INTERVENSI POLITIK DALAM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI Oleh: Meirina Fajarwati * Naskah diterima: 01 Juni 2016; disetujui: 23 Juni 2016

dokumen-dokumen yang mirip
RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 53/PUU-XIV/2016 Persyaratan Menjadi Hakim Agung dan Hakim Konstitusi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011:

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

REFORMULASI PROSES REKRUITMEN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI INDONESIA Oleh: Meirina Fajarwati * Naskah diterima: 03 Juni 2016; disetujui: 27 Juni 2016

BAB II KOMISI YUDISIAL, MAHKAMAH KONSTITUSI, PENGAWASAN

DR. R. HERLAMBANG P. WIRATRAMAN MAHKAMAH KONSTITUSI FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS AIRLANGGA, 2015

MAHKAMAH KONSTITUSI. R. Herlambang Perdana Wiratraman Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, 19 Juni 2008

Hubungan Antar Lembaga Negara IRFAN SETIAWAN, S.IP, M.SI

RechtsVinding Online

-2- memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dipe

I. UMUM


UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

PENGISIAN DAN MASA JABATAN HAKIM KONSTITUSI 1 Oleh: Muchamad Ali Safa at 2

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEKUA U SAAN N KEHAKIMAN

SIARAN PERS. Penjelasan MK Terkait Putusan Nomor 36/PUU-XV/2017

2013, No Mengingat dan tata cara seleksi, pemilihan, dan pengajuan calon hakim konstitusi serta pembentukan majelis kehormatan hakim konstitusi;

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 52/PUU-XIV/2016 Penambahan Kewenangan Mahkamah Kontitusi untuk Mengadili Perkara Constitutional Complaint

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Prof. Dr. Maria Farida Indrati, S.H., M.H.

SILABUS PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PENINGKATAN PEMAHAMAN HAK KONSTITUSIONAL WARGA NEGARA PUSAT PENDIDIKAN PANCASILA DAN KONSTITUSI

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan kekuasaan raja yang semakin absolut di Negara Perancis

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang (UU) tehadap Undang-Undang Dasar (UUD). Kewenangan tersebut

UU & Lembaga Pengurus Tipikor L/O/G/O

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 84/PUU-XII/2014 Pembentukan Pengadilan Hubungan Industrial di Kabupaten/Kota

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG

Mengenal Mahkamah Agung Lebih Dalam

BAB II MAHKAMAH KONSTITUSI

BAB I PENDAHULUAN. tinggi negara yang lain secara distributif (distribution of power atau

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 72/PUU-XV/2017

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

- 2 - II. PASAL DEMI PASAL. Pasal 1. Cukup jelas. Pasal 2. Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5493

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 22 ayat (2) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang...

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

BAB I PENDAHULUAN. kehakiman diatur sangat terbatas dalam UUD Buku dalam pasal-pasal yang

Analisis Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Mengeluarkan Putusan Yang Bersifat Ultra Petita Berdasarkan Undang-Undangnomor 24 Tahun 2003

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

LEMBAGA LEMBAGA NEGARA. Republik Indonesia

1. Mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final.

BAB II MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI BAGIAN DARI KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA. A. Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Sebelum Perubahan UUD 1945

PERUBAHAN KETIGA UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 108/PUU-XIV/2016 Peninjauan Kembali (PK) Lebih Satu Kali

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 104/PUU-XIV/2016 Keterwakilan Anggota DPD Pada Provinsi Baru Yang Dibentuk Setelah Pemilu 2014

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 130/PUU-VII/2009 Tentang UU Pemilu Anggota DPR, DPD & DPRD Tata cara penetapan kursi DPRD Provinsi

I. PEMOHON Tomson Situmeang, S.H sebagai Pemohon I;

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. selanjutnya disebut UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa. berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar

BAB III. A. Urgensi Amandemen Undang Undang Dasar tahun 1945 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (UUD NRI

BAB III GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

KEDUDUKAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PROSES PEMBERHENTIAN PRESIDEN DAN/ATAU WAKIL PRESIDEN DALAM MASA JABATANNYA DI INDONESIA OLEH: RENY KUSUMAWARDANI

MAHKAMAH KONSTITUSI. Oleh: Letjen TNI (Purn) H. AchmadRoestandi, S.H. BANDUNG -JUNI

REKONSTRUKSI KEDUDUKAN DAN HUBUNGAN ANTARA MAHKAMAH AGUNG, MAHKAMAH KONSTITUSI DAN KOMISI YUDISIAL DI INDONESIA. Oleh: Antikowati, S.H.,M.H.

Tugas dan Fungsi MPR Serta Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

SKRIPSI. Diajukan Guna Memenuhi Sebagai Salah Satu Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum. Oleh : Nama : Adri Suwirman.

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

Bola Panas Putusan Pengujian Undang-Undang Pengesahan Piagam ASEAN oleh: Ade Irawan Taufik *

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 47/PUU-XV/2017 Hak Angket DPR Terhadap KPK

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

RechtsVinding Online

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 37/PUU-X/2012 Tentang Peraturan Perundang-Undangan Yang Tepat Bagi Pengaturan Hak-Hak Hakim

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 44/PUU-XV/2017

I. PARA PEMOHON 1. Dr. Andreas Hugo Pareira; 2. H.R. Sunaryo, S.H; 3. Dr. H. Hakim Sorimuda Pohan, selanjutnya disebut Para Pemohon.

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 99/PUU-XV/2017 Tafsir konstitusional frasa rakyat pencari keadilan

PROGRAM JIMLY SCHOOL OF LAW AND GOVERNMENT SEPTEMBER - NOVEMBER 2014

I. PEMOHON Serikat Pekerja PT. PLN, selanjutnya disebut Pemohon

KUASA HUKUM Heru Widodo, S.H., M.Hum., dkk berdasarkan surat kuasa hukum tertanggal 22 Januari 2015.

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 105/PUU-XIV/2016 Kewajiban Mematuhi Putusan Mahkamah Konstitusi

BAB I PENDAHULUAN. di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap

III. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 20/PUU-X/2012 Tentang Peralihan Saham Melalui Surat Kesepakatan Bersama

BAB I PENDAHULUAN. Negara dan Konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan.

TINJAUAN ATAS PENGADILAN PAJAK SEBAGAI LEMBAGA PERADILAN DI INDONESIA

PROSPEK MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI PENGAWAL DAN PENAFSIR KONSTITUSI. Oleh: Achmad Edi Subiyanto, S. H., M. H.

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 39/PUU-XII/2014 Hak Memilih

Info Lengkap di: buku-on-line.com 1 of 14

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 16/PUU-VIII/2010 Tentang UU Kekuasaan Kehakiman, UU MA dan KUHAP Pembatasan Pengajuan PK

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 155)

Susunan Hakim Konstitusi Dalam Psl 24C ayat (3) UUD 1945, MK memiliki 9 orang hakim konstitusi yang ditetapkan o/ Presiden.

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 129/PUU-XII/2014 Syarat Pengajuan Calon Kepala Daerah oleh Partai Politik dan Kedudukan Wakil Kepala Daerah

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 7/PUU-VIII/2010 Tentang UU MPR, DPD, DPR & DPRD Hak angket DPR

KUASA HUKUM Muhammad Sholeh, S.H., dkk, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 20 Oktober 2014.

OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara terhadap Undang-Undang Dasar 1945.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DINAMIKA PETAHANA DAN PENCALONANNYA DALAM PILKADA Oleh: Achmadudin Rajab * Naskah diterima: 04 Mei 2016; disetujui: 26 Mei 2016

BAB I PENDAHULUAN. perubahan konstitusi yang memberikan jaminan kemandirian dan akuntabilitas

DAFTAR INVENTARISASI MASALAH PEMERINTAH ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

RechtsVinding Online

RINGKASAN PUTUSAN. Perkara Nomor 17/PUU-V/2007 : Henry Yosodiningrat, SH, dkk

Transkripsi:

INTERVENSI POLITIK DALAM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI Oleh: Meirina Fajarwati * Naskah diterima: 01 Juni 2016; disetujui: 23 Juni 2016 Mahkamah Konstitusi (yang selanjunya disebut MK) sebagai lembaga peradilan tertinggi memiliki kewenangan untuk melakukan pengujian undangundang yang dianggap bertentangan dengan undang-undang dasar. Dalam putusannya MK dapat membatalkan peraturan yang bertentangan dengan UUD, namun MK tidak dapat dikatakan sebagai positive legislator (pembuat norma) karena MK merupakan negative legislator atau pembatal norma (Nuno Garoupa and Tom Ginsburg, hal 540) yang kemudian hal ini mencerminkan keberadaan MK sebagai lembaga pengawal dan penafsir konstitusi. Menurut Jimly Asshiddiqie dalam Soimin dan Mashuriyanto, MK yang diadopsi dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (yang selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) memiliki dua fungsi ideal yaitu MK dikonstruksikan sebagai pengawal konstisusi dan berfungsi untuk menjamin, mendorong, mengarahkan, membimbing, dan memastikan bahwa UUD NRI Tahun 1945 dijalankan dengan sebaik-baiknya oleh penyelenggara negara agar nilai-nilai yang terkandung didalamnya dijalankan dengan benar dan bertanggung jawab; dan MK harus bertindak sebagai penafsir, karena MK dikonstruksikan sebagai lembaga tertinggi penafsir UUD NRI Tahun 1945. Melalui fungsi ini MK dapat menutupi segala kelemahan dan kekurangan yang terdapat dalam UUD NRI Tahun 1945. (Soimin dan Mashuriyanto: 2013, Hal 51) Pada dasarnya MK memiliki kewenangan untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undangundang terhadap UUD NRI Tahun 1945; memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945; memutus pembubaran partai politik; memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; dan memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa 1

pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana tercantum dalam Pasal 24C UUD NRI Tahun 1945, Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, Pasal 29 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. MAHKAMAH KONSTITUSI DAN POLITIK Keputusan yang dibuat oleh MK terhadap suatu kasus dapat dipengaruhi oleh 2 (dua) hal yaitu ideologi, kepentingan, dan pilihan politik masingmasing hakim konstitusi; dan pandangan dari pihak luar yaitu Akademisi, Sarjana Hukum dan Masyarakat. Alasan kenapa dalam setiap pembuatan putusan MK dipengaruhi oleh pilihan politik karena dalam proses rekruitmen hakim konstitusi tidak dapat dipungkiri akan terdapat campur tangan dari kepentingan politik (Nuno Garoupa and Tom Ginsburg, hal 541). Salah satu kewenangan MK yaitu untuk memutuskan pendapat DPR mengenai pelanggaran oleh Presiden dan/atau wakil presiden. Dalam memberikan putusan terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh Presiden dan/atau wakil presiden dapat dikatakan MK terseret dalam keputusan yang bersifat politis, karena putusan ini memiliki implikasi politik yang sangat kuat. Disamping itu putusan MK bersifat final dan memiliki kekuatan hukum tetap. Jadi dapat dikatakan bahwa Putusan MK terkait dengan impeachment Presiden akan sangat kuat keterlibatan politis dalam lembaga MK (Soimin dan Mashuriyanto: 2013, 65). Proses pengajuan dan perekrutan hakim konstitusi didominasi oleh kepentingan politik dari pemegang kekuasaan. Hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa adanya intervensi politik dalam proses rekruitmen melalui jalur DPR dan Presiden (Ikhsan Rosyada Parluhutan Daulay: 2006, 22). Di Indonesia proses pengajuan dan rekruitmen Hakim MK diajukan masing-masing 3 (tiga orang) oleh MA, 3 (tiga orang) oleh DPR, dan 3 (tiga orang) oleh Presiden sebagaimana teracntum dalam Pasal 24C ayat (3) UUD NRI Tahun 1945, Pasal 34 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dan Pasal 18 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi). Proses rekruitmen hakim konstitusi sangat erat 2

dengan dengan politik sehingga dapat mempengaruhi independensi kedudukan MK sebagai lembaga peradilan yang terbebas dari berbagai cara dan bentuk konsesi atau pengaruh kepentingan politik (Ikhsan Rosyada Parluhutan Daulay : 2006, 25). Putusan MK yang menolak suatu peraturan perundang-undangan, tidak dapat dipisahkan dari politik karena putusan tersebut memiliki dampak politik bagi partai-partai politik yang ada di parlemen (Nuno Garoupa and Tom Ginsburg, hal 541). Menurut Nuno Garoupa dan Tom Ginsburg, salah satu hal yang mendasari hakim konstitusi dalam membuat keputusan yaitu didasarkan pandangan hakim konstitusi mengenai prospek karir mereka kedepannya dan ketika masa jabatan mereka sebagai hakim sudah selesai. Di Indonesia masa jabatan Hakim Konstitusi selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk 1(satu) kali masa jabatan berikutnya sebagaimana tercantum dalam Pasal 22 UU No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi. Adanya intervensi politik dalam MK terlihat dari adanya perbedaan pendapat atau pandangan dari hakim konstitusi terhadap suatu permasalahan. Perbedaan pandangan dari hakim konstitusi disebabkan karena masing-masing hakim ingin menunjukan kontribusinya dalam setiap pembuatan keputusan dan karena pilihan politik yang berbeda (Nuno Garoupa and Tom Ginsburg, hal 542-546). Menurut Mahfud MD, pertentangan diantara para hakim konstitusi karena perbedaan pandangan sehingga putusan yang akan dihasilkan tidak bulat. Untuk menyiasati hal ini maka muncul dissenting opinion yang berusaha untuk menjembatani pertentangan yang terjadi terhadap suatu putusan. Menurut Nuno Garoupa dan Tom Ginsburg, perbedaan pendapat dari Hakim Konstitusi akan dapat menurunkan citra MK sebagai suatu lembaga peradilan tertinggi negara. Seharusnya suatu lembaga peradilan dapat menyelesaikan perbedaan pendapat dalam pengambilan keputusan sehingga menghasilkan keputusan yang utuh. Persetujuan atau kesepakatan diantara hakim dalam pengambilan suatu keputusan dapat mencegah intervensi politik dalam sistem peradilan. Citra MK dapat meningkat dimana putusan yang dikeluarkannya dapat memenuhi keadilan hukum di masyarakat dan terhindar dari campur tangan politik dan manipulasi politik (Nuno Garoupa and Tom Ginsburg, 547). 3

HUBUNGAN ANTARA MAHKAMAH KONSTITUSI DAN MAHKAMAH AGUNG Selain MK terdapat pula lembaga peradilan lain yaitu MA yang jauh dari intervensi/campur tangan politik dalam setiap pembuatan keputusan (Nuno Garoupa and Tom Ginsburg, hal 542). Menurut Soimin dan Mashuriyanto pada dasarnya MK dan MA merupakan lembaga kekuasaan kehakiman yang merdeka dan mandiri dengan tugas menyelenggarakan peradilan dengan tujuan untuk menegakkan hukum dan keadilan (Soimin dan Mashuriyanto: 2013, 75). Pasal 30 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa pengangkatan hakim agung berasal dari hakim karier dan nonkarier. Hakim Agung merupakan hakim karir yang berpengalaman paling sedikit 20 (dua puluh) tahun menjadi hakim, termasuk paling sedikit 3 (tiga) tahun menjadi hakim tinggi; dan berusia sekurang-kurangnya 45 Tahun. Sedangkan Hakim Agung yang berasal dari non karir yang salah satu persyaratannya yaitu berpengalaman dalam profesi hukum dan/atau akademisi hukum paling sedikit 20 (dua puluh) tahun dan berijazah doktor dan magister di bidang hukum dengan dasar sarjana hukum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian di bidang hukum sebagaimana tercantum dalam Pasal 7 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang- Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung. Dari uraian ini maka diketahui bahwa dalam proses rekruitmen Hakim MA jauh dari intervensi politik sehingga putusan yang dibuatnya lebih mengedepankan pada suatu proses peradilan yang sesungguhnya. Menurut Harjono dalam Soimin dan Mashuriyanto, antara MA dan MK, kedua-duanya merupakan lembaga tinggi negara yang terpisah tetapi memiliki hubungan yang bersifat horizontal fungsional. Yang artinya bahwa kedua lembaga ini tidak saling mensubordinsikan tetapi masing-masing mempunyai kompetensi secara mandiri. Akan tetapi meskipun keduanya memiliki kompetensi dan kewenangan yang berbeda, namun masing-masing sebagai lembaga tinggi negara yang memiliki kekuasaan kehakiman atau judicial power. Oleh karena itu seharusnya tidak ada suatu perselisihan diantara kedua lembaga tersebut karena kewenangan dari MK dan MA berbeda. Konflik antara MK dan MA juga terjadi di Indonesia dimana MK telah mengeluarkan putusan Nomor 34/PUU- 4

XI/2013 yang menyatakan pengajuan PK dalam perkara pidana dapat diajukan lebih dari 1 kali. Tidak berselang lama setelah MK mengeluarkan putusan ini kemudian MA mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2014 tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana yang isinya bahwa permohonan Peninjauan Kembali (yang selanjutnya disebut PK) dalam Perkara Pidana hanya dapat diajukan 1 (satu) kali. Seharusnya MA mematuhi putusan MK tersebut karena sifat dari putusan MK yang lebih kuat dibandingkan dengan putusan dari lembaga peradilan lain. HARAPAN DIMASA MENDATANG MK tidak bisa dilepaskan dari campur tangan politik sehingga putusan yang dihasilkannya terkadang akan bersifat politis pula, hal ini terlihat dari proses rekruitmen Hakim MK yang diajukan oleh DPR, Presiden, dan MA. Selain proses rekruitmen alasan lain kenapa MK tidak bisa dilepaskan dari politik adalah karena MK melakukan pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar dimana undangundang merupakan produk politik yang dibuat oleh DPR. Dengan banyaknya campur tangan dari politik maka dapat mempertaruhkan citra dari MK sebagai lembaga peradilan tertinggi yang harus mandiri dan bebas dari campur tangan politik. Prof. Miriam Budiardjo menyatakan bahwa MA dan MK sebagai lembaga yudikatif harus bebas dari campur tangan badan eksekutif dan legislatif, hal ini dimaksudkan agar badan yudikatif dapat berfungsi secara wajar untuk menegakkan hukum dan keadilan serta menjamin hak asasi manusia. Diharapkan dengan dengan tidak adanya campur tangan dari kedua lembaga ini (eksekutif dan legislatif) dapat membuat keputusan yang diambil oleh badan yudikatif tidak memihak dan berat sebelah, serta berpedoman pada norma hukum dan keadilan (Miriam Budiardjo: 2015, 356). Selain itu untuk menghindari konflik antara MK dan MA mungkin dapat dilakukan harmonisasi diantara kedua lembaga yang saling terpisah ini karena kedua-duanya merupakan lembaga yang melakukan pengujian terhadap peraturan perundang-undangan. Hal ini dilakakukan karena adanya keterkaitan antara satu undang-undang dengan undang-undang lain serta dengan peraturan di bawah undang-undang (Ikhsan Rosyada Parluhutan Daulay : 2006, 61-62). Jadi dapat disimpulkan bahwa antara kepentingan politik dan lembaga peradilan 5

yang mandiri harus seimbang agar dapat menghasilkan putusan yang memenuhi rasa keadilan di masyarakat serta untuk menjaga citra dari MK sebagai lembaga peradilan tertinggi. * Penulis adalah Calon Perancang Peraturan Perundang-Undangan Pertama Bidang Ekonomi, Keuangan, Industri, dan pembangunan Badan Keahlian DPR RI 6