BAB II KEDUDUKAN PEREMPUAN BERDASARKAN KONVENSI INTERNASIONAL. A. Kedudukan Perempuan Berdasarkan Konsep Mengenai Gender

dokumen-dokumen yang mirip
MULAI BERLAKU : 3 September 1981, sesuai dengan Pasal 27 (1)

BAB III INSTRUMEN INTERNASIONAL PERLINDUNGAN HAM PEREMPUAN

BAB II. Kajian Pustaka. Studi Kesetaraan dan Keadilan Gender Dalam Pembangunan 9

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

DISKRIMINASI TERHADAP PEREMPUAN: KONVENSI DAN KOMITE. Lembar Fakta No. 22. Kampanye Dunia untuk Hak Asasi Manusia

RESUME PARAMETER KESETARAAN GENDER DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KESETARAN DAN KEADILAN GENDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KESETARAAN DAN KEADILAN GENDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DEKLARASI TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN. Diproklamasikan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Indonesia merupakan negara hukum yang menyadari, mengakui, dan

Peningkatan Kualitas dan Peran Perempuan, serta Kesetaraan Gender

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa. Tujuan

BAB 9 PENGHAPUSAN DISKRIMINASI DALAM BERBAGAI BENTUK

ANGGARAN DASAR KOMNAS PEREMPUAN PENGESAHAN: 11 FEBRUARI 2014

Mewujudkan Payung Hukum Penghapusan Diskriminasi Gender di Indonesia Prinsip-Prinsip Usulan Terhadap RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender

PEREMPUAN DAN HAK ASASI MANUSIA Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima: 8 Agustus 2016; disetujui: 14 Oktober 2016

Kebijakan Jender. The Partnership of Governance Reform (Kemitraan) 1.0

BAB 1 PENDAHULUAN. Gender adalah perbedaan jenis kelamin berdasarkan budaya, di mana lakilaki

Pengertian Anak dan Pentingnya Mendefinisikan Anak Secara Konsisten dalam Sistem Hukum 1 Oleh: Adzkar Ahsinin

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. upaya dari anggota organisasi untuk meningkatkan suatu jabatan yang ada.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan dan berkedudukan sama di

Analisa Media Edisi Agustus 2013

Lampiran Usulan Masukan Terhadap Rancangan Undang-Undang Bantuan Hukum

I. PENDAHULUAN. Perserikatan Bangsa-Bangsa setelah perang dunia ke-2 tanggal 10 Desember

BAB I PENDAHULUAN. Persoalan perempuan sampai saat ini masih menjadi wacana serius untuk

Kesetaraan gender di tempat kerja: Persoalan dan strategi penting

GENDER DAN PENDIDIKAN: Pengantar

1Konsep dan Teori Gender

BAB I PENDAHULUAN. yang bermacam-macam, seperti politik, keyakinan agama, rasisme dan ideologi

Discrimination and Equality of Employment

MAKALAH. CEDAW: Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. Oleh: Antarini Pratiwi Arna, S.H., LL.M

BUPATI JEPARA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH

Prinsip Dasar Peran Pengacara

Diadopsi oleh resolusi Majelis Umum 53/144 pada 9 Desember 1998 MUKADIMAH

BAB II FAKTOR-FAKTOR PENDUKUNG DAN PENGHAMBAT DALAM PELAKSANAAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP TENAGA KERJA PEREMPUAN YANG BERKERJA DI MALAM HARI

2017, No kewajiban negara untuk memastikan bahwa perempuan memiliki akses terhadap keadilan dan bebas dari diskriminasi dalam sistem peradilan

- 1 - GUBERNUR SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH

BAB 10 PENGHAPUSAN DISKRIMINASI DALAM BERBAGAI BENTUK

Mudjiati Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik indonesia

BAB 10 PENGHAPUSAN DISKRIMINASI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mana perbedaan perempuan dan laki-laki yang bersifat kodrat sebagai ciptaan

KONVENSI PENGHAPUSAN SEGALA BENTUK DISKRIMINASI TERHADAP PEREMPUAN

GENDER DALAM PERKEMBANGAN MASYARAKAT. Agustina Tri W, M.Pd

Memutus Rantai Pelanggaran Kebebasan Beragama Oleh Zainal Abidin

PERANAN WANITA DALAM PEMBANGUNAN BERWAWASAN GENDER

Asesmen Gender Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Pada masyarakat yang menganut sistem patriarkhi seringkali menempatkan lakilaki

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN NEGARA PP&PA. Strategi Nasional. Sosial Budaya.

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Perempuan adalah tiang penyangga dalam rumah tangga. Istilah tersebut

Analisis Gender dan Transformasi Sosial Pembahas: Luh Anik Mayani

DEKLARASI PEMBELA HAK ASASI MANUSIA

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG

Hak atas Informasi dalam Bingkai HAM

K143 KONVENSI PEKERJA MIGRAN (KETENTUAN TAMBAHAN), 1975

23 Oktober Kepada Yth: Ibu Retno L.P. Marsudi Menteri Luar Negeri Republik Indonesia

KODE ETIK KONSIL LSM INDONESIA

Perempuan dan UU no. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai. Dalam memahai batasan diskriminasi terhadap perempuan, maka tidak

DAFTAR TABEL. Tabel IV.1 Data Jumlah Penduduk Kota Medan berdasarkan Kecamatan Tabel IV.2 Komposisi pegawai berdasarkan jabatan/eselon...

Bahan Diskusi Sessi Kedua Implementasi Konvensi Hak Sipil Politik dalam Hukum Nasional

I. PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan sektor yang paling strategis dalam. memberdayakan manusia menuju pembangunan adalah pendidikan.

I. PENDAHULUAN. melalui penghargaan terhadap perbedaan-perbedaan yang ada, khususnya

BAB I PENDAHULUAN. masih dapat kita jumpai hingga saat ini. Perbedaan antara laki- laki dan

PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

K111 DISKRIMINASI DALAM PEKERJAAN DAN JABATAN

BAB V KESIMPULAN, KETERBATASAN, DAN REKOMENDASI

PELUANG DAN KENDALA MEMASUKKAN RUU KKG DALAM PROLEGNAS Oleh : Dra. Hj. Soemientarsi Muntoro M.Si

BUPATI BANGKA TENGAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA TENGAH NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. perempuan dengan laki-laki, ataupun dengan lingkungan dalam konstruksi

BAB II LANDASAN TEORI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Kekerasan adalah perbuatan yang dapat berupa fisik maupun non fisik,

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA. Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan

BAB I PENDAHULUAN. kepada setiap warganegara untuk memperoleh pendidikan. Karena itu

BAB I PENDAHULUAN. mengikat maka Komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Kedudukan

perkebunan kelapa sawit di Indonesia

R-111 REKOMENDASI DISKRIMINASI (PEKERJAAN DAN JABATAN), 1958

HAM DAN DEMOKRASI DASAR DASAR POLITIK

BAB I PENDAHULUAN. manusia kedua setelah laki-laki. Tatanan sosial memberi kedudukan perempuan

PENGANTAR KONVENSI HAK ANAK

BAB I PENDAHULUAN. Tulisan ini berupaya mengkaji tentang adanya kebijakan kuota 30% Daerah Kota Kendari tahun anggaran

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. yang luas. Tanaman tertentu adalah tanaman semusim dan atau tanaman

MENCEGAH DISKRIMINASI DALAM PERATURAN DAERAH

Kesehatan reproduksi dalam perspektif gender. By : Fanny Jesica, S.ST

Muchamad Ali Safa at INSTRUMEN NASIONAL HAK ASASI MANUSIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB 10 PENGHAPUSAN DISKRIMINASI DALAM BERBAGAI BENTUK

2. Konsep dan prinsip

BAB I PENDAHULUAN. dan pelaksanaan HAM lebih banyak dijadikan objek power game diantara blokblok

Konvensi 183 Tahun 2000 KONVENSI TENTANG REVISI TERHADAP KONVENSI TENTANG PERLINDUNGAN MATERNITAS (REVISI), 1952

BAB II TENTANG KONVENSI CEDAW DAN PELAKSANAAN KONVENSI CEDAW DI INDONESIA. Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan

BAB I PENDAHULUAN. Pandangan tersebut didasarkan pada Pasal 28 UUD 1945, beserta

BUPATI KEPULAUAN SELAYAR PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR NOMOR 8 TAHUN 2016 TENTANG

PEMERINTAH KABUPATEN BOJONEGORO

GENDER, PEMBANGUNAN DAN KEPEMIMPINAN

C KONSEP PENGURUSUTAMAAN/ MAINSTREAMING GENDER

BAB I PENDAHULUAN. merupakan sofware dalam hidup dan kehidupan manusia darinya manusia hidup, tumbuh

PEMERINTAH KABUPATEN MADIUN

BAB II. Kajian Pustaka. hukum adat. Harta orangtua yang tidak bergerak seperti rumah, tanah dan sejenisnya

Walikota Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat

Transkripsi:

BAB II KEDUDUKAN PEREMPUAN BERDASARKAN KONVENSI INTERNASIONAL A. Kedudukan Perempuan Berdasarkan Konsep Mengenai Gender Perempuan dan perannya memang selalu mengundang kontroversi, terutama di era yang menjunjung tinggi persamaan hak antara wanita dengan pria. Tuntutan ini akrab dengan istilah Kesetaraan Gender. Jika membahas mengenai gender dan peran sosial yang dimainkannya di Indonesia, maka hal ini tidak terlepas dari budaya atau kultur yang kental akan budaya patriarki. Budaya patriarki adalah budaya yang menjadikan kaum laki-laki sebagai pusat otoritas (kekuasaan), kedudukan lelaki yang lebih tinggi dari perempuan. Laki-laki sebagai pusat otoritas dalam mengambil keputusan yang di dalamnya terdapat kaum perempuan yang terlibat, seperti dalam keluarga maupun organisasi. Laki-laki identik sebagai ketua atau penanggung jawab. Pada zaman dahulu, hal ini memang dipegang teguh oleh semua orang dan mereka yakin bahwa pria memang bertanggung jawab penuh sebagai seorang pemimpin. Dengan begitu besarnya porsi laki-laki dalam hal tanggung jawab membuat laki-laki memiliki pengaruh yang kuat dan mutlak. Di keluarga, misalnya, jika kepala keluarga sudah megatakan sesuatu hal, maka seluruh anggota keluarga akan menyepakati. Hal ini juga berlaku dalam hal pengambilan keputusan akan masalah yang terjadi di keluarga. Tradisi inilah yang membuat peran perempuan tenggelam dan tidak berkembang. Perempuan cenderung pasrah

dan nrimo (menerima) akan keputusan apa pun yang diambil, meski tidak jarang mengorbankan kepentingannya. Hal ini tentu berakibat kemampuan perempuan dalam hal berpikir kritis pun semakin tumpul. Ruang gerak perempuan terbatas hanya di ranah urusan rumah tangga. Tentu saja hal ini kelak membuat sekelompok perempuan jenuh dan memberontak. Demikian pula diskriminasi terhadap perempuan adalah istilah yang layak digunakan untuk mendefinisikan dampak patriarki ini. Kesetaraan gender adalah istilah yang mewakili aspirasi yang disuarakan oleh sekelompok perempuan yang merasa terkekang akan tradisi dan budaya yang sudah kuat terbangun ini. Kesetaraan gender didefinisikan sebagai suatu kondisi dimana semua manusia (baik laki-laki maupun perempuan) bebas mengembangkan kemampuan personal mereka dan membuat pilihan tanpa dibatasi oleh stereotype, peran gender yang kaku. Hal ini bukan berarti bahwa perempuan dan laki-laki harus selalu sama, tetapi hak, tanggung jawab dan kesempatannya tidak dipengaruhi oleh apakah mereka dilahirkan sebagai laki-laki atau perempuan. Secara umum, gender itu berasal dari bahasa latin genus yang berarti jenis atau tipe. Gender adalah sifat dan perilaku yang dilekatkan pada laki-laki dan perempuan yang dibentuk secara sosial maupun budaya. 10 Kalau begitu antara gender dengan seks adalah sama? Pertanyaan itu sering muncul dari pengertian kata asli dari genus atau gender itu sendiri. 10 Saparinah Sadli, Pengantar Tentang Kajian Wanita, dalam T.O Ihromi (ed) Kajian Wanita Dalam Pembangunan. Yayasan Obor, Jakarta, 1995, Hal. 14.

Gender itu sendiri adalah kajian perilaku atau pembagian peran antara laki-laki dan perempuan yang sudah dikonstruksikan atau dibentuk di masyarakat tertentu dan pada masa waktu tertentu pula. Gender ditentukan oleh sosial dan budaya setempat sedangkan seks adalah pembagian jenis kelamin yang ditentukan oleh Tuhan. Misalnya laki-laki mempunyai penis, memproduksi sperma dan menghamili, sementara perempuan mengalami menstruasi, bisa mengandung dan melahirkan serta menyusui dan menopause. 11 Begitu juga terhadap bentuk hubungan gender dengan seks (jenis kelamin). Dapt dikatakan bahwa hubungannya adalah sebagai hubungan sosial antara laki-laki dengan perempuan yang bersifat saling membantu atau sebaliknya malah merugikan, serta memiliki banyak perbedaan dan ketidaksetaraan. Hubungan gender berbeda dari waktu ke waktu, dan antara masyarakat satu dengan masyarakat lain, akibat perbedan suku, agama, status sosial maupun nilai tradisi dan norma yang dianut. Dalam melaksanakan peran ataupun tingkah laku yang diproses pembentukannya di masyarakat itu terjadi pembentukan yang mengharuskan misalnya perempuan itu harus lemah lembut, emosional, cantik, sabar, penyayang, sebagai pengasuh anak, pengurus rumah dan lainnya. Sedangkan laki-laki harus kuat, rasional, wibawa, perkasa, pencari nafkah dan lain sebagainya. Proses pembentukan yang diajarkan secara turun-temurun oleh orangtua kita, masyarakat, bahkan lembaga pendidikan yang ada dengan sengaja atau tanpa sengaja memberikan peran (perilaku) yang sehingga membuat kita berpikir bahwa 11 Ibid Hal. 15.

memang demikianlah adanya peran-peran yang harus kita jalankan. Bahkan, kita menganggapnya sebagai kodrat. Selain itu ada juga beberapa pendapat tentang gender. Berikut ini beberapa pengertian gender menurut para ahli, antara lain : 1. Gender adalah peran sosial dimana peran laki-laki dan peran perempuan ditentukan. 12 2. Gender adalah perbedaan status dan peran antara perempuan dan laki-laki yang dibentuk oleh masyarakat sesuai dengan nilai budaya yang berlaku dalam periode waktu tertentu. 13 3. Gender adalah perbedaan peran dan tanggung jawab sosial bagi perempuan dan laki-laki yang dibentuk oleh budaya. 14 4. Gender adalah jenis kelamin sosial atau konotasi masyarakat untuk menentukan peran sosial berdasarkan jenis kelamin. 15 Perbedaan gender tidaklah menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender (gender inequality). Namun, yang menjadi persoalan adalah bahwa perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan, baik bagi kaum laki-laki maupun kaum perempuan, terutama kaum perempuan. Ketidakadilan gender merupakan system dan struktur di mana baik kaum laki-laki maupun kaum perempuan menjadi korban dari system tersebut. Untuk memahami bagaimana peran gender melahirkan ketidakadilan gender, dapat dilihat melalui berbagai manifestasi ketidakadilan yang ada, yakni; 12 Suprijadi dan Siskel, Gender. PT. Danur Wiajay Press, Surabaya, 2004 Hal. 76 13 WHO, Gender and Feminism in Politic, dalam Said Khan Wanita, Gender dan Feminisme Perjuangan Partisipasi Politik Kaum Perempuan. 2011. Hal. 10 14 Azwar, Teror Dalam Tatanan Struktur Politik. PT. Gramedia; Jakarta, 2001 Hal. 52 15 Ibid Hal. 52.

marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik, pembentukan streotipe atau melalui pelabelan negatif, kekerasan (violence), beban kerja lebih panjang dan lebih banyak (burden), serta sosialisasi ideology nilai peran gender. Manifestasi ketidakadilan gender ini tidak bisa dipisah-pisahkan, karena saling berkaitan dan berhubungan, saling mempengaruhi secara dialektis. 16 B. Gender Sebagai Suatu Bentuk Yang Harus Diutamakan Hingga saat ini berbagai instrumen yuridis telah dibuat untuk mendukung terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender. Komitmen pemerintah melalui Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender juga sangat tinggi. Namun, dalam kenyataannya ketimpangan gender dalam segala aspek kehidupan tetap terjadi, sehingga sangat perlu dilakukan identifikasi terhadap berbagai faktor yang menjadi penyebabnya agar diperoleh solusi yang tepat sesuai dengan persoalannya. Wacana tentang isu gender sudah menjadi isu yang mendunia. Pada umumnya isu gender yang paling sering dibahas adalah masalah status dan kedudukan perempuan di masyarakat yang masih dinilai subordinal atau marginal. Persoalan ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender bukanlah persoalan sederhana dan berdimensi lokal, namun persoalan ini ditemui di seluruh belahan dunia, serta berkaitan erat dengan segala sendi kehidupan manusia. Maka tidaklah mengherankan jika boleh dikatakan perjuangan para pemerhati masalah perempuan, untuk meningkatkan kesetaraan dan keadilan gender yang sudah 16 Mansour Fakih, Analisis Gender dan Trasformasi Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. 1991, hal. 8 9.

sekian lama seolah-olah jalan di tempat, atau paling sedikit hasil yang dicapai belum sesuai dengan harapan. Jika dilihat dari sejarah perhatian dunia secara formal mengenai persamaan antara lakilaki dan perempuan sudah dimulai pada tahun 1948 melalui suatu deklarasi yang disebut sebagai The Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia), oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dan tahun 1976 dilengkapi menjadi The International Bill of Human Rights (Pernyataan Hak Asasi Manusia). Dalam prakatanya Presiden Amerika pada saat itu Jimmy Carter menyatakan bahwa Piagam PBB berbicara tentang keyakinan pada hak asasi manusia yang fundamental, pada martabat dan penghargaan manusia, pada persamaan hak laki-laki dan perempuan dan bangsabangsa besar dan kecil. Pernyataan tersebut secara implisit mengemukakan bahwa ada ketidaksamaan hak antara laki-laki dan perempuan didunia ini, sehingga perlu dibuat dalam sebuah pernyataan agar negara, maupun masyarakat, mengindahkan persamaan hak tersebut sebagai sebuah hak asasi manusia. Kesetaraan gender juga sangat penting artinya dalam peningkatan kualitas kehidupan keluarga melalui penurunan tingkat fertilitas dalam sebuah keluarga. Seperti tingkat kesetaraan gender yang tinggi sangat diperlukan bagi negaranegara berkembang yang memiliki tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi dalam rangka menurunkan tingkat fertilitas di negara-negara tersebut. Penurunan fertilitas ini terjadi melalui kesetaraan gender di empat bidang yaitu kesetaraan ekonomi/pendapatan, kesetaraan waktu kerja dalam mencari nafkah, kesetaraan

peran dalam kemasyarakatan, kesetaraan dalam pengambilan keputusan penting dalam rumah tangga. Peningkatan kesetaraan gender pada empat bidang tersebut mengakibatkan penurunan fertilitas melalui hak reproduksi istri, yang pada akhirnya berdampak pada peningkatan kualitas keluarga. Dengan demikian jika pemerintah menginginkan terjadi penurunan fertilitas di dalam sebuah keluarga, maka cara tidak langsung yang dapat digunakan adalah melalui peningkatan maupun pemahaman bahwa kesetaraan gender merupakan hal yang harus diutamakan dalam setiap sisi kehidupan manusia. Negara Indonesia telah sejak lama memiliki pendekatan kebijakan untuk program-program khusus perempuan, yang dilaksanakan melalui Program Nasional P2W-KSS (Peningkatan Peran Wanita Untuk Membina Keluarga Sehat dan Sejahtera). Karena peran utama perempuan terutama dinilai sebagai peran rumah tangga, maka program-program seperti itu terutama difokuskan pada kesejahteraan keluarga dan upaya untuk mendapatkan tambahan penghasilan keluarga sehingga program-program pembangunan lainnya tidak diwajibkan bersifat responsif terhadap gender. Akibatnya, secara keseluruhan tidak dijumpai adanya kesadaran kelembagaan mengenai kaitan antara pemberdayaan perempuan dan pembangunan berkelanjutan. Gender sebagai suatu bentuk yang harus diutamakan sesungguhnya sudah diamanatkan melalui Instruksi Presiden/INPRES Pengarusutamaan Gender No. 9/2000, yang mengharuskan semua instansi pemerintah di tingkat nasional dan daerah, untuk mengarusutamakan gender ke dalam perencanaan, implementasi,

monitoring dan evaluasi seluruh kebijakan dan program. Menurut INPRES tersebut, Kementrian dan lembaga ditingkat nasional dan lokal harus mengatasi persoalan ketidak-setaraan gender dan menghapuskan dikriminasi gender. Peraturan Menteri Dalam Negeri/Kepmendagri No. 15/2008 berisi pedoman untuk pelaksanaan pengarusutamaan gender di tingkat propinsi dan kabupaten. UUD Negara Indonesia dan ratifikasi berbagai konvensi internasional menunjukkan komitmen negara terhadap kesetaraan gender dan menyebabkan dikeluarkannya berbagai undang-undang lokal yang efektif. Sasaran-sasaran kesetaraan gender mendapat penguatan lebih lanjut dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden No. 9/2000 mengenai Pengarusutamaan Gender pada bulan Desember 2000, yang dilengkapi dengan Manual Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional, yang mengklarifikasi peran dan tanggung jawab pengarusutamaan gender di lingkungan departemendepartemen dan instansi-instansi pemerintah. Lima instansi pemerintah, yaitu Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Departemen Pertanian, Kantor Menteri Negara Koperasi dan Usaha Menengah Kecil, Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, telah berpartisipasi dalam suatu program percontohan menggunakan Jalur Analisa Gender atau Gender Analysis Pathway (GAP), yang dikembangkan oleh Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan (dengan dukungan dari CIDA). Perangkat analisa yang sederhana ini digunakan untuk membantu melakukan analisa gender, menyusun perencanaan, kebijakan dan pembangunan program yang sensitif terhadap gender serta menawarkan peluang-peluang untuk

melakukan pengembangan lebih lanjut kepada kelompok-kelompok pemerintah, pengusaha dan pekerja. C. Prinsip Tentang Kesetaraan Gender Sebagai upaya dalam mengatasi permasalahan gender saat ini, maka dapat dilihat beberapa prinsip-prinsip kesetaraan yang dikutip dari hasil Konvensi CEDAW. Konvensi ini merupakan konvensi internasional tentang hak asasi perempuan dengan tiga pendekatan: kesetaraan substantif, non-diskriminasi, dan kewajiban negara. a. Prinsip Kesetaraan Substantif Prinsip ini mempertimbangkan dan memberikan fokus pada keragaman, perbedaan, ketidakberuntungan, dan diskriminasi. Pendekatan prinsip ini berusaha mengembangkan perlakuan yang berbeda terhadap perempuan dalam rangka mengejar ketertinggalan mereka akibat dari pembedaan masa lalu yang dialami dalam keluarga dan masyarakat. b. Prinsip Non-Diskriminasi Prinsip ini menganut setiap langkah dan upaya yang tidak menyebabkan diskriminasi pada perempuan, seperti pembedaan, pengucilan, atau pembatasan yang dibuat berdasarkan jenis kelamin yang mempunyai dampak atau tujuan untuk menghalangi, mengurangi, menghapuskan pengakuan atau pelaksanaan HAM dan kebebasan pokok di berbagai bidang (politik, ekonomi, sosial budaya, dan sipil). Diskriminasi dilarang dalam lebih dari satu traktat hak asasi manusia. Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) melarang

pembedaan berdasarkan ras, warna, jenis kelamin, dan bahasa sebagai jaminan atas hak individu. Pembedaan dalam pemberian hak atas dasar yang manapun merupakan tindakan diskriminatif dan bukan perlakuan berbeda yang memfasilitasi kesetaraan pengakuan, penikmatan, dan penerapan hak yang sama bagi semua. CEDAW memberikan arti yang lebih komprehensif tentang diskriminasi yang terdapat pada Pasal 1: Dalam Konvensi ini istilah "diskriminasi terhadap perempuan" berarti setiap pembedaan, pengucilan, atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan, atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau apapun lainnya bagi kaum perempuan terlepas dari status pekawinan mereka atas dasar persamaan laki-laki dan perempuan. Walaupun Pasal di atas dengan jelas menjabarkan definisi diskriminasi, kedalaman dan cakupannya lebih dapat dipahami melalui ketentuan-ketentuan substantif Konvensi. Pasal 4 menentukan diskriminasi positif atau 'korektif' sebagai aspek penting penghapusan diskriminasi dan Rekomendasi Umum 19 memperluas cakupannya dengan memasukkan bentuk-bentuk kekerasan khusus gender (gender-specific forms of violence). Pelaksanaan dan kewajiban yang diembannya meliputi ranah publik dan ranah privat dan juga negara dan bukannegara sebagai pelaku. Definisi dalam Pasal 1 dapat juga diaplikasikan pada diskriminasi yang dijabarkan dalam ICCPR. Menurut CEDAW, diskriminasi terjadi bila ada elemen-elemen berikut yang berkaitan satu dengan lainnya: a) Ideologi. Asumsi-asumsi berbasis gender tentang peran dan kemampuan perempuan.

Diskriminasi yang ditentukan dalam CEDAW tidak terbatas pada pembedaan perlakuan yang didasarkan hanya pada jenis kelamin tetapi juga diskriminasi yang bersumber dari asumsi-asumsi sosial budaya negatif yang dilekatkan pada keadaan karena dia adalah 'perempuan' atau yang disebut "ideologi gender." Konstruksi ideologis peran dan kemampuan perempuan mempengaruhi akses perempuan dalam memperoleh berbagai kesempatan di berbagai tingkatan: individu, kelembagaan, dan sistem. Sebagai contoh, kenyataan bahwa pekerjaan yang dilakukan perempuan sebagian besar adalah pekerjaan-pekerjaan tertentu saja dan di sisi lain tidak adanya perempuan dalam jenis-jenis pekerjaan lainnya merupakan akibat dari asumsi-asumsi ideologi bahwa perempuan hanya cocok untuk pekerjaan tertentu saja. Bahwa perempuan lebih banyak mengerjakan pekerjaan pengasuhan, pelayanan dan pekerjaan-pekerjaan subordinat lainnya didasarkan pada pilihan dan kesempatan yang diberikan kepada perempuan pada lingkup pekerjaan tersebut, dan bukan karena perempuan tidak mampu atau tidak berminat untuk pekerjaan lain. Asumsi gender seperti ini telah membatasi kesetaraan kesempatan bagi perempuan di tempat kerja. b) Tindakan - Perbedaan perlakuan, pembatasan atau pengucilan

Asumsi berbasis gender telah memberikan dampak negatif pada hak dan kebebasan perempuan dan menjadi sebab adanya diskriminasi dalam hal-hal sebagai berikut: - Perbedaan perlakuan terhadap perempuan dibandingkan dengan laki-laki : Dalam Pasal 1 CEDAW, perbedaan perlakuan terhadap laki-laki dan perempuan tidak dengan sendirinya disebut sebagai diskriminasi, tetapi diskriminasi terjadi bila perbedaan perlakuan tersebut menimbulkan pengurangan atau penghapusan hak dan kebebasan perempuan. Dengan demikian, tindakan afirmasi untuk mengoreksi ketidakberuntungan yang dialami perempuan pada saat ini (contemporary) atau yang sudah lama berlangsung (historic) sebagai upaya untuk mencapai kesetaraan substantif tidak masuk dalam cakupan definisi ini. - Pembatasan hak dan kebebasan perempuan: Pembatasan berarti pengurangan atau pembatasan yang dipaksakan pada hal yang diakui sebagai hak. Pembatasan jam kerja, pembatasan gerak/mobilitas, bekerja atau pindah kerja harus dengan izin suami atau penanggung jawab lainnya merupakan contoh diskriminasi seperti ini. - Pengucilan: Pengucilan adalah pengingkaran hak dan kebebasan perempuan berdasarkan jenis kelamin atau asumsi-asumsi gender. Contoh dari pengucilan seperti ini adalah tidak membolehkan

perempuan ditahbiskan sebagai pendeta menurut ketentuan agama, mewarisi harta pusaka, memilih, atau menduduki posisi tertentu. Terjadinya perubahan kebijakan dapat menyebabkan perubahan dari satu bentu diskriminasi ke bentuk yang lain, atau bahkan dapat mengakibatkan ketiga bentuk diskriminasi tersebut berlaku secara bersamaan. Sebagai contoh, sesudah revolusi 1979 di Iran, perempuan dilarang berpartisipasi dalam semua jenis olah raga. Tetapi kemudian, para pemimpin politik membolehkan perempuan berpartisipasi dalam berbagai jenis olah raga, kecuali sepak bola, tetapi dengan syarat mereka harus berpakaian sederhana dan badan tertutup semuanya. Namun, syarat tersebut tidak berlaku bagi perempuan yang berolah raga di dalam fasilitas privat atau fasilitas terpisah laki dan perempuan. Contoh ini dengan jelas merefleksikan adanya perubahan, dari situasi pengucilan terhadap semua jenis olah raga ke dalam situasi dimana tiga jenis bentuk diskriminasi, yaitu pengucilan, pembatasan dan perbedaan perlakuan, dilakukan secara bersamaan. c) Niat Diskriminasi langsung atau tidak langsung. Diskriminasi langsung adalah hasil dari tindakan-tindakan yang dirancang dan dimaksudkan untuk memperlakukan perempuan secara berbeda. Sebuah perundangan yang memberikan hak perwalian

kepada bapak dan melimpahkan hak tersebut kepada ibu hanya bila bapak tidak ada makna sebenarnya atau secara fungsional. mensubordinasi perempuan dalam kapasitasnya sebagai ibu terhadap laki-laki dalam kapasitasnya sebagai bapak. CEDAW mencakup diskriminasi tidak langsung yang merupakan akibat dari apa yang kelihatannya sebagai netral, atau persyaratan yang mempunyai dampak diskriminatif terhadap perempuan, walaupun tidak dimaksudkan sebagai tindak diskriminasi. Diskriminasi tidak langsung merupakan akibat dari suatu tindakan yang dilakukan atau tidak dilakukan karena menganggap bahwa dalam suatu keadaan tertentu laki-laki dan perempuan adalah sama - padahal tidak demikian halnya. Dengan demikian, maka standar laki-laki diterapkan terhadap perempuan, suatu standar yang tidak memungkinkan atau menghilangkan hak perempuan untuk memperoleh kesempatan sama. Sebagai contoh, persyaratan mendapat kredit keuangan yang mengharuskan adanya agunan berupa harta tak bergerak atau tanah. Dalam konteks atau keadaan dimana hak waris perempuan dibatasi berdasarkan kaidah hukum atau budaya, akan menafikan atau menghalangi hak perempuan untuk memperoleh kredit keuangan, walaupuan pengucilan semacam itu sebenarnya tidak dimaksudkan. d) Akibat Pengurangan atau penghapusan pengakuan, penikmatan, penggunaan hak atau kebebasan

Berbagai tindakan pembedaan perlakuan, pengucilan atau pembatasan hak disebut diskriminasi tidak hanya karena tindakan tersebut didasarkan pada asumsi berbasis gender, tetapi juga bila tindakan itu mengakibatkan pengurangan atau penghapusan pengakuan, penikmatan, dan penerapan hak asasi manusia serta kebebasan dasar perempuan. Pengurangan terjadi bila pembatasan atau persyaratan dilekatkan pada hak, yang mengakibatkan terbatasnya atau hilangnya pengakuan akan hak tersebut serta kemampuan untuk menuntutnya. Penghapusan merupakan pencabutan hak dan kebebasan perempuan dalam bentuk penolakan atas hak itu atau tidak adanya lingkungan dan mekanisme yang memungkinkan perempuan untuk menegaskan atau menuntut hak mereka. Suatu keputusan dianggap diskriminatif jika keputusan tersebut berdampak pada hak asasi perempuan dan kebebasan dasar dengan cara : - pengurangan atau penghapusan pengakuannya - pengurangan atau penghapusan penikmatannya - pengurangan atau penghapusan penggunaannya Diskrimisai dalam semua bidang dan oleh setiap pelaku Wilayah diskriminasi menurut ketentuan CEDAW tidak terbatas hanya pada ranah publik yang terkait langsung dengan negara dan aparat negara. Diskriminasi mencakup tindakan dalam bidang-bidang "politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau bidang lainnya.

Diskriminasi mencakup tindakan yang dilakukan oleh pelaku privat mulai dari individu sampai korporasi bisnis, keluarga dan masyarakat. Diskriminasi mencakup hukum tertulis, asumsi sosio-budaya tentang perempuan dan norma-norma yang diperlakukan terhadap perempuan. Diskriminasi dapat bersifat historis, atau terjadi pada saat ini, dan saling terkait satu sama lain (cross-cutting). Diskriminasi historis artinya bila suatu kelompok menderita karena pengaruh diskriminasi di masa lalu, atau bila perlakuan diskriminatif semakin menekan suatu kelompok yang secara historis mengalami penindasan institusional dan sistemik. Dengan jelas CEDAW menentukan bahwa sasaran diskriminasi itu terlepas dari tempat dimana itu terjadi atau asalnya. Untuk menjamin keluasan bidang yang dicakup CEDAW, Pasal 1 memperluas pelaksanaannya ke "setiap bidang lainnya." Bidang yang dicakup CEDAW termasuk diskriminasi de jure seperti kedudukan legal atau formal perempuan. CEDAW juga mencakup diskriminasi de facto25 meliputi praktek-praktek informal yang tidak diberi sanksi hukum tetapi mengatur hak dan kebebasan perempuan. c. Prinsip Kewajiban Negara Prinsip ini meliputi hal-hal yang berikut : a) Menjamin hak perempuan melalui hukum, peraturan perundang-undangan dan kebijakan, serta menjamin hasilnya.

b) Menjamin pelaksanaan praktis dari hak itu melalui langkah tindak atau aturan khusus sementara, menciptakan lingkungan yang kondusif untuk meningkatkan kesempatan, dan akses perempuan pada peluang yang ada. c) Negara tidak saja menjamin, tetapi juga merealisasi hak perempuan. d) Tidak saja menjamin secara de-jure tetapi juga secara de-facto e) Negara tidak saja harus akuntabel (bertanggung jawab) dan mengaturnya di ranah publik, tetapi juga di ranah privat (keluarga) dan sektor swasta. Di Indonesia, kebijakan tentang Kesetaraan Gender masih berupa draft Rancangan Undang-undang (RUU). Perwujudannya menjadi UU masih mengundang kontroversi lintas bidang, terutama terkait agama. Secara ringkas Parameter Kesetaraan Gender (PKG) yang tertuang dalam RUU Kesetaraan Gender mencakup : a) Terjaminnya keadilan gender di dalam berbagai kebijakan, baik yang tertuang dalam Peraturan Perundangan-undangan, program pembangunan, maupun dalam kebijakan teknis lainnya b) Menurunnya kesenjangan kesempatan antara perempuan dan laki-laki dalam pencapaian pembangunan, dan c) Menurunnya tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak. Secara singkat kesetaraan gender mengacu pada kesetaraan dalam penilaian peran antara wanita dan pria. Hal ini bertujuan untuk mengatasi hambatan akibat stereotip dan prasangka, sehingga kedua gender tersebut mampu berkontribusi dengan setara (equal) dan bermanfaat bagi pengembangan ekonomi, sosial, budaya, dan politik di masyarakat, termasuk kesempatan yang sama untuk

dicalonkan, mencalonkan, atau dipilih sebagai pemimpin. Ketika pria dan perempuan memiliki hubungan yang setara, kondisi ekonomi akan tumbuh dengan pesat dan korupsi pun menurun. Ketika perempuan sehat dan terdidik, keluarga, komunitas, dan bangsa pun akan mendapatkan manfaatnya. D. Diskriminasi Terhadap Perempuan Sebagai Pelanggaran Asas Persamaan Hak Banyak pertanyaan berkaitan dengan masalah diskriminasi terhadap perempuan baik pada tingkat regional maupun dunia. Untuk menjawab permasalahan-permasalahan tersebut, Konvensi perempuan disusun dan diterima oleh Sidang Umum PBB tanggal 18 Desember 1979, kemudian diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-undang No. 7 Tahun 1984, tanggal 24 Juli 1984. Segala bentuk instrumen yang sudah ada sampai saat ini belum efektif dan maksimal, dengan demikian perlu ada pembenahan-pembenahan hak-hak perempuan dan penghapusan diskriminasi. Pada tahun 1984 Indonesia melalui Undang-undang No. 7 Tahun 1984 telah meratifikasi Konvensi Penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, ratifikasi ini jelas memperlihatkan bahwa Indonesia mempunyai kewajiban melaksanakan prinsipprinsip yang terkandung dalam konvensi perempuan dengan menciptakan kepastian dan penegakan hukum dan melaksanakan peraturan perundangundangan yang non diskriminasi. Banyak kalangan yang pesimis terhadap dampak dari konvensi perempuan ini untuk memajukan status perempuan di Indonesia, karena apa yang dijanjikan dan apa yang sudah tertuang dalam undang-undang belum tentu bisa diwujudkan

dalam kenyataan. Namun para pemerhati masalah perempuan menganggap bahwa ratifikasi konvensi perempuan ini sesungguhnya bisa dijadikan alat untuk memajukan kesetaraan gender. Selain itu dengan memperluas jaringan hubungan dengan lembaga-lembaga dan pemerhati masalah perempuan, diharapkan akan semakin banyak orang yang menaruh perhatian terhadap ketimpangan jender dan upaya untuk memperjuangkan keadilan jender akan lebih berdaya guna. Hal tersebut berarti bahwa diskriminasi merupakan salah satu bentuk yang terutama dapat dikategorikan sebagai suatu pelanggaran terhadap hak asasi manusia atau tindakan pelanggaran asas persamaan hak. Seharusnya pada kondisi saat ini, segala bentuk diskriminasi yang berujung pada mendiskreditkan peranan perempuan dalam berbgai bidang sangat berpeluang menciptakan lahirnya bentuk pelangggaran lainnya yang pada dasarnya akan merugikan pihak perempuan itu sendiri. Dalam Pasal 1 Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW) dijelaskan bahwa istilah diskriminasi terhadap perempuan berarti perbedaan pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang berakibat atau bertujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial budaya, sipil atau apapun lainnya oleh kaum perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan.

Selanjutnya dalam Pasal 2 dijelaskan bahwa negara-negara pihak mengutuk diskriminasi terhadap perempuan dalam segala bentuknya, dan bersepakat dengan segala cara yang tepat dan tanpa ditunda-tunda, untuk menjalankan suatu kebijakan yang menghapus diskriminasi terhadap perempuan, dan untuk tujuan ini berusaha untuk : b) Memasukkan asas persamaan antara laki-laki dan perempuan dalam undang undang dasar mereka atau perundang-undangan lainnya yang layak apabila belum dimasukkan ke dalamnya, dan untuk menjamin realisasi praktis pelaksanaan dari asas ini, melalui hukum dan caracara lain yang tepat; c) Membuat peraturan perundang-undangan yang tepat dan upaya lainnya, dan di mana perlu termasuk sanksi-sanksi, yang melarang semua diskriminasi terhadap perempuan; d) Menetapkan perlindungan hukum terhadap hak perempuan atas dasar persamaan dengan kaum laki-laki, dan untuk menjamin perlindungan bagi kaum perempuan yang aktif terhadap setiap perilaku diskriminatif, melalui pengadilan nasional yang kompeten dan badanbadan pemerintah lainnya; e) Menahan diri untuk tidak melakukan suatu tindakan atau praktek diskriminasi terhadap perempuan, dan menjamin agar pejabat-pejabat dan lembaga-lembaga publik akan bertindak sesuai dengan kewajiban ini;

f) Mengambil semua langkah-langkah yang tepat untuk menghapuskan perlakuan diskriminatif terhadap perempuan oleh orang, organisasi atau lembaga apapun; g) Mengambil langkah-langkah yang tepat, termasuk upaya legislatif, untuk mengubah dan menghapuskan undang-undang, peraturanperaturan, kebijakan-kebijakan, dan praktek-praktek yang ada yang merupakan diskriminasi terhadap perempuan; h) Mencabut semua ketentuan pidana nasional yang merupakan diskriminasi terhadap perempuan. Hal tersebut juga berkaitan langsung dengan adanya ketentuan bahwa setiap negara wajib mengambil upaya yang tepat untuk menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan dalam rangka untuk memastikan hak yang sama dengan laki-laki di segala bidang yaitu pendidikan, pekerjaan, ekonomi dan terutama peranan dalam pembangunan dalam rangka untuk menjamin atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan: a) Kondisi yang sama untuk pengarahan karir dan kejuruan, untuk akses pada pembelajaran dan untuk memperoleh diploma dari lembagalembaga pendidikan pada semua kategori baik di wilayah pedesaan maupun di wilayah perkotaan; persamaan ini harus dijamin dalam pendidikan pra-sekolah, umum, teknik, profesi dan pendidikan teknik yang lebih tinggi, demikian pula dalam semua jenis pelatihan kejuruan;

b) Penghapusan setiap konsep yang stereotip tentang peranan laki-laki dan perempuan di semua tingkat dan semua bentuk pendidikan, dengan menganjurkan pendidikan campuran (perempuan dan lakilaki) dan bentuk pendidikan lain yang dapat membantu pencapaian tujuan ini, dan terutama dengan merevisi buku-buku pelajaran dan program-program sekolah serta menyesuaikan metode-metode pengajaran. c) Akses terhadap informasi pendidikan tertentu untuk membantu memastikan kesehatan dan kehidupan keluarga yang lebih baik. d) Untuk memberikan perlindungan khusus bagi perempuan selama hamil terhadap bentuk pekerjaan yang terbukti membahayakan mereka. e) Hak untuk bekerja sebagai suatu hak yang melekat pada semua umat manusia; f) Hak atas kesempatan kerja yang sama, termasuk penerapan kriteria seleksi yang sama terhadap suatu pekerjaan; E. Kedudukan Perempuan Berdasarkan Konvensi Internasional Terbukanya keran demokrasi dan kebebasan berbicara telah membuka suarasuara dan ide-ide yang selama ini cendrung bungkam karena ditekan oleh tindakan represif penguasa. Sekarang, setiap orang bebas mengekspresikan kehendaknya tanpa takut lagi akan dihukum, diberendel, dan diberangus oleh pihak-pihak tertentu yang merupakan perpanjangan tangan penguasa.

Salah satu bidang yang mendapat porsi yang cukup besar dan mendapatkan ruang gerak yang leluasa adalah menyangkut masalah perempuan. Isu-isu dan gerakan tentang emansipasi, kesetaraan gender, dan perjuangan hak-hak perempuan telah menjadi perbincangan dan wacana yang menarik. Perbincangan tentang perempuan ini semakin hangat ketika kasus-kasus pelecehan, kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan semakin meningkat. Perlakuan yang diskriminatif dan semena-mena terhadap perempuan ini tidak hanya berada pada dataran kasus per kasus, namun telah menginjak dataran kebijakan pemerintah. Prinsip persamaan telah menjadi bagian dari sistem hukum kita yang tertuang dalam pasal 27 UUD 1945. Di samping itu, pemerintah telah meratifikasi berbagai konvensi internasional seperti konvensi ILO No. 100 tentang upah yang sama untuk pekerjaan yang sama nilainya, konvensi tentang hak-hak politik perempuan dan konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Pemerintah pun juga telah mengeluarkan berbagai kebijakan lain, seperti: dalam peraturan tentang perkawinan dan perceraian yang bertujuan untuk meningkatkan status perempuan dalam keluarga dan masyarakat. Akan tetapi, sebenarnya jika dikaji lebih lanjut, peraturan itu justru bias gender. Sebab dalam putusannya, di satu sisi menjamin hak yang sama dalam hukum dan masyarakat antara perempuan dan laki-laki, di sisi lain dinyatakan bahwa laki-laki berperan di sektok publik dan perempuan berperan di sektor privat. Sehingga justru UU ini memberi peluang bagi seorang suami untuk beristri lebih dari satu. Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) adalah suatu instrumen standar internasional yang diadopsi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1979 dan mulai berlaku pada tanggal 3 Desember 1981. Pada

tanggal 18 Maret 2005, 180 negara, lebih dari sembilan puluh persen negara-negara anggota PBB, merupakan Negara Peserta Konvensi. CEDAW menetapkan secara universal prinsip-prinsip persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Konvensi menetapkan persamaan hak untuk perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka, di semua bidang baik politik, ekonomi, sosial, budaya dan sipil. Konvensi mendorong diberlakukannya perundang-undangan nasional yang melarang diskriminasi dan mengadopsi tindakan-tindakan khusus-sementara untuk mempercepat kesetaraan de facto antara laki-laki dan perempuan, termasuk merubah praktek-praktek kebiasaan dan budaya yang didasarkan pada inferioritas atau superioritas salah satu jenis kelamin atau peran stereotipe untuk perempuan dan laki-laki. Komite Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan dibentuk pada tahun1982, setelah Konvensi dinyatakan berlaku. Tugas utamanya adalah untuk mempertimbangkan laporan periodik yang disampaikan kepada Komite dari Negaranegara Peserta mengenai langkah-tindak legislatif, judikatif, administratif dan tindakantindakan lain yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Konvensi. Komite memberikan rekomendasi-rekomendasi bagi Negara-negara Peserta mengenai langkah-langkah yang perlu diambil untuk melaksanakan Konvensi. Protokol Opsional Protokol Opsional pada CEDAW diadopsi oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa pada Desember 1999. Protokol Opsional pada CEDAW di satu pihak memberi hak kepada perempuan untuk mengajukan pengaduan perorangan kepada Komite mengenai segala pelanggaran hak yang dimuat dalam Konvensi oleh pemerintahnya dan di lain pihak, memberikan wewenang kepada Komite untuk melakukan investigasi atas pelanggaran berat dan sistematk yang korbannya adalah

perempuan di negara-negara yang telah meratifikasi atau aksesi pada Protokol ini. Pada tanggal 20 Januari 2006 sudah ada 76 Negara Peserta Protokol Opsional. Perbincangan dan perjuangan hak-hak perempuan timbul karena adanya suatu kesadaran, pergaulan, dan arus informasi yang membuat perempuan semakin kritis dengan apa yang menimpa kaumnya. Pejuang hak-hak perempuan di Indonesia juga semakin gencar seiring dengan diratifikasinya beberapa Konvensi terhadap perlindungan maupun kemajuan oleh kaum perempuan.