BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pelayanan kesehatan di puskesmas. Keterbatasan jumlah dokter yang ada di

BAB II STUDI PUSTAKA. 2.1 Tinjauan Pustaka

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan salah satu jenis infeksi yang paling sering

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Penyakit infeksi masih merupakan penyebab utama. morbiditas dan mortalitas di dunia.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang sering ditemukan. Lebih dari 25% perempuan akan mengalami ISK

BAB 1 PENDAHULUAN. bermakna (Lutter, 2005). Infeksi saluran kemih merupakan salah satu penyakit

BAB I PENDAHULUAN. wanita 54,5% lebih banyak dari laki-laki. Namun pada neonatus, ISK lebih

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian dengan judul Evaluasi Rasionalitas Penggunaan Antibiotik

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. pneumonia, mendapatkan terapi antibiotik, dan dirawat inap). Data yang. memenuhi kriteria inklusi adalah 32 rekam medik.

Profil Penggunaan Antituberkulosis di Apotek di Kota Bandung Periode

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Ringkasan. Rr. Sri Untari Siwi S.M.P.

BAB IV METODE PENELITIAN

EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN INFEKSI SALURAN KEMIH DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT UMUM DAERAH Dr. MOEWARDI SURAKARTA TAHUN 2009

BAB 1 PENDAHULUAN. kemih. Infeksi saluran kemih dapat terjadi pada pria maupun wanita semua umur,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. disebabkan oleh Salmonella typhi (Soedarmo, dkk., 2003). Demam typhoid masih

BAB I PENDAHULUAN. menggambarkan kolonisasi kuman penyebab infeksi dalam urin dan. ureter, kandung kemih dan uretra merupakan organ-organ yang

Kriteria Diagnosis Berdasaran IDSA/ESCMID :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

ANALISIS BIAYA PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN INFEKSI SALURAN KEMIH RAWAT INAP DI RSU PANDAN ARANG BOYOLALI TAHUN 2008 SKRIPSI

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Demam tifoid merupakan suatu infeksi tropis yang masih menjadi

EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA PADA PASIEN DEMAM TIFOID RAWAT INAP DI RSUD

BAB 1 PENDAHULUAN. kerap kali dijumpai dalam praktik dokter. Berdasarkan data. epidemiologis tercatat 25-35% wanita dewasa pernah mengalami

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Kateter uretra merupakan alat yang digunakan untuk. keperawatan dengan cara memasukkan kateter ke dalam kandung kemih melalui

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

TINGKAT PERESEPAN ANTIBIOTIK DI PUSKESMAS X TAHUN 2012 DAN 2013 DENGAN METODE ATC/DDD NASKAH PUBLIKASI

BAB I PENDAHULUAN. dapat menurunkan tingkat kesadaran (Rahmatillah et al., 2015). Demam tifoid

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN INFEKSI SALURAN KEMIH DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT UMUM PUSAT

UNIVERSITAS INDONESIA

BAB II LANDASAN TEORI A. TINJAUAN PUSTAKA. pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna dengan menyediakan pelayanan

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

KETEPATAN DOSIS PERESEPAN SIRUP KOTRIMOKSAZOL PADA BALITA PENDERITA DIARE SPESIFIK DI PUSKESMAS ALALAK TENGAH BANJARMASIN

I. PENDAHULUAN. Penyakit infeksi merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di dunia.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Penyakit infeksi masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Diare,

BAB I PENDAHULUAN. penyakit (kuratif) dan pencegahan penyakit (preventif) kepada masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. yang mana tidak hanya terkait dengan persoalan estetika, tetapi juga

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini dilakukan untuk melihat profil dan evaluasi penggunaan

Farmaka Vol. 14 No Evaluasi Penggunaan Obat Antihipertensi pada Pasien Rawat Jalan di Fasilitas

Farmaka Volume 14 Nomor 2 19

I. PENDAHULUAN. besar di Indonesia, kasus tersangka tifoid menunjukkan kecenderungan

I. PENDAHULUAN. penurunan sistem imun (Vahdani, et al., 2012). Infeksi nosokomial dapat terjadi

STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA PADA PASIEN RAWAT INAP PENDERITA INFEKSI SALURAN KEMIH DI RSD Dr. SOEBANDI JEMBER (PERIODE JANUARI-DESEMBER 2009)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. masyarakat yang penting, khususnya di negara berkembang. Obat-obat andalan

I. PENDAHULUAN. kematian di dunia. Salah satu jenis penyakit infeksi adalah infeksi

EVALUASI PERESEPAN ANTIBIOTIK PASIEN INFEKSI SALURAN KEMIH DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT ROEMANI SEMARANG

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

ANALISIS KUALITATIF PENGGUNAAN ANTIBIOTIK GOLONGAN SEFALOSPORIN DI RUMAH SAKIT X KUPANG

ANALISIS PENGGUNAAN ANTIBIOTIK

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Bakteriuria adalah ditemukannya bakteri dalam urin yang berasal dari ISK atau

BAB I PENDAHULUAN. yang rasional dimana pasien menerima pengobatan yang sesuai dengan

EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN INFEKSI SALURAN KEMIH DI INSTALASI RAWAT INAP RSUP. PROF. DR. R. D. KANDOU MANADO PERIODE JULI JUNI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. infeksi bakteri. Resistensi antibiotik terjadi ketika bakteri berubah dalam

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini adalah survei deskriptif terhadap semua variabel yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit infeksi adalah penyakit yang disebabkan oleh masuk dan berkembang biaknya

EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN INFEKSI SALURAN KEMIH DI INSTALASI RAWAT INAP RSPAU dr. S. HARDJOLUKITO YOGYAKARTA TAHUN 2014

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Prevalensi penyakit infeksi memiliki kecenderungan yang masih cukup

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia, karena morbiditas dan mortalitasnya masih tinggi, bahkan

I. PENDAHULUAN. atas yang terjadi pada populasi, dengan rata-rata 9.3% pada wanita di atas 65

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Sepsis adalah terjadinya SIRS ( Systemic Inflamatory Respon Syndrome)

POLA KUMAN DAN SENSITIVITAS ANTIMIKROBA PADA INFEKSI SALURAN KEMIH. SYAFADA, FENTY Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta

BAB I PENDAHULUAN UKDW. diare. Infeksi enteric yang disebabkan oleh bakteri E.coli dapat terjadi pada usus

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit infeksi merupakan salah satu masalah kesehatan terbesar tidak

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit infeksi masih merupakan salah satu masalah kesehatan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. sinus yang disebabkan berbagai macam alergen. Rinitis alergi juga merupakan

RASIONALITAS KRITERIA TEPAT DOSIS PERESEPAN COTRIMOXAZOLE PADA PENGOBATAN INFEKSI SALURAN PERNAFASAN AKUT PADA BALITA DI PUSKESMAS S

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Pneumonia adalah penyebab utama kematian anak di. seluruh dunia. Pneumonia menyebabkan 1,1 juta kematian

EVALUASI KERASIONALAN PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN LANSIA DENGAN PNEUMONIA DI INSTALASI RAWAT INAP RSUP PROF. DR. R. D

BAB I PENDAHULUAN. (ureteritis), jaringan ginjal (pyelonefritis). 1. memiliki nilai kejadian yang tinggi di masyarakat, menurut laporan di

SATUAN ACARA PENYULUHAN DI BANGSAL CEMPAKA RSUD WATES INFEKSI SALURAN KEMIH (ISK)

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Infeksi Saluran Kemih (ISK) adalah suatu respon inflamasi sel urotelium

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi pada saluran napas merupakan penyakit yang umum terjadi pada

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

I. PENDAHULUAN. Di negara-negara berkembang, penyakit infeksi masih menempati urutan

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Infeksi saluran kemih (ISK) adalah salah satu infeksi bakteri yang paling umum. Wanita lebih sering mengalami ISK dibanding pria. Hampir 1 dari 3 wanita memiliki setidaknya satu kejadian ISK yang membutuhkan terapi antimikroba pada usia 24 tahun (Foxman, 2003). Bakteri patogen yamg menyebabkan ISK yaitu E.coli yang merupakan bakteri patogen utama baik dalam rawat inap maupun rawat jalan. Patogen lain yang menyebabkan ISK adalah Staphylococcus saprophyticus, Klebsiella spp., Proteus spp., Enterococcus spp., dan Enterobacter spp., tetapi patogen tersebut jarang ditemukan (Sahm, et al., 2001). Pemilihan antibiotik harus disesuaikan dengan pola resistensi lokal dan memperhatikan riwayat antibiotik yang digunakan pada pasien (Coyle & Prince, 2008). Banyak faktor yang mempengaruhi munculnya kuman resisten terhadap antibiotik. Faktor utamanya adalah penggunaan antibiotik serta pengendalian infeksi (Hadi, 2006). Pencegahan kejadian resistensi antibiotik memerlukan perencanaan dalam penggunaan dan pengontrolan kejadian resistensi antibiotik. Peningkatan resistensi antibiotik terjadi akibat penggunaan atau pola peresepan antibiotik yang tidak tepat, sehingga diperlukan strategi dalam penggunaan antibiotik untuk mencegah kejadian resistensi antibiotik (Jankgnet, et al., 2000). Perhitungan kuantitatif antibiotik bertujuan untuk mengetahui pola antibiotik di rumah sakit maupun komunitas. Pengambilan data dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Perhitungan secara langsung yaitu dengan jumlah antibiotik yang digunakan (gram), Defined Daily Dose (DDD), lama pemberian terapi. Sedangkan perhitungan tidak langsung yaitu biaya pembelanjaan antibiotik dan jumlah antibiotik yang dibeli (WHO, 2011). Data yang tepat berhubungan dengan kuantitas penggunaan antibiotik sangat diperlukan. Data-data tersebut akan lebih bernilai jika dikumpulkan, dianalisis, serta disajikan dengan suatu metode yang terstandar. Kebutuhan akan adanya 1

2 metode yang terstandar untuk mengevaluasi penggunaan dan menetapkan ketepatan penggunaan antibiotik telah nampak begitu jelas (Nouwen, 2006). Dari hasil penelitian Saepudin et al., (2006) antibiotik yang digunakan pada pengobatan pasien ISK yang menjalani rawat inap di salah satu RSUD di Yogyakarta pada tahun 2004 dan 2006 antara lain amoksisilin, siprofloksasin, levofloksasin, seftriakson, dan sefotaksim. Kuantitas penggunaan antibiotik menurut perhitungan metode ATC/DDD didapatkan hasil pada tahun 2004 105,2 DDD/100 hari rawat dan tahun 2006 107,3 DDD/100 hari rawat. Sistem ATC/DDD (ATC = Anatomical Therapeutic Chemical, DDD = Defined Daily Dose) adalah sistem klasifikasi dan pengukuran penggunaan obat yang saat ini menjadi salah satu pusat perhatian dalam pengembangan penelitian penggunaan obat (Birkett, 2002). Hasil evaluasi penggunaan obat dapat dibandingkan dengan menggunakan metode ATC/DDD. Adanya perbandingan penggunaan obat di tempat berbeda sangat bermanfaat untuk menemukan adanya perbedaan substansial yang akan menuntun untuk dilakukan evaluasi lebih lanjut jika ditemukan perbedaan yang bermakna, yang akhirnya akan mengarahkan pada identifikasi masalah dan perbaikan sistem penggunaan obat (Bergman, et al., 2004). RSU Kartini Jepara merupakan rumah sakit yang dikelola oleh pemerintah daerah Jepara sebagai tempat untuk pelayanan kesehatan. Di rumah sakit tersebut terdapat banyak berbagai macam kasus penyakit, salah satunya adalah infeksi saluran kemih yang pengobatannya menggunakan terapi antibiotik. Berdasarkan uraian diatas maka perlu dilakukan suatu penelitian untuk mengevaluasi penggunaan antibiotik pada kasus ISK di RSU Kartini Jepara tahun 2011 menggunakan metode ATC/DDD. Penelitian tersebut penting, karena hasil penelitian mengenai kuantitas penggunaan antibiotik pada kasus ISK menggunakan metode ATC/DDD dapat dibandingkan dengan rumah sakit lain maupun daerah lain dan sebagai evaluasi lanjutan ketika ditemukan perbedaan penggunaan antibiotik. Hasil evaluasi penggunaan antibiotik diharapkan dapat menjadi masukan dan alternatif pemilihan obat antibiotik yang efektif pada kasus ISK.

3 B. Perumusan Masalah Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana antibiotik yang digunakan pada kasus ISK rawat inap di RSU Kartini Jepara tahun 2011 dan penggolongan kode ATC berdasar WHO Collaborating Centre? 2. Bagaimana kuantitas penggunaan antibiotik pada kasus ISK rawat inap di RSU Kartini Jepara tahun 2011 melalui pengukuran menggunakan metode DDD? C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: 1. Mengetahui antibiotik yang digunakan untuk pengobatan ISK rawat inap di RSU Kartini Jepara tahun 2011 dan penggolongan kode ATC bardasar WHO Collaborating Centre. 2. Mengetahui kuantitas penggunaan antibiotik pada kasus ISK rawat inap di RSU Kartini Jepara tahun 2011 melalui pengukuran menggunakan metode DDD. D. Tinjauan Pustaka 1. Infeksi Saluran Kemih (ISK) a. Definisi ISK Infeksi saluran kemih (ISK) adalah keadaan klinis akibat adanya mikroorganisme dalam urin dan berpotensi untuk masuk ke saluran kemih bagian atas, memasuki mukosa pelvis ginjal, meluas ke dalam jaringan interstisial ginjal. Dalam keadaan normal, urin mengandung mikroorganisme, umumnya sekitar 10 2 hingga 10 4 bakteri/ml urin. Pasien didiagnosis ISK jika urinnya mengandung lebih dari 10 5 bakteri/ml (Coyle & Prince, 2008). b. Etiologi ISK dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme, terbanyak adalah bakteri. Sebanyak 90% kasus ISK disebabkan oleh E.coli yaitu bakteri yang dalam keadaan normal terdapat di dalam kolon dan rektum (MIMS, 2009). Mikroorganisme lain yang dapat menyebabkan ISK adalah Klebciella,

4 Enterobacter, Pseudomonas, Streptococcus, dan Staphylococcus (Mansjoer, et al., 2000). Faktor lain yang menyebabkan ISK yaitu hubungan seksual yang tidak aman, pengosongan kandung kemih yang tidak tuntas, dan gangguan fungsi organ saluran kemih (MIMS, 2009). c. Patogenesis Pada umumnya, mikroorganisme masuk ke saluran kemih melalui tiga jalur, yaitu ascending, descending dan limfatik (Coyle & Prince, 2008). 1) Ascending Mikroorganisme masuk lewat uretra. Jalur ini yang paling sering terjadi. Biasanya pada aktivitas seksual, kebiasaan toilet yang buruk, dan kontrol kemih yang buruk pada manula. Dekatnya uretra maupun lubang anal serta saluran uretra yang pendek pada wanita menyebabkan terjadinya ISK. Pengosongan kandung kemih yang tidak lancar juga dapat menyababkan bakteri yang ada dalam saluran kemih tidak dapat terbuang sempurna. 2) Descending Apabila sebelumnya terjadi infeksi pada ginjal yang akhirnya menyebar sampai ke dalam saluran kemih melalui peredaran darah. 3) Limfatik Apabila mikroorganisme masuk melalui sistem limfatik yang menghubungkan kandung kemih dengan ginjal. d. Diagnosis Penegakan diagnosis ISK didasarkan pada adanya jumlah bakteri yang bermakna dalam urin yang steril dengan atau tanpa piuria (Mansjoer, et al., 2000). Pasien terdiagnosis ISK apabila dalam urin mengandung lebih dari 10 5 bakteri /ml urin (Coyle & Prince, 2008). e. Tarapi ISK Antibiotik (Anti adalah lawan, bios adalah hidup) adalah zat-zat kimia yang dihasilkan oleh fungi dan bakteri, yang mempunyai khasiat yang mematikan atau menghambat pertumbuhan kuman (Tjay & Rahardja, 2007). Antibiotik adalah antibakteri yang diperoleh dari mikroorganisme (Priyanto, 2008).

5 Berdasarkan Guidelines on Urological Infection tahun 2011, terapi antibiotik dianjurkan karena keberhasilan klinis lebih signifikan pada pengobatan dengan antibiotik dibanding plasebo. Pemilihan antibiotik untuk terapi disesuaikan oleh spektrum dan pola resistentensi, khasiat untuk indikasi tertentu dalam studi klinis, tolerabilitas, efek samping, biaya dan ketersediaan. Berkenaan dengan penggunaan antibiotik untuk pengobatan infeksi saluran kemih, pengobatan menggunakan fosfomycin trometamol 3000 mg dosis tunggal, pevmecillinam 400 mg selama 3 hari dan nitrofurantoin macrocrystal 100 mg 2 x sehari selama 5 hari merupakan obat pilihan pertama di berbagai negara. Pada daerah dengan tingkat resistensi E.coli <20%, obat pilihan pertama yaitu kotrimoksazol 160/180 mg 2 x sehari selama 3 hari atau trimetoprim 200 mg selama 5 hari. Antibiotik alternatif adalah siprofloksasin 250 mg 2 x sehari, siprofloksasin lepas lambat 500 mg 4 x sehari, levofloksasin 250 mg 4 x sehari, dan ofloksasin 200 mg 4 x sehari, masing-masing sebagai program 3 hari (Grabe, et al., 2011). Tabel 1. Dosis, pemakaian dan lama penggunaan obat yang dipilih untuk terapi ISK (Grabe, et al., 2011) Obat Dosis Pemakaian dan lama penggunaan Fosfomysin trometamol 3000 mg SD selama 1 hari Nitrofurantoin 50 mg 4 x sehari selama 7 hari Nitrofurantoin macrocrystal 100 mg 2 x sehari selama 5-7 hari Pivmecillinam 400 mg 2 x sehari selama 3 hari Pivmecillinam 200 mg 2 x sehari selama 7 hari Alternatif Siprofloksasin 250 mg 2 x sehari selama 3 hari Levofloksasin 250 mg 4 x sehari selama 3 hari Norfloksasin 400 mg 2 x sehari selama 3 hari Ofloksasin 200 mg 2 x sehari selama 3 hari Cefpodoksim proksetil 100 mg 2 x sehari selama 3 hari Jika sudah terjadi resistensi terhadap E.coli <20% Trimetoprim-sulfametoksazol 160/180 mg 2 x sehari selama 3 hari Trimetoprim 200 mg 2 x sehari selama 5 hari 2. Metode ATC/DDD a. Sejarah Sistem ATC/DDD Penelitian penggunaan obat semakin meningkat sejak kelahiran metode ATC/DDD tahun 1960. Sistem Anatomical Theurapetic Chemical (ATC) dimodifikasi dan dikembangkan para peneliti Norwegia oleh The European Pharmaucetical Market Research Association (EPhMRA). Defined Daily Dose

6 (DDD) digunakan untuk memperbaiki unit pengukuran tradisional, untuk digunakan dalam studi penggunaan obat. Pada tahun 1996, WHO menyatakan bahwa perlu mengembangkan penggunaan sistem ATC/DDD sebagai suatu standar internasional untuk studi penggunaan obat. Hal ini penting untuk direalisasikan dalam pencapaian akses universal kebutuhan obat dan penggunaan obat yang rasional di negara-negara berkembang (WHO, 2011). b. Tujuan Sistem ATC/DDD Tujuan dari sistem ATC/DDD adalah sebagai suatu metode kuantitatif yang digunakan dalam penelitian penggunaan obat untuk meningkatkan kualitas penggunaan obat. Sistem ini telah direkomendasikan oleh WHO dan dijadikan acuan internasional dalam studi penggunaan obat (WHO, 2011). c. Sistem Klasifikasi ATC Dalam sistem ATC, obat dibagi dalam kelompok yang berbeda berdasarkan organ atau sistem dimana mereka bertindak sebagai sifat terapi, sifat farmakologi dan kimia (WHO, 2011). Obat diklasifikasikan dalam kelompok pada lima tingkat yang berbeda. Level pertama, obat dibagi dalam 14 kelompok utama anatomi. Kode level pertama berdasarkan huruf. Klasifikasinya dapat dilihat pada tabel 2. Tabel 2. Klasifikasi kode ATC level pertama (Persson, 2002) Kode Makna A Alimentary tract and metabolism B Blood and blood forming organs C Cardiovascular system D Dermatologicals G Genito urinary system and sex hormones H Systemic hormonal preparation J Antiinfectives for systemic use L Antineoplastic and immunomodulating M Musculo-skeletal system N Nervous system P Antiparasitic products, insecticides and repellents R Respiratory system S Sensory organs V Various Level 2, kelompok utama farmakologi dan terdiri dari dua digit angka. Level 3, kelompok farmakologi dan terdiri dari huruf. Level 4, kelompok kimia dan terdiri dari satu huruf. Level 5, kelompok zat kimia dan terdiri dari dua digit angka

7 (Persson, 2002). Menurut WHO (2011), contoh kode ATC untuk siprofloksasin yaitu J01MA02 dan uraiannya dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Contoh kode ATC (WHO, 2011) Kode ATC Makna Level J Antiinfectives for systemic use Level 1, kelompok utama anatomi J01 Antibacterials for systemic use Level 2, kelompok utama Farmakologi J01M Quinolone antibacterials Level 3, kelompok farmakologi J01MA Fluoroquinolones Level 4, kelompok kimia J01MA02 Ciprofloxacin Level 5, kelompok zat kimia d. Unit Pengukuran DDD DDD adalah dosis pemeliharaan rata-rata perhari yang digunakan untuk indikasi utama orang dewasa. DDD hanya ditetapkan untuk obat yang mempunyai kode ATC. Harus ditekankan bahwa DDD didefinisikan sebagai unit pengukuran dan tidak selalu mencerminkan dosis harian yang direkomendasikan atau diresepkan. DDD harus mencerminkan dosis secara umum yang terlepas dari variasi genetik. Data penggunaan obat yang masuk pada DDD hanya memberi perkiraan dari penggunaan, bukan gambaran yang tepat tentang penggunaan yang sebenarnya (WHO, 2011). Prinsip dasarnya adalah hanya untuk menetapkan satu DDD per rute pemberian dalam suatu kode ATC. Prinsip penetapan DDD antara lain: 1) Dosis rata-rata orang dewasa yang digunakan untuk indikasi utama yang direfleksikan dengan kode ATC. Ketika direkomendasikan dosis ke berat badan, seorang dewasa dianggap 70 kg, pada keadaan khusus, terutama untuk anak-anak (seperti mixture, suppositoria) digunakan DDD untuk orang dewasa. Kecuali yang dibuat khusus untuk anak-anak seperti hormon pertumbuhan dan tablet fluorid. 2) Dosis pemeliharaan. Beberapa obat digunakan dalam dosis yang berbeda tetapi tidak direfleksikan dalam DDD. 3) Dosis terapi yang digunakan. 4) DDD biasanya diadakan berdasarkan pernyataan isi (kekuatan) produk. Variasi dalam bentuk garam biasanya tidak memberikan perbadaan DDD, kecuali digambarkan pada guideline untuk kelompok ATC yang berbeda (WHO, 2011).