BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kemajuan industri pada suatu negara tidak terlepas dari ketersediaan sumber daya energi yang memadai, Jepang misalnya memiliki sumber daya alam yang sangat terbatas, oleh karenanya Jepang melakukan terobosan inovasi dengan penerapan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikuasainya sehingga menjadi negara maju yang mampu mencukupi kebutuhan energinya. Jepang memiliki 54 Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN), sebelum kejadian gempa bumi dan tsunami pada tanggal 11 Maret 2011 yang memicu insiden kecelakaan PLTN Fukushima Daiici, energi nuklir menyumbangkan 30% kebutuhan listrik dengan kapasitas 47,5 GWe. Insiden Fukushima Daiichi menyebabkan terjadinya kebocoran zat radioaktif ke lingkungan hidup hingga radius puluhan kilometer, menyebabkan ratusan penduduk di sekitar lokasi harus dievakuasi, serta ribuan ton bahan makanan dan produk pertanian lokal harus diawasi dengan sangat ketat. Ribuan area yang terkontaminasi harus dipantau secara ketat dan diupayakan tindakan-tindakan dekontaminasi yang memakan banyak biaya. Lima tahun setelah bencana atom Fukushima (48 PLTN dinonaktifkan), pemerintah Jepang kembali menegaskan negaranya tetap perlu energi atom untuk industri dan kebutuhan warga sehari-hari dan banyak belajar dari kejadian bencana tersebut sehingga Badan Pengawas atom Jepang (NRA) memberlakukan aturan lebih ketat. Pengoperasian kembali sejumlah PLTN akan 1
2 dilakukan jika seluruh ketentuan dalam regulasi energi nuklir telah dipatuhi dan dilakukan eksaminasi ulang. Indonesia sampai saat ini belum mempunyai pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN), padahal berdasarkan kebijakan energi nasional yang tertuang dalam Peraturan Presiden No.5 tahun 2006, telah ditetapkan mengenai skenario pemenuhan kebutuhan energi nasional antara tahun 2005 2025. Peraturan Presiden tersebut telah mencantumkan target penyediaan energi baru dan terbarukan sebesar 17%, dengan 2% diantaranya merupakan kontribusi energi nuklir. Berdasarkan roadmap tersebut kemudian disusun perencanaan untuk pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) sebanyak empat unit dimana masing-masing berkapasitas 1000 MW. Indonesia memiliki tiga reaktor riset yang tidak kalah penting bagi pengembangan industri pangan dan kesehatan. Tiga reaktor tersebut antara lain: Reaktor Triga di Bandung dibangun tahun 1965 memiliki daya 2.000 KW, Reaktor GA Siwabessy yaitu Reaktor Nuklir Serba Guna (RSG) yang dikembangkan sejak tahun 1972 memiliki daya 30 MW di kawasan Puspiptek Serpong, dan Reaktor Kartini di Yogyakarta dibangun akhir tahun 1974 dan beroperasi tahun 1979 mempunyai daya 100 KW didesain untuk tujuan penelitian, pendidikan dan pelatihan. BATAN (Badan Tenaga Atom Nasional) yang mengelola ketiga reaktor tersebut, sebagai badan usaha milik negara dalam mengoperasikan fasilitasnya harus tunduk dan patuh terhadap peraturan pemanfaatan tenaga nuklir di Indonesia dan peraturan keselamatan dan keamanan nuklir internasional dibawah pengawasan badan dunia yaitu IAEA (International Atomic Energy Agency). 2
3 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran, p a s a l 4 memberikan amanat kepada Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN) untuk memastikan pemanfaatan tenaga nuklir di Indonesia berlangsung dengan aman dan selamat. BAPETEN mempunyai kewenangan untuk menyusun peraturan perundang-undangan ketenaganukliran, menyelenggarakan sistem perizinan dan melaksanakan kegiatan inspeksi serta penegakan hukum untuk memastikan kepatuhan pengguna tenaga nuklir terhadap peraturan dan ketentuan keselamatan dan keamanan nuklir. BAPETEN harus didukung oleh SDM yang profesional dalam bidangnya guna terus menyiapkan perangkat pengawasannya, dengan terus meningkatkan kompetensi SDM untuk mengimbangi perkembangan teknologi nuklir, menjunjung idependensi berintegritas tinggi (jujur dan benar dalam sikap) menjaga profesionalitas serta menggunakan pengalaman sebagai untuk mencapai efektivitas pengawasan. Data sekunder menunjukkan bahwa kompetensi pegawai belum sepenuhnya sesuai standar kompetensi yang dipersyaratkan. dapat dilihat dari gambar 1.1 sebagai berikut: Sumber : Balai Diklat BAPETEN (2016) Gambar 1.1: Grafik Gap Kompetensi Inspektur 3
4 Hasil self assessment (kaji diri pegawai) tiga tahun terakhir pada beberapa kuadran kompetensi masih terdapat gap dari standar yang dipersyaratkan. Data independensi pegawai masih kurang ditegakkan dapat dilihat pada gambar 1.2 sebagai berikut: Gambar 1.2 : Grafik independensi Sumber: Sub. Bagian Administrasi Kepegawaian BAPETEN (2016) Data penilaian sikap perilaku pegawai tiga tahun terakhir rata rata antara 85 86 bernilai baik, sedangkan targetnya antara 90 100 bernilai sangat baik. Data pengalaman kerja pegawai tiga tahun terakhir yang masih kurang untuk mendukung pengawasan dapat dilihat pada gambar 1.3 sebagai berikut: Gambar 1.3: Grafik Perbandingan Pengalaman Inspektur Sumber : Direktorat Inspeksi FRZR BAPETEN (2016) 4
5 Pengalaman kerja inspektur yang berada di luar unit kerja inspeksi lebih rendah dibandingkan inspektur yang berada di unit kerja inspeksi karena mendapat penugasan jauh lebih sedikit dibanding inspektur yang berada di unit kerja inspeksi yang merupakan tugas pokok dan fungsi inspeksi.yaitu antara 2 4 per tahun sedangkan inspektur yang berada pada unit inspeksi mendapat penugasan rata-rata 6 10 per tahun. Data temuan hasil inspeksi tiga tahun terakhir menggambarkan tingkat efektivitas pengawasan belum tercapai dapat di lihat pada gambar 1.4 sebagai berikut: Gambar 1.4 Grafik Temuan Hasil Inspeksi Sumber : Direktorat Inspeksi FRZR BAPETEN (2016) Grafik menunjukkan bahwa masih terdapat temuan pelanggaran dengan tingkat temuan level 1 (berat) hingga mencapai 30%, sedangkan targetnya adalah zero temuan. 5
6 Penelitian sebelumnya yang membedakan dengan penelitian ini adalah penelitian oleh Norma Kharismatuti, P. Basuki Hadiprajitno, Jakarta 2012, berjudul Pengaruh Kompetensi Dan Independensi Terhadap Kualitas Audit dengan Etika Auditor Sebagai Variabel Moderasi (Studi Empiris pada Internal Auditor BPKP DKI), hasilnya menunjukkan bahwa kompetensi tidak berpengaruh positif terhadap kualitas audit. Independensi berpengaruh positif terhadap kualitas audit. Etika auditor berpengaruh positif terhadap kualitas audit. Audit pada hakekatnya sama dengan inspeksi. Hasil audit sama dengan hasil inspeksi. Keduanya bertujuan memberikan pengawasan, yang membedakan hanya obyek yang diawasi. 1.2. Identifikasi Masalah, Perumusan, dan Batasan Masalah 1.2.1. Identifikasi Masalah Data sekunder tersebut di atas memberikan dasar bagi penulis untuk membuktikan adanya masalah yang ada pada SDM Pengawas di BAPETEN, identifikasi masalah sebagai berikut: 1) Kesenjangan kompetensi Inspektur BAPETEN cukup besar. Diprediksi masih terdapat gap antara kompetensi yang dimiliki oleh Inspektur BAPETEN dengan standar kompetensi yang dipersyaratkan. 2) Penerapan independensi yang artinya integritas (kejujuran dan sikap yang benar dalam diri inspektur), mempertahankan sikap yang tidak memihak sepanjang pelaksanaan inspeksi masih belum transparan. 6
7 3) Sebagian besar pengalaman kerja Inspektur belum mendukung pengawasan. 4) Efektivitas pengawasan belum sesuai dengan yang diharapkan, yang mana efektivitas diukur dari tidak adanya temuan pelanggaran sesuai hasil inspeksi pada fasilitas sehingga dapat dipastikan kondisi aman dan selamat. 1.2.2. Perumusan masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas penulis mencoba merumuskan permasalahan tentang: 1) Bagaimana pengaruh kompetensi terhadap efektivitas pengawasan?. 2) Bagaimana pengaruh independensi terhadap efektivitas pengawasan?. 3) Bagaimana pengaruh pengalaman kerja terhadap efektivitas pengawasan?. 4) Bagaimana pengaruh kompetensi, independensi dan pengalaman kerja terhadap efektivitas pengawasan secara simultan?. 1.2.3. Batasan Masalah Penulis ingin meneliti pengaruh kompetensi, independensi dan pengalaman kerja terhadap efektivitas pengawasan yang dilakukan oleh inspektur keselamatan nuklir yang diberi kewenangan oleh Kepala BAPETEN untuk melaksanakan inspeksi yaitu memastikan ditaatinya peraturan perundang-undangan ketenaganukliran oleh pengguna izin. Ketentuan tentang inspeksi diatur dalam Peraturan Kepala BAPETEN nomor 18 tahun 2012 tentanng Inspektur Keselamatan Nuklir Badan 7
8 Pengawas Tenaga Nuklir, pada pasal 6 ayat 2 dijelaskan tentang jenjang inspektur didasarkan atas pangkat, golongan dan ruang, serta kompetensi. 1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1. Maksud Penelitian Penelitian ini untuk mengetahui dan menganalisa lebih dalam tentang pengaruh kompetensi, independensi dan pengalaman kerja SDM pengawas tenaga nuklir terhadap efektivitas pengawasan pemanfaatan tenaga nuklir di Indonesia. 1.3.2. Tujuan Penelitian Penulis berharap dapat membuktikan keterkaitan antara kompetensi sebagai modal dasar untuk melakukan tugas dengan baik mencapai hasil maksimal, independensi untuk membuktikan SDM yang profesional dan pengalaman kerja mendukung untuk penyelesaian tugas dengan baik. 1.4. Manfaat dan Kegunaan Penelitian 1.4.1. Manfaat Penelitian Memberikan semangat kepada para inspektur untuk terus meningkatkan kompetensi dan menjunjung tinggi sikap independensi serta meningkatkan pengalaman kerja guna mendukung tugas dan tanggungjawab sebagai aparatur sipil negara yang profesional. 1.4.2. Kegunaan Penelitian 8
9 Hasil penelitian ini akan memberikan data kepada lembaga untuk mendukung pentingnya program pengembangan SDM guna mewujudkan visi dan misi BAPETEN. Memberikan data untuk terus mengembangkan program budaya keselamatan dan keamanan nuklir. 9