EVALUASI PELAYANAN APOTEK BERDASARKAN INDIKATOR PELAYANAN PRIMA DI KOTA MAGELANG PERIODE 2016

dokumen-dokumen yang mirip
HUBUNGAN TINGKAT KEPUASAN KONSUMEN DENGAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN APOTEK DI KABUPATEN REMBANG KOTA REMBANG NASKAH PUBLIKASI

PENERAPAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK KOTA MAGELANG

EVALUASI STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK WILAYAH KOTA SALATIGA TAHUN 2011 SESUAI PERUNDANGAN YANG BERLAKU NASKAH PUBLIKASI

TINGKAT KEPUASAN PASIEN TERHADAP PELAYANAN OBAT DI APOTEK WILAYAH KECAMATAN MERTOYUDAN KABUPATEN MAGELANG

PROFIL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN KEPUASAN KONSUMEN APOTEK DI KECAMATAN ADIWERNA KOTA TEGAL. Bertawati

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

GAMBARAN KEPUASAN PASIEN TERHADAP PELAYANAN KEFARMASIAN PADA UPT PUSKESMAS MUARA TEWEH DI KABUPATEN BARITO UTARA

PELAKSANAAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN APOTEK DI WILAYAH KOTA BANJARMASIN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PELAKSANAAN KONSELING OLEH APOTEKER DI APOTEK KECAMATAN TEMANGGUNG

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA. Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 TENTANG STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK

ANALISIS KEPUASAN PASIEN TERHADAP STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI PUSKESMAS SEMPAJA SAMARINDA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masalah kesehatan di Indonesia sebagai salah satu negara berkembang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

PERANAN APOTEKER DALAM PEMBERIAN INFORMASI OBAT DI INSTALASI FARMASI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH HAJI ANDI SULTHAN DAENG RADJA KABUPATEN BULUKUMBA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

INTISARI. Madaniah 1 ;Aditya Maulana PP 2 ; Maria Ulfah 3

Apoteker berperan dalam mengelola sarana dan prasarana di apotek. Selain itu, seorang apoteker juga harus menjamin bahwa:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan,

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

INTISARI TINGKAT KEPUASAN PASIEN TERHADAP PELAYANAN KEFARMASIAN DI PUSKESMAS GADANG HANYAR BANJARMASIN

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mewujudkan suatu negara yang lebih baik dengan generasi yang baik adalah tujuan dibangunnya suatu negara dimana

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

GAMBARAN PELAKSANAAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK WILAYAH KECAMATAN LAWEYAN KOTA SOLO TAHUN 2007 SKRIPSI

ABSTRAK KUALITAS PELAYANAN RESEP DI APOTEK RUMAH SAKIT UMUM DAERAH HADJI BOEDJASIN PELAIHARI

BAB I PENDAHULUAN. Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai apoteker dan

satu sarana kesehatan yang memiliki peran penting di masyarakat adalah apotek. Menurut Peraturan Pemerintah No. 35 tahun 2014, tenaga kesehatan

BAB 1 PENDAHULUAN. Pharmaceutical care atau asuhan kefarmasian merupakan bentuk optimalisasi peran yang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

Evaluasi Mutu Pelayanan Di Apotek Komunitas Kota Kendari Berdasarkan Standar Pelayanan Kefarmasian

EVALUASI IMPLEMENTASI KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN NOMOR 35/MENKES/SK/2014 TENTANG PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK KABUPATEN SLEMAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PEMETAAN PERAN APOTEKER DALAM PELAYANAN KEFARMASIAN TERKAIT FREKUENSI KEHADIRAN APOTEKER DI APOTEK DI SURABAYA BARAT. Erik Darmasaputra, 2014

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KEPADA PASIEN OLEH TENAGA KEFARMASIAN DI APOTEK RUMAH SAKIT TNI AU SJAMSUDIN NOOR BANJARBARU

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. penduduk serta penyelenggaraannya sesuai dengan kode etik dan standar

resep, memberikan label dan memberikan KIE secara langsung kepada pasien. 4. Mahasiswa calon apoteker yang telah melaksanakan PKPA di Apotek Kimia

ABSTRAK. Kata Kunci : Pelayanan, Informasi Obat.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Analisis kepuasan pasien terhadap kualitas pelayanan kamar obat di puskesmas surabaya utara

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Kata Kunci: Kualitas, Pelayanan Obat, Assurance

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PEMETAAN PERAN APOTEKER DALAM PELAYANAN KEFARMASIAN TERKAIT FREKUENSI KEHADIRAN APOTEKER DI APOTEK DI SURABAYA TIMUR. Rendy Ricky Kwando, 2014

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Lampiran 1. Daftar Tilik Mutu Pelayanan Kefarmasian DAFTAR TILIK

PERSEPSI APOTEKER PENANGGUNGJAWAB APOTEK DI KOTA MEDAN TERHADAP PENERAPANPERATURAN PEMERINTAH RI NO. 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAANKEFARMASIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Medula Vol. 2 No. 1 Oktober 2014 ISSN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

INTISARI GAMBARAN PEMBERIAN INFORMASI OBAT DI PUSKESMAS BUNTOK

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

INTISARI GAMBARAN SISTEM DISTRIBUSI OBAT UNIT DOSE DISPENSING DI DEPO TULIP RSUD ULIN BANJARMASIN

Farmaka Volume 15 Nomor 3 96

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PERSEPSI KONSUMEN TERHADAP PERAN APOTEKER DALAM PELAYANAN INFORMASI OBAT TANPA RESEP DI APOTEK WILAYAH KECAMATAN MAGELANG TENGAH KOTAMADYA MAGELANG

PENILAIAN TERHADAP PENERAPAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK-APOTEK DI KOTA KETAPANG TAHUN 2016 NASKAH PUBLIKASI. Oleh: WIWIN ANDITASARI

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

GAMBARAN PELAKSANAAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK KABUPATEN SRAGEN TAHUN 2008 SKRIPSI

ANALISIS FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL YANG TERKAIT DENGAN MODEL PELAYANAN PRIMA Dl APOTEK

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

ABSTRAK TATALAKSANA FARMASI DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KABUPATEN CIANJUR

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan masyarakat,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Pelayanan kefarmasiaan saat ini telah berubah orientasinya dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pembangunan kesehatan di Indonesia, bertanggung jawab untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

EVALUASI PELAYANAN KEFARMASIAN DI PUSKESMAS KECAMATAN BANJARMASIN TIMUR ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. hidup layak, baik dalam kesehatan pribadi maupun keluarganya termasuk di

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesehatan yang baik tentu menjadi keinginan dan harapan setiap orang, selain itu kesehatan dapat menjadi ukuran

ABSTRAK TINGKAT PENGETAHUAN PASIEN TENTANG KETEPATAN WAKTU PENGGUNAAN OBAT DI PUSKESMAS GADANG HANYAR KOTA BANJARMASIN

BAB I PENDAHULUAN. obat (Drug Oriented) ke pasien yang mengacu kepada Pharmaceutical Care.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

HUBUNGAN PELAKSANAAN GOOD PHARMACY PRACTICE (GPP) DENGAN KEPUASAN KERJA APOTEKER DI APOTEK

MEHTERIKESEHATAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KESEHAT AN REPUBLIK INDONESIA. Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

HUBUNGAN KUALITAS PELAYANAN KESEHATAN DENGAN TINGKAT KEPUASAN PASIEN DI BP.GIGI PUSKESMAS KELAYAN DALAM KOTA BANJARMASIN

PENERAPAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK KOTA MAGELANG BULAN SEPTEMBER TAHUN 2014 LAPORAN HASIL PENELITIAN

Transkripsi:

EVALUASI PELAYANAN APOTEK BERDASARKAN INDIKATOR PELAYANAN PRIMA DI KOTA MAGELANG PERIODE 2016 Fitriana Yuliastuti 1, Heni Lutfiyati 2 Intisari Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan standar pelayanan kefarmasian di apotek berdasarkan Indikator Pelayanan Prima di Kota Magelang periode 2016. Penelitian ini termasuk penelitian deskriptif, pengambilan data menggunakan metode Cross Sectionals Survey. Responden dalam penelitian ini adalah apoteker yang bersedia mengisi koesioner yang merupakan instrument penelitian ini. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode deskriptif yang bertujuan untuk menjelaskan atau mendiskripsikan karakteristik setiap variable penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Standar Pelayanan Kefarmasian di apotek berdasarkan Indikator prima sudah dilaksanakan dengan baik oleh apoteker- apoteker di Kota Magelang dengan jumlah score 84,7. Kata kunci: Indikator Pelayanan Prima di Apotek, Apotek Abstract This research aims to know the description of the application of the standard of service at the pharmacy of pharmacy Based on Excellence services indicators in Magelang City period of 2016. This research used descriptive design, the data were collected using Cross Sectionals Survey method. The respondents in this study was the pharmacist fill out the questionnaire as the instrument of this study. Data analysis in this study used descriptive method which aims to explain or define ecological characteristics of each research variables. The results showed that the standard service at the pharmacy of Pharmacy upon Prima Service Indicator has been well implemented by pharmacists-pharmacists in Magelang District with a total score of 84,7. Keyword : Indicators Based Excellence, Pharmacy 1 Prodi DIII Farmasi, Universitas Muhammadiyah Magelang 2 Prodi DIII Farmasi, Universitas Muhammadiyah Magelang 18 Jurnal Farmasi Sains dan Praktis, Vol. II, No. 1, September 2016

Evaluasi Pelayanan Apotek Berdasarkan Indikator Pelayanan Prima di Kota Magelang Periode 2016 PENDAHULUAN Peraturan Pemerintah Nomor 51 tahun 2009 (PP No. 51/2009) menyatakan bahwa pelayanan kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien serta menegaskan bahwa pekerjaan kefarmasian pada pelayanan kefarmasian dilakukan oleh apoteker (pasal 20). Tuntutan konsumen akan mutu pelayanan kefarmasian mengharuskan adanya perubahan pelayanan yang biasanya berorientasi pada produk obat saja, menjadi perubahan pelayanan baru yang berorientasi pada konsumen 6. Kefarmasian pada saat ini dalam memberikan pelayanan telah berubah paradigmanya dari orientasi obat kepada pasien yang mengacu pada asuhan kefarmasian (Pharmaceutical Care). Konsekuensi perubahan orientasi tersebut menuntut apoteker untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan perilaku agar dapat berinteraksi langsung dengan pasien. Dampak dari tidak dilaksanakannya kegiatan pelayanan kefarmasian yang baik adalah dapat terjadi kesalahan pengobatan (medication error) dalam proses pelayanan 2. Pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian yang baik akan meningkatkan kepuasan konsumen. Menurut Traverso et al., 2007 kepuasan konsumen dapat berfungsi sebagai indikator terhadap kualitas pelayanan dan sebagai prediktor terhadap perilaku konsumen yang berhubungan dengan kesehatan. Standar pelayanan kefarmasian di apotek berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 35 Tahun 2014 Standar Pelayanan Kefarmasian adalah tolak ukur yang dipergunakan sebagai pedoman bagi tenaga kefarmasian dalam menyelenggarakan pelayanan kefarmasian dan Pelayanan Kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien. Alasan peneliti memilih Apotek keseluruhan di Kota Magelang diantaranya karena di Kota Magelang belum pernah dilakukan penilitian di apotek- apotek tersebut dengan menggunakan indikator pelayanan kefarmasian prima. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif yaitu penelitian yang dilakukan dengan tujuan untuk membuat gambaran atau deskriptif tentang suatu yang objektif 4. Instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data antara lain : lembar koesioner yang bersumber dari Kementrian kesehatan (2009) tentang indikator untuk menilai pelayanan kefarmasian prima di apotek. Koesioner disini diartikan sebagai daftar pertanyaan, sudah matang, dimana responden (dalam hal angket) dan interviewer (dalam hal wawancara) tinggal memberikan jawaban atau dengan tanda-tanda tertentu 4. Pengambilan data dengan menggunakan pendekatan Cross Sectionals Survey Penelitian ini dilakukan di Apotek Kota Magelang yang apotekernya berpraktek penuh di apotek, dari 23 Apotek 12 koesioner yang kembali. Pengambilan data dilakukan pada bulan April tahun 2016. Penelitian ini menggunakan teknik Probability sampling Jenis kuesioner yang digunakan peneliti adalah kuesioner tertutup. Data yang diperlukan dicacat meliputi: profil apotek (karakteristik apotek, karakteristik apoteker) dan evaluasi pelayanan (pelayan obat, KIE, pengelolaan obat, ketenagaan, faktor pendukung). Data yang terkumpul kemudian dilakukan pengolahan untuk analisis. Dalam pengolahan data akan dilakukan beberapa tahap yaitu Editing (pengeditan), coding, processing (Memasukkan data). Data yang diperoleh, diinput kemudian diolah dengan menggunakan Microsoft Excel. Metode yang digunakan dalam analisis data adalah analisis kuantitatif-kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Pada tahap ini data akan dianalisis dan dideskripsiskn dalam bentuk kata-kata untuk memperjelas hasil yang diperoleh. Menganalisis data dari checklist dilakukan sebagai berikut: 1. Mengkuantitatifkan hasil checking sesuai Jurnal Farmasi Sains dan Praktis, Vol. II, No. 1, September 2016 19

Fitriana Yuliastuti, Heni Lutfiyati dengan indikator yang telah ditetapkan dengan memberi tanda checklist ( ) pada kolom YA atau TIDAK untuk masingmasing tahapan. Untuk kolom YA nilainya 2 dan untuk kolom TIDAK nilainya 0, serta memberi tanda checklist ( ) pada kolom Dilakukan oleh apoteker 2. Membuat tabulasi data 3. Menghitung skore Cara penghitungan skor pelayanan kefarmasian Kementrian kesehatan (2009) : Skor (%) Kategori 80 100 Baik 60 79 Cukup < 60 Kurang HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Data Apotek Hasil penelitian berdasarkan data yang diperoleh, jumlah apoteker, jumlah asisten apoteker dan jumlah tenaga non kefarmasian di Kota Magelang dapat dilihat pada tabel 1 berikut: Tabel 1. Data Apotek No. Apotek Jml. Jml Tenaga Jml Tenaga Apoteker Kefarmasian Non Kefarmasian 1. A 1 2 2 2. B 1 3 1 3. C 1 2 4 4. D 2 4 0 5. E 2 2 0 6. F 2 2 0 7. G 1 2 2 8. H 1 2 2 9. I 1 3 2 10. J 1 4 2 11. K 2 3 1 12. L 1 3 0 Berdasarkan tabel 1. dapat dilihat dari sampel menunjukkan bahwa apotek yang terdapat 2 apoteker sebesar 33,33 %, sedangkan yang menunjukkan bahwa diapotek terdapat 1 apoteker sebesar 66,67%. Jumlah tenaga kefarmasian menunjukkan apotek yang memiliki 4 tenaga teknis kefarmasian 16,67%, diapotek memilki 3 tenaga teknis kefarmasian 33,33%, sedangkan diapotek memilki 2 tenaga teknis kefarmasian 50%. Jumlah tenaga non kefarmasia di apotek yang memiliki 4 tenaga non kefarmasian 8,3%, diapotek memiliki 2 tenaga non kefarmasian 41,67%, sedangkan yang memiliki 1 tenaga non kefarmasian 16,67% dan yang tidak memiliki tenaga non kefarmasian 33,33%. Menurut Peraturan Pemerintah RI Nomor 51 tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian pada pasal 14 ayat 1 menyebutkan bahwa setiap fasilitas distribusi atau penyaluran sediaan farmasi berupa obat harus memiliki seorang apoteker. Dengan adanya apoteker lebih dari satu maka kegiatan pelayanan kefarmasian berjalan sesuai dengan ketentuan karena saat pelayanan kefarmasian selalu dalam pengawasan apoteker dan apoteker dapat berperan langsung dalam pelayanan kefarmasian. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 yang menyatakan jika apotek melakukan pelayanan kefarmasian maka apoteker harus mudah ditemui. Pekerjaan Kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusi atau penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional. Jika jumlah asisten apoteker lebih dari satu maka pelayanan kefarmasian dapat berjalan sebagaimana mestinya karena pembagian waktu kerja lebih seimbang dan pelayanan kefarmasian dapat berjalan sesuai dengan ketentuan. Jumlah tenaga non kefarmasian diapotek tidak diatur dalam undang-undang jadi setiap apotek tidak memiliki batasan jumlah sehingga tiap-tiap apotek memiliki jumlah yang berbeda-beda sesuai dengan yang dibutuhkan untuk masing-masing apotek. Berdasarkan hasil yang diperoleh dapat dilihat ratarata untuk tenaga non kefarmasian di setiap apotek di Kota Magelang memiliki 2 tenaga non kefarmasian, maka pelayanan kefarmasian dapat berjalan dengan baik karena tenaga kefarmasian lebih fokus dalam pelayanan kefarmasian.

Evaluasi Pelayanan Apotek Berdasarkan Indikator Pelayanan Prima di Kota Magelang Periode 2016 2. Data Apoteker a. Usia Apoteker Hasil penelitian berdasarkan data yang diperoleh, usia apoteker di Kota Magelang dapat dilihat pada tabel 2 Tabel 2. Data Usia Apoteker No. Apotek Usia Rata-Rata (tahun) 1. A 35 2. B 43 3. C 43 4. D 26 23 5. E 27 27 6. F 32 32 30 7. G 26 8. H 32 9. I 27 10. J 28 11. K 27 26 12. L 26 Berdasarkan Tabel 2 dapat di lihat bahwa apoteker di Kota Magelang rata-rata berusia 30 tahun yang mana rentang usia tersebut merupakan usia produktif untuk masa kerja seseorang sehingga seseorang dalam menjalankan tugasnya dapat berjalan secara optimal. Menurut penelitian yang dilakukan Harvard Grawth Study, proses pertumbuhan dan perkembangan intelegensi diawali pada usia remaja dan mencapai puncaknya pada usia 30 tahun. Pada usia tersebut seseorang mampu berfikir hipotetik dan dapat menguji secara sistematik berbagai penjelasan mengenai kejadiankejadian tertentu dan dapat memahami prinsipprinsip abstrak yang berlaku (Azwar, 1999). b. Lama Bekerja Apoteker Hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan apoteker di Kota Magelang ratarata sudah memiliki pengalaman kerja dapat dilihat pada tabel 3 berikut : Tabel 3. Lama Bekerja Apoteker No. Apotek Lama Bekerja Rata-Rata (Tahun) (Tahun) 1. A 7 2. B 10 3. C 12 4. D 2 dan 1 5. E 4 dan 4 6. F 3 dan 3 4,3 7. G 1,5 8. H 5 9. I 4 10. J 4 11. K 4 dan 2 12. L 3 Berdasarkan tabel 3 dapat dilihat bahwa apoteker rata- rata sudah memiliki pengalaman kerja 4,3 tahun. Pengalaman kerja yang lebih dari satu tahun maka diharapkan apoteker lebih banyak memiliki pengetahuan dalam hal pelayanan kefarmasian, lebih mengetahui perkembangan pengetahuan terbaru tentang ilmu farmasi dan lebih sering mengikuti pelatihan-pelatihan yang berhubungan dengan pelayanan kefarmasian 3. Indikator Pelayanan Kefarmasian a. Faktor Utama Hasil Penelitian berdasarkan data yang diperoleh untuk faktor utama dalam indikator pelayanan kefarmasian yang terdiri dari pelayanan obat, KIE, Pengelolaan Obat dan Ketenagaan dapat dilihat pada tabel 4: Tabel 4. Faktor Utama Apotek Pelayanan KIE Pengelolaan Ketenagaan Jml Obat Obat A 14 11 13 4 42 B 18 15 14 4 51 C 9 10 11 2 32 D 17 17 13 5 52 E 17 17 12 5 51 F 11 11 9 5 36 G 17 19 13 4 53 H 17 17 13 4 51 I 17 17 13 4 51 J 16 16 13 4 49 K 17 17 13 5 52 L 16 16 13 4 49 Jurnal Farmasi Sains dan Praktis, Vol. II, No. 1, September 2016 21

Fitriana Yuliastuti, Heni Lutfiyati Berdasarkan tabel 4 untuk pelayanan obat dari 19 item pertanyaan rata-rata 17 item pertanyaan yang dijawab YA oleh responden. Komunikasi Informasi Edukasi dari 19 item pertanyaan rata-rata 17 item yang di jawab YA, pengelolaan obat dari 14 rata-rata 13 pertanyaan yang dijawab YA dan ketenagaan dari 5 pertanyaan rata-rata dijawab oleh responden. b. Faktor Pendukung Hasil Penelitian berdasarkan data yang diperoleh untuk faktor pendukung yang terdiri dari bangunan, kelengkapan bangunan, peralatan dan fasilitas pendukung dalam indikator pelayanan kefarmasian dapat dilihat pada tabel 5 berikut : Tabel 5. Faktor Pendukung Apotek Bangunan Kelengkapan Peralatan Jml Bangunan dan Fasilitas Pendukung A 2 7 20 29 B 3 7 20 30 C 2 7 20 29 D 3 7 14 24 E 2 7 21 30 F 3 7 15 25 G 2 7 22 31 H 2 7 20 29 I 2 7 20 29 J 2 7 21 30 K 3 7 20 30 L 3 7 20 30 Berdasarkan tabel 5. Faktor pendukung terdapat 32 total pertanyaan, untuk bangunan dari 3 item pertanyaan rata-rata 2 item pertanyaan yang dijawab YA oleh responden. Kelengkapan bangunan dari 7 item pertanyaan rata-rata 7 item yang di jawab YA, peralatan dan fasilitas pendukung dari 22 rata-rata 20 pertanyaan yang dijawab YA oleh responden. Sumber daya kefarmasian menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 meliputi sumber daya manusia serta sarana dan prasarana. Sumber daya manusia yang dimaksudkan dalam peraturan adalah apoteker yang melakukan pelayanan kefarmasian dan dapat dibantu oleh apoteker pendamping. Sarana dan prasarana yang harus dipunyai oleh apotek menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 adalah ruang menerima resep, ruang pelayanan resep dan peracikan, ruang penyerahan obat, ruang konseling, ruang penyimpanan dan ruang pengarsipan. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tidak mempersyaratkan ruang tunggu dan tempat mendisplai informasi obat untuk menunjang pelayanan kefarmasian di apotek. Walau tidak dipersyaratkan ruang tunggu tetap dibutuhkan agar pengunjung apotek lebih nyaman dalam menunggu pelayanan di apotek tersebut. Tempat mendisplai informasi obat juga dibutuhkan untuk menambah wawasan pengunjung apotek tentang obat-obatan maupun informasi tentang kesehatan lainnya. Hasil kuesioner indikator pelayanan kefarmasian dari faktor utama dan faktor pendukung dari 12 responden jumlah skore masing-masing Apotek setelah dihitung berdasarkan rumus dapat dilihat pada tabel 6 : Tabel 6. Jumlah Skor Masing-masing Apotek Apotek Jumlah Rata-rata A 77,4 B 90,4 C 63,7 D 87,7 E 90,4 F 66,4 G 93,8 84,7 H 89,7 I 89,7 J 87,7 K 91,8 L 87,7 Berdasarkan hasil yang dipoleh rata-rata apotek di Kota Magelang sudah melakukan kegiatan pelayanan kefarmasian berdasarkan indikator pelayanan prima diapotek dengan baik tetapi masih perlu adanya peningkatan lagi yang harus dilakukan oleh beberapa apotek di Kota Magelang yaitu melakukan pertimbangan klinis selengkap mungkin sesuai dengan ketentuan, beberapa apotek saat penyerahan 22 Jurnal Farmasi Sains dan Praktis, Vol. II, No. 1, September 2016

Evaluasi Pelayanan Apotek Berdasarkan Indikator Pelayanan Prima di Kota Magelang Periode 2016 obat tidak memberikan informasi mengenai cara penyimpanan obat dan tidak pernah melakukan home care tidak pada pasien penyakit kronik yang terdokumentasi. Apoteker sebagai care giver diharapkan juga dapat melakukan pelayanan kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah, khususnya untuk kelompok lansia dan pasien dengan pengobatan penyakit kronis lainnya. Untuk aktivitas ini apoteker harus membuat catatan berupa catatan (medication record) pengobatan. Semua apotek di kabupaten Magelang sudah melakukan pengelolaan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan dengan baik. Beberapa apotek tidak memiliki medication record serta apotek memilki informasi aktif seperti brosur tetapi apotek di kabupaten Magelang rata-rata sudah melakukan standar kefarmasian dengan baik jika dibandingkan degan penelitian di Skor pelayanan kefarmasian di apotek berdasarkan angket apoteker di kota Bandung, Denpasar, Surabaya, Medan rata-rata adalah 70,92 dengan katogori cukup. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di Kota magelang rata-rata apoteker sudah melakukan praktek kefarmasian berdasarkan standar kefarmasian diapotek dengan baik dengan jumlah skor 84,7. DAFTAR ACUAN 1. Anonim, 2009, Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta 2. Anonim, 2014, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014, Standar Pelayanan Kefarmasian Di Apotek, Depkes 3. Azwar, S., 1999, Metode Penelitian, Pustaka Pelajar, Yogyakarta 4. Notoatmodjo, S., 2012, Metodologi Penelitian Kesehatan, PT Rineka Cipta, Jakarta : 9-10 5. Surahman, E.M. & Husen, I.R., 2011, Konsep Dasar Pelayanan Kefarmasian BerbasiskanPharmaceutical Care F. K.-U, Padjajdjaran, ed., Bandung: Widya Padjadjaran 6. Traverso, L.M., Salamano, M. Botta, C. Colautti, M. Palchik, V. & Perez B., 2007, Questionnaire to assess patient satisfaction with pharmaceutical care in Spanish language, Internasional Journal for Quality in Health Care, 19(4), 217 224