BAB VIII ANALISIS KOMUNITAS PEMULUNG

dokumen-dokumen yang mirip
BAB VII KELEMBAGAAN DI KALANGAN PARA PEMULUNG DAN PROSES MUNCULNYA KELEMBAGAAN TERSEBUT

BAB I PENDAHULUAN. dengan topik Sektor Informal Yogyakarta, pada hari Selasa 7 Maret 2005, diakses pada tanggal 9 Oktober 2009

BAB VI KESIMPULAN. Rumah kost tidak sebatas rumah tinggal yang hanya melindungi

PERTEMUAN KE 7 POKOK BAHASAN

BAB VI POLA INTERAKSI ANTAR PEMULUNG, PEMULUNG DENGAN BOS PEMULUNG DAN PEMULUNG DENGAN MASYARAKAT SETEMPAT

BAB I PENDAHULUAN. yang telah ditentukan untuk bisa ditaati dan dilaksanakan oleh

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 6 TAHUN 2005 TENTANG PENYELENGGARAAN RUMAH SEWAAN

Memelihara kebersihan lingkungan merupakan salah satu contoh aturan yang ada di masyarakat.

BAB 1 PENDAHULUAN. menarik orang mendatangi kota. Dengan demikian orang-orang yang akan mengadu nasib di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

KESADARAN, BUDAYA, DAN GENGSI. Oleh : ANASTASIA EVIRA

5 KETERLIBATAN TENGKULAK DALAM PENYEDIAAN MODAL NELAYAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Galih Septian, 2014

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan Pemulung diidentikkan dengan sampah, dimana ada sampah disana ada

BAB IV GAMBARAN UMUM KELURAHAN EMPANG

ZâuxÜÇâÜ cüéñ Çá WtxÜt{ ^{âáâá \uâ~éàt ]t~tüàt

WALIKOTA BENGKULU PERATURAN DAERAH KOTA BENGKULU NOMOR 04 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA PEMONDOKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

NORMA, KODE ETIK, TATA TERTIB, DAN LARANGAN DALAM PELAKSANAAN AKREDITASI

- 1 - PERATURAN GUBERNUR SUMATERA BARAT NOMOR 5 TAHUN 2017 TENTANG PEGAWAI TIDAK TETAP DI LINGKUNGAN PEMERINTAH PROVINSI SUMATERA BARAT

Norma Dalam Kehidupan Masyarakat

BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 12 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN RUMAH SEWA DAN RUMAH KOST

BAB I PENDAHULUAN. 1 diakses 26 februari 2016, Pukul WIB.

BAB V PENUTUP. tinggi tingkatan usaha pedagang barang bekas maka memiliki relasi kerja yang semakin

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seli Septiana Pratiwi, 2014 Migran PKl dan dampaknya terhadap ketertiban sosial

BAB III PELAKSANAAN MAGANG. pada PD.PAM JAYA yang berlokasi di jalan Penjernihan II Pejompongan Jakarta

WALIKOTA MAGELANG PERATURAN DAERAH KOTA MAGELANG NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN DAN PELAYANAN PEMAKAMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Nilai dan Norma Sosial

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. geosfer dengan sudut pandang kelingkungan atau kewilayahan dalam konteks

BAB I PENDAHULUAN. tinggal di daerah tertentu, misalnya bahasa Bugis, Gorontalo, Jawa, Kaili (Pateda

BAB VI PENGARUH MODAL SOSIAL TERHADAP TAHAPAN PEROLEHAN KREDIT MIKRO. 6.1 Pengaruh Modal Sosial terhadap Perolehan Kredit Mikro

WALIKOTA YOGYAKARTA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH KOTA YOGYAKARTA NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN PONDOKAN

I. PENDAHULUAN. Pesatnya kemajuan tehnologi di bidang industri akan berdampak positif maupun

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Letak wilayah yang strategis dari suatu daerah dan relatif mudah

BUPATI ENREKANG PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN ENREKANG NOMOR 1 TAHUN 2016

WALIKOTA MAGELANG PERATURAN DAERAH KOTA MAGELANG NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG RUKUN TETANGGA DAN RUKUN WARGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB IV. 1. Makna dan Nilai wariwaa dalam adat. Pada umumnya kehidupan manusia tidak terlepas dari adat istiadat,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN ILIR NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI OGAN ILIR,

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bahasa dapat menjalin hubungan yang baik, dan dapat pula

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR.. ABSTRAK. DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN Latar Belakang Penelitian...

BAB I PENDAHULUAN. daerah pesisir pantai yang ada di Medan. Sebagaimana daerah yang secara

WAWASAN SOSIAL BUDAYA. Kehidupan Pedesaan Dan Perkotaan

BAB I PENDAHULUAN. tidak asing lagi melihat anak-anak mengerumuni mobil-mobil dipersimpangan lampu

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 1994 TENTANG PENGHUNIAN RUMAH OLEH BUKAN PEMILIK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

ITEM VALID (ANGKET KEHARMONISAN KELUARGA ISLAMI) Variabel Sub Variabel Indikator Item Valid Total (+) (-) keluarga

MATERI 6 BENTUK DAN FUNGSI LEMBAGA SOSIAL

BAB V PEMBAHASAN MASALAH

BAB I PENDAHULUAN. Negara dan Abdi Masyarakat yang selalu hidup ditengah masyarakat dan bekerja

BUPATI LOMBOK BARAT PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

Nilai & Norma DORIS FEBRIYANTI M,SI

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang

BAB I PENDAHULUAN. kompleks yang perlu mendapatkan perhatian semua orang. Salah satu masalah

BUPATI SUKAMARA PERATURAN BUPATI SUKAMARA NOMOR 09 TAHUN 2009 TENTANG JAM KERJA BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KABUPATEN SUKAMARA

BAB I PENDAHULUAN. untuk terus meningkatkan kemampuannya dengan menuntut ilmu. Berbagai macam lembaga

BUPATI BANYUWANGI SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA RUMAH KOS

I. PENDAHULUAN. dilaksanakan secara tertib dan terencana yang bertujuan untuk

penelitian ini akan diuraikan beberapa konsep yang dijadikan landasan teori penelitian. Adapun tinjauan pustaka dalam penelitian adalah.

BAB I PENDAHULUAN. ada di daerahnya. Pembangunan daerah sebagai pembangunan yang dilaksanakan

I. PENDAHULUAN. Manusia dalam suatu organisasi/instansi dipandang sebagi sumber daya.

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1994 TENTANG PENGANGKATAN BIDAN SEBAGAI PEGAWAI TIDAK TETAP PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. dalam hadist bekerja mencari rezeki yang halal itu wajib bagi setiap muslim.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBAGA KEMASYARAKATAN (LEMBAGA SOSIAL)

BAB II KAJIAN TEORI. Sosiologi berasal dari kata Latin socius yang berarti kawan dan

NASKAH PUBLIKASI Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai derajat Sarjana S-1 Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan

Berprestasi yang Madani maka untuk terwujudnya suasana kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan diperkotaan merupakan masalah sosial yang masih belum

BAB I PENDAHULUAN. dorongan-dorongan alamiah yang dimiliki setiap manusia semenjak dilahirkan.

2 Kebiasaan (Folksway) Norma yang menunjukan perbuatan yang dilakukan secara berulang-ulang dalam bentuk yang sama

MATERI 1 HAKIKAT PERILAKU MENYIMPAG

PEDOMAN WAWANCARA HUBUNGAN PATRON KLIEN PADA MASYARAKAT PEMETIK TEH DI PTPN VIII MALABAR DESA BANJARSARI KECAMATAN PANGALENGAN KABUPATEN BANDUNG

BAB I PENDAHULUAN. Keragaman masyarakat di Indonesia merupakan fenomena unik yang

BAB I PENDAHULUAN. dan agamanya, semenjak dahulu menjadi perhatian khas dari para ilmuwan dan para

PEMERINTAH KOTA PROBOLINGGO

KEPALA ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Keith Davis ( 2007 ) mengemukakan bahwa : Dicipline is management action

BAB I PENDAHULUAN. dirinya dapat menetap dalam jangka waktu lama. Setiap lingkungan tempat tinggal

WALIKOTA PALANGKA RAYA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring dengan berkembangnya jaman, semakin banyak pula tuntutan yang harus dipenuhi oleh masyarakat.

1. a. Seberapa sering kamu dan seluruh keluargamu menghabiskan waktu bersamasama? b. Apa saja yang kamu lakukan bersama dengan keluargamu?

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II PENDEKATAN TEORITIS

BERITA NEGARA. Disiplin Kerja. Pegawai Negeri Sipil. BADAN NASIONAL PENGELOLA PERBATASAN. REPUBLIK INDONESIA

BUPATI GARUT PROVINSI JAWA BARAT

PERATURAN DAERAH KOTA TARAKAN NOMOR 06 TAHUN 2002 TENTANG PEMBENTUKAN RUKUN TETANGGA DAN RUKUN WARGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN NOMOR 005 TAHUN 2015

BUPATI KAYONG UTARA PERATURAN BUPATI KAYONG UTARA NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. kemiskinan yang terjadi pada negara berkembang sangatkompleks dan

tapi Tidak Bagi Warga

KEPUTUSAN REKTOR UNIVERSITAS SUMATERA UTARA NOMOR: 1177/H5.1.R/SK/KMS/2008

Lampiran 1 Tabel Rencana Penyelesaian Skripsi

BAB V KESIMPULAN. Pasar Bandar Buat awal berdirinya merupakan sebuah pasar nagari, pasar

BAB V KESIMPULAN. A. Melihat Pola Relasi Rentenir dan Pedagang Pasar Tradisional dalam. Rentenir pasar merupakan sebuah fenomena yang nyata adanya di

KEPUTUSAN REKTOR UNIVERSITAS NEGERI MALANG Nomor: 3414/KEP/H32/HK/2008. Tentang TATA TERTIB KEHIDUPAN KAMPUS BAGI MAHASISWA UNIVERSITAS NEGERI MALANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 1994 TENTANG PENGHUNIAN RUMAH OLEH BUKAN PEMILIK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN [LN 2003/39, TLN 4279] Pasal 184

PROSES MIGRASI ORANG MADURA

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 5 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN ASRAMA MAHASISWA KOTAWARINGIN BARAT

Transkripsi:

103 BAB VIII ANALISIS KOMUNITAS PEMULUNG 8.1 Keberadaan Pemulung Keberadaan pemulung yang menempati daerah pinggiran perkotaan maupun pusat perkotaan menjadi suatu fenomena sosial yang tidak dapat dihindari. Konsep komunitas menurut Ife (1995) dalam widianto (2008) dibagi menjadi dua, yaitu geographical community dan functional community. Geographical community adalah komunitas yang terikat atas kesamaan lokalitas atau satu kesatuan tempat tinggal. Functional community adalah komunitas yang terikat atau komunitas berdasarkan pada hal yang lebih umum yang menimbulkan identitas diri. Berdasarkan dua konsep komunitas tersebut maka pemulung pada penelitian ini dipandang sebagai suatu komunitas. Berdasarkan geographical community, para pemulung tinggal dan hidup bersama di satu lapak, yakni di Kelurahan Beji Kota Depok. Berdasarkan functional community, para pemulung memiliki kesamaan dalam bidang pekerjaan yang menimbulkan suatu identitas diri yang sama, yakni sebagai pemulung. Pada bab sebelumnya dapat diketahui bahwa umumya para pemulung berasal dari pedesaan. Untuk memperbaiki ekonomi rumah tangga para pemulung tersebut melakukan urbanisasi. Urbanisasi adalah suatu proses berpindahnya penduduk dari desa ke kota. Menurut Soekanto (1990), penyebab urbanisasi ini dapat dilihat dari dua sudut yakni: (1) Faktor yang mendorong penduduk desa untuk meninggalkan daerah kediamannya (push factors), dan (2) Faktor kota yang menarik penduduk desa untuk pindah dan menetap di kota (pull factors). Bila dianalisis dari faktor pendorong (push factors) maka sebab-sebab para pemulung meninggalkan tempat tinggalnya secara umum adalah sebagai berikut: a. Di desa lapangan kerja pada umumnya kurang. Hal ini terlihat pada kasus Mas Agk yang tidak mendapatkan pekerjaan di daerah asalnya. Oleh karena itu, Mas Agk memutuskan merantau ke kota untuk mendapatkan pekerjaan.

104 b. Penghasilan dari bertani belum mencukupi untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. Hal ini terlihat pada kasus Keluarga Bapak Sdr, Keluarga Bapak Drm, Keluarga Bapak Swn dan Ibu Msm yang sebelumnya berprofesi sebagai petani. Kerugian penjualan hasil tani akibat hama juga menjadi alasan kasus meninggalkan profesinya sebagai tani. Namun, lahan sawah yang sebelumnya menjadi mata pencaharian Bapak Sdr dan Bapak Drm, saat ini dikerjakan oleh kerabat dekatnya. Uang produksi tani sebagian ditanggung oleh Bapak Sdr dan Bapak Drm. Kemudian hasil penjualan tani dibagi secara merata. Kondisi ini memperlihatkan bahwa terdapat pemulung yang menginvestasikan penghasilan memulungnya di lahan sawah yang dimilikinya. Sebelum memutuskan berprofesi sebagai pemulung, kasus pula telah melakoni berbagai pekerjaan di sektor informal lainnya. Sebaliknya bila ditinjau dari faktor penarik (pull factors) maka sebabsebab para pemulung menetap di kota yakni: a. Para pemulung beranggapan bahwa di kota banyak pekerjaan yang akan didapatkannya sehingga penghasilan yang diterimanya juga banyak. Kasus Bapak Sdr, Bapak Swn, Ibu Msm beranggapan bahwa di kota menawarkan beragam pekerjaan yang dapat dengan mudah mereka dapatkan. Hal ini tentu berbeda dengan anggapan mereka terhadap daerah asalnya yang hanya mampu menawarkan pekerjaan sebagai tani dengan penghasilan minimum. b. Informasi mengenai kota dari kerabat pemulung yang sebelumnya telah merantau. Hal ini terlihat pada kasus Bapak Sdr yang mengajak turut serta anak dan menantunya (Bapak Drm dan Ibu Snr) untuk ikut bekerja sebagai pemulung. Bapak Sdr pula tidak segan-segan menginformasikan pekerjaan memulung kepada para tetangganya yang ingin hidup merantau di kota. Informasi yang diberikan Bapak Sdr meliputi suasana bekerja di kota dan penghasilan yang diterimanya dari pekerjaan memulung. Sehubungan dengan faktor penarik tersebut, dapat diketahui bahwa Depok menjadi salah satu kota tujuan bagi masyarakat desa yang ingin merantau dan mencari pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi mereka. Berkembangnya

105 Depok menjadi Kota Administratif pada tahun 1997 pula menjadi daya tarik tersendiri bagi para pemulung untuk menetap di kota ini. 8.2 Hubungan Patron dan Klien Hubungan yang terjalin antara bos pemulung dan pemulung termasuk ke dalam hubungan antara patron dan klien. Hal ini karena ciri-ciri patron-klien dapat ditemukan dalam hubungan yang terjalin diantara keduanya seperti : (1) bos pemulung berada dalam posisi lebih kuat, lebih tinggi dan lebih kaya dari pemulung, (2) terdapat sifat tatap muka, dimana bos pemulung mengenal baik pemulung yang menjadi anak buahnya, demikian pula sebaliknya. Interaksi yang terjalin bertambah kuat dan dekat sebab hubungan diantara keduanya dilandasi oleh rasa saling percaya, (3) sifat luwes dan meluas pada bos pemulung dengan pemulung yang tidak saja berkaitan dengan dengan ikatan kerja, tetapi juga pada hubungan pertemanan. Bos pemulung (patron) memiliki kewajiban untuk memberikan perhatian kepada kliennya layaknya seorang bapak kepada anaknya. Sebaliknya, pihak klien (pemulung) memiliki kewajiban untuk menunjukan perhatian dan kesetiaannya kepada patronnya layaknya anak kepada bapaknya. Eksistensi hubungan antara patron dan klien ini bergantung pada keselarasan antara patron dan kliennya dalam menjalankan hak dan kewajiban yang melekat pada masing-masing pihak dengan terjalinnya suatu hubungan yang saling menguntungkan. Keselarasan hubungan diantara patron dan klien ini ditunjukan pula pada hubungan non-bisnis atau non-ekonomi. Jaminan sosial non-bisnis yang diberikan bos pemulung terlihat pada beberapa bantuan yang diberikan bos pemulung kepada anak buahnya, seperti : peminjaman uang, perlindungan beroperasi memulung dan biaya perawatan bila sakit. Bantuan tersebut merupakan suatu kebutuhan bagi pemulung sehingga timbul perasaan nyaman dan dilindungi. Interaksi yang terjalin di lapak pemulung ini dipengaruhi oleh nilai-nilai yang dibawa klien dari desa. Nilai-nilai tersebut dianggap penting keberadaanya bagi klien. Sebab pada setiap masyarakat terdapat beberapa nilai yang dijunjung tinggi dan melekat dalam diri masing-masing. Nilai-nilai yang dapat ditemui

106 dalam lapak pemulung ini adalah rasa kekeluargaan diantara para pemulung, saling tolong menolong dan penggunaan bahasa masing-masing daerah dalam kehidupan sehari-hari seperti, bahasa jawa dan bahasa sunda. Tidak dapat dipungkiri, bahwa lambat laun berbagai nilai-nilai yang tertanam pada diri klien dapat terkikis oleh nilai-nilai yang berada dalam masyarakat perkotaan. Redfield (1960) menyatakan bahwa di dalam suatu kehidupan sosial yang lebih besar, kehidupan petani dianggap sebagai suatu lingkaran kecil yang bertumpang tindih dengan kebudayaan yang jauh lebih besar dan yang kurang jelas batasannya. Redfiled dalam bukunya juga menyatakan bahwa unsur-unsur di dalam kebudayaan yang lebih besar (Great tradition) mengalir pada komunitas-komunitas kecil yang memiliki kebudayaan kecil (Little tradition). Komunitas pemulung yang memiliki kebudayaan kecil dalam penelitian ini hidup berdampingan dengan sistem kebudayaan yang lebih besar, yakni kebudayaan masyarakat perkotaan. Oleh karena itu, nilai-nilai yang tertanam di para pemulung mengalami beberapa perubahan, seperti penggunaan pakaian ketika para pemulung tersebut pulang kampung. Bagi orang desa sendiri bentuk dan warna pakaian tidak menjadi soal, karena yang terpenting adalah fungsi pakaian yang dapat melindungi diri dari panas dan dingin. Pada sisi lain bagi masyarakat kota, nilai pakaian sebagai alat kebutuhan sosial untuk memperlihatkan kedudukan sosial bagi pemakainya. Proses perubahan tersebut disebut sebagai proses akulturasi, dimana suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan pada unsurunsur suatu kebudayaan asing yang berbeda sedemikan rupa, sehingga unsurunsur kebudayaan asing tersebut lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaannya sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri (Soekanto, 1990). 8.3 Kaitan Pola Interaksi dengan Kelembagaan Kelembagaan yang terkait dengan pemulung dianggap penting keberadaanya sebagai jalan untuk memenuhi tujuan masing-masing pihak. Muncul dan berkembangnya kelembagaan tersebut dipengaruhi oleh pola interaksi yang terjalin antar pemulung, pemulung dengan bos pemulung dan pemulung

107 dengan masyarakat setempat. Pada bab sebelumnya dapat diketahui bahwa pola interaksi yang terkait dengan pemulung masing-masing berbeda. Oleh karena itu, terdapat perbedaan level kelembagaan yang terkait dengan keberadaan pemulung. Perbedaan kelembagaan tersebut memiliki kekuatan mengikat yang berbedabeda. Kelembagaan yang terdapat diantara pemulung dalam satu lapak memiliki tingkatan yang lebih besar dan lebih mengikat. Secara sosiologis, norma yang terdapat di kalangan pemulung termasuk ke dalam norma tata kelakuan (mores). Tata kelakuan mencerminkan aturan-aturan yang telah diterima sebagai normanorma pengatur dan dijadikan sebagai alat pengawas oleh anggota-anggotanya. Norma tersebut terlihat pada aturan dilarang mencuri bagi setiap pemulung. Aturan yang dibuat para pemulung ini merupakan aturan yang tidak tertulis dan menjadi sebuah kesepakatan yang mengikat perilaku mereka ketika akan melakukan operasi memulung. Apabila para pemulung melanggar aturan ini maka konsekuensinya adalah diusir dari lapak pemulung di Kelurahan Beji. Konsekuensi yang berat membuat para pemulung ini tidak ada yang berani mencuri. Kelembagaan yang terdapat antara pemulung dengan bos pemulung memiliki tingkatan yang lebih rendah bila dibandingkan dengan kelembagaan yang terdapat diantara pemulung dengan pemulung lainnya dalam satu lapak. Secara sosiologis, norma yang terdapat di kalangan antar pemulung termasuk ke dalam norma kebiasaan (folkways). Norma ini meliputi cara-cara bertindak yang dilakukan berulang-ulang oleh pemulung dan bos pemulung. Norma kebiasaan tercermin pada perilaku yang diakui dan diterima oleh komunitas pemulung. Berbagai aturan tersebut dihasilkan melalui proses interaksi dan menghasilkan kesepakatan bersama antar pemulung dengan bos serta menjadi aturan yang mengikat perilaku pemulung. Norma tersebut terlihat aturan-aturan yang disepakati bersama, seperti pemulung tidak boleh menjual hasil barang pulungannya ke bos pemulung lain, harga ditentukan oleh bos, setiap pemulung melakukan penimbangan hasil memulung pada hari Kamis, penghasilan pemulung diberikan pada malam Kamis, cara memasukan kardus bekas dan barang pulungan lainnya, dilarang kumpul kebo, sopan terhadap warga masyarakat

108 sekitar dan dilarang bertikai dengan masyarakat setempat. Apabila aturan tersebut dilanggar maka sanksinya adalah berupa teguran, sindiran, atau perunjingan. Kelembagaan yang terdapat diantara pemulung dengan masyarakat setempat dan pemulung dengan pemerintah setempat memiliki tingkatan yang lebih rendah bila dibandingkan dengan kelembagaan lainnya. Hal ini disebabkan pola interaksi dan komunikasi yang terjalin diantara keduanya belum berjalan dengan baik. Secara sosiologis, norma yang terdapat diantara pemulung dengan masyarakat setempat termasuk ke dalam norma cara (usage). Norma ini menunjuk pada suatu perbuatan dengan sangsi yang sangat ringan berupa celaan dari masyarakat atau pemerintah apabila para pemulung melanggarnya. Pada umumnya cara pemulung melakukan operasi memulung di daerah perumahan pada pagi hari yakni sekitar pukul 07.00 wib dan kembali pada pukul 17.00 wib. Hal ini menyesuaikan dengan izin dari perumahan yang menyatakan bahwa pemulung dapat melakukan operasinya setelah jam 06.00 wib dan harus selesai pada pukul 17.00 wib. Aturan yang diberlakukan pemerintah setempat dalam hal ini pihak Kelurahan Beji, Kota Depok adalah anjuran agar para pemulung tetap menjaga kebersihan di lingkungan kelurahan Beji. Norma-norma yang terdapat di antara pemulung dalam satu lapak telah mengalami proses pelembagaaan. Proses pelembagaan terjadi ketika normanorma tersebut dikenal, diakui, dihargai dan kemudian ditaati dalam kehidupan pemulung sehari-hari. Aturan dilarang mencuri telah menjadi norma yang wajib ditaati oleh setiap anggota komunitas pemulung di lapak ini. Aturan ini pula menjadi bagian dari kehidupan pemulung di lapak yang dihargai keberadaanya. Berbeda dengan norma-norma yang terdapat diantara pemulung dalam satu lapak, norma-norma yang terdapat diantara pemulung dengan bos pemulung, masyarakat setempat dan pemerintah setempat belum mengalami proses pelembagaan. Hal ini disebabkan norma-norma tersebut belum ditaati oleh para pemulung. Bahkan norma-norma tersebut sebagian belum dikenal oleh para pemulung. Pola komunikasi dan interaksi yang tidak berjalan dengan baik menjadi faktor penyebabnya. Pada norma-norma yang terdapat diantara pemulung dengan bos pemulung hanya sebatas dikenal dan diakui. Para pemulung di lapak ini masih belum

109 menaati aturan-aturan yang diberikan oleh bos. Hal ini terjadi pada kasus Ibu Msm yang terkadang tidak menimbang barang hasil pulungannya pada hari yang telah ditetapkan bersama. Para pemulung pula terkadang melakukan negosiasi harga barang pulungan kepada bos pemulung. Padahal aturan yang telah disepakati bersama menyatakan harga setiap barang pulungan ditentukan oleh bos. Belum ditaatinya aturan yang sudah menjadi kesepakatan bersama antara bos pemulung dengan pemulung membuat norma-norma tersebut belum mengalami proses pelembagaan. Apabila norma-norma tersebut belum ditaati maka terdapat rasa kurang menghargai dari diri para pemulung terhadap keberadaan aturanaturan tersebut.