KEEFEKTIFAN BERBAGAI FOMULASI PLANT GROWTH PROMOTING RHIZOBACTERIA

dokumen-dokumen yang mirip
BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat Metode Penelitian Penyiapan tanaman uji

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penyiapan Tanaman Uji Pemeliharaan dan Penyiapan Suspensi Bakteri Endofit dan PGPR

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Kombinasi Agens Biokontrol terhadap Kejadian Penyakit Layu Bakteri

BAHAN DAN METODE. Metode Penelitian

BAHAN. bulan Juli diremajakan. pertumbuhan. Gambar 4

BAHAN DAN METODE Tempat dan waktu penelitian Bahan dan Alat Isolasi dan Uji Reaksi Hipersensitif Bakteri Penghasil Siderofor

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAHAN DAN METODE. Tabel 1 Kombinasi perlakuan yang dilakukan di lapangan

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh PGPR terhadap Laju Pertambahan Tinggi Tanaman Kedelai

SELEKSI DAN KARAKTERISASI BAKTERI ENDOFIT UNTUK MENEKAN KEJADIAN PENYAKIT LAYU BAKTERI (Ralstonia solanacearum) PADA TANAMAN TOMAT IKA DAMAYANTI

KEEFEKTIFAN BAKTERI ENDOFIT DAN PLANT GROWTH PROMOTING RHIZOBACTERIA DALAM MENEKAN PENYAKIT LAYU BAKTERI (Ralstonia solanacearum) PADA TOMAT

BAHAN DAN METODE. Pembiakan P. fluorescens dari Kultur Penyimpanan

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu

Gambar 1 Tanaman uji hasil meriklon (A) anggrek Phalaenopsis, (B) bunga Phalaenopsis yang berwarna putih

KEEFEKTIFAN FORMULASI BIOPESTISIDA BERBAHAN AKTIF BAKTERI ENDOFIT DAN PLANT GROWTH PROMOTING RHIZOBACTERIA

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan Penelitian Metode Penelitian Isolasi dan Identifikasi Cendawan Patogen

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Metode Penelitian Penyediaan Isolat Fusarium sp. dan Bakteri Aktivator

Tabel 1 Persentase penghambatan koloni dan filtrat isolat Streptomyces terhadap pertumbuhan S. rolfsii Isolat Streptomyces spp.

BAHAN DAN METODE. Metode Penelitian

EKSPLORASI Pseudomonad fluorescens DARI PERAKARAN GULMA PUTRI MALU (Mimosa invisa)

BAHAN DAN METODE. Pengambilan sampel tanaman nanas dilakukan di lahan perkebunan PT. Great

HASIL DAN PEMBAHASAN Isolasi dan Inokulasi Penyebab Busuk Lunak Karakterisasi Bakteri Penyebab Busuk Lunak Uji Gram

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Metode Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAHAN DAN METODE Bahan Waktu dan Tempat Penelitian Rancangan Percobaan ProsedurPenelitian

BAHAN DAN METODE Metode Percobaan

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Metode Penelitian Perbanyakan Propagul Agens Antagonis Perbanyakan Massal Bahan Pembawa Biopestisida

Keefektifan Bakteri Endofit dan Bakteri Perakaran Pemacu Pertumbuhan Tanaman dalam Menekan Penyakit Layu Bakteri pada Tomat

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat Metode Penelitian Pra-pengamatan atau survei

BAHAN DAN METODE. Hrp -, IAA +, BPF Hrp -, IAA + + , BPF Hrp. , BPF Hrp -, IAA +, BPF + Hrp. , BPF Hrp. , BPF Hrp. Penambat Nitrogen Penambat Nitrogen

TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Muhammadiyah Yogyakarta di Desa Tamantirto, Kecamatan Kasihan, Kabupaten

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian. Bahan dan Alat

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Fakultas Pertanian Universitas

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan Peremajaan Aktinomiset dari Kultur Penyimpanan Perbanyakan Sclerotium rolfsii dari Kultur Penyimpanan

III. METODE PENELITIAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Penyakit Tanaman dan Laboratorium

BAB III METODE PENELITIAN

PENGARUH AKSESI GULMA Echinochloa crus-galli TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI

BAB I PENDAHULUAN. Tomat (Lycopersicum esculantum Mill.) merupakan salah satu komoditas

TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Yogyakarta, GreenHouse di Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Perbanyakan Inokulum BCMV Persiapan Lahan dan Tanaman Uji

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan Metode Penelitian Pembuatan Pupuk Hayati

TATA CARA PENELITIAN. A. Rencana Waktu dan Tempat. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni - Juli 2017 bertempat di

FORMULASI BAKTERI PERAKARAN (PLANT GROWTH PROMOTING RHIZOBACTERIA-PGPR)

KARAKTERISTIK PENYEBAB PENYAKIT LAYU BAKTERI PADA TANAMAN TEMBAKAU DI PROBOLINGGO

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE. Kasa Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan dengan ketinggian tempat

EFIKASI BAKTERI ENDOFIT DAN PLANT GROWTH PROMOTING RHIZOBACTERIA DALAM MENEKAN PERKEMBANGAN PENYAKIT LAYU BAKTERI (Ralstonia solanacearum) PADA TOMAT

III. BAHAN DAN METODE. Laboratorium Produksi Perkebunan Fakultas Pertanian Universitas Lampung

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Universitas Medan Area yang berlokasi di jalan Kolam No. 1 Medan Estate,

BAB III METODE PENELITIAN

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu

III. BAHAN DAN METODE

TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Pertanian, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Yogyakarta.

Lampiran 1 Pengaruh perlakuan terhadap pertambahan tinggi tanaman kedelai dan nilai AUHPGC

BAB III METODE PENELITIAN. Mikrobiologi Tanah dan Rumah Kaca Balai Penelitian Tanaman Kacang- kacangan dan Umbiumbian

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian telah dilaksanakan dengan percobaan rumah kaca pada bulan

BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Penyakit Tumbuhan dan di halaman

ABSTRAK DAN EXECUTIVE SUMMARY PENELITIAN HIBAH BERSAING

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilakukan di rumah kaca gedung Hortikultura Universitas Lampung

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian

III. METODE PENELITIAN

serum medium koloni Corynebacterium diphtheria tampak putih keabuabuan, spesimenklinis (Joklik WK, Willett HP, Amos DB, Wilfert CM, 1988)

PENGARUH AGENSIA HAYATI PSEUDOMONAD FLUORESEN TERHADAP PERKEMBANGAN PENYAKIT LAYU (Fusarium sp.) DAN PERTUMBUHAN TANAMAN CABAI (Capsicum Annum L.

TATA CARA PENELITIAN. A. Waktu dan Tempat Penelitian. pertumbuhan tanaman cabai merah telah dilakukan di kebun percobaan Fakultas. B.

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret Oktober 2014 di

TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2016 sampai dengan Juli 2016

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Penyakit Tumbuhan dan Kebun

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. Percobaan 1 : Pengaruh Pertumbuhan Asal Bahan Tanaman terhadap Pembibitan Jarak Pagar

METODE PENELITIAN. 3 bulan dari bulan Juni sampai dengan bulan September 2016.

PERAN DAUN CENGKEH TERHADAP PENGENDALIAN LAYU FUSARIUM PADA TANAMAN TOMAT

KEEFEKTIFAN BIOPESTISIDA ORGANIK CAIR UNTUK MENGENDALIKAN PENYAKIT BUSUK LUNAK YANG DISEBABKAN OLEH Erwinia carotovora PADA ANGGREK Phalaenopsis sp.

PENGARUH RIZOBAKTERI DAN PUPUK FOSFAT DALAM MENINGKATKAN PERTUMBUHAN DAN HASIL TANAMAN TETUA BETINA JAGUNG HIBRIDA

PENGENDALIAN LAYU FUSARIUM PADA TANAMAN PISANG (Musa paradisiaca L.) SECARA KULTUR TEKNIS DAN HAYATI MIFTAHUL HUDA

BAB III METODE PENELITIAN. Pangan dan Hortikultura Sidoarjo dan Laboratorium Mikrobiologi, Depertemen

PENGARUH MEDIA FORMULASI DAN JENIS KEMASAN

III. BAHAN DAN METODE. laut, dengan topografi datar. Penelitian dilakukan mulai bulan Mei 2015 sampai

TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Istimewa Yogyakarta. Waktu pelaksanaan dimulai pada bulan September 2015

DAFTAR ISI. I. PENDAHULUAN... 1 A. Latar Belakang... 1 B. Tujuan Penelitian... 2 C. Manfaat Penelitian... 2

METODE PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian dilakukan di Laboratorium Proteksi Tanaman dan di Green

MATERI DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di lahan percobaan Fakultas Pertanian dan

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu. Bahan dan Alat. diameter 12 cm dan panjang 28 cm, dan bahan-bahan lain yang mendukung

I. TATA CARA PENELITIAN. Muhammadiyah Yogyakarta di Desa Tamantirto, Kecamatan Kasihan, Kabupaten

BAB III METODE PENELITIAN. variasi suhu yang terdiri dari tiga taraf yaitu 40 C, 50 C, dan 60 C. Faktor kedua

BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan. Percobaan ini dilakukan mulai

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN

METODE PENELITIAN. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung.

TATA CARA PENELITIAN. Penelitian dilakukan di Greenhouse Universitas Muhammadiyah

Budidaya Padi Organik dengan Waktu Aplikasi Pupuk Kandang yang Berbeda dan Pemberian Pupuk Hayati

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Bahan Alat Rancangan Percobaan Yijk ijk

III. BAHAN DAN METODE. Sampel tanah diambil dari daerah di sekitar risosfer tanaman nanas di PT. Great

Transkripsi:

KEEFEKTIFAN BERBAGAI FOMULASI PLANT GROWTH PROMOTING RHIZOBACTERIA (PGPR) DAN BAKTERI ENDOFIT TERHADAP PENYAKIT LAYU BAKTERI YANG DISEBABKAN OLEH Ralstonia solanacearum PADA TOMAT NOVRA ERNALIANA SINAGA DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

ABSTRAK NOVRA ERNALIANA SINAGA. Keefektifan Berbagai Formulasi Plant Growth Promoting Rhizobacteria (PGPR) dan Bakteri Endofit terhadap Penyakit Layu Bakteri yang Disebabkan oleh Ralstonia solanacearum pada Tomat. Dibimbing oleh ABDJAD ASIH NAWANGSIH. Ralstonia solanacearum adalah penyebab penyakit layu bakteri yang paling serius pada tanaman Solanaceae. Berbagai pengendalian telah dilakukan tetapi patogen masih sulit dikendalikan. Aplikasi formulasi plant growth promoting rhizobacteria (PGPR) dan bakteri endofit diharapkan menjadi alternatif dalam mengendalikan penyakit layu bakteri. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi keefektifan berbagai formulasi PGPR dan bakteri endofit terhadap penyakit layu bakteri yang disebabkan oleh Ralstonia solanacearum pada tanaman tomat di lapangan. Formulasi biokontrol dilakukan dengan menyiram bibit tomat setelah pindah tanam. Bakteri PGPR yang digunakan pada penelitian adalah Bacillus subtilis AB89, diperoleh dari koleksi Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bakteri endofit yang digunakan yaitu Staphylococcus epidermidis dengan kode isolat BC4. Formulasi yang digunakan sebagian mengandung carboxy methyl celullose (CMC) 1%. Berdasarkan nilai Area Under Disease Progress Curve (AUDPC), aplikasi formulasi bakteri PGPR dan bakteri endofit tidak berbeda nyata dibandingkan dengan kontrol. Berdasarkan index penekanan penyakit, perlakuan S. epidermidis secara tunggal (B 0 S 100 ) memberikan penekanan yang paling baik terhadap penyakit layu bakteri. Index penekanan S. epidermidis secara tunggal (B 0 S 100 ) sebesar 40.96%. Data AUDPC, bobot kering tajuk, bobot kering akar, dan bobot hasil panen buah menunjukkan bahwa perlakuan formulasi bakteri dengan penambahan CMC tidak berbeda nyata dibandingkan dengan perlakuan formulasi bakteri tanpa penambahan CMC. Kata kunci: Bacillus subtilis AB89, Staphylococcus epidermidis BC4, Carboxy Methyl Cellulose (CMC).

ABSTRACT NOVRA ERNALIANA SINAGA. Effectiveness of Various Plant Growth Promoting Rhizobacteria (PGPR) Formulations and Endophytic Bacteria on Bacterial Wilt Disease Caused by Ralstonia solanacearum in Tomato. Supervised by ABDJAD ASIH NAWANGSIH. Ralstonia solanacearum causes the most serious bacterial wilt disease in Solanaceae plants. Various attempts have been made but pathogen is still difficult to be controlled. Aplication of plant growth promoting rhizobacteria (PGPR) and endophytic bacterial formulation are expected as an alternative in controlling wilt disease. The aim of this research was to evaluate the effectiveness of various PGPR and endophytic bacterial based formulations on bacterial wilt caused by Ralstonia solanacearum in tomato plants in the field. Biocontrol formulations were applied by pouring to the tomato seedling after transplanting. PGPR bacteria used in this experiment was Bacillus subtilis AB89, which belonged to the collection of Plant Bacteriology Laboratory, Department of Plant Protection, Faculty of Agriculture, Bogor Agricultural University, which the endophytic bacteria used was Staphylococcus epidermidis BC4. Some of the formulation of bacteria were added with carboxy methyl celullose (CMC) 1%. Based on the value of Area Under Disease Progress Curve (AUDPC), the treatment of PGPR and endophytic bacterial formulations did not significantly different compare with control. Based on the index of disease suppression, single treatment of S. epidermidis (B 0 S 100 ) gave the best suppression to the bacterial wilt. Single treatment of S. epidermidis (B 0 S 100 ) had a suppression index of 40.96%. Data of AUDPC, heading dry weight, root dry weight and harvested tomato fruit weight showed that bacterial formulations with CMC treatment did not significantly different compare with treatment of bacterial formulations without CMC. Key words : Bacillus subtilis AB89, Staphylococcus epidermidis BC4, Carboxy Methyl Cellulose (CMC).

KEEFEKTIFAN BERBAGAI FOMULASI PLANT GROWTH PROMOTING RHIZOBACTERIA (PGPR) DAN BAKTERI ENDOFIT TERHADAP PENYAKIT LAYU BAKTERI YANG DISEBABKAN OLEH Ralstonia solanacearum PADA TOMAT NOVRA ERNALIANA SINAGA A34080036 Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Proteksi Tanaman DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

Judul Skripsi : Keefektifan Berbagai Formulasi Plant Growth Promoting Rhizobacteria (PGPR) dan Bakteri Endofit terhadap Penyakit Layu Bakteri yang Disebabkan oleh Ralstonia solanacearum pada Tomat Nama Mahasiswa: Novra Ernaliana Sinaga NIM : A34080036 Disetujui oleh Dr. Ir. Abdjad Asih Nawangsih, M.Si. Dosen Pembimbing Diketahui oleh Dr. Ir. Abdjad Asih Nawangsih, M.Si. Ketua Departemen Tanggal lulus :

PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala rahmat dan karunia yang telah diberikan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Keefektifan Berbagai Formulasi Plant Growth Promoting Rhizobacteria (PGPR) dan Bakteri Endofit terhadap Penyakit Layu Bakteri yang Disebabkan oleh Ralstonia Solanacearum pada Tomat. Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian di Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilakukan di Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor dan di kebun percobaan Kampung Pasir Cane, Desa Cipendawa, Kecamatan Pacet, Cianjur. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang sebesarbesarnya kepada : 1. Dr. Ir. Abdjad Asih Nawangsih, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah membimbing dan memberikan waktu, ilmu, nasihat, masukan, serta saran kepada penulis. 2. Dr. Ir. Ruly Anwar, M.Si selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan dan saran dalam skripsi ini. 3. Orang tua tercinta yang selalu mendoakan penulis dan memberikan motivasi serta dukungan. 4. Saut Jhon Frengki Sinaga, Toman Tua Teophilus Sinaga, dan Lasma Uli Leonarda Sinaga yang selalu mendoakan serta memberi semangat kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 5. Teman-teman yang telah membantu dan memberi dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan penelitian hingga skripsi (Sherly, Yuke, Syaiful, Fitri, Rizky P, Icut, Melisa, Monica, Hana, Dyan, Lynn, Lestari, Maeni, Riska DO, Ijah, Miranti, Yasin, Rado, Bush, Jack, Venny, Yudia, Efrat, Bolang, Nengah, Koku, Nurul, Isma, Adnan, Rizky I, Wira, Iva, Eche, dll.) Penelitian ini didanai dari DIPA IPB melalui Program Penelitian Desentralisasi Hibah Bersaing dengan Nomor Kontrak 03/I3.24.4/SPK- HB/IPB/2012 tanggal 01 Maret 2012 yang diketuai oleh Dr. Ir. Abdjad Asih Nawangsih, M.Si. Penulis berharap semoga skripsi ini bisa memberikan banyak manfaat kepada semua pihak yang membaca dan terutama dalam bidang proteksi tanaman. Bogor, Januari 2013 Novra Ernaliana Sinaga

DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Tujuan Penelitian 3 Manfaat Penelitian 3 BAHAN DAN METODE 4 Tempat dan Waktu Penelitian 4 Penyiapan Tanaman Uji 4 Peremajaan Bakteri PGPR dan Bakteri Endofit 4 Penyiapan Suspensi PGPR, Bakteri Endofit, dan Larutan Carboxy Methyl Cellulose (CMC) 1% 5 Aplikasi Formulasi Bakteri 5 Rancangan Percobaan dan Analisis Data 7 HASIL DAN PEMBAHASAN 8 Pengaruh Formulasi Bakteri terhadap Kejadian Penyakit 8 Pengaruh Formulasi Bakteri terhadap Bobot Kering Tajuk dan Akar 14 Pengaruh Formulasi Bakteri terhadap Bobot Hasil Panen Buah Tomat 15 Jenis Hubungan B. subtilis dan S. epidermidis 17 SIMPULAN DAN SARAN 19 Simpulan 19 Saran 19 DAFTAR PUSTAKA 20 LAMPIRAN 23 ix ix x

DAFTAR GAMBAR 1 Pertumbuhan bakteri PGPR dan bakteri endofit pada media NA 5 2 Suspensi bakteri PGPR dan bakteri endofit dalam media NB yang digunakan untuk aplikasi di lapangan 5 DAFTAR TABEL 1 Kode perlakuan dan perbandingan proposi formulasi bakteri pada uji penekanan kejadian penyakit di lapangan 6 2 Kejadian penyakit pada berbagai perlakuan formulasi bakteri dari minggu pertama hingga minggu ke-13 dan nilai AUDPC 11 3 Hasil uji-t AUDPC, bobot kering tajuk, bobot kering akar, dan bobot hasil panen buah tomat pada perlakuan formulasi bakteri dengan penambahan CMC dan tanpa penambahan CMC 13 4 Bobot kering tajuk dan bobot kering akar tanaman tomat pada berbagai perlakuan formulasi bakteri di lapangan 15 5 Bobot hasil panen buah tomat pada berbagai perlakuan formulasi bakteri di lapangan 16 6 Index penekanan penyakit, nilai Sinergy Factor (SF) dan jenis hubungan antara B. subtilis dan S. epidermidis berdasarkan nilai AUDPC 17

DAFTAR LAMPIRAN 1 Hasil analisis ragam tingkat kejadian penyakit layu bakteri tanaman tomat pada minggu kedua hingga ke-13 di lapangan 24 2 Hasil analisis ragam AUDPC pada perlakuan formulasi bakteri 25 3 Hasil uji-t AUDPC pada perlakuan formulasi bakteri dengan penambahan CMC dan tanpa penambahan CMC di lapangan 26 4 Hasil analisis ragam bobot kering tajuk tanaman tomat berumur 15 MST pada perlakuan formulasi bakteri di lapangan 26 5 Hasil uji-t bobot kering tajuk tanaman tomat berumur 15 MST pada perlakuan formulasi bakteri dengan penambahan CMC dan tanpa penambahan CMC di lapangan 26 6 Hasil analisis ragam bobot kering akar tanaman tomat berumur 15 MST pada perlakuan formulasi bakteri di lapangan 26 7 Hasil uji-t bobot kering akar tanaman tomat berumur 15 MST pada perlakuan formulasi bakteri dengan penambahan CMC dan tanpa penambahan CMC di lapangan 26 8 Hasil analisis ragam bobot hasil panen buah tomat pada perlakuan formulasi bakteri di lapangan 27 9 Hasil uji-t bobot hasil panaen buah tomat pada perlakuan formulasi bakteri dengan penambahan CMC dan tanpa penambahan CMC di lapangan 27 10 Persemaian benih tomat di lapangan 27 11 Formulasi bakteri B. subtilis dan S. epidermidis 27 12 Aplikasi formulasi bakteri pada tanaman tomat di lapangan 28 13 Keadaan pertanaman tomat di lapangan 28 14 Gejala layu bakteri di lapangan 28

1 PENDAHULUAN Latar Belakang Tomat (Lycopersicum esculentum) merupakan tanaman hortikultura yang memiliki arti ekonomi penting di Indonesia maupun di dunia. Produksi tomat meningkat sejalan dengan bertambahnya luas pertanaman tomat. Pada tahun 2010, produksi tomat di Indonesia mencapai 891.616 ton dan pada tahun 2011 produksinya meningkat menjadi 954.046 ton (Badan Pusat Statistik 2012). Peningkatan ini terjadi karena banyaknya permintaan buah tomat dan kesadaran masyarakat akan pentingnya gizi serta tumbuhnya berbagai industri pengolahan buah tomat. Untuk memenuhi kebutuhan permintaan tersebut, diperlukan upaya dalam peningkatan produksi tomat. Tomat mengandung 0.4% protein, 2.5% karbohidrat, 1.5 mg zat besi dan 2 mg vitamin C dalam 100 g berat segar sehingga baik bagi penderita sembelit, penyakit kuning, dan gangguan pencernaan (Kumar 2007). Tanaman tomat dapat dibudidayakan di dataran tinggi dan dataran rendah, akan tetapi budidaya tanaman tomat di dataran rendah lebih sering mengalami gangguan penyakit layu bakteri dibandingkan dengan budidaya tanaman tomat di dataran tinggi. Selain itu, tempat pertanaman tomat harus terbuka dan cukup mendapat sinar matahari (Winarni 1984). Layu bakteri adalah salah satu penyakit penting pada tanaman tomat yang disebabkan oleh Ralstonia solanacearum dan dapat menghambat produksi tomat. Patogen ini memiliki kemampuan bertahan hidup dalam waktu yang lama di dalam tanah sehingga sulit dikendalikan dan dapat menurunkan hasil antara 5-100% (Nurjanani 2011). Patogen dapat ditularkan melalui tanah, air irigasi, peralatan pertanian, dan bantuan manusia. Gejala penyakit ini diawali dengan kelayuan pada bagian atas tanaman, kemudian tanaman menjadi layu seluruhnya setelah beberapa hari. Pembuluh pada bagian pangkal batang tanaman yang terinfeksi berwarna coklat jika dipotong melintang dan akan mengeluarkan oose jika dicelupkan pada air (Vanitha et al. 2009). Kendala utama dalam pengendalian penyakit layu bakteri adalah banyaknya ras yang dimiliki oleh patogen R. solanacearum dan kisaran inang yang luas. Beberapa diantaranya adalah tomat, cabai, terung dan tembakau (Nasrun et al. 2007). Maka strategi pengendalian penyakit harus dilakukan secara terpadu dengan menerapkan semua potensi yang ada, seperti: (1) pencegahan; (2) pemusnahan; (3) modifikasi lingkungan yang dapat menekan perkembangan patogen di dalam tanah; (4) penanaman tanaman resisten; dan (5) pengendalian dengan agens hayati (Supriadi 2011). Pengendalian layu bakteri yang sering dilakukan adalah penggunaan varietas resisten dan rotasi tanaman dengan tanaman bukan inang, namun belum memberikan hasil yang memuaskan (Paath 2005). Aplikasi pestisida juga sering dilakukan, akan tetapi pengendalian ini tidak disarankan karena dapat merusak lingkungan dan membahayakan konsumen. Oleh karena itu, penggunaan formulasi bakteri PGPR dan bakteri endofit dapat menjadi salah satu alternatif dalam pengendalian penyakit layu bakteri. Plant Growth Promoting Rhizobacteria (PGPR) merupakan agens pengendali hayati yang mampu bersaing dalam mendapatkan zat makanan karena menghasilkan siderofor. Keuntungan dari menggunakan PGPR sebagai agens pengendali adalah aman bagi manusia, musuh alami, dan organisme bukan

2 sasaran serta tidak menimbulkan resistensi patogen. Selain itu, penggunaan PGPR mampu mengurangi penggunaan pestisida kimiawi yang dapat merusak lingkungan dan membahayakan konsumen. Tetapi metode ini kurang praktis apabila diaplikasikan secara luas di lapangan karena mengalami kesulitan dalam hal penanganan, transportasi, dan penyimpanan (Vidyasekaran et al. 1997). Keefektifan pengendalian dengan agens biokontrol dapat ditingkatkan antara lain dengan mengkombinasikan dua atau lebih agens biokontrol dengan mekanisme yang berbeda. Salah satu bakteri PGPR yang dapat menekan pertumbuhan patogen dalam tanah secara alami adalah kelompok Bacillus (Wuryandari et al. 2008). Diantara sekian banyak jenis agens hayati yang telah diuji keamanannya B. subtilis adalah salah satu agens hayati yang aman bagi manusia maupun lingkungan (Supriadi 2006). B. subtilis sering digunakan sebagai agens biokontrol komersial pada pertanaman yang mengandung patogen. Menurut Nawangsih (2006), aplikasi B. subtilis AB89 dapat menekan penyakit layu bakteri di lapangan. Menurut Mena dan Olalde (2007), B. subtilis dapat meningkatkan kualitas buah dalam kondisi rumah kaca, tomat menjadi lebih berat dan lebih tahan lama. Penelitian mengenai kombinasi bakteri PGPR dan bakteri endofit telah dilakukan oleh Handini (2011) pada proporsi 50:50. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, aplikasi kombinasi bakteri PGPR dan bakteri endofit dengan perbandingan 50% PGPR dan 50% bakteri endofit kurang efektif dalam menekan perkembangan penyakit layu bakteri di lapangan. Bakteri endofit adalah bakteri yang bertahan hidup dalam jaringan tanaman dan bersimbiosis dengan tanaman sehingga tanaman terhindar dari serangan penyakit (Melliawati et al. 2006). Pemanfaatan bakteri endofit merupakan pengendalian yang tidak menimbulkan efek negatif terhadap kehidupan manusia dan lingkungan (Zinniel et al. 2002). Metabolit sekunder yang dihasilkan oleh mikroorganisme endofit merupakan suatu antibiotik yang mampu melindungi tanaman dari serangan patogen sehingga dapat dimanfaatkan sebagai agens biokontrol (Firmansyah 2012). Damayanti (2010) melakukan isolasi bakteri endofit sebanyak 49 isolat dari batang atas tanaman tomat dan 17 diantaranya diisolasi dari tanaman asal Bogor, Cipanas dan Lembang. Berdasarkan uji reaksi hipersensitif bakteri BC4 menimbulkan reaksi negatif pada uji tersebut dan memberikan penekanan penyakit paling tinggi yaitu sebesar 66.7%. Oleh karena itu, bakteri ini akan diuji pada penelitian ini. Berdasarkan hasil sekuens 16S rrna, isolat BC4 merupakan spesies dari S. epidermidis (Nawangsih et al. 2011). Bakteri S. epidermidis memiliki karakter fisiologi dan karakter morfologi. Karakter fisiologi dari bakteri ini yaitu: gram negatif, bentuk batang, tidak berspora, non motil, dapat tumbuh dalam kondisi anaerob dan anaerob fakultatif, katalase positif, oksidase positif. Karakter morfologi dari S. epidermidis yaitu: permukaan cembung, tepian rata, bentuk bulat licin, ukuran sedang, dan ciri lain yaitu tidak lengket serta pertumbuhannya cepat pada medium King s B (Damayanti 2010). Penelitian ini merupakan penelitian lanjutan dari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Damayanti (2010) pada tahap in planta. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, bakteri endofit yang diisolasi dari batang tanaman tomat dapat menekan kejadian penyakit, akan tetapi tidak dapat memacu pertumbuhan tanaman tomat. Formulasi merupakan langkah awal dalam usaha pengendalian hayati yang dapat diusahakan secara komersial. Prinsip dari formulasi adalah mencampurkan

organisme dalam bahan pembawa yang dilengkapi dengan bahan tambahan untuk memaksimalkan kemampuan bertahan hidup di penyimpanan, mengoptimalkan aplikasi organisme target dan melindungi organisme pengendali hayati setelah aplikasi. Adapun fungsi dasar dari formulasi adalah untuk stabilisasi organisme selama produksi, distribusi dan penyimpanan, mengubah aplikasi produk, melindungi agens dari faktor lingkungan yang dapat menurunkan kemampuan bertahan hidupnya serta meningkatkan aktivitas dari agens untuk mengendalikan organisme target. Formulasi terdiri dari dua tipe, yaitu produk berbentuk padatan (tepung dan butiran) serta berbentuk suspensi (berbahan dasar minyak atau air, dan emulsi) (Jones dan Burges 1998 dalam Sulistiani 2009). Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi mengenai keefektifan berbagai formulasi PGPR dan bakteri endofit untuk mengendalikan penyakit layu bakteri yang disebabkan oleh R. solanacearum pada tanaman tomat. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah memperoleh informasi tentang formulasi biopestisida berbahan aktif PGPR dan bakteri endofit yang efektif dalam mengendalikan R. solanacearum untuk mendukung pertanian yang berkelanjutan. 3

4 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari hingga September 2012 di Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor dan di kebun petani, Kampung Pasir Cane, Desa Cipendawa, Kecamatan Pacet, Cianjur. Penyiapan Tanaman Uji Varietas tomat yang digunakan dalam penelitian ini adalah varietas Martha. Benih tomat diperoleh dari toko pertanian. Benih disemai dengan menggunakan pocis yang terbuat dari daun pisang yang dilingkarkan dengan diameter 5 cm pada masing-masing pocis ditanam satu benih. Setiap pagi dan sore hari bibit disiram hingga pindah tanam. Media tanam pada saat persemaian terdiri dari tanah yang dicampur kapur dan pupuk kandang dengan perbandingan 4:4:1. Persemaian dilakukan selama 18-20 hari. Setelah dilakukan persemaian, kemudian bibit tanaman dipindahkan ke lapangan. Tanah digemburkan dengan cara dicangkul, kemudian dibentuk bedengan. Lebar bedeng 110 cm, jarak antar bedeng 20 cm, panjang bedeng 620 cm dan terdiri dari 3 blok. Blok 1 ditanam 20 tanaman/bedeng, blok 2 ditanam 28 tanaman/bedeng dan blok 3 ditanam 30 tanaman/bedeng. Setiap perlakuan terdiri dari 2 bedeng. Setelah tanaman tomat berumur hampir 3 minggu di persemaian, dilakukan pindah tanam ke lapangan yang tanahnya mengandung bakteri R. solanacearum dengan jarak tanam 60x50 cm. Satu lubang tanam ditanami 1 bibit tomat. Peremajaan Bakteri PGPR dan Bakteri Endofit Bakteri PGPR yang digunakan adalah B. subtilis AB89 yang diperoleh dari koleksi Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (Nawangsih 2006). Bakteri endofit yang digunakan yaitu S. epidermidis dengan kode isolat BC4, berasal dari penelitian sebelumnya yang diisolasi dari batang tanaman tomat sehat di wilayah Bogor, Cipanas, dan Lembang (Damayanti 2010). Bakteri disimpan dalam eppendorf yang berisi air steril dan gliserol 20% dengan perbandingan 1:1 pada suhu -4 0 C. B. subtilis dan S. epidermidis diremajakan berulang-ulang pada media nutrient agar (NA) dalam cawan petri untuk mendapatkan koloni tunggal. B. subtilis dan S. epidermidis yang disimpan pada suhu -4 0 C dibiarkan mencair selama beberapa menit. Kemudian, suspensi bakteri B. subtilis dan S. epidermidis diambil sebanyak 100 µl dengan menggunakan mikropipet. Masingmasing bakteri disebar dengan menggunakan gelas beads pada permukaan media nutrient agar (NA) dalam cawan petri dan disimpan pada suhu ruang selama 24 jam. B. subtilis dan S. epidermidis diremajakan kembali pada media NA dengan menggunakan metode kuadran dan diinkubasi selama 24 jam. Setelah didapatkan koloni tunggal, kedua bakteri tersebut masing-masing digores merata pada media NA dalam cawan petri.

5 a b Gambar 1 Petumbuhan bakteri PGPR dan bakteri endofit pada media NA; (a) bakteri PGPR B. subtilis (AB89), (b) bakteri endofit S. epidermidis (BC4) Penyiapan Suspensi PGPR, Bakteri Endofit, dan Larutan Carboxy Methyl Cellulose (CMC) 1% Penyiapan suspensi PGPR dan bakteri endofit dilakukan dengan cara sebagai berikut: media agar dalam cawan petri yang yang telah ditumbuhi masingmasing B. subtilis dan S. epidermidis disiram air steril sebanyak 10 ml. Kemudian bakteri yang telah tumbuh digosok menggunakan jarum ose hingga membentuk suspensi. Masing-masing suspensi tersebut diambil sebanyak 8 ml menggunakan mikropipet dan diinokulasikan ke dalam 2000 ml media cair nutrient broth (NB) dalam labu erlenmeyer kemudian diinkubasikan pada suhu ruang dan digoyang menggunakan shaker dengan kecepatan 100 rpm selama 24 jam. Penyiapan larutan CMC 1% dilakukan dengan cara mencampurkan 70 gr CMC dalam 7 liter air, kemudian disterilisasi menggunakan autoklaf selama 15 menit dengan suhu 121 0 C. a b c Gambar 2 Suspensi bakteri PGPR dan bakteri endofit dalam media NB yang digunakan untuk aplikasi di lapangan; (a) B. subtilis AB89, (b) S. epidermidis BC4 dan (c) larutan CMC 1%. Aplikasi Formulasi Bakteri Perlakuan setiap tanaman disiram sebanyak 50 ml formulasi bakteri per tanaman. Misalnya untuk perbandingan formulasi agens biokontrol B25BC75 25:75, artinya kebutuhan bakteri PGPR B. subtilis sebanyak 12.5 ml dan bakteri endofit S. epidermidis sebanyak 37.5 ml. Setelah tanaman tomat berumur 5 MST, tanaman tomat disiram kembali sebanyak 100 ml formulasi bakteri per tanaman. Aplikasi formulasi agens biokontrol dilakukan dua minggu sekali hingga tanaman berumur 9 MST. Populasi bakteri PGPR yang digunakan yaitu 8.25x10 9 cfu/ml. Untuk pelakuan kontrol, bibit tomat disiram dengan air tanpa diberi perlakuan agens biokontrol. Perlakuan yang diberikan terdiri dari 10 perlakuan.

6 Tabel 1 Kode perlakuan dan perbandingan proporsi formulasi bakteri pada uji penekanan kejadian penyakit di lapangan Perbandingan proporsi formulasi bakteri dalam perlakuan (%) Kode Perlakuan a B. subtilis S. epidermidis CMC B 100 S 0 C 100 0 1 B 0 S 100 C 0 100 1 B 75 S 25 C 75 25 1 B 25 S 75 C 25 75 1 C 0 0 1 B 100 S 0 100 0 0 B 0 S 100 0 100 0 B 75 S 25 75 25 0 B 25 S 75 25 75 0 Kontrol 0 0 0 a Kode perlakuan: B= B. subtilis AB89, BC= S. epidermidis BC4, C= Carboxy Methyl Cellulose Pengamatan kejadian penyakit dilakukan seminggu sekali. Peubah yang diamati adalah kejadian penyakit layu bakteri, bobot kering tajuk, bobot kering akar, dan bobot hasil panen buah tomat. Kejadian penyakit dihitung dengan rumus: KP n N = kejadian penyakit = jumlah tanaman yang terserang = jumlah tanaman yang diamati Setelah kejadian penyakit diketahui, kemudian dihitung pula nilai AUDPC (Area Under Disease Progress Curve). AUDPC adalah area di bawah kurva perkembangan penyakit. AUDPC dihitung dengan menggunakan rumus (Van der Plank 1963 dalam Cooke 1998): AUDPC = y i t i = persentase kejadian penyakit pada pengamatan ke-i = waktu pengamatan ke-i Setelah nilai AUDPC diketahui, kemudian index penekanan penyakit dihitung dengan menggunakan rumus (Nawangsih 2006): Indeks penekanan penyakit = x 100% DIc = AUDPC pada kontrol DIb = AUDPC pada perlakuan agens biokontrol Jenis hubungan antara dua agens biokontrol dapat diketahui dengan menggunakan rumus Abbott s (Guetsky et al. 2002), yaitu: E (exp) = a + b [(a x b)/100] dan SF = E (obs) /E (exp)

7 a = keefektifan pengendalian oleh agens biokontrol I b = keefektifan pengendalian oleh agens biokontrol II E (exp) = keefektifan pengendalian dugaan oleh campuran agens biokontrol E (obs) = keefektifan pengendalian oleh campuran berdasarkan hasil pengamatan SF = Synergy Factor Nilai SF = 1 ; interaksi antar agens biokontrol bersifat additif SF < 1 ; interaksi antar agens biokontrol bersifat antagonis SF > 1 ; interaksi antar agens biokontrol bersifat sinergis Rancangan Percobaan dan Analisis Data Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok. Data dianalisis menggunakan analisis ragam (anova) dengan menggunakan program Statistical Analysis System (SAS) versi 9.0 dan uji lanjut Duncan Multiple Range Test (DMRT) untuk melihat perbedaan tiap perlakuan pada tingkat kepercayaan 95%. Uji-t dengan menggunakan program Statistical Product and Service Solution (SPSS) untuk melihat perbedaan antara formulasi bakteri dengan penambahan CMC dan tanpa CMC pada tingkat kepercayaan 95%. Perlakuan formulasi bakteri dengan penambahan CMC dan tanpa CMC dinyatakan tidak berbeda nyata apabila p-value > 0.05.

8 HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Formulasi Bakteri terhadap Kejadian Penyakit Kejadian penyakit adalah jumlah tanaman yang terserang dalam satu populasi. Berdasarkan data kejadian penyakit (Tabel 2), tingkat kejadian penyakit layu bakteri di lapangan cukup rendah mencapai 7.8% (kontrol) pada pengamatan minggu ke-13. Hal ini dapat disebabkan karena populasi R. solanacearum di lapangan relatif sedikit, tingkat virulensi R. solanacearum di lapangan relatif rendah atau lingkungan yang kurang mendukung bagi perkembangan R. solanacearum. Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Handini (2011) dimana tingkat kejadian penyakit layu bakteri di lapangan cukup tinggi mencapai 96% pada pengamatan minggu ke-9. Perbedaan ini dapat disebabkan karena pengaruh perbedaan lingkungan pada saat penelitian. Berdasarkan data Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) stasiun klimatologi Darmaga Bogor, rata-rata suhu dan kelembaban di Cianjur pada saat pengujian yaitu sebesar 20.5 0 C dan 77%. Menurut Supriadi (2011), bakteri ini berkembang pesat pada suhu 24-35 C dan kelembaban mencapai 90%. Pengamatan kejadian penyakit layu bakteri di lapangan dilakukan setiap minggu dimulai dari minggu pertama hingga minggu ke-13, tetapi data yang disajikan dimulai dari pengamatan minggu ke-2 karena pada minggu pertama terdapat beberapa tanaman yang mati sehingga dilakukan penyulaman. Nilai ratarata tingkat kejadian penyakit layu bakteri pada minggu ke-2 hingga minggu ke- 13 tidak jauh berbeda. Pada pengamatan minggu ke-2, tanaman yang sudah menunjukkan adanya kejadian penyakit layu bakteri adalah tanaman pada aplikasi kombinasi B. subtilis 25% dan S. epidermidis 75% (B 25 S 75 ), kombinasi B. subtilis 25% dan S. epidermidis 75% dengan penambahan CMC (B 25 S 75 C), kombinasi B. subtilis 75% dan S. epidermidis 25% (B 75 S 25 ), B. subtilis secara tunggal (B 100 S 0 ), kontrol, CMC secara tunggal (C), kombinasi B. subtilis 75% dan S. epidermidis 25% dengan penambahan CMC (B 75 S 25 C), B. subtilis 100% dengan penambahan CMC (B 100 S 0 C), yaitu masing-masing sebesar 3.94%, 2.62%, 2.60%, 2.56%, 1.95%, 1.90%, 1.42% dan 1.24%. Pada pengamatan minggu ke-3, perlakuan yang diberikan tidak berpengaruh nyata terhadap kejadian penyakit layu bakteri (berdasarkan uji lanjut Duncan pada taraf 5%). Kejadian penyakit layu bakteri pada perlakuan S. epidermidis secara tunggal (B 0 S 100 ) memberikan penekanan penyakit lebih baik dibandingkan dengan perlakuan kombinasi B. subtilis 25% dan S. epidermidis 75% (B 25 S 75 ). Nilai kejadian penyakit layu bakteri pada perlakuan S. epidermidis secara tunggal (B 0 S 100 ) sebanyak 1.15% dan nilai kejadian penyakit layu bakteri pada perlakuan kombinasi B. subtilis 25% dan S. epidermidis 75% (B 25 S 75 ) sebesar 5.28%. Kejadian penyakit layu bakteri pada perlakuan B. subtilis 100% dengan penambahan CMC (B 100 S 0 C) memberikan penekanan penyakit lebih baik dibandingkan dengan perlakuan kombinasi B. subtilis 25% dan S. epidermidis 75% (B 25 S 75 ). Nilai kejadian penyakit layu bakteri pada perlakuan B. subtilis 100% dengan penambahan CMC (B 100 S 0 C) sebesar 1.24% Pada pengamatan minggu ke-4, perlakuan yang diberikan tidak berpengaruh nyata terhadap kejadian penyakit layu bakteri (berdasarkan uji lanjut Duncan pada taraf 5%). Kejadian penyakit layu bakteri pada perlakuan S. epidermidis secara

tunggal (B 0 S 100 ) memberikan penekanan penyakit lebih baik dibandingkan dengan perlakuan kombinasi B. subtilis 25% dan S. epidermidis 75% (B 25 S 75 ). Nilai kejadian penyakit layu bakteri pada perlakuan S. epidermidis secara tunggal (B 0 S 100 ) sebesar 2.47% dan nilai kejadian penyakit layu bakteri pada perlakuan kombinasi B. subtilis 25% dan S. epidermidis 75% (B 25 S 75 ) sebesar 8.54%. Kejadian penyakit layu bakteri pada perlakuan B. subtilis 100% dengan penambahan CMC (B 100 S 0 C) memberikan penekanan penyakit lebih baik dibandingkan dengan perlakuan kombinasi B. subtilis 25% dan S. epidermidis 75% (B 25 S 75 ). Nilai kejadian penyakit layu bakteri pada perlakuan B. subtilis 100% dengan penambahan CMC (B 100 S 0 C) sebesar 2.39%. Hal ini juga sama pada pengamatan minggu ke-5, dimana perlakuan formulasi bakteri juga tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kejadian penyakit layu bakteri (analisis ragam α=5%). Berdasarkan analisis ragam dengan uji lanjut Duncan 5% (Tabel 2), perlakuan yang diberikan tidak berpengaruh nyata terhadap kejadian penyakit layu bakteri pada pengamatan minggu ke-6. Kejadian penyakit layu bakteri pada perlakuan S. epidermidis secara tunggal (B 0 S 100 ) memberikan penekanan penyakit lebih baik dibandingkan dengan perlakuan kombinasi B. subtilis 25% dan S. epidermidis 75% (B 25 S 75 ). Nilai kejadian penyakit layu bakteri pada perlakuan S. epidermidis secara tunggal (B 0 S 100 ) sebesar 3.20% dan nilai kejadian penyakit layu bakteri pada perlakuan kombinasi B. subtilis 25% dan S. epidermidis 75% (B 25 S 75 ) sebesar 9.99%. Kejadian penyakit layu bakteri pada perlakuan B. subtilis 100% dengan penambahan CMC (B 100 S 0 C) memberikan penekanan penyakit lebih baik dibandingkan dengan perlakuan kombinasi B. subtilis 25% dan S. epidermidis 75% (B 25 S 75 ). Nilai kejadian penyakit layu bakteri pada perlakuan B. subtilis 100% dengan penambahan CMC (B 100 S 0 C) sebesar 3.49%. Pada pengamatan minggu ke-7, perlakuan yang diberikan tidak berpengaruh nyata terhadap kejadian penyakit layu bakteri (berdasarkan uji lanjut Duncan pada taraf 5%). Kejadian penyakit layu bakteri pada perlakuan S. epidermidis secara tunggal (B 0 S 100 ) memberikan penekanan penyakit lebih baik dibandingkan dengan perlakuan kombinasi B. subtilis 25% dan S. epidermidis 75% (B 25 S 75 ). Nilai kejadian penyakit layu bakteri pada perlakuan S. epidermidis secara tunggal (B 0 S 100 ) sebesar 3.92% dan nilai kejadian penyakit layu bakteri pada perlakuan kombinasi B. subtilis 25% dan S. epidermidis 75% (B 25 S 75 ) sebesar 11.14%. Kejadian penyakit layu bakteri pada perlakuan B. subtilis 100% dengan penambahan CMC (B 100 S 0 C) memberikan penekanan penyakit lebih baik dibandingkan dengan perlakuan kombinasi B. subtilis 25% dan S. epidermidis 75% (B 25 S 75 ). Nilai kejadian penyakit layu bakteri pada perlakuan B. subtilis 100% dengan penambahan CMC (B 100 S 0 C) sebesar 3.99%. Kejadian penyakit layu bakteri pada perlakuan S. epidermidis 100% dengan penambahan CMC (B 0 S 100 C) juga memberikan penekanan penyakit lebih baik dibandingkan dengan perlakuan kombinasi B. subtilis 25% dan S. epidermidis 75% (B 25 S 75 ). Nilai kejadian penyakit layu bakteri pada perlakuan S. epidermidis 100% dengan penambahan CMC (B 0 S 100 C) sebesar 4.56%. Pada pengamatan minggu ke-8, perlakuan yang diberikan tidak berpengaruh nyata terhadap kejadian penyakit layu bakteri (berdasarkan uji lanjut Duncan pada taraf 5%). Kejadian penyakit layu bakteri pada perlakuan S. epidermidis secara tunggal (B 0 S 100 ) memberikan penekanan penyakit lebih baik dibandingkan dengan 9

10 perlakuan kombinasi B. subtilis 25% dan S. epidermidis 75% (B 25 S 75 ). Nilai kejadian penyakit layu bakteri pada perlakuan S. epidermidis secara tunggal (B 0 S 100 ) sebesar 3.92% dan nilai kejadian penyakit layu bakteri pada perlakuan kombinasi B. subtilis 25% dan S. epidermidis 75% (B 25 S 75 ) sebesar 12.48%. Kejadian penyakit layu bakteri pada perlakuan B. subtilis 100% dengan penambahan CMC (B 100 S 0 C) memberikan penekanan penyakit lebih baik dibandingkan dengan perlakuan kombinasi B. subtilis 25% dan S. epidermidis 75% (B 25 S 75 ). Nilai kejadian penyakit layu bakteri pada perlakuan B. subtilis 100% dengan penambahan CMC (B 100 S 0 C) sebesar 4.72%. Kejadian penyakit layu bakteri pada perlakuan S. epidermidis 100% dengan penambahan CMC (B 0 S 100 C) memberikan penekanan penyakit lebih baik dibandingkan dengan perlakuan kombinasi B. subtilis 25% dan S. epidermidis 75% (B 25 S 75 ). Nilai kejadian penyakit layu bakteri pada perlakuan S. epidermidis 100% dengan penambahan CMC (B 0 S 100 C) sebesar 4.56%. Pada pengamatan minggu ke-9, perlakuan yang diberikan tidak berpengaruh nyata terhadap kejadian penyakit layu bakteri (berdasarkan uji lanjut Duncan pada taraf 5%). Kejadian penyakit layu bakteri pada perlakuan S. epidermidis secara tunggal (B 0 S 100 ) memberikan penekanan penyakit lebih baik dibandingkan dengan perlakuan kombinasi B. subtilis 25% dan S. epidermidis 75% (B 25 S 75 ). Nilai kejadian penyakit layu bakteri pada perlakuan S. epidermidis secara tunggal (B 0 S 100 ) sebesar 3.92% dan nilai kejadian penyakit layu bakteri pada perlakuan kombinasi B. subtilis 25% dan S. epidermidis 75% (B 25 S 75 ) sebesar 12.48%. Kejadian penyakit layu bakteri pada perlakuan S. epidermidis 100% dengan penambahan CMC (B 0 S 100 C) memberikan penekanan penyakit lebih baik dibandingkan dengan perlakuan kombinasi B. subtilis 25% dan S. epidermidis 75% (B 25 S 75 ). Nilai kejadian penyakit layu bakteri pada perlakuan S. epidermidis 100% dengan penambahan CMC (B 0 S 100 C) sebesar 4.56%. Pada pengamatan minggu ke-10, perlakuan yang diberikan tidak berpengaruh nyata terhadap kejadian penyakit layu bakteri (berdasarkan uji Duncan pada taraf 5%). Kejadian penyakit layu bakteri pada perlakuan S. epidermidis secara tunggal (B 0 S 100 ) memberikan penekanan penyakit lebih baik dibandingkan dengan perlakuan kombinasi B. subtilis 25% dan S. epidermidis 75% (B 25 S 75 ). Nilai kejadian penyakit layu bakteri pada perlakuan S. epidermidis secara tunggal (B 0 S 100 ) sebesar 3.92% dan nilai kejadian penyakit layu bakteri pada perlakuan kombinasi B. subtilis 25% dan S. epidermidis 75% (B 25 S 75 ) sebesar 12.48%. Kejadian penyakit layu bakteri pada perlakuan S. epidermidis 100% (B 0 S 100 ) memberikan penekanan penyakit lebih baik dibandingkan dengan perlakuan kombinasi B. subtilis 100% (B 100 S 0 ). Nilai kejadian penyakit layu bakteri pada perlakuan kombinasi B. subtilis 100% (B 100 S 0 ) sebesar 11.74%.

11 Tabel 2 Kejadian penyakit pada berbagai perlakuan formulasi bakteri dari minggu ke-2 hingga minggu ke-13 dan nilai AUDPC Kejadian penyakit (%) Perlakuan 2 MST a 3 MST 4 MST 5 MST 6 MST 7 MST 8 MST B 100 S 0 C 1.24 ± 1.11bc b 1.24 ± 1.11b 2.39 ± 0.96 b 3.49 ± 1.53a 3.49 ± 1.53b 3.99 ± 2.39b 4.72 ± 1.82b B 0 S 100 C 0.00 ± 0.00c 1.95 ± 1.85ab 3.91 ± 3.71ab 4.56 ± 2.74a 4.56 ± 2.74ab 4.56 ± 2.74b 4.56 ± 2.74b B 75 S 25 C 1.42 ± 1.28bc 2.02 ± 1.83ab 4.28 ± 3.86ab 4.28 ± 3.86a 4.88 ± 4.23ab 6.27 ± 4.23ab 7.46 ± 5.03ab B 25 S 75 C 2.62 ± 1.49ab 4.51 ± 1.74ab 7.03 ± 1.88ab 7.03 ± 1.88a 7.03 ± 1.88ab 8.21 ± 1.36ab 8.83 ± 2.22ab C 1.90 ± 1.71abc 4.36 ± 4.17ab 5.71 ± 5.15ab 6.50 ± 5.64a 6.50 ± 5.64ab 7.06 ± 6.21ab 7.06 ± 6.21ab B 100 S 0 2.56 ± 1.54ab 2.56 ± 1.54ab 3.28 ± 2.80ab 7.12 ± 5.19a 7.12 ± 5.19ab 8.24 ± 4.24ab 10.07 ± 4.53ab B 0 S 100 0.00 ± 0.00c 1.15 ± 0.99b 2.47 ± 0.98b 3.20 ± 1.38a 3.20 ± 1.38b 3.92 ± 2.44b 3.92 ± 2.44b B 75 S 25 2.60 ± 1.51ab 2.60 ± 1.51ab 5.20 ± 3.03ab 7.03 ± 1.87a 7.03 ± 1.87ab 8.35 ± 4.11ab 8.95 ± 3.55ab B 25 S 75 3.94 ± 2.37a 5.28 ± 2.96a 8.54 ± 4.06a 9.26 ± 5.27a 9.99 ± 6.51a 11.14 ± 5.45a 12.48 ± 6.14a Kontrol 1.95 ± 1.85abc 2.59 ± 0.96ab 5.20 ± 1.92ab 5.20 ± 1.92a 5.92 ± 1.85ab 5.92 ± 1.85ab 5.92 ± 1.85ab 11

12 12 Tabel 2 Lanjutan Perlakuan Kejadian penyakit (%) 9 MST 10 MST 11 MST 12 MST 13 MST AUDPC (%hari) c B 100 S 0 C 6.29 ± 1.77ab 6.29 ± 1.77ab 6.81 ± 2.51abc 6.81 ± 2.51abc 6.81 ± 2.51abc 351.85 ± 74.40ab B 0 S 100 C 4.56 ± 2.74b 4.56 ± 2.74ab 4.56 ± 2.74bc 4.56 ± 2.74bc 4.56 ± 2.74bc 311.61 ± 201.04b B 75 S 25 C 8.01 ± 4.07ab 8.01 ± 4.07ab 8.01 ± 4.07bc 8.01 ± 4.07bc 8.01 ± 4.07bc 454.40 ± 283.24ab B 25 S 75 C 8.83 ± 2.22ab 8.83 ± 2.22ab 8.83 ± 2.22abc 8.83 ± 2.22abc 8.83 ± 2.22abc 585.77 ± 129.50ab C 7.06 ± 6.21ab 7.06 ± 6.21ab 7.06 ± 6.21abc 7.06 ± 6.21abc 7.06 ± 6.21abc 489.67 ± 430.90ab B 100 S 0 10.07 ± 4.53ab 11.74 ± 3.01a 11.74 ± 3.01ab 11.74 ± 3.01ab 11.74 ± 3.01ab 622.62 ± 284.49ab B 0 S 100 3.92 ± 2.44b 3.92 ± 2.44b 3.92 ± 2.44c 3.92 ± 2.44c 3.92 ± 2.44c 268.85 ± 156.48b B 75 S 25 9.67 ± 4.81ab 9.67 ± 4.81ab 9.67 ± 4.81abc 9.67 ± 4.81abc 9.67 ± 4.81abc 583.56 ± 292.21ab B 25 S 75 12.48 ± 6.14a 12.48 ± 6.14a 12.48 ± 6.14a 12.48 ± 6.14a 12.48 ± 6.14a 803.53 ± 412.00a Kontrol 7.16 ± 3.67ab 7.89 ± 3.70ab 7.89 ± 3.70abc 7.89 ± 3.70abc 7.89 ± 3.70abc 455.38 ± 189.25ab a MST = Minggu setelah tanam. b Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf 5%. c AUDPC= Area Under Disease Progress Curve.

Pada pengamatan minggu ke-11, perlakuan yang diberikan tidak berpengaruh nyata terhadap kejadian penyakit layu bakteri (berdasarkan uji lanjut Duncan pada taraf 5%). Kejadian penyakit layu bakteri pada perlakuan S. epidermidis secara tunggal (B 0 S 100 ) memberikan penekanan penyakit lebih baik dibandingkan dengan perlakuan kombinasi B. subtilis 25% dan S. epidermidis 75% (B 25 S 75 ). Nilai kejadian penyakit layu bakteri pada perlakuan S. epidermidis secara tunggal (B 0 S 100 ) sebesar 3.92% dan nilai kejadian penyakit layu bakteri pada perlakuan kombinasi B. subtilis 25% dan S. epidermidis 75% (B 25 S 75 ) sebesar 12.48%. Hal ini juga sama pada pengamatan minggu ke-12 dan minggu ke-13, dimana perlakuan yang diberikan tidak berpengaruh nyata terhadap kejadian penyakit layu bakteri (berdasarkan uji lanjut Duncan pada taraf 5%). AUDPC adalah area di bawah kurva perkembangan penyakit. Berdasarkan analisis ragam dengan uji lanjut Duncan pada taraf 5 %, perlakuan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap AUDPC (Tabel 2). Hal ini menunjukkan bahwa formulasi bakteri yang diaplikasikan tidak memberikan penekanan perkembangan penyakit layu bakteri di lapangan. Handini (2011) menyatakan bahwa perlakuan tunggal PGPR dan bakteri endofit maupun perlakuan kombinasi antara PGPR dan bakteri endofit (B 25 S 75, B 50 S 50 dan B 75 S 25 ) tidak dapat menghambat kejadian penyakit layu bakteri. Akan tetapi, perlakuan tersebut tidak memberikan pengaruh yang negatif terhadap tanaman karena perkembangan dan pertumbuhan tanaman tidak terganggu. Keefektifan PGPR dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu kelembaban, tekanan oksigen, suhu, ph, kandungan lempung, daya larut ion, dan tahap organik tanah (Khalimi dan Wirya 2010). Nilai AUDPC pada perlakuan kombinasi B. subtilis 25% dan S. epidermidis 75% (B 25 S 75 ) berbeda nyata dengan perlakuan S. epidermidis secara tunggal (B 0 S 100 ). Nilai AUDPC pada perlakuan kombinasi B. subtilis 25% dan S. epidermidis 75% (B 25 S 75 ) yaitu sebesar 803.53%hari dan nilai AUDPC pada perlakuan S. epidermidis secara tunggal (B 0 S 100 ) yaitu sebesar 268.85%hari. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan S. epidermidis secara tunggal (B 0 S 100 ) memberikan penekanan penyakit yang lebih baik dibandingkan dengan perlakuan kombinasi B. subtilis 25% dan S. epidermidis 75% (B 25 S 75 ). Perlakuan S. epidermidis 100% dengan penambahan CMC (B 0 S 100 C) juga memberikan penekanan penyakit yang lebih baik dibandingkan dengan perlakuan kombinasi B. subtilis 25% dan S. epidermidis 75% (B 25 S 75 ). Nilai AUDPC pada perlakuan S. epidermidis 100% dengan penambahan CMC (B 0 S 100 C) sebesar 311.61%hari. CMC adalah selulosa yang dapat dimanfaatkan oleh mikroorganisme sebagai nutrisi (Ramadhan et al. 2012). Mikroorganisme seperti B. subtilis menghasilkan enzim selulase yang dapat mendegradasi selulosa menjadi glukosa yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber karbon dan nutrisi bagi pertumbuhan mikrooganisme tersebut (Fikrinda 2000). Berdasarkan uji-t pada taraf 5% (Tabel 3), perlakuan formulasi bakteri dengan penambahan CMC tidak berbeda nyata dengan perlakuan formulasi bakteri tanpa penambahan CMC terhadap AUDPC. Hal ini menunjukkan bahwa aplikasi formulasi bakteri dengan penambahan CMC tidak memberikan penekanan penyakit yang lebih baik dibandingkan dengan formulasi bakteri tanpa penambahan CMC di lapangan. Menurut Chrisnawati (2011), aplikasi B. subtilis dengan penambahan CMC 1%, 0.75% dan 0.5% dapat menekan penyakit layu bakteri pada nilam, tetapi aplikasi B. subtilis dengan penambahan CMC 0.25% tidak dapat menekan layu bakteri pada nilam di rumah 13

14 kaca. Aplikasi B. subtilis dengan penambahan CMC 1%, 0.75% dan 0.5% dapat menekan kejadian penyakit layu bakteri pada nilam masing-masing sebesar 50%, 41%, dan 33% di rumah kaca. Berdasarkan hasil penelitian Nurjanani (2010), aplikasi B. subtilis dengan penambahan CMC 1% dapat menekan kejadian layu bakteri pada tanaman tomat. Perbedaan ini disebabkan karena suhu di lapangan yang berubah-ubah (Nawangsih 2006). Aktivitas enzim selulase dipengaruhi oleh faktor derajat kemasaman (ph), suhu, dan senyawa penghambat. Bacillus sp. secara aktif mendegradasi CMC 1% pada ph 7 (Hidayat 2005) dan suhu 50 0 C. Logam berat seperti Hg 2+, Ag +, dan Cu 2+ dapat menghambat kerja enzim selulase (Deng dan Tabatai 1994). Tabel 3 Hasil uji-t AUDPC, bobot kering tajuk, bobot kering akar, dan bobot hasil panen buah tomat pada perlakuan formulasi bakteri dengan penambahan CMC dan tanpa penambahan CMC Peubah p-value b AUDPC a 0.28 Bobot kering tajuk 0.31 Bobot kering akar 0.15 Bobot panen hasil buah tomat 0.32 a AUDPC= Area Under Disease Progress Curve. b p-value > 0.05 artinya formulasi bakteri dengan penambahan CMC dan tanpa CMC tidak berbeda nyata pada taraf 5%. Pengaruh Formulasi Bakteri terhadap Bobot Kering Tajuk dan Akar Salah satu parameter uji pemacuan pertumbuhan adalah perhitungan bobot kering tanaman. Bobot kering tanaman yang dihitung adalah bobot kering tajuk dan bobot kering akar. Berdasarkan analisis ragam dengan uji lanjut Duncan pada taraf 5% (Tabel 4), perlakuan formulasi bakteri memberikan pengaruh yang nyata terhadap bobot kering tajuk. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan formulasi bakteri dapat meningkatkan bobot kering tajuk tanaman. Agens biokontrol dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman dan hasil panen (Nakkeeran dan Fernando 2005). Menurut Gholami et al. (2009), PGPR menghasilkan fitohormon seperti auksin, sitokinin dan giberelin. B. subtilis adalah salah satu PGPR yang yang dapat menginduksi pertumbuhan tanaman. Menurut Khairani (2009), bakteri endofit dapat berperan sebagai biofertilizer dengan menghasilkan hormon Indol Acetic Acid (IAA) yang dapat memacu pertumbuhan tanaman. Hampir semua spesies bakteri endofit dapat berperan sebagai pemacu pertumbuhan tanaman, terutama yang menghasilkan hormon pertumbuhan seperti etilen, auksin dan sitokinin (Bacon dan Hinton 2006 dalam Damayanti 2010). Bobot kering tajuk tertinggi terdapat pada perlakuan CMC secara tunggal yaitu sebesar 3.15 gram/ tanaman. Berdasarkan analisis ragam dengan uji lanjut Duncan 5% (Tabel 3), perlakuan formulasi bakteri tidak berpengaruh yang nyata terhadap bobot kering akar. Berdasarkan hasil penelitian Wartono (2010), aplikasi B. subtilis dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman seperti peningkatan panjang akar, tinggi tanaman dan bobot kering gabah padi di rumah kaca dan di lapangan. Gholami et al. (2009) menyatakan bahwa keefektifan PGPR dipengaruhi oleh kondisi tanah. Beberapa mikroorganisme di lapangan kemungkinan juga menjadi pesaing bagi

agens biokontrol yang diaplikasikan (Nawangsih 2006). Bobot kering akar pada perlakuan CMC secara tunggal (C) lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol. Nilai bobot kering akar pada perlakuan CMC secara tunggal (C) yaitu sebesar 0.25 gram/tanaman dan nilai bobot kering akar pada kontrol sebesar 0.13 gram/tanaman. Tabel 4 Bobot kering tajuk dan bobot kering akar tanaman tomat pada berbagai perlakuan formulasi bakteri di lapangan Perlakuan a Bobot kering tajuk Bobot kering akar (gram/tanaman) b (gram/tanaman) B 100 S 0 C 2.50 ± 0.93a 0.19 ± 0.05ab B 0 S 100 C 2.34 ± 0.17a 0.20 ± 0.04ab B 75 S 25 C 2.41 ± 0.46a 0.18 ± 0.05ab B 25 S 75 C 2.34 ± 0.28a 0.18 ± 0.04ab C 3.15 ± 0.70a 0.25 ± 0.08a B 100 S 0 2.55 ± 0.46a 0.20 ± 0.04ab B 0 S 100 2.60 ± 0.30a 0.20 ± 0.03ab B 75 S 25 2.63 ± 0.05a 0.16 ± 0.05ab B 25 S 75 2.50 ± 0.34a 0.18 ± 0.04ab Kontrol 1.31 ± 0.77b 0.13 ± 0.03b a Kode perlakuan: B= B. subtilis AB89, BC= S. epidermidis BC4, C= CMC. b Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf 5%. Berdasarkan uji-t pada taraf 5% (Tabel 3), perlakuan formulasi bakteri dengan penambahan CMC tidak berbeda nyata dengan perlakuan formulasi bakteri tanpa penambahan CMC terhadap bobot kering tajuk. Perlakuan formulasi bakteri dengan penambahan CMC juga tidak berbeda nyata dengan perlakuan formulasi bakteri tanpa penambahan CMC terhadap bobot kering akar (uji-t pada taraf 5%). Hal ini menunjukkan bahwa formulasi bakteri dengan penambahan CMC tidak dapat meningkatkan bobot kering tajuk dan bobot kering akar. Palupi et al. (2012) mengemukakan bahwa CMC 1.5% dapat meningkatkan vigor tanaman padi dibandingkan dengan kontrol. Hal ini dapat disebabkan karena perubahan suhu dan ph di lapangan yang menyebakan viskositas CMC tidak stabil. Menurut (Rachmanita 2006), viskositas CMC dipengaruhi oleh ph dan suhu. CMC kehilangan viskositas dan mempunyai kecenderungan untuk mengendap pada ph rendah. Stabilitas maksimum CMC terjadi pada ph 7-9. Pengaruh Formulasi Bakteri terhadap Bobot Hasil Panen Buah Tomat Berdasarkan analisis ragam dengan uji lanjut Duncan pada taraf 5% (Tabel 5), perlakuan formulasi bakteri memberikan pengaruh yang nyata terhadap bobot hasil panen tomat. Perlakuan formulasi bakteri memberikan pengaruh yang lebih baik dibandingkan dengan kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan formulasi bakteri dapat meningkatkan bobot hasil panen buah tomat. Menurut Ramamoorthy et al. (2001), PGPR dapat meningkatkan perkecambahan benih, perkembangan akar, total biomassa tanaman dan hasil buah. Vasudevan et al. (2002) juga mengemukakan bahwa B. subtilis mampu meningkatkan panjang akar dan tunas serta meningkatkan hasil panen dua kali lipat dibandingkan dengan 15

16 kontrol pada tanaman padi. Bobot hasil panen buah tomat tertinggi terdapat pada perlakuan kombinasi B. subtilis 25% dan S. epidermidis 75% (B25S75) sebesar 1.26 kg/tanaman. Tabel 5 Bobot hasil panen total buah tomat pada berbagai perlakuan formulasi bakteri di lapangan Perlakuan a Bobot buah tomat (kg/tanaman) b B 100 S 0 C 0.97 ± 0.19b B 0 S 100 C 1.18 ± 0.09ab B 75 S 25 C 1.16 ± 0.25ab B 25 S 75 C 1.21 ± 0.19a C 1.23 ± 0.27a B 100 S 0 1.15 ± 0.16ab B 0 S 100 1.14 ± 0.34ab B 75 S 25 1.13 ± 0.21ab B 25 S 75 1.26 ± 0.19a Kontrol 0.75 ± 0.05c a Kode perlakuan: B= B. subtilis AB89, BC= S. epidermidis BC4, C= CMC. b Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf 5%. Bobot hasil panen buah tomat pada perlakuan kombinasi B. subtilis 25% dan S. epidermidis 75% (B 25 S 75 ) lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan B. subtilis 100% dengan penambahan CMC (B 100 S 0 C). Bobot hasil panen buah tomat pada perlakuan kombinasi B. subtilis 25% dan S. epidermidis 75% (B 25 S 75 ) sebesar 1.26 kg/tanaman dan bobot hasil panen buah tomat pada perlakuan B. subtilis 100% dengan penambahan CMC (B 100 S 0 C) sebesar 0.97 kg/tanaman. Hal ini menunjukkan bahwa aplikasi B. subtilis 25% dan S. epidermidis 75% (B 25 S 75 ) memberikan hasil panen yang lebih tinggi dibandingkan dengan aplikasi B. subtilis 100% dengan penambahan CMC (B 100 S 0 C). Bobot hasil panen buah tomat pada perlakuan kombinasi B. subtilis 25% dan S. epidermidis 75% (B 25 S 75 ), CMC secara tunggal (C), kombinasi B. subtilis 25% dan S. epidermidis 75% dengan penambahan CMC (B 25 S 75 C) lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan B. subtilis 100% dengan penambahan CMC (B 100 S 0 C). Bobot hasil panen buah tomat pada masing-masing perlakuan secara berurutan sebesar 1.26 kg/tanaman, 1.23 kg/tanaman, 1.21 kg/tanaman dan 0.97 kg/tanaman. Berdasarkan uji-t pada taraf 5% (Tabel 3), perlakuan formulasi bakteri dengan penambahan CMC tidak berbeda nyata dengan perlakuan formulasi bakteri tanpa penambahan CMC terhadap bobot hasil panen buah tomat. Hal ini menunjukkan bahwa aplikasi agens biokontrol dengan penambahan CMC tidak memberikan hasil panen yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa penambahan CMC. Berdasarkan hasil penelitian Nurjanani (2011), aplikasi B. subtilis dengan penambahan CMC 1% dapat meningkatkan bobot buah tomat sebesar 1.31 kg dibandingkan dengan kontrol hanya 0.6 kg karena agens biokontrol selain dapat dapat menekan pertumbuhan patogen, juga dapat menghasilkan zat yang dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman termasuk ukuran buah, sehingga berat buah juga meningkat.

Jenis Hubungan B. subtilis dan S. epidermidis Berdasarkan hasil perhitungan index penekanan (Tabel 6), perlakuan formulasi bakteri yang memberikan penekanan yang paling baik terhadap perkembangan penyakit layu bakteri adalah perlakuan S. epidermidis secara tunggal (B 0 S 100 ) yaitu sebesar 40.96%. Index penekanan penyakit ini lebih kecil jika dibandingkan dengan index penekanan penyakit pada penelitian yang dilakukan Wardani (2012) di rumah kaca yaitu sebesar 41.18% dan lebih besar jika dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan Handini (2011) di lapangan yaitu sebesar 10.33%. Perlakuan B. subtilis 100% dengan penambahan CMC (B 100 S 0 C), perlakuan S. epidermidis 100% dengan penambahan CMC (B 0 S 100 C), perlakuan kombinasi B. subtilis 75% dan S. epidermidis 25% dengan penambahan CMC (B 75 S 25 C) memberikan penekanan terhadap perkembangan penyakit layu bakteri masing-masing sebesar 22.73%, 31.57%, dan 0.21%. Perlakuan kombinasi B. subtilis 25% dan S. epidermidis 75% dengan penambahan CMC (B 25 S 75 C), perlakuan CMC secara tunggal (C), perlakuan B. subtilis secara tunggal (B 100 S 0 ), perlakuan B. subtilis 75% dan S. epidermidis 25% (B 75 S 25 ), B. subtilis 25% dan S. epidermidis 75% (B 25 S 75 ) tidak dapat menekan kejadian penyakit layu bakteri di lapangan tetapi justru meningkatkan kejadian penyakit. Tabel 6 Index penekanan penyakit, nilai Sinergy Factor (SF) dan jenis hubungan antara B. subtilis dan S. epidermidis berdasarkan nilai AUDPC Perlakuan a Index penekanan penyakit (%) b c Sinergy Factor Jenis E (exp) (SF) Hubungan B 100 S 0 C 22.73 B 0 S 100 C 31.57 B 75 S 25 C 0.21-432.94 0.00 A B 25 S 75 C -28.63-432.94 0.06 A C - 7.52 B 100 S 0-36.72 B 0 S 100 40.96 B 75 S 25-28.14-782.44 0.03 A B25S 75-76.45-782.44 0.09 A a Kode perlakuan: B= B. subtilis AB89, BC= S. epidermidis BC4, C= CMC. b Relatif dibandingkan dengan kontrol. c Keefektifan pengendalian dugaan oleh kombinasi B. subtilis dan S. epidermidis. Perlakuan S. epidermidis secara tunggal (B 0 S 100 ) menekan penyakit layu bakteri lebih baik dibandingkan dengan perlakuan B. subtilis 100% dengan penambahan CMC (B 100 S 0 C), S. epidermidis 100% dengan penambahan CMC (B 0 S 100 C), dan perlakuan kombinasi B. subtilis 75% dan S. epidermidis 25% dengan penambahan CMC (B 75 S 25 C). Dari hasil analisis terhadap jenis hubungan antar agens biokontrol diketahui bahwa antara S. epidermidis dan B. subtilis memiliki jenis hubungan antagonis. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Handini (2011) dan Wardani (2012) bahwa perlakuan kombinasi kedua agens biokontrol tersebut tidak memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan perlakuan agens biokontrol secara tunggal. Menurut Nawangsih (2006) antagonisme terjadi karena diantara agens biokontrol terjadi 17

18 kompetisi nutrisi atau agens biokontrol yang satu mengeluarkan senyawa yang dapat menghambat populasi maupun kinerja agens biokontrol yang lain. Menurut Janousek et al. (2009), rotasi aplikasi agens biokontrol dapat dilakukan untuk menanggulangi sifat antagonisme antara agens biokontrol yang satu dengan agens biokontrol lain. Bakteri endofit dan bakteri PGPR dapat diaplikasikan pada waktu yang berbeda. Bakteri PGPR diaplikasikan satu atau dua minggu setelah aplikasi bakteri endofit dilakukan agar bakteri endofit masuk ke jaringan tanaman terlebih dahulu untuk mengkolonisasi tanaman inang karena bakteri endofit membutuhkan waktu yang lama untuk masuk ke dalam jaringan tanaman. Setelah bakteri endofit mengkolonisasi tanaman inang, PGPR dapat diaplikasikan. PGPR akan mengkolonisasi daerah di sekitar akar tanaman. Setelah masing-masing bakteri mengkolonisasi bagian-bagian tertentu, masing-masing bakteri diharapkan dapat bekerja sendiri-sendiri untuk menanggulangi hubungan antar agens biokontrol yang bersifat antagonis.

19 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Perlakuan formulasi bakteri yang diaplikasikan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap AUDPC dan bobot kering akar. Perlakuan formulasi bakteri yang diaplikasikan memberikan pengaruh yang nyata terhadap bobot kering tajuk dan bobot hasil panen buah tomat. Berdasarkan index penekanan penyakit, S. epidermidis secara tunggal (B 0 S 100 ) memberikan penekanan kejadian penyakit yang paling tinggi dibandingkan dengan perlakuan kombinasi karena dari hasil analisis terhadap jenis hubungan antar agens biokontrol diketahui bahwa antara S. epidermidis dan B. subtilis memiliki jenis hubungan antagonis. Perlakuan formulasi bakteri dengan penambahan CMC tidak berpengaruh nyata terhadap AUDPC, bobot kering tajuk, bobot kering akar, dan bobot hasil panen buah tomat. Saran Aplikasi bakteri B. subtilis dan S. epidermidis di lapangan sebaiknya dilakukan secara terpisah karena bakteri tersebut memiliki jenis hubungan antagonis.

20 DAFTAR PUSTAKA [BPS] Badan Pusat Statistik. 2012. Produksi tomat pada tahun 2000-2009 [Internet]. Jakarta [ID] : Kementrian Pertanian Republik Indonesia; [diunduh 2013 Februari 5]. Tersedia pada: http://www.deptan.go.id. Chrisnawati. 2011. Pengujian formula agensia hayati Bacillus sp. dan Pseudomonad fluorescen untuk mengendalikan penyakit layu bakteri nilam. J Embrio 4(2):99-107. Cooke BM. 1998. Disease assessment and yield loss. Di dalam: Jones DG, editor. The Epidemiology of Plant Diseases. Ed ke-2. London [GB]: Kluwer Academic Publishers. hlm 42-72. Damayanti I. 2010. Seleksi dan karakterisasi bakteri endofit untuk menekan kejadian penyakit layu bakteri (Ralstonia solanacearum) pada tanaman tomat [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Deng SP, Tabatai MA. 1994. Cellulase activity of soil. Soil Biol. 26(1):20-25. Fikrinda. 2000. Isolasi dan karakterisasi bakteri penghasil selulase ekstremofilik dari ekosistem air hitam [tesis]. Bogor (ID): Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Firmansyah R. 2012. Potensi bakteri endofit dan filoplen asal daun Mucuna pruriens Linn. dalam memacu pertumbuhan tanaman dan menekan penyakit bercak daun Cercospora sp. pada tanaman kacang tanah (Arachis hypogaea L Mer) [internet]. Bandung (ID): Fakultas Pertanian, Universitas Padjajaran; [diunduh 2012 Mei 15]. Tersedia pada: http://www.scribd.com/doc/7681332/-potensi-bakteri-endofit-dan- Filoplen-Asal-Daun-Mucuna-Pruriens-Linn-Dalam-Memacu- Pertumbuhan-Tanaman-dan-Menekan-Penyakit-Bercak-Daun-Cercosporasp-p. Guetsky R, Shtienberg D, Elad Y, Fischer E, Dinoor A. 2002. Improving biological control by combining biocontrol agents each with several mechanisms of disease suppression. Phytopatholy 92(9):976-985. Gholami S, Shahsavani S, Nezarat S. 2009. The effect of plant growth promoting rhizobacteria (PGPR) on germination, seedling growth and yield of maize. Eng Technol. 49:19-24. Handini ZVT. 2011. Keefektifan bakteri endofit dan plant growth promoting rhizobacteria dalam menekan penyakit layu bakteri (Ralstonia solanacearum) pada tomat [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Hidayat I. 2005. Pengaruh ph terhadap aktivitas endo-1,4-β-glucanase Bacillus sp. AR 009. Biodiversitas 5(4):242-244.

Janousek CN, Lorber JD, Gubler WD. 2009. Combination and rotation of bacterial antagonists to control powdery mildew on pumpkin. J Plant Diseases and Protection 116(6): 260-262. Khairani G. 2009. Isolasi dan uji kemampuan bakteri endofit penghasil hormon IAA (Indole Acetic Acid) dari akar tanaman jagung [skripsi]. Medan : Universitas Sumatera Utara. Khalimi K, Wirya GNAS. 2010. Pemanfaatan plant growth promoting rhizobacteria untuk biostimulants dan bioprotectans. Ecotrophic 4(2): 131-135. Kumar B. 2007. Indian Horticulture Database 2006. India: National Hort. Melliawati R, Widyaningrum DN, Djohan AC, Sukiman H. 2006. Pengkajian bakteri endofit penghasil senyawa bioaktif untuk proteksi tanaman. Biodiversitas 7(3):221-224. Mena HG, Olalde V. 2007. Alteration of tomato fruit quality by root inoculation with plant growth promoting rhizobacteria (PGPR): Bacillus subtilis BEB- 13bs. J Sci Hort. 113(1):103 106. Nakkeeran S, Fernando WGD. 2005. Plant growth promoting rhizobacteria formulations and its scope in commercialization for the management of pests and diseases. Di dalam: Siddiqui ZA, editor. PGPR: Biocontrol and Biofertilization. Berlin (DE): Springer. hlm 257-296. Nasrun, Christanti, Arwiyanto T, Mariska I. 2007. Karakteristik fisiologis Ralstonia solanacearum penyebab penyakit layu bakteri nilam. J Littri 13(2):43 48. Nawangsih AA. 2006. Seleksi dan karakterisasi bakteri biokontrol untuk mengendalikan penyakit layu bakteri (Ralstonia solanacearum) pada tomat [disertasi]. Bogor (ID): Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Nawangsih AA, Damayanti I, Wiyono S, Kartika JG. 2011. Selection and Characterization of endophytic bacteria as biological control agents of tomato bacteria wilt disease. Hayati 18(2):66-70. Nurjanani. 2011. Kajian pengendalian penyakit layu bakteri (Ralstonia solanacearum) menggunakan agens hayati pada tanaman tomat. J Suara Perlind Tan. 1(4):1-8. Paath JM. 2005. Pengendalian penyakit layu bakteri pada tanaman tomat dengan pestisida nabati. Eugenia 11(1):47-55. Palupi T, Ilyas S, Machmud M, Widajati E. 2012. Pengaruh formula coating terhadap viabilitas dan vigor serta daya simpan benih padi (Oryza sativa L.). J Agron 40(1):21-28. Rachmanita. 2006. Sintesis dan optimalisasi gel kitosan-karboksimetil selulosa [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Ramamoorthy V, Viswanathan R, Raguchander T, Prakasam V, Samiyappan R, 2001. Induction of systemic resistance by plant growth promoting 21

22 rhizobacteria in crop plants against pests and diseases. Crop Protection 20 (2001):1-11. Ramadhan ML. Buwono ID. Mulyani Y. 2012. Analisis potensi dan karakterisasi gen 16S rrna bakteri selulolitik yang diisolasi dari makroalga Euchema sp. Dan Sargassum sp. sebagai penghasil enzim selulase. J Perikanan dan Kelautan 3(3):61-67. Sulistiani. 2009. Formulasi spora Bacillus subtilis sebagai agens hayati dan PGPR (plant growth promoting rhizobacteria) pada berbagai bahan pembawa [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Supriadi. 2006. Analisis risiko agens hayati untuk pengendalian patogen tanaman. J Litbang Pertan. 25(3):75-80. Supriadi. 2011. Penyakit layu bakteri (Ralstonia solanacearum): dampak, bioekologi, dan peranan teknologi pengendaliannya. Pengemb Inov Pertan. 4(4):279-293. Vanitha SC, Niranjana SR, Mortense CN, Umesha S. 2009. Bacterial wilt of tomato in Karnataka and its management by Pseudomonas fluorescens. BioControl 4:685 695. Vasudevan P, Kavitha S, Pryadarisini VB, Babujee L, Gnanamanickam SS. 2002. Biological Control of Rice Diseases. New York (USA): Marcel Dekker Inc. Vidyasekaran P, Rabindran R, Muthamilan M, Nayar K, Rajappan K, Subramian N, Vasumathi K. 1997. Development of powder formulation of Pseudomonas fluorescens for control of rice blast. Plant Pathol. 46:291-297. Wardani FF. 2012. Efikasi bakteri endofit dan plant growth promoting rhizobacteria dalam menekan perkembangan penyakit layu bakteri (Ralstonia solanacearum) pada tomat [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Wartono. 2010. Studi keefektifan formulasi spora Bacillus subtilis sebagai agens pengendali hayati penyakit hawar daun bakteri dan hawar daun pelepah serta pemicu pertumbuhan pada tanaman padi [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Winarni S. 1984. Pengamatan penyakit pada tanaman tomat (Lycopersicum esculentum Mill.) di kecamatan Cisaat dan kecamatan Sukabumi kabupaten Dati II Sukabumi Provinsi Jawa Barat [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Wuryandari Y, Purnawati A, Arwiyanto T, Hadisutrisno B. 2008. Efektifitas dosis dan pengenceran pseudomonad fluorescen pada benih tomat terhadap Ralstonia solanacearum secara in vitro. J Pertanian Mapeta 10(2):72-78. Zinniel DK, Lambrecht P, Harris NB, Feng Z, Kuczmarski D, Higley P, Ishimaru CA, Arunakumari a, Barletta RG, Vidaver AK. 2002. Isolation and characterization of endophytic colonizing bacteria from agronomic crops and prairie plants. Appl Environ Microbiol. 68(5):2198-2208.

23 p LAMPIRAN

24 Lampiran 1 Hasil analisis ragam tingkat kejadian penyakit layu bakteri tanaman tomat pada minggu ke-2 hingga minggu ke-13 di lapangan Sumber DB JK KT Fhit Pr > F Minggu 2 Blok 2 16.31200667 8.15600333 5.62 0.0127 Perlakuan 9 39.19426667 4.35491852 3.00 0.0225 Error/ galat 18 26.09999333 1.44999963 Total 29 81.60626667 Terkoreksi Minggu 3 Blok 2 17.35752667 8.67876333 2.21 0.1382 Perlakuan 9 54.43976333 6.04886259 1.54 0.2070 Error/ galat 18 70.5696067 3.9205337 Total 29 142.3668967 Terkoreksi Minggu 4 Blok 2 61.3238600 30.6619300 4.11 0.0340 Perlakuan 9 104.0368300 11.5596478 1.55 0.2054 Error/ galat 18 134.4259400 7.4681078 Total 29 299.7866300 Terkoreksi Minggu 5 Blok 2 88.4197067 44.2098533 4.56 0.0249 Perlakuan 9 101.1453367 11.2383707 1.16 0.3747 Error/ galat 18 174.3424933 9.6856941 Total 29 363.9075367 Terkoreksi Minggu 6 Blok 2 100.3422467 50.1711233 4.71 0.0226 Perlakuan 9 115.9360033 12.8817781 1.21 0.3480 Error/ galat 18 191.7504867 10.6528048 Total 29 408.0287367 Terkoreksi Minggu 7 Blok 2 106.0490067 53.0245033 5.16 0.0170 Perlakuan 9 142.6659633 15.8517737 1.54 0.2075 Error/ galat 18 185.1155267 10.2841959 Total 29 433.8304967 Terkoreksi Minggu 8 Blok 2 98.2655267 49.1327633 3.99 0.0367 Perlakuan 9 201.0421200 22.3380133 1.81 0.1347 Error/ galat 18 221.5491400 12.3082856 Total Terkoreksi 29 520.8567867

Lampiran 1 Lanjutan Sumber DB JK KT Fhit Pr > F Minggu 9 Blok 2 86.3673867 43.1836933 3.03 0.0736 Perlakuan 9 181.4294133 20.1588237 1.41 0.2540 Error/ galat 18 256.8199467 14.2677748 Total 29 524.6167467 Terkoreksi Minggu 10 Blok 2 46.5905267 23.2952633 2.11 0.1506 Perlakuan 9 223.4360800 24.8262311 2.24 0.0689 Error/ galat 18 199.0523400 11.0584633 Total 29 469.0789467 Terkoreksi Minggu 11 Blok 2 81.7986867 40.8993433 3.00 0.0749 Perlakuan 9 204.7399333 22.7488815 1.67 0.1694 Error/ galat 18 245.1972467 13.6220693 Total 29 531.7358667 Terkoreksi Minggu 12 Blok 2 81.7986867 40.8993433 3.00 0.0749 Perlakuan 9 204.7399333 22.7488815 1.67 0.1694 Error/ galat 18 245.1972467 13.6220693 Total 29 531.7358667 Terkoreksi Minggu 13 Blok 2 81.7986867 40.8993433 3.00 0.0749 Perlakuan 9 204.7399333 22.7488815 1.67 0.1694 Error/ galat 18 245.1972467 13.6220693 Total Terkoreksi 29 531.7358667 Lampiran 2 Hasil analisis ragam AUDPC pada perlakuan formulasi bakteri di lapangan Sumber DB JK KT Fhit Pr > F Blok 2 479535.0207 239767.5104 4.45 0.0270 Perlakuan 9 708054.3286 78672.7032 1.46 0.2363 Error/galat 18 970700.422 53927.801 Total terkoreksi 29 2158289.771 25

26 Lampiran 3 Hasil uji-t AUDPC pada perlakuan formulasi bakteri dengan penambahan CMC dan tanpa penambahan CMC di lapangan Peubah Output Penambahan CMC Tanpa CMC AUDPC Mean 438.6 239.34 St Dev 546.7 301.02 t-value - 1.08 p-value 0.28 Lampiran 4 Hasil analisis ragam bobot kering tajuk tanaman tomat berumur 15 MST pada perlakuan formulasi bakteri di lapangan Sumber DB JK KT Fhit Pr > F Blok 2 1.22370667 0.61185333 2.61 0.1010 Perlakuan 9 5.68301333 0.63144593 2.69 0.0351 Error/galat 18 4.21882667 0.23437926 Total terkoreksi 29 11.12554667 Lampiran 5 Hasil uji-t bobot kering tajuk tanaman tomat berumur 15 MST pada perlakuan formulasi bakteri dengan penambahan CMC dan tanpa penambahan CMC di lapangan Peubah Output Penambahan CMC Tanpa CMC Bobot kering tajuk Mean 2.55 2.31 St Dev 0.58 0.65 t-value 1.02 p-value 0.31 Lampiran 6 Hasil analisis ragam bobot kering akar tanaman tomat berumur 15 MST pada perlakuan formulasi bakteri di lapangan Sumber DB JK KT Fhit Pr > F Blok 2 0.00768667 0.00384333 1.56 0.2375 Perlakuan 9 0.02663000 0.00295889 1.20 0.3529 Error/galat 18 0.04438000 0.00246556 Total terkoreksi 29 0.07869667 Lampiran 7 Hasil uji-t bobot kering akar tanaman tomat berumur 15 MST pada perlakuan formulasi bakteri dengan penambahan CMC dan tanpa penambahan CMC di lapangan Peubah Output Penambahan CMC Tanpa CMC Bobot kering akar Mean 0.20 0.05 St Dev 0.17 0.04 t-value 1.46 p-value 0.15

Lampiran 8 Hasil analisis ragam bobot hasil panen buah tomat pada perlakuan formulasi bakteri di lapangan Sumber DB JK KT Fhit Pr > F Blok 2 0.59210667 0.29605333 20.46 0.0001 Perlakuan 9 0.62541667 0.06949074 4.80 0.0023 Error/galat 18 0.26049333 0.01447185 Total terkoreksi 29 1.47801667 Lampiran 9 Hasil uji-t bobot hasil panen buah tomat pada perlakuan formulasi bakteri dengan penambahan CMC dan tanpa penambahan CMC di lapangan Peubah Output Penambahan CMC Tanpa CMC Bobot hasil panen buah tomat Mean 1.15 0.20 St Dev 1.04 0.36 t-value 1.01 p-value 0.32 Lampiran 10 Persemaian benih tomat di lapangan 27 Lampiran 11 Formulasi bakteri B. subtilis dan S. epidermidis; (a) suspensi agens biokontrol sebanyak 1 liter dimasukkan ke dalam 11 liter air, (b) larutan CMC 1% sebanyak 3 liter dimasukkan ke dalam 9 liter air, (c) kontrol a b c

28 Lampiran 12 Aplikasi formulasi bakteri pada tanaman tomat di lapangan Lampiran 13 Keadaan pertanaman tomat di lapangan; (a) umur 5 MST, (b) umur 9 MST a b Lampiran 14 Gejala layu bakteri di lapangan