BAB I PENDAHULUAN. Perubahan Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 24C amandemen ketiga Undang-Undang Dasar

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan kekuasaan raja yang semakin absolut di Negara Perancis

BAB I PENDAHULUAN. Konstitusi yang berbunyi Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan

Oleh: Adrian Faridhi Dosen Fakultas Hukum Universitas Lancang Kuning. Alamat Jl. Yos Sudarso Km 8 Rumbai, Kota Pekanbaru

PERTANYAAN Bagaimanakan kasus Marbury vs Madison Apa alasan John Marshall membatalkan Judiciary Act. Bagaimana pemikiran Yamin tentang Yudisial Review

BAB I PENDAHULUAN. advice hukum, atau menjadi kuasa hukum untuk dan atas nama kliennya. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. dan keadilan hukum juga berfungsi untuk kesejahteraan hidup manusia. perjuangan manusia dalam konteks mencari kebahagiaan hidup.

BAB I PENDAHULUAN. di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum yuridis normatif ( normative legal reserch) yaitu

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang (UU) tehadap Undang-Undang Dasar (UUD). Kewenangan tersebut

Pengujian Ketentuan Penghapusan Norma Dalam Undang-Undang Oleh: Muchamad Ali Safa at (Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011:

PENDAHULUAN. Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 (UUD Tahun 1945) telah melahirkan sebuah

Analisis Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Mengeluarkan Putusan Yang Bersifat Ultra Petita Berdasarkan Undang-Undangnomor 24 Tahun 2003

BAB V KESIMPULA DA SARA

BAB I PENDAHULUAN. perubahan konstitusi yang memberikan jaminan kemandirian dan akuntabilitas

I. PENDAHULUAN. perundang-undangan yang berlaku. Kemandirian dan kemerdekaan dalam

BAB I PENDAHULUAN. pada tanggal 15 Januari Dalam Perubahan Undang-Undang Nomor 30

BAB I PENDAHULUAN. berwenang untuk membuat Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah.

BAB I PENDAHULUAN. Konsep mengenai kedaulatan di dalam suatu negara, berkembang cukup

PROSPEK MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI PENGAWAL DAN PENAFSIR KONSTITUSI. Oleh: Achmad Edi Subiyanto, S. H., M. H.

BAB I PENDAHULUAN. kehakiman diatur sangat terbatas dalam UUD Buku dalam pasal-pasal yang

SKRIPSI. Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum OLEH : RANTI SUDERLY

BAB I PENDAHULUAN. Negara dan Konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan.

BAB 1 PENDAHULUAN. Penuntutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm ), hlm.94.

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 43/PUU-XIV/2016 Kewenangan Jaksa Agung Untuk Mengenyampingkan Perkara Demi Kepentingan Umum

SKRIPSI. Diajukan Guna Memenuhi Sebagai Salah Satu Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum. Oleh : Nama : Adri Suwirman.

Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan prasyarat penting dalam negara. demokrasi. Dalam kajian ilmu politik, sistem Pemilihan Umum diartikan sebagai

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan Ketiga UUD 1945 mengamanahkan pembentukan lembaga yudikatif lain

Prospek Mahkamah Konstitusi Sebagai Pengawal dan Penafsir Konstitusi - Achmad Edi Subiyanto, S. H., M. H.

BAB I PENDAHULUAN. (judicial power) untuk melakukan kontrol terhadap kekuasaan eksekutif(executive

BAB I PENDAHULUAN. hukum dikenal adanya kewenangan uji materiil (judicial review atau

BAB I PENDAHULUAN. konstitusional terhadap prinsip kedaulatan rakyat. Hal ini dinyatakan dalam Pasal

BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya buku Dei delitti e delle pene/on crimes and Punishment (Pidana

BAB I PENDAHULUAN. Hakim adalah aktor utama penegakan hukum (law enforcement) di

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 123/PUU-XIII/2015 Hak Tersangka Untuk Diadili Dalam Persidangan

Susunan Hakim Konstitusi Dalam Psl 24C ayat (3) UUD 1945, MK memiliki 9 orang hakim konstitusi yang ditetapkan o/ Presiden.

RechtsVinding Online

BAB I PENDAHULUAN. Produk hukum, terutama undang-undang, keberadaannya dituntut. untuk dinamis terhadap kebutuhan hukum yang diperlukan oleh

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) telah melahirkan sebuah

KEWENANGAN MENGUJI KONSTITUSIONALITAS PERATURAN DAERAH TERHADAP UUD 1945

BAB I PENDAHULUAN. negara tersebut menimbulkan hak dan kewajiban bagi negara yang dapat dinilai

BAB I PENDAHULUAN. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang merupakan peraturan yang

Presiden, DPR, dan BPK.

BAB I PENDAHULUAN. tugas negara menegakkan hukum dan keadilan 1, dimana di dalamnya

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN

Oleh: FAISAL MUHAMMAD SAFI I C

Lex Administratum, Vol. IV/No. 2/Feb/2016

SIARAN PERS. Penjelasan MK Terkait Putusan Nomor 36/PUU-XV/2017

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

BAB III PERALIHAN KEWENANGAN MAHKAMAH AGUNG KEPADA MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA PEMILUKADA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 26/PUU-XV/2017 Pembatalan Putusan Arbitrase

PUTUSAN. Nomor 024/PUU-IV/2006 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan olehnya dapat di pertanggung jawabkan dihadapan hukum.

BAB I PENDAHULUAN. diwujudkan dengan adanya pemilihan umum yang telah diselenggarakan pada

I. PENDAHULUAN. putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan

BAB I PENDAHULUAN. Pengawasan keuangan negara secara konstitusional dilakukan oleh suatu badan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 108/PUU-XIV/2016 Peninjauan Kembali (PK) Lebih Satu Kali

BAB I PENDAHULUAN. berbagai istilah baik rechtsstaat, rule of law, atau etat de droit. 2 Dalam konteks

BAB I PENDAHULUAN. kita memiliki tiga macam dokumen Undang-undang Dasar (konstitusi) yaitu: 1

BAB II DESKRIPSI (OBYEK PENELITIAN) hukum kenamaan asal Austria, Hans Kelsen ( ). Kelsen menyatakan

BAB I PENDAHULUAN. setelah melalui proses pemeriksaan dan pemutusan perkaranya, akan merasa

BAB 1 PENDAHULUAN. ps. 86. Dalam Praktek, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 17 Maret Legal standing..., Nur Syamsiati D., FHUI.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam

SILABUS PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PENINGKATAN PEMAHAMAN HAK KONSTITUSIONAL WARGA NEGARA PUSAT PENDIDIKAN PANCASILA DAN KONSTITUSI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana

IMPLIKASI YURIDIS LEGALITAS KEWENANGAN (RECHTMATIGHEID) MAJELIS KEHORMATAN DALAM PEMBINAAN NOTARIS SEBAGAI PEJABAT PUBLIK

BAB I PENDAHULUAN. memiliki tujuan sebagai badan yang dibentuk untuk melakukan upaya

INTERVENSI POLITIK DALAM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI Oleh: Meirina Fajarwati * Naskah diterima: 01 Juni 2016; disetujui: 23 Juni 2016

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 5/PUU-XIII/2015 Pengecualian Pembina dalam Menerima Gaji, Upah, atau Honorarium Pengurus

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) dalam konstitusi di. pengganti undang-undang (Perppu). Peraturan Pemerintah Pengganti

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat), bukan negara berdasarkan

2. Masing-masing kamar dipimpin Ketua Kamar yang ditunjuk oleh Ketua MA.

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

BAB III KONSEKUENSI YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI. Nomor 52/PUU-IX/2011 TERHADAP PERATURAN DAERAH KOTA BATU

TINJAUAN YURIDIS TENTANG LEGALITAS EXECUTIVE REVIEW TERHADAP PERATURAN DAERAH (PERDA) Oleh : Deni Daryatno* ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. pihak yang berperkara untuk mengajukan suatu upaya hukum atas putusan

BAB I PENDAHULUAN. susunan organisasi negara yang terdiri dari organ-organ atau jabatan-jabatan

I. PARA PEMOHON 1. Dr. Andreas Hugo Pareira; 2. H.R. Sunaryo, S.H; 3. Dr. H. Hakim Sorimuda Pohan, selanjutnya disebut Para Pemohon.

BAB I PENDAHULUAN. peran penting dalam negara hukum. Karena dalam perspektif fungsi maupun

KEWEWENANGAN PRESIDEN DALAM BIDANG KEHAKIMAN SETELAH AMANDEMEN UUD 1945

I. PENDAHULUAN. praktik ketatanegaraan Indonesia. Setiap gagasan akan perubahan tersebut

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 57/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 86/PUU-XIV/2016 Pemidanaan Bagi Penyedia Jasa Konstruksi Jika Pekerjaan Konstruksinya Mengalami Kegagalan Bangunan

KARAKTERISTIK PENGAWASAN YANG DIMILIKI OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI LEMBAGA PENGAWAS UNDANG-UNDANG DI NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Catatan Koalisi Perempuan Indonesia terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 46/PUU-XIV/2016

BAB I PENDAHULUAN. Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat

Tanto Lailam. Naskah diterima: 21/05/2015 revisi: 06/08/2015 disetujui: 23/11/2015

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 155)

Benturan Asas Nemo Judex Idoneus In Propria Causa dan Asas Ius Curia Novit

BAB I PENDAHULUAN. Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang telah

BAB 1 PENDAHULUAN. Di era globalisasi saat ini kebutuhan masyarakat untuk kehidupan sehari-hari semakin

BAB II KOMISI YUDISIAL, MAHKAMAH KONSTITUSI, PENGAWASAN

PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02/PMK/2003 TAHUN 2003 TENTANG KODE ETIK DAN PEDOMAN TINGKAH LAKU HAKIM KONSTITUSI

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 82/PUU-XV/2017

BAB I PENDAHULUAN. memutus perkara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Institusi militer merupakan institusi unik karena peran dan posisinya yang

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejarah panjang mengenai pengujian produk legislasi oleh sebuah lembaga peradilan (judicial review) akan terus berkembang. Bermula dari Amerika (1803) dalam perkara Madison versus Marbury hingga pembentukan peradilan khusus konstitusional di Austria (1920). Pokok-pokok pemikiran John Marshall dan Hans Kelsen telah memengaruhi cara berhukum dibanyak negara. Indonesia sendiri kemudian mengimplementasikan konsep tersebut pada perubahan ketiga UUD 1945. 1 Perubahan Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 24C amandemen ketiga Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) memisahkan antara kekuasaan kehakiman dalam ranah peradilan umum dengan peradilan perlindungan konstitusionalitas. 2 Peradilan umum dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan dibawahnya. Sedangkan peradilan konstitusionalitas dilaksanakan oleh Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga kekuasaan kehakiman di luar Mahkamah Agung. Mahkamah Konstitusi diberikan kewenangan melakukan pengujian undang-undang terhadap UUD. Sedangkan pengujian peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang diberikan kepada Mahkamah Agung. Menurut Jimly Asshiddiqie, Mahkamah Konstitusi menguji the constitutionality of legislative law or legislation, sedangkan Mahkamah Agung menguji the legality or regulation. 3 Sehingga pengujian undang-undang dibagi ke dalam dua kekuasaan kehakiman yaitu Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung. 1 Pusat Studi Konstitusi FHUA, Perkembangan Pengujain Perundang-Undangan di Mahkamh Konstitusi dalam Jurnal Konstitusi,Vol. 7 No. 6, Desember 2010, Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta,hlm. 161 2 Feri Amsari,Perubahan UUD 1945, Perubahan Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia Melalui Keputusan Mahkamah Konstitusi, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2011, hlm. 160. 3 Op. Cit, Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian..., hlm.5.

Meskipun Mahkamah Agung menguji peraturan perundang-undangan dibawah undangundang terhadap undang-undang, Mahkamah Agung bukan peradilan konstitusionalitas. Dalam rangka pengujian peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang, alat ukur untuk menilai atau dalam menjalankan kegiatan pengujian itu adalah undang-undang, bukan Undang-Undang Dasar seperti di Mahkamah Konstitusi. Untuk itu dapat dikatakan bahwa pengujian yang dilakukan oleh Mahkamah Agung itu adalah pengujian legalitas berdasarkan undang-undang bukan pengujian konstitusionalitas menurut UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 4 Pengujian konstitusionalitas undang-undang merupakan pengujian mengenai nilai konstitusionalitas undang-undang, baik dari segi formal ataupun materiil. 5 Dalam kurun hampir sembilan tahun berdiri, Mahkamah Kosntitusi telah menjadi sebuah lembaga kekuasaan kehakiman yang diakui oleh para pencari keadilan (justisiabellen). Mahkamah Konstitusi mampu menjaga harapan penegakkan hukum di tengah krisis kepercayaan terhadap lembaga peradilan. Mahkamah Konstitusi sering menerobos aturanaturan hukum kaku peninggalan kolonial Belanda. Pemikiran Hakim Konstitusi bergerak dari hukum tekstual ke hukum progresif. Putusan-putusan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar selalu menarik untuk dibahas khusunya pengujian Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, Undang-Undang Komisi Yudisial dan Kekuasaan Kehakiman yang berkaitan dengan Mahkamah Konstitusi. Pengujian undang-undang yang berkaitan dengan Mahkamah Konstitusi merupakan pengenyampingan asas nemo judex in cusa sua, dimana hakim dilarang menangani perkaranya sendiri karena tidak seorang pun dapat menjadi hakim 4 Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 4. 5 Ibid

yang baik dalam perkaranya sendiri. 6 Asas nemo judex in causa sua merupakan asas universal yang harus ditaati dalam peradilan agar hakim bersifat imparsial dan independen. Keberadaaan asas nemo judex in causa sua, memberikan pilihan kepada Mahkamah Konstitusi untuk mematuhi sebuah asas peradilan atau menjamin hak konstitusional warga negara. Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman secara tegas mengatakan seorang hakim atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang berperkara. 7 Mahkamah Konstitusi memilih mengenyampingkan asas nemo judex in causa sua dengan melakukan pengujian undang-undang yang berkaitan dengan Mahkamah Konstitusi meskipun memiliki keterkaitan dengan obyek perkara. Pengujian undang-undang yang berkaitan dengan Mahkamah Konstitusi antara lain: Perkara Nomor 066/PUU-II/2004, Perkara Nomor 005/PUU-IV/2006, Perkara Nomor 48/PUU-IX/2011, dan Perkara Nomor 49/PUU-IX/2011. Perkara Nomor 066/PUU-II/2004 merupakan uji konstitusionalitas Pasal 50 Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2003 (UU 24/2003) dan Pasal 4 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan Industri (UU 1/1987). Berdasarkan Pasal 50 UU 24/2003, undang-undang yang dapat dimohonkan untuk diuji adalah undang-undang yang diundangkan setelah perubahan UUD 1945. Sehingga UU 1/1987 tidak dapat dimohonkan untuk diuji oleh Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu, para 6 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia menyampingkan, mengesampingkan memiliki pengertian mengabaikan, meremehkan, menyepelekan, tidak menghiraukan. Namun imbuhan pe- tidak penulis temukan. Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan kata pengenyampingan dengan alasan kebiasaan berbahasa hukum. ( Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta 1990, hlm.778.) 7 Lihat Pasal 17 Ayat 5 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

pemohon juga memohonkan Pasal 50 UU 24/2003 agar dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Menurut pemohon, apabila Pasal 50 UU 24/2003 tetap diberlakukan bukan tidak mungkin undang-undang lain sebelum perubahan UUD 1945 bertentangan dengan UUD 1945. 8 Pada perkara ini, Hakim Konstitusi memiliki kepentingan terhadap objek perkara meskipun bukan kepentingan pribadi masing-masing hakim. Mahkamah Konstitusi memiliki kepentingan dengan Pasal 50 UU 24/2003 terkait pembatasan terhadap kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian undang-undang. Dalam Putusan MK-RI Perkara Nomor 066/PUU-II/2004, Mahkamah Konstitusi membatalkan pasal ini dengan mempertimbangkan Putusan MK-RI Perkara Nomor 004/PUU-I/2003. Perkara Nomor 004/PUU-I/2003 merupakan uji konstitusionalitas Pasal 7 ayat (1) huruf g Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UU 14/1985). Dalam Putusan MK-RI Perkara Nomor 004/PUU-I/2003, Mahkamah Konstitusi memahami keberadaan Pasal 50 UU 24/2003 mengatur pembatasan terhadap kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam melakukan pengujian undang-undang.. Mahkamah berpendapat : 9 Menimbang persoalan secara berturut-turut, akan dipertimbangkan pula sebagai berikut: Permohonan Pemohon diajukan pada tanggal 15 Februari Tahun 2003, yang berarti sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (13 Agustus 2003). Dengan kata lain, permohonan itu haruslah dipahami dan ditempatkan dalam konteks Peraturan Mahkamah Agung Nomor 02 Tahun 2002, yaitu dasar hukum pengajuan permohonan pengujian Undang-Undang sebelum ada dan berlakunya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian, dalam hubungan ini, haruslah diberlakukan asas umum yang berlaku dalam hukum transisi (transitional law) yaitu bahwa jika terjadi perubahan perundangundangan maka terhadap pencari keadilan haruslah diberlakukan ketentuan yang paling menguntungkan; Sejalan dengan alur pikiran di atas, Pasal 2 Ayat (6)a Peraturan Mahkamah Agung Nomor 02 Tahun 2002 menyatakan, permohonan pengujian undang- 8 Ibid, hlm. 2. 9 Putusan MK-RI Perkara Nomor 004/PUU-I/2003, hlm. 9-10.

undang terhadap Undang-Undang Dasar dilakukan dalam tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari sejak undang-undang termaksud diundangkan, dalam hubungan ini, dalil Pemohon yang mengartikan ketentuan batas waktu 90 hari itu harus diartikan ditujukan bagi undang-undang yang diundangkan setelah Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, dapat diterima; Hal itu berarti, undang-undang yang diundangkan sebelum Perubahan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 tidaklah terikat oleh ketentuan tentang pembatasan jangka waktu permohonan pengujian undang-undang sebagaimana ditentukan dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 02 Tahun 2002, Pasal 2 Ayat (6)a di atas. Dengan kata lain, terhadap Undang-Undang ini tidak ada batas waktu. Perkara Nomor 005/PUU-IV/2006 mengenai uji konstitusionalitas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial (UU 22/2004) dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman (UU 4/2004). Para pemohon berpendapat Hakim Agung dan Hakim Konstitusi tidak termasuk pengertian hakim dalam Pasal 1 Butir 5 UU 22/2004. Selain itu, Hakim Agung, Hakim Konstitusi dan hakim Ad Hoc tidak termasuk obyek pengawasan Komisi Yudisial dalam UU 22/2004 dan UU 4/2004. Pada perkara ini, Hakim Konstitusi memiliki kepentingan langsung terhadap objek perkara. Perkara Nomor 48/PUU-IX/2011 dan Perkara Nomor 49/PUU/IX/2011 mengenai uji konstitusionalitas UU 8/2011. Para Pemohon merasa revisi undang-undang yang dibentuk oleh DPR dan pemerintah menyebabkan terganggunya pelaksanan tugas dan kewenangan Mahkamah Konstitusi. Pada perkara ini, Hakim Konstitusi memiliki kepentingan langsung dan tidak langsung terhadap objek perkara. Pengujian UU 24/2003, UU 22/2004, UU 4/2004 dan UU 8/2011 yang mengenyampingkan asas nemo judex in causa sua tidak dapat dilepaskan dari pemberlakuan asas ius curia novit, dimana hakim dianggap tau hukum sehingga hakim tidak boleh menolak perkara. Hakim wajib memeriksa, mengadili dan memutus perkara. Hal ini secara tegas diatur dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman. Sehingga dalam perkara ini terjadi benturan

asas antara asas nemo judex in causa sua dengan asas ius curia novit. Mengenai benturan asas ini, Yanis Maladi berpendapat : 10 Pengesampingan asas hukum acara nemo judex in causa sua merupakan buah hasil dari konstruksi penafsiran para hakim konstitusi secara komprehensif. Karena disisi lain Mahkamah Konstitusi menganut asas Ius Curia Novit yang mengamanatkan untuk memberikan penyelesaian masalah hukum yang diajukan kepadanya. Bersandar dari aturan tersebut, maka menjadi sebuah kewajiban bagi Mahkamah Konstitusi untuk menyelesaikan konstitusionalitas yang diajukan kepadanya. Meskipun pengenyampingan asas nemo judex in causa oleh Mahkamah Konstitusi dimaksudkan untuk menjamin undang-undang tidak bertentangan dengan UUD 1945, akan tetapi pengujian undang-undang yang berkaitan dengan Mahkamah Konstitusi telah menimbulkan pro dan kontra. Sebahagian pengamat memandang Mahkamah Konstitusi telah melanggar asas nemo judex in causa sua dengan menguji konstitusionalitas undang-undang yang berkaitan dengan Mahkamah Konstitusi. Hal ini diperkuat oleh argumen Hakim Konstitusi Harjono dalam pendapat berbeda (dissenting opinion) terhadap Pasal 87 huruf b UU 8/2011. Harjono berpendapat : 11 Mahkamah pernah menguji konstitusionalitas Undang-Undang yang berhubungan dengan Mahkamah sendiri yaitu pengujian Pasal 50 Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2003 (UU 24/2003). Setelah pengujian terhadap pasal tersebut banyak pendapat yang timbul yang menyatakan bahwa Mahkamah telah memperluas kewenangan sendiri dengan putusan tersebut. Dengan putusan adanya pengujian terhadap Pasal 50 UU 24/2003 sebenarnya Mahkamah termasuk Hakim Konstitusi tidak mengambil keuntungan apa pun karena dengan dinyatakan Pasal 50 UU 24/2003 yang lama sebagai bertentangan dengan Undang-Undang Dasar dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat yang dengan adanya pasal tersebut dapat menyebabkan dua norma berlaku bersama meskipun keduanya terdapat pertentangan dan pula membiarkan adanya standar ganda yang disebabkan norma yang satu diundangkan sebelum perubahan Undang-Undang Dasar sedangkan norma yang lain diundangkan setelah perubahan Undang-Undang Dasar; Dalam perkara sekarang ini seharusnya Mahkamah sangat hati-hati karena yang diperiksa adalah undang-undang yang berkaitan dengan Mahkamah langsung, kalau tidak hati-hati 10 Yanis Maladi, Benturan Asas Nemo Judex Idoneus In Propria Causa dan Asas Ius Curia Novit (Telaah Yuridis Putusan MK-RI Perkara Nomor 005/PUU-IV/2006),dalam Jurnal Konstitusi,Vol.7 No. 2, April 2010, Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, hlm. 12. 11 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-IX/2011, hlm. 82.

dikhawatirkan dapat secara tidak adil dan tidak jujur memutus untuk kepentingan diri sendiri. Mahfud MD, Ketua MK-RI, sebelum terpilih menjadi Hakim Konstitusi pernah menyampaikan di depan Komisi III DPR-RI pada saat mengikuti fit and proper test Hakim Konstitusi tanggal 12 Maret 2008: salah satu dari sepuluh yang harus dijadikan rambu-rambu oleh Mahkamah Konstitusi dalam mengajukan pengujian undang-undang terhadap UUD yaitu Mahkamah Konstitusi tidak boleh melanggar asas nemo judex in causa sua. 12 Meskipun setelah terpilih menjadi Hakim Konstitusi, Mahfud MD justru melanggar asas nemo judex in causa sua. Saldi Isra dalam makalah Putusan Mahkamah Konstitusi No 005/PUU-IV/2006 (Isi, Implikasi, dan Masa Depan Komisi Yudisial) berpendapat : 13 Asas seorang tidak dapat menjadi hakim bagi dirinya sendiri (nemo judex idoneus in propria causa) sebagai salah satu asas dalam hukum acara, MK tidak boleh menyimpanginya. Artinya, alasan bahwa berpekara di MK tidak sama dengan berperkara di pengadilan biasa, tidak dijadikan argumentasi untuk mengabaikan prinsip nemo judex idoneus in propria causa. Sampai saat ini, MK sudah beberapa kali menggunakan argumentasi bahwa berpekara di MK tidak sama dengan berperkara di pengadilan biasa, namun belum ada argumentasi yang dapat menjelaskan hal ini secara tuntas. Putusan-Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengenyampingkan asas nemo judex in causa sua dan telah menimbulkan pro dan kontra menarik dibahas untuk mengetahui lebih dalam dasar dan implikasi pengenyampingan asas nemo judex in causa sua dalam perngujian undang-undang terhadap UUD 1945. Hal inilah yang melatarbelakangi penulis untuk mengangkat skripsi ini dengan judul PENGENYAMPINGAN ASAS NEMO JUDEX IN 12 Mahfud MD, Rambu Pembatas dan Perluasan Kewenangan Mahkamh Konstitusi, hlm.12-13. Makalah ini dapat diakses pada; www.mahfudmd.com 13 Saldi Isra, Pututsan Mahkamah Konstitusi. Makalah dapat diakses pada; www.saldiisra.web.id.

CAUSA SUA DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG TERHADAP UNDANG- UNDANG DASAR OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang diatas, maka penulis membatasi perumusan masalah sebagai berikut: 1. Apasajakah putusan pengujian undang-undang yang berkaitan dengan Mahkamah Konstitusi? 2. Apakah dasar pengeyampingan asas nemo judex in causa sua dalam pengujian undangundang terhadap Undang-Undang Dasar oleh Mahkamah Konstitusi? 3. Bagaimanakah implikasi pengenyampingan asas nemo judex in causa sua dalam pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar oleh Mahkamah Konstitusi? C. Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan yang hendak penulis capai dalam penelitian ini, antara lain : 1. Untuk mengetahui dan mengkaji putusan pengujian undang-undang yang berkaitan dengan Mahkamah Konstitusi. 2. Untuk mengetahui dan mengkaji dasar pengeyampingan asas nemo judex in causa sua dalam pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar oleh Mahkamah Konstitusi. 3. Untuk mengetahui dan mengkaji implikasi pengenyampingan asas nemo judex in causa sua dalam pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar oleh Mahkamah Konstitusi. D. Manfaat Penelitian

Dengan melaksanakan penelitian ini, menurut penulis ada beberapa manfaat yang akan diperoleh antara lain : 1. Manfaat teoritis Untuk memperluas khasanah berpikir penulis di bidang hukum, khususnya mengenai putusan pengujian undang-undang yang berkaitan dengan Mahkamah Konstitusi, dasar pengeyampingan asas nemo judex in causa sua dalam pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar oleh Mahkamah Konstitusi dan implikasi pengenyampingan asas nemo judex in causa sua dalam pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar oleh Mahkamah Konstitusi. 2. Manfaat Praktis Untuk memberikan analisis dan argumentasi mengenai putusan pengujian undangundang yang berkaitan dengan Mahkamah Konstitusi, dasar pengeyampingan asas nemo judex in causa sua dalam pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar oleh Mahkamah Konstitusi dan implikasi pengenyampingan asas nemo judex in causa sua dalam pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar oleh Mahkamah Konstitusi sehingga dapat memberikan masukan kepada Mahkamah Konstitusi, DPR, akademisi dan praktisi hukum. E. Metode Penelitian Dalam menyusun skripsi ini, dibutuhkan bahan atau data yang kongkrit, yang berasal dari bahan kepustakaan yang dilakukan dengan cara penelitian sebagai berikut: 1. Pendekatan Masalah Penelitian ini menggunakan pendekatan hukum normatif (yuridis normatif) dimana: penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data-data

sekunder belaka. Penelitian ini dilakukan terhadap literatur-literatur yang telah ada. 14 Penelitian ini menekankan pada materi hukum yaitu putusan Mahkamah Konstitusi, peraturan perundang-undangan dan didukung literatur yang berkaitan dengan penelitian. 2. Sifat Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif karena menguraikan dan memaparkan putusan pengujian undang-undang yang berkaitan dengan Mahkamah Konstitusi, dasar pengeyampingan asas nemo judex in causa sua dalam pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar oleh Mahkamah Konstitusi dan implikasi pengenyampingan asas nemo judex in causa sua dalam pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar oleh Mahkamah Konstitusi. 2. Sumber dan Jenis data Sumber data adalah tempat di mana dapat diketemukannya data penelitian. Sumber data dalam penelitian ini berasal dari sumber kepustakaan. 15 Adapun jenis data sekunder, antara lain mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil penelitian yang berwujud laporan, dan sebagainya. 16 Data sekunder terdiri atas : a. Bahan hukum primer, 17 yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat yang terdiri atas : 1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 2) Undang-Undang: a) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan- Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman 14 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2009), hlm. 13-14. 15 M. Syamsudin, Operasionalisasi Penelitian Hukum, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm. 98 16 Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm. 30. 17 Ibid, hlm. 118.

b) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan- Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman c) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung d) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan Industri e) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman f) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi g) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman h) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial i) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman j) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Kontitusi k) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial 3) Putusan Mahkamah Konstitusi

a) Putusan MK-RI Nomor 004/PUU-I/2003 Tentang Pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. b) Putusan MK-RI Nomor 066/PUU-II/2004 Tentang Pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan Industri c) Putusan MK-RI Nomor 005/PUU-IV/2006 Tentang Pengujian Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dan Pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman d) Putusan MK-RI Nomor 48/PUU-IX/2011 Tentang Pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi e) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-IX/2011 Tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi b. Bahan hukum sekunder, 18 yaitu bahan hukum memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer diantaranya pendapat pakar hukum. 18 Ibid, hlm.119

c. Bahan hukum tersier, 19 yaitu bahan-bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder diantaranya Kamus Hukum dan Kamus Besar Bahasa Indonesia. 4. Teknik Pengumpulan Data Data yang bermanfaat bagi penulisan ini diperoleh dengan cara studi dokumen atau bahan pustaka, yaitu kegiatan mengumpulkan dan memeriksa atau menelusuri dokumendokumen atau kepustakaan yang dapat memberikan informasi atau keterangan yang dibutuhkan peneliti. 20 Penulis mempelajari bahan-bahan kepustakaan atau data tertulis, terutama yang berkaitan dengan masalah yang akan dibahas, dan tulisan-tulisan ilmiah dari pakar atau ahli yang mengetahui dan membidangi permasalahan yang penulis teliti untuk memperoleh penjelasan yang lebih dalam yang kemudian penulis menganalisis isi data tersebut. 5. Analisis Data Terhadap semua data dan bahan yang diperoleh dari hasil penelitian, diolah dan dianalisis secara : a. Normatif kualitatif yaitu 21 dengan memperlihatkan data-data hukum yang dianalisis dengan uraian kualitatif untuk mengetahui putusan pengujian undang-undang yang berkaitan dengan Mahkamah Konstitusi, dasar pengeyampingan asas nemo judex in causa sua dalam pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar oleh Mahkamah Konstitusi dan implikasi pengenyampingan asas nemo judex in causa sua dalam pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar oleh Mahkamah Konstitusi. 19 Op.Cit, Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif..., hlm. 33 20 Op.Cit, M. Syamsudin, Operasionalisasi, hal.99 21 Soerjono Soekanto, Pengantar.., Op.Cit., hal.63

b. Deskriptif Analisis yaitu 22 dari penelitian yang telah dilakukan menguraikan dan memaparkan mengenai putusan pengujian undang-undang yang berkaitan dengan Mahkamah Konstitusi, dasar pengeyampingan asas nemo judex in causa sua dalam pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar oleh Mahkamah Konstitusi dan implikasi pengenyampingan asas nemo judex in causa sua dalam pengujian undangundang terhadap Undang-Undang Dasar oleh Mahkamah Konstitusi. c. Setelah dianalisis, penulis menjadikan hasil analisis tersebut menjadi skripsi. 22 Ibid.