SUBJECTIVE WELL-BEING PADA GURU PAUD DI DAERAH RAWAN BENCANA NASKAH PUBLIKASI Untuk memenuhi sebagian persyaratan Dalam mencapai derajad Sarjana S-1 Diajukan oleh: Nurul Fikri Hayuningtyas Nawati F100110101 FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2015
SUBJECTIVE WELL-BEING PADA GURU PAUD DI DAERAH RAWAN BENCANA NASKAH PUBLIKASI Untuk memenuhi sebagian persyaratan Dalam mencapai derajad Sarjana S-1 Diajukan oleh: Nurul Fikri Hayuningtyas Nawati F100110101 FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2015 ii
SUBJECTIVE WELL-BEING PADA GURU PAUD DI DAERAH RAWAN BENCANA Yang Diajukan Oleh : Nurul Fikri Hayuningtyas Nawati F. 100110101 Telah disetujui untuk dipertahankan di depan Dewan Penguji Telah disetujui oleh: Pembimbing Taufik, S.Psi., M.Si., Ph.D Surakarta 10 Juni 2015 iii
SUBJECTIVE WELL-BEING PADA GURU PAUD DI DAERAH RAWAN BENCANA Yang diajukan oleh : Nurul Fikri Hayuningtyas Nawati F 100 110 101 Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Pada tanggal 2 Juli 2015 dan dinyatakan telah memenuhi syarat Penguji Utama Taufik, S.Psi., M.Si., PhD Penguji Pendamping I Dr. Eny Purwandari, M.Si. Penguji Pendamping II Dr. Nanik Prihartanti, M.Si. Surakarta, 2 Juli 2015 Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta Dekan, Taufik S.Psi., Msi., PhD iv
v
ABSTRAKSI SUBJECTIVE WELL-BEING PADA GURU PAUD DI DAERAH RAWAN BENCANA Nurul Fikri Hayuningtyas Nawati Taufik Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan subjective well-being pada guru PAUD di daerah rawan bencana. Informan dalam penelitian ini di pilih secara purposive sampling. Adapun informan adalah guru PAUD desa Balerante, Kecamatan Kemalang, Kabupaten Klaten, berjumlah 5 orang yang memiliki rentang usia 20-40 tahun. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan pengumpulan data menggunaka teknik wawancara. Hasil penelitian menemukan bahwa kondisi afeksi pada guru PAUD adalah guru merasakan afek positif seperti bahagia, senang, dan suka cita. Kebahagiaan guru semata-mata tidak dinilai dengan gaji atau uang lelah yang diberikan, namun para guru menjalani semuanya dengan hati ikhlas dan niat ibadah dengan mengabdi menjadi guru. Selain itu guru juga mengalami afek negatif seperti guru mengalami kesulitan selama mengajar PAUD sulit mencari tema. Kepuasan hidup yang dialami guru dengan kehidupan sekarang belum merasa puas dikarenakan masih ada harapan atau keinginan yang belum terpenuhi, selain itu pada guru yang belum memiliki anak merasa tidak puas karena idealnya dalam keluarga adalah memiliki anak dan ada rasa kepuasan tersendiri. Yang membuat guru tetap bertahan mengajar PAUD di daerah rawan bencana melihat semangat anak-anak dalam belajar, rasa tanggung jawab yang diberikan oleh masyarakat setempat, dan ingin memajukan pendidikan di desa Balerante. Guru mengabdikan diri mengajar PAUD agar generasi muda bisa bermanfaat bagi orang lain. Kata kunci: Subjective well-being, Guru PAUD. vi
PENDAHULUAN Pada umumnya orang di dunia ini pasti mengharapkan ketenangan hati dan ketenangan jiwa, namun belum tentu bisa mewujudkannya. Guna mencapai ketenangan, seseorang bersedia menerima apapun yang terjadi saat ini (menerima kenyataan apa adanya). Bersedia menerima dengan apa adanya akan membuat seseorang merasa tenang dan bahagia betapapun kenyataan pahit menimpa seseorang, bahkan menurut Aristoteles kebahagiaan merupakan tujuan utama dari eksistensi manusia. Setiap orang juga memiliki harapanharapan yang ingin dicapai guna pemenuhan kepuasan dalam kehidupannya (Ningsih, 2013). Kepuasan hidup manusia antara yang satu dengan yang lain berbeda-beda. Ada manusia yang puas dengan kekayaan, kemewahan, dan fasilitas yang selalu terpenuhi. Namun ada manusia yang puas dengan kesederhanaan, dan keterbatasan fasilitas. Perbedaan-perbedaan pendapat manusia mengenai kepuasan yang di rasakan disebut dengan subjektivitas individu atau subjective well-being. Menurut Suh, Diener dan Lucas (1999) subjective well-being (Kesejahteraan subjektif) mendefinisikan subjective well-being sebagai ketegori yang luas mengenai fenomena yang menyangkut respon-respon emosional seseorang (rasa bahagia, ketentraman), kepuasan domain, dan penilaian-penilain global atas kepuasan hidup. Kepuasaan hidup akan tercapai jika harapan-harapan dalam hidupnya tercapai. Salah satu harapan manusia adalah mengabdikan diri untuk memajukan bangsa atau negaranya, khususnya di pendidikan anak usia dini. Tanggung jawab sebagai guru mengajar anak usia dini lebih kompleks sehingga guru seharusnya mendapatkan hak sebagai guru, seperti mendapatkan gaji, mendapatkan fasilitas yang memadai untuk proses belajar mengajar. Namun kenyataan yang ada di desa Balerante guru belum mendapatkan haknya. Berdasarkan hasil wawancara awal yang dilakukan peneliti menunjukan bahwa mengajar di daerah rawan bencana membuat guru merasa waswas akan terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan, seperti tahun 2010 saat terjadi 1
erupsi gunung Merapi. Selain itu permasalahan yang terjadi di PAUD adalah guru seringkali bingung mencari tema mengajar. Pihak dinas belum memberikan tema-tema yang dapat menunjang pengajaran. Honor pun tidak didapatkan oleh para guru, mereka hanya mendapatkan uang lelah sebesar Rp. 24.000 perbulan. Keadaan desa Balerante yang rawan bencana, serta kondisi Guru PAUD yang terbatas namun tetap dengan senang hati mengajar inilah yang melatar belakangi peneliti untuk melihat lebih jauh tentang kondisi guru yang mengajar di PAUD, khususnya mengenai kesejahteraan guru dalam menjalankan hidupnya. Mengacu pada latar belakang itulah maka peneliti mengambil judul Subjective Well-Being Pada Guru Paud di Daerah Rawan Bencana. Dalam bahasa Indonesia well-being diterjemahkan menjadi kesejahteraan secara subjektif, terdiri dari kebahagiaan, ketahanan diri, dan kepuasan hidup (Nisfianoor, 2004). Subjective well-being adalah evaluasi seseorang mengenai hidup mereka dalam hal pikiran dan emosi yang dimiliki (Feldman, 2011). Dapat disimpulkan bahwa subjective well-being adalah evaluasi diri kehidupan secara umum terhadap kepuasan hidup, dan tingginya tingkat emosi positif dan rendahnya tingkat emosi negatif. Komponen penting dari subjective wellbeing menurut Diener et al. (2005) terdapat dua komponen dasar yaitu komponen afektif (afek positif dan afek negatif) dan komponen kognitif. Menurut Eddington dan Shuman (2005), mengemukakan beberapa faktor demografis dan lingkungan yang mempengaruhi subjective well-being yaitu jenis kelamin, usia, pendidikan, pendapatan, pernikahan, kepuasan kerja, kesehatan, dan religiusitas. Pendidik anak usia dini, merupakan orang yang bertanggung jawab merencanakan, melaksanakan, menilai, melakukan pembimbingan dan pelatihan dalam pembelajaran pada anak usia 0-8 tahun secara menyeluruh. Pendidik pada PAUD mempunyai tugas yang lebih kompleks dari pada pendidik pada tingkat pendidikan di atasnya. Hal ini dikarenakan PAUD merupakan tingkat pendidikan yang paling mendasar sebagai 2
pondasi bagi pendidikan selanjutnya (Maryatun, 2010). METODE PENELITIAN Subjek penelitian ini berjumlah 5 orang. Dengan karakteristik informan sebagai berikut: bertempat tinggal di Balerante, merupakan guru PAUD, dan berusia 20-40 tahun. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara. Guide wawancara disusun berdasarkan tujuan dan pertanyaan penelitian yang dieksplorasi dari komponen subjective well-being. Langkah-langkah analisis data ini meliputi: Organisasi data, membaca keseluruhan data, koding, kategorisasi data, mendeskripsikan kategori, dan pembahasan hasil penelitian (Creswell, 2010). HASIL DAN PEMBAHASAN Afek positif yang dirasakan guru PAUD didaerah rawan bencana yaitu perasaan senang, dan bahagia. Berdasarkan hasil merasakan perasaan senang dan bahagia. Hal ini sesuai dengan Diener et al (2005) bahwa emosi yang menyenangkan merupakan bagian subjective well being, hal tersebut ditandai dengan adanya afek positif seperti merasa senang, dan bahagia. Selain itu hal ini sesuai dengan penjelasan Seefeldt dan Wasik (2008) bahwa hidup dan bekerja dengan anak-anak yang penuh energi, sedemikian melimpahnya, begitu senang dengan kehidupan dan pembelajaran benarbenar merupakan kegembiraan dan kenikmatan bagi guru. Bahagia tidak harus banyak materi yang terpenting kasih sayang antar keluarga. Hal tersebut dipengaruhi faktor genetik menurut Diener et al (2005) mengatakan bahwa walaupun peristiwa mempengaruhi subjective well-being, seseorang dapat beradaptasi terhadap perubahan level adaptasi yang ditentukan secara biologis. Jadi ada sebagian orang yang memang penelitian dengan menggunakan wawancara dapat diketahui bahwa semua informan 3
terlahir dengan kecenderungan untuk bahagia dan ada juga yang tidak. Guru tetap bertahan dikarenakan semangat anak untuk belajar, memiliki rasa tanggung jawab, ingin memajukan desa, memajukan generasi muda lebih baik dan mengabdikan diri terutama dalam dunia pendidikan. Hal ini sesuai dengan A.Z Mulyana (2010) bahwa menjadi guru harus memiliki motivasi yang kuat karena orang yang memiliki motivasi kuatlah yang dapat mencapai keberhasilan. Yang lebih dibutuhkan adalah dorongan untuk selalu bekerja sebaik-baiknya dan keinginan terus maju. Selain itu menjadi guru dijalani semata-mata karena panggilan jiwa tanpa paksaan atau untuk mengejar jabatan, namun yang dipikirkan bagaimana membina peserta didik menjadi pintar, dan bermanfaat bagi oranglain. KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisa dan pembahasan penelitian maka dapat disimpulkan bahwa guru PAUD merasakan Kebahagiaan semata-mata tidak dinilai dengan gaji atau uang lelah yang diberikan, namun para guru menjalani semuanya dengan hati ikhlas dan niat ibadah dengan mengabdi menjadi guru. Guru tetap bertahan mengajar di daerah rawan bencana karena melihat semangat anak-anak dalam belajar, rasa tanggung jawab yang diberikan oleh masyarakat setempat, dan ingin memajukan pendidikan di desa Balerante. Guru mengabdikan diri mengajar PAUD agar generasi muda bisa bermanfaat bagi orang lain. Kepuasaan hidup yang di alami para guru saat ini belum puas dikarenakan masih ada keinginan yang belum tercapai. Faktor demografi mempengaruhi kepuasaan hidup guru seperti, status pernikahan dan ada tidaknya anak. DAFTAR PUSTAKA A.Z. Mulyana. (2010). Rahasia Menjadi Guru Hebat Memotivasi Diri Menjadi Guru Luar Biasa. Jakarta: PT Gramedia. 4
Creswell, J.W. (2010). Research Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed Edisi Ketiga. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Diener, E. et al (1999). Subjective wellbeing: Three Decades of Progress. Psychological Bulletin, vol.125, no.2. Diener, E. & Oishi. (2005). Subjective Wellbeing: the science of happiness and life Satisfaction. In C. R Synder & S. J Lopez (Eds), Handbook of positive psychology. New York : Oxford University Press. Eddington, N dan Shuman, R (2005). Subjective well-being (happiness). Continuing psychology education: 6 continuing education hours. Diunduh pada 7 maret 2015 dari (http://www.texcpe.com/cpe/pdf/cahappiness.pdf.). Feldman, R. S. (2011). Pengantar Psikologi : Understanding Psychology. (Terjemahan Petty Gina Gayatri dan Putri Nurdina Sofyan). Jakarta : Salemba Hunamika. Maryatun, I.B. (2010). Peran Pendidik PAUD dalam Membangun Karakter Anak. Artikel Peran Pendidik PAUD dalam Membangun Karakter. Ningsih, A. (2013). Subjective Well Being Ditinjau dari Faktor Demografi (Status Pernikahan, Jenis Kelamin, Pendapatan). Jurnal Online Psikologi. Vol. 01 No. 02. ISSN : 2301-8259. Nisfiannor, M. (2004). Hubungan Antara Komitmen Beragama Dan Subjective Well-Being pada Remaja Akhir Di Universitas Tarumanagara. Jurnal Psikologi, Vol.2, 77-81. Sasangka. (2011). Menilik bukti kedahsyatan Merapi di Museum Erupsi Merapi Balerante (http:solo pos. com., diunduh tanggal 3 Maret 2015, pukul: 17.00 Wib). Seefeldt, C., Wasik, A. (2008). Pendidikan Anak Usia Dini Menyiapkan Anak Usia Tiga, Empat, dan Lima Tahun Masuk Sekolah. Jakarta: PT Indeks 5