Pendugaan Populasi Harimau Sumatra dan Satwa Mangsanya di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. Sumatera merupakan pulau yang memiliki luas hutan terbesar ketiga setelah pulau

KAJIAN KEBERADAAN TAPIR (Tapirus indicus) DI TAMAN NASIONAL WAY KAMBAS BERDASARKAN JEBAKAN KAMERA. Surel :

KELIMPAHAN HARIMAU SUMATERA (Panthera tigris sumatrae Pocock, 1929) DI SUAKA ALAM MALAMPAH SUMATERA BARAT. Fauziah Syamsi

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 19/Menhut-II/2010 TENTANG PENGGOLONGAN DAN TATA CARA PENETAPAN JUMLAH SATWA BURU

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PEMETAAN SATWA MANGSA HARIMAU SUMATERA (Panthera tigris sumatrae) DI TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER (SPTN WILAYAH VI BESITANG)

Tiger (Panthera tigris) Harimau Cina Selatan (Panthera tigris amoyensis) Harimau Indochina (Panthera tigris corbetti)

TINJAUAN PUSTAKA Taksonomi Morfologi

TINJAUAN PUSTAKA. makanan (top predator) di hutan tropis. Peranannya sebagai top predator,

I. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni

I. PENDAHULUAN. Gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) merupakan satwa dilindungi

Penggunaan Jerat dalam perburuan liar: Pengetahuan masyarakat di perbatasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Lampung

Written by Admin TNUK Saturday, 31 December :26 - Last Updated Wednesday, 04 January :53

2 2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik I

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Macan tutul (Panthera pardus) adalah satwa yang mempunyai daya adaptasi

I. PENDAHULUAN. margasatwa, kawasan pelestarian alam seperti taman nasional, taman wisata alam,

Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka. Burung Jalak Bali

BAB V PROFIL SATWALIAR GUNUNG PARAKASAK

51 INDIVIDU BADAK JAWA DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

PENGENALAN KUCING CONGKOK (Prionailurus bengalensis) BERDASARKAN JEBAKAN KAMERA di TAMAN NASIONAL WAY KAMBAS (TNWK)

DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Secara geografis KPHL Batutegi terletak pada BT dan

I. PENDAHULUAN. Taman Nasional Way Kambas (TNWK) merupakan salah satu dari dua. taman nasional yang terdapat di Provinsi Lampung selain Taman Nasional

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 4. KEANEKARAGAMAN MAKHLUK HIDUP DALAM PELESTARIAN EKOSISTEMLatihan Soal 4.3

KARAKTERISTIK HABITAT DAN POPULASI HARIMAU SUMATERA (Panthera tigris sumatrae Pocock, 1929) HUTAN BATANG HARI, SOLOK SELATAN, SUMATERA BARAT

B I O D I V E R S I T A S ISSN: X Volume 9, Nomor 3 Juli 2008 Halaman:

BAB 2 DATA DAN ANALISA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia yang ada di Kepulauan Mentawai, Sumatra Barat. Distribusi yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dijadikan sebagai daya tarik wisata, seperti contoh wisata di Taman Nasional Way

I. PENDAHULUAN. mengkhawatirkan. Dalam kurun waktu laju kerusakan hutan tercatat

IV. METODE PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. paling tinggi di dunia. Menurut World Wildlife Fund (2007), keanekaragaman

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi Harimau Taksonomi harimau dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom : Animalia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. negara kepulauan yang terdiri dari tujuh belas ribu pulau. Pulau yang satu dengan

I. PENDAHULUAN. Salah satu primata arboreal pemakan daun yang di temukan di Sumatera adalah

2015 LUWAK. Direktorat Pengembangan Usaha dan Investasi Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Kementerian Pertanian

PENDAHULUAN. Perdagangan satwa liar mungkin terdengar asing bagi kita. Kita mungkin

BAB I PENDAHULUAN. Secara geografis letak Indonesia berada di daerah tropis atau berada di sekitar

III. METODE PENELITIAN. Tampak pada bulan Januari September Resort Pugung Tampak memiliki luas

KEPADATAN INDIVIDU KLAMPIAU (Hylobates muelleri) DI JALUR INTERPRETASI BUKIT BAKA DALAM KAWASAN TAMAN NASIONAL BUKIT BAKA BUKIT RAYA KABUPATEN MELAWI

BAB III LANDASAN TEORI

Jenis Satwa Liar dan Pemanfaatnya Di Pasar Beriman, Kota Tomohon, Sulawesi Utara

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. ditemukan di Indonesia dan 24 spesies diantaranya endemik di Indonesia (Unggar,

Camera Trap Theory, Methods, and Demonstration

PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2011

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan satu dari sedikit tempat di dunia dimana penyu laut

II. TINJAUAN PUSTAKA

STUDI POPULASI HARIMAU SUMATERA (Panthera tigris sumatrae) DENGAN BANTUAN KAMERA JEBAK DI TAMAN NASIONAL BUKIT BARISAN SELATAN PROVINSI LAMPUNG

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

NILAI EKONOMI PERDAGANGAN SATWA LIAR

1.1 Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN. Banteng (Bos javanicus d Alton 1823) merupakan salah satu mamalia

Siaran Pers Tegaskan komitmen, perberat hukuman dan lindungi harimau sumatera

BAB I. PENDAHULUAN. beragam dari gunung hingga pantai, hutan sampai sabana, dan lainnya,

Oleh : Sri Wilarso Budi R

Tingkah Laku Harian Gajah Sumatera (Elephas Maximus Sumatranus) di Bali Safari and Marine Park, Gianyar

Evaluasi Rehabilitasi Merak Hijau (Pavo muticus) Dari Hasil Sitaan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di Seksi Karangtekok

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... LEMBAR PENGESAHAN... PERNYATAAN ORISINALITAS KARYA DAN LAPORAN... PERNYATAAN PUBLIKASI LAPORAN PENELITIAN...

KEBERADAAN HARIMAU SUMATERA

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Keanekaragaman hayati dianggap sangat penting untuk kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. dan kuat yang sebarannya hanya terdapat di pulau-pulau kecil dalam kawasan

I. PENDAHULUAN. Rusa merupakan salah satu sumber daya genetik yang ada di Negara Indonesia.

Laporan Kegiatan Pengendali Ekosistem Hutan. Ujicoba Pembibitan Ceriops tagal

II. TINJAUAN PUSTAKA. Di dunia di kenal dua jenis gajah yaitu gajah afrika (Loxodonta. (1984), ada tiga anak jenis gajah asia yaitu Elephas maximus

PENDAHULUAN. Gambar 1 Bange (Macaca tonkeana) (Sumber: Rowe 1996)

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. udara yang masih mempunyai sifat-sifat liar, baik yang hidup bebas maupun yang

KUCING-KUCING BESAR DI INDONESIA *)

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Satwa liar merupakan salah satu sumber daya alam hayati yang mendukung

PENDAHULUAN. termasuk ekosistem terkaya di dunia sehubungan dengan keanekaan hidupan

I. PENDAHULUAN. berbagai tipe vegetasi dan ekosistem hutan hujan tropis yang tersebar di

BAB I PENDAHULUAN. dan satwa yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Menurut rilis terakhir dari

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bio-Ekologi Harimau Sumatera Taksonomi

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan yang sangat luas dan kaya akan potensi sumber daya

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Januari Februari 2014 di

POTENSI DAN STRATEGI PENGEMBANGAN EKOWISATA SATWALIAR PADA HUTAN KONSERVASI (Kasus : SM. Barumun, Sumatera Utara)

BAB I PENDAHULUAN. hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan

PENDUGAAN POPULASI HARIMAU SUMATERA Panthera tigris sumatrae, Pocock 1929 MENGGUNAKAN METODE KAMERA JEBAKAN DI TAMAN NASIONAL BERBAK

II. TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Kabupaten Kuantan Singingi. Pembentukan Kabupaten Kuantan Singingi didasari dengan Undang-undang

Jalak Bali (Leucopsar rothschildi Stresemann, 1912) adalah burung. endemik Pulau Bali, dan distribusinya sampai tahun 2005 hanya ada di Taman

Gambar 2 Peta lokasi penelitian.

Prosiding Seminar Nasional Biotik 2017 ISBN:

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis)

I. PENDAHULUAN. liar di alam, termasuk jenis primata. Antara tahun 1995 sampai dengan tahun

Transkripsi:

Pendugaan Populasi Harimau Sumatra dan Satwa Mangsanya di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan Gunardi Djoko Winarno dan Revi Ameliya Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung Abstract Bukit Barisan Selatan National Parks has been given a named by World Heritage Committee as The Tropical Rain Forest of Sumatra (The World Heritage site) in July 2004 in Shozou China. However, many of Bukit Barisan Selatan National Park s forest have already been wrecked by irresponsible people. Illegal logging is a big problem in Bukit Barisan Selatan National Parks. Indonesian s forests are home to megabiodiversity in the world, but deforestation has caused a lengthening list of the inhabitant species to be classified as endangered. For example, the Sumatran tiger has a category to be an appendix I species by Convention on International Trade in Endangered Species (CITES). The decline of a species is very often a strong indicator of degradation in the local habitat, which can also negatively impact the biodiversity of that area. Perhaps the greatest threat to the survival of the tiger is destruction of its habitat. With the expansion of human populations, the logging of forests, the elimination of natural prey, and the spread of agriculture, there is continuation of destruction toward Sumatran tiger population. Monitoring the Sumatran tiger and its prey using camera trap can provide a data base on the continuity of the Sumatran tiger population management. Key words: Sumatran tiger, prey, camera trap Pendahuluan Populasi tertinggi harimau terdapat di Asia pada tanah berumput dan hutan membentuk mosaik. Sejak dahulu, harimau selalu dianggap oleh manusia sebagai satwa yang amat mengagumkan. Harimau juga merupakan karnivora tingkat tinggi yang dapat beradaptasi terhadap perubahan bentang alam (Sunquist et al., 1999). Sebagai pemangsa khusus herbivor, harimau tidak pernah ditemukan jauh dari air, tetapi memperlihatkan sifat adaptasi besar terhadap lingkungan tempat hidupnya dengan iklim yang berbeda-beda mulai dari daerah tepi pantai sampai daerah dengan ketinggian 2.000 m (Seidensticker et al., 1999). Pada saat ini, populasi harimau di dunia telah menurun drastis sampai 95% sejak permulaan abad 20 menjadi hanya sekitar 5.000 ekor. Jumlah tersebut masih juga terancam akibat perdagangan kulit dan bagian lainnya. Perdagangan kulit dan bagian tubuh harimau telah menjadi ancaman utama bagi kucing besar itu di kebanyakan negara-negara yang menjadi habitat mereka. Di pasar Asia, kulit harimau bisa laku dengan harga Rp 125.000.000 (US $ 15.000). Tulang belulangnya yang dipercaya bisa menjadi obat peningkat gairah seks dapat mencapai harga Rp 200.000.000. Padahal diperkirakan sekitar 100 tahun lalu, populasi harimau di dunia adalah sekitar 100.000 ekor, populasi itu kemudian turun menjadi 8.000 ekor pada tahun 1960. Pada saat ini, jumlah harimau tinggal sekitar 5.000-7.000 ekor (Hasiholan, 2005). Pada saat ini, tiga dari delapan subspesies harimau yang pernah ada sudah dinyatakan punah. Ketiganya adalah harimau Bali punah tahun 1940, harimau Kaspia punah tahun 1970, dan harimau Jawa punah tahun 1980. Subspesies lain, harimau China Selatan, kini berada di ambang kepunahan. Harimau Sumatra adalah jenis yang termasuk langka di antara lima sub-spesies harimau yang masih ada. Jumlah mereka hanya tinggal sekitar 400-500 ekor. Kepadatan penduduk berakibat terhadap penyusutan satwa mangsa sekaligus memperluas tingkatan ancaman-ancaman terhadap keberadaan jangka panjang harimau

2 Biosfera 26 (1) Januari 2009 Sumatra. Perburuan liar juga menyebabkan satwa ini punah dan belum dapat dikendalikan, sehingga populasinya menjadi turun. Sebelumnya, populasi harimau Sumatra (Phantera tigris sumatrae) sangat banyak tersebar, mulai dari Aceh, di daerah dataran rendah Indragiri, Lumbu Dalam, Sungai Litur, Batang Serangan, Jambi dan Sungai Siak, Silindung, bahkan juga di daratan Bengkalis dan Kepulauan Riau. Pada saat ini, jumlahnya jauh berkurang dengan penyebaran yang terbatas. Berdasarkan IUCN, harimau dimasukkan ke dalam hewan berstatus critically endangered (kritis) dan termasuk hewan dalam kategori Appendix I CITES (tidak boleh diperdagangkan). Menurut catatan yang ada pada tahun 1800-1900, jumlah harimau Sumatra masih sangat banyak dan mencapai puluhan ribu ekor. Pada tahun 1978, hasil survai memperkirakan bahwa jumlah harimau Sumatra adalah sekitar 1.000 ekor dan saat ini hanya berkisar 500-600 ekor (Hasiholan, 2005). Sampai saat ini, populasi harimau terus dipantau, sehingga datanya akan menjadi data seri yang sangat penting dalam rangka pengelolaan populasi dan habitat harimau di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS). Perubahan populasi harimau dipengaruhi oleh satwa lain yang merupakan mangsanya. Menurut Hasiholan (2005), mangsa harimau Sumatra antara lain : rusa sambar (Cervus unicolor), kijang (Muntiacus muntjak), kancil (Tragulus javanicus), dan babi hutan (Sus sp.). Penelitian ini menduga populasi harimau berikut satwa mangsanya dengan menggunakan camera trap. Penggunaan kamera ini untuk mengatasi sulitnya sensus perjumpaan langsung di alam ataupun melalui jejak kaki. Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk memantau populasi harimau Sumatra di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan dan 2. Untuk memantau populasi satwa mangsanya di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Manfaat penelitian ini adalah sebagai basis data yang dapat digunakan sebagai dasar pengelolaan populasi dan habitat harimau. Manajemen TNBBS dapat mengetahui perkiraan jumlah populasi harimau yang terdapat di taman tersebut secara periodik, mengingat satwa ini sangat sulit dijumpai di alam. Penggunaan camera trap dapat membantu mengetahui keberadaan populasi satwa langka. Materi dan Metode TNBBS merupakan kawasan konservasi terbesar ketiga (3.568 km 2 ) di Sumatra. Posisi geogerafis taman nasional 4 31-5 57 LS dan 103 34-104 43 BT, terbentang dari propinsi Lampung ke Bengkulu merupakan hutan dataran rendah terluas yang tersisa di Sumatra dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air utama bagi Sumatra Bagian Barat dan Selatan. Bentuknya yang tipis memanjang menciptakan batas kawasan sepanjang lebih dari 700 (O Brient dan Kinnaird, 1996). Lokasi pemasangan camera trap terbagi menjadi 10 lokasi dengan ukuran 10x2 km setiap bloknya, tetapi satu blok lokasi di Pulau Beringin yang berukuran 4x5 km sudah mengalami alih fungsi dari hutan menjadi perkebunan. Lokasi-lokasi pemasangan camera trap yaitu Way Blambangan, Way paya, Way Pemerihan, Sukaraja, Way Ngaras, Way Marang, Liwa, Rata Agung, Tanjung Iman, dan Pulau Beringin. Masing-masing blok lokasi pemasangan kamera terdapat 20 camera trap yang terpasang dengan titik koordinat yang diambil secara acak. Berdasarkan hasil foto camera trap pada 10 lokasi tersebut, setiap individu harimau Sumatra dianalisis pola loreng yang ada pada kulitnya karena setiap individu harimau memiliki pola loreng yang berbeda dengan individu yang lain. Perbedaan pola loreng pada kulit harimau tersebut sama halnya dengan pola sidik jari manusia. Pemantauan dilakukan selama 2 bulan mulai dari tanggal 11 Juli sampai dengan 11 September 2006. Waktu pemasangan camera trap adalah selama kurang lebih 30-35 hari setiap bloknya..

Winarno dan Ameliya, Pendugaan Populasi Harimau Sumatra: 1-7 3 Alat dan bahan yang digunakan dalam penghitungan dan pemantauan populasi harimau Sumatra di TNBBS yaitu foto hasil camera trap yang didapat mulai tahun 1999 sebagai pembanding sampai dengan hasil foto-foto camera trap yang terbaru tahun 2006. Pemantauan survai harimau dan mangsanya dengan menggunakan camera trap (Cam Trakker South Inc., Watkinsville GA 30677). Kamera Cam Trakker menggunakan sensor infra merah pasif untuk mendeteksi panas tubuh dan pergerakan satwa yang melintas di depan sensor. Sensor terhubung pada kamera autofocus 35 mm dengan tempat menyimpan data pada kamera yang mencetak setiap foto dengan waktu dan tanggal kejadian. Setiap unit diprogram untuk merekam gambar dengan selang waktu 45 detik dan beroperasi 24 jam/hari atau hingga film terpakai seluruhnya (Wijayanto et al., 2003). Kamera diletakkan di dalam petak contoh seluas 10x2 km memanjang dari batas kawasan/ hutan ke arah dalam taman nasional untuk mendeteksi pengaruh potensial tepi kawasan terhadap mammalia. Masing-masing blok sampling dibagi menjadi 20 anak petak seluas 1 km 2, dan koordinat UTM dipilih secara acak di dalam setiap anak petak. Satu buah camera trap diletakan pada lokasi yang optimal (sedapat mungkin pada jalur yang dipakai satwa) di dalam radius 100 m dari koordinat UTM dengan menggunakan GPS Sylva (Multy Navigation aco 0007706) kamera dibiarkan dalam keadaan aktif 30-35 hari. Hasil dan Pembahasan Harimau bukan jenis satwa yang biasa tinggal berkelompok melainkan jenis satwa soliter, yaitu satwa yang sebagian besar waktunya hidup menyendiri, kecuali selama musim kawin atau memelihara anak. Wilayah jelajah (home range) untuk seekor harimau betina adalah sekitar 20 km 2, sedangkan untuk harimau jantan sekitar 60-100 km 2. Angka tersebut bukan merupakan ketentuan yang pasti karena dalam menentukan home range juga dipengaruhi oleh keadaan geografi tanah dan banyaknya mangsa di daerah tersebut. Biasanya daerah teritori harimau jantan 3-4 kali lebih luas dibanding harimau betina. Harimau Sumatra merupakan satwa endemik yang penyebarannya hanya terdapat di Pulau Sumatra saja. Populasi harimau Sumatra di habitat alaminya secara menyeluruh belum diketahui secara tepat, tetapi dapat dipastikan bahwa populasinya saat ini sudah dalam kondisi sangat kritis. Sebagian besar harimau Sumatra mati akibat perburuan, sedangkan penurunan kualitas dan kuantitas habitat harimau Sumatra akibat konversi hutan, eksploitasi hutan, penebangan liar, perambahan hutan, kebakaran hutan dan lain-lain. Kondisi seperti ini apabila tidak ditangani secara serius dan intensif dapat dipastikan bahwa populasi harimau Sumatra di alam akan menurun secara cepat dan dalam waktu yang tidak lama akan punah seperti yang telah terjadi pada harimau Bali (Phantera tigris balica), harimau Kaspia (Phantera tigris virgata) dan harimau Jawa (Phantera tigris sondaica)yang sudah dianggap punah. Berbagai ancaman tersebut antara lain adalah perburuan untuk diambil bagianbagian tubuh harimau dan obat tradisional, hilangnya satwa mangsa melalui kompetisi langsung maupun tak langsung dengan masyarakat setempat, konversi hutan yang mengakibatkan hilangnya habitat harimau dan mangsanya (Santiapillai dan Ramono 1985). Pengaruh kepadatan penduduk berakibat terhadap penyusutan satwa mangsa sekaligus memperluas tingkatan ancaman-ancaman tersebut terhadap keberadaan jangka panjang harimau Sumatra. Berdasarkan hasil survai harimau Sumatra dan satwa mangsanya di TNBBS, fotofoto harimau dari hasil camera trap pada sampel 1-5 (tahun 1998-2006) yaitu sebanyak 67 foto harimau. Setelah diidentifikasi berdasarkan pola loreng dan warna pelage, jenis kelamin, dan ukuran tubuh, 48 ekor harimau dapat diperkirakan terdapat di TNBBS. Namun demikian, dapat diperkirakan juga bahwa populasi harimau ini akan terus menurun sepanjang tahun.

4 Biosfera 26 (1) Januari 2009 Sampel pemantauan dilakukan sebanyak 5 periode yaitu tahun 1999-2000 (sampel 1), tahun 2000-2002 (sampel 2), tahun 2002-2003 (sampel 3), tahun 2003-2004 (sampel 4) dan tahun 2004-2006 (sampel 5). Populasi harimau terus mengalami penurunan populasi. Pada tahun 1999-2000, 20 individu harimau dapat diidentifikasi, tetapi pada 2000-2002 hanya 6 individu yang dapat diidentifikasi. Pada 2002-2003, individu yang berhasil diidentifikasi dari hasil foto camera trap sedikit lebih banyak bila dibandingkan dengan pada 2000-2002 yaitu terdapat 10 individu harimau. Namun demikian, jumlah individu yang berhasil diidentifikasi dari hasil camera trap pada 2003-2004 dan 2004-2006 terus mengalami penurunan yaitu sebanyak 8 individu pada 2003-2004 dan 4 individu pada 2004-2006. Namun demikian, perubahan kondisi hutan bagi habitat harimau sepanjang tahun sangat berpengaruh terhadap perubahan populasinya. Kegiatan perambahan hutan, pengkonversian hutan menjadi lahan garapan, perburuan liar baik terhadap satwa mangsa harimau Sumatra yang terus meningkat sepanjang tahunnya menyebabkan semakin terhimpitnya populasi harimau Sumatra. Perkiraan hilangnya hutan di Sumatra terutama di dataran rendah pada tahun 1985 sampai 1997 sekitar 2.800 km 2 per tahunnya (Wikramanayake et al., 2002). Pengikisan hutan terjadi disepanjang 700 km dari perbatasan, dimana terdapat perusakan akibat penebangan,pertanian dan perburuan liar sebagai masalah yang utama (O Brien et al., 2003). Berdasarkan analisa gambar satelit, terlihat bahwa taman nasional ini telah kehilangan 662 km 2 dari wilayah hutannya sejak tahun 1985, dan semua hutan di lokasi 10 km dari perbatasan taman nasional telah menghilang. Dengan memproyeksikan tingkat perambahan hutan saat ini ke masa yang akan datang, seluruh wilayah hutan dataran rendah di sekitar taman nasional diperkirakan akan hilang pada tahun 2036 (Anon, 2002). Untuk mencegah terjadinya kepunahan harimau Sumatra dan memulihkan kembali populasinya yang berada pada tingkat tidak sehat ke tingkat populasi sehat, tindakan yang secara simultan agar dapat mengatasi faktor-faktor yang mengancam kepunahan harimau Sumatra tersebut di atas diperlukan. Spesies mangsa merupakan komponen habitat utama untuk semua subspesies harimau. Dalam kasus lain, faktor penting yang mengancam kelangsungan hidup harimau yang dapat menimbulkan kepunahan adalah habitat yang semakin berkurang. Untuk memenuhi kebutuhan makannya, harimau berburu 3-6 hari sekali, tergantung besar kecil mangsa yang didapatkannya. Biasanya seekor harimau membutuhkan sekitar 6-7 kg daging per hari, bahkan kadang-kadang sampai 40 kg daging sekali makan. Besarnya jumlah kebutuhan ini tergantung dari apakah harimau tersebut mencari makan untuk dirinya sendiri atau harimau betina yang harus memberi makan anak-anaknya. Keberadaan harimau pada suatu daerah tidak mutlak dipengaruhi oleh banyaknya satwa mangsa pada suatu daerah tersebut. Seperti pada blok Way Pemerihan dan Way Canguk yang memiliki satwa mangsa harimau yang cukup banyak, tetapi survai harimau dan satwa mangsanya pada periode pengamatan kelima tahun 2004-2006 dengan menggunakan camera trap tidak ada foto harimau yang berhasil didapat, sedangkan pada blok Way Belambangan, Way Paya, Tanjung Iman dan Pulau Beringin dengan jumlah satwa mangsa yang tidak terlalu banyak camera trap berhasil mendapatkan foto harimau. Satwa mangsa yang terekam di sepuluh lokasi pada sampel 5 (periode 2004-2005) dengan camera trap sebanyak 22 jenis dengan total individu sebanyak 811 ekor (Tabel 1). Lokasi yang banyak ditemukan satwa mangsa di Way Blambangan (frekuensi 239), Way Paya (frekuensi 104), Way Pemerihan dan Way Canguk (frekuensi 163). Secara umum, jenis satwa dengan frekuensi rekaman pemotretan yang tinggi dijumpai pada kijang (182) dan beruk (149). Harimau Sumatra (Phantera tigris sumatrae) termasuk jenis karnivora yang biasanya memangsa rusa sambar (Cervus unicolor), kijang (Muntiacus muntjak), kancil (Tragulus sp.), dan babi hutan liar (Sus sp.), kerbau liar (Bubalus bubalis), tapir (Tapirus indicus), monyet (Macaca sp.), musang galing (Paguma larvata), landak (Hystrix

Winarno dan Ameliya, Pendugaan Populasi Harimau Sumatra: 1-7 5 brachyura), trenggiling (Manis javanica), dan tak jarang beruang madu (Helarctos malayanus) yang masih anakan menjadi buruannya Hal ini dapat diketahui berdasarkan kotoran harimau yang ditemukan dan terdapat bulu-bulu H. malayanus. Jenis-jenis reptilia seperti kura-kura, ular, dan biawak, serta berbagai jenis burung, ikan, kodok dan jenis-jenis satwa liar lainnya terkadang dimakan harimau. Selain itu, hewan peliharaan atau ternak yang juga sering menjadi mangsa harimau adalah kerbau, kambing, domba, sapi, anjing dan ayam. Biasanya hewan-hewan ini diburu harimau apabila habitat harimau terganggu, sehingga harimau keluar dari habitatnya ke pemukiman atau persediaan mangsa di alam bebas sudah habis atau sangat berkurang jumlahnya. Tabel 1. Jumlah Foto Satwa Yang Terekam Camera Trap Sampel 5 Table 1. The number of fauna recorded in trap cameras in 2004-2006 No Jenis W.B WPy WPC Skr WNg WMr Liwa RA TI PB 1 Ayam hutan 1 2 Babi 25 24 7 3 9 3 Bajing leher kuning 1 4 Beruang madu 3 1 3 7 2 8 5 Beruk 35 5 41 8 9 25 3 10 13 6 Kancil 21 7 Kijang 62 19 26 12 33 16 7 3 4 8 Kuau raja 13 14 33 3 8 11 5 2 9 Kucing batu 1 1 1 1 1 10 Kucing emas 2 2 5 3 2 3 4 11 Kucing kuwuk 2 12 Landak 42 4 6 3 1 15 6 13 Monyet ekor panjang 1 14 Musang belang 1 1 15 Musang galing 1 2 16 16 Musang luwak 2 17 Pelanduk napu 21 17 9 2 18 Rusa Sambar 20 10 4 1 1 19 Simpadan biru 3 20 Simpadan Sumatra 11 21 Tapir 6 6 1 3 4 6 1 1 3 22 Tikus 13 1 3 Total 243 106 164 38 63 86 46 18 27 50 Keterangan: W.B = Way Belambangan W.Py = Way Paya W.PC = Way Pemerihan dan Way Canguk Skr = Sukaraja W.Ng = Way Ngaras W.Mr = Way Marang Liwa = Liwa RA = Rata Agung TI = Tanjung Iman PB = Pulau Beringin Berdasarkan survai yang dilakukan oleh Tiger Team Wildlife Conservation Society - Indonesia Program di TNBBS, kegiatan pembukaan hutan, eksploitasi hutan dan konversi vegetasi hutan alam menjadi non hutan telah terjadi.

6 Biosfera 26 (1) Januari 2009 Pembukaan areal hutan, eksploitasi hutan dan konversi vegetasi hutan alam menjadi tanaman non hutan telah menyebabkan sebagai berikut: 1. Penurunan daya dukung habitat terhadap harimau Sumatra. 2. Penurunan populasi dan jenis satwa mangsa harimau seperti rusa, babi hutan, beruk dan satwa mangsa lainnya karena beralih tempat, mengungsi ke tempat yang lebih baik, dan karena mati. 3. Kehilangan tempat berlindung dan membesarkan anak. 4. Perubahan wilayah jelajah harimau Sumatra. Kesimpulan Jumlah harimau Sumatra di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan diperkirakan sebanyak 48 ekor. Keberadaan harimau ini tentunya didukung oleh kondisi habitat dan satwa mangsanya. Kecenderungan jumlah populasi harimau semakin menurun tiap tahunnya. Penurunan ini diduga karena habitat dan populasi satwa mangsanya semakin berkurang karena konversi hutan menjadi lahan non hutan, disamping adanya kegiatan perburuan. Satwa mangsa harimau yang terekam sebanyak 811 individu. Jenisnya antara lain rusa sambar (Cervus unicolor), kijang (Muntiacus muntjak), kancil (Tragulus sp.), dan babi hutan liar (Sus sp.), kerbau liar (Bubalus bubalis) dan tapir (Tapirus indicus). Daftar Pustaka Anonymous, 2002. Survey, assessment and conservation of the Sumatran Tiger (Panthera tigris sumatrae) in Bukit Barisan Selatan National Park III. Final report to the Exxon/Mobil Save the Tiger Fund. Wildlife Conservation Society (WCS). http://www.5tigers.org/stf/reports/wcs/indonesia/wcs_bbsnp_2000.pdf. Diakses 25 Oktober 2009. Hasiholan, W., 2005. Harimau-harimau: konservasi harimau Sumatra secara komprehensif. Tersedia di : http://harimau Sumatra. blogspot. com/2005/12/ konservasi-harimau-sumatra.html. Diakses 28 Desember 2006. O Brien, T.G., Kinnaird, M.F. and Wibisono, H.T., 2003. Crouching tiger, hidden prey: Sumatran tiger and prey populations in a tropical forest landscape. Animal Conservation 6: 131-139. O Brient, T.G., Kinnaird, M.F., 1996. Birds and mammals of the Bukit Barisan Selatan National Park, Sumatra. Wildlife Conservation Society Working Paper No. 13. Wildlife Conservation Society, New York. Santiapillai, C. and Ramono, W.S., 1985. On the status of the tiger (Panthera tigris sumatrae Pocock 1829) in Sumatra. Tiger paper 12: 23-29 Seidensticker, J., Christie, S., and Jackson, P., (editors). 1999. Riding the tiger: Tiger conservation in human dominated landscapes. Cambridge University Press, Cambridge. Sunquist, M., Karanth, K.U. and Sunquist, F., 1999. Ecology, behaviour and resilience of the tiger and conservation need. In: J. Seidensticker, S. Christie and P. Jackson. (editors). 1999. Riding the tiger: Tiger conservation in human dominate landscapes. Cambridge University Press, Cambridge. Wijayanto, U., Winarni dan Nurul, L., 2003. Pola distribusi harimau Sumatra (Panthera tigris sumatrae) dan beberapa jenis kucing di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan antara tahun 2002-2003. Wildlife Conservation Society-Indonesia Program, Bogor.

Winarno dan Ameliya, Pendugaan Populasi Harimau Sumatra: 1-7 7 Wikramanayake, E., Dinerstein, E., Loucks, C., Loucks, C. J., (editors). 2002. Terrestrial ecoregions of the Indo-Pacific: a conservation assessment. Island Press, Washington DC.