BAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang-undang No.41 Tahun 1999 hutan memiliki fungsi

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. harus segera diselesaikan. Berdasarkan data Ditjen BPDAS PS pada tahun 2011,

REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN

BAB I PENDAHULUAN. bawah tanah. Definisi hutan menurut Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.63/Menhut-II/2011

PENDAHULUAN Latar Belakang

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.12/Menhut-II/2004 TENTANG

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG REKLAMASI LAHAN PASCA TAMBANG BATUBARA DI KALIMANTAN SELATAN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.12/Menhut-II/2004 TENTANG PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN LINDUNG UNTUK KEGIATAN PERTAMBANGAN MENTERI KEHUTANAN,

BAB I PENDAHULUAN. dan pertumbuhan ekonomi nasional tekanan terhadap sumber daya hutan semakin

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat melimpah. Salah satu kekayaan alam yang dimiliki Indonesia

Penggunaan Kawasan Hutan untuk Pembangunan Sektor Non Kehutanan Oleh : Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian LHK

PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR 31 TAHUN 2011 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL LOGAM BESI GUBERNUR JAWA BARAT

BAB I PENDAHULUAN. Pemanfaatan tanaman kayu putih sebagai salah satu komoditi kehutanan

WILAYAH PERTAMBANGAN DALAM TATA RUANG NASIONAL. Oleh : Bambang Pardiarto Kelompok Program Penelitian Mineral, Pusat Sumberdaya Geologi, Badan Geologi

TAMBANG DI KAWASAN HUTAN LINDUNG

INDIKATOR RAMAH LINGKUNGAN UNTUK USAHA DAN/ATAU KEGIATAN PENAMBANGAN TERBUKA BATUBARA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sumberdaya alam adalah unsur lingkungan yang terdiri atas sumberdaya alam

PENDAHULUAN Latar Belakang

GUBERNUR BALI PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 4 TAHUN 2017 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL BUKAN LOGAM DAN BATUAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2010 TENTANG PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2010 TENTANG PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

TINJAUAN PUSTAKA. berhasil menguasai sebidang atau seluas tanah, mereka mengabaikan fungsi tanah,

BAB I PENDAHULUAN. potensial yang ada seperti sektor pertanian, perkebunan, perikanan, kehutanan dan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2010 TENTANG PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Pertambangan adalah salah satu jenis kegiatan yang melakukan ekstraksi mineral dan bahan tambang lainnya dari dalam bumi.

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan ruang bagi sumberdaya alam,

Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Banyuasin

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009

PENDAHULUAN Latar Belakang

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN

2 Ruang Wilayah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota menetapkan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota yang menjadi pedoman dalam pemanfaa

MAKALAH PEMBAHASAN EVALUASI KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP DI DAERAH ALIRAN SUNGAI 1) WIDIATMAKA 2)

Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P.14/Menhut-II/2006 TENTANG PEDOMAN PINJAM PAKAI KAWASAN HUTAN MENTERI KEHUTANAN,

BAB I PENDAHULUAN. Earnings response coefficient merupakan indikator yang dapat digunakan

BAB I PENDAHULUAN. bumi, air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya di kuasai oleh negara

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 14/Menhut-II/2013 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJAR NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PENYELENGGARAAN KEWENANGAN PADA BIDANG MINYAK DAN GAS BUMI

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT NOMOR 11 TAHUN 2006 TENTANG KEGIATAN USAHA MINYAK DAN GAS BUMI

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

BUPATI SAMBAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN SAMBAS NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN RAKYAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Negara Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN LINDUNG UNTUK PENAMBANGAN BAWAH TANAH

PEMERINTAH KABUPATEN MALANG

BAB I PENDAHULUAN. haves and the have nots. Salah satu sumberdaya alam yang tidak merata

KEBIJAKAN PELEPASAN KAWASAN HUTAN PRODUKSI YANG DAPAT DIKONVERSI UNTUK PEMBANGUNAN DILUAR KEGIATAN KEHUTANAN

PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 19 TAHUN 2006 TENTANG : PENGELOLAAN PASIR BESI GUBERNUR JAWA BARAT

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT

I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. hidup Indonesia terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat. Kaedah

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2010 TENTANG REKLAMASI DAN PASCATAMBANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009 PENDAHULUAN

RENCANA STRATEGIS DINAS KEHUTANAN TAHUN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan sumber daya

Makalah Hubungan Hukum Antara Hukum Pertambangan Dengan Hukum Agraria, Hukum Lingkungan, Hukum Kehutanan, Dan Hukum Pajak.

RANCANGAN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG MINYAK DAN GAS BUMI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Kerangka landasan pendekatan DAS: Merupakan ekologi bentang lahan (Landscape ecology), suatu subdisiplin ekologi yang mengamati sebab dan akibat

BAB I PENDAHULUAN. Hampir separuh wilayah daratnya berupa hutan. Untuk itu pemerintah

PENDAHULUAN Latar Belakang

KERUSAKAN LINGKUNGAN

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem unik dengan fungsi yang unik dalam

2011, No Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Nega

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II PERENCANAAN STRATEGIS

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BUPATI TANAH LAUT PERATURAN BUPATI TANAH LAUT NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG JAMINAN REKLAMASI DAN JAMINAN PASCA TAMBANG

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

TENTANG LAHAN DENGAN. dan dan. hidup yang. memuat. dengan. pembukaan. indikator. huruf a dan. Menimbang : Tahun Swatantra. Tingkat.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

- 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PROVINSI JAWA TIMUR

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2010 TENTANG REKLAMASI DAN PASCATAMBANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Pengertian. Istilah bahasa inggris ; Mining law.

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan

PP Nomor 24 Tahun 2010 Tentang Penggunaan Kawasan Hutan DITJEN PLANOLOGI KEHUTANAN DEPARTEMEN KEHUTANAN

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.32/Menlhk-Setjen/2015 TENTANG HUTAN HAK

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Kewenangan Pengelolaan FAKULTAS HUKUM, UNIVERSITAS SRIWIJAYA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.18/Menhut-II/2011 TENTANG PEDOMAN PINJAM PAKAI KAWASAN HUTAN

BAB I PENDAHULUAN. semua makhluk baik manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Dari ketiga

BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 105 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN PEMERINTAH

BAB II KEBIJAKAN DAN STRATEGI

Sosialisasi Peraturan Presiden tentang Rencana Tata Ruang (RTR) Pulau/Kepulauan dan Kawasan Strategis Nasional (KSN)

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut Undang-undang No.41 Tahun 1999 hutan memiliki fungsi konservasi, fungsi lindung dan fungsi produksi. Hutan dengan fungsi lindung yaitu hutan sebagai satu kesatuan ekosistem memiliki fungsi untuk hidrologis, sebagai penyangga kehidupan. Apa pun dan bagaimanapun pengelolaan hutan, harus tetap mengedepankan fungsi tersebut. Adanya fungsi untuk hidrologis tersebut, hutan menjadi salah satu komponen untuk keseimbangan ekosistem. Maka jika hutan rusak, keseluruhan ekosistem juga akan rusak. Hal ini tentu saja merupakan kerugian besar bagi umat manusia, karena kerusakan ekosistem biasanya diikuti juga dengan penurunan nilai ekonominya. Pembangunan di Indonesia yang dilakukan di segala bidang terus mengalami peningkatan. Salah satu sektor pembangunan yang cukup penting namun dianggap penuh kontroversi adalah pertambangan. Dikatakan demikian karena pembangunan di sektor pertambangan selain membuka lapangan pekerjaan juga memberikan dampak negatif terhadap lingkungan. Hal ini dikarenakan kegiatan pertambangan sebagian besar berada di dalam kawasan hutan yang dilakukan melalui skema Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH). Pinjam pakai kawasan hutan adalah penggunaan atas sebagian kawasan hutan kepada pihak lain untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan tanpa mengubah status, peruntukan dan fungsi kawasan tersebut. Peraturan Menteri Kehutanan No.16 Tahun 2014 tentang Pedoman Pinjam Pakai 1

Kawasan Hutan mengatur tata cara permohonan IPPKH, kewajiban pemegang persetujuan prinsip dan pemegang IPPKH baik pada perusahaan dengan tahap produksi dan survei/eksplorasi serta tata cara perpanjangan izin hingga sanksi pencabutan IPPKH. Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup merupakan kewajiban dan tanggung jawab semua pihak. Semua sektor dalam pembangunan antara lain seperti pertambangan, energi dan perkebunan wajib menjaga kelestarian lingkungan. Hal ini dipertegas dalam peraturan perundang-undangan terkait, seperti dalam Undang-Undang No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan beserta perubahannya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004; Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi; Undang-Undang No. 30 Tahun 2007 tentang Energi; Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Salah satu kewajiban pemegang IPPKH adalah melakukan penanaman dalam rangka rehabilitasi Daerah Aliran Sungai (DAS). Dalam Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan jo Peraturan Pemerintah No.61 Tahun 2012 disebutkan bahwa izin pinjam pakai kawasan hutan dapat dilakukan dengan kompensasi lahan untuk kawasan hutan pada provinsi yang luas kawasan hutannya di bawah 30% dari DAS, pulau dan/atau provinsi. Sedangkan untuk kawasan hutan pada provinsi yang luas kawasan hutannya di atas 30% dari luas DAS, pulau dan/atau prvovinsi, izin pinjam pakai kawasan hutan dengan kompensasi membayar Penerimaan Negara Bukan Pajak 2

(PNBP) Penggunaan Kawasan Hutan dan melakukan penanaman dalam rangka rehabilitasi DAS. Kewajiban rehabilitasi DAS bagi pemegang IPPKH (selanjutnya disebut dengan rehabilitasi DAS) diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) No.18 Tahun 2011 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan dan Permenhut No.63 Tahun 2011 jo Permenhut No.87 Tahun 2014 tentang Pedoman Penanaman Bagi Pemegang IPPKH dalam Rangka Rehabilitasi DAS. Penanaman dalam rangka rehabilitasi DAS adalah upaya untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi DAS sehingga daya dukung, produktivitas dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga. Kebijakan penanaman dalam rangka rehabilitasi DAS ini merupakan salah satu bentuk niat baik pemerintah untuk menjaga kualitas lingkungan, sebagai wujud konsistensi dan kepedulian terhadap pembangunan di Indonesia, yang idealnya harus didukung partisipasi semua stakeholder baik para pemegang IPPKH maupun masyarakat pada umumnya. Pada pelaksanaannya, implementasi kewajiban rehabilitasi DAS yang dilaksanakan oleh pemegang IPPKH saat ini masih terganjal. Kendala yang dihadapi utamanya masalah penentuan lokasi penanaman antara lain karena lokasi lahan yang terpisah-pisah atau terkadang juga harus berbenturan dengan masyarakat. Rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) merupakan salah satu kegiatan dalam pengelolaan DAS untuk memperbaiki dan memulihkan kondisi hutan dan lahan, baik dalam hal fungsi ekologis maupun fungsi sosial ekonomi. Namun demikian, 3

beberapa masalah sering terjadi, seperti : 1) keefektifan dan relevansi sistem perencanaan yang masih diragukan, 2) Perencanaan kurang terpadu sehingga tidak bisa dilaksanakan di tingkat lapangan, 3) Perencanaan tidak sejalan dengan peraturan pemerintah, 4) Kriteria dan indikator pengawasan serta evaluasi belum sepenuhnya lengkap dan matang. Peninjauan terhadap sejarah nasional kegiatan rehabilitasi memberi suatu kesan bahwa investasi tinggi dalam berbagai kegiatan rehabilitasi belum membuahkan hasil yang signifikan (Nawir dkk., 2008). Lebih lanjut Nawir dkk. (2008) mengungkapkan bahwa program rehabilitasi di Indonesia perlu dikaji kembali secara seksama, sebagai upaya mengidentifikasi dasar penetapan strategi rehabilitasi di masa mendatang, dengan mempertimbangkan hasil pembelajaran dari pelaksanaan kegiatan rehabilitasi selama lebih dari tiga dasawarsa. Beberapa masalah yang sering terjadi biasanya terkait dengan perencanaan. Data dasar wilayah antara lain seperti topografi, ketinggian tempat di atas permukaan laut, jenis dan kesuburan tanah yang merupakan bagian dari karakterisasi lokasi dalam tahap perencanaan menjadi sangat penting karena data inilah yang akan menjadi dasar penentuan spesies yang sesuai secara ekologis untuk suatu wilayah yang tentu saja menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan rehabilitasi DAS. Hal yang tidak kalah penting adalah penggunaan spesies yang telah menjadi bagian dari budaya masyarakat setempat. Selain itu, sebagian besar kegiatan rehabilitasi kurang mempertimbangkan aspek ekonomi sebagai bagian dari rancangan dan strategi proyek/kegiatan. Aspek sosial-budaya tidak kalah pentingnya. Aspek ini telah dipertimbangkan dalam kegiatan rehabilitasi, hanya saja seringkali lembaga adat setempat tidak 4

diperhitungkan sebagai mitra. Masyarakat hanya diberikan hak terbatas dan setengah-setengah untuk mengelola wilayah yang telah direhabilitasi, khususnya yang berada di dalam kawasan hutan. Hingga saat ini, DAS selalu menjadi acuan yang digunakan sebagai unit pengelolaan dalam pelaksanaan RHL. DAS digunakan sebagai unit pengelolaan karena bersifat holistik, dari bagian hulu hingga hilir mencakup aspek biofisik, sosial, ekonomi dan budaya. Pasal 9 ayat 2 PP No.76 Tahun 2008 menegaskan bahwa kegiatan rehabilitasi dilakukan dengan menggunakan DAS sebagai unit pengelolaan. Oleh karenanya pelaksanaan RHL harus memperhatikan dan mengacu prinsip-prinsip keberlanjutan dalam pengelolaan hutan dan DAS. Sebagian besar kegiatan rehabilitasi DAS saat ini berada pada tahap penentuan lokasi atau tahap awal penanaman. Di Sumatera terdapat beberapa lokasi rehabilitasi DAS yang menerapkan metode CASM yang digunakan dalam penentuan calon lokasi penanamannya. Metode ini terdiri dari analisis Capability, Availability, Suitability, dan Manageability. Metode CASM merupakan alternatif metode yang digunakan dalam perencanaan rehabilitasi DAS. Hal ini dikarenakan rehabilitasi hutan merupakan kegiatan berupa kesatuan sistem, sehingga dibutuhkan metode berbasis sistem yang mampu mengintegrasikan berbagai aspek seperti aspek biofisik dan aspek sosial (Soeprijadi dkk., 2012). Saat ini alternatif metode yang dipandang memenuhi kriteria tersebut adalah metode CASM. Penentuan lokasi penanaman menjadi tahap penting dalam suatu kegiatan perencanaan rehabilitasi DAS. Tahap ini akan sangat berperan dalam menentukan 5

keberhasilan rehabilitasi DAS yang merupakan salah satu syarat dalam pengembalian IPPKH sebelum akhirnya pemegang IPPKH menyerahkan hasil penanaman dalam rangka rehabilitasi DAS kepada Direktur Jenderal Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial (Dirjen BPDASPS) atas nama menteri. Selain itu, keberhasilan penanaman dalam rangka rehabilitasi DAS juga dalam rangka mewujudkan komitmen dan kepedulian pemerintah terhadap kualitas lingkungan terutama sumberdaya hutan. Dalam beberapa kajian empirik tentang fenomena rehabilitasi hutan dan lahan, ternyata terdapat kajian yang belum tersentuh secara berarti, yaitu aspek penentuan calon lokasi penanamannya. Hal ini menarik untuk diteliti, karena karakterisasi calon lokasi penanaman dalam rangka rehabilitasi DAS sebagai bagian dari tahap persiapan, pertimbangan kesesuaian jenis dengan kondisi lokasi, penyediaan bibit dan lain sebagainya juga akan mempengaruhi tingkat keberhasilan penanaman dalam rangka rehabilitasi DAS. Selain itu, permasalahan tersebut juga penting karena kebijakan kewajiban penanaman dalam rangka rehabilitasi DAS bagi pemegang IPPKH ini merupakan isu nasional yang wajib diimplementasikan bagi kelangsungan hidup manusia. Penelitian ini diharapkan akan menjadi langkah awal untuk mengetahui peran metode CASM dalam kegiatan RHL. Sehingga akan memberikan informasi alternatif metode yang dapat digunakan dalam kegiatan rehabilitasi DAS untuk mewujudkan keberhasilan rehabilitasi hutan dan lahan yang merupakan bagian dari pengelolaan DAS. 6

1.2. Perumusan Masalah Penelitian Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) merupakan isu yang menarik, karena berkaitan dengan pembangunan namun memiliki dampak serius terhadap lingkungan. Saat ini IPPKH yang dikeluarkan sebagian besar diberikan untuk kegiatan pertambangan. Meskipun usaha pertambangan merupakan usaha yang penuh kontroversi, pertambangan merupakan salah satu sektor yang cukup penting dalam pembangunan. Pembangunan sektor pertambangan merupakan perwujudan dari amanat Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 yang pada hakekatnya merupakan upaya pemanfaatan dan pengembangan sumberdaya alam berupa mineral dan energi yang potensial untuk dimanfaatkan secara optimal bagi kepentingan dan kemakmuran rakyat. Miftakhurochman (2012) menyatakan bahwa pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi studi kelayakan, konstruksi, penambangan pengelolaan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pascatambang. Usaha pertambangan adalah kegiatan dalam rangka pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi studi kelayakan, konstruksi, penambangan pengelolaan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pascatambang. Sektor ini merupakan salah satu sektor yang menyediakan lapangan kerja namun juga menjadi sorotan karena ancamannya terhadap fungsifungsi ekosistem dan kelestarian lingkungan serta kehidupan sosial budaya masyarakat. 7

Sub sektor pada sektor pertambangan yang ada di Indonesia antara lain yaitu sub sektor batubara, minyak dan gas bumi (migas), batu-batuan, logam dan mineral lainnya. Migas merupakan sumberdaya alam strategis yang merupakan salah satu sub sektor pertambangan yang memberikan keuntungan ekonomi dan penerimaan negara yang sangat besar bagi Indonesia. Menurut Mubarak (2011), Industri migas seringkali menjadi masalah utama dalam pencemaran lingkungan. Industri migas hulu penuh resiko terhadap aspek permasalahan di sektor lingkungan. Kegiatan usaha hulu ini meliputi eksplorasi dan eksploitasi. Kegiatan eksplorasi dan eksploitasi seringkali menjadi sumber dari pencemaran lingkungan. Menjaga kelestarian lingkungan setelah melakukan eksplorasi pertambangan merupakan tanggung jawab badan usaha migas. Badan Usaha Migas juga memiliki tanggung jawab terkait masalah sosial dan lingkungan hidup, hal ini seperti disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007. Sekitar 70 persen kerusakan lingkungan di Indonesia disebabkan oleh operasi pertambangan. Hampir 34 persen daratan Indonesia telah diserahkan kepada korporasi lewat 10.235 izin pertambangan mineral dan batubara (minerba). setidaknya 3,97 juta hektar kawasan lindung terancam pertambangan, tak luput keanekaragaman hayati di dalamnya. Tak hanya hutan, sungai pun dikorbankan. Jumlah DAS yang rusak parah meningkat dalam 10 tahun terakhir. Dari sekitar 4.000 DAS yang ada di Indonesia, sebanyak 108 DAS mengalami kerusakan parah (Messwati, 2012). 8

Kerusakan lahan akibat pertambangan dapat terjadi selama pertambangan berlangsung maupun pasca pertambangan. Kerusakan yang biasa terjadi akibat kegiatan pertambangan diantaranya yaitu kerusakan DAS. Meskipun tujuan Permenhut No. P.63/Menhut-II/2011 jo P.87/Menhut- II/2014 dapat memberikan manfaat yang cukup besar, namun dalam implementasinya kebijakan ini menemui beberapa kendala terutama dari sikap penerima kebijakan atau pemegang IPPKH terhadap kewajiban penanaman dalam rangka rehabilitasi DAS terutama dalam penentuan calon lokasi penanaman. Selain itu, untuk memperbaiki pelaksanaan dan belajar dari kesalahan strategi yang belum berhasil dalam pelaksanaan rehabilitasi. Alternatif metode yang saat ini dipandang dapat mengintegrasikan aspek biofisik maupun sosial dalam perencanaan RHL yaitu metode CASM. Saat ini metode ini telah digunakan dalam beberapa kegiatan perencanaan rehabilitasi DAS di beberapa lokasi di Sumatera. Dalam metode CASM unsur sosial menjadi bagian yang tidak kalah penting dengan unsur lainnya, sehingga menjadi salah satu pertimbangan dalam penentuan calon lokasi rehabilitasi DAS. Aplikasi metode CASM pada penentuan lokasi rehabilitasi DAS yang pernah dilaksanakan antara lain pada lokasi rehabilitasi DAS di Kab. Muaro Jambi dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur Provinsi Jambi serta Kabupaten Tabalong dan kabupaten Balangan Provinsi Kalimantan Selatan. Aplikasi metode CASM pada penentuan lokasi rehabilitasi DAS di Provinsi Jambi menghasilkan keputusan calon lokasi rehabilitasi DAS yang berada di Tahura Sekitar Tanjung. Tahura Sekitar Tanjung sebelumnya dianalisis dan dibandingkan karakter CASM- 9

nya dengan Tahura Sultan Thaha. Berdasarkan hasil analisis terhadap karakter CASM pada dua lokasi tersebut diketahui bahwa pada calon lokasi yang berada di Tahura Sultan Thaha memiliki permasalahan sosial yang lebih berat, sementara Tahura Sekitar Tanjung meskipun kondisi biofisik lebih berat akan tetapi hal ini lebih mudah untuk diatasi. Lokasi lain yang menerapkan metode CASM pada penentuan lokasi rehabilitasi DAS adalah kegiatan rehabilitasi DAS di DAS Barito Provinsi Kalimantan Selatan. Berdasarkan hasil analisis capability luas kawasan yang kapabel untuk dilakukan tidak seluruhnya availabe untuk dilakukan rehabilitasi. Berdasarkan analisis availability, diketahui bahwa kawasan yang tersedia untuk direhabilitasi adalah 78,29 % dari total area yang kapabel. Kemudian hasil analisis suitability (dilaksanakan berdasarkan fungsi hutannya) dan manageabilty menunjukkan bahwa areal yang available hampir seluruhnya suitable dan manageable untuk kegiatan rehabilitasi DAS. Penentuan calon lokasi yang tidak menggunakan metode CASM juga menggunakan aspek biofisik dan sosial ekonomi sebagai pendekatan dalam penentuan lokasinya. Hanya saja faktanya masih ada penentuan lokasi rehabilitasi DAS yang belum mempertimbangkan aspek sosial secara signifikan. Sehingga penentuan lokasinya terkadang harus berbenturan dengan masyarakat dan hal ini menjadi hambatan bagi pemegang IPPKH dalam memenuhi salah satu kewajibannya untuk melakukan rehabilitasi DAS. Sementara itu menurut Nawir dkk. (2008) berdasarkan pengamatannya, keterlibatan masyarakat menjadi salah 10

satu unsur penting yang mendukung keberlangsungan serta keberhasilan kegiatan rehabilitasi. Berdasarkan latar belakang tersebut maka dirumuskan beberapa permasalahan yang dinyatakan dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut : 1. Bagaimanakah proses penentuan lokasi penanaman dalam perencanaan rehabilitasi DAS dengan aspek biofisik dan sosial ekonomi pada metode CASM dan non CASM? 2. Faktor-faktor apa saja yang menjadi kelebihan dan kekurangan penerapan metode CASM pada penentuan lokasi penanaman dalam perencanaan rehabilitasi DAS? 3. Apakah penerapan metode CASM untuk menentukan lokasi dalam perencanaan rehabilitasi DAS sudah tepat? 1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah diuraikan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah : 1. Mengkaji penentuan lokasi rehabilitasi DAS dengan pendekatan biofisik dan sosial ekonomi yang digunakan pada metode CASM dan non CASM. 2. Menganalisis kelebihan serta kekurangan metode CASM pada penentuan lokasi penanaman dalam perencanaan rehabilitasi DAS. 3. Mengevaluasi apakah penerapan metode CASM tepat untuk menentukan lokasi penanaman dalam perencanaan rehabilitasi DAS. 11

1.4. Manfaat Penelitian Beberapa manfaat penting yang diharapkan dari penelitian ini adalah : 1. Manfaat akademis Mampu memberikan masukan khasanah teoritik dan pengembangan ilmu kehutanan terkait perencanaan rehabilitasi DAS yang dilaksanakan oleh pemegang IPPKH. 2. Manfaat praktis Sumbangan pemikiran bagi para pelaku kebijakan dalam melakukan implementasi kebijakan agar kebijakan yang ditetapkan dan dilaksanakan dapat mencapai tujuan yang telah dirumuskan. 12