhan tahunan rata-rata secara berangsur-angsur mulai berkurang sesuai dengan waktu, mak sebaiknya digunakan kurva logistik untuk menganalisis kecenderungan. 2.6.2. Pemodelan Ekonometrik (Econometric Modelling) Metode yang menghubungkan kegiatan penerbangan dengan faktor-faktor sosial ekonomi merupakan teknik yang sangat berguna dalam membuat peramalan masa mendatang. Metode yang digunakan pada Tugas akhir ini adalah regresi linear. Metode ini dapat digunakan untuk menggambarkan saat ini (existing) dan peramalan pertumbuhan lalu lintas udara yang akan datang. Metode ini juga dapat memodelkan hubungan antara 2 peubah atau lebih. Pada model ini terdapat peubah tidak bebas (y) yang menghubungkan fungsional 1 atau lebih peubah bebas (x i ). Dalam kasus ini yang paling sederhana, hubungan secara umum dapat dinyatakan dalam persamaan berikut (Tamin, 2000) : 35

Y = A + Bx Dimana : Y A B x = peubah tidak bebas = peubah bebas = intersep atau konstanta regresi = koefisien regresi Parameter A dan B dapat diperkirakan dengan menggunakan metode kuadrat terkecil yang meminimumkan selisih kuadrat total antara hasil pengamatan, nilai parameter A dan B bisa didapatkan dari persamaan berikut: i( i i ) i i i i i( i ) i i A = Y Bx Jumlah data dalam bilangan bulat positif,,.., Koefisien determinasi (R 2 ) didefinisikan sebagai nisbah antara variasi terdifinisi dengan variasi total persamaan berikut : i y i y i y i y Koefisien ini mempunyai batas limit sama dengan satu (perfect explanation) dan nol (zero explanation). Nilai antara kedua batas limit ini ditafsirkan sebagai persentase total variasi yang dijelaskan untuk analisa regresi linear. 36

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Data Primer Data data proposal tugas akhir ini diambil langsung pada Bandar Udara Internasional Juanda Surabaya yang meliputi frekuensi pergerakan pesawat terbang selama 1 hari, terutama pada jam sibuk (peak hour). 3.2. Data Sekunder Data data proposal tugas akhir ini dari PT. ANGKASA PURA I Bandar Udara Internasional Juanda Surabaya, meliputi : 1. Spesifikasi Bandar Udara Internasional Juanda Surabaya. 2. Jadwal Penerbangan. 3. Data Angin 4. Jenis dan Tipe Pesawat Rencana. 5. Pergerakan Pesawat Terbang Selama 5 Tahun Terakhir. 3.3. Metode Perencanaan Metodologi yang digunakan pada proposal tugas akhir ini adalah sebagai berikut : 1. Studi kasus untuk mendapatkan data primer yang meliputi frekuensi pergerakan pesawat terbang selama 1 hari, terutama pada jam sibuk (peak hour). 37

2. Mencari data data sekunder yang meliputi : spesifikasi Bandar Udara Internasional Juanda Surabaya, jadwal penerbangan, data angin, jenis dan tipe pesawat terbang rencana dan pergerakan pesawat terbang selama 5 tahun terakhir. 3. Menentukan metode dan peraturan yang meliputi : 1. Perhitungan dimensi runway ideal terhadap pesawat terbang rencana berdasarkan perumusan sebagai berikut : a. Keadaan pendaratan FL = FS = LD LD = b. Keadaan lepas landas normal FL = FS + CL CL = 0.5[TOD 1.15(LOD)] TOD = 1.15(D 35 ) FS = TOR TOR = TOD - CL c. Keadaan lepas landas dengan kegagalan mesin 1. Ditunda/dibatalkan FL = FS + SW FL = ASD d. Tetap lepas landas FL = FS + CL CL = 0.50(TOD - LOD) TOD = D 35 38

FS = TOR TOR = TOD CL Keterangan: FL : Panjang lapangan (Field Length), m FS : Panjang perkerasan kekuatan penuh (Full Strength), m CW : Daerah bebas (Clearway), m TOD : Jarak lepas landas (Take Off Distance), m LOD : Jarak pengangkatan (Lift Off Distance), m D35 : Jarak pada ketinggian 35 ft, m TOR : Jarak pacuan lepas landas (Take Off Run), m ASD : Jarak percepatan berhenti (Accelerate Stop Distance), m LD : Jarak pendaratan (Landing Distance), m SD : Jarak pemberhentian (Stop Distance), m 2. Perhitungan peramalan lalu lintas udara berdasarkan perumusan sebagai berikut : Y = A + Bx Dimana : Y = peubah tidak bebas A = peubah bebas B = intersep atau konstanta regresi x = koefisien regresi Parameter A dan B dapat diperkirakan dengan menggunakan metode kuadrat terkecil yang meminimumkan selisih kuadrat total antara hasil 39

pengamatan, nilai parameter A dan B bisa didapatkan dari persamaan berikut: i( i i ) i i i i i( i ) i i A = Y Bx Jumlah data dalam bilangan bulat positif,,.., Koefisien determinasi (R 2 ) didefinisikan sebagai nisbah antara variasi terdifinisi dengan variasi total persamaan berikut : i y i y i y i y 3. Perhitungan pada jam puncak (peak hour) berdasarkan perumusan sebagai berikut : month month year Dimana : month = peak month ratio. month = pergerakan total pesawat terbang di runway saat bulan puncak. year = pergerakan total pesawat terbang di runway dalam 1 tahun. day day month Dimana : day = peak day ratio. day = pergerakan total pesawat terbang di runway dalam 1 hari puncak. month = pergerakan total pesawat terbang di runway saat bulan puncak. 40

hour hour day Dimana : hour= peak hour ratio. hour= pergerakan total pesawat terbang di runway dalam 1 jam puncak. day= pergerakan total pesawat terbang di runway saat hari puncak. 4. Perhitungan kapasitas dan delay berdasarkan perumusan sebagai berikut : a Dimana : a a a ) a a ) a = penundaan rata-rata terhadap pesawat yang datang, satuan waktu. a = tingkat kedatangan rata-rata, pesawat terbang per satuan waktu. a =.tingkat pelayanan rata-rata untuk kedatangan, pesawat terbang per satuan waktu, atau kebalikan dari waktu pelayanan rata-rata. a = simpangan baku waktu pelayanan rata-rata dari pesawat terbang yang datang. d Dimana : d d d ) d d ) d = penundaan rata-rata terhadap pesawat yang berangkat, satuan waktu. d = tingkat keberangkatan rata-rata, pesawat terbang per satuan waktu. 41

d = tingkat pelayanan rata-rata untuk keberangkatan, pesawat terbang per satuan waktu, atau kebalikan dari waktu pelayanan rata-rata. d = simpangan baku waktu pelayanan rata-rata dari pesawat terbang yang ( x to) ( x (( x ta) ( x tb) ( x tc) ( x td) ( x te))) Dimana : N = Jumlah pergerakan maksimum dalam 1 jam % T = % Take-off % L = % Landing % A = % Pesawat terbang landing kategori A % B = % Pesawat terbang landing kategori B % C = % Pesawat terbang landing kategori C % D = % Pesawat terbang landing kategori D % E = % Pesawat terbang landing kategori E CTto = Clearance time pesawat terbang takeoff CTta = Clearance time pesawat terbang kategori A CTtb = Clearance time pesawat terbang kategori B CTtc = Clearance time pesawat terbang kategori C CTtd = Clearance time pesawat terbang kategori D CTte = Clearance time pesawat terbang kategori E 4. Mengerjakan proposal tugas akhir. 5. Menuangkan pada bentuk gambar (dimensi runway ideal) dan data teknis (perhitungan/peramalan lalu lintas udara). 42

3.4. Bagan Alir Perencanaan Mulai Identifikasi Permasalahan : Pergerakan pesawat terbang yang mengalami peningkatan 5% - 10% tiap tahunnya dan kemampuan runway untuk melayani pesawat terbang rencana Airbus A 380-800. Studi Literatur Pengumpulan Data Data Primer : frekuensi pergerakan pesawat selama 1 hari, terutama pada jam sibuk (peak hours). Data Sekunder : 1. Spesifikasi Bandara Juanda. 2. Jadwal Penerbangan. 3. Data Angin. 4. Jenis dan Tipe Pesawat Rencana. 5. Pergerakan Pesawat Selama 5 Tahun Terakhir. Analisa Data A 43

A 1. Perhitungan dimensi runway ideal terhadap pesawat rencana. 2. Perhitungan peramalan lalu lintas udara (Regresi Linear). 3. Perhitungan pada jam puncak (peak hour) 4. Perhitungan kapasitas dan delay Usulan Konfigurasi dan Perubahan Dimensi Runway Apakah Studi Kapasitas Landasan Pacu (Runway) Sudah Optimal? 1. < 10 % berat pesawat diatas 125.000 pon pergerakan pesawat per tahunnya 90.000 150.000 dan > 90% berat pesawat diatas 125.000 pon pergerakan pesawat per tahunnya 80.000 140.000. 2. Runway existing bisa menampung pesawat rencana Airbus 380-800. TIDAK YA Gambar Layout Runway dan Data Teknis Kesimpulan dan Saran Selesai Gambar 3.1. Bagan Alir Perencanaan 44

BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISA DATA 4.1. Perencanaan Runway Dalam evaluasi kinerja runway pada Bandar Udara Internasional Juanda Surabaya dibutuhkan beberapa data, antara lain spesifikasi pesawat terbang rencana, data meteorologi dan geofisika dan beberapa data penunjang lainnya. 4.2. Konfigurasi dan Kapasitas Runway Konfigurasi arah dan kapasitas runway dapat direncanakan berdasarkan datadata sekunder yang ada. Konfigurasi single runway merupakan acuan perencanaan yang ideal. Sedangkan untuk arah runway direncanakan berdasarkan data angin dari Badan Meteorologi dan Geofisika Juanda Surabaya. Data angin yang tercatat dalam 3 tahun terakhir tersebut menunjukkan angin dominan dan kecepatan angin. 4.3. Perhitungan Panjang Runway Untuk kebutuhan panjang landasan dalam perencanaan lapangan terbang diatur oleh (Federal Aviation Administration) FAA. AC 150/5324-4 atau ICAO, Aerodrome Manual DOC 7920-AN/865 part 1 Aircraft Characteristic untuk menghitung panjang landasan bagi rute-rute tertentu, untuk berbagai macam pesawat terbang dan Airplane Characteristics Airbus 380. Pada perhitungan panjang runway menggunakan pesawat terbang rencana Airbus 380-800 dengan mesin TRENT 900 Engines, serta data angin yang berasal 45

dari Badan Meteorologi dan Geofisika Juanda Surabaya sebagai pedoman seperti pada Tabel 4.1. dan Tabel 4.2. berikut ini : Tabel 4.1. Spesifikasi Pesawat Terbang Rencana Airbus 380-800 Measurement A380-800 A380-800F Cockpit Crew Two 525 (3-Class) Seating Capacity 624 (2-Class) 853 (1-Class) 12 Couriers Length Overall 72.73 m (238. 6 ft) Wingspan 79.75 m (261. 6 ft) Height 24.45 m (80. 2 ft) Wheel Base 33.58 m (110. 2 ft) Wing Landing Gear 36.85 m (120.9 ft) Body Landing Gear Wheel Track 12.46 m (40.9 ft) Outside Fuselage Width 7.14 m (23.4 ft) Outside Fuselage Width Height 8.41 m (27.6 ft) Maximum Cabin Widht 6.58 m (21.6 ft) Main Deck 5.92 m (19.4 ft) Upper Deck (Floor Level) Cabin Length 49.9 m (164 ft) Main Deck 44.93 m (147.4 ft) Upper Deck Wing Area 845 m 2 (9.100 sq ft) Aspect Ratio 7.5 Wing sweep 33.5 Maximum Taxi/Ramp Weight 571.000 kg 592.000 kg (1.260.000 lb) (1.310.000 lb) Maximum Take off Weight 569.000 kg 590.000 kg (1.250.000 lb) (1.300.000 lb) Maximum Landing Weight 391.000 kg 427.000 kg (860.000 lb) (940.000 lb) Maximum Zero Full Weight 366.000 kg 402.000 kg (810.000 lb) (890.000 lb) Typical Operating Empty 276.800 kg 252.200 kg Weight (610.000 lb) (566.000 lb) Maximum Structural Payload 89.200 kg 149.800 kg (197.000 lb) (330.000 lb) Maximum Cargo Volume 176 m 3 1.134 m 3 ( 6.200 cu ft) ( 40.000 cu ft) Maximum Operating Speed at cruise altitude Mach 0.89 (945 km/h, 589 mph, 510 knots) Maximum Design Speed Mach 0.96 (at cruise altitude) in dive at cruise altitude (1020 km/h, 634 mph, 551 knots) Take off Run at MTOW/SL ISA 2.750 m 2.900 m ( 9.020 ft) ( 9.500 ft) Range at Design Load 15.400 km 10.400 km (8.300 nmi, 9.500 mi) (5.600 nmi, 6.400 mi) Service Ceiling 13.115 m (43.028 ft) 310.000 L Maximum Fuel Capacity 320.000 L (81.893 US gal) (84.600 US gal) 320.000 L (84.600 US gal)option Engines (4 x) GP7270 (A380-861) GP7277 (A380-863F) Trent 970/B (A380-841) Trent 977/B (A380-843F) Trent 927/B (A380-842) Thrust (4 x) 310 kn (70.000 lbf) GP 7270 340 kn (76.000 lbf) GP7277 310 kn (70.000 lbf) Trent 970/B 340 kn (76.000 lbf) Trent 977/B 320 kn (72.000 lbf) Trent 972/B Sumber : Airplane Characteristics Airbus 380. 46

Tabel 4.2. Data Angin di Bandar Udara Juanda Internasional Surabaya TAHUN 2009 2010 URAIAN BULAN JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGS SEP OKT NOV DES Suhu Rata-rata ( 0 C) 27,0 26,4 27,9 27,6 27,7 27,5 26,7 26,7 28,3 29,1 28,6 29,1 Suhu Maksimum ( 0 C) 34,0 34,4 34,2 34,2 33,2 32,1 33,1 32,6 34,4 35,0 35,2 35,4 Suhu Minimum ( 0 C) 22,8 22.6 22,6 23,2 22,2 22,2 20,1 20,6 21,7 23,4 22,5 23,8 Kec. Rata-rata 8,1 7,3 5,0 5,2 5,1 6,3 6,0 6,6 7,1 7,8 8,0 6,3 Arah Rata-rata W W E E E E E E E E E NE Kec. Maksimum 30 29 28 25 17 15 16 18 17 20 22 16 Arah Rata-rata 130 300 160 50 10 90 110 90 90 80 260 90 Suhu Rata-rata ( 0 C) 27,3 27,7 28,2 27,7 28,4 28,0 27,9 27,9 27,2 28,4 27,8 27,3 Suhu Maksimum ( 0 C) 34,8 33,8 34,5 33,8 33,2 33,4 33,4 33,4 34,3 34,4 34,8 33,4 Suhu Minimum ( 0 C) 22,4 14,8 22,8 23,2 21,2 23,2 21,3 21,3 23,8 22,8 23,4 22,2 Kec. Rata-rata 8,0 6,7 6,0 5,9 6,3 7,0 6,0 6,5 6,6 6,3 6,0 7,2 Arah Rata-rata W W NE E E E E E E E E W Kec. Maksimum 22 18 17 17 19 17 16 15 18 19 15 38 Arah Rata-rata 280 50 360 330 90 100 70 100 90 90 100 320 2011 Suhu Rata-rata ( 0 C) 27,0 27,0 27,1 27,4 27,7 26,8 26,6 26,3 26,3 29,0 28,6 27,8 Suhu Maksimum ( 0 C) 33,3 33,6 33,7 32,6 32,6 32,6 31,8 32,4 33,4 34,8 34,6 34,2 Suhu Minimum ( 0 C) 23,0 23,0 23,0 23,5 23,5 20,4 20,6 20,0 21,7 22,6 23,5 22,9 Kec. Rata-rata 8,9 8,3 7,0 7,0 6,0 7,0 7,0 7,1 7,3 7,6 7,0 6,4 Arah Rata-rata W W W E E E E E E E E W Kec. Maksimum 29 24 17 15 15 15 18 15 15 16 17 22 Arah Rata-rata 290 360 360 100 100 100 100 90 90 100 200 200 Sumber : PT (Persero) Angkasa Pura I Juanda Surabaya. 47

Data angin yang tercatat pada Tabel 4.2. dibutuhkan dalam penentuan distribusi arah angin dan kecepatan angin yang terjadi di lokasi. Hasil perhitungan kecepatan angin ditampilkan pada Tabel 4.3. berikut ini : Tabel 4.3. Persentase Analisa Kecepatan Angin Kecepatan Angin Arah Angin (%) Keterangan (Knot) U TL T TG S BD B BL Jumlah 0 5 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 6 10 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 11 15 0.00 0.00 22.22 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 22.22 16 20 0.00 5.56 38.89 0.00 0.00 0.00 5.56 0.00 50.00 > 21 0.00 0.00 8.333 0.00 0.00 0.00 19.44 0.00 27.78 Jumlah 0.00 5.56 69.44 0.00 0.00 0.00 25.00 0.00 100.00 Sumber : PT (Persero) Angkasa Pura I Juanda Surabaya. Setelah didapatkan hasil persentase analisa kecepatan angin di Bandar Udara Internasional Juanda Surabaya. Perhitungan untuk menentukan arah dominan (prevailing wind) pada runway dengan bantuan Tabel 4.4. berikut ini : Tabel 4.4. Persentase Sudut Azimut No Calm Sudut Azimut 1 NE : Timur Laut 25 0-69 0 2 E : Timur 70 0-114 0 3 SE : Tenggara 115 0-159 0 4 S : Selatan 160 0-204 0 5 SW : Barat Daya 205 0-249 0 6 W : Barat 250 0-294 0 7 NW : Barat Laut 295 0-339 0 8 N : Utara 340 0-024 0 Sumber : PT (Persero) Angkasa Pura I Juanda Surabaya. 48

Perhitungan untuk menentukan arah dominan (prevailing wind) pada runway dibagi menjadi empat alternatif berorientasi pada sudut azimut, seperti berikut : 1. Alternatif I (Berorientasi pada sudut Azimut 70 0-294 0 /E - W) (0-5) Knot = 0.00 % (6-10) Knot = 0.00 % (11-15) Knot = 22.22 % (16-20) Knot = 33.33 % (> 21) Knot =16.67 % Total = 72.22 % 2. Alternatif II (Berorientasi pada sudut Azimut 160 0-024 0 /S - N) (0-5) Knot = 0.00 % (6-10) Knot = 0.00 % (11-15) Knot = 2.78 % (16-20) Knot = 0.00 % (> 21) Knot = 13.89 % Total = 16.67 % 3. Alternatif III (Berorientasi pada sudut Azimut 25 0-159 0 /NE - SE) (0-5) Knot = 0.00 % (6-10) Knot =0.00 % (11-15) Knot = 0.00 % (16-20) Knot = 2.78 % (> 21) Knot = 0.00 % Total = 2.78 % 49

4. Alternatif IV (Berorientasi pada sudut Azimut 205 0-339 0 /SW - NW) (0-5) Knot = 0.00 % (6-10) Knot = 0.00 % (16-15) Knot = 0.00 % (> 21) Knot = 0.00 % Total = 0.00 % e rnyata dari keempat alternatif, terdapat percentage of wind terbesar pada Alternatif I (Berorientasi pada sudut Azimut 70 0-294 0 /E - W) dengan total persentase 72.22 % Berdasarkan percentage of wind, persentase angin yang berkaitan dengan arah dan kecepatan dengan berbagai sektor. Dengan percentage of wind diberi tanda asiran, yang seperti ditampilkan pada Gambar 4.1. berikut ini : Gambar 4.1. Wind Rose di Bandar Udara Internasional Juanda Surabaya 50

Perhitungan untuk menentukan suhu rata-rata pada Bandar Udara Internasional Juanda Surabaya, berdasarkan Tabel 4.2. Data Angin di Bandar Udara Juanda Internasional Surabaya adalah sebagai berikut : 1. Suhu rata-rata perbulan pada tahun 2009,,,,,,5,,,,,,, 2. Suhu rata-rata perbulan pada tahun 2010,,,,,,,,,,,,, 3. Suhu rata-rata perbulan pada tahun 2011,,,,,,,,,,,,, 4. Suhu rata-rata selama 3 tahun terakhir,,,, Berdasarkan perhitungan suhu rata-rata selama 3 tahun terakhir, yakni sebesar 27,6 0 C dan elevasi landasan pacu eksisting pada Bandar Udara Internasional Juanda Surabaya sebesar 9 feet atau 2,743 m (PT. Angkasa Pura Juanda Surabaya). Digunakan untuk perhitungan koreksi landasan pacu rencana Mengacu kepada perhitungan analisa arah, kecepatan angin dan elevasi landasan pacu, maka untuk perhitungan panjang runway adalah sebagai berikut : a. Keadaan Lepas Landas Pada keadaan lepas landas dibutuhkan berat maksimum lepas landas yang direncanakan, yang diperoleh dari total berat yang berpengaruh pada pesawat terbang rencana. Komponen berat pesawat terbang rencana menggunakan Airbus 380-800. 51

Direncanakan : 6. Pesawat terbang rencana Airbus 380-800 rute penerbangan maksimal sejauh 15.400 km 7. Pesawat terbang rencana Airbus 380-800 mempunyai Maximum Take-off Weight sebesar 1.250.000 lbs 8. Panjang landasan pacu untuk lepas landas Berdasarkan Lampiran 1 tentang Airplane Characteristics Airbus 380 FIGURE 3-3-1-991-001-A01 (Takeoff Weight Limitation), pada temperatur 27,8 0 C (ISA Conditions) dan ketinggian lapangan terbang 9 feet, maka panjang landasan pacu pada keadaan lepas landas adalah 9632 feet (2919 m). b. Keadaan Pendaratan Angka yang diberikan pada tabel panjang landasan pacu untuk kemampuan pesawat terbang mendarat didasarkan kepada kecepatan angin nol (tidak ada angin bertiup) landasan basah, sehingga tidak perlu penyesuaian panjang landasan pacu Berdasarkan Lampiran 2 tentang Airplane Characteristics Airbus 380 FIGURE 3-4-1-991-001-A01 (Landing Field Length), ketinggian lapangan terbang 9 feet serta Maximum Landing Weight 860.000 lbs, maka panjang landasan pacu pada keadaan pendaratan adalah 6300 feet (1920 m). c. Operasional Pesawat Terbang Normal : 1. Untuk Operasional Lepas Landas : Take-off Distance = 1,15 x panjang landasan pacu rencana A 380-800 = 1,15 x 2.919 m = 3.356,6 m = 11.076.8 ft 52