Resume Buku SEMIOTIK DAN DINAMIKA SOSIAL BUDAYA Bab 8 Mendekonstruksi Mitos-mitos Masa Kini Karya: Prof. Dr. Benny H. Hoed

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

13Ilmu. semiotika. Sri Wahyuning Astuti, S.Psi. M,Ikom. Analisis semiotik, pisau analis semiotik, metode semiotika, semiotika dan komunikasi

BAB I PENDAHULUAN. selalu berinovasi dan memenuhi perkembangan kebutuhan konsumen tersebut. Bukan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Objek kajian dalam penelitian ini adalah topeng dari grup band Slipknot.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. yang mendasar dari suatu kelompok saintis (Ilmuan) yang menganut suatu pandangan

BAB I PENDAHULUAN. bentuk atau gambar. Bentuk logo bisa berupa nama, angka, gambar ataupun

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Tipe penelitian yang digunakan oleh peneliti adalah jenis penelitian deskriptif.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. lagi pendekatan yang mencoba berebut nafas yaitu pendekatan Post

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Paradigma didefinisikan bermacam-macam, tergantung pada sudut

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian yang dilakukan merupakan jenis penelitian deskriptif, dimana

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan pendekatan

BAB VI KESIMPULAN. Pertama, poligami direpresentasikan oleh majalah Sabili, Syir ah dan NooR dengan

BAB III METODE PENELITIAN. pada metodologi yang menyelidiki suatu fenomena sosial dan masalah

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB 1 PENDAHULUAN. film memiliki realitas yang kuat salah satunya menceritakan tentang realitas

BAB I PENDAHULUAN. dapat dipandang sebagai faktor yang menentukan proses-proses perubahan.

BAB I PENDAHULUAN. juga disebut dengan istilah sekar, sebab tembang memang berasal dari kata

BAB I PENDAHULUAN. Film adalah suatu media komunikasi massa yang sangat penting untuk

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. video klip musik Lady Gaga Alejandro dan Applause. Produk media

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. menimbulkan perhatian pada makna tambahan (connotative) dan arti

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan paradigma konstruktivis.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian mengenai representasi materialisme pada program Take Me Out

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Manusia merupakan mahkluk hidup yang tidak dapat hidup tanpa

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian pada film animasi Barbie The Princess And The Popstar ini

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB IV ANALISIS DATA. Dalam tahap ini, peneliti mulai menerapkan proses representasi yaitu

BAB III METODE PENELITIAN. Sesuai dengan tema yang diangkat oleh peneliti yaitu berbicara. mengenai makna apa yang mengandung pesan dakwah anak dalam

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah bersifat

BAB 1 PENDAHULUAN. massa yang dibayar oleh perusahaan-perusahaan bisnis, organisasi non profit dan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk yang berbahasa, berkomunikasi melalui simbol-simbol,

Imaji Vol. 4 - No. 2/ Februari 2009 RESENSI BUKU

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain (Alwi, dkk 2003: 588).

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Setelah melakukan analisis terhadap film Air Terjun Pengantin


BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. saat itu dalam berbagai bentuk film-film ini akhirnya memiliki bekas nyata di benak

BAB III METODE PENELITIAN. The Great queen Seondeok dan kemudian melihat relasi antara teks tersebut

2 sendiri tak bisa dilepaskan dari perkembangan sejarah kehidupan dan budaya manusia. Studi tentang gaya busana, pakaian atau fashion pun sudah banyak

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Karya sastra merupakan hasil sastra yang berupa puisi, prosa, maupun

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. (denotasi) yang dihadirkan dalam film American Sniper. Selanjutnya, dengan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. juga sebagai alat komunikator yang efektif. Film dengan kemampuan daya

Semiotika, Tanda dan Makna

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. Barthes. Sebagai sebuah penelitian deskriptif, penelitian ini hanya memaparkan situasi atau

dalam arti penelitian merupakan saran untuk pengembangan ilmu ilmu yang mempelajari metode-metode penelitian 49. Metodologi berasal

BAB I PENDAHULUAN. Media massa bukanlah saluran yang bebas dan netral, demikian pandangan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. penelitian baik yang mencakup objek penelitian, metode penelitian, dan hasil

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada era globalisasi dan seiring dengan perkembangan teknologi,

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. Tipe penelitian ini menggunakan deskriptif kualitatif, yaitu penelitian yang

Program Studi Ilmu Komunikasi. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Jl. Babarsari No 6 Yogyakarta

Mengenal Ragam Studi Teks: Dari Content Analysis hingga Pos-modernisme. (Bahan Kuliah Metodologi Penelitian)

BAB III METODE PENELITIAN. atau nonlapangan yang menggunakan pendekatan paradigma kritis dan jenis

Semiotika, Tanda dan Makna

SEMIOTIK MITOS ROLAND BARTHES DALAM ANALISIS IKLAN DI MEDIA MASSA

BAB III METODE PENELITIAN. dan jenis penelitiannya adalah analisis wacana. Analisis wacana. ilmiah, yang objeknya representatif perempuan muslim dalam

BAB IV ANALISIS DATA. Film sebagai salah bentuk komunikasi massa yang digunakan. untuk menyampaikan pesan yang terkandung didalamnya.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Televisi merupakan salah satu media massa yangcukup populer di tengah

BAB 6 KESIMPULAN, REFLEKSI, DAN REKOMENDASI. Bab ini akan mendiskusikan kesimpulan atas temuan, refleksi, dan juga

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Representasi Budaya Dalam Iklan (Analisis Semiotika Pada Iklan Mie Sedaap Versi Ayamku Di Televisi) Inggit Frinsyah Putra

BAB I PENDAHULUAN. pesan, komunikasi dikatakan berhasil. Sebaliknya, bila terjadi perbedaan penafsiran atas makna

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB III METODE PENELITIAN. yang atas dasar konvensi sosial yang terhubung sebelumnya - dapat

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Dalam komunikasi, manusia menggunakan berbagai media untuk menyampaikan pesan.

BAB I PENDAHULUAN. menyalakan lampu sen bagian kanan yang berarti memberikan isyarat atau tanda

BAB I PENGANTAR KHAZANAH ANALISIS WACANA. Deskripsi Singkat Perkuliahan ini membelajarkan mahasiwa tentang menerapkan kajian analisis wacana.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. komunikasi yang terjadi antarmanusia. Menurut Moloeng paradigma merupakan pola

BAB I PENDAHULUAN. wacana kritis oleh kalangan ahli komunikasi. Untuk itu,diperlukan pengembangan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. menyertakan emosinya saat melihat isi berita yang dimuat oleh surat kabar.

BAB I PENDAHULUAN. penikmatnya. Karya sastra ditulis pada kurun waktu tertentu langsung berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengarang menciptakan karya sastra sebagai ide kreatifnya. Sebagai orang yang

BAB I PENDAHULUAN. berkembangnya sastra. Sastra tidak hanya sekedar bidang ilmu atau bentuk

BAB 3 METODE PENELITIAN. mengenai pendekatan penelitian, sumber data, teknik pengumpulan data, dan

BAB III METODE PENELITIAN. penelitian. Penentuan dan teknik yang digunakan haruslah dapat mencerminkan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN\ sejelas mungkin tanpa ada perlakuan terhadap objek yang diteliti. 1. Penelitian deskriptif yang ditujukan untuk: 2


BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB 5 Penutup. dalam ciri-ciri yang termanifes seperti warna kulit, identitas keagamaan

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan teknologi informasi, media kampanye

BAB III METODE PENELITIAN. menerangkan metode-metode atau cara-cara. Sedangkan penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini bersifat Interpretatif dengan menggunakan pendekatan

Bab 1. Pendahuluan. Film Hachiko : A Dog s Story adalah film drama yang didalamnya

Transkripsi:

Resume Buku SEMIOTIK DAN DINAMIKA SOSIAL BUDAYA Bab 8 Mendekonstruksi Mitos-mitos Masa Kini Karya: Prof. Dr. Benny H. Hoed Oleh: Tedi Permadi Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni - Universitas Pendidikan Indonesia Mempertalikan semiotika dan mitos nampaknya dapat menjadi satu diskusi yang menarik. Bukan saja karena persoalan filosofis mendasar yang acapkali menjadi perdebatan, melainkan juga karena tidak ada jalur tunggal untuk membongkar praktik pertandaan mitos itu sendiri. Taruhlah dengan sebuah klaim sederhana para penganut semiotika, bahwa di balik bahasa (mitos) seringkali terkandung sesuatu yang misterius. Dan semiotika dipercaya sebagai salah satu model rujukan untuk membantu melacak keberadaan misteri tersebut. Dalam konteks ini, ketika kepercayaan masyarakat yang disebut dengan mitos dipandang sebagai produk kebudayaan, maka menjadi penting untuk melihat bagaimana masyarakat memproduksi dan mempertukarkan makna melalui praktik bahasanya. Mitos, sebagai keluaran akhir dari praktik bahasa mitos dapat dipahami sebagai produksi makna. Sebagai kesatuan organik, mitos merepresentasikan pikiran dan gagasan-gagasannya melalui berita yang dimereka hadirkan ke ruang publik. Mengapa representasi menjadi penting dalam kaitan ini? Dalam konteks ini terlihat menarik untuk mempersoalkan landasan filosofis yang menjadi basis penggunaan istilah tersebut. Mula-mula penting untuk membedakan term representasi dengan refleksi dalam memahami kembali produk mitos atau praktek bahasa yang mereka lakukan. Seringkali penggunaan kata representasi ini diperlawankan dengan kata refleksi, karena keduanya memang keduanya mengimplikasikan pandangan yang berbeda terhadap realitas yang ditampilkan mitos (realitas kedua) dengan realitas yang sebenarnya (realitas pertama). Sebagian orang mengatakan 1

bahwa apa yang tampil di mitos merupakan cermin realitas, dalam pengertian bahwa realitas yang tersaji di mitos dinilai sama dengan realitas empirik. Mitos berperan sebagai reflektor yang sekadar menghadirkan fakta atau peristiwa yang ada berlangsung dalam masyarakat, tidak kurang dan tidak lebih. Pada kutub yang berlawanan, sebagian lagi mengatakan bahwa apa yang tersaji dalam mitos merupakan representasi. Realitas yang tampil di mitos merupakan hasil konstruksi yang boleh jadi telah mengalami penambahan maupun pengurangan karena turut campurnya faktor subyektivitas dari pelaku representasi alias ornag-orang yang terlibat dalam mitos. Tidaklah sesederhana pandangan reflektif, penggunaan istilah representasi berangkat dari kesadaran bahwa apa yang tersaji di mitos seringkali tidak selalu persis dengan apa yang ada di realitas empirik. Meyakini realitas mitos sebagai hasil konstruksi sama halnya dengan memandang suatu fenomena yang dibaratkan seperti gunung es. Permukaan yang terlihat seringkali hanya sebagian kecil dari kenyataan sesungguhnya, dan sebaliknya apa yang ada di bawah permukaan itu justru lebih besar. Pada gilirannya peran pemaknaan oleh pembaca menjadi hal penting karena pembacalah yang mempunyai otoritas untuk melihat sejauh mana bagian yang tidak tampak dari gunung es itu dapat diketemukan. Dalam bahasa konstruktivis, peran pembaca untuk mengidentifikasi bagian-bagian yang (seringkali) tak terlihat itu disebut sebagai memaknai. Persoalannya adalah ketika realitas mitos telah tersaji ke ruang publik maka mitos tidak lagi mempunyai otoritas untuk memaksa maknamakna yang mereka kehendaki sehingga peran pemaknaan pun berpindah pada pembaca. Ketika pembaca mempunyai kekuasaan penuh untuk memaknai sebuah berita, maka peran bahasa menjadi penting. Bahasa menjadi medium istimewa yang melaluinya sebuah makna diproduksi. Bahasa beroperasi sebagai simbol atau tanda yang mengartikan atau merepresentasikan makna yang ingin dikomunikasikan oleh pelakunya. Tanda mengartikan atau merepresentasikan (menggambarkan) konsepkonsep, gagasan atau perasaan sedemikian rupa yang memungkinkan seseorang membaca, men-decode atau menginterpretasikan maknanya. 2

Pusat perhatian semiotika adalah menggali apa yang tersembunyi di balik bahasa. Terobosan penting dalam semiotika adalah digunakannya linguistik (mungkin ini lebih terasa beraroma Saussurean) sebagai model untuk diterapkan pada fenomena lain di luar bahasa. Saussure mendefinisikan semiotika sebagai ilmu yang mengkaji tentang tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial. Tanda merupakan istilah yang sangat penting, yang terdiri atas penanda (signifier) dan petanda (signified). Penanda mewakili elemen bentuk atau isi, sementara petanda mewakili elemen konsep atau makna. Keduanya merupakan kesatuan yang tak dapat dipisahkan sebagaimana layaknya dua bidang pada sekeping mata uang. Kesatuan antara penanda dan petanda itulah yang disebut sebagai tanda. Pengaturan makna atas sebuah tanda dimungkinkan oleh adanya konvensi sosial di kalangan komunitas bahasa. Suatu kata mempunyai makna tertentu karena adanya kesepakatan bersama dalam komunitas bahasa. Tanda dan hubungan kemudian menjadi kata-kata kunci dalam analisis semiotika. Bahasa dilucuti strukturnya dan dianalisis dengan cara mempertalikan penggunaannya beserta latar belakang penggunaaan bahasa itu. Usaha-usaha menggali makna teks harus dihubungkan dengan aspek-aspek lain di luar bahasa itu sendiri atau sering juga disebut sebagai konteks. Teks dan konteks menjadi dua kata yang tak terpisahkan, keduanya berkelindan membentuk makna. Konteks menjadi penting dalam interpretasi, yang keberadaannnya dapat dipilah menjadi dua, yakni intratekstualitas dan intertekstulaitas. Intratekstualitas menunjuk pada tanda-tanda lain dalam teks, sehingga produki makna bergantung pada bagaimana hubungan antartanda dalam sebuah teks. Sementara intertekstualitas menunjuk pada hubungan antarteks alias teks yang satu dengan teks yang lain. Makna seringkali tidak dapat dipahami kecuali dengan menghubungkan teks yang satu dengan teks yang lain. Pengkajian tentang konteks dalam pemaknaan barangkali merupakan sebuah kerja yang menarik. Bukan saja karena dimensi kontekstual yang berbeda akan melahirkan makna yang berbeda; melainkan juga bahwa sebuah analisis semiotika akan mampu menggali hal-hal yang sifatnya subtle dari penggunaan bahasa seperti halnya tentang seperangkat nilai atau bahkan ideologi yang tersembunyi di balik 3

penggunaan bahasa. Pada tingkat ini, semiotika seringkali ditunjuk sebagai model awal dari analisis yang mampu menampilkan bekerjanya ideologi dalam teks. Terdapat banyak varian pengertian ideologi, meski secara singkat dapat dapat dimengerti bahwa ideologi menunjuk pada serangkaian ide yang menyusun realitas kelompok, sebuah sistem representasi atau kode yang menentukan bagaimana sesorang menggambarkan dunia atau lingkungannya. Teoritisi kritis kontemporer cenderung percaya bahwa sekarang ini tidak lagi terdapat ideologi tunggal yang bermain dalam masyarakat. Ideologi bukan sesuatu yang pejal, rigit dan diperjuangkan dalam situasi heroik sehingga seakan terpisah dari sistem sosial masyarakat. Dalam pandangan terotisi kritis, ideologi justru melekat dalam seluruh proses sosial dan kultural, dan bahasa menjadi ciri terpenting bagi bekerjanya sebuah ideologi. Ideologi bergerak melalui bahasa, sehingga apa yang nampak dari struktur bahasa diandaikan sebagai struktur dari masyarakat yang mewadahi sebuah idelogi tertentu. Pemaknaan ideologis dimulai dengan memahami bagaimana bekerjanya sistem bahasa dalam struktur sosial. Kombinasi dan disposisi menjadi kata-kata kunci untuk mengurai sejauh mana ideologi bermain dalam bahasa, sehingga untuk membongkar bahasa ideologis maka sebuah representasi harus dibongkar terlebih dahulu strukturnya, kemudian makna dipertalikan dengan keberadaan struktur sosial yang melandasi penggunaan struktur bahasa (prinsip intertekstualitas) Tentu saja tak ada yang benar-benar obyektif di sini, kita tidak dapat mengatakan bahwa pembongkaran terhadap struktur bahasa beserta temuan ideologi dalam bahasa merupakan jaminan terhadap kepastian akhir suatu ideologi. Berubahnya struktur boleh jadi akan mengubah makna ideologis, Analisis Mitos: Sebuah Perangkat Kajian Semiotika Analisis kritis mitos berupaya mempertautkan hubungan antara mitos massa dan keberadaan struktur sosial. Analisis kritis menguji kandungan-kandungan pesan mitos, bagaimana teks/bahasa mitos dikaji, dan bagaimana makna yang dapat dimunculkan dari teks. Bagian berikut akan sedikit mengetengahkan gagasan-gagasan semiotis yang 4

dikemukakan oleh seorang penganut Saussure dari Perancis, Roland Barthes. Gagasan-gagasannya memberi gambaran yang luas mengenai mitos kontemporer. Boleh jadi Barthes merupakan orang terpenting kedua dalam tradisi semiotika Eropa setelah Saussure. Melalui sejumlah karyanya ia tidak hanya melanjutkan pemikiran Saussure tentang hubungan bahasa dan makna, pemikirannya justru melampaui Saussure terutama ketika ia menggambarkan tentang makna ideologis dari bahasa yang ia ketengahkan sebagai mitos. Ketika mempertimbangkan sebuah mitos seperti (1) gotong royong, (2) aja dumeh, (3) reformasi, (4) bangsa Indonesia yang ramah tamah, dan (5) mahasiswa sebagai kekuatan moral, tidaklah sesederhana mendenotasikan sesuatu hal, tetapi juga menciptakan tingkat konotasi yang dilampirkan pada tanda. Barthes menyebut fenomena ini membawa tanda dan konotasinya untuk membagi pesan tertentu sebagai penciptaan mitos. Pengertian mitos di sini tidaklah menunjuk pada mitologi dalam pengertian sehari-hari seperti halnya cerita-cerita tradisional melainkan sebuah cara pemaknaan; dalam bahasa Barthes disebut tipe wicara. Pada dasarnya semua hal dapat menjadi mitos; satu mitos timbul untuk sementara waktu dan tenggelam untuk waktu yang lain karena digantikan oleh pelbagai mitos lain. Mitos menjadi pegangan atas tandatanda yang hadir dan menciptakan fungsinya sebagai penanda pada tingkatan yang lain. Mitos oleh karenanya bukanlah tanda yang tak berdosa, netral; melainkan menjadi penanda untuk memainkan pesan-pesan tertentu yang boleh jadi berbeda sama sekali dengan makna asalnya. Kendati demikian, kandungan makna mitologis tidaklah dinilai sebagai sesuatu yang salah ( mitos diperlawankan dengan kebenaran ); cukuplah dikatakan bahwa praktik penandaan seringkali memproduksi mitos. Produksi mitos dalam teks membantu pembaca untuk menggambarkan situasi sosial budaya, mungkin juga politik yang ada disekelilingnya. Bagaimanapun mitos juga mempunyai dimensi tambahan yang disebut naturalisasi. Melaluinya sistem makna menjadi masuk akal dan diterima apa adanya pada suatu masa, dan mungkin tidak untuk masa yang lain. 5

Pemikiran Barthes tentang mitos nampaknya masih melanjutkan apa yang diandaikan Saussure tentang hubungan bahasa dan makna atau antara penanda dan petanda. Tetapi yang dilakukan Barthes sesungguhnya melampaui apa yang lakukan Saussure. Bagi Barthes, mitos bermain pada wilayah pertandaan tingkat kedua atau pada tingkat konotasi bahasa. Jika Sauusure mengatakan bahwa makna adalah apa yang didenotasikan oleh tanda, Barthes menambah pengertian ini menjadi makna pada tingkat konotasi. Konotasi bagi Barthes justru mendenotasikan sesuatu hal yang ia nyatakan sebagai mitos, dan mitos ini mempunyai konotasi terhadap ideologi tertentu. Tanda konotatif tidak hanya memiliki makna tambahan, namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Tambahan ini merupakan sumbangan Barthes yang amat berharga atas penyempurnaannya terhadap semiologi Sausure, yang hanya berhenti pada penandaan pada lapis pertama atau pada tataran denotatif semata. Dengan membuka wilayah pemaknaan konotatif ini, pembaca teks dapat memahami penggunaan gaya bahasa kiasan dan metafora yang itu tidak mungkin dapat dilakukan pada level denotatif. Lebih dari itu, di samping gagasannya dapat dimanfaatkan untuk menganalisis mitos, semiotika konotasi ala Barthesian ini memungkinkan penggunaannya untuk wilayah-wilayah lain seperti pembacaan terhadap karya sastra dan fenomena budaya kontemporer atau budaya pop. Bahkan Barthes mengembangkan ide-ide Saussure pada semua aspek kehidupan sosial. Bagi Barthes, semiologi bertujuan untuk memahami sistem tanda, apapun substansi dan limitnya, sehingga seluruh fenomena sosial yang ada dapat ditafsirkan sebagai tanda alias layak dianggap sebagai sebuah lingkaran linguistik. Barthes mengisyaratkan bahwasanya tak ada satu pun aktivitas penggunaan tanda yang bukan ideologi, namun sebenarnya tidak seperti itu. Ideologi, pada hakikatnya, adalah suatu sistem kepercayaan yang dibuat-buat, suatu kesadaran semu yang kemudian mengajak (interpellation) kepada individu-individu untuk menggunakannya sebagai suatu bahasa sehingga membentuk orientasi sosialnya dan kemudian berperilaku selaras dengan ideologi tersebut. Apa yang sebenarnya ditunjuknya adalah sebuah himpunan relasi-relasi yang ada, tidak seperti 6

suatu konsep ilmiah, ia tidak menyediakan sebuah alat untuk mengetahuinya. Dalam suatu cara khusus (ideologis), ia menunjukkan beberapa eksistensi, namun tidak memberikan kita esensinya. Beroperasinya ideologi melalui semiotika mitos ini dapat ditengarai melalui asosiasi yang melekat dalam bahasa konotatif. Barthes mengatakan penggunaan konotasi dalam teks ini sebagai: penciptaan mitos. Ada banyak mitos yang diciptakan mitos di sekitar kita, misalnya mitos tentang kecantikan, kejantanan, pembagian peran domestik versus peran publik dan banyak lagi. Mitos ini bermain dalam tingkat bahasa yang oleh Barthes disebutnya adibahasa (meta-language). *** 7