BAB II KAJIAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. perkembangan zaman dan teknologi, teknik pengenalan individu secara

SEMINAR TUGAS AKHIR M. RIZKY FAUNDRA NRP DOSEN PEMBIMBING: Drs. Daryono Budi Utomo, M.Si

1. BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II LANDASAN TEORI

Identifikasi Tanda Tangan Menggunakan Transformasi Gabor Wavelet dan Jarak Minskowski

BAB II LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI

Algoritma Kohonen dalam Mengubah Citra Graylevel Menjadi Citra Biner

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

APLIKASI DETEKSI MIKROKALSIFIKASI DAN KLASIFIKASI CITRA MAMMOGRAM BERBASIS TEKSTUR SEBAGAI PENDUKUNG DIAGNOSIS KANKER PAYUDARA

IDENTIFIKASI BIOMETRIK IRIS DENGAN METODE SNAKE MODEL-PSO DAN GABOR 2-D

BAB II LANDASAN TEORI

YOGI WARDANA NRP

Pertemuan 3 Perbaikan Citra pada Domain Spasial (1) Anny Yuniarti, S.Kom, M.Comp.Sc

PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB III LANDASAN TEORI. 3.1 Metode GLCM ( Gray Level Co-Occurrence Matrix)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.2. Rumusan Masalah

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Meter Air. Gambar 2.1 Meter Air. Meter air merupakan alat untuk mengukur banyaknya aliran air secara terus

BAB I PENDAHULUAN. telinga, wajah, infrared, gaya berjalan, geometri tangan, telapak tangan, retina,

BAB II LANDASAN TEORI

Tugas Teknik Penulisan Karya Ilmiah. M.FAIZ WAFI Sistem Komputer Fakultas Ilmu Komputer Universitas Sriwijaya

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 3 ANALISIS DAN PERANCANGAN PROGRAM APLIKASI

BAB I PENDAHULUAN. masalah, rumusan masalah, tujuan, pembatasan masalah, dan sistematika penulisan

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB II TI JAUA PUSTAKA

LANDASAN TEORI BAB Sistem Biometrik

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 3 IMPLEMENTASI SISTEM

BAB II Tinjauan Pustaka

Segmentasi Dan Pelabelan Pada Citra Panoramik Gigi

BAB II LANDASAN TEORI

SISTEM PENGENALAN WAJAH MENGGUNAKAN WEBCAM UNTUK ABSENSI DENGAN METODE TEMPLATE MATCHING

BAB II LANDASAN TEORI. Pengolahan Citra adalah pemrosesan citra, khususnya dengan menggunakan

BAB 4. Sistem Yang Diusulkan

BAB 2 LANDASAN TEORI

REALISASI PERANGKAT LUNAK UNTUK IDENTIFIKASI SESEORANG BERDASARKAN CITRA PEMBULUH DARAH MENGGUNAKAN EKSTRAKSI FITUR LOCAL LINE BINARY PATTERN (LLPB)

BAB 2 LANDASAN TEORI

Program Aplikasi Komputer Pengenalan Angka Dengan Pose Jari Tangan Sebagai Media Pembelajaran Interaktif Anak Usia Dini

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI

Analisa Perbandingan Metode Edge Detection Roberts Dan Prewitt

PERBANDINGAN METODE ROBERTS DAN SOBEL DALAM MENDETEKSI TEPI SUATU CITRA DIGITAL. Lia Amelia (1) Rini Marwati (2) ABSTRAK

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Tidak ada tepat satu teori untuk menyelesaikan problem pengenalan pola Terdapat model standar yang dapat dijadikan teori acuan

PERANCANGAN APLIKASI PENGURANGAN NOISE PADA CITRA DIGITAL MENGGUNAKAN METODE FILTER GAUSSIAN

Bulu mata. Generalisasi= Jumlah pola dikenali dengan benar x 100% Jumlah total pola

BAB II LANDASAN TEORI

Klasifikasi Kualitas Keramik Menggunakan Metode Deteksi Tepi Laplacian of Gaussian dan Prewitt

Implementasi Metode Hough Transform Pada Citra Skeletonisasi Dengan Menggunakan MATLAB 7.6. Intan Nur Lestari

IMPLEMENTASI ALGORITMA FRACTAL NEIGHBOUR DISTANCE UNTUK FACE RECOGNITION

UNIVERSITAS BINA NUSANTARA. Jurusan Teknik Informatika Skripsi Sarjana Komputer Semester Genap tahun 2005/2006

DAFTAR ISI. Lembar Pengesahan Penguji... iii. Halaman Persembahan... iv. Abstrak... viii. Daftar Isi... ix. Daftar Tabel... xvi

BAB II LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI

Pendeteksian Tepi Citra CT Scan dengan Menggunakan Laplacian of Gaussian (LOG) Nurhasanah *)

BAB 1 PENDAHULUAN. sistem analog menjadi sistem komputerisasi. Salah satunya adalah sistem

LANDASAN TEORI. 2.1 Citra Digital Pengertian Citra Digital

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB II LANDASAN TEORI

Operasi Bertetangga KONVOLUSI. Informatics Eng. - UNIJOYO log.i. Citra kualitas baik: mencerminkan kondisi sesungguhnya dari obyek yang dicitrakan

PEMANFAATAAN BIOMETRIKA WAJAH PADA SISTEM PRESENSI MENGGUNAKAN BACKPROPAGATION NEURAL NETWORK

Konvolusi. Esther Wibowo Erick Kurniawan

PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Identifikasi Tanda Tangan Dengan Ciri Fraktal dan Perhitungan Jarak Euclidean pada Fakultas Teknologi Informasi Universitas Budi Luhur

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. menggunakan PCA, kemudian penelitian yang menggunakan algoritma Fuzzy C-

MKB3383 TEKNIK PENGOLAHAN CITRA Pemrosesan Citra Biner

BAB I PENDAHULUAN. a. Universal (universality), dimana karakteristik yang dipilih harus dimiliki oleh setiap orang.

Verifikasi Citra Wajah Menggunakan Metode Discrete Cosine Transform Untuk Aplikasi Login

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI

BAB II LANDASAN TEORI. berawal dari suatu ide untuk menyimpan segitiga Sierpinski menggunakan

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN. a. Spesifikasi komputer yang digunakan dalam penelitian ini adalah

IDENTIFIKASI IRIS MATA MENGGUNAKAN TAPIS GABOR WAVELET DAN JARINGAN SYARAF TIRUAN LEARNING VECTOR QUANTIZATION (LVQ)

... BAB 2 LANDASAN TEORI. 2.1 Citra

IDENTIFIKASI SESEORANG BERDASARKAN CITRA TELINGA DENGAN MENGGUNAKAN METODE TRANSFORMASI HOUGH ABSTRAK

Bab III ANALISIS&PERANCANGAN

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI. dilakukan oleh para peneliti, berbagai metode baik ekstraksi fitur maupun metode

PENGOLAHAN CITRA DIGITAL

BAB 2 LANDASAN TEORI. dari sudut pandang matematis, citra merupakan fungsi kontinyu dari intensitas cahaya

Implementasi Edge Detection Pada Citra Grayscale dengan Metode Operator Prewitt dan Operator Sobel

APLIKASI TRANSFORMASI HOUGH UNTUK EKSTRAKSI FITUR IRIS MATA MANUSIA

SISTEM REKOGNISI KARAKTER NUMERIK MENGGUNAKAN ALGORITMA PERCEPTRON

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB III ANALISIS DAN PERANCANGAN SISTEM. Dalam pengerjaan tugas akhir ini memiliki tujuan untuk mengektraksi

Batra Yudha Pratama

BAB II LANDASAN TEORI

Pertemuan 2 Dasar Citra Digital. Anny Yuniarti, S.Kom, M.Comp.Sc

GRAFIK KOMPUTER DAN PENGOLAHAN CITRA. WAHYU PRATAMA, S.Kom., MMSI.

BAB II LANDASAN TEORI

BAB IV PENGUJIAN SISTEM. dan GVF Snake yang telah selesai dibuat. Dimulai dari modified

Fourier Descriptor Based Image Alignment (FDBIA) (1)

EKSTRAKSI JALAN SECARA OTOMATIS DENGAN DETEKSI TEPI CANNY PADA FOTO UDARA TESIS OLEH: ANDRI SUPRAYOGI NIM :

TINJAUAN PUSTAKA ,...(1)

Transkripsi:

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 State of The Art Review 2.1.1 Sistem Pengenalan Biometrik Iris Penelitian-penelitian yang terkait dengan sistem pengenalan biometrik iris membahas mengenai tahap-tahap yang digunakan untuk membangun sistem pengenalan biometrik iris. Tahap-tahap yang dibahas umumnya terdiri dari metode segmentasi (lokalisasi) wilayah iris, metode normalisasi citra iris, metode ekstraksi ciri, dan metode pencocokan pola iris. Tabel 2.1 berisi rangkuman penelitianpenelitian sebelumnya yang terkait dengan sistem pengenalan biometrik iris. Tabel 2.1 State of The Art: Sistem Pengenalan Biometrik Iris How Iris Recognition Works Recognition of Human Iris Patterns for Biometric Identification Iris Recognition: An Emerging Biometric Technology Sistem Pengenalan Biometrik Iris Lokalisasi batas terdalam dan terluar iris dilakukan dengan operator integrodifferential. Normalisasi citra iris dengan Daugman s rubber sheet model. Informasi fase diekstraksi dengan quadrature 2-D Gabor wavelet. Pencocokan dua pola iris dilakukan dengan Hamming distance (Daugman, 2004). Lokalisasi iris dilakukan dengan transformasi lingkaran Hough. Normalisasi citra iris dilakukan dengan teknik registrasi citra. Ekstraksi ciri dilakukan dengan dekomposisi isotropic bandpass (turunan dari Laplacian of Gaussian). Pencocokan dua pola iris dilakukan dengan pendekatan yang didasarkan pada korelasi ternormalisasi (Wildes, 1997). Segmentasi iris dilakukan dengan transformasi lingkaran dan linear Hough. Teknik normalisasi yang digunakan adalah Daugman s rubber sheet model. Ekstraksi ciri dan pencocokan pola iris dilakukan dengan quadrature 2-D Gabor wavelet dan Hamming distance (Masek, 2003). 11

12 2.1.2 Segmentasi Iris Penelitian-penelitian yang terkait dengan segmentasi iris khusus membahas mengenai metode yang digunakan untuk melakukan segmentasi wilayah iris. Tabel 2.2 berisi rangkuman penelitian-penelitian sebelumnya yang terkait dengan segmentasi iris. Tabel 2.2 State of The Art: Segmentasi Iris Iris Segmentation Using Geodesic Active Contours A New Iris Segmentation Method Based on Improved Snake Model and Angular Integral Projection Segmentasi Iris Wilayah iris disegmentasi dengan metode geodesic active contours. Persentase metode tersebut mampu melakukan segmentasi iris dengan benar sebesar 56,6% (682 citra), segmentasi yang meleset sebesar 7,6% (92 citra), dan tidak bisa tersegmentasi sebesar 35,8% (431 citra) (Shah and Ross, 2009). Wilayah iris disegmentasi dengan menggunakan metode berbasis active contours, yaitu snake model yang dikombinasikan dengan angular integral projection. Hasilnya lebih baik dibandingkan dengan metode Daugman dan Masek. Akurasi penentuan titik pusat sebesar 84,8%, akurasi penentuan radius sebesar 96,88%, dan rata-rata waktu proses segmentasi 0,49 detik (Jarjes, et al., 2011). 2.1.3 Metode Hybrid untuk Segmentasi Citra Penelitian-penelitian yang terkait dengan metode hybrid untuk segmentasi citra membahas mengenai kombinasi metode yang digunakan untuk melakukan segmentasi citra. Tabel 2.3 berisi rangkuman penelitian-penelitian sebelumnya yang terkait dengan metode hybrid untuk segmentasi citra.

13 Tabel 2.3 State of The Art: Metode Hybrid untuk Segmentasi Citra Genetic Algorithms for Image Segmentation using Active Contours An Overview of PSO- Based Approaches in Image Segmentation Application of Particle Swarm Optimization and Snake Model Hybrid on Medical Imaging PSO-based Fractal Image Compression and Active Contour Model Metode Hybrid untuk Segmentasi Citra Metode active contours dikombinasikan dengan algoritma genetika untuk menemukan wilayah berbentuk lingkaran konsentris dalam segmentasi citra ultrasound. Algoritma genetika digunakan untuk mencegah snakes terpaku pada keadaan minimum lokal (Panwar and Gulati, 2013). Ulasan mengenai berbagai jenis metode segmentasi citra berbasis particle swarm optimization (PSO) yang dikombinasikan dengan metode lain, antara lain PSO-thresholding, PSO-berbasis fuzzy, PSOalgoritma genetika, PSO-berbasis wavelet, PSO-berbasis clustering, PSO-berbasis rough set, dan PSO-berbasis jaringan syaraf tiruan. Ulasan tersebut menyimpulkan bahwa PSO yang dikombinasikan dengan metode lain akan menghasilkan pendekatan yang lebih efektif (Kaur and Singh, 2012). Skema baru dari particle swarm optimization (PSO) yang digunakan untuk mengubah kurva snake dari waktu ke waktu untuk mengurangi kompleksitas waktu sekaligus meningkatkan kualitas hasil yang diperoleh. Skema ini mengintegrasikan konsep active contour model ke PSO sehingga setiap partikel akan merepresentasikan sebuah snaxel pada active contour. Persamaan velocity update pada algoritma PSO dimodifikasi agar mencakup kinematika dari snake (Shahamatnia and Ebadzadeh, 2011). Penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu pemanfaatan PSO untuk kompresi citra fraktal dan pemanfaatan PSO untuk active contour model. PSO dan active contour model digunakan untuk mengidentifikasi garis batas objek secara otomatis. Teknik PSO dengan multi-populasi diadopsi untuk meningkatkan kemampuan pencarian kelengkungan dan mengurangi waktu pencarian, tetapi dengan window pencarian yang lebih luas. Hasil percobaan menunjukkan bahwa metode tersebut mampu meningkatkan pencarian kelengkungan objek tanpa waktu komputasi ekstra (Tseng, 2008).

14 2.1.4 Klasifikasi Berbasis K-NN untuk Pengenalan Iris Penelitian-penelitian yang terkait dengan klasifikasi berbasis K-NN untuk pengenalan iris khusus membahas mengenai teknik klasifikasi dengan metode K- NN yang digunakan pada pengenalan iris. Tabel 2.4 berisi rangkuman penelitianpenelitian sebelumnya yang terkait dengan klasifikasi berbasis K-NN untuk pengenalan iris. Tabel 2.4 State of The Art: Klasifikasi Berbasis K-NN untuk Pengenalan Iris A Statistical Approach for Iris Recognition Using K- NN Classifier Klasifikasi Berbasis K-NN untuk Pengenalan Iris Metode klasifikasi yang digunakan dalam pengenalan iris adalah algoritma klasifikasi K-NN. Euclidean distance digunakan untuk menghitung kedekatan jarak (kemiripan) antara dua pola iris yang dibandingkan. Unjuk kerja sistem menghasilkan akurasi klasifikasi yang baik terhadap 500 citra iris yang disertai dengan penurunan nilai FAR/FRR (Choudhary, et al., 2013). 2.2 Sistem Biometrik 2.2.1 Biometrik Suatu ungkapan yang identik dengan istilah biometrik adalah badanmu adalah password-mu karena dalam biometrik seseorang dikenali berdasarkan karakteristik alami yang melekat pada tubuhnya. Secara harfiah, biometrik (biometrics) berasal dari kata bio dan metrics. Bio memiliki arti sesuatu yang hidup, sedangkan metrics berarti mengukur. Biometrik memiliki arti mengukur karakteristik pembeda pada badan atau perilaku seseorang yang digunakan untuk melakukan pengenalan secara otomatis (dengan menggunakan teknologi terkomputerisasi) terhadap identitas orang tersebut, dengan membandingkannya

15 dengan karakteristik yang sebelumnya telah disimpan pada suatu database (Putra, 2009:21). Secara umum karakteristik pembeda tersebut dapat digolongkan menjadi dua, yaitu karakteristik fisiologis (fisik) dan karakteristik perilaku. Biometrik berdasarkan karakteristik fisiologis menggunakan bagian-bagian fisik dari tubuh seseorang sebagai kode unik untuk pengenalan, seperti DNA, telinga, jejak panas pada wajah, geometri tangan, pembuluh nadi pada tangan, wajah, sidik jari, iris, telapak tangan, retina, gigi, dan bau (komposisi kimia) dari keringat tubuh. Sedangkan biometrik berdasarkan karakteristik perilaku menggunakan perilaku sesorang sebagai kode unik untuk melakukan pengenalan, seperti gaya berjalan, hentakan tombol, tanda tangan, dan suara (Putra, 2009:21). Tidak semua bagian tubuh atau perilaku seseorang dapat digunakan sebagai biometrik. Persyaratan utama yang harus dipenuhi agar bagian-bagian tubuh atau perilaku manusia dapat digunakan sebagai biometrik, antara lain (Putra, 2009:23) : 1. Universal (universality), artinya karakteristik yang dipilih harus dimiliki oleh setiap orang. 2. Membedakan (distinctiveness), artinya karakteristik yang dipilih dapat digunakan untuk membedakan antara orang yang satu dengan yang lainnya. 3. Permanen (permanence), artinya karakteristik yang dipilih harus bersifat konstan (tidak mudah berubah) dalam periode waktu yang lama. 4. Kolektabilitas (collectability), artinya karakteristik yang dipilih mudah diperoleh dan dapat diukur secara kuantitatif.

16 Selain keempat persyaratan utama tersebut, terdapat tiga persyaratan lagi yang merupakan persyaratan tambahan dalam menentukan kelayakan suatu karakteristik digunakan sebagai biometrik, antara lain (Putra, 2009:24) : 5. Unjuk kerja (performance), artinya karakteristik yang dipilih dapat memberikan unjuk kerja yang bagus, baik dari segi akurasi maupun kecepatan, termasuk sumber daya yang dibutuhkan untuk memperoleh karakteristik tersebut. 6. Dapat diterima (acceptability), artinya masyarakat mau menerima karakteristik yang digunakan. 7. Tidak mudah dikelabui (circumvention), artinya karakteristik yang dipilih tidak mudah dikelabui dengan berbagai cara yang curang. Perbandingan karakteristik biometrik, baik karakteristik fisiologis maupun perilaku ditunjukkan pada Tabel 2.5. Masing-masing karakteristik biometrik tersebut memiliki nilai tersendiri terkait dengan ketujuh persyaratan yang telah disebutkan sebelumnya. Nilai yang digunakan adalah tinggi (T), menengah(m), dan rendah (R).

17 Tabel 2.5 Perbandingan Karakteristik Biometrik (Putra, 2009:31) Karakteristik Biometrik Universality Distinctiveness Permanence Collectability Performance Acceptability Circumvention DNA T T T R T R R Telinga M M T M M T M Wajah T R M T R T T Thermogram Wajah T T R T M T R Sidik Jari M T T M T M M Gaya Berjalan M R R T R T M Geometri Tangan M M M T M M M Pembuluh Nadi Tangan M M M M M M R Iris T T T M T R R Hentakan Tombol R R R M R M M Bau T T T R R M R Telapak Tangan M T T M T M M Retina T T M R T R R Tanda Tangan R R R T R T T Suara M R R M R T T 2.2.2 Sistem Pengenalan Biometrik Sistem pengenalan biometrik merupakan sistem otentikasi dengan menggunakan biometrik. Pengenalan terhadap identitas seseorang pada sistem biometrik dilakukan secara otomatis berdasarkan suatu ciri biometrik dengan cara mencocokkan ciri tersebut dengan ciri biometrik yang telah disimpan dalam database. Sebagai suatu sistem otentikasi, sistem biometrik akan menghasilkan keputusan dari hasil pengenalan/pencocokan yang diperoleh. Keputusan yang dihasilkan oleh sistem biometrik dapat berupa sah atau tidak sah, diterima atau ditolak, dan dikenali atau tidak dikenali. Secara umum, terdapat dua model sistem biometrik, yaitu sistem verifikasi dan sistem identifikasi (Putra, 2009:24).

18 2.2.2.1 Sistem Verifikasi Sistem verifikasi bertujuan untuk menerima atau menolak identitas yang diklaim oleh seseorang. Pengguna membuat klaim positif terhadap suatu identitas. Klaim positif terhadap suatu identitas berarti pengguna mengklaim bahwa dirinya telah terdaftar di sistem. Pada sistem verifikasi dilakukan pencocokan satu ke satu dari sampel yang diberikan terhadap acuan yang terdaftar atas identitas yang diklaim tersebut. Sistem verifikasi biasanya menjawab pertanyaan apakah identitas saya sama dengan identitas yang saya klaim? (Putra, 2009:24). 2.2.2.2 Sistem Identifikasi Sistem identifikasi bertujuan untuk memecahkan/mengungkapkan identitas seseorang. Pengguna dapat tidak memberi klaim atau memberi klaim implisit negatif untuk identitas yang telah terdaftar. Klaim implisit negatif terhadap suatu identitas berarti pengguna mengklaim tidak terdaftar di sistem. Pada klaim implisit, sampel yang diberikan memerlukan pencocokan terhadap semua acuan yang didaftarkan atau dilakukan pencocokan satu ke banyak. Sistem identifikasi biasanya menjawab pertanyaan identitas siapakah ini? (Putra, 2009:25). 2.2.3 Evaluasi Sistem Biometrik Tidak semua sistem biometrik yang dibangun memiliki unjuk kerja yang baik. Untuk mengetahui seberapa baik unjuk kerja dari suatu sistem biometrik perlu dilakukan evaluasi. Beberapa jenis kesalahan yang dijadikan tolak ukur dalam mengevaluasi unjuk kerja sistem biometrik adalah rasio kesalahan keputusan

19 (decision error rate), rasio kesalahan pencocokan (matching error rate), dan rasio kesalahan akuisisi citra (image acquisition error rate) (Putra, 2009:33). 2.2.3.1 Rasio Kesalahan Keputusan Rasio kesalahan keputusan terdiri dari rasio kesalahan penerimaan (False Acceptance Rate) dan rasio kesalahan penolakan (False Rejection Rate). 1. False Acceptance Rate (FAR) menyatakan proporsi dari sistem transaksi yang mengalami kesalahan penerimaan (falsely accepted) atau pengguna yang tidak terdaftar di sistem diterima oleh sistem. Dengan kata lain, FAR merupakan false match rate untuk sampel-sampel yang berhasil diakuisisi (successfully acquired). FAR dihitung menggunakan persamaan (2.1) (Dunstone and Yager, 2009:148). = (1 ) (2.1) 2. False Rejecting Rate (FRR) menyatakan proporsi dari sistem transaksi yang mengalami kesalahan penolakan (falsely rejected) atau pengguna yang terdaftar di sistem ditolak oleh sistem. FRR meliputi kesalahan saat akuisisi, dan proporsi false non match untuk sampel-sampel yang berhasil diakuisisi. FRR dihitung menggunakan persamaan (2.2) (Dunstone and Yager, 2009:148). = (1 ) (2.2) 2.2.3.2 Rasio Kesalahan Pencocokan Rasio kesalahan pencocokan (matching error rate) menyatakan probabilitas terjadinya kesalahan pencocokan pada sistem. Terdapat dua jenis rasio kesalahan

20 pencocokan, yaitu rasio kesalahan kecocokkan (False Match Rate) dan rasio kesalahan ketidakcocokkan (False Non Match Rate) (Putra, 2009:34). 1. False Match Rate (FMR) menyatakan probabilitas sampel yang berasal dari pengguna yang berbeda tetapi cocok dengan acuan yang terdaftar pada database. FMR dihitung dengan menggunakan persamaan (2.3) (Putra, 2009:34). = 100% (2.3) 2. False Non Match Rate (FNMR) menyatakan probabilitas sampel dari pengguna yang sama tetapi tidak cocok dengan acuan yang terdaftar pada database. FNMR dihitung dengan menggunakan persamaan (2.4) (Putra, 2009:34). = 100% (2.4) 2.2.3.3 Rasio Kesalahan Akuisisi Citra Kesalahan akuisisi citra (image acquisition error rate) mencakup kegagalan saat proses pendaftaran (Failure to Enroll Rate) dan kegagalan saat akuisisi citra (Failure to Acquire Rate). Kedua rasio kesalahan tersebut berpengaruh terhadap nilai FAR/FRR sistem, namun tidak pada nilai FMR/FNMR (Putra, 2009:40). 1. Failure to Enroll Rate (FTE) menyatakan proporsi dari transaksi enrollment yang mengalami kegagalan, termasuk di dalamnya kegagalan dalam menghasilkan ciri (feature) biometrik, kegagalan dalam mendapatkan citra yang berkualitas dalam tahap pendaftaran, dan kegagalan dalam menghasilkan acuan yang cocok.

21 2. Failure to Acquire Rate (FTA) menyatakan proporsi dari transaksi verifikasi/identifikasi yang mengalami kegagalan saat melakukan akuisisi citra. 2.2.3.4 Nilai Ambang (Threshold Value) Nilai ambang (threshold value) yang biasanya dilambangkan dengan T, memiliki peran penting dalam memutuskan terjadinya kesalahan dalam pencocokan. Nilai FAR/FRR atau FMR/FNMR bergantung pada besarnya nilai ambang yang digunakan. Keputusan (cocok atau tidak cocok, sah atau tidak sah) dihasilkan berdasarkan kondisi berikut (Putra, 2009:35) : h, = h, < (2.5) Selain didasarkan pada persamaan (2.5), ada juga yang menggunakan kondisi sebaliknya untuk menyatakan pengguna yang sah, seperti yang ditunjukkan pada persamaan (2.6) (Putra, 2009:35). h, = h, > (2.6) Hal tersebut disebabkan oleh penggunaan asumsi yang berbeda terhadap skor yang digunakan. Kondisi pada persamaan (2.5) digunakan jika asumsi yang digunakan terhadap skor adalah semakin besar skor berarti kedua sampel semakin mirip. Sebaliknya, kondisi pada persamaan (2.6) digunakan jika asumsi yang digunakan terhadap skor adalah semakin kecil skor berarti kedua sampel semakin mirip (Putra, 2009:35).

22 2.2.3.5 Grafik Receiver Operation Characteristics (ROC) Grafik ROC merupakan grafik yang digunakan untuk menunjukkan unjuk kerja suatu sistem biometrik dan memiliki tiga jenis model grafik. Pada Gambar 2.1 (a), sumbu-x menyatakan nilai ambang dan sumbu-y menyatakan FAR/FRR atau FMR/FNMR. Pada Gambar 2.1 (b), sumbu-x menyatakan FRR (FNMR) dan sumbuy menyatakan FAR (FMR). Pada Gambar 2.1 (c), sumbu-x menyatakan FAR (FMR) dan sumbu-y menyatakan GAR (Genuine Acceptance Rate). Salah satu dari ketiga model grafik tersebut dapat digunakan untuk mewakili unjuk kerja suatu sistem biometrik (Putra, 2009:37). (a) (b)

23 (c) Gambar 2.1 Berbagai Model Grafik ROC (Putra, 2009:36) GAR menyatakan tingkat kesuksesan suatu sistem biometrik dalam mengenali pengguna dengan benar. Untuk menghitung nilai GAR digunakan persamaan (2.7) atau persamaan (2.8) (Putra, 2009:37). = 1 (2.7) atau = 1 (2.8) Pada Gambar 2.1 (a), terlihat bahwa semakin tinggi nilai ambang maka rasio kesalahan penolakan akan berkurang dan rasio kesalahan penerimaan akan bertambah. Semakin rendah nilai ambang maka kesalahan penolakan akan bertambah dan kesalahan penerimaan akan berkurang. Kedua jenis kesalahan ini berbanding terbalik secara berimbang. Kedua kurva FAR (FMR) dan FRR (FNMR) menyilang pada suatu titik dengan nilai FAR sama dengan FRR. Nilai pada titik perpotongan ini disebut dengan tingkat kesalahan sama (equal error rate-eer) atau crossover error rate (CER).

24 Kebutuhan akan tingkat akurasi suatu sistem biometrik sangat bergantung pada aplikasinya. Dalam aplikasi forensik, seperti identifikasi pelaku kriminal, yang diutamakan adalah FRR (FNMR) yang sekecil mungkin agar jangan sampai salah dalam mengidentifikasi seorang pelaku kriminal meskipun dengan risiko terjadi kesalahan yang cukup besar dalam verifikasi. Di sisi lain, FAR (FMR) yang sekecil mungkin menjadi hal paling penting dalam aplikasi keamanan tingkat tinggi karena tujuan utamanya adalah untuk menolak para penipu (meski dengan risiko pengguna yang sah juga ditolak oleh sistem karena tingginya FRR). Salah satu aplikasi publik yang unjuk kerjanya berada di antara kedua hal di atas adalah aplikasi verifikasi kartu ATM. Kesalahan FAR yang tinggi berarti kehilangan beberapa ratus dollar, sementara tingginya FRR mengarah pada hilangnya kepercayaan pelanggan penting (Putra, 2009:37). 2.2.4 Sistem Pengenalan Biometrik Iris Menurut Tang, iris adalah daerah berbentuk gelang pada mata yang dibatasi oleh pupil (bagian pusat mata yang berwarna hitam) dan sclera (bagian putih dari mata) (Tang, et al., 2009). Sedangkan menurut Daugman, iris merupakan organ internal mata yang terlindungi, terletak di belakang kornea dan aqueous humor, dan berada di depan lensa. Iris merupakan satu-satunya organ internal dari tubuh yang dapat dilihat secara normal dari luar (Fouad, 2012).

25 Gambar 2.2 Anatomi Mata (Fouad, 2012) Lapisan striated anterior yang melindungi trabecular meshwork menghasilkan tekstur utama yang terlihat dengan cahaya seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.2 (Fouad, 2012). Sedangkan Gambar 2.4 menampilkan struktur iris jika dilihat dari tampak depan. Gambar 2.3 Contoh Pola Iris yang Terlihat (Fouad, 2012) Gambar 2.4 Struktur Iris (Wildes, 1997)

26 Tekstur visual dari iris dibentuk selama perkembangan janin di dalam kandungan dan selanjutnya tekstur tersebut menstabilkan diri sepanjang dua tahun pertama kehidupan janin tersebut di luar kandungan (setelah lahir). Tekstur iris yang kompleks mengandung informasi yang bersifat sangat unik dan dapat dimanfaatkan untuk pengenalan individu (Putra, 2009:76). Sifat-sifat yang menyebabkan iris sesuai digunakan untuk sistem identifikasi dengan tingkat kepercayaan yang tinggi diantaranya, (i) sifatnya yang terisolasi dan terlindungi dari lingkungan luar; (ii) tidak mungkin dimodifikasi dengan operasi tanpa risiko yang mempengaruhi penglihatan; (iii) adanya respon fisiologis terhadap cahaya yang dapat digunakan sebagai salah satu tes alami untuk menghindari kelicikan (Fouad, 2012). Iris tidak dipengaruhi oleh faktor genetik sehingga iris-iris yang berasal dari genotype yang sama (saudara kembar identik, atau pasangan iris kiri dan kanan dari individu) tidak memiliki keterhubungan sama sekali. Hal ini menyebabkan iris bersifat unik untuk setiap orang, bahkan untuk iris dari mata kiri dan kanan. Kelebihan yang dimiliki iris dibandingkan dengan biometrik yang lain diantaranya (i) kemudahan dalam registrasi citra dari jarak tertentu tanpa terjadi kontak fisik; (ii) geometri polar dari bentuk iris sesuai dengan sistem koordinat alami dan titik asal koordinat; (iii) pola iris memiliki tingkat acak yang tinggi, mencapai 266 spot yang unik (Fouad, 2012). Menurut T. Tan, et al., dalam bukunya yang berjudul Iris Recognition: Fundamentals and State-Of-the-Art menggambarkan bahwa algoritma pengenalan iris adalah seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.5 (Putra, 2009:77).

27 Gambar 2.5 Algoritma Sistem Pengenalan Iris (Putra, 2009:77) Berdasarkan Gambar 2.5 tersebut, terdapat beberapa proses penting yang harus dilakukan dalam membangun suatu sistem pengenalan biometrik iris. Prosesproses tersebut adalah akuisisi citra iris (iris image acquisition), lokalisasi iris (iris localization) atau sering disebut juga dengan istilah segmentasi iris, ekstraksi ciri (feature extraction), dan pencocokan ciri (Putra, 2009:77). 1. Akuisisi citra iris, yaitu proses untuk mendapatkan citra iris dari individu yang digunakan untuk pendaftaran maupun pengujian. 2. Lokalisasi iris dan zona perhitungan. Lokalisasi iris, yaitu proses menemukan lokasi iris. Sedangkan zona perhitungan adalah daerah di antara luar pupil dan di dalam sclera.

28 3. Ekstraksi ciri, yaitu proses mengekstrak informasi dari citra iris yang akan digunakan sebagai ciri unik dari iris tersebut. 4. Pencocokan, yaitu proses menghitung jarak antara dua sampel iris. Hasil dari pencocokan ini adalah skor yang akan menentukan hasil pengenalan. 2.3 Pengolahan Citra Digital Secara umum, pengolahan citra digital mengacu pada pemrosesan gambar dua dimensi dengan menggunakan komputer. Suatu citra dapat didefinisikan sebagai fungsi f(x,y) berukuran M baris dan N kolom, dengan x dan y merupakan koordinat spasial, dan amplitudo f di titik koordinat (x,y) merupakan intensitas atau tingkat keabuan dari citra pada titik koordinat tersebut. Jika x, y, dan amplitudo f secara keseluruhan memiliki nilai yang berhingga (finite) dan bernilai diskrit maka dapat dikatakan bahwa citra tersebut adalah citra digital (Putra, 2010:20). Gambar 2.6 Koordinat Citra Digital (Putra, 2010:20)

29 Gambar 2.6 menunjukkan posisi koordinat yang digunakan pada citra digital. Hal ini sedikit berbeda dengan koordinat Cartesian pada umumnya, dalam hal ini sumbu-x biasanya berada pada bidang horizontal, dan sumbu-y berada pada bidang vertikal. Pada koordinat citra digital, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.6, sumbu-x berada pada bidang vertikal, dan sumbu-y berada pada bidang horizontal, hal ini karena koordinat citra digital menggunakan koordinat pada layar monitor. Dalam bentuk matematis, citra digital dapat direpresentasikan dalam bentuk matriks sebagai berikut : (0,0) (1,0) (, ) = ( 1,0) (0,1) (1,1) ( 1,1) (0, 1) (1, 1) ( 1, 1) (2.7) Nilai pada suatu irisan antara baris dan kolom (pada posisi (x,y)) disebut dengan istilah picture elements, image elements, pels, atau pixel (Putra, 2010:20). 2.3.1 Tapis Median Tapis median menghitung nilai dari setiap piksel baru, yaitu nilai piksel pada pusat koordinat sliding window dengan nilai tengah (median) dari piksel di dalam window. Nilai tengah dari piksel di dalam window tergantung pada ukuran sliding window. Untuk ukuran window m baris dan n kolom maka banyaknya piksel dalam window adalah. Akan lebih baik jika ukuran window adalah bilangan ganjil karena piksel pada posisi tengahnya dapat diperoleh dengan lebih pasti, yaitu piksel pada posisi ( + 1)/2. Semua piksel tetangga harus diurutkan sebelum

30 menentukan piksel pada posisi tengah. Secara matematis, tapis median dapat dinyatakan sebagai berikut (Putra, 2010:147): (, ) = { ( + 1, + 1), (, ) } (2.8) dengan, = matriks citra input = matriks citra output = matriks window, = indeks matriks citra input dan output, = indeks window 2.3.2 Tapis Gaussian Tapis Gaussian secara meluas telah digunakan dalam bidang analisis citra terutama untuk proses penghalusan (smoothing), pengaburan (blurring), menghilangkan detil, dan menghilangkan derau (noise). Citra diproses menggunakan tapis Gaussian dengan parameter ukuran kernel dan standard deviasi ( ) yang telah ditentukan untuk mengurangi noise yang terdapat pada citra. Tapis Gaussian 2-D dihasilkan melalui persamaan berikut : (, ) = 1 2 (2.9) dengan, = matriks tapis Gaussian, = indeks matriks Gaussian = standard deviasi

31 Proses penghalusan terhadap citra dapat dilakukan dengan proses konvolusi citra input dengan kernel Gaussian. Tingkat atau derajat kehalusan citra hasil tapis Gaussian dapat diatur dengan mengubah-ubah nilai (Putra, 2010:143). 2.3.3 Tapis Gabor 2-D Tapis Gabor didefinisikan oleh fungsi harmonic yang dimodulasi oleh distribusi Gaussian. Penggunaan tapis Gabor 2-D dalam computer vision diperkenalkan oleh Daugman di akhir tahun 1980-an. Sejak saat itu, tapis Gabor telah sering digunakan pada aplikasi pengolahan citra yang meliputi kompresi citra, deteksi tepi, pengenalan objek dan wajah, segmentasi dan klasifikasi tekstur, dan analisis tekstur. Dalam hal ekstraksi ciri, tapis Gabor telah sukses diaplikasikan pada banyak aplikasi pengenalan pola seperti pengenalan wajah, iris, dan sidik jari. Salah satu hal yang menyebabkan tapis Gabor banyak digunakan adalah karena frekuensi dan representasi orientasi dari tapis Gabor mirip dengan sistem visual manusia (Singh et al., 2012). Tapis Gabor merupakan tapis linier di mana respon impulsnya didefinisikan oleh fungsi harmonic dikalikan dengan fungsi Gaussian. Tapis Gabor 2-D dalam domain spasial dirumuskan dengan persamaan berikut (Putra, 2010:151) : (,,,, ) = {2.. (.. cos +.. sin )} (2.10) dengan, = 1 = frekuensi dari gelombang sinusoidal = kontrol terhadap orientasi dari fungsi Gabor

32 = standard deviasi dari Gaussian envelope, = koordinat dari tapis Gabor Persamaan tapis Gabor 2-D tersebut dibentuk dari dua komponen, yaitu Gaussian envelope dan gelombang sinusoidal dalam bentuk kompleks. Fungsi Gaussian dari persamaan tersebut adalah sebagai berikut : (, ) =.. (2.11) Sedangkan gelombang sinusoidal pada persamaan tersebut ditunjukkan oleh persamaan berikut: (, ) = 2. (.. cos +.. sin ) (2.12) Dari fungsi gelombang sinusoidal tersebut, maka diperoleh dua fungsi terpisah yang dinyatakan dengan bagian real dan imajiner dari fungsi kompleks yang ditunjukkan oleh persamaan berikut (Putra, 2010:151): (, ) = cos{2. (.. cos +.. sin )} (, ) = sin{2. (.. cos +.. sin )} (2.13) (2.14) Pada ekstraksi ciri persamaan (2.10) digunakan untuk membentuk tapis Gabor 2-D. Parameter, mengacu pada koordinat tapis Gabor 2-D yang disesuaikan dengan ukuran tapis yang hendak dihasilkan. Parameter mengacu pada besar sudut orientasi untuk mengontrol garis-garis paralel pada fungsi Gabor. Jika tapis Gabor dengan beragam frekuensi (u) dan sudut orientasi ( ) diterapkan

33 pada suatu titik tertentu pada citra, maka akan diperoleh banyak respon tapis untuk titik tersebut sesuai dengan jumlah frekuensi dan sudut orientasi yang digunakan. Setiap respon tapis yang dihasilkan dikonvolusi dengan citra yang menjadi objek ekstraksi ciri. Hasil konvolusi akan memunculkan fitur-fitur tertentu yang merupakan karakteristik citra. Fitur-fitur tersebut terdiri dari bagian real dan imaginary berdasarkan persamaan (2.13) dan (2.14). 2.3.4 Laplacian of Gaussian (LoG) Tepian dari suatu citra mengandung informasi penting dari citra yang bersangkutan. Tepian citra dapat merepresentasikan objek-objek yang terkandung dalam citra tersebut, bentuk, dan ukurannya serta terkadang juga informasi tentang teksturnya. Tepian citra adalah posisi di mana intensitas pixel dari citra berubah dari nilai rendah ke nilai tinggi atau sebaliknya. Deteksi tepi umumnya adalah langkah awal dalam melakukan segmentasi citra. Terdapat berbagai operator deteksi tepi yang telah dikembangkan berdasarkan turunan pertama (first order derivative), di antaranya operator Robert, operator Sobel, operator Prewitt, dan operator Canny. Selain operator turunan pertama, terdapat operator deteksi tepi yang dikembangkan berdasarkan turunan kedua (second order derivative). Deteksi tepi dari turunan kedua dapat menghasilkan tepian citra yang lebih baik karena menghasilkan tepian yang lebih tipis. Salah satu operator dari turunan kedua adalah Laplacian of Gaussian (LoG). Operator LoG sangat berbeda dengan operator yang lainnya, karena operator Laplacian berbentuk omny directional (tidak horizontal, tidak vertikal). Operator ini akan menangkap tepian dari semua arah dan menghasilkan tepian yang

34 lebih tajam dari operator yang lainnya. LoG terbentuk dari proses Gaussian yang diikuti oleh operasi Laplace. Hasil yang diperoleh tidak terlalu terpengaruh oleh derau karena fungsi Gaussian adalah mengurangi derau. Laplacian mask meminimumkan kemungkinan kesalahan deteksi tepi. Fungsi dari LoG ditunjukkan oleh persamaan berikut (Putra, 2010:209): (, ) = 1 1 + 2 (2.15) dengan, = matriks tapis Laplacian of Gaussian, = indeks tapis Laplacian of Gaussian = standard deviasi 2.3.5 Pengambangan Citra (Threshold) Proses pengambangan akan menghasilkan citra biner, yaitu citra yang memiliki dua nilai tingkat keabuan yaitu hitam dan putih. Secara umum proses pengambangan citra grayscale untuk menghasilkan citra biner adalah sebagai berikut : (, ) = 1 0 (, ) (, ) < (2.16) Dengan g(x,y) adalah citra biner dari citra grayscale f(x,y), dan T menyatakan nilai ambang. Nilai T memegang peranan yang sangat penting dalam proses pengambangan. Kualitas hasil citra biner sangat tergantung pada nilai T yang digunakan (Putra, 2010:211).

35 2.3.6 Penandaan Komponen Terhubung Pixel p adalah adjacent (berbatasan) dengan pixel q jika keduanya terhubung (pengertian terhubung tergantung pada jenis keterhubungan yang digunakan). Dua himpunan bagian citra S1 dan S2 adalah adjacent jika beberapa pixel pada S1 adalah adjacent ke beberapa pixel pada S2. Suatu jalur dari pixel p dengan koordinat (x,y) ke pixel q dengan koordinat (s,t) adalah suatu urutan atau deretan dari pixel berbeda (distinct pixel) dengan koordinat (x0,y0), (x1,y1),..., (xn,yn) dengan (x0,y0)=(x,y) dan (xn,yn)=(s,t) adalah adjacent ke (xi-1,yi-1), 1, dan n menyatakan panjang dari jalur. Jika p dan q adalah pixel pada suatu himpunan bagian citra S, maka p adalah terhubung ke q dalam S bila ada suatu jalur dalam S yang menghubungkan p ke q. Untuk setiap pixel p dalam S yang terhubung ke p disebut dengan komponen terhubung (connected component) dari S (Putra, 2010:217). Berikut ini dijelaskan tahapan dalam melakukan penandaan komponen terhubung dengan aturan 4-connected : 1. Periksa (scan) citra dengan bergerak sepanjang baris sampai menemukan pixel p (nilai p berada dalam himpunan citra biner V, dengan V={1}). Bila p sudah ditemukan maka periksa nilai pixel tetangga dari p, yaitu pixel di atas dan di kiri dari p, kemudian lakukan pemeriksaan berikut : a. Bila kedua pixel tetangga bernilai 0 maka berilah tanda (label) baru pada p. b. Jika hanya satu saja dari pixel tetangga tersebut bernilai 1 maka berilah tanda dari pixel tetangga tersebut pada p.

36 c. Bila kedua pixel tetangga bernilai 1 dan memiliki tanda sama maka berilah tanda dari pixel tetangga tersebut pada p. d. Bila kedua pixel tetangga bernilai 1 dan memiliki tanda berbeda maka berilah tanda dari salah satu pixel tetangga tersebut pada p dan buat catatan bahwa kedua tanda yang berbeda tersebut adalah ekuivalen. Pada akhir proses, semua pixel bernilai 1 (untuk citra biner) telah mendapat tanda tetapi beberapa tanda-tanda tersebut mungkin masih ada yang ekuivalen. Oleh karena itu proses selanjutnya yang harus dilakukan adalah mengurutkan pasanganpasangan tanda yang ekuivalen ke dalam kelas-kelas ekuivalen kemudian memberi tanda yang berbeda pada setiap kelas ekuivalen (Putra, 2010:218). Berikut ini dijelaskan ketentuan dalam melakukan penandaan komponen terhubung dengan aturan 8-connected: 1. Bila keempat piksel tetanggaan bernilai 0 maka berilah tanda baru pada p. 2. Bila hanya salah satu piksel tetangga bernilai 1 maka berilah tanda dari piksel tetangga tersebut pada p. 3. Bila dua atau lebih piksel tetangga bernilai 1 maka berilah salah satu tanda dari piksel tetangga tersebut pada p, kemudian buat catatan bahwa semua tanda dari piksel tetangga bernilai 1 tersebut adalah ekuivalen. Proses berikutnya adalah membuat kelas-kelas ekuivalen seperti pada 4- connected dan memberi setiap kelas ekuivalen tanda yang berbeda. Langkah terakhir dari proses penandaan baik untuk 4 atau 8-connected adalah melakukan

37 pemeriksaan (scanning) kembali pada citra dan ganti setiap tanda dengan tanda dari kelas ekuivalen. 2.4 Active Contours (Snake Model) Active contours digunakan dalam domain pengolahan citra untuk menemukan lokasi kontur dari suatu objek. Mencoba menemukan lokasi suatu kontur objek hanya dengan menjalankan pengolahan citra tingkat rendah seperti menggunakan deteksi tepi Canny sesungguhnya tidak selalu berhasil. Seringkali tepian yang dihasilkan tidak kontinyu, misalkan terdapat rongga-rongga sepanjang tepian, dan tepian yang dihasilkan bukanlah tepian sesungguhnya karena adanya noise pada citra. Active contours mencoba mengatasi hal-hal tersebut dengan cara menambahkan properti-properti yang dibutuhkan seperti continuity dan smoothness pada kontur objek. Suatu active contours dimodelkan sebagai kurva parametrik, di mana kurva tersebut diarahkan untuk meminimumkan energi internalnya dengan cara bergerak ke lokal minimum (Tiilikainen, 2007:6). Menurut Kass et al., model active contours (snakes) merupakan pendekatan untuk ekstraksi ciri yang sangat berbeda. Suatu active contour merupakan sekumpulan titik yang digunakan untuk melingkupi fitur target (fitur yang akan diekstrak). Active contour dapat dianalogikan sebagai sebuah balon yang digunakan untuk menemukan suatu bentuk dengan cara balon ditempatkan di luar bentuk yang akan dicari, dalam hal ini balon tersebut melingkupi bentuk yang akan dicari tersebut. Selanjutnya, udara dikeluarkan dari balon tersebut hingga ukurannya semakin mengecil. Bentuk yang dicari ditemukan pada saat balon berhenti

38 mengalami penyusutan, yaitu pada saat bentuk balon tersebut sesuai dengan bentuk target yang dicari (Nixon and Aguado, 2008:244). v(0) = v(1) Gambar 2.7 Ilustrasi Kurva Snake Parametrik (Tiilikainen, 2007:7) 2.4.1 Basic Snake Model Snake model diekspresikan sebagai proses untuk meminimumkan energi. Fitur target merupakan fungsi energi yang minimum. Fungsi energi tersebut tidak hanya mengandung informasi tepi, tetapi juga mengandung properti yang mengontrol cara kontur meregang (stretch) dan melengkung (curve). Dalam snake model, fungsi energi merupakan penjumlahan dari fungsi energi internal kontur (Eint), energi batasan (Econ), dan energi citra (Eimage). Fungsi dari himpunan titik koordinat yang menyusun suatu snake, v(s), yang terdiri dari himpunan titik koordinat x dan y pada snake ditunjukkan pada persamaan berikut (Nixon and Aguado, 2008:245): ( ) = ( ) + ( ) + ( ) d (2.17)

39 Sedangkan posisi dari snake direpresentasikan dengan menggunakan persamaan berikut, dengan [0,1] merupakan panjang snake yang telah dinormalisasi (Jarjes, et al., 2011) : ( ) = [ ( ), ( )], [0,1] (2.18) Sejak pertama kali diperkenalkan, model active contours (snakes) telah digunakan secara luas untuk mendeteksi dan mensegmentasi kontur dari objek target. Snake didefinisikan sebagai metode yang bertujuan untuk meminimumkan energi yang secara iteratif mengalami penyusutan dengan meminimumkan fungsi energi ( ). Kontur snake yang baru adalah kontur dengan energi terendah dan memiliki kecocokkan yang lebih baik dengan kontur objek target dibandingkan dengan kontur inisialisasi. Terkait dengan pemilihan kontur snake baru, himpunan titik ( ) yang dipilih adalah yang memenuhi kondisi berikut (Nixon and Aguado, 2008:245): d d ( ) = 0 (2.19) Pada persamaan (2.17), energi internal,, mengontrol perilaku alami dari snake berupa pengaturan titik koordinat yang membentuk snake. Representasi dari energi internal ditunjukkan oleh persamaan berikut: ( ) = ( ) d ( ) d + ( ) d ( ) d (2.20)

40 Turunan pertama, d ( )/d, merupakan ukuran dari energi yang berkaitan dengan peregangan (energi elastis) wilayah dari kontur. Turunan kedua, d ( )/d, merupakan ukuran dari energi yang berkaitan dengan pelekukan (energi curvature). Parameter ( ) mengatur kontribusi energi elastis terhadap pengaturan jarak antar titik pada snake. Nilai yang semakin rendah mengakibatkan perubahan jarak antar titik menjadi semakin besar, sebaliknya semakin tinggi nilai maka semakin kecil perubahan jarak yang terjadi antar titik. Parameter ( ) mengatur kontribusi energi curvature terhadap variasi titik pada snake. Semakin rendah nilai akan mengakibatkan curvature tidak diminimumkan dan kontur dapat membentuk sudut pada garis kelilingnya, sedangkan semakin tinggi nilai maka semakin halus kontur snake yang didapat (Nixon and Aguado, 2008:246). Pada persamaan (2.17), energi eksternal ditunjukkan oleh dan (khusus bersifat opsional). Energi citra,, merepresentasikan energi yang menarik snake menuju ke fitur low-level yang diinginkan pada citra, seperti kecerahan atau data tepi. Formulasi asli dari energi citra ditunjukkan pada persamaan berikut (Nixon and Aguado, 2008:246) : = + + (2.21) Energi line ( ) dapat ditetapkan sebagai intensitas citra pada titik tertentu. Energi tepi ( ) dapat dihitung dengan menggunakan operator deteksi tepi. Energi termination jarang digunakan, sehingga hanya energi line dan energi tepi saja yang disertakan dalam snake model (Nixon and Aguado, 2008:246).

41 2.4.2 Greedy Snake Model Implementasi dari snake untuk meminimumkan persamaan (2.17) dapat menggunakan elemen yang berhingga. Salah satu implementasi yang paling mudah adalah dengan menggunakan algoritma greedy. Algoritma greedy mengimplementasikan proses meminimumkan energi semata-mata sebagai algoritma diskrit. Proses dimulai dengan menspesifikasikan kontur awal. Algoritma greedy selanjutnya mengembangkan snake secara iteratif dengan melakukan pencarian terhadap titik-titik koordinat kontur pada local neighborhood untuk memilih kontur baru dengan energi snake yang lebih rendah. Pada setiap iterasi, semua titik-titik koordinat kontur diubah dan proses ini diulang untuk titik kontur yang pertama. Indeks titik-titik koordinat snake dihitung dengan melakukan modulo terhadap S (jumlah titik-titik snake) (Nixon and Aguado, 2008:246). Untuk suatu himpunan titik-titik snake, 0, 1, minimasi fungsi energi untuk setiap titik snake ditunjukkan oleh persamaan berikut : ( ) = ( ) + ( ) (2.22) Persamaan (2.22) dapat dijabarkan sebagai berikut : ( ) = ( ) + ( ) + ( ) (2.23) dalam hal ini turunan pertama dan kedua merupakan pendekatan untuk setiap titik yang dicari pada local neighborhood dari titik kontur terpilih saat ini (Nixon and Aguado, 2008:247).

42 2.4.2.1 Energi Continuity Turunan pertama merupakan pembagian antara selisih jarak rata-rata titiktitik kontur (dievaluasi dengan euclidean distance), dengan nilai euclidean distance antara titik koordinat kontur saat ini,, dan titik kontur selanjutnya. Pemilihan nilai ( ) yang tepat untuk setiap titik koordinat kontur,, dapat mengatur jarak antara titik-titik kontur. Penjabaran dari turunan pertama ditunjukkan oleh persamaan berikut (Nixon and Aguado, 2008:248) : d d = / = ( ) + ( ) / ( ) + ( ) (2.24) Setelah persamaan (2.24) dihitung untuk setiap piksel pada koordinat (, ) di wilayah neighborhood dari sebuah snake control point, setiap nilai yang dihasilkan dibagi dengan nilai energi continuity terbesar di wilayah neighborhood. Hal tersebut menunjukkan bahwa wilayah neighborhood dinormalisasi sehingga hanya terdiri dari energi continuity pada rentang nilai [0,1]. Perhitungan energi continuity ini akan mendorong snake control points memiliki jarak yang merata di sepanjang kurva dan menjaga kurva tetap dipengaruhi oleh parameter panjang busur (Tiilikainen, 2007:23).

43 2.4.2.2 Energi Curvature Turunan kedua dapat diimplementasikan sebagai estimasi dari curvature antara titik-titik kontur selanjutnya dan sebelumnya, dan, dan titik koordinat pada local neighborhood dari titik koordinat snake saat ini,. Penjabaran dari turunan kedua ditunjukkan oleh persamaan berikut (Nixon and Aguado, 2008:249) : d d = ( 2 + ) = ( 2 + ) + ( 2 + ) (2.25) Persamaan (2.25) digunakan untuk menghitung energi curvature dari setiap points di wilayah neighborhood dari snake control point. Energi curvature tidak mengukur curvature secara akurat jika snake tidak dipengaruhi oleh parameter panjang busur. Hal tersebut ditunjukkan oleh ilustrasi pada Gambar 2.7. Gambar 2.7(a) menunjukkan bahwa ketika persamaan (2.25) menghasilkan nilai lebih besar dari 0, kurva benar-benar melengkung dan hasil yang sesuai memang tercapai. Gambar 2.7(b) menunjukkan bahwa points pada kurva tidak memiliki jarak yang merata dan meskipun kurva tidak melengkung, persamaan (2.25) menghasilkan nilai lebih besar dari 0 (Tiilikainen, 2007:23).

44 Gambar 2.8 Ilustrasi Kurva Snake (Tiilikainen, 2007:24) Setelah nilai dari persamaan (2.25) dihitung untuk setiap point di wilayah neighborhood dari sebuah snake control point, nilai-nilai yang dihasilkan dinormalisasi dengan membagi setiap nilai tersebut dengan nilai energi curvature terbesar. Normalisasi akan menyebabkan setiap energi curvature berada pada rentang nilai [0,1], sama halnya dengan energi continuity (Tiilikainen, 2007:24). 2.4.2.3 Energi Image dapat diimplementasikan sebagai magnitudo dari operator deteksi tepi pada titik x, y. Energi image pada greedy snake dihitung dengan menggunakan persamaan berikut: = [ (, ) (, )] (2.26) dengan, (, ) = matriks tapis Gaussian pada koordinat (, ) (, ) = matriks citra input pada koordinat (, ) Energi image di wilayah neighborhood dari snake control point ( ) harus dinormalisasi dengan cara memberikan nilai negatif yang tinggi ke piksel dengan

45 nilai gradien tinggi, sedangkan nilai negatif yang lebih rendah diberikan ke piksel dengan nilai gradien yang lebih rendah. Persamaan yang digunakan untuk normalisasi nilai energi image pada wilayah neighborhood adalah sebagai berikut: (, ) = (, ) ( ) (2.27) dengan adalah nilai minimum gradien di wilayah neighborhood, adalah nilai maksimum gradien di wilayah neighborhood, dan (, ) adalah magnitudo gradien dari point saat ini. Ketentuan normalisasi ini akan memberikan nilai -1 pada magnitudo gradien tertinggi di wilayah neighborhood dan 0 untuk yang terendah. Untuk mencegah perbedaan nilai normalisasi yang terlalu besar akibat magnitudo gradien di wilayah neighborhood bernilai hampir seragam, maka nilai minimum ditetapkan menjadi 5 ketika kondisi < 5 terpenuhi (Tiilikainen, 2007:21). 2.4.2.4 Algoritma Greedy Snake Model Pada sub bab 2.4.2.1, 2.4.2.2, dan 2.4.2.3 telah dijelaskan mengenai perhitungan masing-masing energi untuk greedy snake model. Pada bagian ini dijelaskan mengenai algoritma greedy snake model yang seutuhnya.

46 % n adalah jumlah total snake control points % m adalah ukuran wilayah ketetanggaan Indeks aritmatika untuk snake control points adalah modulo n Inisialisasi parameter alpha, beta, dan gamma do for i = 1 to n Emin = infinity for j = 1 to m E(j) = alpha(i)*eela(j)+beta(i)*ecurv(j)+ gamma(i)*eimg(j) if E(j) < Emin Emin = E(j) jmin = j end end end Pindahkan point v(i) ke lokasi jmin if jmin bukan lokasi saat ini then ptsmoved++ % Proses yang menentukan di mana posisi untuk % melakukan relax beta for i = 1 to n c(i) = u(i)/ u(i) -u(i+1)/ u(i+1) ^2 end for i = 1 to n if (c(i) > c(i-1) and c(i) > c(i+1) and c(i) > threshold1 and mag(v(i)) > threshold2 then beta(i) = 0 end end while ptsmoved > threshold3 Gambar 2.9 Greedy Snake Model Pseudocode (Tiilikainen, 2007:26) Untuk setiap point/piksel di wilayah neighborhood dari snake control point ( ) ketiga energi yang terdiri dari energi continuity, curvature, dan image dihitung. Langkah selanjutnya algoritma menjumlahkan ketiga nilai energi tersebut untuk mendapatkan energi kombinasi (energi snake) dengan persamaan berikut: (, ) = ( ) (, ) + ( ) (, ) + ( ) (, ) (2.28) di mana (, ) adalah energi continuity, (, ) adalah energi curvature, (, ) adalah energi image, dan (, ) adalah points pada wilayah neighborhood. Setelah energi kombinasi untuk setiap points di wilayah neighborhood dihitung, algoritma melakukan pemilihan secara greedy dan snake

47 control point dipindahkan ke posisi yang memiliki energi kombinasi dengan nilai paling minimum. Perilaku ini diilustrasikan pada gambar berikut: Gambar 2.10 Ilustrasi Perpindahan Snake Control Point (Tiilikainen, 2007:25) Setelah seluruh control points di sepanjang snake dipindahkan ke posisi baru, curvature dihitung untuk kedua kalinya. Kali ini, curvature hanya dihitung sekali untuk setiap control point di sepanjang snake dan tidak untuk seluruh points pada wilayah neighborhood. Curvature dihitung kembali untuk mencari lokasi di mana curvature bernilai tinggi dan selanjutnya nilai ( ) pada lokasi tersebut dikurangi, misalnya dikurangi menjadi 0. Dengan cara ini suatu sudut dapat dibentuk pada point tersebut. Penghitungan kembali curvature dilakukan dengan menggunakan persamaan berikut: (2.29) dengan: a. = [ ( ) ( ), ( ) ( )] b. = [ ( ) ( ), ( ) ( )] (2.30) (2.31)

48 Persamaan (2.29) memberikan estimasi curvature yang lebih akurat karena normalisasi dilakukan dengan magnitudo dari vektor-vektor. Dengan demikian permasalahan points harus memiliki jarak yang merata untuk mendapatkan ukuran kelengkungan yang handal dapat dihindari. Kondisi yang harus dipenuhi agar nilai dari parameter dapat dikurangi terdiri dari: a. Curvature dari control point ( ) harus bernilai lebih besar dari curvature kedua tetangganya, yaitu ( ) dan ( ) b. Curvature dari control point ( ) harus bernilai lebih besar dari nilai threshold (pada Gambar 2.8 dilambangkan dengan threshold1) yang telah ditetapkan sebelumnya c. Magnitudo gradien dari control point ( ) juga harus bernilai lebih besar dari nilai threshold (pada Gambar 2.8 dilambangkan dengan threshold2) yang telah ditetapkan sebelumnya Jika semua kondisi tersebut dipenuhi, maka nilai parameter dari control point terkait dapat dikurangi. Ketika nilai parameter telah dikurangi, curvature pada snake control point terkait tidak lagi memiliki pengaruh pada energi kombinasi snake dan oleh karena itu sudut tajam akan dapat dibentuk. Langkah akhir dari iterasi algoritma Greedy Snake Model adalah pemeriksaan mengenai jumlah points yang berpindah pada iterasi apakah kurang dari nilai threshold atau tidak (pada Gambar 2.8 dilambangkan dengan threshold3). Pemeriksaan ini digunakan sebagai kriteria penghentian sesuai

49 dengan asumsi awal bahwa snake mencapai energi minimum ketika sebagian besar control points telah berhenti mengalami perpindahan (Tiilikainen, 2007:25). 2.5 Particle Swarm Optimization (PSO) Particle Swarm Optimization (PSO) merupakan teknik optimasi stokastik yang diusulkan oleh Kennedy dan Eberhart. Ide dasar dari PSO adalah perilaku sosial dari kawanan burung. Misalkan skenario yang digunakan adalah kawanan burung sedang mencari makanan dalam suatu wilayah. Semua burung yang ada dalam kawanan tersebut tidak mengetahui secara pasti di mana lokasi makanan, tetapi seiring dengan bertambahnya iterasi kawanan burung tersebut mengetahui seberapa jauh makanan tersebut berada. Strategi terbaik yang dapat dilakukan adalah dengan mengikuti burung yang posisinya dekat dengan makanan dan juga dengan mempertimbangkan posisi terbaik yang telah diperoleh sebelumnya. Salah satu kelebihan dari PSO adalah implementasinya yang mudah dan parameter yang perlu disesuaikan jumlahnya sedikit (Kaur and Singh, 2012) PSO memiliki kemiripan dengan algoritma genetika, yakni inisialisasi pada sistem dilakukan dengan membentuk suatu populasi yang terdiri dari solusi-solusi yang dibangkitkan secara acak. Meskipun memiliki kemiripan dengan algoritma genetika, terdapat beberapa hal yang membedakan kedua algoritma ini. Pada PSO, setiap solusi potensial (yang disebut partikel) diberi nilai berupa kecepatan (velocity) yang dibangkitkan secara acak, kemudian partikel tersebut akan terbang pada hyperspace. Setiap partikel menyimpan jalur koordinatnya pada hyperspace yang diasosiasikan dengan solusi terbaik (fitness) yang telah dicapai

50 sejauh ini. Selain jalur koordinat, nilai fitness yang diperoleh juga disimpan. Nilai inilah yang disebut sebagai pbest. Versi global dari PSO menyimpan nilai terbaik keseluruhan dan koordinatnya yang dihasilkan oleh partikel-partikel dalam populasi. Nilai inilah yang disebut gbest (Kennedy and Eberhart, 1995). Dalam algoritma PSO, terdapat lima parameter utama yang harus diperhatikan. Kelima parameter tersebut dirangkum dalam Tabel 2.1, sebagai berikut : Tabel 2.6 Parameter PSO (Kaur and Singh, 2012) Parameter Particle Velocity Fitness p best g best Deskripsi Kandidat solusi dari permasalahan Laju perubahan posisi Solusi terbaik yang dicapai Nilai terbaik yang dihasilkan oleh partikel sebelumnya Nilai terbaik yang dihasilkan sejauh ini oleh partikel-partikel dalam populasi Algoritma particle swarm dengan model GBEST standard yang merupakan bentuk asli dari PSO yang dikembangkan oleh Eberhart dan Kennedy sangat sederhana. Langkah-langkahnya adalah sebagai berikut: 1. Inisialisasi sebuah array yang terdiri dari sejumlah partikel dengan posisi acak dan velocities dengan dimensi berukuran D 2. Evaluasi fungsi yang akan diminimumkan dalam variabel sejumlah D 3. Bandingkan hasil evaluasi dengan particle s previous best value (PBEST[]), dengan memperhatikan kondisi berikut:

51 _ < [] h [] = _ [][ ] = _ (2.32) 4. Bandingkan hasil evaluasi dengan group s previous best (PBEST[GBEST]), dengan memperhatikan kondisi berikut: _ < [ ] h = _ _ (2.33) 5. Perbarui velocity dengan menggunakan persamaan berikut: [][ ] = [][ ] + _ () ( [][ ] [][ ]) + _ () ( [ ][ ] [][ ]) (2.34) 6. Perbarui posisi partikel dengan menggunakan persamaan berikut: [][ ] + [][ ] (2.35) 7. Ulangi langkah 2 hingga kondisi terminasi terpenuhi Pada penelitian yang dipublikasikan oleh Jones, ditambahkan parameter w yang digunakan untuk mengontrol perilaku konvergen dari PSO sehingga persamaan (2.34) menjadi sebagai berikut: = +, +, (2.36) dengan dan berturut-turut menyatakan velocity dan posisi dari partikel i;, dan, berturut-turut menyatakan posisi dengan nilai objektif terbaik yang