BAB II TINJAUAN PUSTAKA. terpisah, tetapi kedua lembaga tersebut menggunakan variabel yang hampir sama

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA. diterapkan pada level nasional adalah produktivitas yang didefinisikannya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Daya saing daerah menurut definisi yang dibuat UK-DTI adalah

Michael Porter (1990, dalam PPSK-BI dan LP3E FE UNPAD 2008) input yang dicapai oleh perusahaan. Akan tetapi, baik Bank Dunia, Porter, serta

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Konsep daya saing global menurut Michael Porter (1990) menyatakan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. standar proses, mendefenisikan daya saing adalah kemampuan untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Daya Saing Dalam Teori Perdagangan Internasional. perusahaan, sektor, maupun ekonomi (negara), sudah seumur perdagangan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan pencapaian sebuah tujuan yang lebih baik oleh suatu negara dalam

ANALISIS DETERMINAN DAYA SAING EKONOMI DI KABUPATEN LABUHANBATU UTARA. Ella Yuwina Siregar Inggrita Gusti Sari NST, SE., M.

Pengembangan daya saing daerah kabupaten/kota di propinsi jawa timur berdasarkan Potensi daerahnya

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

Daya Saing Kota-Kota Besar di Indonesia

Semarang, 14 Mei 2008 ISBN :

Daya Saing Global Indonesia versi World Economic Forum (WEF) 1. Tulus Tambunan Kadin Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. tetap terbuka pada persaingan domestik. Daya saing daerah mencakup aspek yang

ANALISIS DAYA SAING EKONOMI KOTA TANJUNGBALAI. Evita Khairani Nasution Paidi Hidayat, S.E., M.Si, ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. digunakan untuk perusahaan dan negara. Pemikiran Michael Porter banyak

SKRIPSI ANALISIS DAYA SAING INVESTASI DI KOTA PEMATANG SIANTAR OLEH AHMAD PAPIN HERDIAN

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini

I. PENDAHULUAN. Iklim investasi yang baik akan mendorong terjadinya pertumbuhan

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ANALSIS DAYA SAING EKONOMI KOTA MEDAN. Paidi Hidayat Dosen Departemen Ekonomi Pembangunan FE USU ABSTRACT

BAB I PENDAHULUAN. Pada era otonomi daerah ini pemerintah Kabupaten/Kota di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Boks 2. PERINGKAT DAYA SAING INVESTASI DAERAH PROVINSI JAMBI

BAB I PENDAHULUAN. Kondisi ekonomi di Kalimantan Timur periode , secara umum

LD NO.14 PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL I. UMUM

ANALISIS DAYA SAING EKONOMI KABUPATEN SERDANG BEDAGAI. Tengku Siti Fatimah Paidi Hidayat, SE, M.Si ABSTRACT

PENDAHULUAN. perubahan struktur sosial, sikap hidup masyarakat, dan perubahan dalam

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan. terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang pulau.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Master Plan

Arahan Peningkatan Daya Saing Daerah Kabupaten Kediri

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Di era globalisasi saat ini, tingkat daya saing menjadi tolak ukur yang

ANALISIS DAYA SAING EKONOMI DI KABUPATEN LABUHANBATU SELATAN. Paicakra Prianti Inggrita Gusti Sari Nasution, SE, M.Si ABSTRACT

BAB I PENDAHULUAN. wilayah. Karena pada dasarnya, investasi merupakan satu pengeluaran

BOKS 1. Posisi Daya Saing Kabupaten/Kota Di Sulawesi Tenggara

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

KATA PENGANTAR. Terima kasih. Tim Penyusun. Penyusunan Outlook Pembangunan dan Indeks Daya Saing Infrastruktur

PRESS RELEASE. LAPORAN STUDI IMD LM FEB UI Tentang Peringkat Daya Saing Indonesia 2017

6. ANALISIS DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kebijakan di dalam pengembangan UKM

BAB I PENDAHULUAN. Era globalisasi ekonomi telah membawa pembaharuan yang sangat cepat

BAB II LANDASAN TEORI. (PDRB) di Kota Salatiga tahun Adapun teori-teori yang ditulis

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan nasional merupakan usaha peningkatan kualitas manusia, yang

Jakarta, 10 Maret 2011

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Peningkatan Daya Saing Industri Manufaktur

Analisis Pertumbuhan Ekonomi Kab. Lamandau Tahun 2013 /

I. PENDAHULUAN. percepatan terwujudnya peningkatan kesejahteraan seluruh rakyat (Bappenas,

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. ekonomi terbesar di dunia pada tahun Tujuan pemerintah tersebut

BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH. 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya;

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN Latar belakang. Perkembangan ekonomi global memberikan sinyal akan pentingnya

II. TINJAUAN PUSTAKA

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang. Tabel 1 Peringkat daya saing negara-negara ASEAN tahun

2 TINJAUAN PUSTAKA Konsep Pengembangan Wilayah

BAB I PENDAHULUAN. Dalam era perdagangan bebas saat ini, telah terjadi perubahan secara

VI. RANCANGAN PROGRAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN MELALUI PENGEMBANGAN PETERNAKAN

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

ANALISIS DAYA SAING EKONOMI KABUPATEN BATU BARA. Suci Ana Winta Ritonga Paidi Hidayat, SE, M.Si ABSTRACT

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara berkembang yang sedang membangun, membutuhkan dana yang cukup besar untuk membiayai pembangunan.

PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Pertumbuhan Ekonomi Negara di Dunia Periode (%)

BAB VI SASARAN, INISITIF STRATEJIK DAN PROGRAM PEMBANGUNAN KEMENTERIAN KOPERASI DAN UKM

PERAN INVESTASI DALAM PEMBANGUNAN ACEH. Badan perencanaan pembangunan daerah bappeda aceh

PEMETAAN DAYA SAING PERTANIAN INDONESIA. Saktyanu K. Dermoredjo

Pengembangan Daya Saing Daerah Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Timur berdasarkan Potensi Daerahnya

EVALUASI DAMPAK PEMBANGUNAN EKONOMI BAGI KESEJAHTERAAN MASYARAKAT DI WILAYAH KABUPATEN PURBALINGGA TAHUN 2003 Oleh: Irma Suryahani 1) dan Sri Murni 2)

Terwujudnya Kota Mojokerto sebagai Service City yang Maju, Sehat, Cerdas, Sejahtera dan Bermoral.

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi pada dasarnya bervariasi antarwilayah, hal ini

BAB I PENGANTAR. Gejolak krisis ekonomi yang dialami Amerika Serikat dan beberapa negara

BAB I PENDAHULUAN. dari definisi ini bahwa pembangunan ekonomi mempunyai tiga sifat penting

MATRIK 2.3 RENCANA TINDAK PEMBANGUNAN KEMENTERIAN/ LEMBAGA TAHUN 2011

BAB 5 KESIMPULAN DAN PENUTUP

Lampiran 1 Daftar Indikator

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. mesin pertumbuhan (engine of growth). Kota yang memiliki aspek pembangunan

Abstrak. Abstract. Undip, Vol VII, No 1, Januari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sarana pembangunan, transportasi dan komunikasi, komposisi industri, teknologi,

BAB I PENDAHULUAN. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dibuat dan dipopulerkan oleh United Nations

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

II PENDAHULUAN PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. Secara defenitif, pada awalnya pengertian pembangunan ekonomi diberi

MENINGKATKAN INVESTASI DAN DAYA SAING PRODUK UNGGULAN

SKOR INDONESIA DALAM WORLD GOVERNANCE INDICATORS 2012

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pertumbuhan ekonomi berarti perkembangan kegiatan dalam. perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksi dalam

BAB III TUJUAN, SASARAN, PROGRAM DAN KEGIATAN

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian dan kesejahteraan suatu negara yaitu dengan meningkatkan faktor

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN PENGOLAHAN DAN PEMASARAN HASIL PETERNAKAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (self balance), ketidakseimbangan regional (disequilibrium), ketergantungan

BAB IV LANDASAN PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN UMKM

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pembangunan ekonomi, pertumbuhan ekonomi, dan teori konvergensi.

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat menjadi meningkat (Atmanti, 2010). perekonomian. Secara lebih jelas, pengertian Produk Domestik Regional Bruto

III. KERANGKA PENDEKATAN STUDI DAN HIPOTESIS

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN

NARASI MENTERI PERINDUSTRIAN RI Pembangunan Industri yang Inklusif dalam rangka Mengakselerasi Pertumbuhan Ekonomi yang Berkualitas

I. PENDAHULUAN. Keberhasilan perekonomian suatu negara dapat diukur melalui berbagai indikator

ANALISIS DAYA SAING EKONOMI KOTA BINJAI PROVINSI SUMATERA UTARA. Muhammad Sefti Arif Lubis Paidi Hidayat, S.E., M.Si. ABSTRACT

PROVINSI SULAWESI SELATAN

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daya Saing Global World Economic Forum (WEF) dan International Institute for Management Development (IMD) merupakan dua institusi yang sering dijadikan referensi untuk daya saing global. Walaupun mereka menerbitkan kajian daya saing global secara terpisah, tetapi kedua lembaga tersebut menggunakan variabel yang hampir sama untuk mengukur daya saing. Namun demikian, terdeapat ketidakcocokan yang cukup signifikan dalam urutan negara antar kedua laporan tersebut. Hal ini kemungkinan karena mereka menggunakan metodologi yang berbeda sehingga bobot dari masing-masing variabel juga berbeda. World Economic Forum (WEF) mempublikasikan laporan daya saing untuk level negara yang bertajuk Global Competitiveness Report sejak tahun 1979. Selama lima tahun sebelum laporan tahun 2006-2007, WEF menggunakan Growth Competitiveness Index untuk mengetahui daya saing suatu negara. Dengan pertimbangan semakin majunya penelitian ekonomi, semakin pentingnya factor dimensi internasional, dan juga semakin luasnya cakupan negara, maka publikasi 2006-2007 dilakukan perubahan metodologi. Dengan tujuan mengembangkan suatu metode yang dapat memasukkan factor-faktor yang ditenggarai mempengaruhi daya saing negara secara umum, laporan untuk tahun 2006-2007 mengaplikasikan suatu indeks yang disebut Global Competitiveness Index sebagai perbaikan dari indeks yang digunakan sebelumnya untuk pemeringkatan daya saing antar negara. 7

Untuk melihat daya saing antar negara secara lebih detail dari sisi mikroekonomi, WEF juga mengembangakan suatu indeks yang disebut Business Competitiveness Index. Business Competitiveness Index meranking negara-negara berdasarkan pemeringkatan daya saing mikroekonominya (Microeconomics Competitiveness) dan mengidentifikasi keunggulan serta keterbatasan dari daya saing suatu negara dalam hal kondisi lingkungan usaha dan kegiatan dan streategi perusahaan. 2.2 Daya Saing Daerah Berbeda dengan WEF dan IMD, European Competitiveness Index merupakan publikasi tentang pemeringkatan daya saing yang mengukur, membandingkan dan meneliti daya saing bukan saja hanya antar negara, tetapi juga antar daerah di Eropa. Sejak publikasi pertama tahun 2004, keadaan dari Uni Eropa telah berubah secara dramatis. Sehingga dalam publikasi European Competitiveness Index 2006, negara yang dimasukkan ke dalam pemeringkatan bertambah sepuluh negara. Hal ini sesuai dengan bertambahnya negara yang menjadi anggota negara yang tergabung dalam Uni Eropa. Sejalan dengan hal tersebut sehingga dengan sendirinya, daerah yang dimasukkan ke dalam pemeringkatan pun bertambah. Di samping itu, sedikit berbeda dengan publikasi tahun 2004, European Competitiveness Index 2006 lebih menekankan analisis terhadap daya saing daerah. Hal ini merupakan cerminan dari semakin meningkatnya konsesus yang menyatakan bahwa daerah merupakan unit spasial yang bersaing untuk menarik masuknya investasi, dan tingkat dimana transfer pengetahuan menyebar, sehingga 8

menghasilkan aglomerasi atau klaster dari perusahaan-perusahaan jasa dan industri. Sementara itu, metodologi yang dikembangkan dalam European Competitiveness Index adalah Model Tiga Faktor (Three Factor Model). Model tersebut merupakan kerangka kerja liniear untuk menganalisis daya saing berdasarkan faktor: (1) input; (2) output; dan (3) outcome. Variabel-variabel yang digunakan sebagai dasar pemeringkatan daya saing mencakup variabel-variabel yang mewakili indikator-indikator sebagai berikut: (1) kreativitas; (2) kinerja ekonomi; (3) infrastrukur dan aksesibilitas; (4) tenaga kerja terdidik; (5) pendidikan. Variabel-variabel dari kelima indikator ini tersebar ke dalam faktor input, outout dan outcome. Pemeringkatan daya saing daerah juga dilakukan oleh UK dalam UK Competitiveness Index yang pertama kali dipublikasikan pada tahun 2000. Laporan ini didesain sebagai ukuran daya saing terintegrasi yang difokuskan pada perkembangan dan sustainabilitas dunia usaha serta kesejahteraan ekonomi masyarakat. Sejak pertama kali diperkenalkan, jumlah indikator dan variabel indeks daya saing daerah telah banyak mengalami perluasan. Namun demikian, metodologi yang dikembangkan kurang lebih sama. Sama halnya dengan European Competitiveness Index, metodologi yang dikembangakn dalam UK Competitiveness Index juga menggunakan Model Tiga Faktor (Three Factor Model) yang terdiri dari kerangka kerja liniear untuk menganalisis daya saing berdasarkan faktor: (1) input; (2) output; dan (3) outcome. Ketiga faktor tersebut terdiri dari variabel-variabel pembentuknya, dimana ketiganya diberikan bobot 9

yang sama, dengan alasan adanya hipotesis yang menyatakan bahwa satu sama lain saling berkaitan dan secara ekonomi yang satu dibatasi oleh yang lainnya. Untuk Indonesia, studi daya saing daerah juga pernah dilakukan oleh Bank Indonesia dan FE UNPAD tahun 2001. Studi tersebut mencakup tingkat provinsi. Daya saing daerah dalam studi tersebut didefinisikan sebagai :kemampuan perekonomian daerah dalam mencapai pertumbuhan tingkat kesejahteraan yang tinggi dan berkelanjutan dengan tetap terbuka pada persaingan domestik dan internasional. Temuan yang diperoleh dari penelitian tersebut adalah daerahdaerah yang pada tahun 2001 mengalami konflik dan gangguan keamanan mempunyai peringkat yang tidak baik. Provinsi Aceh, Maluku, dan Provinsi Irian Jaya merupakan daerah-daerah yang mempunyai daya saing daerah yang terburuk. Secara berturut-berturut peringkat provinsi untuk Provinsi Aceh dan Irian Jaya adalah 26 dan 24. Jumlah provinsi yang diteliti mencapai 26 provinsi. Studi mengenai daya saing daerah di Indonesia juga dilakukan oleh Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD). Studi KPPOD ini lebih fokus pada daya saing investasi untuk tingkat kabupaten/kota. Pada tahun 2005, studi yang dilakukan oleh KPPOD mencakup 228 kabupaten/kota seluruh Indonesia. KPPOD (2005) menyatakan bahwa investasi yang akan masuk ke suatu daerah akan bergantung kepada daya saing investasi yang dimiliki oleh suatu daerah yang bersangkutan. Faktor pembentuk daya saing investasi terus berkembang. Faktor yang ditenggarai oleh KPPOD adalah faktor kelembagaan, faktor keamanan, politik, sosial budaya, faktor ekonomi daerah, faktor tenaga kerja dan faktor infrastruktur 10

fisik. Masing-masing faktor tersebut dijabarkan dalam variabel-variabel yang secara keseluruhan berjumlah 14 variabel, jumlah ini secara konsisten dijaga oleh KPPOD dalam studinya. Selanjutnya, masing-masing variabel tersebut dijabarkan lagi dalam indikator-indiaktor yang secara keseluruhan, untuk tahun 2005, berjumlah 47 indikator. Masing-masing factor, variabel dan indicator yang telah di identifikasi selanjutnya akan dilakukan pembobotan. KPPOD menggunakan metode Analytical Hierarchy Process (AHP) untuk melakukan pembobotannyaa. Hasil temuan KPPOD menyebutkan bahwa ada dua karakteristik yang umumnya dimiliki oleh daerah-daerah yang mempunyai daya saing tinggi. Pertama, daerah-daerah tersebut memiliki kondisi perekonomian yang baik. Kedua, daerah yang mempunyai daya saing tinggi adalah daerah yang memiliki kondisi keamanan, politik, sosial budaya, dan birokrasi yang yang ramah terhadap kegiatan usaha. Kombinasi antara kedua faktor dan ketersediaan tenaga kerja yang cukup dengan kualitas yang baik dan infrastrukur fisik yang memadai akan mendukung perkembangan usaha. 2.3 Konsep dan Defenisi Daya Saing 2.3.1 Konsep dan Defenisi Daya Saing Global (Global Competitiveness) Michael Porter (1990) menyatakan bahwa konsep daya saing yang dapat diterapkan pada level nasional adalah produktivitas yang didefinisikannya sebagai nilai output yang dihasilkan oleh seorang tenaga kerja. Bank dunia menyatakan hal yang relative sama dimana daya saing mengacu kepada besaran serta laju perubahan nilai tambah per unit input yang dicapai oleh perusahaan. Akan tetapi, baik Bank Dunia, Porter, serta literature-literatur terkini mengenai 11

daya saing nasional memandang bahwa daya saing tidak secara sempit mencakup hanya sebatas tingkat efisiensi suatu perusahaan. Daya saing mencakup aspek yang lebih luas, tidak berkutat hanya pada level mikro perusahaan, tetapi juga mencakup aspek diluar perusahaan seperti iklim berusaha (business environment) yang jelas-jelas diluar kendali suatu perusahaan. Aspek-aspek tersebut dapat bersifat firm-specific, region-specific, dan bahkan country-specific. World Economic Forum (WEF), suatu lembaga yang secara rutin menerbitkan Global Competitiveness Report, mendefenisikan daya saing nasional secara lebih luas namun dalam kalimat yang singkat dan sederhana. WEF mendefenisikan daya saing nasional sebagai kemampuan perekonomian nasional untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan. Fokusnya kemudian adalah pada kebijakan-kebijakan yang tepat, institusi-institusi yang sesuai, serta karakteristik-karakteristik ekonomi lain yang mendukung terwujudnya pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan tersebut. Lembaga lain yang dikenal luas dalam literatur daya saing nasional adalah Institute of Management Development (IMD) dengan publikasinya World Competitiveness Yearbook. Secara lengkap dan relative lebih formal IMD mendefenisikan daya saing nasional sebagai kemampuan suatu negara dalam menciptakan nilai tambah dalam rangka menambah kekayaan nasional dengan cara mengelola asset dan proses, daya tarik dan agresivitas, globality dan proximity, serta dengan mengintegrasikan hubungan-hubungan tersebut kedalam suatu model ekonomi dan sosial. Dengan perkataan yang lebih sederhana, daya saing nasional adalah suatu konsep yang mengukur dan membandingkan seberapa 12

baik suatu negara dalam menyediakan suatu iklim tertentu yang kondusif untuk mempertahankan daya saing domestic maupun global kepada perusahaanperusahaan yang berada di wilayahnya. 2.3.2 Konsep dan Defenisi Daya Saing Daerah (Regional Competitiveness) Literatur yang secara eksplisit dan spesifik melakukan studi tentang daya saing daerah, yaitu daya saing suatu wilayah di dalam suatu negara (regions atau sub-nations), lebih sulit ditemukan dibandingkan dengan publikasi mengenai daya saing negara. Dua diantaranya dilakukan oleh Departemen Perdagangan dan Industri Inggris (UK-DTI) yang menerbitkan Regional Competitiveness Indicators, serta Centre for Urban and Regional Studies (CURDS), Inggris, dengan publikasinya The Competitiveness Project: 1998 Regional Bench Marking Report. Daya saing daerah menurut defenisi yang dibuat UK-DTI adalah kemempuan suatu daerah dalam menghasilkan pendapatan dan kesempatan kerja yang tinggi dengan tetap terbuka terhadap persaingan domestik maupun internasional. Sementara itu CURDS mendefenisikan daya saing daerah sebagai kemampuan sector bisnis atau perusahaan pada suatu daerah dalam menghasilkan pendapatan yang tinggi serta tingkat kekayaan yang lebih merata untuk penduduknya. Secara umum, ketika membandingkan kedua defenisi daya saing daerah diatas dengan defenisi daya saing nasional yang dibahas sebelumnya, terdapat kesamaan yang essensial. Dapat dikatakan bahwa perbedaan konsep daya saing hanya terpusat pada cakupan wilayah, dimana yang pertama adalah daerah (bagian suatu negara), sementara yang kedua adalah negara. Dalam berbagai 13

pembahasan tentang daya saing nasional pun, baik secara eksplisit maupun implicit, terangkum relevansi pengadopsian konsep daya saing nasional kedalam konsep daya saing daerah. Bank dunia misalnya, secara eksplisit menyebutkan betapa aspek penentu daya saing dapat bersifat region-specific. Walaupun diliat dari substansinya pengadopsian konsep daya saing nasional ke dalam konsep daya saing daerah adalah relevan, namun dalam prakteknya beberapa penyesuaian perlu untuk dilakukan. Kompetisi ekonomi antar negara yang berdaulat tentu tidak mutlak sama dengan kompetisi antar daerah dalam suatu negara. Beberapa prinsip perlu disesuaikan. Contohnya adalah bagaimana kita mendefenisikan keterbukaan ekonomi, atau bagaimana memperlakukan aspek-aspek yang variasinya hanya ada kalau diperbandingkan antar negara. Dari pembahasan tentang berbagai konsep dan defenisi tentang daya saing suatu negara atau daerah sebagaimana diuraikan diatas, dapat diambil satu kesimpulan bahwa dalam mendefenisikan satu kesimpulan bahwa dalam mendefenisikan daya saing perlu diperhatikan beberapa hal sebagai berikut: Daya saing mencakup aspek yang lebih luas dari sekedar produktifitas atau efisiensi pada level mikro. Hal ini memungkinkan kita lebih memilih mendefenisikan daya saing sebagai kemampuan suatu perekonomian daripada kemampuan sektor swasta atau perusahaan. Pelaku ekonomi (economic agent) bukan hanya perusahaan akan tetapi juga rumah tangga, pemerintah dan lain-lain. Semuanya berpadu dalam suatu system ekonomi yang sinergis. Tanpa memungkiri peran besar sector swasta perusahaan dalam perekonomian, focus perhatian tidak hanya pada itu saja. 14

Hal ini diupayakan dalam rangka menjaga luasnya cakupan konsep daya saing. Tujuan dan hasil akhir dari meningkatnya daya saing suatu perekonomian tak lain adalah meningkatnya tingkat kesejahteraan penduduk di dalam perekonomian tersebut. Kesejahteraan (level of living) adalah konsep yang maha luas yang pasti tidak hanya tergambarkan dalam sebuah besaran variabel seperti pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi dalam rangka peningkatan standar kehidupan masyarakat. Kata kunci dari konsep daya saing adalah kompetisi. Disinilah peran keterbukaan terhadap kompetisi dengan para competitor menjadi relevan. Kata daya saing menjadi kehilangan maknanya pada suatu perekonomian yang tertutup. 2.4 Indikator Utama Daya Saing Daerah Dari berbagai literatur, teori ekonomi, serta berbagai diskusi, indikatorindikator utama yang dianggap menentukan daya saing daerah yaitu: (Abdullah dkk : 17) A. Perekonomian Daerah Perekonomian daerah merupakan ukuran kinerja secara umum dari perekonomian makro (daerah) yang meliputi penciptaan nilai tambah, akumulasi kapital, tingkat konsumsi, kinerja sektoral, perekonomian, serta tingkat biaya hidup. Indicator kinerja ekonomi makro mempengaruhi daya saing daerah melalui prinsip-prinsip sebagai berikut: 15

1. Nilai tambah merefleksikan produktivitas perekonomian setidaknya dalam jangka pendek. 2. Akumulasi modal mutlak diperlukan untuk meningkatkan daya saing dalam jangka panjang. 3. Kemakmuran suatu daerah mencerminkan kinerja ekonomi di masa lalu. 4. Kompetisi yang didorong mekanisme pasar akan meningkatkan kinerja ekonomi suatu daerah. Semakin ketat kompetisi pada suatu perekonomian daerah, maka akan semakin kompetitif perusahaan-perusahaan yang akan bersaing secara internasional maupun domestik. B. Keterbukaan Indikator keterbukaan merupakan ukuran seberapa jauh perekonomian suatu daerah berhubungan dengan daerah lain yang tercermin dari perdagangan daerah tersebut dengan daerah lain dalam cakupan nasional maupun internasional, indicator ini menentukan daya saing melalui prinsip-prinsip sebagai berikut: 1. Keberhasilan suatu daerah dalam perdagangan internasional merefleksikan daya saing perekonomian daerah tersebut. 2. Keterbukaan suatu daerah baik dalam perdagangan domestic maupun internasional meningkatkan kinerja perekonomiannya. 3. Investasi internasional mengalokasikan sumber daya secara lebih efisien ke seluruh penjuru dunia. 4. Daya saing yang didorong oleh ekspor terkait dengan orientasi pertumbuhan perekonomian daerah. 16

5. Mempertahankan standar hidup yang tinggi mengharuskan integrasi dengan ekonomi internasional. C. Sistem Keuangan Indikator system keuangan merefleksikan kemampuan sistem finansial perbankan dan non-perbankan di daerah untuk memfasilitasi aktivitas perekonomian yang memberikan nilai tambah. Sistem keuangan suatu daerah akan mempengaruhi alokasi faktor-faktor produksi yang terjadi di perekonomian daerah tersebut. Indicator system keuangan ini mempengaruhi daya saing daerah melalui prinsip-prinsip sebagai berikut: 1. Sistem keuangan yang baik mutlak diperlukan dalam memfasilitasi aktivitas perekonomian daerah. 2. Sektor keuangan yang efisien dan terintegrasi secara internasional mendukung daya saing daerah. D. Infrastruktur dan Sumber Daya Infrastruktur dalam hal ini merupakan indikator seberapa besar sumber daya seperti modal fisik, geografis, dan sumber daya alam dapat mendukung aktivitas perekonomian daerah yang bernilai tambah. Indikator ini mendukung daya saing daerah melalui prinsip-prinsip sebagai berikut: 1. Modal fisik berupa infrastruktur baik ketersediaan maupun kualitasnya mendukung aktivitas ekonomi daerah. 2. Modal alamiah baik berupa kondisi geografis maupun kekayaan alam yang terkandung di dalamnya juga mendorong aktifitas perekonomian daerah. 17

3. Teknologi informasi yang maju merupakan infrastruktur yang mendukung berjalannya aktifitas bisnis di daerah yang berdaya saing. E. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Ilmu pengetahuan dan teknologi mengukur kemampuan daerah dalam ilmu pengetahuan dan teknologi serta penerapannya dalam aktifitas ekonomi yang meningkatkan nilai tambah. Indicator ini mempengaruhi daya saing daerah melalui beberapa prinsip dibawah ini: 1. Keunggulan kompetitif dapat dibangun melalui aplikasi teknologi yang sudah ada secara efisien dan inovatif. 2. Investasi pada penelitian dasar dan aktifitas yang inovatif yang menciptakan pengetahuan baru sangat krusial bagi daerah ketika melalui tahapan pembangunan ekonomi yang lebih maju. 3. Investasi jangka pendek berupa R&D akan meningkatkan daya saing sector bisnis. F. Sumber Daya Manusia Indikator sumber daya manusia dalam hal ini ditujukan untuk mengukur ketersediaan dan kualitas sumber daya manusia. Factor SDM ini mempengaruhi daya saing daerah berdasarkan prinsip-prinsip berikut: 1. Angkatan kerja dalam jumlah besar dan berkualitas akan meningkatkan daya saing suatu daerah. 2. Pelatihan dan pendidikan adalah cara yang paling baik dalam meningkatkan tenaga kerja yang berkualitas. 18

3. Sikap dan nilai yang dianut oleh tenaga kerja juga menentukan daya saing suatu daerah. 4. Kualitas hidup masyarakat suatu daerah menentukan daya saing daerah tersebut begitu juga sebaliknya. G. Kelembagaan Kelembagaan merupakan indikator yang mengukur seberapa jauh iklim social, politik, hukum dan aspek keamanan mampu mempengaruhi secara positif aktivitas perekonomian di daerah. Pengaruh factor kelembagaan terhadap daya saing daerah didasarkan pada beberapa prinsip sebagai berikut: 1. Stabilitas social dan politik melalui system demokrasi yang berfungsi dengan baik merupakan iklim yang kondusif dalam mendorong aktivitas ekonomi daerah yang berdaya saing. 2. Peningkatan daya saing ekonomi suatu daerah tidak akan dapat tercapai tanpa adanya sistem hukum yang baik serta penegakan hukum yang independen. 3. Aktifitas perekonomian suatu daerah tidak akan dapat berjalan secara optimal tanpa didukung oleh situasi keamanan yang kondusif. H. Govermance dan Kabijakan Pemerintah Indikator governance dan kebijakan pemerintah dimaksudkan sebagai ukuran dari kualitas administrasi pemerintahan daerah, khususnya dalam rangka menyediakan infrastruktur fisik dan peraturan-peraturan daerah. Secara umum pengaruh factor governace dan kebijakan pemerintah bagi daya saing daerah dapat didasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut: 19

1. Dengan tujuan menciptakan iklim persaingan yang sehat intervensi pemerintah dalam perekonomian sebaiknya diminimalkan. 2. Pemerintah daerah berperan dalam menciptakan kondisi social yang terprediksi serta berperan pula dalam meminimalkan resiko bisnis. 3. Efektifitas administrasi pemerintahan daerah dalam menyediakan infrastruktur dan aturan-aturan berpengaruh terhadap daya saing ekonomi suatu daerah. 4. Efektifitas pemerintah daerah dalam melakukan koordinasi dan menyediakan informasi tertentu pada sector swasta mendukung daya saing ekonomi suatu daerah. 5. Fleksibilitas pemerintah daerah dalam menyesuaikan kebijakan ekonomi merupakan factor yang kondusif dalam mendukung peningkatan daya saing daerah. I. Manajemen dan Ekonomi Mikro Dalam indikator manajemen dan ekonomi mikro pengukuran yang dilakukan dikaitkan dengan pertanyaan seberapa jauh perusahaan di daerah dikelola dengan cara yang inovatif, menguntungkan dan bertanggung jawab. Prinsip-prinsip yang relevan terhadap daya saing daerah diantaranya: 1. Rasio harga/kualitas yang kompetitif dari suatu produk mencerminkan kemampuan managerial perusahaan-perusahaan yang berada di suatu daerah. 2. Orientasi jangka panjang manajemen perusahaan akan meningkatkan daya saing daerah dimana perusahaan tersebut berada. 20

3. Efisiensi dalam aktivitas perekonomian ditambah dengan kemampuan menyesuaikan diri terhadap perubahan adalah keharusan bagi perusahaan yang kompetitif. 4. Kewirausahaan sangat krusial bagi aktifitas ekonomi pada masa-masa awal. 5. Dalam usaha yang sudah mapan, manajemen perushaan memerlukan keahlian dalam mengintegrasikan serta membedakan kegiatan-kegiatan usaha. 2.5 Penelitian Terdahulu Penelitian terdahulu dijelaskan secara sistematis mengenai hasil-hasil penelitian yang didapat dan berkaitan dengan penelitian yang dilakukan. Beberapa penelitian mengenai daya saing daerah telah dipublikasikan diberbagai jurnal ekonomi dan kajian ilmiah. Penelitian pertama dilakukan oleh KPPOD (2005) dalam penelitiannya yang berjudul Daya Saing Investasi Kabupaten/Kota di Indonesia. Hasil dari penelitiannya mengatakan bahwa faktor keamanan, politik, dan sosial budaya menjadi faktor yang memiliki bobot yang paling besar, yakni 27 persen, terhadap daya saing investasi di kabupaten/kota. Faktor selanjutnya yang berpengaruh, secara berturut-turut adalah ekonomi daerah (23%), tenaga kerja (18%), infrastruktur fisik (17%) dan kelembagaan (15%). Hasil temuan KPPOD menyebutkan bahwa ada dua karakteristik yang umumnya dimiliki oleh daerahdaerah yang mempunyai daya saing tinggi. Pertama, daerah-daerah tersebut memiliki kondisi perekonomian yang baik. Kedua, daerah yang mempunyai daya saing tinggi adalah daerah yang memiliki kondisi keamanan, politik, sosial budaya, dan birokrasi yang ramah terhadap kegiatan usaha. Kombinasi antara 21

kedua faktor dan ketersediaan tenaga kerja yang cukup dengan kualitas yang baik dan infrastruktur fisik yang memadai akan mendukung perkembangan dunia usaha. Penelitian kedua dilakukan oleh Mudarajad Kuncoro (2005) dalam penelitiannya yang berjudul Daya Tarik Investasi dan Pungli DIY. Hasil dari penelitiannya menyatakan bahwa menurut persepsi pelaku usaha di DIY, faktor Kelembagaan memiliki bobot terbesar dalam menentukan daya tarik investasi/kegiatan berusaha di DIY. Kemudian diikuti oleh faktor Infrastruktur Fisik, yang ketiga adalah factor Sosial Politik. Berikutnya adalah faktor Ekonomi Daerah dan yang terakhir adalah faktor Tenaga Kerja. Penelitian ketiga dilakukan oleh Ira Irawati (2008) dalam penelitiannya yang berjudul Pengukuran Tingkat Daya Saing Daerah berdasarkan Variabel Perekonomian Daerah, Variabel Infrastruktur dan Sumber Daya Alam, serta Variabel Sumber Daya Manusia di Wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara. Hasil dari penelitiannya menyatakan bahwa peringkat daya saing terbaik berdasarkan variabel perekonomian daerah, infrastruktur dan sumber daya alam, serta sumber daya alam manusia pada kabupaten/kota di Sulawesi Tenggara, turut mendukung kabupaten/kota tersebut untuk menjadi peringkat terbaik secara umum. Penelitian keempat yang dilakukan oleh Paidi Hidayat (2012) dalam penelitiannya yang berjudul Analisis Daya Saing Kota Medan. Hasil dari penelitiannya menyatakan bahwa dari hasil pembobotan dan pemeringkatan diperoleh tiga faktor utama penentu daya saing ekonomi di kota medan yaitu factor infrastruktur dengan nilai bobot tertinggi, diikuti faktor perekonomian 22

daerah dan faktor sistem keuangan. Sedangkan faktor berikutnya dengan nilai bobot cukup rendah adalah faktor kelembagaan dan faktor sosial politik. Penelitian Kelima dilakukan oleh Miftakhul Huda dan Eko Budi Santoso (2014) dalam penelitiannya yang berjudul Pengembangan Daya Saing Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur berdasarkan Potensi Daerahnya. Hasil dari penelitiannya menyatakan bahwa setiap Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur memiliki kemampuan daya saing. Hal tersebut bisa dilihat dari munculnya hasil skor daya saing setiap kabupaten/kota. Tetapi adanya perbedaan kemampuan daya saing antara wilayah perkotaan dan kabupaten. Untuk wilayah perkotaan mendominasi sektor SDM dan Ketenagakerjaan, Infrastruktur dan Sarana- Prasarana, serta sektor yang tidak berasal dari alam, seperti sector produktivitas sekunder dan tersier. Untuk wilayah kabupaten, memiliki keunggulan di sektor yang berhubungan dengan alam, seperti sector produktivitas primer dan sumber daya air perkapita. 2.6 Kerangka Konseptual Penentuan faktor-faktor dan variabel daya saing ekonomi di Kabupaten Labuhanbatu Utara dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan tujuan dari penelitian ini. Variabel-variabel yang menjadi indikator utama dalam penelitian ini merupakan perbandingan dari beberapa hasil penelitian sebelumnya, seperti KPPOD (2005), Mudrajad Kuncoro (2005), Ira Irawati dkk (2008), Paidi Hidayat (2012), dan Miftakhul Huda (2014). Berikut ini indikator utama penentu daya saing ekonomi di Kabupaten Labuhanbatu Utara seperti pada gambar berikut : 23

FAKTOR PENENTU DAYA SAING EKONOMI DAERAH KELEMBAGAAN (Regulation & Government service) SOSIAL POLITIK (Socio-Political Factors) EKONOMI DAERAH (Regional Economic Dynamism) TENAGA KERJA & PRODUKTIVITAS (Labor& productivity) INFRASTRUKTUR FISIK (Physical Infrastructure) Kepastian Hukum (Legal Certainty) Stabilitas Politik (Political Stability) Potensi Ekonomi (Economic Potential) Biaya Tenaga Kerja (Labor Cost) Ketersediaan Infrastruktur Fisik (Availability of Physical) Infrastructure) Keuangan Daerah (Regional Finance) Keamanan (security) Struktur Ekonomi (Economic Structure) Ketersediaan Tenaga Kerja (Availability of Manpower) Kualitas Infrastruktur Fisik Aparatur (Quality Of Civil Service) Budaya (Cultural) Produktivitas Tenaga Kerja (Productivity of Labor) (Quality of Physical Infrastructure) Perda / Indikator Perda (Region Policy / Regulation) Gambar 2.1. Indikator Utama Penentu Daya Saing Ekonomi Kabupaten Labuhanbatu Utara 24