103 BAB VIII ANALISIS KOMUNITAS PEMULUNG 8.1 Keberadaan Pemulung Keberadaan pemulung yang menempati daerah pinggiran perkotaan maupun pusat perkotaan menjadi suatu fenomena sosial yang tidak dapat dihindari. Konsep komunitas menurut Ife (1995) dalam widianto (2008) dibagi menjadi dua, yaitu geographical community dan functional community. Geographical community adalah komunitas yang terikat atas kesamaan lokalitas atau satu kesatuan tempat tinggal. Functional community adalah komunitas yang terikat atau komunitas berdasarkan pada hal yang lebih umum yang menimbulkan identitas diri. Berdasarkan dua konsep komunitas tersebut maka pemulung pada penelitian ini dipandang sebagai suatu komunitas. Berdasarkan geographical community, para pemulung tinggal dan hidup bersama di satu lapak, yakni di Kelurahan Beji Kota Depok. Berdasarkan functional community, para pemulung memiliki kesamaan dalam bidang pekerjaan yang menimbulkan suatu identitas diri yang sama, yakni sebagai pemulung. Pada bab sebelumnya dapat diketahui bahwa umumya para pemulung berasal dari pedesaan. Untuk memperbaiki ekonomi rumah tangga para pemulung tersebut melakukan urbanisasi. Urbanisasi adalah suatu proses berpindahnya penduduk dari desa ke kota. Menurut Soekanto (1990), penyebab urbanisasi ini dapat dilihat dari dua sudut yakni: (1) Faktor yang mendorong penduduk desa untuk meninggalkan daerah kediamannya (push factors), dan (2) Faktor kota yang menarik penduduk desa untuk pindah dan menetap di kota (pull factors). Bila dianalisis dari faktor pendorong (push factors) maka sebab-sebab para pemulung meninggalkan tempat tinggalnya secara umum adalah sebagai berikut: a. Di desa lapangan kerja pada umumnya kurang. Hal ini terlihat pada kasus Mas Agk yang tidak mendapatkan pekerjaan di daerah asalnya. Oleh karena itu, Mas Agk memutuskan merantau ke kota untuk mendapatkan pekerjaan.
104 b. Penghasilan dari bertani belum mencukupi untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. Hal ini terlihat pada kasus Keluarga Bapak Sdr, Keluarga Bapak Drm, Keluarga Bapak Swn dan Ibu Msm yang sebelumnya berprofesi sebagai petani. Kerugian penjualan hasil tani akibat hama juga menjadi alasan kasus meninggalkan profesinya sebagai tani. Namun, lahan sawah yang sebelumnya menjadi mata pencaharian Bapak Sdr dan Bapak Drm, saat ini dikerjakan oleh kerabat dekatnya. Uang produksi tani sebagian ditanggung oleh Bapak Sdr dan Bapak Drm. Kemudian hasil penjualan tani dibagi secara merata. Kondisi ini memperlihatkan bahwa terdapat pemulung yang menginvestasikan penghasilan memulungnya di lahan sawah yang dimilikinya. Sebelum memutuskan berprofesi sebagai pemulung, kasus pula telah melakoni berbagai pekerjaan di sektor informal lainnya. Sebaliknya bila ditinjau dari faktor penarik (pull factors) maka sebabsebab para pemulung menetap di kota yakni: a. Para pemulung beranggapan bahwa di kota banyak pekerjaan yang akan didapatkannya sehingga penghasilan yang diterimanya juga banyak. Kasus Bapak Sdr, Bapak Swn, Ibu Msm beranggapan bahwa di kota menawarkan beragam pekerjaan yang dapat dengan mudah mereka dapatkan. Hal ini tentu berbeda dengan anggapan mereka terhadap daerah asalnya yang hanya mampu menawarkan pekerjaan sebagai tani dengan penghasilan minimum. b. Informasi mengenai kota dari kerabat pemulung yang sebelumnya telah merantau. Hal ini terlihat pada kasus Bapak Sdr yang mengajak turut serta anak dan menantunya (Bapak Drm dan Ibu Snr) untuk ikut bekerja sebagai pemulung. Bapak Sdr pula tidak segan-segan menginformasikan pekerjaan memulung kepada para tetangganya yang ingin hidup merantau di kota. Informasi yang diberikan Bapak Sdr meliputi suasana bekerja di kota dan penghasilan yang diterimanya dari pekerjaan memulung. Sehubungan dengan faktor penarik tersebut, dapat diketahui bahwa Depok menjadi salah satu kota tujuan bagi masyarakat desa yang ingin merantau dan mencari pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi mereka. Berkembangnya
105 Depok menjadi Kota Administratif pada tahun 1997 pula menjadi daya tarik tersendiri bagi para pemulung untuk menetap di kota ini. 8.2 Hubungan Patron dan Klien Hubungan yang terjalin antara bos pemulung dan pemulung termasuk ke dalam hubungan antara patron dan klien. Hal ini karena ciri-ciri patron-klien dapat ditemukan dalam hubungan yang terjalin diantara keduanya seperti : (1) bos pemulung berada dalam posisi lebih kuat, lebih tinggi dan lebih kaya dari pemulung, (2) terdapat sifat tatap muka, dimana bos pemulung mengenal baik pemulung yang menjadi anak buahnya, demikian pula sebaliknya. Interaksi yang terjalin bertambah kuat dan dekat sebab hubungan diantara keduanya dilandasi oleh rasa saling percaya, (3) sifat luwes dan meluas pada bos pemulung dengan pemulung yang tidak saja berkaitan dengan dengan ikatan kerja, tetapi juga pada hubungan pertemanan. Bos pemulung (patron) memiliki kewajiban untuk memberikan perhatian kepada kliennya layaknya seorang bapak kepada anaknya. Sebaliknya, pihak klien (pemulung) memiliki kewajiban untuk menunjukan perhatian dan kesetiaannya kepada patronnya layaknya anak kepada bapaknya. Eksistensi hubungan antara patron dan klien ini bergantung pada keselarasan antara patron dan kliennya dalam menjalankan hak dan kewajiban yang melekat pada masing-masing pihak dengan terjalinnya suatu hubungan yang saling menguntungkan. Keselarasan hubungan diantara patron dan klien ini ditunjukan pula pada hubungan non-bisnis atau non-ekonomi. Jaminan sosial non-bisnis yang diberikan bos pemulung terlihat pada beberapa bantuan yang diberikan bos pemulung kepada anak buahnya, seperti : peminjaman uang, perlindungan beroperasi memulung dan biaya perawatan bila sakit. Bantuan tersebut merupakan suatu kebutuhan bagi pemulung sehingga timbul perasaan nyaman dan dilindungi. Interaksi yang terjalin di lapak pemulung ini dipengaruhi oleh nilai-nilai yang dibawa klien dari desa. Nilai-nilai tersebut dianggap penting keberadaanya bagi klien. Sebab pada setiap masyarakat terdapat beberapa nilai yang dijunjung tinggi dan melekat dalam diri masing-masing. Nilai-nilai yang dapat ditemui
106 dalam lapak pemulung ini adalah rasa kekeluargaan diantara para pemulung, saling tolong menolong dan penggunaan bahasa masing-masing daerah dalam kehidupan sehari-hari seperti, bahasa jawa dan bahasa sunda. Tidak dapat dipungkiri, bahwa lambat laun berbagai nilai-nilai yang tertanam pada diri klien dapat terkikis oleh nilai-nilai yang berada dalam masyarakat perkotaan. Redfield (1960) menyatakan bahwa di dalam suatu kehidupan sosial yang lebih besar, kehidupan petani dianggap sebagai suatu lingkaran kecil yang bertumpang tindih dengan kebudayaan yang jauh lebih besar dan yang kurang jelas batasannya. Redfiled dalam bukunya juga menyatakan bahwa unsur-unsur di dalam kebudayaan yang lebih besar (Great tradition) mengalir pada komunitas-komunitas kecil yang memiliki kebudayaan kecil (Little tradition). Komunitas pemulung yang memiliki kebudayaan kecil dalam penelitian ini hidup berdampingan dengan sistem kebudayaan yang lebih besar, yakni kebudayaan masyarakat perkotaan. Oleh karena itu, nilai-nilai yang tertanam di para pemulung mengalami beberapa perubahan, seperti penggunaan pakaian ketika para pemulung tersebut pulang kampung. Bagi orang desa sendiri bentuk dan warna pakaian tidak menjadi soal, karena yang terpenting adalah fungsi pakaian yang dapat melindungi diri dari panas dan dingin. Pada sisi lain bagi masyarakat kota, nilai pakaian sebagai alat kebutuhan sosial untuk memperlihatkan kedudukan sosial bagi pemakainya. Proses perubahan tersebut disebut sebagai proses akulturasi, dimana suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan pada unsurunsur suatu kebudayaan asing yang berbeda sedemikan rupa, sehingga unsurunsur kebudayaan asing tersebut lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaannya sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri (Soekanto, 1990). 8.3 Kaitan Pola Interaksi dengan Kelembagaan Kelembagaan yang terkait dengan pemulung dianggap penting keberadaanya sebagai jalan untuk memenuhi tujuan masing-masing pihak. Muncul dan berkembangnya kelembagaan tersebut dipengaruhi oleh pola interaksi yang terjalin antar pemulung, pemulung dengan bos pemulung dan pemulung
107 dengan masyarakat setempat. Pada bab sebelumnya dapat diketahui bahwa pola interaksi yang terkait dengan pemulung masing-masing berbeda. Oleh karena itu, terdapat perbedaan level kelembagaan yang terkait dengan keberadaan pemulung. Perbedaan kelembagaan tersebut memiliki kekuatan mengikat yang berbedabeda. Kelembagaan yang terdapat diantara pemulung dalam satu lapak memiliki tingkatan yang lebih besar dan lebih mengikat. Secara sosiologis, norma yang terdapat di kalangan pemulung termasuk ke dalam norma tata kelakuan (mores). Tata kelakuan mencerminkan aturan-aturan yang telah diterima sebagai normanorma pengatur dan dijadikan sebagai alat pengawas oleh anggota-anggotanya. Norma tersebut terlihat pada aturan dilarang mencuri bagi setiap pemulung. Aturan yang dibuat para pemulung ini merupakan aturan yang tidak tertulis dan menjadi sebuah kesepakatan yang mengikat perilaku mereka ketika akan melakukan operasi memulung. Apabila para pemulung melanggar aturan ini maka konsekuensinya adalah diusir dari lapak pemulung di Kelurahan Beji. Konsekuensi yang berat membuat para pemulung ini tidak ada yang berani mencuri. Kelembagaan yang terdapat antara pemulung dengan bos pemulung memiliki tingkatan yang lebih rendah bila dibandingkan dengan kelembagaan yang terdapat diantara pemulung dengan pemulung lainnya dalam satu lapak. Secara sosiologis, norma yang terdapat di kalangan antar pemulung termasuk ke dalam norma kebiasaan (folkways). Norma ini meliputi cara-cara bertindak yang dilakukan berulang-ulang oleh pemulung dan bos pemulung. Norma kebiasaan tercermin pada perilaku yang diakui dan diterima oleh komunitas pemulung. Berbagai aturan tersebut dihasilkan melalui proses interaksi dan menghasilkan kesepakatan bersama antar pemulung dengan bos serta menjadi aturan yang mengikat perilaku pemulung. Norma tersebut terlihat aturan-aturan yang disepakati bersama, seperti pemulung tidak boleh menjual hasil barang pulungannya ke bos pemulung lain, harga ditentukan oleh bos, setiap pemulung melakukan penimbangan hasil memulung pada hari Kamis, penghasilan pemulung diberikan pada malam Kamis, cara memasukan kardus bekas dan barang pulungan lainnya, dilarang kumpul kebo, sopan terhadap warga masyarakat
108 sekitar dan dilarang bertikai dengan masyarakat setempat. Apabila aturan tersebut dilanggar maka sanksinya adalah berupa teguran, sindiran, atau perunjingan. Kelembagaan yang terdapat diantara pemulung dengan masyarakat setempat dan pemulung dengan pemerintah setempat memiliki tingkatan yang lebih rendah bila dibandingkan dengan kelembagaan lainnya. Hal ini disebabkan pola interaksi dan komunikasi yang terjalin diantara keduanya belum berjalan dengan baik. Secara sosiologis, norma yang terdapat diantara pemulung dengan masyarakat setempat termasuk ke dalam norma cara (usage). Norma ini menunjuk pada suatu perbuatan dengan sangsi yang sangat ringan berupa celaan dari masyarakat atau pemerintah apabila para pemulung melanggarnya. Pada umumnya cara pemulung melakukan operasi memulung di daerah perumahan pada pagi hari yakni sekitar pukul 07.00 wib dan kembali pada pukul 17.00 wib. Hal ini menyesuaikan dengan izin dari perumahan yang menyatakan bahwa pemulung dapat melakukan operasinya setelah jam 06.00 wib dan harus selesai pada pukul 17.00 wib. Aturan yang diberlakukan pemerintah setempat dalam hal ini pihak Kelurahan Beji, Kota Depok adalah anjuran agar para pemulung tetap menjaga kebersihan di lingkungan kelurahan Beji. Norma-norma yang terdapat di antara pemulung dalam satu lapak telah mengalami proses pelembagaaan. Proses pelembagaan terjadi ketika normanorma tersebut dikenal, diakui, dihargai dan kemudian ditaati dalam kehidupan pemulung sehari-hari. Aturan dilarang mencuri telah menjadi norma yang wajib ditaati oleh setiap anggota komunitas pemulung di lapak ini. Aturan ini pula menjadi bagian dari kehidupan pemulung di lapak yang dihargai keberadaanya. Berbeda dengan norma-norma yang terdapat diantara pemulung dalam satu lapak, norma-norma yang terdapat diantara pemulung dengan bos pemulung, masyarakat setempat dan pemerintah setempat belum mengalami proses pelembagaan. Hal ini disebabkan norma-norma tersebut belum ditaati oleh para pemulung. Bahkan norma-norma tersebut sebagian belum dikenal oleh para pemulung. Pola komunikasi dan interaksi yang tidak berjalan dengan baik menjadi faktor penyebabnya. Pada norma-norma yang terdapat diantara pemulung dengan bos pemulung hanya sebatas dikenal dan diakui. Para pemulung di lapak ini masih belum
109 menaati aturan-aturan yang diberikan oleh bos. Hal ini terjadi pada kasus Ibu Msm yang terkadang tidak menimbang barang hasil pulungannya pada hari yang telah ditetapkan bersama. Para pemulung pula terkadang melakukan negosiasi harga barang pulungan kepada bos pemulung. Padahal aturan yang telah disepakati bersama menyatakan harga setiap barang pulungan ditentukan oleh bos. Belum ditaatinya aturan yang sudah menjadi kesepakatan bersama antara bos pemulung dengan pemulung membuat norma-norma tersebut belum mengalami proses pelembagaan. Apabila norma-norma tersebut belum ditaati maka terdapat rasa kurang menghargai dari diri para pemulung terhadap keberadaan aturanaturan tersebut.