FAKTOR-FAKTOR YANG MENJADI PENGHAMBAT DALAM PEMBERIAN REMISI TERHADAP NARAPIDANA (STUDI KASUS DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS IIA DENPASAR)

dokumen-dokumen yang mirip
FAKTOR-FAKTOR PENGHAMBAT DALAM PEMBERIAN PEMBEBASAN BERSYARAT TERHADAP NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS IIA DENPASAR

BAB I PENDAHULUAN. sebutan penjara kini telah berubah menjadi Lembaga Pemasyarakatan

BAB III PENUTUP. dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang dapat menimbulkan suatu kerusuhan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sistem pemasyarakatan yang merupakan proses pembinaan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan negara hukum yang menjunjung tinggi nilai-nilai

SKRIPSI PERAN BAPAS DALAM PEMBIMBINGAN KLIEN PEMASYARAKATAN YANG MENJALANI CUTI MENJELANG BEBAS. (Studi di Balai Pemasyarakatan Surakarta)

PELAKSANAAN PEMBERIAN CUTI BERSYARAT BAGI NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KELAS IIA KEROBOKAN DENPASAR

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Layanan perpustakaan..., Destiya Puji Prabowo, FIB UI, 2009

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bagi negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila, pemikiran-pemikiran

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK YANG MENJALANI PIDANA PENJARA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) sebagai salah satu institusi

Kata Kunci : Narapidana, Lembaga Pemasyarakatan, Pembinaan

BAB I PENDAHULUAN. Indie (Kitab Undang Undang Hukum pidana untuk orang orang. berlaku sejak 1 januari 1873 dan ditetapkan dengan ordonasi pada tanggal

perundang-undangan tentang pemberantasan tindak pidana korupsi serta tugas dan wewenang Kejaksaan, maka dapat disimpulkan bahwa:

BAB I PENDAHULUAN. diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi,

TINJAUAN YURIDIS TENTANG PENGURANGAN MASA PIDANA (REMISI) TERHADAP TINDAK PIDANA NARKOTIKA (Studi Kasus di Lapas Narkotika Kelas II A Yogyakarta)

BAB III HAMBATAN PROSES PEMBINAAN DAN UPAYA MENGATASI HAMBATAN OLEH PETUGAS LAPAS KELAS IIA BINJAI

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum

Kata kunci: Lembaga Pemasyarakatan, Pembebasan Bersyarat, Warga Binaan, Resosialisasi

BAB III PENUTUP. disimpulkan dalam penelitian ini bahwa dengan dikeluarkannya Peraturan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pembinaan merupakan aspek penting dalam sistem pemasyarakatan yaitu sebagai

PEMBINAAN BAGI TERPIDANA MATI. SUWARSO Universitas Muhammadiyah Purwokerto

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Sebagai Negara Hukum yang

MODEL PEMBINAAN NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KELAS II B TABANAN

BAB I PENDAHULUAN. seluruh rakyat Indonesia. Setelah adanya Keputusan Konferensi Dinas Para

: : Ilmu Hukum FAKULTAS HUKUM

BAB III PENUTUP. beberapa kesimpulan tentang pemberian pembebasan bersyarat bagi narapidana di

KAJIAN YURIDIS PEMBEBASAN BERSYARAT DALAM PERSPEKTIF SISTEM PERADILAN PIDANA TERPADU DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS IIB TEBO

BAB I PENDAHULUAN. mengenai fungsi pemidanaan tidak lagi hanya sekedar penjeraan bagi narapidana,

BAB III PENUTUP. sebagai jawaban atas permasalahan yaitu :

BAB III PENUTUP. (Berita Acara Pelaksanaan Putusan Hakim) yang isinya. dalam amar putusan Hakim.

Pemberian Pembebasan Bersyarat Sebagai Prinsip Sistem Pemasyarakatan Dalam Melakukan Pembinaan Terhadap Narapidana. Kasman Siburian.

BAB I PENDAHULUAN. yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi. 1 Hal ini berarti setiap

menegakan tata tertib dalam masyarakat. Tujuan pemidanaan juga adalah untuk

BAB I PENDAHULUAN. bangsa, berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Penyelenggaraan

MENTERI KEHAKIMAN DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. tahanan, narapidana, anak Negara dan klien pemasyarakatan sebagai subyek

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

PENGAWASAN PEMBERIAN REMISI TERHADAP NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN (LAPAS) KLAS IIA ABEPURA

BAB III PENUTUP. 1. Pasal 1 Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-Undangan Republik

BAB III PENUTUP. dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Polresta Yogyakarta

Institute for Criminal Justice Reform

BAB I PENDAHULUAN. Hukum diciptakan oleh manusia mempunyai tujuan untuk menciptakan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Merebaknya kasus kejahatan dari tahun ke tahun memang bervariasi,

Institute for Criminal Justice Reform

BAB V PENUTUP. dijabarkan pada bab sebelumnya, dapat disimpulkan :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kehidupan narapidana untuk dapat membina, merawat, dan memanusiakan

BAB I PENDAHULUAN. membangun sistem hukum sendiri. Secara teoritis-konseptual, dalam

BAB I PENDAHULUAN. Pada masa sekarang kejahatan semakin berkembang sesuai dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Anak merupakan amanah dan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

BAB I PENDAHULUAN. pemberantasan atau penindakan terjadinya pelanggaran hukum. pada hakekatnya telah diletakkan dalam Undang-Undang Nomor 48 tahun

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. UUD 1945 pasal 1 ayat (3) bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum yang

BAB III REMISI BAGI TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM PP NO 99 TAHUN 2012 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PP NO 32 TAHUN 1999 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pidana penjara atau pemasyarakatan merupakan salah satu bagian dari

IMPLEMENTASI AJARAN AGAMA ISLAM DALAM KERANGKA PEMBINAAN NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KELAS II B KLATEN NASKAH PUBLIKASI

Penerapan Pidana Bersyarat Sebagai Alternatif Pidana Perampasan Kemerdekaan

Lex Administratum, Vol. V/No. 2/Mar-Apr/2017

KOMISI PERLINDUNGAN ANAK INDONESIA (KPAI) PADA SIDANG HAM

Strategi RUTAN dan LAPAS yang ada di DKI Jakarta saat ini dalam mengatasi over capacity adalah melakukan penambahan gedung hunian dan

BAB I PENDAHULUAN. dikenal dengan prinsip pemasyarakatan : 1. Orang yang tersesat harus diayomi dengan memberikan bekal hidup sebagai

BAB I PENDAHULUAN. Penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat- zat adiktif lainnya (NAPZA)

BAB III PENUTUP. kesimpulan bahwa realisasi hak-hak narapidana untuk mendapatkan upah atau

BAB I PENDAHULUAN. melanggar rumusan kaidah hukum pidana, dalam arti memenuhi unsur-unsur

BAB I PENDAHULUAN. Penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat- zat adiktif lainnya (NAPZA)

NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP) PEMBINAAN BAGI NARAPIDANA NARKOTIKA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KELAS II A KEROBOKAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan negara berkembang yang dari waktu ke waktu

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 99 TAHUN 2012 TENTANG

I. PENDAHULUAN. prinsip hukum acara pidana yang mengatakan peradilan dilakukan secara

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA

PELAKSANAAN PEMBINAAN YANG BERSIFAT KEMANDIRIAN TERHADAP NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KELAS II B SLAWI

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2014

BAB III PROSES PENGAJUAN DAN PEMBERIAN REMISI TERHADAP NARAPIDANA PIDANA PENJARA SEUMUR HIDUP DAN KENDALANYA

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal, tetapi dapat juga

Pembinaan Terhadap Terpidana Lanjut Usia di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Jambi

Pengertian dan Sejarah Singkat Pemasyarakatan

PERKEMBANGAN PIDANA DENDA DALAM PERSPEKTIF PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA

Kata Kunci :Efektivitas, Lembaga Pemasyarakatan, Narapidana, Pembinaan

BAB I PENDAHULUAN. telah ditegaskan dengan jelas bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas hukum,

BAB I PENDAHULUAN. Untuk menjaga peraturan-peraturan hukum itu dapat berlangsung lurus

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 174 TAHUN 1999 TENTANG REMISI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 1999 TENTANG PENGURANGAN MASA PIDANA (REMISI) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

KEPUTUSAN MENTERI KEHAKIMAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : M.01-PK TAHUN 1999 TENTANG ASIMILASI, PEMBEBASAN BERSYARAT DAN CUTI MENJELANG BEBAS

: MEDIASI PENAL DALAM PENYELESAIAN TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN OLEH ANAK FAKULTAS : HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI SURAKARTA ABSTRAK

BAB III PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan hasil dari penelitian dan pembahasan dapat diambil suatu

BAB I PENDAHULUAN. pembinaan narapidana yang didasarkan kepada Pancasila dan Undang-Undang

KEDUDUKAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL (PPNS) DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan Nasional pada dasarnya merupakan pembangunan manusia

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara hukum yang memiliki konstitusi tertinggi dalam

BAB I PENDAHULUAN. untuk anak-anak. Seperti yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dewasa ini narapidana tidak lagi dipandang sebagai objek melainkan

BAB III PENUTUP. Berdasarkan hasil dari penelitian dan pembahasan yang telah penulis

PEMBINAAN TERHADAP TERPIDANA MATI DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN

BAB I PENDAHULUAN. timbul berbagai macam bentuk-bentuk kejahatan baru. Kejahatan selalu

Transkripsi:

FAKTOR-FAKTOR YANG MENJADI PENGHAMBAT DALAM PEMBERIAN REMISI TERHADAP NARAPIDANA (STUDI KASUS DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS IIA DENPASAR) Oleh : I Kadek Satrya Budhi Prabawa I Ketut Mertha I Wayan Suardana Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana Abstract Remissions for the criminal is an order of regulations as excitement, to make the criminal feel disposed for go through a period of development for change behavior fit for purpose of penal system. But in the implementation which involved many institutions and agencies outside from penitentiary were not accompanied with the strict rules. Therefore caused some difficulties in barriers precisely in giving remissions for the criminal Key words: Remissions, Criminal, Penal System, Penitientiary. Abstrak: Pemberian Remisi kepada narapidana merupakan perintah dari Undang-undang sebagai rangsangan agar narapidana bersedia menjalani pembinaan untuk merubah perilaku sesuai dengan tujuan Sistem Pemasyarakatan, namun dalam pengawasannya yang melibatkan lembaga atau instansi di luar Lembaga Pemasyarakatan tidak dibarengi dengan adanya suatu peraturan yang tegas dalam pelaksanaannya. Hal ini mengakibatkan adanya hambatan-hambatan yang mempersulit pemberian remisi kepada narapidana tersebut. Kata Kunci : Remisi, Narapidana, Sistem Pemasyarakatan, Lembaga Pemasyarakatan A. Latar belakang I. PENDAHULUAN 1

Pidana penjara juga disebut sebagai Pidana Hilang Kemerdekaan dimana seseorang dibuat tidak berdaya dan diasingkan secara sosial dari lingkungannya. 1 Sistem pemenjaraan yang sangat menekankan pada unsur balas dendam dan penjeraan berangsurangsur dipandang sebagai suatu sistem yang tidak sejalan dengan konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial agar narapidana menyadari kesalahannya. 2 Berdasarkan pemikiran tersebut maka sejak tahun 1964 sistem pembinaan bagi narapidana dan anak pidana telah berubah secara mendasar yaitu dari sistem kepenjaraan menjadi sistem pemasyarakatan. Begitu pula institusinya yang semula disebut rumah penjara dan rumah pendidikan negara menjadi Lembaga Pemasyarakatan berdasarkan Surat Instruksi Kepala Direktorat Pemasyarakatan No. J.H.G.8/506 tanggal 17 juni 1964. 3 Adanya pemberian remisi merupakan perintah dari Undang-Undang No: 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, sebagai rangsangan agar narapidana bersedia menjalani pembinaan untuk merubah perilaku sesuai dengan tujuan Sistem Pemasyarakatan. Namun dalam pelaksanaannya yang melibatkan beberapa lembaga dan instansi di luar daripada Lembaga Pemasyarakatan tidak dibarengi dengan adanya suatu peraturan yang tegas dalam pelaksanaannya. Hal ini mengakibatkan adanya hambatan-hambatan yang justru mempersulit pemberian remisi kepada narapidana. B. Tujuan 1 Panjaitan,Petrus Iwan dan Pandapotan Simorangkir,1995. Lembaga Pemasyarakatan dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana. Jakarta. Pustaka Sinar Harapan, h.14. 2 Evi Hartanti, 2005,Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Sinar Grafika, h.28 3 Dwidja Priyatno, 2006, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, Bandung, Refika Aditama h. 62 2

Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui tentang apa saja yang menjadi faktor penghambat dalam pemberian remisi terhadap narapidana, serta memahami solusi dalam pemecahan masalah faktor penghambat dalam pemberian remisi tersebut. C. Metode Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum empiris. Penelitian Hukum Empiris ini beranjak dari adanya kesenjangan antara Teori dengan realita dan kesenajangan adanya keadaan teoritis dengan fakta hukum. 4 II. PEMBAHASAN A. Faktor-faktor yang Menjadi Penghambat Dalam Pemberian Remisi Terhadap Narapidana 1. Faktor Administrasi: Adanya keterlambatan dalam hal persyaratan pengajuan remisi seperti, keterlambatan datangnya petikan vonis dari Pengadilan Negeri yang memutus perkara narapidana tersebut hingga, dapat menghambat dalam pengusulan remisi bagi narapidana yang bersangkutan. 2. Faktor Kelembagaan: Belum adanya suatu lembaga atau institusi yang khusus mengawasi pemberian remisi kepada narapidana. Hal ini sangat diperlukan untuk meminimalisir terjadinya keterlambatan pemberian hak narapidana khususya remisi 3. Faktor Sarana dan Prasarana: Ketiadaan sarana untuk penghitung remisi, karena penghitungannya masih dilaksanakan secara manual yaitu dengan menggunakan alat telram yang juga digunakan untuk menghitung eksipirasi (perhitungan bebas lepas narapidana). 4 H. Zainuddin Ali, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h. 30 3

4. Faktor dari Perilaku Narapidana: Salah satu faktor sebagai pengahambat pemberian remisi adalah berasal dari diri narapidana sendiri seperti, narapidana terlibat atau melakukan tindakan indisipliner. B. Upaya Untuk Meminimalisir Terjadinya Faktor Penghambat Dalam Pemberian Remisi. 1. Faktor Administrasi: Melakukan upaya-upaya yang dapat mendukung pelaksanaan pemberian remisi tersebut dengan cara, mengadakan hubungan kerjasama dan saling mengadakan koordinasi yang baik dengan pihak-pihak terkait dengan Pengadilan, Kejaksaan dan Kepolisian. Agar narapidana yang bersangkutan dapat diusulkan hak untuk mendapat remisinya tepat waktu. 2. Faktor Kelembagaan: Untuk meminimalisir terjadinya faktor kelembagaan dalam pemberian remisi ialah memberdayakan setiap lembaga atau institusi yang terlibat dalam pengawasan pemberian remisi kepada narapidana, melalui menjalin hubungan baik dengan instansi terkait. 3 Faktor Sarana dan Prasarana: Untuk meminimalisir terjadinya faktor sarana dan prasarana dalam pemberian remisi yakni, meningkatkan pengadaan sarana untuk perhitungan remisi dengan tidak lagi memakai secara manual tetapi dengan teknologi yang canggih, dengan sarana komputerisasi khusus yang dapat diprogram untuk perhitungan remisi 4. Faktor dari Perilaku Narapidana: Untuk meminimalisir terjadinya faktor penghambat dari perilaku narapidana ialah, pelaksanaan pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan lebih 4

dioptimalkan melalui pembinaan yang terstruktur dan berkesinambungan agar narapidana menyadari kesalahan dan tidak akan mengulangi lagi pelanggaran yang telah dilakukan. 5 III. KESIMPULAN 1. Dalam pemberian remisi masih terdapat faktor-faktor yang menghambat dalam pelaksanaannya yang menimbulkan akibat hukum bagi narapidana seperti, narapidana terlibat atau melakukan tindakan indisipliner sehingga hak untuk memperoleh remisi tersebut dicabut atau dibatalkan. 2. Untuk meminimalisir faktor-faktor penghambat tersebut dapat dilakukan berbagai upaya seperti, memaksimalkan pembinaan agar terstruktur dan berkesinambungan di Lembaga Pemasyarakatan. BUKU IV. DAFTAR PUSTAKA Bahroedin Soerjobroto, 1969, The Treatment of Offenders, Semarang, UNDIP. Dwidja Priyatno, 2006, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, Bandung, Refika Aditama Evi Hartanti, 2005, Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Sinar Grafika H. Zainuddin Ali, 2009, Metode Penelitian Hukum, Jakarta, Sinar Grafika. Panjaitan, Petrus Iwan dan Pandapotan Simorangkir, 1995, Lembaga Pemasyarakatan dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan 5 Bahroedin Soerjobroto, 1969, The Treatment of Offenders, UNDIP, Semarang, h. 42 5