VII. PEMBAHASAN UMUM

dokumen-dokumen yang mirip
melakukan inokulasi langsung pada buah pepaya selanjutnya mengamati karakter yang berhubungan dengan ketahanan, diantaranya masa inkubasi, diameter

PARAMETER GENETIK (Ragam, Heritabilitas, dan korelasi) Arya Widura R., SP., MSi PS. Agroekoteknologi Universitas Trilogi

I. PENDAHULUAN. Kedelai ( Glycine max (L.) Merrill) merupakan salah satu tanaman penghasil

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum

TINJAUAN PUSTAKA Morfologi Tanaman Cabai

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Morfologi dan Agroekologi Tanaman Kacang Panjang. Kacang panjang merupakan tanaman sayuran polong yang hasilnya dipanen

I. PENDAHULUAN. padi karena banyak dibutuhkan untuk bahan pangan, pakan ternak, dan industri.

I. PENDAHULUAN. Kedelai merupakan sumber protein penting di Indonesia. Kesadaran masyarakat

TINJAUAN PUSTAKA Botani Cabai

Pewarisan Ketahanan Cabai (Capsicum annuum L.) terhadap Antraknosa yang Disebabkan oleh Colletotrichum acutatum

PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Permintaan akan tanaman hias di Indonesia semakin berkembang sejalan

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

Pendugaan Parameter Genetika Ketahanan Tanaman Cabai terhadap Penyakit Antraknosa

I. PENDAHULUAN. Pemuliaan tanaman adalah suatu metode yang secara sistematik merakit

( 2 ) untuk derajat kecocokan nisbah segregasi pada setiap generasi silang balik dan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (2007), benih padi hibrida secara

I. PENDAHULUAN. Produksi tanaman tidak dapat dipisahkan dari program pemuliaan tanaman.

II. TINJAUAN PUSTAKA. ujung (tassel) pada batang utama dan bunga betina tumbuh terpisah sebagai

PENDUGAAN PARAMETER GENETIK VIGOR BENIH CABAI (Capsicum annuum L.) MENGGUNAKAN ANALISIS SILANG HALF DIALEL

TINJAUAN PUSTAKA. Pemuliaan Jagung Hibrida

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedelai merupakan tanaman pangan berupa semak yang tumbuh tegak, berasal

I. PENDAHULUAN. Jagung manis (Zea mays saccharata [Sturt.] Bailey) merupakan salah satu

karakter yang akan diperbaiki. Efektivitas suatu karakter untuk dijadikan karakter seleksi tidak langsung ditunjukkan oleh nilai respon terkorelasi

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L]. Merrill) merupakan salah satu komoditas pangan

Rerata. Variance = Ragam. Varian/ragam (S 2 ) : Standar Deviasi : s = s 2

TINJAUAN PUSTAKA. Kedelai (Glycine max [L.] Merrill) berasal dari daratan Cina, yang kemudian

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kacang panjang diklasifikasikan sebagai berikut :

Topik 3 Analisis Genetik Hk. Mendel

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max L. Merrill) merupakan tanaman pangan yang sangat dibutuhkan

TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Cabai

I. PENDAHULUAN. Produksi kedelai di Indonesia pada tahun 2009 mencapai ton. Namun,

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine Max [L.] Merrill) merupakan tanaman pangan yang memiliki

II. TINJAUAN PUSTAKA. Secara morfologi tanaman jagung manis merupakan tanaman berumah satu

Penelitian III: Seleksi dan Uji Daya Gabung Galur-Galur Hasil Introgresi Gen Resesif Mutan o2 untuk Karakter Ketahanan terhadap Penyakit Bulai

I. PENDAHULUAN. Indonesia sebagai sumber utama protein nabati. Kontribusi kedelai sangat

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Analisis Kuadrat Nilai Tengah Gabungan untuk Variabel Vegetatif dan Generatif

menunjukkan karakter tersebut dikendalikan aksi gen dominan sempurna dan jika hp < -1 atau hp > 1 menunjukkan karakter tersebut dikendalikan aksi gen

TINJAUAN PUSTAKA Sejarah Tanaman Cabai Botani Tanaman Cabai

1. PENDAHULUAN. Kedelai merupakan tanaman asli daratan Cina dan telah dibudidayakan sejak 2500

ANALISIS GENETIK DAN STUDI PEWARISAN SIFAT KETAHANAN CABAI (Capsicum annuum L.) TERHADAP ANTRAKNOSA YANG DISEBABKAN OLEH Colletotrichum acutatum

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kedelai (Glycine max [L.] Merrill) merupakan salah satu tanaman

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedelai telah dibudidayakan sejak abad ke-17 dan telah ditanam di berbagai daerah di

Pendugaan Parameter Genetik pada Beberapa Karakter Kuantitatif pada Persilangan antara Cabai Besar dengan Cabai Keriting (Capsicum annuum L.

Pewarisan Sifat Beberapa Karakter Kualitatif dan Kuantitatif pada Hipokotil dan Kotiledon Cabai (Capsicum annuum L.)

Berdasarkan hasil analisis korelasi, huhungan antara karakter hortikultura dengan ketahanan terhadap CMV dan ketahanan terhadap ChiVMV bersifat

sehingga diharapkan dapat menghasilkan keturunan yang memiliki toleransi yang lebih baik dibandingkan tetua toleran (segregan transgresif).

Penelitian I: Pendugaan Ragam dan Model Genetik Karakter Ketahanan terhadap Penyakit Bulai pada Jagung Pendahuluan

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max (L.) Merrill) merupakan salah satu komoditi pangan utama

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kedelai merupakan komoditas tanaman menjadi sumber protein nabati dan

BAHAN DAN METODE. Galur Cabai Besar. Pembentukan Populasi F1, F1R, F2, BCP1 dan BCP2 (Hibridisasi / Persilangan Biparental) Analisis Data

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L.] Merrill) merupakan salah satu komoditas pangan

I. PENDAHULUAN. Kacang panjang (Vigna sinensis L.) merupakan tanaman semusim yang menjalar

TINJAUAN PUSTAKA. Jagung (Zea mays L) adalah anggota keluarga Graminae, ordo Maydeae, genus Zea (Fischer

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max (L.) Merrill) merupakan salah satu komoditas pangan

TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Lahan Kering Masam

Pendugaan Parameter Genetik Populasi Cabai (Capsicum annuum L.) Melalui Pengujian F1 Hasil Persilangan Secara Diallel ABSTRACT

Tanaman Penyerbuk Silang CROSS POLLINATED CROPS METODE PEMULIAAN TANAMAN

I. PENDAHULUAN. Padi (Oryza sativa L.) merupakan makanan pokok bagi sebagian besar penduduk

Pendugaan Parameter Genetik Karakter Umur Panen dan Bobot Per Buah pada Persilangan Cabai Besar dan Cabai Rawit (Capsicum annuum L.

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan sentra pertanaman kacang panjang yang mempunyai

DAYA WARIS DAN HARAPAN KEMAJUAN SELEKSI KARAKTER AGRONOMI KEDELAI GENERASI F 2

LABORATORIUM PEMULIAAN DAN BIOMETRIKA FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS PADJADAJARAN JATINANGOR 2009

terkandung di dalam plasma nutfah padi dapat dimanfaatkan untuk merakit genotipe padi baru yang memiliki sifat unggul, dapat beradaptasi serta tumbuh

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum

Deskripsi Mata KuliahCourse Subjects

TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Cabai

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L.] Merrill) merupakan salah satu tanaman sumber protein

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Dasar Selular Reproduksi dan Pewarisan Sifat

II. TINJAUAN PUSTAKA. maupun seleksi tidak langsung melalui karakter sekunder. Salah satu syarat

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedelai merupakan tanaman pangan berupa semak yang tumbuh tegak. Kedelai

I. PENDAHULUAN. meningkat. Sementara lahan pertanian khususnya lahan sawah, yang luas

TINJAUAN PUSTAKA Pemuliaan Jagung Hibrida

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara, Jl. AH. Nasution No. 1B, Medan 20143

Pewarisan Sifat Beberapa Karakter Kualitatif pada Tiga Kelompok Cabai

1. TAHAP-TAHAP PEMULIAAN TANAMAN: KONSEP LOKO DAN GERBONG

TINJAUAN PUSTAKA. Kedelai telah dibudidayakan sejak abad ke-17 dan telah ditanam di berbagai

I. PENDAHULUAN. Tanaman jagung manis (Zea mays saccharata Sturt.) merupakan jagung yang

HASIL DAN PEMBAHASAN

Lampiran 1. Hasil analisis ragam dan analisis regressi metode deteriorasi alami dan metode pengusangan cepat metanol

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Salah satu upaya yang dapat ditempuh untuk meningkatkan

PENDUGAAN NILAI DAYA GABUNG DAN HETEROSIS KETAHANAN TANAMAN CABAI (Capsicum annuum) TERHADAP ANTRAKNOSA

Pendahuluan. Pendahuluan. Mutasi Gen. GENETIKA DASAR Mutasi Gen

BAB 1. PENDAHULUAN. kemakmuran rakyat. Paradigma ini makin menyadarkan para. pemangku kepentingan bahwa produk hasil hutan bukan kayu (HHBK)

I. PENDAHULUAN. Ketahanan pangan merupakan salah satu prioritas utama dalam pembangunan

BAB VII PEMBAHASAN UMUM

BAB IV ANALISIS GENETIK ADAPTASI KEDELAI TERHADAP INTENSITAS CAHAYA RENDAH BERDASARKAN KARAKTER MORFO-FISIOLOGI DAUN

gabah bernas. Ketinggian tempat berkorelasi negatif dengan karakter jumlah gabah bernas. Karakter panjang daun bendera sangat dipengaruhi oleh

TINJAUAN PUSTAKA Pemuliaan Tanaman Padi

TINJAUAN PUSTAKA. dunia dengan hidup yang sangat beragam dari yang terkecil antara 9 sampai 13 kg

Suhardi, S.Pt.,MP MONOHIBRID

ANALISIS GENETIK DAN STUDI PEWARISAN SIFAT KETAHANAN CABAI (Capsicum annuum L.) TERHADAP ANTRAKNOSA YANG DISEBABKAN OLEH Colletotrichum acutatum

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang berbeda untuk menggabungkan sifat-sifat unggul dari keduanya. Hasil

LAPORAN PRAKTIKUM GENETIKA ACARA 2 SIMULASI HUKUM MENDEL NAMA : HEPSIE O. S. NAUK NIM : KELOMPOK : III ( TIGA )

I. PENDAHULUAN. Cabai merah (Capsicum annuum L.) merupakan komoditas sayuran yang banyak

I. PENDAHULUAN. digunakan untuk pangan pokok saja, tetapi juga diolah menjadi berbagai produk

ISTILAH-ISTILAH DALAM PEMULIAAN OLEH ADI RINALDI FIRMAN

PENDUGAAN KOMPONEN GENETIK, DAYA GABUNG, DAN SEGREGASI BIJI PADA JAGUNG MANIS KUNING KISUT

Transkripsi:

VII. PEMBAHASAN UMUM Ketahanan terhadap penyakit antraknosa yang disebabkan oleh Colletotrichum acutatum dilaporkan terdapat pada berbagai spesies cabai diantaranya Capsicum baccatum (AVRDC 1999; Yoon et al. 2006) dan C. chinense (AVRCD 1999; AVRDC 2003). Walaupun demikian, pemindahan gen ketahanan dari spesies C. baccatum dan C. chinense ke C. annuum tidak mudah (Greenleaf 1986) dan sifat yang tidak diinginkan dari spesies tersebut sulit untuk dihilangkan. Oleh karena itu eksplorasi C. annuum yang mengandung gen ketahanan terhadap antraknosa terus dilakukan. AVRDC (2003) melaporkan bahwa tiga genotipe dari C. annuum diidentifikasi tahan terhadap antraknosa yang disebabkan oleh C. acutatum. Tiga genotipe tersebut adalah PBC 1430 asal Mexico, PBC 1439 asal USA dan PBC 1478 asal Australia, disamping satu genotipe (PBC 880 asal Mexico) dari spesies C. baccatum. Penelitian ini menggunakan spesies cabai C. annuum L. Hasil penelitian menunjukkan bahwa satu genotipe yaitu C-15 tahan terhadap antraknosa yang disebabkan oleh C. acutatum. C-15 merupakan genotipe introduksi dari AVRDC dengan kode 0209-4 yang diidentifikasi tahan terhadap penyakit antraknosa yang disebabkan oleh C. acutatum. Menurut Gniffke (2004), 0209-4 merupakan BC 3 F 6 persilangan antara spesies C. annuum (Susan s Joy) dengan C. chinense (PBC 932). Dalam penelitian ini, C-15 digunakan untuk studi pewarisan ketahanan terhadap penyakit antraknosa sebagai genotipe tahan. Ketahanan terhadap penyakit antraknosa yang disebabkan oleh C. acutatum dikendalikan oleh banyak gen resesif dengan aksi gen resesif parsial (Syukur et al. 2007). Ini tidak sesuai dengan hasil penelitian Yoon et al. (2006), yang melaporkan bahwa ketahanan terhadap antraknosa yang disebabkan oleh C. acutatum pada persilangan interspesifik C. annuum (Habreno) dengan C. baccatum (PBC 81) dikendalikan oleh gen mayor dominan. Kim (2006) melaporkan bahwa ketahanan terhadap antraknosa yang disebabkan oleh C. acutatum pada persilangan interspesifik C. annuum dengan C. baccatum (persilangan HN 11 x AR) dikendalikan oleh gen

113 mayor resesif (gen sederhana resesif), sementara pada persilangan interspesifik C. annuum dengan C. baccatum lainnya (persilangan Golden-aji x PI 594137 ) dikendalikan oleh gen mayor dominan (gen sederhana dominan). Hasil ini mengindikasikan bahwa tetua yang membawa gen yang berbeda memberikan respon yang berbeda terhadap ketahanan antraknosa yang disebabkan oleh C. acutatum. Studi pewarisan sifat ketahanan pada cabai hasil persilangan interspesifik terhadap penyakit antraknosa yang disebabkan oleh berbagai spesies telah dilaporkan (selain yang dilaporkan Yoon et al. (2006)). Ketahanan terhadap penyakit antraknosa yang disebabkan oleh C. gloesporioides pada persilangan interspesifik antara C. annuum dengan C. frustescens adalah dikendalikan oleh satu gen dengan aksi gen resesif (Amilin et al. 1995). Ketahanan terhadap antraknosa yang disebabkan oleh C. gloeosporioides pada persilangan cabai interspesifik C. annuum (Jatilaba) dengan C. chinense (CC-27) dikendalikan oleh banyak gen dengan aksi gen dominan tidak sempurna (Wusani 2004). Pakdeevaraporn (2005) melaporkan bahwa ketahanan terhadap antraknosa yang disebabkan oleh C. capsici pada persilangan cabai interspesifik C. annuum (Bangchang) dengan C. chinense (PBC 932) dikendalikan oleh satu gen resesif dengan pola 1:3 (pada F2, 1 untuk tahan; 3 untuk rentan). Studi pewarisan menggunakan spesies yang berbeda mempunyai beberapa kelemahan diantaranya adalah perbedaan spesies memberikan perbedaan struktur dan morfologi kromosom. Kondisi tersebut akan menghambat terjadinya homologi kromosom kedua tetua. Perbedaan genom pada persilangan interspesifik antara Capsicum annuum x C. baccatum menyebabkan ketidaknormalan dalam perpasangan pada waktu meiosis, sehingga muncul jembatan dan lagging (Gambar 25). Perbedaan ukuran yang sangat nyata antara O. sativa dengan O. australiensis akan mengurangi peluang terbentuknya embrio hibrid (Nezu et al. 1960; Li et al. 1963; Amalliyah 1999). Kromosom O. australiensis berukuran jauh lebih besar (2-4 kali) dari kromosom O. sativa sehingga ketidakserasian kedua spesies untuk menyilang semakin tinggi. Ketidaknormalan kromosom berpasangan pada saat meiosis menyebabkan pendugaan kendali genetik suatu karakter akan menjadi bias.

114 A B C D Gambar 25. Perilaku Kromosom Meiosis pada Persilangan Interspesifik Capsicum annuum x C. baccatum. (A) Metafase I Normal, (B) Multivalen pada Metafase I, (C) Jembatan pada Anafase I Awal, (D) Lagging pada Telofase I (Sumber: Yoon 2003). Sifat yang muncul dari suatu tanaman (fenotipe) merupakan hasil dari genetik dan lingkungan (Halloran et al. 1979). Ragam fenotipe (σ 2 P) sebenarnya terdiri dari ragam genetik (σ 2 G), ragam lingkungan (σ 2 E) serta interaksi antara ragam genetik dan lingkungan (σ 2 GxE). Dengan rumus matematis: σ 2 P = σ 2 G + σ 2 E + σ 2 GxE. Ragam genetik itu sendiri terdiri dari ragam genetik aditif (σ 2 A), ragam genetik dominan (σ 2 D) dan ragam genetik epistasis (σ 2 I); dimana σ 2 G = σ 2 A + σ 2 D + σ 2 I (Baihaki 2000; Roy 2000). Ragam genetik suatu populasi sangat penting dalam program pemuliaan, oleh karena itu pendugaan besarannya perlu dilakukan. Ragam genetik aditif merupakan penyebab utama kesamaan diantara kerabat (antara tetua dengan turunannya). Ragam ini merupakan efek rata-rata gen; fungsi dari derajat dimana perubahan fenotipe, karena terjadinya seleksi. Ragam genetik dominan merupakan penyebab utama ketidaksamaan diantara kerabat. Ragam ini merupakan basis utama bagi heterosis dan kemampuan daya gabung (combining ability). Seberapa besar keragaman fenotipe akan diwariskan diukur oleh parameter yang disebut heritabilitas (Poepodarsono 1988).

115 Berdasarkan uji skala gabungan, aksi gen yang mengendalikan ketahanan penyakit antraknosa yang disebabkan oleh C. acutatum mengikuti model aditifdominan. Dengan demikian berarti hanya aksi gen aditif [d] dan dominan [h] yang menentukan keragaman ketahanan penyakit. Aksi gen aditif lebih berperan dibandingkan aksi gen dominan dalam menentukan ketahanan terhadap antraknosa. Hal ini juga didukung oleh hasil uji pengaruh aditif (D) dan dominansi (H 1 ) serta uji interaksi gen (b) pada silang dialel. Tidak ada interaksi antar gen (epistasis) dalam menentukan ketahanan terhadap antraknosa. Hasil yang sama juga ditunjukkan oleh hasil uji daya gabung. Daya gabung umum (DGU) berpengaruh nyata dan mempunyai nilai lebih besar daripada daya gabung khusus (DGK), yang menunjukkan bahwa karakter ketahanan terhadap penyakit antraknosa dikendalikan oleh aksi gen aditif. Daya gabung umum yang lebih besar daripada daya gabung khusus menunjukkan bahwa aksi gen aditif lebih berperan dalam mengendalikan sifat tersebut dibandingkan aksi gen non-aditif (Sousa dan Maluf 2003; Geleta et al. 2006). Sebaliknya daya gabung khusus yang lebih besar dibandingkan daya gabung umum menunjukkan bahwa aksi gen non aditif lebih berperan dalam mengendalikan suatu sifat daripada aksi gen aditif (Oliveira et al. 1998; Cruz et al. 2006). Menurut Roy (2000) daya gabung umum merupakan penduga terhadap ragam aditif. Sementara daya gabung khusus merupakan penduga ragam non aditif (dominan dan epistasis). Besarnya sumbangan ragam aditif terhadap ragam genetik juga dapat dilihat dari proporsi h 2 ns terhadap h 2 bs. Proporsi h 2 ns terhadap h 2 bs tergolong tinggi yang menunjukkan bahwa ragam genetik lebih ditentukan oleh ragam aditif. Nilai duga heritabilitas arti luas (h 2 bs) termasuk dalam kategori sedang hingga tinggi. Ini menunjukkan ragam gejala yang muncul terutama dikendalikan oleh faktor genetik. Nilai duga heritabilitas arti sempit (h 2 ns) termasuk rendah hingga sedang. Kemajuan genetik dapat diduga dari nilai heritabilitas arti sempit dan ragam fenotipe dengan rumus G = i σ P h 2 ns, dengan G adalah kemajuan genetik seleksi; i adalah intensitas seleksi; σ P adalah standard deviasi fenotipe; h 2 ns adalah heritabilitas arti sempit.

116 Heritabilitas adalah perbandingan antara besaran ragam genotipe dengan besaran total ragam fenotipe dari suatu sifat. Hubungan ini menggambarkan seberapa jauh fenotipe yang tampak merupakan repleksi dari genotipe. Secara mutlak tidak bisa dikatakan apakah suatu sifat ditentukan oleh faktor genetik atau faktor lingkungan. Faktor genetik tidak akan memperlihatkan sifat yang dibawanya kecuali dengan adanya faktor lingkungan yang diperlukan. Sebaliknya, bagaimanapun manipulasi dan perbaikan-perbaikan terhadap faktor-faktor lingkungan, tak akan menyebabkan perkembangan suatu sifat kecuali kalau faktor genetik yang diperlukan terdapat pada individu-individu atau populasi tanaman yang bersangkutan (Baihaki 2000). Keragaman yang diamati pada suatu sifat harus dapat dibedakan apakah disebabkan terutama oleh faktor genetik atau faktor lingkungan. Sama halnya juga dalam pengamatan atas beberapa sifat, harus mampu untuk menjelaskan apakah kiranya disebabkan oleh perbedaan antar gen yang dibawa oleh satu individu dari individu lainnya ataukah oleh perbedaan-perbedaan lingkungan dari setiap individu dimana mereka tumbuh. Disinilah dirasakan perlu adanya suatu pernyataan yang bersifat kuantitatif antara peranan faktor genetik relatif terhadap faktor-faktor lingkungan dalam memberikan penampilan akhir atau fenotipe yang diamati. Heritabilitas dapat dipergunakan untuk keperluan tersebut (Baihaki 2000). Pada dasarnya seleksi terhadap populasi bersegregasi dilakukan melalui nilai-nilai besaran karakter fenotipenya. Dalam kaitan ini, penting diketahui peluang terseleksinya individu yang secara fenotipe menghasilkan turunan yang sama miripnya dengan individu terseleksi tadi. Misalkan dalam suatu populasi dijumpai ragam genetik tinggi untuk suatu karakter dan ragam fenotipenya rendah, maka dapat diramalkan bahwa turunan individu terseleksi akan mirip dengan dirinya untuk karakter tersebut; dan sebaliknya. Umumnya heritabilitas dalam arti sempit banyak mendapatkan perhatian karena pengaruh aditif dari tiap alelnya diwariskan dari tetua kepada keturunannya. Kontribusi penampilan tidak tergantung pada adanya interaksi antar alel. Dalam pemuliaan tanaman, seleksi sifat-sifat yang dikendalikan oleh gen aditif diharapkan mendapatkan kemajuan seleksi yang besar dan cepat.

117 Pada tanaman, ada banyak metode untuk menduga nilai hiritabilitas dan komponen ragam. Heritabilitas dapat diduga dengan cara tidak langsung dari pendugaan komponen ragam, diantaranya adalah perhitungan ragam turunan dan perhitungan komponen ragam dari analisis ragam; atau dengan cara langsung dari pendugaan koefisien regresi (b) dan korelasi antar kelas (t). Metode yang digunakan untuk menduga nilai tersebut tergantung dari populasi yang dimiliki oleh pemulia dan tujuan yang ingin dicapai (Baihaki 2000). Pada penelitian ini, digunakan perhitungan ragam turunan menggunakan pendekatan enam populasi (P 1, P 2, F 1, F 2 BC P1 dan BC P2 ),analisis analisis ragam menggunakan silang dialel dan analisis ragam gabungan. Pendugaan parameter genetik pada penelitian ini menggunakan dua pendekatan yaitu pendekatan enam populasi dan analisis silang dialel. Masingmasing pendekatan mempunyai keunggulan dan kelemahan. Pada pendekatan enam populasi, bisa dipelajari pola interaksi antar gen pengendali dan analisis genetik mendelian. Sementara itu, di dalam analisis silang dialel, pendugaan parameter genetik sudah dapat dilakukan pada F1, tanpa harus membentuk populasi F2, BCP1 ataupun BCP2, seperti pada teknik pendugaan parameter genetik menggunakan pendekatan enam populasi. Sebaran gen pengendali sifat di dalam tetua-tetua dan pendugaan batas tertinggi fenotipe jika semua gen mengumpul dalam suatu individu bisa dipelajari menggunakan analisis silang dialel. Cruz et al. 2006 menyatakan bahwa analisis dialel adalah alat penting untuk memilih tetua dan kombinasi tetua terbaik dalam program pemuliaan tanaman. Dalam pelaksanaannya analisis silang dialel harus memenuhi beberapa asumsi diantaranya adalah gen gen menyebar diantara tetua (Roy 2000). Dalam penelitian ini, gen-gen yang menentukan pewarisan sifat tahan antraknosa yang disebabkan oleh C. acutatum menyebar merata di dalam tetua. Akan tetapi sebagian besar gen-gen yang dibawa oleh tetua bersifat dominan. Hal ini bisa difahami karena tetua tahan hanya C-15, sedangkan tetua lainnya rentan atau sangat rentan. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa ketahanan terhadap antraknosa dikendalikan oleh gen resesif. C-15 paling banyak membawa gen resesif. Sementara tetua lainnya membawah gen dominan.

118 Sedikitnya tetua tahan dalam analisis silang dialel ini terlihat dari rekomendasi fenotipe yang dihasilkan jika semua agen resesif mengumpul dalam individu. Pada penelitian ini, jika semua agen resesif mengumpul dalam individu maka akan diperoleh maksimum ketahanan sebesar 0.645 (1-(Kejadian penyakit/100)) atau skor 4. Artinya jika tidak ada introduksi gen ketahanan dari luar populasi maka maksimum ketahanan terhadap antraknosa yang akan diperoleh setelah seleksi adalah rentan (skor 4). Oleh karena itu perlu sumber baru ketahanan terhadap antraknosa yang disebabkan oleh C. acutatum. Ketahanan cabai terhadap antraknosa dikendalikan oleh banyak gen dengan aksi gen aditif, setiap gen memberikan kontribusi rendah pada sifat ketahanan. Metode yang disarankan untuk merakit varietas tahan adalah metode persilangan ganda dengan rekombinasi transgresif. Metode ini memadukan gengen tahan penyakit antraknosa yang tersebar di beberapa genotipe, dengan menyilangkan antara tetua tahan dengan tahan, sehingga diperoleh genotipe yang memiliki tingkat ketahanan lebih daripada tetuanya (Baihaki 2000). Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa telah ditemukan sumber gen ketahanan terhadap antraknosa pada spesies C. annuum (AVRDC 2003). Genotipe ini dapat diintroduksi untuk melengkapi sumber ketahanan terhadap antraknosa yang telah ada (C-15 atau 0209-4). Telah dijelaskan sebelumnya bahwa pertahanan bagi tanaman berbeda antara setiap sistem kombinasi inang-patogen. Bahkan pada inang dan patogen yang sama, kombinasi tersebut dapat berbeda dengan umur tanaman, jenis organ dan jaringan tanaman yang diserang, keadaan hara tanaman dan kondisi cuaca (Agrios 1997). Selain itu, ragam fenotipe (σ 2 P) terdiri dari ragam genetik (σ 2 G), ragam lingkungan (σ 2 E) serta interaksi antara ragam genetik dan lingkungan (σ 2 GxE) (Roy 2000). Oleh karenanya perlu dipelajari interaksi antara genetik lingkungan terhadap ketahanan antraknosa. Pendugaan heritabilitas akan bias dan over estimate jika hanya dilakukan pada satu lingkungan. Pengaruh interaksi genetik dan lingkungan (σ 2 GxE) akan memperbesar ragam genetik (σ 2 G) sehingga heritabilitas dalam arti luas akan lebih besar daripada nilai yang sesungguhnya. Penanaman pada beberapa lokasi dapat menduga ragam interaksi genotipe x lingkungan, sehingga pendugaan ragam

119 genetik akan lebih baik dibandingkan jika ditanam hanya pada satu lokasi. Akan tetapi pendugaan ragam genetik akan lebih baik lagi jika populasi uji ditanam pada minimal dua lokasi dan dua musim, sehingga interaksi genotipe x lingkungan, genotipe x musim dan genotipe x musim x lingkungan dapat dipisahkan (Baihaki 2000). Ada dua tipe lingkungan tanaman yaitu lingkungan makro dan lingkungan mikro. Lingkungan mikro adalah keragaman lingkungan di sekitar individu tanaman, yang tidak bisa dikontrol dan biasanya dimasukkan ke dalam galat percobaan. Sementara itu, lingkungan makro mengacu pada agroklimat di sekitar tanaman (seperti panjang hari, suhu, kelembapan) termasuk juga kesuburan, irigasi dan jarak tanaman (Roy 2000). Pemuliaan tanaman bertujuan untuk memperbaiki karakter tanaman sesuai dengan kebutuhan manusia dengan memanfaatkan potensi genetik dan interaksi genotipe x lingkungan. Interaksi genotipe x lingkungan, dapat digunakan oleh pemulia tanaman untuk mengembangkan varietas unggul baru yang spesifik lingkungan atau varietas yang beradaptasi luas. Jika interaksi genotipe x lingkungan tinggi, maka diperlukan pengembangan suatu varietas yang spesifik lokasi, sebaliknya bila interaksi genotipe x lingkungan kecil, dapat dikembangkan varietas beradaptasi luas. Oleh karena itu, dengan adanya teori-teori tentang pengaruh lingkungan akan amat membantu program pemuliaan.