Pemotongan Sapi Betina Produktif di Rumah Potong Hewan di Daerah Istimewa Yogyakarta

dokumen-dokumen yang mirip
ESTIMASI OUTPUT SAPI POTONG DI KABUPATEN SUKOHARJO JAWA TENGAH

STUDI TENTANG PEMOTONGAN SAPI BETINA PRODUKTIF DI RPH MALANG

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Sapi potong merupakan salah satu komoditas ternak yang potensial dan

IV. POTENSI PASOKAN DAGING SAPI DAN KERBAU

EVALUATION OF SLAUGHTERED FRIESIAN HOLSTEIN CROSSBREED DIARY COWS IN PRODUCTIVE AGE AT KARANGPLOSO SUB DISTRICT MALANG

BAB I PENDAHULUAN. dimanfaatkan untuk membajak sawah oleh petani ataupun digunakan sebagai

SISTEM BREEDING DAN PERFORMANS HASIL PERSILANGAN SAPI MADURA DI MADURA

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

PENDAHULUAN. dengan meningkatnya jumlah penduduk dan pertumbuhan ekonomi. Menurut

PENDAHULUAN. Saat ini kebutuhan manusia pada protein hewani semakin. meningkat, yang dapat dilihat dari semakin banyaknya permintaan akan

Hubungan Umur, Bobot dan Karkas Sapi Bali Betina yang Dipotong Di Rumah Potong Hewan Temesi

KARAKTERISTIK KARKAS SAPI JAWA (STUDI KASUS DI RPH BREBES, JAWA TENGAH)

V. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

I. PENDAHULUAN. Kontribusi sektor pertanian cukup besar bagi masyarakat Indonesia, karena

DAFTAR ISI RIWAYAT HIDUP... ABSTRACT... UCAPAN TERIMAKASIH... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR...

Tatap muka ke : 10 POKOK BAHASAN VII VII. SISTEM PRODUKSI TERNAK KERBAU

- 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PENGENDALIAN SAPI DAN KERBAU BETINA PRODUKTIF

PENDAHULUAN. Tujuan utama dari usaha peternakan sapi potong (beef cattle) adalah

Muhamad Fatah Wiyatna Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran

TINJAUAN PUSTAKA. lokal adalah sapi potong yang asalnya dari luar Indonesia tetapi sudah

BAB I PENDAHULUAN. yang lebih maju, kesadaran kebutuhan nutrisi asal ternak semakin meningkat,

Reny Debora Tambunan, Reli Hevrizen dan Akhmad Prabowo. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Lampung ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Lingkungan Eksternal Penggemukan Sapi. diprediksi oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional

KARYA ILMIAH PELUANG USAHA PETERNAKAN SAPI

STATUS REPRODUKSI DAN ESTIMASI OUTPUT BERBAGAI BANGSA SAPI DI DESA SRIWEDARI, KECAMATAN TEGINENENG, KABUPATEN PESAWARAN

Implikasi Pengetahuan Ayat Tentang Pemotongan Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Terhadap Sapi Bali

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Identifikasi Bobot Potong dan Persentase Karkas Domba Priangan Jantan Yearling dan Mutton. Abstrak

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan daging sapi setiap tahun selalu meningkat, sementara itu pemenuhan

Kondisi Tempat Pemotongan Hewan Bandar Buat Sebagai Penyangga Rumah Pemotongan Hewan (Rph) Kota Padang

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SINJAI NOMOR 5 TAHUN 2005 TENTANG

SIFAT-SIFAT KUANTITATIF KAMBING KACANG BETINA SEBAGAI SUMBER BIBIT DI KECAMATAN LEMAHSUGIH KABUPATEN MAJALENGKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi termasuk dalam genus Bos yaitu dalam Bos taurus dan Bos indicus.

Edisi Agustus 2013 No.3520 Tahun XLIII. Badan Litbang Pertanian

PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian

I. PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati yang sangat besar (mega biodiversity) berupa sumber

RASIO PEMOTONGAN SAPI DI RUMAH PEMOTONGAN HEWAN PESANGGARAN SKRIPSI. Diajukan oleh I Made Fajar Swanditha

Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura

PEMERINTAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT

BAB I PENDAHULUAN. konsumsi protein hewani, khususnya daging sapi meningkat juga.

Pembibitan dan Budidaya ternak dapat diartikan ternak yang digunakan sebagai tetua bagi anaknya tanpa atau sedikit memperhatikan potensi genetiknya. B

PENDAHULUAN. potensi besar dalam memenuhi kebutuhan protein hewani bagi manusia, dan

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK KERBAU DI KALIMANTAN SELATAN

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting

Analisis Break Even Point (BEP) Usahatani Pembibitan Sapi Potong di Kabupaten Sleman

HUBUNGAN ANTARA BOBOT BADAN DENGAN PROPORSI ORGAN PENCERNAAN SAPI JAWA PADA BERBAGAI UMUR SKRIPSI. Oleh NUR FITRI

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. tahun seiring meningkatnya pendapatan dan kesadaran masyarakat akan

STUDI KASUS TINGKAT PEMOTONGAN DOMBA BERDASARKAN JENIS KELAMIN, KELOMPOK UMUR DAN BOBOT KARKAS DI TEMPAT PEMOTONGAN HEWAN WILAYAH MALANG

PROPORSI KARKAS DAN KOMPONEN-KOMPONEN NONKARKAS SAPI JAWA DI RUMAH POTONG HEWAN SWASTA KECAMATAN KETANGGUNGAN KABUPATEN BREBES

Endah Subekti Pengaruh Jenis Kelamin.., PENGARUH JENIS KELAMIN DAN BOBOT POTONG TERHADAP KINERJA PRODUKSI DAGING DOMBA LOKAL

Distribusi komponen karkas sapi Brahman Cross (BX) hasil penggemukan pada umur pemotongan yang berbeda

PEMERINTAH KOTA PROBOLINGGO

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk yang terus

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

tumbuh lebih cepat daripada jaringan otot dan tulang selama fase penggemukan. Oleh karena itu, peningkatan lemak karkas mempengaruhi komposisi

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... ABSTRAK... ABSTRACT... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR ILUSTRASI... DAFTAR LAMPIRAN...

PENGARUH BANGSA PEJANTAN TERHADAP PRODUKTIVITAS PEDET SAPI POTONG HASIL INSEMINASI BUATAN

BIRTH WEIGHT, WEANING WEIGHT AND LINEAR BODY MEASUREMENT OF ONGOLE CROSSED CATTLE AT TWO GROUP PARITIES ABSTRACT

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II KULON PROGO

PEMERINTAH KABUPATEN SAMPANG

I. PENDAHULUAN. Barat cendrung meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan data Badan Pusat

KARAKTERISTIK TERNAK DAN KARKAS SAP1 UNTUK KEBUTUHAN PASAR TRADISIONAL DAN PASAR KHUSUS

I. PENDAHULUAN. tentang pentingnya protein hewani untuk kesehatan tubuh berdampak pada

DINAMIKA POPULASI SAPI POTONG DI KECAMATAN PAMONA UTARA KABUPATEN POSO

TINJAUAN PUSTAKA. Gaduhan Sapi Potong. Gaduhan adalah istilah bagi hasil pada bidang peternakan yang biasanya

MUNGKINKAH SWASEMBADA DAGING TERWUJUD?

Korelasi Antara Nilai Frame Score Dan Muscle Type... Tri Antono Satrio Aji

Peta Potensi Genetik Sapi Madura Murni di Empat Kabupaten di Madura. Nurgiartiningsih, V. M. A Bagian Produksi Ternak Fakultas Peternakan UB, Malang

HUBUNGAN BOBOT KARKAS DENGAN LUAS URAT DAGING MATA RUSUK PADA SAPI BRAHMAN CROSS JANTAN DI RUMAH POTONG HEWAN (RPH) LUBUK BUAYA PADANG SKRIPSI.

WALIKOTAMADYA KEPALA DAERAH TINGKAT II YOGYAKARTA

FORMULASI RANSUM PADA USAHA TERNAK SAPI PENGGEMUKAN

PRODUKTIVITAS DAN ANALISA KELAYAKAN USAHA TERNAK SAPI POTONG DI YOGYAKARTA (POSTER) Tri Joko Siswanto

KERAGAAN PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG YANG DIFASILITASI PROGRAM PENYELAMATAN SAPI BETINA PRODUKTIF DI JAWA TENGAH

LEMBARAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 1 TAHUN 2015

BIRTH WEIGHT AND MORPHOMETRIC OF 3 5 DAYS AGES OF THE SIMMENTAL SIMPO AND LIMOUSINE SIMPO CROSSBREED PRODUCED BY ARTIFICIAL INSEMINATION (AI) ABSTRACT

Analisis Pemasaran Domba dari Tingkat Peternak Sampai Penjual Sate di Kabupaten Sleman

Lampiran 1. Kuisioner Penelitian Desa : Kelompok : I. IDENTITAS RESPONDEN 1. Nama : Umur :...tahun 3. Alamat Tempat Tinggal :......

Tinjauan Tentang Populasi Sapi Potong dan Kontribusinya terhadap Kebutuhan Daging di Jawa Tengah

PEMILIHAN DAN PENILAIAN TERNAK SAPI POTONG CALON BIBIT Lambe Todingan*)

PEMERINTAH KOTA PROBOLINGGO

RENCANA KINERJA TAHUNAN

Bibit sapi potong - Bagian 2: Madura

PENGUJIAN KEMURNIAN SAPI BALI DENGAN MENGGUNAKAN METODE ISOELEKTRIC FOCUSING

ANALISIS MARGIN HARGA PADA TINGKAT PELAKU PASAR TERNAK SAPI DAN DAGING SAPI DI NUSA TENGGARA BARAT PENDAHULUAN

Karakteristik Kuantitatif Sapi Pasundan di Peternakan Rakyat... Dandy Dharma Nugraha KARAKTERISTIK KUANTITATIF SAPI PASUNDAN DI PETERNAKAN RAKYAT

PENAMPILAN REPRODUKSI SAPI PERANAKAN ONGOLE DAN PERANAKAN LIMOUSIN DI KABUPATEN MALANG

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH

Key words : DAS Progo, Beef cattle, The potency of area

PENGGUNAAN BAHAN PAKAN LOKAL SEBAGAI UPAYA EFISIENSI PADA USAHA PEMBIBITAN SAPI POTONG KOMERSIAL: Studi Kasus di CV Bukit Indah Lumajang

Analisis Jumlah dan Umur Sapi Bali Betina Produktif yang Dipotong di Rumah Pemotongan Hewan Pesanggaran dan Mambal Provinsi Bali

PEDOMAN SURVEI KARKAS

SISTEM PEMELIHARAAN DAN PRODUKTIVITAS SAPI POTONG PADA BERBAGAI KELAS KELOMPOK PETERNAK DI KABUPATEN CIAMIS SKRIPSI ELIS NURFITRI

B. Suryanto Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang ABSTRAK ABSTRACT

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jenis Sapi Potong di Indonesia

FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP PENDAPATAN PETERNAK SAPI DI KABUPATEN BANYUMAS FACTORS AFFECTING INCOME OF BEEF CATTLE FARMERS IN BANYUMAS

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 35/Permentan/OT.140/7/2011 TENTANG PENGENDALIAN TERNAK RUMINANSIA BETINA PRODUKTIF

Hubungan antara Umur dengan Berat Karkas Depan (Fore Quarter) Ditinjau dari Potongan Primal Sapi Bali Jantan

PENGANTAR. Latar Belakang. khususnya masyarakat pedesaan. Kambing mampu berkembang dan bertahan

KARAKTERISTIK KARKAS DAN BAGIAN-BAGIAN KARKAS SAPI PERANAKAN ONGOLE JANTAN DAN BETINA PADA PETERNAKAN RAKYAT DI PROVINSI SULAWESI TENGGARA

PENELITIAN MUTU GENETIK SAPI ONGOLE DAN BRAHMAN DI KABUPATEN SUMBA TIMUR, NUSA TENGGARA TIMUR

Transkripsi:

Sains Peternakan Vol. 7 (1), Maret 2009: 20-24 ISSN 1693-8828 Pemotongan Sapi Betina Produktif di Rumah Potong Hewan di Daerah Istimewa Yogyakarta N. Rasminati, S. Utomo dan D.A. Riyadi Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian Universitas Mercu Buana, Yogyakarta ABSTRAK Penelitian bertujuan untuk mengetahui jumlah sapi umur produktif yang dipotong di RPH maupun TPH di DIY. Materi penelitian adalah sapi-sapi yang dipotong di RPH maupun TPH di 4 kabupaten dan kodya Yogyakarta selama 1 bulan. Metode penelitian menggunakan metoda survey dan observasi langsung ke obyek (RPH dan TPH) yang telah ditentukan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah pemotongan sapi umur produktif (< 2 tahun) sebanyak 28,98%, 2 5 tahun adalah 69,55 % dan lebih dari 5 tahun adalah 1,44% dengan jumlah betina 54,58% dan jantan 32,36%. Pemotongan sapi yang tidak produktif sebanyak 13,04% yang terdiri atas 5,79% jantan dan 7,24% betina. Bangsa sapi PO yang dipotong sebanyak 60,36% (125 ekor), Brahman Cross 16,42 (34 ekor), Simmental 15,94% (33 ekor), Brangus 2,42% (5 ekor), Limousin 4,35% (9 ekor) dan PFH sebanyak 0,48% (1 ekor). Persentase pemotongan sapi umur produktif adalah 86,95% dengan jumlah betina produktif 64,25%. Bangsa sapi yang banyak dipotong adalah sapi PO dengan jenis kelamin betina umur 2 sampai dengan 5 tahun. Dapat disimpulkan bahwa sapi betina pproduktif yang dipotong di rumah potong hewan di Yogyakarta masih cukup tinggi, hal ini akan mempengaruhi ketersediaan sumber bibit sapi potong. Kata kunci : sapi betina produktif, pemotongan, rumah potong hewan, Yogyakarta. The productive female beef cattle slaughtering at abattoir in Yogyakarta ABSTRACK The research was conducted to know the number of the productive female beef cattle slaughtering at abattoir in DIY. All of the beef cattle which slaughtered along a month were used in this research. The result showed that the number of productive beef cattle slaughtered up to 2 years old were 28.98%; 2 5 years old were 69.55%; more than 5 years old were 1.44%. The female beef cattle slaughtered were 54.58% and the male beef cattle slaughtered were 32.36%. The non productive beef cattle slaughtered were 13.04% including 5.79% male and 7.24% female. The Peranakan Ongole (PO) breed slaughtered was 60.36% (125 heads), Brahman Cross 16.42% (34 heads), Simmental 15.94% (33 heads), Brangus 2.42% (5 heads), Limousine 4.35% (9 heads) and PFH 0.48% (1 heads). The percentage of productive beef cattle slaughtering were 86.95% with female beef productive were 64.25% and the PO breed at 2 5 years old were the most slaughtered. It could be concluded that the productive female beef cattle slaughtering at abattoir in DIY was quite high, which may influence the breed resources of beef cattle. Key words : Productive beef cattle, slaughtering, abattoir, Yogyakarta 20 Sains Peternakan Vol. 7 (1), Maret 2009

PENDAHULUAN Populasi sapi di Indonesia mengalami fluktuasi akibat kenaikan tingkat pemotongan tanpa diimbangi kenaikan kelahiran. Berbagai usaha telah dilakukan pemerintah untuk mengendalikan laju penurunan populasi sapi tanpa mengurangi pengadaan daging bagi, misalnya meningkatkan kelahiran melalui program inseminasi buatan, menekan tingkat kematian dengan penekanan masuknya penyakit dan usaha pengendalian pemotongan sapi betina produktif (Anonimus, 1989). Sapi betina umur produktif adalah sapi betina yang masih berada dalam masa produktif yaitu berumur kurang dari lima tahun atau mempunyai gigi seri permanen di bawah empat pasang. Pemotongan sapi betina umur produktif merupakan pelanggaran, sebagaimana peraturan pemotongan hewan Staadblad No. 614 artikel 2 tahun 1936 dan instruksi bersama Menteri Dalam Negari dan Menteri Pertanian Republik Indonesia No. 18 tahun 1979, No. 66/Ins/UM/3/1979 serta SK Dirjen Peternakan No. 509/kpts/Deptan/1981 yang menyebutkan berbagai syarat pemotongn hewan besar bertanduk adalah disembelih tidak dalam hubungan dengan perusahaan atau mata pencaharian, ditimpa kecelakaan berat, karena penyakit sehingga jiwanya terancam, merupakan bahaya langsung bagi keamanan orang dan barang. Pemerintah kemudian mengeluarkan lanjutan peraturan tersebut dalam instruksi bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertanian Republik Indonesia tahun 1979 No. 05/ins/3/1992 tentang peraturan pencegahan dan pelarangan pemotongan ternak sapi/kerbau betina bunting dan atau sapi/kerbau betina bibit (Anonimus, 1989). Apabila sapi betina produktif dibiarkan dipotong mengakibatkan pengadaan ternak sapi potong semakin berkurang. Selain itu karena suplai sapi potong menurun, maka harga daging sapi akan meningkat dan merangsang petani peternak untuk menjual ternaknya lebih cepat. Hal ini akan menyebabkan kelestarian ternak sapi terancam punah (Harmadji et al., 1981). Sehubungan dengan kenyataan di atas, masalah yang perlu dikaji adalah berapa jumlah pemotongan ternak sapi umur produktif di Rumah Potong Hewan (RPH) dan Tempat Pemotongan Hewan (TPH) di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi pemotongan ternak sapi umur produktif khususnya sapi betina, agar menjadi bahan pertimbangan dalam rangka peningkatan populasi sapi potong di DIY. MATERI DAN METODE Penelitian dilaksanakan di RPH dan TPH yang ada di DIY, selama waktu satu bulan, yaitu bulan Juni Juli 2004. Materi yang digunakan adalah semua ternak sapi yang dipotong di RPH dan TPH di DIY baik ternak sapi jantan maupun betina. Data yang diperoleh yaitu jumlah, bangsa, jenis kelamin, umur dan bobot potong sapi ditabulasi, kemudian dirata-rata serta dianalisis secara deskriptif. HASIL DAN PEMBAHASAN Asal dan Bangsa Sapi yang Dipotong Berdasarkan data Statistik Peternakan tahun 2003, jumlah populasi sapi potong di DIY sebanyak 23.071 ekor, konsumsi daging sebesar 4.934 ton/tahun dan jumlah pemotongan sebesar 221.564 ekor. Untuk memenuhi kebutuhan daging tersebut, berbagai usaha dilakukan dengan mendatangkan ternak sapi dari luar wilayah DIY seperti Klaten, Muntilan dan Purworejo. Selama penelitian, wilayah yang mempunyai kebutuhan daging paling tinggi tetapi populasi ternak sapi sedikit adalah Kodya Yogyakarta. Ternak sapi yang dipotong di RPH maupun TPH selama penelitian 52% berasal dari dalam propinsi dan 47% berasal dari daerah lain di sekitar propinsi DIY. Kebutuhan sapi potong di wilayah DIY masih disuplai dari luar propinsi, karena persediaan sapi yang layak dipotong di DIY sedikit. Pemotongan Sapi Betina..(Rasminati et al.) 21

Bangsa sapi potong yang banyak dijumpai di DIY adalah Peranakan Ongole (PO), Brahman cross, Simmental, Limousin dan Brangus. Pemotongan sapi PO sebanyak 59,5% dari seluruh ternak sapi yang dipotong. Sapi PO memiliki daya adaptasi dan pertambahan bobot badan yang baik. Hal ini menyebabkan sapi PO secara luas telah diternakkan oleh masyarakat di DIY. Jumlah pemotongan terbanyak setelah sapi PO adalah sapi Brahman cross (16,6%) dari seluruh sapi yang dipotong. Sapi Brahman cross mempunyai bentuk tubuh yang lebih besar dan tingkat pertumbuhan yang lebih cepat dibandingkan dengan sapi PO. Pemeliharaan ternak sapi di DIY kebanyakan masih bersifat tradisional, sehingga produktivitas sapi Brahman cross tidak bisa maksimal. Pemotongan sapi Simmental sebanyak 16,19%, sedangkan sapi Brangus, Limousin dan PFH masing-masing sebesar 2,4; 4,34 dan 0,48%. Sedikitnya jumlah pemotongan sapi tersebut sangat berhubungan dengan populasi sapi yang ada di wilayah DIY. Umur dan Bobot Potong Sapi Dari seluruh ternak sapi yang dipotong, pemotongan sapi jantan umur kurang dari 2 tahun sebesar 9,66% dan betina 19,38%. Pemotongan sapi jantan umur 2 5 tahun 28,00% dan betina 41,50%, sedangkan yang berumur lebih dari 5 tahun untuk jantan sebesar 0,50% dan betina 0,96%. sapi betina umur produktif yang dipotong di RPH dan TPH di DIY cukup banyak. Hal ini disebabkan karena persediaan sapi potong masih sedikit dan harga sapi betina lebih murah dibandingkan dengan sapi jantan (Anonimus, 1990 dan Harmadji et al., 1981). Selain itu dengan adanya harga sapi jantan yang lebih tinggi di pasaran, jagal dan pedagang sapi akan cenderung memilih sapi yang murah dan mudah didapat walaupun masih dalam umur produktif untuk dipotong. Pemotongan sapi betina produktif dapat mengakibatkan pengadaan ternak sapi potong akan semakin Tabel 1. Jumlah pemotongan sapi umur produktif selama penelitian. Bangsa Jantan Betina Total Umur (tahun) Umur (tahun) < 2 2 5 > 5 < 2 2 5 > 5 PO 7 34 1 19 51 2 114 Brahman cross 4 6 0 7 11 0 28 Simmental 1 8 0 7 11 0 27 Brangus 2 1 0 0 1 0 4 Limousin 2 1 0 2 2 0 7 Jumlah 16 50 1 35 76 2 180 Tabel 2. Rata-rata bobot potong (kg) sapi yang dipotong selama penelitian. Umur sapi (th) Bangsa PO Brahman cross Simmental Brangus Limousin < 2, jantan 238,56 299,00 280,00 305,00 257,00 < 2, betina 237,00 249,14 275,80-228,00 2-5, jantan 348,47 356,67 343,40 360,00 378,00 2-5, betina 332,44 363,25 342,58 351,50 322,00 > 5, jantan 510,00 - - - - > 5, betina 486,50 - - - - Rerata 358,82 317,01 310,45 338,83 296,25 22 Sains Peternakan Vol. 7 (1), Maret 2009

berkurang, sehingga harga daging sapi meningkat. Hal ini akan merangsang peternak untuk menjual ternaknya lebih awal. Jumlah sapi produktif yang dipotong di RPH maupun TPH di DIY selama penelitian adalah 86,95% terdiri dari 37,22% jantan dan 62,78% betina. Sedangkan sapi yang tidak produktif yang dipotong sejumlah 13,05% yang terdiri dari 44,44% jantan dan 55,56% betina. Sapi yang tidak produktif adalah sapi yang tidak menguntungkan secara ekonomis baik untuk usaha penggemukan, ternak kerja maupun reproduksi. Sapi tidak produktif ini memiliki eksterior yang jelek, umur sudah tua, penurunan kemampuan reproduksi dan sapi yang sakit. Selama penelitian, bobot terendah dari sapi yang dipotong adalah 237 kg sedangkan bobot tertinggi adalah 510 kg (Tabel 2.) sapi PO merupakan sapi yang paling banyak dipotong dengan bobot potong rata-rata 358,82 kg. Hasil ini tidak sesuai dengan pendapat Reksohadiprodjo (1984) yang menyatakan bahwa sapi PO sebaiknya dipotong setelah mencapai bobot potong antara 368 408 kg. Pemotongan sapi sebelum bobot potong maksimal tercapai ini dapat terjadi, karena petani di daerah Yogyakarta masih memelihara ternak secara tradisional dan hanya sebagai usaha sampingan. Para peternak belum memberikan perhatian pada ternak sepenuhnya, terutama dalam pemeliharaan, pemberian pakan dan bibit yang digunakan. Bibit ternak sapi yang digunakan masih seadanya, karena belum dilakukan seleksi secara terarah. Pemotongan sapi yang belum waktunya dapat terjadi karena para pedagang atau jagal harus memenuhi kebutuhan konsumen akan daging sapi yang cukup tinggi. Selain itu kesadaran peternak tentang efek negatif dari penjualan ternak umur produktif masih sangat kurang. Soedarmono (1983) menyatakan bahwa keadaan sosial ekonomi peternak yang masih rendah dan kurangnya petugas maupun ulah pedagang menghindar dari pengawasan, mengakibatkan ternak umur produktif dapat lolos ke arah konsumen. Jika ternak tersebut lolos, akan diusahakan untuk dipotong karena ternak tersebut tidak mungkin dikembalikan ke daerah produsen atau diternakkan sebagai bibit, sehingga dengan berbagai upaya jagal akan tetap memotong ternak tersebut. rata-rata persentase karkas untuk sapi PO, Brahman cross, Simmental, Brangus dan Limousin berturut-turut adalah 46,36; 44,89; 44,90; 45,39 dan 44,67%. Persentase karkas sangat dipengaruhi oleh bobot potong ternak. Kenaikan bobot potong akan cenderung meningkatkan persentase karkas yang diikuti dengan persentase daging dan tulang. Berarti dengan bobot potong yang lebih tinggi akan menghasilkan karkas yang tinggi pula. Prediksi Kebutuhan Ternak Sapi di DIY Kebutuhan daging di DIY tahun 2003 adalah 36.860 ton/tahun dengan produksi daging sapi 4.934 ton/tahun, sedangkan pemotongan sapi sebesar 23.071 ekor/tahun (Statistik Peternakan, 2003). Hal ini berarti produksi daging rata-rata per ekor 213 kg setara dengan sapi yang terpotong dengan bobot potong 471,76 kg. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa rata-rata bobot potong sapi adalah 324,27 kg, sehingga dibutuhkan lebih banyak sapi yang dipotong setiap tahunnya untuk memenuhi kebutuhan daging. Menurut data statistik tahun 2003, propinsi DIY mempunyai populasi ternak sapi potong sebesar 221.564 ekor dan konsumsi protein hewani yang berasal dari daging sebesar 5,52 kg/kapita/tahun. Jika kontribusi daging sapi hanya 13,38%, berarti konsumsi daging sapi adalah 0,73 kg/kapita/tahun. Jumlah penduduk di DIY 3.163.000 orang, sehingga akan dibutuhkan daging sekitar 2.302,67 ton. Apabila daging tersebut dipenuhi dengan memotong ternak sapi yang ada di wilayah DIY, akan dibutuhkan 23.719 ekor sapi per tahun, sehingga dapat diprediksi dalam 9 10 tahun mendatang, populasi ternak sapi di DIY akan terkuras dan punah apabila pemotongan sapi betina produktif dilakukan terus menerus. Berdasarkan hal tersebut, perlu dilakukan Pemotongan Sapi Betina..(Rasminati et al.) 23

peningkatan populasi ternak dan kualitas genetiknya dengan mencegah pemotongan betina umur produktif dan perbaikan pelaksanaan IB di lapangan. Diharapkan di propinsi DIY di masa-masa mendatang akan tersedia sumber bibit yang potensial untuk mencegah terkurasnya populasi ternak sapi potong. KESIMPULAN Pemotongan sapi umur produktif di propinsi DIY mencapai 86,95 % dengan jumlah pemotongan sapi betina produktif 64,25%. Sapi yang paling banyak di potong adalah bangsa sapi PO dengan jenis kelamin betina umur 2 5 tahun. DAFTAR PUSTAKA Anonimus, 1989. Kebijakan Operasional Pembangunan Peternakan Dalam Pelita V. Dirjen Peternakan, Deptan, Jakarta. Anonimus, 1990. Sapi Potong dan Kerja. Kanisius, Yogyakarta. Badan Pusat Statistik, 2003. Statistik Peternakan Tahun 2003. Dirjen Bina Produksi Peternakan, Departemen Pertanian, Jakarta. Harmadji, S. Gamblong dan M.cGatot, 1981. Pengendalian Pemotongan Sapi Betina Umur Produktif dan Permasalahannya. Kertas Kerja Seminar Penelitian Peternakan. Bogor. Reksohadiprodjo, S., 1984. Pengantar Ilmu Peternakan Tropik. BPFE. Yogyakarta. Soedarmono, 1983. Upaya Peningkatan Populasi Ternak dengan Mengendalikan Terjadinya Pemotongan Sapi dan Kerbau Betina Produktif. Dirjen Peternakan, Deptan, Jakarta. 24 Sains Peternakan Vol. 7 (1), Maret 2009