BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

dokumen-dokumen yang mirip
Kata kunci : Toponimi, Fenomena geografis, Persepsi masyarakat terhadap toponimi.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 39 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN UMUM PEMBAKUAN NAMA RUPABUMI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.378, 2010 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Kawasan Hutan. Fungsi. Perubahan.

II. TINJAUAN PUSTAKA. lukisan atau tulisan (Nursid Sumaatmadja:30). Dikemukakan juga oleh Sumadi (2003:1) dalam

BAB II GAMBARAN UMUM. berstatus Pegawai Negeri Sipil. Kelurahan ialah unit pemerintahan terkecil

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P. 34/Menhut-II/2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah sebuah negara yang memiliki sumber daya alam yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Fajra Adha Barita, 2015

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 tahun 1999, hutan adalah

BAB I PENDAHULUAN. multi dimensional baik fisik, sosial, ekonomi, politik, maupun budaya.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pariwisata merupakan salah satu sumber devisa negara selain dari sektor

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki tanah air yang kaya dengan sumber daya alam dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang


IV. KEADAAN UMUM KOTA BANDAR LAMPUNG. Kota Bandar Lampung pintu gerbang Pulau Sumatera. Sebutan ini layak untuk

BAB I PENDAHULUAN spesies tumbuhan, 940 spesies diantaranya merupakan tumbuhan obat dan

BAB I PENDAHULUAN. dijumpai disetiap tempat dan mempunyai posisi penting sebagai salah satu

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu daerah di Indonesia dan suku Simalungun menjadikan

BAB I PENDAHULUAN. penunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman Nasional Kerinci Seblat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Letak wilayah yang strategis dari suatu daerah dan relatif mudah

Penyelamatan Ekosistem Sumatera Dalam RTR Pulau Sumatera

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. Permukiman menunjukkan tempat bermukim manusia dan bertempat tinggal menetap dan

IV. GAMBARAN UMUM TEMPAT PENELITIAN. Bandar Lampung merupakan Ibukota Provinsi Lampung yang merupakan daerah

Pola pemukiman berdasarkan kultur penduduk

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV

SMP NEGERI 3 MENGGALA

I. PENDAHULUAN. Kawasan Pelestarian Alam (KPA). KSA adalah kawasan dengan ciri khas

BAB III PRINSIP, KEBIJAKAN, DAN PROSEDUR PEMBERIAN NAMA RUPABUMI

Survei: Sebuah Perjalanan Mengenal Nusantara

LAPORAN PRAKTIKUM KARTOGRAFI DASAR

1. PENDAHULUAN. Suprihan (Supriharyono, 2002:1). Setiap kepulauan di Indonesia memiliki

meningkat. Banjir dapat terjadi karena peluapan air yang berlebihan di suatu tempat akibat hujan deras, peluapan air sungai, atau pecahnya bendungan

Ringkasan Materi Pelajaran

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB V PROFIL KAWASAN PENELITIAN

II.TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bioregion

Kebijakan Pembakuan Nama Rupabumi di Indonesia. Drs. Eko Subowo, MBA Plt. Dirjen Bina Administrasi Kewilayahan, Kemendagri

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. pada Tahun Kabupaten ini memiliki situs sejarah atau perjalanan sejarah

2015 KEHID UPAN MASAYARAKAT BAD UY LUAR D I D ESA KANEKES KABUPATEN LEBAK BANTEN

I. UMUM. Sejalan...

I. PENDAHULUAN. 2007:454). Keanekaragaman berupa kekayaan sumber daya alam hayati dan

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Lahan merupakan sumber daya alam strategis bagi segala pembangunan. Hampir

BAB I PENDAHULUAN. Suku bangsa Melayu di Sumatera Timur mendiami daerah pesisir timur

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

Disampaikan Pada Acara :

Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Standar Akuntansi Pemerintahan (PP 71/2010), aset adalah

I. PENDAHULUAN. Pariwisata merupakan salah satu fenomena sosial, ekonomi, politik, budaya,

BAB IV GAMBARAN UMUM

BAB I PENDAHULUAN. sekarang ini sedang dikembangkan oleh pemerintah Indonesia. Selain bertujuan

BAB I PENDAHULUAN. Partisipasi Masyarakat Dalam, Inta Sulisdiyanti, FKIP, UMP, 2017

Ekologi Hidupan Liar HUTAN. Mengapa Mempelajari Hidupan Liar? PENGERTIAN 3/25/2014. Hidupan liar?

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa kekayaan sumber daya

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. sebagai akibat akumulasi beberapa faktor yaitu: hujan, kondisi sungai, kondisi

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang mempunyai beragam suku, agama dan budaya, ada

BAB I PENDAHULUAN. Merciana Daverta, 2013 Kepedulian Masyarakat Kelurahan Ciumbuleuit Kecamatan Cidadap Kota Bandung Terhadap

BAB I PENDAHULUAN.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Bagi manusia, lahan sangat dibutuhkan dalam menjamin kelangsungan hidup

1BAB I PENDAHULUAN. KotaPontianak.Jurnal Lanskap Indonesia Vol 2 No

PENDAHULUAN. No. 48 Tahun 1988 tanggal 19 November Pembangunan Taman Hutan. Raya Bukit Barisan ini sebagai upaya konservasi sumber daya alam dan

Oleh: Tarsoen Waryono **)

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan pesat di seluruh wilayah Indonesia. Pembangunan-pembangunan

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Bermukim merupakan salah satu cerminan budaya yang. merepresentasikan keseluruhan dari teknik dan objek, termasuk didalamnya cara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sastra lisan merupakan bagian dari kebudayaan yang tumbuh dan

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

III. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 1999 TENTANG PEMERINTAHAN PROPINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA NEGARA REPUBLIK INDONESIA JAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. Kota merupakan salah satu wilayah hunian manusia yang paling kompleks,

PENDAHULUAN. Indonesia terdiri dari pulau, daratan seluas 1,9 juta km 2, panjang garis pantai

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah sebuah negara kepulauan terbesar di dunia dengan

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung

Konservasi Lingkungan. Lely Riawati

SALINAN. Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN KAWASAN KARS DI JAWA BARAT GUBERNUR JAWA BARAT

BAB II GAMBARAN UMUM WILAYAH PULAU BURUNG. wilayah administratif Kabupaten Indragiri Hilir, Propinsi Riau yang memiliki luas 531,22 km²

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Hartini Susanti, 2015

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SINJAI NOMOR 32 TAHUN 2012 TENTANG PENAMAAN FASILITAS UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SINJAI,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. Geografi merupakan cabang ilmu yang dulunya disebut sebagai ilmu bumi

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LANSKAP. Mempunyai karakter (tropis, temperate; gurun, gunung, pantai; rural, urban; oriental, western; tradisional/etnik, modern, dll) time

BAB IV KESIMPULAN. Secara astronomi letak Kota Sawahlunto adalah Lintang Selatan dan

I. PENDAHULUAN. Taman Hutan Raya (Tahura) Tongkoh terletak di dua kabupaten yaitu Kabupaten

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Mengutip pernyataan Jacub Rais bahwa kita terpesona oleh kalimat bersayap William Shakespeare What s in a name, tetapi tidak berlaku dalam toponimi yang selalu mengatakan behind a name is a long history of human settlement. Manusia selalu memberi nama unsur-unsur lingkungannya sejak manusia berbudaya dan menetap di suatu tempat. Nama-nama gunung, sungai, bukit, bahkan nama desa tempat tinggalnya diberi nama untuk acuan masyarakat dan nama-nama tersebut terkait dengan bahasa dan budaya masyarakat itu sendiri. Dengan kata lain, tidak ada nama geografis yang tidak mempunyai arti. Lebih lanjut Rais (2008 : 4) menyatakan bahwa tiap unsur di muka bumi yang disebut unsur geografi atau unsur rupabumi, seperti gunung, bukit, sungai, tanjung, lembah, selat, pulau, dan sebagainya diberi nama oleh manusia sejak manusia ingin mengidentifikasi lingkungan fisiknya di muka bumi untuk tujuan komunikasi atau untuk acuan dengan menunjuk suatu objek geografis tertentu dalam orientasi dirinya terhadap lingkungan fisiknya. Di Indonesia, tidak sedikit nama tempat berasosiasi atau diasosiasikan dengan berbagai bentuk fenomena alam yang hadir atau pernah hadir di tempat atau di sekitar tempat tersebut. Misalnya, nama tempat yang berasosiasi dengan sungai, di Jawa barat biasanya diawali dengan Ci, seperti Cicaheum, Ciawi, Cimalaka. Sedangkan di daerah Sumatera selatan dan Jambi yaitu Batang atau di daerah Lampung biasanya menggunakan kata Way, dan banyak lagi nama tempat yang berasosiasi dengan sungai dengan bahasa yang berbeda-beda berdasarkan bahasa lokal di daerah bersangkutan. Contoh lain yaitu dari hasil penelitian Miftah (2008 : 111), di wilayah Kota Bandung penamaan tempat sangat erat kaitannya dengan fenomena geografis yang hadir di sekitarnya. Baik fenomena alam, fenomena sosial, dan peristiwa yang dialami manusia. Nama tempat yang diawali kata Ci akan selalu berkaitan dengan sungai, Babakan akan selalu berkaitan dengan

2 pemukiman baru, Lebak akan selalu berkaitan dengan lembah, Pasir akan selalu berkaitan dengan perbukitan, Andir atau Situ akan selalu berkaitan dengan perairan. Tidak hanya berkaitan dengan unsur fisik saja, nama tempat juga berkaitan dengan unsur non-fisik. Sebagai contoh, di Jakarta yang memiliki berbagai kampung berdasarkan etnis, seperti Kampung Melayu, Kampung Arab, Kampung Bugis, Kampung Ambon, Kampung Jawa. Istilah Kampung ini berasal dari istilah Belanda Kamp ketika Gubernur Jendral saat itu menempatkan para tawanan perang dalam kamp-kamp tawanan berdasarkan etnisnya, sehingga kemudian hari Jakarta tumbuh sebagai kota multietnis dengan nama kampung-kampung berdasarkan etnis tersebut (Rais, 2008 : 4). Atau contoh lain di Jawa barat ada legenda Sangkuriang yang dipercaya orang Sunda sebagai latar belakang terbentuknya Gunung Tangkuban Parahu. Atau di Jawa timur yang memiliki legenda hampir serupa yaitu tentang terjadinya Gunung Batok di kawasan Gunung Bromo. Dari contoh-contoh yang telah disebutkan, kita bisa menyimpulkan bahwa nama geografis atau toponim juga merupakan cerminan sosio-kultural yang mengandung sejarah kehidupan sosial, ideologis dan nilai-nilai yang dianut suatu masyarakat. Hal tersebut semakin menguatkan pernyataan bahwa tidak ada nama geografis yang tidak mempunyai arti. Nama geografis atau toponim merupakan salah satu syarat peta, yang jika tidak ada maka disebut peta buta. Namun, banyak ilmuwan geografi yang tidak tahu makna dibalik toponim tersebut. Padahal jika dikaji lebih mendalam, toponim mengandung banyak informasi geografis yang dapat dijadikan landasan untuk mengkaji fenomenafenomena geosfer di suatu tempat. Pemaknaan toponimi ini juga masih sangat jarang digunakan sebagai sumber pembelajaran geografi di sekolah dikarenakan informasi yang masih sangat minim tentang toponimi tersebut. Toponim suatu daerah merupakan identitas yang membedakannya dengan daerah lain, karena toponim merupakan hasil kebudayaan masyarakat di suatu daerah yang bersumber dari hubungan timbal baliknya dengan lingkungan di sekitarnya, baik aspek fisik maupun nonfisik. Unsur kebudayaan yang paling kentara dalam toponim yaitu bahasa. Indonesia

3 sebagai bangsa yang majemuk, terdiri dari banyak suku bangsa sehingga memiliki bahasa yang berbeda-beda. Hal ini menyebabkan beranekaragamnya toponimi di daerah-daerah di Indonesia. Kota Cirebon sebagai salah satu kota di Jawa Barat, memiliki keunikan tersendiri dari segi bahasa. Meskipun daerah Jawa Barat sebagian besar berbahasa Sunda, namun masyarakat di Kota Cirebon tidak menggunakan bahasa Sunda dalam bahasa sehari-harinya melainkan bahasa Cirebon. Dikutip dari situs resmi Kota Cirebon (www.cirebonkota.go.id) bahwa Bahasa Cirebon (di Kota/Kabupaten Cirebon) sebagai bahasa daerah yang diakui Pemerintah Provinsi Jawa Barat melalui Peraturan Daerah (Perda) Nomor 5 Tahun 2003. Namun, seiring perkembangan dan penelitian bahasa, diketahui bahwa Cirebon bukanlah bahasa. Pusat Bahasa menyatakan, Bahasa Cirebon hanyalah salah satu dialek dari bahasa Jawa. Ketua Lembaga Basa lan Sastra Cirebon sekaligus penyusun Kamus Bahasa Cirebon, Nurdin M. Noer, mengatakan, bahasa Cirebon sejatinya adalah persilangan antara bahasa Sunda dan Jawa. Hal itu wajar karena secara geografis Cirebon adalah perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah. Perbedaan bahasa yang dimiliki Kota Cirebon dengan daerah lain di Jawa Barat ini mengakibatkan toponimi di Kota Cirebon juga berbeda dengan daerah lain di Jawa Barat pada umumnya. Nama-nama tempat yang umum di Jawa Barat seperti Ci, Babakan, Lebak, Pasir, Andir, Situ, dan lainnya sangat jarang digunakan sebagai toponim di Cirebon. Sebagai sebuah kota yang sedang berkembang, Cirebon tidak bisa terlepas dari perkembangan zaman yang perlahan akan merubah tatanan kota baik secara fisik maupun sosialnya. Salah satu dari proses perubahan tersebut adalah munculnya pemukiman-pemukiman baru yang dibangun yang lebih modern yang tidak jarang memunculkan nama-nama tempat baru dalam bahasa yang asing di telinga dan lidah masyarakat Kota Cirebon sendiri, yang akhirnya mengaburkan nama-nama tempat yang memiliki makna dalam sejarah kebudayaan lokal yang mungkin tidak semua masyarakat Cirebon sendiri mengetahuinya. Padahal nama-nama tersebut sangat penting karena menyangkut bahasa lokal yang merupakan salah satu kekayaan budaya yang harus dipelihara dan dilestarikan agar tidak hilang ditelan zaman yang mengakibatkan hilangnya identitas dan jati diri masyarakat lokal. Untuk itu,

4 makna-makna toponimi perlu disosialisasikan kepada masyarakat luas. Hal ini membuat peneliti tertarik mengkaji toponimi yang ada di Kota Cirebon. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut : 1. Aspek geografis apa saja yang melatarbelakangi pemberian toponimi di Kota Cirebon? 2. Makna geografis apa yang terdapat pada toponimi di Kota Cirebon? 3. Bagaimana persepsi masyarakat Kota Cirebon terhadap toponimi yang ada di Kota Cirebon? C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini, yaitu : 1. Untuk mengidentifikasi aspek-aspek geografis yang melatarbelakangi pemberian toponimi di Kota Cirebon. 2. Untuk mengidentifikasi makna geografis toponimi di Kota Cirebon. 3. Untuk mendeskripsikan persepsi masyarakat Kota Cirebon terhadap toponimi di Kota Cirebon. D. Manfaat Penelitian 1. Secara teoritis, penelitian ini dapat memberikan sumber data dan informasi bagi pengembangan penelitian geografi terutama tentang toponimi. 2. Secara praktis, dapat dijadikan informasi awal dan landasan berfikir dalam mengkaji fenomena-fenomena geosfer di daerah bersangkutan sebagai acuan pengambilan kebijakan-kebijakan yang akan diambil. Sedangkan dalam dunia kependidikan khususnya geografi, penelitian ini dapat dijadikan alternatif sumber belajar.

5 E. Definisi Operasional 1. Toponimi Toponimi mempunyai 2 pengertian, yaitu a) ilmu yang mempunyai objek studi tentang toponim pada umumnya dan tentang nama geografis khususnya, dan b) totalitas dari toponim dalam suatu region. Sedangkan di Indonesia dipakai istilah nama unsur geografis atau nama geografis atau nama rupabumi. Rupabumi adalah istilah Bahasa Indonesia untuk topografi. Dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah di pasal 7 disebut nama bagian rupabumi (topografi) atau nama unsur rupabumi. Unsur rupabumi menurut PBB terdiri dari 6 kategori yaitu: a. Unsur bentang alam alami (natural landscape features), seperti gunung, bukit, sungai, danau, laut, selat, pulau, termasuk unsur-unsur bawah laut seperti palung, cekungan, gunung bawah laut, dsb. b. Tempat-tempat berpenduduk dan unsur lokalitas (populated places and localities). Misalnya bangunan bersejarah, makam pahlawan, masjid, gereja, stasiun, dsb. c. Pembagian administratif/politis dari negara (civil/political subdivisions of a country). Misalnya provinsi, kabupaten, kota, kecamatan, kelurahan, dsb. d. Kawasan administrasi (administrative areas). Misalnya taman nasional, hutan lindung, cagar alam, suaka margasatwa, daerah konservasi, dsb. e. Rute transportasi (transportation route). Misalnya jalan raya, jalan tol, jalan setapak, dsb. f. Unsur-unsur yang dibangun/dikonstruksi lainnya (other constructed features). Misalnya monumen, dam, kanal, mercusuar, dsb. Dalam penelitian ini toponimi yang akan diteliti dibatasi hanya dari kategori pembagian administratif/politis dari negara (civil/political subdivisions of a country) yang meliputi toponimi kelurahan dan kampung yang termasuk dalam wilayah administratif Kota Cirebon.

6 2. Makna Geografis Makna geografis yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pemaknaan fenomena geosfer baik aspek fisik atau non-fisik (sosial) yang melatarbelakangi pemberian toponimi di Kota Cirebon. 3. Persepsi Masyarakat Persepsi merupakan tanggapan subjektif berupa pemaknaan dan pemahaman dari tiap individu terhadap rangsangan (stimulus) yang diterima oleh individu yang kemudian membentuk sebuah sikap individu tersebut terhadap stimulus yang diterimanya. Proses persepsi dalam hal ini meliputi penerimaan informasi dan evaluasi informasi tersebut. Dalam penelitian ini, persepsi yang akan diukur adalah persepsi masyarakat Kota Cirebon terhadap toponimi di Kota Cirebon. Toponimi dalam hal ini merupakan suatu objek yang akan menjadi stimulus untuk ditanggapi oleh masyarakat Kota Cirebon, guna mengidentifikasi bagaimana persepsinya ketika mendengar toponimi (nama-nama tempat) yang ada di daerahnya, apakah masyarakat juga tahu tentang asal-usul penamaan toponimi tersebut atau tidak, bagaimana pengetahuan tentang asal-usul penamaan tersebut serta bagaimana tanggapannya terhadap halhal yang berkaitan tentang asal-usul toponimi (nama tempat) di daerahnya tersebut, yang akan diukur dengan skala sikap seperti penting tidaknya atau setuju tidaknya terhadap pertanyaan dan pernyataan yang diajukan dalam instrumen penelitian.