HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum

dokumen-dokumen yang mirip
BAHAN DAN METODE. Metode Penelitian Pengaruh Lot Benih dan Kondisi Tingkat Kadar Air Benih serta Lama Penderaan pada PCT terhadap Viabilitas

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum

HASIL DAN PEMBAHASAN. Percobaan 1 : Pengaruh Pertumbuhan Asal Bahan Tanaman terhadap Pembibitan Jarak Pagar

TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Wijen secara Umum

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. Pembuatan Lot Benih

HASIL DA PEMBAHASA. Percobaan 1. Pengujian Pengaruh Cekaman Kekeringan terhadap Viabilitas Benih Padi Gogo Varietas Towuti dan Situ Patenggang

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode

IV. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. Muhammadiyah Yogyakarta dalam suhu ruang. Parameter penelitian di. normal di akhir pengamatan (Fridayanti, 2015).

METODOLOGI PENELITIAN

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat. Bahan dan Alat. Tabel 1. Keterangan mutu label pada setiap lot benih cabai merah

I. PENDAHULUAN. Tomat (Lycopersicon esculentum Mill.) termasuk dalam jenis tanaman sayuran,

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 2. Kondisi Pols (8 cm) setelah Penyimpanan pada Suhu Ruang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan. Percobaan ini dilakukan mulai

HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. Vigor Benih

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian. Bahan dan Alat

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Percobaan Bahan dan Alat Metode Pelaksanaan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Viabilitas benih diartikan sebagai kemampuan benih untuk tumbuh menjadi

I. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu. Bahan dan Alat. diameter 12 cm dan panjang 28 cm, dan bahan-bahan lain yang mendukung

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil Percobaan I. Pengaruh Suhu Air dan Intensitas Perendaman terhadap Perkecambahan Benih Kelapa Sawit

HASIL DAN PEMBAHASAN

47 Tabel 3. Rata-rata Persentase kecambah Benih Merbau yang di skarifikasi dengan air panas, larutan rebung dan ekstrak bawang merah Perlakuan Ulangan

TINJAUAN PUSTAKA Benih Bermutu Viabilitas dan Vigor benih

METODE. Tempat dan Waktu Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN

MUTU FISIOLOGIS BENIH JAGUNG DARI BEBERAPA UJI PENGECAMBAHAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman tomat termasuk tanaman semusim Ordo Solanales, family solanaceae,

I. PENDAHULUAN. karena nilai gizinya yang tinggi. Untuk memenuhi konsumsi dalam negeri,

II. TINJAUAN PUSTAKA. wilayah beriklim sedang, tropis, dan subtropis. Tanaman ini memerlukan iklim

BAHAN DAN METODE. Kegiatan penelitian terdiri dari tiga percobaan. Percobaan pertama yaitu

BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan dengan ketinggian ± 32 meter di

I PENDAHULUAN. Tanaman kacang buncis (Phaseolus vulgaris L.) merupakan salah satu tanaman

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Hasil

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengendalian hama dan penyakit pada pembibitan yaitu dengan menutup atau mengolesi luka bekas pengambilan anakan dengan tanah atau insektisida,

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian

TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Kedelai Vigor Benih dan Uji Vigor Benih

I. PENDAHULUAN. Benih merupakan salah satu masukan usaha tani yang mempengaruhi tingkat

HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Pertumbuhan Tanaman. Hasil sidik ragam 5% terhadap tinggi tanaman menunjukkan bahwa

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1 Rekapitulasi hasil analisis sidik ragam pertumbuhan bibit saninten

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Viabilitas benih diartikan sebagai kemampuan benih untuk tumbuh menjadi

TINJAUAN PUSTAKA Botani Kedelai

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1. Data Iklim Lahan Penelitian, Kelembaban Udara (%)

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Pertumbuhan Tanaman. tinggi tanaman dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 1. Rerata Tinggi Tanaman dan Jumlah Daun

BAB VI PEMBAHASAN. lambat dalam menyediakan unsur hara bagi tanaman kacang tanah, penghanyutan

yang khas, ukuran buah seragam, dan kandungan gizi sama dengan tomat buah. Kecenderungan permintaan tomat rampai yang semakin meningkat dipasaran akan

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu. Bahan dan Alat. Metode Penelitian

TINJAUAN PUSTAKA. Botani dan Keanekaragaman Budidaya Padi

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA Padi Gogo

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Benih dan Pemuliaan Tanaman,

I. PENDAHULUAN. Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk Indonesia, menyebabkan

Tipe perkecambahan epigeal

PENGARUH LAMA PENYIMPANAN TERHADAP KUALITAS JAGUNG KUNING DAN JAGUNG PUTIH

Lampiran 1. Genotipe yang Digunakan sebagai Bahan Penelitian pada Percobaan Pendahuluan

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi IBA (Indole Butyric Acid)

II. TINJAUAN PUSTAKA. daya hidup benih yang ditunjukan dengan gejala pertumbuhan atau gejala

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian

BAHAN METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. tumbuh-tumbuhan. Terkait dengan tumbuh-tumbuhan sebenarnya telah

I. PENDAHULUAN. setelah beras. Selain itu juga digunakan sebagai pakan ternak dan bahan baku

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Buncis (Phaseolus vulgaris L.) merupakan tanaman sayuran yang berasal dari

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Rancangan Percobaan

BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil dan pembahasan. A. Pertumbuhan tanaman. maupun sebagai parameter yang digunakan untuk mengukur pengaruh lingkungan

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. cendawan MVA, sterilisasi tanah, penanaman tanaman kedelai varietas Detam-1.

HASIL DAN PEMBAHASAN. kompos limbah tembakau memberikan pengaruh nyata terhadap berat buah per

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Metode Penelitian

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. panennya menunjukkan bahwa ada perbedaan yang nyata (hasil analisis disajikan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 21 hari setelah tanam. Sedangkan analisis pengaruh konsentrasi dan lama perendaman

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Justice dan Bass (2002), penyimpanan benih adalah. agar bisa mempertahankan mutunya. Tujuan dari penyimpanan benih

Transkripsi:

22 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Benih memiliki rata-rata daya berkecambah awal sebesar 94%. Kadar air awal benih sebelum mendapatkan perlakuan adalah 5-5.6%. Keterangan lebih lengkap mengenai kondisi awal benih dapat dilihat pada Lampiran 1. Pengukuran kadar air dilakukan dengan metode suhu rendah yaitu benih dioven pada suhu 103 + 2 0 C berdasarkan ketetapan (ISTA, 2007). Kondisi suhu inkubator yang digunakan dalam pengusangan benih adalah 45 o C. Benih yang dikeluarkan dari inkubator didiamkan selama kurang lebih satu jam sebelum benih ditanam di atas kertas saring. Kadar air benih rata-rata selama pengusangan cepat terkontrol untuk setiap perlakuan kadar air adalah 19.8%, 22.1%, 23.4%, dan 25.7% (Lampiran 2). Hal ini menunjukkan bahwa kadar air benih untuk setiap perlakuan adalah relatif sesuai dengan perlakuan. Keadaan benih setelah pengusangan cepat terkontrol sangat beragam. Benih yang mempunyai vigor tinggi tetap mampu menghasilkan kecambah normal meskipun ditemukan adanya pertumbuhan cendawan setelah beberapa hari penanaman (Lampiran 3). Kondisi ini tidak berpengaruh terhadap kecambah benih sampai akhir pengamatan. Benih yang telah kehilangan vigor ditandai dengan kematian jaringan benih sehingga mengalami pembusukan benih dan strukturnya menjadi lembek saat dipegang. Suhu harian rumah kaca terendah yang berhasil tercatat selama penanaman adalah 34 o C pada pukul 07: 00 pagi dan suhu tertinggi pada pukul 12:50 siang adalah 44 o C. Intensitas cahaya matahari yang diterima dalam rumah kaca kurang lebih selama 8 jam setiap hari. Hal ini karena selama penanaman terjadi musim kemarau panjang dan kondisi ini mengakibatkan media tanam yang digunakan lebih cepat mengering akibat penguapan yang tinggi. Daya tumbuh benih pada saat penanaman di rumah kaca hampir merata dan seragam sampai akhir pengamatan. Ketersediaan air yang tidak maksimal mengakibtkan tanaman lebih cepat mengalami kelayuan meskipun kondisi ini tidak mengakibatkan perbedaan pertumbuhan bibit dari setiap lot benih.

23 Hasil Pengaruh Lot Benih dan Kondisi Tingkat Kadar Air Benih serta Lama Penderaan pada PCT terhadap Viabilitas Berdasarkan rekapitulasi sidik ragam pada Tabel 1 ditunjukkan bahwa interaksi dari kedua faktor yaitu faktor kondisi PCT dan faktor lot benih berpengaruh sangat nyata terhadap tolok ukur yang diamati pada percobaan ini yaitu tolok ukur V PCT dan tolok ukur kecepatan tumbuh benih setelah PCT. Demikian juga faktor tunggal lot benih dan faktor tunggal kondisi PCT. Hasil analisis sidik ragamnya dapat dilihat pada Lampiran 4-5. Nilai tengah V PCT pengaruh interaksi dari kedua faktor dapat dilihat dalam Tabel 2. Tabel 1. Rekapitulasi Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan terhadap Tolok Ukur Viabilitas setelah Pengusangan Cepat Terkontrol (V PCT ) dan Kecepatan Tumbuh (K CT ) setelah Pengusangan Tolok Sumber Keragaman KK (%) Ukur Kond. PCT Lot Benih Interaksi V PCT ** ** ** 8.38 K CT ** ** ** 19.32 t Keterangan : ** = berpengaruh sangat nyata t = transformasi dengan ( x + 0.5 ) 0.5 KK = koefisien keragaman V PCT pada P0, P4, P8, dan P12 yang merupakan kondisi semua kadar air benih (20%, 22%, 24%, 26%) tanpa penderaan (0 jam) dari keempat lot benih berada pada kisaran 86-96% dengan rata-rata lebih dari 93%. Angka ini menunjukkan bahwa keempat lot benih yang digunakan memiliki viabilitas awal yang sama tinggi. Berdasarkan data pada Tabel 2, V PCT pada kondisi KA benih 20% dengan lama penderaan 24 jam (P1) telah berada pada kisaran yang lebih besar dibandingkan dengan vigor awal benih. Nilai rata-rata V PCT dari keempat lot benih berkisar 69.3%-96%. Lot 3 pada kondisi tersebut terlihat memiliki tingkat vigor yang tertinggi dengan angka V PCT masih mencapai 96 %. Benih lot 2 terlihat memiliki V PCT yang paling rendah dibandingkan dengan ketiga lot benih yang digunakan karena vigornya mengalami penurunan dari vigor awal benih hingga mencapai nilai rata-rata 69.3%.

24 Tabel 2. Nilai Tengah V PCT Pengaruh Interaksi Faktor Lot Benih dengan Kondisi KA benih serta Lama Penderaan PCT Lot ( KA+Periode) L1 L2 L3 L4 (%) 20 0 (P0) 90 abcd 88.6 abcde 95.3 ab 86 cdefg 20 + 24 (P1) 81.3 efgh 69.3 ij 96 ab 78 gh 20 48 (P2) 36.6 m 29.3 mno 76 ih 26 op 20 72 (P3) 3.3 s 0 s 4 s 3.3 s 22 0 (P4) 90.6 abc 90.6 abc 96 ab 88.6 abcde 22 + 24 (P5) 87.3 bcdef 68.6 ij 88.6 abcde 79.3 fgh 22 48 (P6) 52.6 k 20 pq 67.3 j 14 qr 22 72 (P7) 17.3 q 0 s 28 no 8 rs 24 0 (P8) 93.3 abc 89.3 abcde 93.3 abc 88.6 abcde 24 + 24 (P9) 82 defgh 76 ih 79.3 fgh 68 j 24 48 (P10) 44.6 l 35.3 mn 54 k 4 s 24 72 (P11) 2 pq 0 s 32 mno 0 s 26 0 (P12) 94.6 ab 90.6 abc 96.6 a 86 cdefg 26 + 24 (P13) 85 cdefg 36 m 91.3 abc 52 k 26 48 (P14) 2.6 s 36.6 m 26 op 3.3 s 26 72 (P15) 0 s 2 s 0 s 17.3 q Keterangan: Nilai pada baris dan kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5% V PCT dengan kondisi KA benih 22% pada lama penderaan 24 jam (P5) juga telah memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap vigor benih yang digunakan. V PCT pada kondisi tersebut memiliki selang antara 68.6%-88.6%. Lot 3 masih tetap memiliki tingkat vigor yang paling tinggi dengan rata-rata V PCT adalah 88.6%, selain itu lot 2 masih tetap memiliki vigor terendah dibandingkan ketiga lot benih yang lain dengan rata-rata V PCT adalah 68.6%. Urutan viabilitas dari keempat lot benih mengalami perubahan ketika kondisi kadar air benih dinaikkan menjadi 24% dengan lama penderaan 24 jam (P9). Berdasarkan data pada Tabel 2, lot 1 terlihat memiliki vigor yang lebih tinggi dibandingkan ketiga lot benih lainnya dengan nilai V PCT pada kadar air benih tersebut adalah 82%. Lot 4 memiliki V PCT terendah yaitu 68%. Nilai V PCT pada kondisi KA benih menjadi 26% dengan lama penderaan 24 jam (P13) berada pada selang yang sangat besar. Hal ini karena nilai tertinggi dari V PCT adalah 91.3% untuk benih lot 3, sedangkan nilai terendah hanya mencapai angka 36% untuk benih lot 2.

25 V PCT pada kondisi semua kadar air benih (20%, 22%, 24%, 26%) dengan lama penderaan 48 jam (P2, P6, P10, P14) menunjukkan kecenderungan penurunan nilai vigor benih yang sangat signifikan. Nilai V PCT rata-rata dari semua kondisi tersebut berada di bawah angka 50% kecuali benih lot 3 pada kondisi P2 dan P6 yang masih terlihat memiliki nilai sebesar 76% dan 67.3%. Keempat lot benih kehilangan vigornya dan sebagian besar telah mengalami kematian ketika kondisi PCT berada pada KA 20%, 22%, 24%, 26% dengan penambahan lama penderaan menjadi 72 jam (P3, P7, P11, P15). Hasil sesuai dengan penelitian Modarresi dan Van Damme (2003) yang juga menunjukkan bahwa penderaan benih pada suhu 45 o C dengan kadar air 20% dan 22% selama 72 jam telah mematikan semua benih gandum. Gambaran kondisi penurunan V PCT benih karena pengaruh interaksi lot benih dengan seluruh kondisi PCT dapat dilihat pada Lampiran 6. Informasi yang diperoleh dari Tabel 1 menunjukkan bahwa interaksi antara kedua faktor yang digunakan pada penelitian ini juga memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap tolok ukur kecepatan tumbuh (K CT ) benih. Kecepatan tumbuh (K CT ) merupakan salah satu dari tiga tolok ukur yang digunakan untuk mengetahui kekuatan tumbuh benih di lapang atau yang disebut dengan vigor kekuatan tumbuh (V KT ). Vigor kekuatan tumbuh adalah kemampuan benih tumbuh normal pada kondisi suboptimum dan optimum dengan tiga tolok ukur yang dapat mengungkapkannya yaitu vigor spesifik, vigor kekuatan tumbuh, dan keserempakan tumbuh (Sadjad et al., 1999). Nilai tengah K CT setelah pengusangan pengaruh interaksi kedua faktor dapat dilihat lebih jelas pada Tabel 3. Kecepatan tumbuh benih rata-rata pada kondisi P0, P4, P8, dan P12 adalah di atas 22%/etmal dan berada pada kisaran 22.8-31.5%/etmal. Nilai-nilai tersebut menunjukkan bahwa kecepatan tumbuh benih awal masih cukup baik. Kecepatan tumbuh benih pada kondisi P1 sangat beragam antar lot benih seperti yang terlihat pada Tabel 3. Nilai K CT setelah pengusangan pada kondisi tersebut telah memiliki selang angka yang cukup lebar. Nilai kecepatan tumbuh tertinggi adalah lot 3 yaitu 25.4%/etmal dan kecepatan tumbuh terendah adalah lot 2 dengan nilai sebesar 16.1%. Urutan ini sesuai dengan urutan nilai pada V PCT benih dimana lot 3 masih memiliki vigor tertinggi dan lot 2 merupakan lot terendah.

26 Tabel 3. Nilai Tengah K CT setelah Pengusangan Pengaruh Interaksi Faktor Lot Benih dan Kondisi KA benih serta Lama Penderaan Lot PCT ( KA+Periode) L1 L2 L3 L4 (%/etmal) 20 0 (P0) 24.5 bcdefgh 23.3 bcdefghi 30.3 ab 22.8 cdefghij 20 + 24 (P1) 21.6 defghijk 16.1 jklmno 25.4 abcdefg 19 ghijklm 20 48 (P2) 8.2 qrstu 5.7 stuvwx 15.7 klmnop 6.3 stuvwx 20 72 (P3) 0.6 vwx 0 x 0.6 vwx 0.5 vwx 22 0 (P4) 27.6 abcde 23.7 bcdefghi 29.3 abc 24.4 bcdefgh 22 + 24 (P5) 22.7 cdefghij 14.6 lmnopq 24.7 abcdefgh 19.5 fghijkl 22 48 (P6) 12.4 mnopqrs 3.7 tuvwx 14.4 lmnopqr 2.5 tuvw x 22 72 (P7) 3.2 tuvwx 0 x 6.3 stuvwx 1.4 uvwx 24 0 (P8) 27.4 abcde 24.4 bcdefgh 28.7 abcd 23.6 bcdefghi 24 + 24 (P9) 21.2 efghijkl 17.9 hijklmn 16.8 ijklmn 15.2 klmnop 24 48 (P10) 9.3 opqrst 7.4 stuvw 12 nopqrs 0.6 vwx 24 72 (P11) 4.5 tuvwx 0 x 7.7 rstuv 0 x 26 0 (P12) 28.1 abcde 26.5 abcdef 31.5 a 24 bcdefgh 26 + 24 (P13) 24.4 bcdefgh 7.4 stuvw 20.2 fghijkl 12.4 mnopqrs 26 48 (P14) 0.4 wx 9.1 pqrst 5.8 stuvwx 0.5 vwx 26 72 (P15) 0 x 0.3 wx 0 x 3.7 tuvwx Keterangan: Nilai pada baris dan kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5% Perubahan kondisi menjadi P5 memperlihatkan hasil yang tidak berbeda nyata dari kecepatan tumbuh benih pada kondisi P1. Berdasarkan data pada Tabel 3, kecepatan tumbuh benih masih relatif stabil dengan penurunan angka yang sangat kecil. Lot 3 masih mampu mempertahankan kecepatan tumbuh pada nilai tertinggi yaitu sebesar 24.7%/etamal dan lot 2 masih teridentifikasi sebagai lot benih terendah diantara ketiga lot benih lainnya dengan kecepatan tumbuh benih sebesar 14.6%/etmal. Nilai V PCT yang tinggi pada penelitian ini tidak selalu menggambarkan nilai kecepatan tumbuh benih juga tinggi. Hal ini terlihat pada kecepatan tumbuh benih ketika kondisi P9 dan P13. Benih lot 1 pada kedua kondisi tersebut memiliki V PCT sebesar 82% dan 85% dengan nilai kecepatan tumbuh benih adalah 21.2%/etmal dan 24.4%/etmal, akan tetapi benih lot 3 yang masih memiliki V PCT sebesar 79.3% dan 91.3% memiliki kecepatan tumbuh hanya mencapai nilai 16.8%/etmal dan 20.2%/etmal.

27 Nilai rata-rata kecepatan tumbuh benih pada semua tingkat kadar air dengan lama penderaan 48 jam dan 72 jam (Tabel 3) mengalami penurunan yang sangat signifikan. Hampir seluruh nilai K CT rata-rata pada kondisi P2, P6, P10, dan P14 berada dibawah 15%/etmal bahkan mencapai nilai 0.4%/etmal untuk benih lot 1 pada kadar air 26%. Kemampuan benih dalam menghasilkan kecambah normal setiap waktu telah sangat rendah bahkan sebagian besar benih mengalami kematian ketika benih pada semua kondisi kadar air didera selama 72 jam (P3, P7, P11, P15). Gambaran kondisi penurunan K CT benih karena pengaruh interaksi lot benih dengan seluruh kondisi PCT dapat dilihat pada Lampiran 7. Hubungan antara V PCT dengan Daya Tumbuh dan Vigor Bibit Penanaman benih dalam kondisi lingkungan yang tercekam pada umumnya dapat menunjukkan perbedaan vigor antar lot benih. Lot benih yang bervigor tinggi akan memiliki pertumbuhan yang baik dan begitu sebaliknya pada lot benih yang bervigor rendah. Rekapitulasi sidik ragam pengaruh faktor lot benih terhadap daya tumbuh benih dan beberapa tolok ukur vigor bibit dapat dilihat pada Tabel 4. Hasil analisis sidik ragamnya dapat dilihat pada Lampiran 8-20. Pada penelitian ini faktor tunggal lot benih tidak berpengaruh nyata terhadap daya tumbuh benih dan tolok ukur vigor bibit pada suhu tinggi diantaranya tinggi tanaman, jumlah daun, panjang pucuk, rasio pucuk terhadap akar, dan bobot kering bibit kecuali dengan panjang akar bibit yang menunjukkan pengaruh nyata. Daya tumbuh benih pada suhu tinggi, keseragaman dalam pertumbuhan dan perkembangan bibit selama 5 MST dalam kondisi cekaman suhu tinggi pada berbagai lot benih dapat dilihat pada Lampiran 21 dan Lampiran 22. Suhu rumah kaca tertinggi selama penanaman adalah adalah 44 o C dan suhu terendah adalah 34 o C. Kisaran nilai tersebut merupakan kisaran suhu untuk perkecambahan dan pertumbuhan yang dikondisikan sebagai bentuk cekaman lingkungan berupa suhu tinggi pada penelitian ini. Berdasarkan data hasil pengamatan pada keempat lot benih yang diteliti, benih yang ditanam pada suhu tinggi memiliki rata-rata nilai daya tumbuh yang relatif sama besar. Nilai daya tumbuh sebesar 92.6% pada lot 3 dan lot 2 masih belum berbeda dengan nilai 92% pada lot 1 dan 89.3% pada lot 4. Meskipun demikian, lot 3 memiliki persentase daya tumbuh yang lebih baik dibandingkan dengan lot 1 dan lot 4.

28 Tabel 4. Rekapitulasi Sidik Ragam Pengaruh Faktor Lot Benih terhadap Daya Tumbuh Benih dan Beberapa Tolok Ukur Vigor Bibit Tolok Sumber Keragaman KK(%) Ukur Lot Ulangan Daya Tumbuh tn tn 5.55 Tinggi 2MST tn tn 12.13 Tinggi 3MST tn tn 5.72 Tinggi 4MST tn tn 5.45 Tinggi 5MST tn tn 6.56 JD 2MST tn tn 13.85 JD 3MST tn tn 6.66 JD 4MST tn tn 4.81 JD 5MST tn tn 3.76 PP tn tn 8.95 PA * tn 16.02 P/A tn tn 11.01 BK tn tn 11.54 Keterangan: tn tidak nyata berkorelasi linier BK bobot kering * nyata pada taraf 5% P/A rasio pucuk per akar KK koefisien keragaman JD jumlah daun PP panjang pucuk PA panjang akar Metode pengusangan cepat terkontrol umumnya juga digunakan untuk memperkirakan kondisi vigor bibit saat di lapang dan umumnya dilakukan dengan melihat nilai koefisien korelasi dan koefisien determinasi (Lampiran 23) antara viabilitas setelah pengusangan cepat terkontrol dengan daya tumbuh benih pada kondisi cekaman lingkungan. Korelasi antara V PCT dengan daya tumbuh benih pada suhu tinggi dalam penelitian ini tidak erat. Hal ini karena hampir seluruh nilai koefisien korelasi dari setiap kondisi PCT dan daya tumbuh benih sangat kecil bahkan mendekati nol. Nilai koefisien korelasi tertinggi hanya berada pada angka 0.348 pada kondisi P15 dan nilai koefisien korelasi terkecil adalah sebesar 0.044 pada kondisi P1. Hal tersebut berbeda dengan beberapa hasil penelitian yang menunjukkan bahwa metode pengusangan cepat terkontrol memiliki korelasi yang erat dengan daya tumbuh benih di lapang pada beberapa kondisi cekaman. Hasil penelitian Basak et al. (2006) menunjukkan bahwa V PCT pada semua kondisi hampir seluruhnya memiliki korelasi yang erat dengan daya tumbuh benih cabai pada suhu tinggi.

29 Hasil penelitian Demir dan Mavi (2008) juga menunjukkan bahwa hasil V PCT benih mentimun memiliki korelasi yang erat dengan daya tumbuh benih di lapang pada suhu rendah. Tinggi merupakan satu karakter bibit yang sangat mudah diamati dan dapat menggambarkan tingkat pertumbuhan tanaman. Faktor tunggal lot benih pada penelitian ini tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap tinggi bibit meskipun terjadi stress lingkungan berupa suhu tinggi selama penanaman. Nilai tengah tinggi bibit lot 3 sebesar 8 cm tidak berbeda nyata dengan nilai 6.9 cm pada bibit lot 2. Bibit dari keempat lot benih terlihat mengalami pertambahan tinggi setiap minggu dengan nilai yang relatif sama dan serempak. Tolok ukur tinggi bibit masih belum banyak dilaporkan sebagai tolok ukur vigor bibit di lapang ketika menguji vigor benih menggunakan metode PCT. Hal ini karena membutuhkan waktu yang lebih lama. Berdasarkan hasil analisis korelasi dan analisis regresi, V PCT dengan tolok ukur tinggi bibit tidak memiliki korelasi. Hal ini karena nilai koefisien korelasi dan koefisien determinasi (Lampiran 24) dari semua perlakuan PCT dengan tinggi bibit sangat kecil. Nilai koefisien korelasi tertinggi sebesar 0.587 pada P5 dan nilai terkecil hanya -0.015 pada P4. Nilai koefisien determinasi tertinggi hanya mencapai 13% pada P0 dan terendah hanya 0.1 pada P3. Nilai koefisien korelasi tinggi tanaman pada 2 MST tertingi hanya mencapai angka 0.587 dan nilai terendah telah mendekati angka nol yaitu 0.027. Nilai koefisien korelasi pada saat bibit berumur 4 MST dan 5 MST sebagian besar berada di bawah nilai 0.2 Hal ini memperlihatkan bahwa V PCT belum mampu menggambarkan kondisi tinggi bibit wijen di rumah kaca yang bersuhu tinggi sampai umur bibit 5 MST. Tolok ukur penting yang juga perlu diamati dalam pertumbuhan tanaman adalah jumlah daun. Hal ini karena di dalam daun terjadi proses penting yaitu fotosintesis. Proses fotosintesis menghasilkan zat-zat yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman. Pengaruh faktor tunggal lot benih terhadap jumlah daun bibit pada penelitian ini tidak berpengaruh nyata. Rata-rata pertambahan jumlah daun tanaman dalam penelitian ini hampir sama dan seragam dalam setiap minggu pengamatan. Jumlah daun bibit umur 2 MST berada pada kisaran 2-2.3 dan jumlah daun terbanyak adalah lot 3 yaitu 2.3. Jumlah daun bibit umur 4 MST berada pada kisaran 7.4-7.6 dan jumlah daun

30 terbanyak adalah lot 1 dan lot 3 yaitu 7.6. Jumlah daun bibit umur 5 MST berada pada kisaran 9.4-9.8 dan jumlah daun terbanyak adalah lot 4 yaitu 9.8. Rata-rata pertambahan jumlah daun antar lot hanya memiliki selisih yang sangat kecil yaitu berkisar antara 0.2-04 setiap minggunya. Hal ini mengakibatkan karakter pertumbuhan dari benih yang berlot rendah maupun yang berlot tinggi.tidak dapat dibedakan. Berdasarkan nilai koefisien korelasi antara V PCT dan jumlah daun pada saat bibit berumur 2 MST, 4 MST, dan 5 MST hanya mencapai nilai tertingi 0.488 dan nilai terendah telah mendekati nol yaitu sebesar 0.013. Seluruh nilai koefisien korelasi pada 3 MST berada pada angka di atas 0.293. Angka tersebut lebih tinggi apabila dibandingkan pada saat bibit umur 2 MST, 4 MST, dan 5 MST. Meskipun demikian nilai tersebut belum mampu memperlihatkan korelasi yang nyata antara V PCT dengan jumlah daun sampai akhir pengamatan. Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa V PCT belum dapat menggambarkan dan menjelaskan pertambahan jumlah daun bibit di lapang pada suhu tinggi. Hal tersebut menunjukkan bahwa jumlah daun bukan tolok ukur yang peka terhadap perubahan kondisi lingkungan terutama kondisi suhu tinggi dan hasil V PCT belum mampu menggambarkan pertumbuhan jumlah daun bibit. Panjang akar digunakan sebagai tolok ukur dalam uji vigor pada beberapa penelitian. Hasil rekapitulasi sidik ragam pada Tabel 4 menginformasikan bahwa faktor lot benih memberikan pengaruh yang nyata terhadap panjang akar bibit di lapangan. Nilai tengah panjang akar bibit pengaruh faktor tunggal lot benih dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Nilai Tengah Panjang Akar (PA) Bibit Pengaruh Faktor Tunggal Lot Benih Lot Benih L1 L2 L3 L4 Panjang Akar Bibit 5 MST cm 6.4 b 6.6 b 9.7 a 7.3 b Keterangan: Nilai pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%

p.akar 31 Berdasarkan Tabel 5 secara umum panjang akar bibit dari benih lot 3 (S3) lebih tinggi dibandingkan dengan ketiga lot benih lainnya. Panjang akar bibit tertinggi sebesar 9.7 cm pada lot 3 telah berbeda nyata dengan panjang akar bibit sebesar 7.3 cm pada lot 4 (S4). Perbedaan kondisi perakaran antar lot benih dapat dilihat lebih jelas pada Gambar 2. Gambar 2. Keragaman Panjang Akar Bibit Sebagian besar nilai koefisien korelasi antara V PCT dengan tolok ukur panjang akar bibit pada berbagai kondisi KA benih dan lama penderaan adalah tidak signifikan kecuali korelasi antara V PCT pada kadar air 20% dan periode penderaan 24jam (P1). Korelasi pada kondisi tersebut adalah positif dan erat dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0.814. Nilai koefisien korelasi pada kondisi PCT yang lain (P0-P15) berada pada kisaran angka 0.06-0.67. Berbeda dengan hasil penelitian Makkawi et al. (1999) yang menyatakan panjang akar benih lentil (Lens culinaris Medikus) belum terlihat memiliki korelasi dengan hasil beberapa uji vigor benih maupun daya tumbuh benih. 11 10 9 8 pa = - 1.99 + 0.117P1 R2 = 0.663 r = 0.814 P<0.001 7 6 5 60 70 80 90 100 VPCT (20% 24 jam) Gambar 3. Hubungan antara V PCT pada Kondisi KA 20% serta Lama Penderaan 24 jam dengan Panjang Akar Bibit

32 Berdasarkan grafik hubungan antara V PCT dengan panjang akar bibit terlihat bahwa 66.3% pertambahan panjang akar bibit dapat digambarkan dengan model regresi linier yang terdapat pada Gambar 3. Setiap penurunan V PCT sebesar satu persen menggambarkan perubahan panjang akar bibit 0.11 cm. Hasil analisis regresi antara V PCT dengan tolok ukur panjang akar bibit selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 25. Salah satu indikator yang baik untuk melihat respon pertumbuhan tanaman adalah panjang pucuk. Berdasarkan Tabel 4, lot benih juga tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap panjang pucuk bibit. Data nilai tengah pengaruh lot benih terhadap panjang pucuk bibit bahwa nilai panjang pucuk sebesar 31.9 cm pada lot 3 tidak berbeda nyata dengan nilai pada lot 2 sebesar 29.9 cm. Selain itu, kondisi cekaman suhu tinggi pada saat penanaman belum dapat membedakan tingkat vigor pada tolok ukur panjang pucuk dari keempat lot benih yang digunakan. Hasil analisis korelasi antara vigor pengusangan cepat terkontrol dengan panjang pucuk bibit secara keseluruhan tidak ada yang signifikan. Koefisien korelasi maksimum hanya mencapai angka 0.261 pada kondisi P9. Hal ini memperlihatkan bahwa V PCT belum dapat membuktikan adanya korelasi yang erat dengan tolok ukur panjang pucuk bibit. Berbeda dengan hasil penelitian Mavi dan Damir (2005) yang menunjukan hasil V PCT pada periode penderaan 96 jam mempunyai korelasi positif dan erat dengan panjang hipokotil dan nilai koofisien korelasinya sebesar 0.82 pada benih labu. Hasil analisis regresinya dapat dilihat dalam Lampiran 26. Rasio pucuk terhadap akar digunakan sebagai tolok ukur vigor bibit di lapang pada beberapa penelitian. Belum banyak hasil penelitian yang melaporkan korelasi antara hasil uji vigor benih termasuk metode PCT dengan rasio pucuk terhadap akar. Berdasarkan data pada penelitian ini, diperoleh informasi bahwa tidak terjadi perbedaan yang nyata dari rasio pucuk terhadap akar bibit setiap lot benih yang digunakan. Hal ini karena rasio pucuk terhadap akar berada pada kisaran nilai yaitu 4.4-5.7. Hampir seluruh hasil analisis korelasi dan analisis regresi (Lampiran 27) antara V PCT dengan rasio pucuk terhadap akar menunjukkan hubungan yang tidak erat. Hasil ini tidak jauh berbeda dengan tingkat korelasi dari beberapa tolok ukur

33 vigor bibit yang lainnya dengan viabilitas setelah pengusangan cepat terkontrol. Nilai koefisien korelasi sebagian besar mendekati nilai nol bahkan koefisien korelasi dari kondisi PCT P9 hanya sebesar -0.008. Efisiensi pemanfaatan unsur hara dan zat-zat penting oleh tanaman dapat dilihat dari bobot kering total tanaman. Berdasarkan rekapitulasi sidik ragam pada Tabel 4, faktor lot benih tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap bobot kering bibit. Nilai tengah bobot kering bibit 1.1 gram dari lot 4 tidak berbeda nyata dengan nilai rasio sebesar 0.8 gram pada lot 3. Korelasi antara V PCT dan bobot kering bibit pada umumnya adalah negatif meskipun tidak erat bahkan hampir tidak ada korelasi yang linier antara kedua tolok ukur tersebut. Hal ini karena sebagian besar nilai koefisien korelasi dibawah nilai 0.202. Hasil analisis regresi juga menunjukkan tidak adanya hubungan linier antar V PCT dengan tolok ukur bobot kering, karena nilai koefisien determinasi sangat kecil (Lampiran 28). Berdasarkan hasil tersebut terlihat bahwa bobot kering bibit bukan merupakan tolok ukur yang peka dalam menggambarkan hasil uji vigor benih. Hal ini tersebut berbeda dengan hasil Makkawi et al. (1999) bahwa berat kering kecambah normal benih lentil yang di tanam di Sudan pada tahun 1992 memliki nilai koefisien korelasi positif dan sangat erat dengan daya tumbuh benih yaitu sebesar 0.929 dan 0.897, akan tetapi tidak ada korelasi yang signifikan ketika benih ditanam pada tahun 1993 di Syria. Hasil penelitian Mavi dan Demir (2005) juga menunjukkan bahwa berat kering kecambah normal benih labu (Curcubita maxima) memilki korelasi yang erat dan positif dengan hasil V PCT pada lama penderaan 96 jam dalam kondisi cekaman garam 150mM NaCl. Pembahasan Pengaruh Lot Benih dan Kondisi Tingkat Kadar Air Benih serta Lama Penderaan pada PCT terhadap Viabilitas Pengujian vigor benih di laboratorium menggunakan metode pengusangan cepat terkontrol menunjukkan hasil yang cukup bervariasi. Nilai V PCT pada semua kondisi KA benih dan lama penderaan dalam penelitian ini berada pada kisaran yang lebih besar dan memiliki perbedaan jelas antar lot dibandingkan dengan vigor awal benih terutama ketika kondisi kadar air benih tinggi dengan periode penderaan yang lebih lama. Hal ini ternyata senada dengan hasil penelitian Basak et al., (2006) yang

34 menunjukkan bahwa V PCT benih cabai terlihat memiliki selang yang jauh lebih besar dibandingkan dengan daya berkecambah awal benih. Powell dan Matthew (2005) menyatakan bahwa metode PCT dikembangkan untuk menguji vigor benih sayuran yang berukuran relatif kecil dan metode ini telah berhasil digunakan untuk menguji vigor beberapa benih sayuran diantaranya bawang (Allium cepa), selada (Lactuca sativa L), cabai (Capsicum annum), dan wortel. Pengujian vigor benih wijen menggunakan metode PCT dalam penelitian ini relatif mudah. Selain karena benih wijen mempunyai ukuran yang kecil, sifat permeabel dari benih mempermudah proses imbibisi air kedalam benih dan mengakibatkan proses kesetimbangan air benih tercapai lebih cepat. Berbeda dengan hasil penelitian Mavi dan Demir (2005) yang menunjukkan bahwa permasalahan utama dalam penggunaan metode uji PCT pada benih labu (Curcubita maxima) yang berukuran besar dan memiliki kulit lebih tebal adalah lambatnya proses imbibisi yang mengakibatkan variasi kadar air antar benih dan antar lot benih. Hal ini diperkirakan mempengaruhi hasil penelitian yang belum menemukan kombinasi kadar air dan periode penderaan yang cocok untuk benih labu. Berdasarkan nilai V PCT pada Tabel 2, terlihat jelas bahwa lama penderaan 24 jam merupakan waktu maksimum yang masih mampu memperlihatkan perbedaan tingkat vigor dari keempat lot benih meskipun vigor benih telah mengalami penurunan. Hal ini karena pada kondisi perlakuan kadar air benih yang didera lebih lama (48 dan 72 jam), benih terlihat telah kehilangan vigornya. Berdasarkan nilai tolok ukur V PCT dan K CT pada penelitian ini, vigor keempat lot benih telah dapat dibedakan dengan jelas. Penilaian vigor benih berdasarkan V PCT lebih bisa menggambarkan tingkat vigor dari lot benih yang digunakan dari pada penilaian berdasarkan vigor awal benih yang digambarkan berdasarkan tolok ukur daya berkecambah benih. Hal yang senada juga dinyatakan oleh Wang et al. (2004) bahwa V PCT merupakan tolok ukur yang lebih peka dalam menggambarkan potensi vigor antar lot benih pada benih rumput Siberia (Elymus sibiricus L.) dibandingkan dengan daya berkecambah benih, indeks vigor, dan panjang radikula. Hal ini menunjukkan bahwa V PCT memang tolok ukur yang peka untuk menggambarkan kondisi vigor benih.

35 Semua kondisi PCT pada penelitian ini telah berhasil dalam menggambarkan potensi vigor dari keempat lot benih wijen yang digunakan. Penurunan vigor benih pada penelitian ini mengikuti peningkatan tingkat kadar air benih dan lama penderaan benih. Benih semakin kehilangan vigornya ketika benih didera pada kadar air yang semakin tinggi dan periode yang semakin lama. Hasil ini hampir senada dengan hasil analisis Kruse (1999) yang menyatakan bahwa perbedaan vigor antar lot benih terlihat semakin jelas dengan semakin lamanya periode penderaan benih berdasarkan asumsi penyebaran normal. Penentuan kondisi kadar air benih dan lama penderaan yang sesuai untuk metode PCT pada umumnya didasarkan pada efektifitas dan efisiensi waktu dalam pelaksanaan. Lama penderaan 24 jam dalam penelitian ini lebih efisien dibandingkan dengan lama penderaan 48 jam dan 72 jam. Hal ini juga selaras dengan hasil penelitian Demir et al, (2005) pada benih terong, dan Basak et al, (2006) pada benih cabai yang menyatakan bahwa lama penderaan 24 jam sangat dianjurkan digunakan untuk menguji vigor benih dengan PCT pada benih-benih tersebut, meskipun tingkat kadar air benihnya berbeda-beda. Hal ini hampir sama dengan pernyataan Basak et al. (2006) mengenai kesesuaian metode PCT untuk benih-benih berukuran kecil didasarkan pada pertimbangan dalam kemudahan benih menyerap air sehingga peningkatan kadar air benih tidak harus memerlukan waktu yang lama. Dasar lain yang digunakan untuk menentukan kondisi PCT pada penelitian adalah kecenderungan penurunan nilai V PCT serta peningkatan kisaran nilai V PCT antar keempat lot benih. Nilai V PCT dan K CT dari lot benih pada kondisi P1 telah mengalami penurunan yang signifikan serta menghasilkan kisaran yang lebih besar dibandingkan dengan kisaran nilai viabilitas awal benih. Walaupun kondisi P9 menunjukkan hasil yang lebih baik dalam membedakan keempat lot benih, namun dampak terhadap nilai K CT nya sudah sangat rendah dibandingkan P1 Sehingga berdasarkan nilai V PCT dan K CT tersebut, P1 dianggap sebagai kondisi yang paling efektif. V PCT dan K CT pada P13 juga menghasilkan kisaran yang besar, tetapi nilai V PCT dan K CT dari benih L2 dan L4 telah sangat redah. Nilainilai tersebut telah berbeda nyata secara statistik dengan viabilitas awal benih (tanpa penderaan).

36 Benih telah kehilangan vigornya pada semua kadar air yang digunakan ketika lama penderaan ditambahkan menjadi 48 jam dan 72 jam. Kondisi tersebut diperkirakan akibat proses metabolisme dalam benih yang sangat cepat dan terus menerus ketika berada dalam inkubator yang bersuhu tinggi 45 o C. Selain itu, pengemasan benih dalam alumunium foil selama dalam inkubator yang memiliki sifat mudah mengantarkan panas dalam penelitian ini juga diduga mengakibatkan perubahan suhu dalam benih. Kondisi ini diduga menyebabkan proses kemunduran benih lebih cepat yang berdampak terhadap viabilitas benih. Hal ini senada dengan pernyataan Kuswanto (1996) bahwa suhu berkaitan dengan laju pernafasan dan aktivitas enzim-enzim yang terdapat dalam benih sehingga suhu sangat berpengaruh terhadap proses perkecambahan benih. Proses perombakan yang terjadi dengan cepat mengakibatkan ketahanan benih menjadi menurun karena cadangan energi benih berangsur habis sehingga benih tidak mampu lagi berkecambah normal bahkan mengalami kematian. Terjadinya proses-proses tersebut diduga yang mengakibatkan sebagian besar benih yang didera selama 72 jam mengalami kematian. Hubungan antara V PCT dengan Daya Tumbuh dan Vigor Bibit Daya tumbuh dari keempat lot benih pada suhu tinggi (34-44 o C) dan nilainilai dari beberapa tolok ukur vigor bibit yang diamati pada penelitian ini tidak berbeda nyata. Cekaman suhu tinggi yang diujikan ternyata belum berpengaruh terhadap keempat lot benih. Berbeda dengan hasil penelitian Basak et al. (2006) pada benih cabai (Capsicum annum L.) yang menunjukkan bahwa daya tumbuh benih pada suhu tinggi (19-42 o C) berbeda nyata antar lot benih yang digunakan. Cekaman suhu lingkungan yang tinggi pada penelitian ini menunjukkan daya tumbuh benih dan pertumbuhannya optimum. Hal ini ditunjukkan dengan rata-rata nilai daya tumbuh benih yang sama tinggi serta keserempakan pertumbuhan hingga akhir pengamatan (Lampiran 31 dan Lampiran 33). Hal ini berbeda dengan pernyataan Godin dan Spensly dalam Juanda dan Cahyono (2005) bahwa kisaran suhu udara yang baik untuk pertumbuhan dan hasil yang optimal pada benih wijen adalah berkisar antara 25-27 o C. Akan tetapi, keempat lot benih pada penelitian ini masih tahan terhadap kondisi suhu lingkungan yang tinggi dengan rata-rata 38 o C.

37 Pengaruh yang tidak nyata dari kondisi cekaman suhu tinggi terhadap vigor keempat lot benih yang digunakan pada penelitian ini diduga akibat pengaruh faktor pertumbuhan lain seperti persediaan air, komposisi dan strukur media tanam yang digunakan masih cukup optimum untuk pertumbuhan benih hingga menjadi bibit. Hal ini sejalan dengan pendapat Copeland dan Mc Donald (2001) yang menyatakan selain suhu, banyak sekali faktor lingkungan yang mempengaruhi proses perkecambahan dan pertumbuhan benih diantaranya ketersediaan air, kondisi udara atau oksigen, dan cahaya. Bibit dari keempat lot benih pada penelitian ini juga memiliki tinggi, jumlah daun, panjang pucuk, dan rasio pucuk terhadap akar yang relatif sama. Diduga bibit dari keempat lot benih memiliki kemampuan penyerapan akar terhadap unsur hara yang masih sama baik. Masih baiknya penyerapan unsur hara dan air pada bagian akar dengan proses fotosintesis pada bagian pucuk akan berpengaruh terhadap tinggi bibit, jumlah daun panjang pucuk, dan rasio pucuk terhadap akar yang juga baik. Dugaan ini sejalan dengan pendapat Aminah et al. (2006) yang menyatakan jumlah akar yang semakin banyak akan meningkatkan jumlah unsur hara yang diserap oleh tanaman dan hal ini mengakibatkan pertumbuhan bibit menjadi lebih cepat. Akan tetapi mengenai tolok ukur rasio pucuk terhadap akar Sudrajad et al. (2005) menyatakan bahwa rasio tunas dan akar yang tinggi belum dapat menjamin mutu bibit tanaman. Menurut Lakitan (2004) unsur hara yang diserap tanaman baik yang digunakan untuk sintesis senyawa organik maupun yang masih dalam bentuk ionik dalam jaringan tanaman juga memberikan pengaruh terhadap bobot kering tanaman. Bobot kering bibit pada penelitian ini memiliki nilai yang relatif sama. Daya serap akar bibit dan akumulasi unsur hara dan air yang masih sama baik diduga mengakibatkan nilai bobot kering bibit yang relatif sama. Hal ini hampir sama dengan pernyataan Sudrajad et al. (2005), bahwa berat kering tanaman merupakan gambaran dari akumulasi senyawa organik yang berhasil disintesis dari senyawa anorganik yang berupa unsur hara, air, dan karbondioksida. Media tanam berupa campuran tanah, pasir, dan pupuk organik yang digunakan dalam penelitian ini diduga memberikan kondisi yang optimum terhadap perkecambahan benih sehingga daya tumbuh benih masih sangat tinggi

38 meskipun suhu lingkungannya sangat tinggi. Hal ini karena menurut Juanda dan Cahyono (2005), jenis tanah yang baik untuk budidaya wijen umumnya memiliki tekstur berpasir seperti podsolik, aluvial, dan regosol. Sutopo (2004) juga menambahkan bahwa faktor media tumbuh dapat mempengaruhi perkecambahan benih dan media yang baik harus mempunyai sifat fisik yang baik, gembur, mempunyai kemampuan menyimpan air dan bebas dari patogen. Selain itu, kedalaman penanaman benih juga mempengaruhi perkecambahan benih. Kondisi media tanam yang gembur dan cocok untuk wijen dalam penelitian ini diduga juga mengakibatkan pertumbuhan bibit yang baik. Komposisi kimia benih wijen yang mengandung antioksidan cukup tinggi diduga juga mempengaruhi ketahanan benih terhadap kondisi cekaman lingkungan tanam. Antioksidan diketahui mampu menangkal radikal bebas dan dari beberapa hasil penelitian pada pengujian benih ternyata beberapa antioksidan mampu memperlambat proses kemunduran benih dalam penyimpanan. Hal ini yang diperkirakan juga mampu menahan efek kerusakan akibat kondisi cekaman suhu tinggi selama penanaman. Hal ini sejalan dengan pendapat Larsen et al., (1998) yang menyatakan bahwa perbedaan komposisi kimia antara benih lobak (Brassica) dan kacang polong (Pisum sativum) berpengaruh terhadap perbedaan respon yang diberikan pada berbagai macam kondisi tanah selama pertumbuhan. Berdasarkan hasil analisis korelasi, terlihat bahwa V PCT pada semua kondisi tidak memiliki korelasi dengan semua tolok ukur yang diamati di rumah kaca baik daya tumbuh benih maupun tolok ukur vigor bibit berupa tinggi tanaman, jumlah daun, panjang pucuk, rasio pucuk terhadap akar, dan bobot kering bibit kecuali dengan panjang akar bibit. Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian Larsen et al. (1998) pada benih kacang polong ( Pisum sativum ) yang berkadar minyak tinggi yang menunjukkan bahwa metode PCT telah mampu meningkatkan korelasi dari V PCT dan rata-rata waktu berkecambah dengan daya tumbuh di lapang, akan tetapi secara keseluruhan korelasi dengan pertumbuhan tanaman di lapang tidak erat. Faktor-faktor pertumbuhan yang diduga menjadi kondisi yang optimum bagi pertumbuhan bibit pada penelitian ini mengakibatkan pertumbuhan bibit sama baik. Berdasarkan data viabilitas awal dan KA awal benih (Lampiran 1), keempat lot benih terlihat masih memiliki vigor yang tidak jauh berbeda. Kondisi tersebut

39 yang diduga mengakibatkan tidak adanya korelasi antara V PCT dengan daya tumbuh dan tolok ukur vigor bibit yang diamati kecuali dengan panjang akar bibit. Dugaan ini sejalan dengan pernyataan Powell (1995), bahwa kondisi lapang tanam yang masih sangat baik dan optimum serta kecilnya perbedaan tingkat vigor benih yang digunakan dapat mengakibatkan kurang eratnya korelasi antara V PCT dan kondisi pertumbuhan benih di lapang. Hasil analisis regresi linier antara V PCT dengan daya tumbuh dan beberapa tolok ukur vigor bibit memberikan nilai koefisien determinasi yang masih sangat kecil. Keragaman V PCT dalam penelitian ini tidak dapat dijelaskan oleh daya tumbuh benih dan tolok ukur vigor bibit kecuali panjang akar. Hal ini menunjukkan tidak terdapat hubungan linier antara V PCT dengan tolok ukur vigor yang diamati dalam penelitian ini. Berdasarkan nilai koefisien korelasi dan koefisien determinasi, V PCT terbukti tidak tepat untuk menggambarkan kondisi benih saat di lapang. Hal ini ditunjukkan dengan hasil analisis korelasi antara panjang akar bibit dengan beberapa tolok ukur vigor bibit lainnya yang memiliki nilai tertinggi -0.745 dan nilai terkecil hanya 0.042 menunjukkan bahwa tidak terdapat korelasi antara V PCT dengan tolok ukur vigor kekuatan tumbuh benih wijen di lapang. Diduga V PCT akan lebih sesuai dalam menggambarkan daya simpan benih wijen. Dugaan ini juga didasarkan pada kondisi benih yang terlihat jelas mengalami penurunan vigor saat di simpan beberapa waktu dalam inkubator yang bersuhu 45 0 C dibandingkan dengan kondisi pertumbuhan bibit yang relatif seragam saat mengalami cekaman suhu tinggi di rumah kaca. Penggunaan V PCT untuk menggambarkan daya simpan ternyata juga dilakukan Basak et al. (2006) yang menunjukkan bahwa kondisi PCT dengan kadar air benih 22% dan lama penderaan 24 jam selalu disarankan untuk memperkirakan daya simpan benih cabai (Capsicum annum L) dan V PCT pada semua kondisi perlakuan memiliki korelasi yang erat dengan vigor benih setelah penyimpanan selama 4 dan 8 bulan. Berdasarkan hasil penelitian ini, panjang akar bibit antar lot benih terlihat berbeda nyata dan bibit dari benih lot 3 (Sbr 3) memiliki akar yang lebih panjang dibandingkan dengan bibit lot 1 (Sbr 1), lot 2 (Sbr 1), dan lot 4 (Sbr 4). Varietas Sbr 3 berdasarkan deskripsi pada Lampiran 29 merupakan varietas yang dibudidayakan untuk lahan

40 kering dan varietas Sbr 4 merupakan varietas yang sesuai untuk lahan sawah. Hal ini yang diduga menyebabkan bibit dari benih Lot 3 memiliki akar yang lebih panjang dari pada ketiga lot yang lain. Pemanjangan akar merupakan satu bentuk pertahanan tanaman terhadap kondisi kering, karena akar akan terus mencari sumber air untuk kelangsungan proses metabolisme. Hal ini seperti yang dinyatakan oleh Islami dan Utomo (1995) bahwa salah satu bentuk mekanisme pertahanan tanaman dari cekaman kekeringan adalah pemanjangan akar. Diduga faktor perbedaan yang jelas antar varietas benih yang digunakan mengakibatkan eratnya korelasi antara V PCT dengan tolok ukur panjang akar bibit terutama V PCT pada kondisi kadar air benih 20% dan periode penderaan 24 jam. Selain itu, keragaman V PCT dapat dijelaskan 66.3% oleh panjang akar. Berdasarkan gambaran hasil dari percobaan di Laboratorium dan di Rumah Kaca, metode PCT mampu menguji vigor benih wijen dan V PCT memiliki korelasi dengan vigor bibit dengan tolok ukur panjang akar.