PERKEMBANGAN DAN GAMBARAN ANATOMIS LARVA INFEKTIF (L3) Haemonchus contortus YANG DIBIAKKAN DENGAN VERMICULLITE

dokumen-dokumen yang mirip
Varla Dhewiyanty 1, Tri Rima Setyawati 1, Ari Hepi Yanti 1 1. Protobiont (2015) Vol. 4 (1) :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Prevalensi Nematoda Gastrointestinal pada Sapi Bali di Sentra Pembibitan Desa Sobangan, Mengwi, Badung

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Soil transmitted helminths adalah cacing perut yang siklus hidup dan

METODA UJI APUNG SEBAGAI TEKNIK PEMERIKSAAN TELUR CACING NEMATODA DALAM TINJA HEWAN RUMINANSIA KECIL

BAB III METODE PENELITIAN. (BALITTAS) Karangploso Malang pada bulan Maret sampai Mei 2014.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PADA GAJAH SUMATERA (Elephas maximus sumatranus)

Prevalensi Parasit Gastrointestinal Ternak Sapi Berdasarkan Pola Pemeliharaan Di Kecamatan Indrapuri Kabupaten Aceh Besar

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENGARUH WAKTU ROTASI GEMBALA PADA RUMPUT Brachiaria brizantha TERHADAP TINGKAT INFESTASI CACING Haemonchus contortus PADA TERNAK DOMBA

Investigasi Keberadaan Cacing Paramphistomum sp. Pada lambung sapi yang berasal dari Tempat Pemotongan Hewan di Kota Gorontalo

ACARA I PENGGUNAAN LALAT Drosophila SEBAGAI ORGANISME PERCOBAAN GENETIKA

INFESTASI PARASIT CACING NEOASCARIS VITULORUM PADA TERNAK SAPI PESISIR DI KECAMATAN LUBUK KILANGAN KOTA PADANG SKRIPSI. Oleh :

PENUNTUN PRAKTIKUM MATA KULIAH PARASITOLOGI

PENDAHULUAN. Latar Belakang. pengendalian berbasis pada penggunaan obat antelmintik sering gagal untuk

Prevalensi Trematoda di Sentra Pembibitan Sapi Bali Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung

Studi Biologi Larva dan Cacing Dewasa Hemonchus contortus pada Kambing

BAB III METODE PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. Pendapatan nasional per kapita tahun 2012 yakni ,07 sedangkan tahun 2013

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penduduk di dunia. Biasanya bersifat symtomatis. Prevalensi terbesar pada daerah

BAB I PENDAHULUAN. mencapai 2 triliun/tahun. (Anonim. 2014). sebagai berikut : adanya parasite, adanya sumber parasit untuk

BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Penyakit Tumbuhan Jurusan Proteksi

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Infeksi Trichuris trichiura adalah salah satu penyakit cacingan yang banyak

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. tingkat konsumsi ayam dan telur penduduk Indonesia tinggi. Menurut Badan

BAB III METODE PENELITIAN

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Sapi adalah ternak ruminansia yang memiliki nilai ekonomi tinggi dalam

III. BAHAN DAN METODE. Tanaman, serta Laboratorium Lapang Terpadu, Fakultas Pertanian, Universitas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. STH adalah Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Strongyloides stercoralis,

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, karena hanya. Kabupaten Blora sedangkan pemeriksaan laboratorium

BAB 2. TARGET LUARAN BAB 3. METODE PELAKSANAAN

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biocontrol, Divisi Research and

BAB II TIJAUAN PUSTAKA. A. Infeksi cacing Enterobius vermicularis (Enterobiasis)

3 MATERI DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Nyamuk Uji 3.3 Metode Penelitian

Gambar 2.1. Kambing yang terdapat di Desa Amplas

Prevalensi Cacing Nematoda Saluran Pencernaan pada Kambing Peranakan Ettawa di Kecamatan Siliragung, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 17. Kandang Pemeliharaan A. atlas

SATUAN ACARA PERKULIHAN (SAP)

Prevalensi Nematoda Gastrointestinal pada Sapi Bali yang Dipelihara Peternak di Desa Sobangan, Mengwi, Badung

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang telah mengalami seleksi dan selanjutnya dijinakkan oleh manusia. Selama

PEMERIKSAAN FESES PADA MANUSIA

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Alat dan Bahan Pengadaan dan Pemeliharaan Nyamuk Aedes aegypti Pemeliharaan Nyamuk Aedes aegypti

Gambar 1. Drosophila melanogaster. Tabel 1. Klasifikasi Drosophila

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Percobaan ini dilaksanakan di rumah plastik, dan Laboratorium Produksi

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI APLIKASI Duddingtonia flagransdi DALAM MEREDUKSI LARVA Haemonchus contortus DI LAPANG RUMPUT

Jurnal Penelitian Peternakan Indonesia Vol. 1(1): 8-15, April 2017

Jenis-Jenis Cacing Parasit Saluran Pencernaan pada Hamster Syria Mesocricetus auratus (Waterhause, 1839) di Kota Padang

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Metode Penelitian Penyediaan Isolat Fusarium sp. dan Bakteri Aktivator

TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda Entomopatogen

BAB III METODE PENELITIAN. faktorial yang terdiri dari dua faktor dengan 4 kali ulangan. Faktor pertama adalah

BAB III BAHAN DAN METODE. Penelitian dilakukan dari 2 Juni dan 20 Juni 2014, di Balai Laboraturium

Panduan Praktikum Manajemen Kesehatan Ternak

Key words: Ascaridia galli, embrionated eggs, larvae

BAHAN DAN METODE. Metode Penelitian

Identifikasi Ookista Isospora Spp. pada Feses Kucing di Denpasar

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian mengenai penambahan starter ekstrak nanas dengan level berbeda

BAB III METODE PENELITIAN

PENGENDALIAN INFESTASI CACING Haemonchus contortus MENGGUNAKAN DAUN NENAS PADA KAMBING PE

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan Peremajaan Aktinomiset dari Kultur Penyimpanan Perbanyakan Sclerotium rolfsii dari Kultur Penyimpanan

TINGKAT INFESTASI CACING SALURAN PENCERNAAN PADA SAPI BALI DI KECAMATAN SUKOHARJO KABUPATEN PRINGSEWU PROVINSI LAMPUNG

METODE LARVALCULTURE SEBAGAITEKNIKUNTUK MENGIDENTIFIKASI JENIS CACING NEMATODA SALURAN PERCERNAAN PADARUMINANSIAKECIL

AKURASI METODE RITCHIE DALAM MENDETEKSI INFEKSI CACING SALURAN PENCERNAAN PADA BABI

BAB III METODE PENELITIAN. eksplorasi dengan cara menggunakan isolasi jamur endofit dari akar kentang

bio.unsoed.ac.id III. METODE PENELITIAN A. Materi 1. Materi Penelitian

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB III METODELOGI PENELITIAN

MATERI DAN METODE. Materi

Cacing Parasit Saluran Pencernaan Pada Hewan Primata di Taman Satwa Kandi Kota Sawahlunto Provinsi Sumatera Barat

BAB III METODE PERCOBAAN. Kelompok (RAK) Faktorial dengan 2 faktor perlakuan, yaitu perlakuan jenis

Prevalensi Trematoda pada Sapi Bali yang Dipelihara Peternak di Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung

DAYA VERMISIDAL DAN OVISIDAL BIJI PINANG (Areca catechu L) PADA CACING DEWASA DAN TELUR Ascaris suum SECARA IN VITRO

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Penyakit Tumbuhan Jurusan

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu

Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga ABSTRAK

EFEKTIVITAS EKTRAK TANAMAN NANAS TERHADAP DAYA TETAS TELUR CACING Haemonchus contortus SECARA IN VITRO

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Departemen Biologi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

IDENTIFIKASI NEMATODA PARASIT PADA SALURAN PENCERNAAN MARMUT (Cavia cobaya) SEBAGAI SUMBER BELAJAR BIOLOGI PADA MATERI INVERTEBRATA

III. METODE PENELITIAN

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian jangka panjang Soil

Tabel 1 Nilai (rataan ± SD) PBBH, FEC, dan gambaran darah domba selama masa infeksi Parameter Amatan Domba

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini termasuk penelitian deskriptif. Pemeriksaan cacing parasit

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas

EFEK ANTELMINTIK INFUS DAN EKSTRAK RIMPANG BANGLE (ZINGIBER PURPUREUM) TERHADAP CACING HAEMONCHUS CONTORTUS SECARA IN VITRO

Prevalensi Infeksi Cacing Nematoda Saluran Pencernaan pada Sapi Bali di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Suwung Denpasar

Endah Subekti Pengaruh Jenis Kelamin.., PENGARUH JENIS KELAMIN DAN BOBOT POTONG TERHADAP KINERJA PRODUKSI DAGING DOMBA LOKAL

III. METODE PENELITIAN. 3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif laboratorik dengan

Bab III METODE PENELITIAN. eksperimen. Penelitian eksperimen adalah penelitian yang dilakukan dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Nematoda adalah cacing yang berbentuk panjang, silindris (gilig) tidak

III BAHAN DAN METODE

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Sapi Bali Sapi bali adalah sapi potong asli Indonesia yang merupakan hasil

Buletin Veteriner Udayana Vol. 5 No. 2 ISSN : August Identifikasi dan Prevalensi Cacing Tipe Strongyle pada Babi di Bali

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

III. METODE PENELITIAN

UPAYA MENINGKATKAN PRODUKTIVITAS SAPI BALI MELALUI PENGENDALIAN PENYAKIT PARASIT DI SEKITAR SENTRA PEMBIBITAN SAPI BALI DI DESA SOBANGAN ABSTRAK

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian Ke-1

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis percobaan pada penelitian ini adalah penelitian eksperimental,

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini termasuk penelitian deskriptif. Pemeriksaan cacing parasit

Transkripsi:

ISSN : 0853-1943 PERKEMBANGAN DAN GAMBARAN ANATOMIS LARVA INFEKTIF (L3) Haemonchus contortus YANG DIBIAKKAN DENGAN VERMICULLITE Development and Anatomical Description of Infektive Larvae (L3) Haemonchus contortus Cultured with Vermicullite Rahmi Sulastri Mukhtar 1 *, Muhammad Hambal 2, Muhammad Hanafiah 2, Yudha Fahrimal 2, Winaruddin 2, dan Zakiah Heryawati Manaf 3 1 Program Studi Pendidikan Dokter Hewan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh 2 Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh 3 Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh Corresponding author: boeezzeonav@gmail.com ABSTRAK Penelitian ini bertujuan memperoleh informasi dasar tentang bioekologi Haemonchus contortus (H. contortus), berupa pembiakan larva serta perkembangan dan gambaran anatomis larva infektif (L3). Sampel yang digunakan adalah telur dari cacing H. contortus yang dipanen dari usus kambing yang disembelih di Rumah Potong Hewan (RPH) Kampung Jawa Banda Aceh yang kemudian dibiakkan di dalam botol permukaan luas selama tujuh hari. Selanjutnya, larva yang dihasilkan diamati. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa waktu yang dibutuhkan telur untuk menjadi larva infektif adalah tujuh hari. Larva yang diperoleh memiliki morfologi yang seragam, dengan diameter tubuh 22 µm, panjang ujung ekor sampai dengan hialin 55 µm, esofagus posterior sampai dengan ekor 592 µm, panjang esofagus anterior sampai dengan esofagus posterior 145 µm, dan panjang total tubuh larva 737 µm. Kata kunci: Haemonchus contortus, kambing, perkembangan, gambaran anatomis L3 ABSTRACT This study was aimed at obtaining basic information about bioecology of Haemonchus contortus, related to larval development and anatomical description of infective larvae (L3). In this study, the ova of Haemonchus contortus were harvested out of the intestines of goats, those were slaughtered in municipal slaughterhouse in Kampung Jawa Banda Aceh. The ova of Haemonchus contortus were then cultured using vermiculite as media, and observed daily until the larvae reached 3 rd stage larvae. The result revealed that the larvae need 7 days to reach from eggs into infective larvae. Larvae obtained has uniform morphology, with a body diameter of 22 μm, tail length up to 55 μm hyaline, esophagus posterior to the tail of 592 μm, length of esophagus anterior to posterior esophagus 145 μm, and a total body length of larvae 737 μm. Key words: Haemonchus contortus, goat, developmental, anatomical description L3 PENDAHULUAN Salah satu kendala yang sering mengganggu upaya swasembada daging di Indonesia adalah gangguan akibat helminth (kecacingan) (Endi, 1985), yang disebabkan oleh nematoda saluran pencernaan (gastrointestinal nematodes) (Hutasoit yang disitasi oleh Hanafiah et al., 2002). Salah satu penyakit akibat cacing nematoda yang umumnya menyerang dan mengakibat kerugian ekonomi cukup tinggi pada ternak adalah haemonchosis (Nugroho, 2012). Haemonchosis yang diakibatkan oleh Haemonchus contortus (H. contortus) merupakan salah satu penyakit yang sangat merugikan secara ekonomis. Kerugian akibat parasit nematoda pada kambing ditaksir mencapai 7 miliar per tahun di Indonesia (Rachmat et al. yang disitasi oleh Ahmad et al., 2006). Angka kerugian tahunan terkini menyangkut haemonchosis tidak diketahui. Penulis menduga, angka kerugian tersebut jauh lebih tinggi mengingat harga daging yang jauh meningkat serta populasi ternak yang jauh lebih tinggi. Kusumamihardja (1992) menjelaskan dampak negatif dari haemonchosis berupa volume tulang yang berkurang, panjang otot berkurang, dan produksi serta kualitas daging menurun. Selain itu, Fabiyi (1987) melaporkan bahwa kerugian ekonomis yang ditimbulkan berupa penurunan berat badan, penurunan daya tahan tubuh, peningkatan prevalensi kejadian penyakit, dan terhambatnya pertumbuhan bahkan menyebabkan kematian. Di Indonesia, H. contortus tersebar di seluruh nusantara, merupakan cacing yang dominan dan patogenik yang menginfeksi kambing dan domba dengan tingkat prevalensi mencapai 80%. Tingginya tingkat prevalensi H. contortus disebabkan oleh beberapa faktor yaitu iklim tropis dan cara pemeliharaan yang kurang baik (Endi, 1985), penggunaan antelmintik yang tidak sesuai aturan mengakibatkan menurunnya tingkat efektivitas obat cacing dan resisten terhadap beberapa jenis obat cacing (Hutauruk, 2005), serta susahnya membedakan atau mendiagnosis spesies dari nematoda saluran pencernaan hanya dari bentuk dan ukuran telur nematoda. Hutauruk (2005) melakukan penelitian terkait perbanyakan larva infektif dengan melakukan pembiakan larva infektif. Larva infektif ini digunakan untuk uji efektivitas antelmintik sebagai usaha penanganan haemonchosis. Namun, tidak dijelaskan tentang perkembangan dan gambaran anatomis dari larva tahap infektif ini. Mengingat pentingnya pemahaman tentang larva nematoda tahap infektif, 62

Jurnal Medika Veterinaria Rahmi Sulastri Mukhtar, dkk maka penelitian ini menitikberatkan pada aspek biologis dan morfologi dari larva infektif H. contortus. MATERI DAN METODE a b Koleksi Cacing Cacing dewasa diambil dari usus kambing yang diduga terinfeksi cacing dari rumah potong hewan (RPH), dengan membelah semua bagian usus kambing yaitu mulai dari usus halus (duodenum, jejunum, ileum), dan usus besar (sekum, kolon, rektum), cacing H. contortus yang diperoleh diambil, kemudian dicuci dengan air keran dan disaring dengan saringan yang halus, sehingga cacing-cacing tersebut tertahan pada saringan. Cacing selanjutnya diambil dengan memakai pinset atau skalpel dan dipilih hanya cacing H. contortus yang betina saja yang memiliki panjang 18-33 mm, mempunyai vulva flap, dan terdapat cervical papillae pada bagian anterior tubuhnya. Cacing dibersihkan dengan natrium klorida (NaCI) fisiologis dan dimasukkan dalam gelas piala yang berisi larutan NaCl, diletakkan dalam inkubator pada suhu 37 C selama 2-3 jam supaya cacing bertelur dan telur akan keluar dengan sendirinya (Hutauruk, 2005). Kemudian tubuh cacing dirobek dengan skalpel dan pinset di bawah mikroskop stereo untuk mendapatkan telur cacing yang masih menempel dalam usus cacing dan campurkan semua telur cacing tersebut dalam 1 gelas piala yang telah berisi telur cacing sebelumnya. Pembiakan Telur Cacing Media yang digunakan adalah campuran vermicullite dengan feses kambing yang sudah disterilkan dalam autoklaf dengan perbandingan 1:1, lalu diaduk dengan mencampurkan suspensi telur yang diperoleh dan ditambahkan sedikit air keran sampai lembab. Selanjutnya dimasukkan ke dalam botol yang permukaanya lebar dan pakai tutup, isi sebanyak 1/2 botol dan sedikit dipadatkan kemudian tutup botol secara lepas dan dieramkan (disimpan) pada suhu kamar (27 C) selama 9 hari untuk mendapatkan larva fase L3. Biakan larva diamati setiap hari untuk mengetahui lamanya waktu yang dibutuhkan telur untuk menetas dan menjadi larva infektif. Selanjutnya, larva dipanen dengan cara mengganti tutup botol dengan cawan petri kemudian membalikkannya dengan cepat, ditunggu sampai larva turun (Hutauruk, 2005), Selanjutnya, larva dimasukkan ke dalam cawan petri untuk diamati di bawah mikroskop stereo dan dipindahkan masing-masing larva ke atas gelas obyek dan ditutup dengan gelas penutup untuk diamati di bawah mikroskop binokuler dan micrometer eyepiece. HASIL DAN PEMBAHASAN Morfologi Larva H. contortus Morfologi larva infektif H. contortus disajikan pada Tabel 1. Dari Tabel 1 diperoleh larva stadium tiga (infektif) yang diamati secara mikroskopis disajikan pada Gambar 1. c Gambar 1. Larva stadium tiga (L3) (a= Bagian tubuh posterior nematoda (ujung ekor yang tampak hialin), b= Bagian anterior esophagus sampai posterior esophagus, c= Panjang total, dan d= Bagian esophagus posterior sampai hialin) Dari Tabel 1 diketahui ciri-ciri larva infektif yaitu tubuh panjang berbentuk silinder (tabung), namun di bagian anterior membesar, selubung ekor kaku dan menyempit pada ujung ekor serta meruncing, kepala sempit bulat, memiliki kutikula, memiliki esofagus, memiliki usus, memiliki sel usus namun susah dihitung karena tidak jelas, gerakan cepat dan Berbeda dengan larva stadium 2 yang memiliki panjang total 500 µm, ekor bengkok seperti kail (koma) serta gerakan lambat. Menurut Dikmans dan Andrews yang disitasi oleh Jorgen dan Brian (1994) bahwa ciri-ciri larva infektif yaitu selubung ekor biasanya kaku dan menyempit pada ujung ekor larva serta runcing. Selain itu, Anonimus (2012) melaporkan larva infektif dari H. contortus memiliki karakteristik yaitu terdiri dari 16 usus sel, kepala sempit bulat, memiliki kutikula membentuk ekor ukuran medium yang berakhir di titik halus atau runcing. Hungerford yang disitasi oleh Anggraini (2010), menyatakan bahwa larva infektif bentuknya memanjang, diselaputi oleh suatu pembungkus yang berfungsi sebagai pelindung selama bergerak bebas dan pergi meninggalkan feses serta migrasi pada permukaan rumput. Larva stadium infektif mempertahankan kutikula lama dari larva stadium dua sehingga larva infektif memiliki kutikula rangkap yang memberikan lapisan pelindung ganda dan nutrisi sampai larva tertelan oleh ternak. Larva stadium satu dan larva stadium dua berkembang dan memperoleh makanan di dalam feses. Larva infektif dibungkus oleh kutikula ganda yang membatasi kulit larva dengan lingkungan sehingga larva infektif tidak memperoleh makanan dari feses atau lingkungan luar melainkan dari kutikula lama (Anonimus, 2012). Ukuran Larva Hasil pengukuran 150 ekor larva stadium tiga (infektif) H. contortus disajikan pada Tabel 2. d 63

Tabel 1. Morfologi larva infektif Haemonchus contortus Fase larva Ciri-ciri Larva stadium 2 Panjang total 500 µm, larva berbentuk silinder, memiliki usus, kepala sempit bulat, ekor bengkok seperti kail (koma), gerakan lambat. Larva infektif Tubuh panjang berbentuk silinder (tabung), namun di bagian anterior membesar, memiliki esofagus, memiliki usus, memiliki sel usus, selubung ekor ekor serta meruncing, kepala sempit bulat, memiliki kutikula, gerakan cepat dan Tabel 2. Ukuran larva berdasarkan organ tubuh dari cacing jenis Haemonchus contortus Organ yang diukur Maks (µm) Min (µm) Rataan Diameter 29 20 24,22 Panjang ujung ekor sampai dengan hialin 69 45 55,38 Panjang esofagus posterior sampai dengan hialin 705 558 591,89 Panjang esofagus anterior sampai dengan esofagus posterior 153 139 144,90 Panjang total larva 850 700 736,80 Berdasarkan Tabel 2 diperoleh data diameter H. contortus yang terlebar 29 µm, sedangkan diameter terkecil 20 µm, panjang ujung ekor sampai dengan hialin terpanjang 69 µm, sedangkan panjang ujung ekor sampai dengan hialin terpendek 45 µm, panjang esofagus posterior sampai dengan hialin terpanjang 705 µm, panjang esofagus posterior sampai dengan hialin terpendek 558 µm, panjang esofagus anterior sampai dengan esofagus posterior terpanjang 153 µm, panjang esofagus anterior sampai dengan esofagus posterior terpendek 139 µm, panjang total terpanjang 850 µm, panjang total terpendek 700 µm. Tabel 3. Diameter larva Haemonchus contortus Diameter (µm) Jumlah <23 54 24-26 72 >27 24 Rataan: 14,22 Kisaran: 20-29 Dari Tabel 3 terlihat bahwa kisaran diameter larva yang diperoleh adalah 20-29 µm yang dibagi dalam tiga interval (<23, 24-26, >27 µm). Jumlah larva terbanyak terdapat pada diameter 24-26 µm yaitu 72 ekor, sedangkan jumlah larva dengan diameter lebih kecil dari 22 µm hanya 54 dan diameter lebih besar dari 28 µm hanya 24 ekor. Berdasarkan data ini, dan dikaitkan dengan rataan diameter (24,22 µm), maka umumnya diameter dari H. contortus adalah sekitar 24 µm. Hal ini sama dengan laporan dari Thilakan dan Santhianesan (2008) bahwa lebar diameter larva infektif H. contortus 19,5-24 µm. Tabel 4. Panjang ujung ekor sampai dengan hialin larva Haemonchus contortus Panjang ujung ekor sampai dengan hialin (µm) Jumlah <53 38 54-61 106 >62 6 Rataan: 55,38 Kisaran: 45-69 Dari Tabel 4 diketahui bahwa panjang ujung ekor sampai dengan hialin larva berkisar antara 45-69 µm yang dibagi dalam tiga interval (<53, 54-61, >62 µm). Jumlah larva terbanyak terdapat pada panjang ujung ekor sampai dengan hialin larva 54-61 µm yaitu 106 ekor, sedangkan jumlah larva dengan panjang ujung ekor sampai dengan hialin larva lebih pendek dari 53 µm hanya 38 ekor dan panjang ujung ekor sampai dengan hialin larva lebih panjang dari 62 µm hanya enam ekor. Berdasarkan data tersebut, dan dikaitkan dengan rataan panjang ujung ekor sampai dengan hialin larva (55,38 µm), maka umumnya panjang ujung ekor sampai dengan hialin larva dari H. contortus adalah sekitar 55 µm. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilaporkan oleh Dikmans dan Andrews yang disitasi oleh Jorgen dan Brian (1994) menyatakan larva infektif H. contortus memiliki panjang ujung larva (hialin) sampai dengan ujung ekor berkisar antara 30-60 µm. Menurut Thilakan dan Santhianesan (2008), panjang ujung ekor sampai dengan panjang selubung ekor larva infektif 55-66,5 µm serta memiliki ciri-ciri lain yaitu selubung ekor biasanya ekor larva serta runcing. Tabel 5. Panjang esofagus posterior sampai dengan hialin larva Haemonchus contortus Panjang esofagus posterior sampai dengan hialin Jumlah (µm) <607 140 608-656 7 >657 3 Rataan: 591,89 Kisaran: 558-706 Dari Tabel 5 diketahui bahwa panjang esofagus posterior sampai dengan hialin berkisar antara 558-706 µm yang dibagi dalam tiga interval (<607, 608-656, >657 µm). Jumlah larva terbanyak dengan panjang esofagus posterior sampai dengan hialin <607 µm yaitu 140 ekor, sedangkan jumlah larva dengan panjang esofagus posterior sampai dengan hialin kisaran 608-656 µm hanya 7 ekor dan panjang esofagus posterior sampai dengan hialin lebih besar dari 657 µm hanya 3 ekor. Berdasarkan data ini, dan dikaitkan dengan rataan panjang esofagus posterior sampai dengan hialin (591,89 µm), maka umumnya panjang esofagus posterior sampai dengan hialin dari H. contortus adalah 592 µm. Penulis mencoba 64

Jurnal Medika Veterinaria Rahmi Sulastri Mukhtar, dkk mencari informasi terkait panjang dari esofagus posterior sampai dengan hialin dari jenis cacing ini, namun tidak ditemukan data yang dapat dijadikan rujukan. Tabel 6. Panjang esofagus anterior sampai dengan esofagus posterior larva Haemonchus contortus Panjang esofagus anterior sampai dengan Jumlah esofagus posterior (µm) <143 75 144-148 28 >149 47 Rataan: 144,90 Kisaran: 139-153 Dari Tabel 6 diketahui bahwa panjang esofagus anterior sampai dengan esofagus posterior larva antara 139-153 µm yang dibagi dalam tiga interval (<143, 144-148, >149 µm). Jumlah larva terbanyak terdapat pada panjang esofagus anterior sampai dengan esofagus posterior kecil dari 143 µm yaitu 75 ekor, sedangkan jumlah larva dengan panjang esofagus anterior sampai dengan esofagus posterior yaitu 144-148 µm hanya 28 ekor dan pada panjang esofagus anterior sampai dengan esofagus posterior kecil dari 149 µm hanya 47 ekor. Berdasarkan data tersebut, dan dikaitkan dengan rataan panjang esofagus anterior sampai dengan esofagus posterior (144,90 µm), maka umumnya panjang esofagus anterior sampai dengan esofagus posterior dari H. contortus adalah 145 µm. Hal ini sejalan dengan penelitian Thilakan dan Santhianesan (2008) yang menyatakan panjang esofagus anterior sampai dengan esofagus posterior larva infektif adalah 127-157 µm. Tabel 7. Panjang total larva Haemonchus contortus Panjang total (µm) Jumlah <750 149 751-800 - >801 1 Rata-rata: 736,80 Kisaran: 700-850 Dari Tabel 7 diperoleh data dengan panjang total larva berkisar antara 700-850 µm yang dibagi ke dalam tiga interval (<750, 751-800, >801 µm), dalam tiga interval. Jumlah larva terbanyak terdapat pada panjang total kecil dari 750 µm yaitu 149 ekor, sedangkan jumlah larva dengan panjang total 751-800 µm tidak ditemukan larva dan panjang total besar dari 801 µm hanya 1 ekor. Berdasarkan data ini, dan dikaitkan dengan rataan panjang total (736,80 µm), maka umumnya panjang total dari larva H. contortus adalah sekitar 737 µm. Menurut Anonimus (2012) panjang total larva infektif H. contortus 650-850 µm. Dikmans dan Andrews yang disitasi oleh Jorgen dan Brian (1994) melaporkan bahwa panjang total larva infektif H. contortus adalah 650-750 µm. Thilakan dan Santhianesan (2008) menjelaskan panjang larva infektif berkisar antara 675-780 µm. Waktu Yang Dibutuhkan Telur Menjadi Larva Infektif Waktu yang dibutuhkan telur menjadi larva infektif H. contortus disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Waktu yang dibutuhkan telur menjadi larva infektif Hari Keberadaan larva Ciri-ciri 1 Telur Oval atau lonjong dilapisi dengan kerabang telur tipis dan berukuran 70-85x41-48 µm 2-3 - 4-5 - 6 Larva stadium 2 Panjang total 500 µm, berbentuk silinder, ekor bengkok seperti kail (koma), gerakan lambat. 7 Larva infektif Panjang berkisar 700-750 µm, 8 Larva infektif Panjang berkisar 700-750 µm, 9 Larva infektif Panjang berkisar 700-850 µm, Dari Tabel 8 terlihat bahwa waktu yang dibutuhkan telur untuk menjadi larva infektif adalah tujuh hari. Putratam (2009) melaporkan waktu yang dibutuhkan telur untuk menjadi larva infektif antara 7-10 hari. Namun hasil pengamatan pada penelitian ini mengindikasikan penetasan telur lebih lama dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Morgan dan Hawkins (1960). Menurut Morgan dan Hawkins (1960), setelah telur menetas, dan dalam waktu empat hari akan berubah menjadi stadium larva infektif yang berselubung. Waktu yang dibutuhkan untuk telur berkembang menjadi larva infektif tergantung pada kondisi lingkungan. Menurut Urquhart et al. (1996), perkembangan dan kemampuan hidup larva tergantung dari beberapa faktor seperti suhu dan kelembapan dan sebagian oleh larva itu sendiri. Urquhart et al. (1996) selanjutnya mengatakan bahwa suhu optimal untuk perkembangan larva berkisaran 18-26 C. Pada suhu yang lebih tinggi, angka kematian juga meningkat, sehingga hanya sedikit yang bertahan. Sebaliknya, larva yang berkembang sampai stadium infektif pada suhu yang relatif rendah ternyata mengalami penghentian perkembangan. Johnstone (1990) mengemukakan temperatur yang diperlukan untuk perkembangan telur sampai mencapai larva infektif berkisar antara 8-38 C. Menurut Sood (1981), kondisi optimum untuk perkembangan telur H. contortus sampai menjadi larva infektif adalah pada suhu 10-37 C, sedangkan pada suhu 40 C akan mati dalam waktu 20 jam. Menurut Jehan dan Cupta yang disitasi oleh Inanusantri (1988), telur menetas menjadi larva infektif 65

pada suhu optimum 30 C. Kelembapan yang ideal untuk perkembangan larva dalam iklim mikro ini adalah 100%. Kelembapan minimum yang diperlukan untuk pengembangan adalah sekitar 85% (Levine, 1990). Urquhart et al. (1996) menambahkan bahwa pada saat cuaca kering dengan kelembapan rendah keadaan pada feses atau permukaan lahan, mungkin masih cukup lembab untuk kelanjutan perkembangan dalam bentuk larva. KESIMPULAN Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa larva infektif (L3) H. contortus memiliki keseragaman morfologi. Morfologi larva infektif (L3) H. contortus yaitu tubuh panjang berbentuk silinder (tabung), namun dibagian anterior membesar, memiliki esofagus, memiliki usus, memiliki sel usus, selubung ekor kaku dan menyempit pada ujung ekor serta meruncing, kepala sempit bulat, memiliki kutikula, gerakan cepat dan Ukuran bagian tubuh secara umum yaitu diameter tubuh larva 24 µm, panjang ujung ekor sampai dengan hialin 55 µm, esofagus posterior sampai dengan ekor 592 µm, panjang esofagus anterior sampai dengan esofagus posterior 145 µm, dan panjang total tubuh 737 µm. Waktu yang dibutuhkan telur untuk menetas dan menjadi larva infektif (L3) H. contortus adalah tujuh hari. DAFTAR PUSTAKA Ahmad, R.Z., Beriajaya, M. Suatmojo dan E. Purwaningsih. 2006. Faktor-faktor yang mempengaruhi Aplikasi Duddingtonia flagrans di dalam mereduksi larva Haemonchus contortus di lapang rumput. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006. Bogor:958-979. Anggraini, S. 2010. Derajat Infestasi Strongylus spp pada Kuda Bendi di Kota Payakumbuh Sumatera Barat. Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala. Banda Aceh. Anonimus. 2012. Ruminant L3: Haemonchus. http://www.rvc.ac.uk /review/parasitology/ruminantl3/id_step-by-step.htm. Endi, S.1985. Tinjauan Masalah Infestasi Haemonchus contortus (Rudolphi, 1803) pada Domba di Indonesia. Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Fabiyi, J.P. 1987. Production losses and control of helminths in ruminants of tropical regions. Int. J. Parasitol. 17:435-442. Hanafiah, M., Winaruddin, dan Rusli. 2002. Studi infeksi nematoda gastrointestinal pada kambing dan domba di rumah potong hewan Banda Aceh. J. Sain Vet. XX(1):23-27. Hutauruk, M.E. 2005. Perbanyakan Larva L3 dari Cacing Haemonchus contortus yang Diambil dari Abomasum Kambing dan Domba. Prosiding Temu Teknis Nasional Tenaga Fungsional Pertanian 2005. Gulang Sumut. Inanusantri. 1988. Parasit Cacing Haemonchus contortus (Rudholphi, 1803) pada Domba dan Akibat Infestasinya. Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Johnstone, C. 2000. Parasites and Parasitic Disease of Domestic Animal. University of Pennsylvania, Philadelphia. Jorgen, H. and D.P. Brian. 1994. The Epidemiology, Diagnosis, and Control of Helminth Parasites of Ruminants: A Handbook. International Laboratory for Research on Animal Diseases, Nairobi, Kenya. Kusumamihardja, S. 1992. Parasit dan Parasitosis pada Hewan Ternak dan Hewan Piaraan di Indonesia. Pusat Antar Universitas Bioteknologi IPB, Bogor Levine, N.D. 1990. Parasitology Veteriner. (Diterjemahkan Ashadi, G.). Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Morgan, B.B. and P.A. Hawkins. 1960. Veterinary Helminthology. Burgess Publishing Company, Minneapolis, Minn. Nugroho, Z.F. 2012. Keragaman dan Kelimpahan Nematoda Usus pada Kambing yang Dipelihara dengan Tatalaksana Pemeliharaan yang Berbeda di Kecamatan Sumbang Kabupaten Banyumas. Skripsi. Fakultas Biologi, Universitas Jendral Sudirman, Purwokerto. Banyumas. Putratam, R. 2009. Hubungan Kecacingan pada Ternak Sapi di Sekitar Taman Nasional Way Kambas dengan Kemungkinan Kejadian Kecacingan pada Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) di Suaka Rhino Sumatera. Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sood, M.L. 1981. Haemonchus in India. J. Parasitol. 83:639-650. Thilakan, N.J. and V. Sathianesan. 2008. Electron microscopy Haemonchus contortus infective larvae of domestic ruminants. J. Vet. Anim. Sci. 4(6):232-236. Urquhart, G.M., J. Armour, J.L. Duncan, A.M. Dunn, and F.W. Jennings. 1996. Veterinary Parasitology. 2 nd ed. The Faculty of Veterinary Medicine, The University of Glasgow, Scotland. 66