BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perubahan peraturan perundang-undangan tentang keuangan negara pada mulanya diawali dengan adanya perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) yang dilakukan pada sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (selanjutnya disebut MPR), sejak tahun 1997 sampai dengan tahun 2002. Tahapan perubahan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Perubahan pertama yang dilakukan pada sidang Umum MPR pada tanggal 19 Oktober 1999; 2. Perubahan kedua yang dilakukan pada sidang Tahunan MPR pada tanggal 18 Agustus 2000; 3. Perubahan ketiga yang dilakukan pada Sidang Tahunan MPR pada tanggal 9 November 2001; 4. Perubahan keempat yang dilakukan pada Sidang Tahunan MPR pada tanggal 10 Agustus 2002. Beberapa perubahan tersebut antara lain mengenai hal-hal sebagaiberikut: 1. Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 diperluas dan berubah menjadi Pasal 23 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD 1945, yaitu: a. Pasal 23 ayat (1), menambahkan dan menegaskan bahwa APBN merupakan wujud dari pengelolaan keuangan negara yang harus
dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat; b. Pasal 23 ayat (2), menambahkan dan menegaskan bahwa Rancangan APBN yang diusulkan oleh Presiden untuk dibahas bersama dengan DPR harus terlebih dahulu memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah (selanjutnya disebut DPD); c. Pasal 23 ayat (3), menambahkan dan menegaskan bahwa apabila DPR tidak menyetujui rancangan APBN yang diusulkan Presiden, maka Pemerintah menjalankan APBN tahun yang lalu. 2. Pasal 23 ayat (5) UUD 1945 diperluas isi dan maknanya menjadi bab tersendiri yaitu mengenai Badan Pemeriksa KeuanganPasal 23E ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 23F ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 23G ayat (1) dan ayat (2), berubah menjadi: a. Pasal 23E ayat (1), menambahkan dan menegaskan bahwa pemeriksaan tanggung jawab bahkan juga pengelolaan keuangan negara dilakukan oleh satu (bukan suatu) Badan Pemeriksa Keuangan (selanjutnya disebut BPK) yang bebas dan mandiri; b. Pasal 23E ayat (2), menambahkan bahwa hasil pemeriksaan keuangan negara yang dilakukan oleh BPK sebagaimana amanat Pasal 23E ayat (1), bukan hanya diberitahukan kepada DPR, namun juga diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (selanjutnya disebut DPRD) dan Dewan Perwakilan Daerah (selanjutnya disebut DPD) sesuai dengan kewenangannya; 2
c. Pasal 23E ayat (3), menambahkan bahwa hasil pemeriksaan BPK tersebut harus ditindaklanjuti oleh lembaga perwakilan dan/atau badan yang sesuai dengan undang-undang; d. Pasal 23F ayat (1), menambahkan bahwa anggota BPK dibentuk berdasarkan pilihan DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD dan selanjutnya diresmikan oleh presiden; e. Pasal 23F ayat (2), menambahkan bahwa pimpinan BPK dipilih dari dan oleh anggota-anggota BPK yang telah diresmikan oleh Presiden, sebagaimana ketentuan Pasal 23F ayat (1); f. Pasal 23G ayat (1), menambahkan bahwa kedudukan BPK di ibukota negara dan memiliki perwakilan-perwakilan disetiap provinsi; g. Pasal 23G ayat (2), menambahkan dan menegaskan bahwa hal-hal lain mengenai BPK akan diatur lebih lanjut dengan undang-undang. Sejalan dengan adanya perubahan UUD 1945 dan tuntutan reformasi tata kelola keuangan negara, maka Pemerintah telah menerbitkan tiga paket Undang-Undang, yakni: 1. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (selanjutnya disebut UU KN); 2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (selanjutnya disebut UU PN); 3. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara (selanjutnya disebut UU PPTJKN). 3
Mengiringi tiga paket Undang-Undang tersebut, Pemerintah juga menerbitkan tiga Undang-Undang lainnya, yaitu: 1. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara 1 (selanjutnya disebut UU BUMN); 2. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan 2 (selanjutnya disebut UU BPK); 3. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut UU PT). Pasal 1 ayat 1 UU KN menyatakan bahwa keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai denganuang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Selanjutnya pada pasal 2 UU KN, keuangan negara yang dimaksud pada pasal 1 ayat 1 tersebut meliputi hal-hal sebagai berikut: a. hak negara untuk memunggut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman; b. kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga; c. penerimaan negara; d. pengeluaran negara; e. penerimaan daerah; f. pengeluaran daerah; g. kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah; h. kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh 1 Mencabut Undang-Undang Nomor 19 Prp Tahun 1960 tentang Perusahaaan Negara 2 Mencabut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1973 tentang Badan Pemeriksa Keuangan 3 Mencabut Unang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas 3 4
pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintah dan/atau kepentingan umum; i. kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah. Dalam pasal 1 UU PT dinyatakan bahwa Perseroan Terbatas (PT), yang selanjutnya disebut perseroan, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya. Berdasarkan definisi tersebut dapat diketahui bahwa terdapat unsur-unsur yang melekat erat pada PT, yakni: 1. Bentuk PT adalah badan hukum; 2. PT memiliki persekutuan modal; 3. PT didirikan atas dasar perjanjian; 4. PT melakukan kegiatan usaha; 5. PT memiliki modalnya yang terdiri dari saham-saham. Nindyo Pramono 4 menyatakan bahwa filosofi pendirian badan hukum adalah bahwa dengan kematian pendirinya, harta kekayaan badan hukum tersebut masih dapat bermanfaat bagi orang lain. Oleh karena itu, hukum menciptakan suatu kreasi sesuatu yang oleh hukum kemudian dianggap atau diakui sebagai subjek mandiri seperti halnya orang (natuurlijk person atau natural person). Kemudian sesuatu itu oleh ilmu hukum disebut sebagai 4 Nindyo Pramono, Keuangan Negara yang Dipisahkan Menurut UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN dalam Ridwan Khairandy, Konsepsi Kekayaan Negara Yang Dipisahkan Dalam Perusahaan Perseroan, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 26-No.1 Tahun 2007, hlm. 88. 5
badan hukum (rechtspersoon atau legal person). Agar badan hukum itu dapat bertindak seperti halnya orang alamiah, maka diperlukan organ sebagai alat bagi badan hukum itu untuk menjalin hubungan hukum dengan pihak ketiga. Didalam hukum, istilah person (orang) mencakup makhluk pribadi, yakni manusia (natuurlijk person) dan badan hukum (persona morallis, legal person, legal entity, rechtspersoon). Keduanya adalah subjek hukum, sehingga keduanya adalah penyandang hak dan kewajiban hukum. Sebagaimana yang dikatakan oleh J. Satrio, mereka memiliki hak/dan atau kewajiban yang diakui hukum. 5 Oleh karena badan hukum adalah subjek, maka ia merupakan badan yang independen atau mandiri dari pendiri, anggota, atau penanam modal badan tersebut. Badan ini dapat melakukan kegiatan bisnis atas nama dirinya sendiri seperti manusia. Bisnis yang dijalankan, kekayaan yang dikuasai, kontrak yang dibuat semua atas nama dirinya itu sendiri. Badan ini seperti halnya manusia memiliki kewajiban-kewajiban hukum, seperti membayar pajak dan mengajukan izin kegiatan bisnis atas nama dirinya sendiri. 6 Konsep perusahaan sebagai badan hukum yang kekayaannya terpisah dari para pemegang sahamnya merupakan sifat yang dianggap penting bagi status korporasi selaku badan hukum. Hal tersebut yang membedakan dengan bentuk-bentuk perusahaan yang lain. Sifat terbatasnya tanggung jawab secara singkat merupakan pernyataan dari prinsip bahwa pemegang saham tidak 5 J Satrio, Hukum Pribadi, Bagian I Persoon Alamiah, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990, hlm. 13, dalam Ridwan Khairandy, Ibid, hlm 89. 6 Robert W. Hamilton, The Law of Corporation, Minn Weat Publishing Co, St.Paul 1996 hlm. 1dalam Op.c it, hlm 89. 6
bertanggung jawab secara pribadi atas kewajiban perusahaan sebagai badan hukum yang kekayaannya terpisah dari pemegang sahamnya. Perseroan Terbatas sebagai korporasi (corporation), yakni perkumpulan yang berbadan hukum memiliki beberapa ciri substansif yang melekat pada dirinya, yakni: 7 1. Terbatasnya Tanggung Jawab Pada dasarnya para pendiri atau pemegang saham atau anggota suatu korporasi tidak bertanggung jawab secara pribadi terhadap kerugian atau utang korporasi. Tanggung jawab pemegang saham hanya sebatas jumlah maksimum nominal saham yang ia kuasai. Selebihnya, ia tidak bertanggung jawab. 2. Perpectual Succession Sebagai suatu korporasi yang eksis atas haknya sendiri, perubahan keanggotaan tidak memiliki akibat atas status eksistensinya. Bahkan, dalam konteks PT, pemegang saham dapat mengalihkan saham yang ia miliki kepada pihak ketiga. Pengalihan tidak menimbulkan masalah kelangsungan perseroan yang bersangkutan. Bahkan, bagi PT yang masuk dalam kategori PT Terbuka dan sahamnya terdaftar di suatu bursa (listed), terdapat kebebasan untuk mengalihkan saham tersebut. 3. Memiliki Kekayaan Sendiri Semua kekayaan yang ada dimiliki oleh Badan itu sendiri, tidak oleh pemilik, oleh anggota atau pemegang saham. Ini adalah suatu kelebihan 7 Ridwan Khairandy, Perseroan Terbatas Sebagai Badan Hukum, Jurnal Hukum Bisnis Vo. 26, No. 3-Tahun 2007, hlm. 33 7
utama badan hukum. Dengan demikian, kepemilikan kekayaan tidak didasarkan pada anggota atau pemegang saham. 4. Memiliki Kewenangan Konstruksi serta Dapat Menuntut dan Dapat Dituntut atas Nama Dirinya Sendiri Badan hukum sebagai subyek hukum diperlakukan seperti manusia yang memiliki kewenangan kontraktual. Badan itu dapat mengadakan hubungan kontraktual atas nama dirinya sendiri. Sebagai subyek hukum, badan hukum dapat dituntut dan menuntut dihadapan pengadilan. Perubahan ini berdampak terhadap pemahaman mengenai pengertian keuangan negara, makna penyertaan modal pemerintah dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) melalui kekayaan negara yang dipisahkan kepada BUMN yang berbentuk Persero, dan kewenangan BPK selaku lembaga yang bebas dan mandiri dalam melakukan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Dalam UU KN dinyatakan bahwa lingkup keuangan negara, antara lain meliputi kekayaan negara yang dipisahkan, sedangkan UU BUMN menyatakan bahwa kekayaan negara dipisahkan tersebut adalah terbatas pada penyertaan modal pemerintah. Dengan demikian, maka kekayaan pemerintah tersebut telah beralih menjadi kekayaan perseroan, sehingga pengelolaanya tunduk pada UU PT dalam menjalankan bisnis perusahaan. Bila lingkup keuangan negara tidak termasuk pada kekayaan negara yang dipisahkan dalam Persero, maka kewenangan BPK dalam melaksanakan pemeriksaan hendaknya disesuaikan kembali, agar tidak kontra produktif 8
dengan UU PT yang menyatakan pemeriksaan dilakukan oleh Kantor Akuntan Publik. Ketidaksinkronan atau disharmoni tersebut dapat mengakibatkan pengelolaan keuangan negara tidak transparan dan akuntabel pada satu sisi dan kekhawatiran Direksi Persero dalam menjalankan bisnis perusahaan yang dapat dipidanakan pada sisi yang lain. Oleh karena itu, peneliti menganggap penting dan perlu mengangkat penelitian berjudul Kewenangan BPK Dalam Pemeriksaan Kekayaan Negara yang Dipisahkan Ditinjau dari Undang-Undang No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, dan Undang-Undang No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. B. Perumusan Masalah Berdasarkan hal-hal tersebut, maka permasalahan pokok yang akan diteliti adalah: 1. UU KNsebagai dasar hukum pengelolaan keuangan negara mengatur tentang keuangan negara dan kekayaan negara yang dipisahkan; 2. Kewenangan pelaksanaan pemeriksaan keuangan negara yang dilakukan oleh BPK selaku eksternal auditor berdasarkan UU KN, UU PPTJKN,dan UU BPK; 9
3. Kewenangan pelaksanaan pemeriksaan oleh BPK kepada BUMN Persero dikaitkan dengan UU BUMN dan UU PT yang merupakan dasar hukum utama dalam penyelenggaraan perusahaan. C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian tesis ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui UU KN dalam mengatur keuangan negara dan kekayaan negara yang dipisahkan; 2. Untuk mengetahui UU PPTJKN dalam mengatur kewenangan BPK selaku eksternal auditor pemerintahdalam melakukan pemeriksaan keuangan negara; 3. Untuk mengetahui UU PT dan UU BUMN mengatur kewenangan BPK melaksanakan pemeriksaan terhadap BUMN Persero. D. Keaslian Penelitian Untuk membuktikan keaslian penelitian, telah dilakukan penelusuran terhadap berbagai penulisan dan hasil penelitian ilmiah yang terdapat di berbagai media cetak, media elektronik, maupun perpustakaan. Hasil penelusuran menemukan bahwa terdapat: 1. Tesis Magister Hukum Universitas Gadjah Mada tahun 2010 berjudul Kewenangan Pemeriksaan BPK RI Dalam Kaitannya Dengan Prinsip 10
Kerahasian Bank yang ditulis oleh Rini Yusandra. 8 Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif. Penelitian dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana prosedur pembukaan rahasia bank yang selama ini digunakan dalam proses pemeriksaan oleh BPK RI. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa prosedur pembukaan rahasia bank yang selama ini digunakan dalam proses pemeriksaan BPK RI adalah; (1) dimintakan langsung dokumen yang diperlukan kepada Bank, dengan izin/kuasa dari pemegang rekening; (2) Peraturan Bank Indonesia No.2/19/PBI/2000 Tentang Persyaratan Dan Tata Cara Pemberian Perintah Atau Izin Tertulis Membuka Rahasia bank, yang sebenarnya diperuntukan bagi diluar kepentingan pemeriksaan BPK RI; (3) permintaan bantuan informasi/keterangan kepada PPATK. 2. Tesis Magister Hukum Universitas Gadjah Mada tahun 2010 berjudul Tinjauan Yuridis Kewenangan Badan PemeriksaKeuangan Dalam Pelaksanaan Tugas Pemeriksaan Keuangan Negara yang ditulis oleh Dicky Jatnika. 9 Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif. Penelitian dilakukan dengan tujuan untuk mengabstraksi kebebasan dan kemandirian Badan Pemeriksa Keuangan terkait dengan kewenangan yuridis yang dimiliki dalam pelaksanaan tugas pemeriksaan keuangan negara, termasuk hambatan-hambatan yuridis yang dihadapi, terkait dengan kewenangan lembaga lain yang memiliki kewenangan dalam bidang 8 Rini Yusandra, Kewenangan Pemeriksaan BPK RI dalam Kaitannya Dengan Prinsip Kerahasian Bank, Tahun 2010. 9 Dicky Jatnika, Tinjauan Yuridis Kewenangan Badan PemeriksaKeuangan Dalam Pelaksanaan Tugas Pemeriksaan Keuangan Negara, Tahun 2010. 11
keuangan negara. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa menurut peraturan perundag-undangan, BPK memiliki kewenangan yuridis yang sangat luas dalam pelaksanaan tugas pemeriksaan keuangan negara. Kewenangan tersebut terkait dengan kebebasan dan kemandirian BPK dalam bidang pemeriksaan, kebebasan dan kemandirian BPK dalam bidang organisasi dan sumber daya manusia serta kebebasan dan kemandirian BPK dalam bidang anggaran. Kebebasan dan kemandirian BPK dalam pelaksanaan tugas pemeriksaan keuangan negara mendapatkan hambatan dari beberapa peraturan perundang-udangan, yaitu Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, Undang-Undang Nomor 16 tahun 2001 tentang Yayasan sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 28 Tahun 2004, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004, Penjelasan Pasal 34 Ayat (2a) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Hambatan-hambatan hukum tersebut disebabkan tidak selarasnya pengertian lingkup keuangan negara diantara peraturan perundang-undangan yang terkait dengan keuangan negara yang berlaku, sehingga dapat menimbulkan perbedaan persepsi dan perbedaan penafsiran. 3. Tesis Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara tahun 2008 berjudul Tanggung Jawab Direksi Persero pada Pengelolaan 12
Penyertaan Modal Negara Dalam Hal Terjadi Kerugian yang ditulis oleh Kusmono. 10 Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif. Penelitian dilakukan dengan tujuan berusaha mengungkapkan batasan tentang kekayaan negara yang dipisahkan dalam penyertaan modal pemerintah pada persero, mengetahui ketentuan peraturan yang mengatur tentang tanggung jawab hukum Direksi Persero apabila persero mengalami kerugian dalam transaksi bisnis, dan apakah kerugian tersebut dapat dikategorikan sebagai kerugian negara. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa kerugian Persero bukanlah kerugian negara dan jika kerugian Persero itu diakibatkan direksi melakukan kesalahan atau kelalaian dalam pengurusan bisnisnya maka harus bertanggung jawab secara pribadi. Berdasarkan penelusuran tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa masing-masing hasil penelitian tersebut terdapat kesamaan dan perbedaan variabel tehadap penelitian yang diajukan ini, dengan penjelasan rinci sebagai berikut: 1. Pada penelitian berjudul Kewenangan Pemeriksaan BPK RI Dalam Kaitannya Dengan Prinsip Kerahasian Bank terdapat tujuan penelitian yang sangat berbeda namun objek penelitiannya hampir sama. Pada penelitian tersebut lebih difokuskan membahas kewenangan BPK dalam melakukan pemeriksaan yang memerlukan data-data bank dikaitkan dengan kerahasian bank. Hal ini berbeda dengan penelitian yang penulis lakukan, karena penulis lebih fokus pada kewenangan BPK dalam melaksanakan 10 Kusmono, Tanggung Jawab Direksi Persero pada Pengelolaan Penyertaan Modal Negara Dalam Hal Terjadi Kerugian, Tahun 2008. 13
pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, khususnyakewenangan memeriksa BUMN Persero dikaitkan dengan frasa kekayaan negara yang dipisahkan. 2. Pada penelitian berjudul Tinjauan Yuridis Kewenangan Badan PemeriksaKeuangan Dalam Pelaksanaan Tugas Pemeriksaan Keuangan Negara terdapat tujuan penelitian danobjek penelitian yang hampir sama. Pada penelitian tersebut mengupas tinjauan yuridis kewenangan pemeriksaan dikaitkan dengan hambatan pemeriksaan dari adanya peraturan-peraturan yang secara umum tidak selaras. Hal ini berbeda dengan penelitian yang penulis lakukan, karena penulis lebih fokus pada kewenangan BPKdalam melaksanakan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, khususnya kewenangan memeriksa BUMN Persero dikaitkan dengan frasa kekayaan negara yang dipisahkan. 3. Pada penelitian yang berjudul Tanggung Jawab Direksi Persero pada Pengelolaan Penyertaan Modal Negara Dalam Hal Terjadi Kerugian terdapat tujuan penelitian dan obyek penelitiannya yang berbeda. Pada penelitian tersebut mengupas tanggung jawab Direksi atas kerugian yang diakibatkan dari dampak bisnis dan kerugian yang diakibatkan kesalahan atau kelalaian Direksi, dikaitkan dengan adanya penyertaan modal pemerintah di dalam perseroan.hal ini berbeda dengan penelitian yang penulis lakukan, karena penulis lebih fokus pada kewenangan BPKdalam melaksanakan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan 14
negara, khususnya kewenangan memeriksa BUMN Persero dikaitkan dengan frasa kekayaan negara yang dipisahkan. Berdasarkan hal-hal tersebut, maka penelitian berjudul Kewenangan BPK dalam Pemeriksaan Kekayaan Negara yang Dipisahkan Ditinjau dari Undang-Undang No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang No.15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, dan Undang-Undang No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas belum pernah dilakukan oleh pihak manapun, sampai dengan saat pengajuan penelitian ini. Dengan demikian, penelitian ini adalah asli. E. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Teoritis Memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka pengembangan ilmu hukum pada umumnya dan ilmu hukum korporasi serta keuangann negara pada khususnya. Selain itu, diharapkan Pemerintah dapat secara bijak untuk melakukan harmonisasi antar Undang-undang Keuangan Negara dengan UU Perseroan, sehingga dapat mendorong BUMN yang berbentuk Persero mencapai maksud dan tujuan pendiriannya tanpa mengesampingkan adanya akuntabilitas kepada negara. 2. Praktis 15
Secara praktis, manfaat penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan kepada: a. Pemerintah sebagai pemegang saham mayoritas di BUMN yang berbentuk Persero dalam mensikapi penyertaan modal pemerintah dan resiko bisnis yang mungkin terjadi; b. Aparat Penegak Hukum (APH), auditor eksternal, dan auditor internal dalam mensikapi penyertaan modal pemerintah dan resiko bisnis yang mungkin terjadi dalam menentukan terjadinya kerugian negara atau kerugian bisnis; c. Direksi dan jajaran di BUMNPersero agar tidak khawatir dalam melaksanakan tugasnya untuk mengejar keuntungan dan berkompetisi dalam pertarungan sengit di dunia bisnisglobal; d. Penulis sebagai wahana untuk memperluas pengetahuan dalam memahami pengelolaan keuangan negara dan perseroan, sehingga dapat melaksanakan tugas pemeriksaan secara profesional sesuai dengan batas kewenangan yang telah diatur menurut Undang-undang terkait. 16